Sayyidah Fatimah dan Kesyahidan yang Tidak Berdarah
Ali Syariati membedakan dua jenis kesyahidan:
1. Syahadah dalam perang – kematian dalam medan fisik.
2. Syahadah dalam kehidupan – ketika seseorang hidup dalam penderitaan demi mempertahankan kebenaran.
Sayyidah Fatimah adalah syahid dalam bentuk kedua. Ia tidak gugur dengan pedang di medan perang. Ia gugur dalam kehidupan, dalam perjuangan mempertahankan prinsip ketika mayoritas menyerah. Tubuhnya yang remuk, tulangnya yang patah, rumahnya yang diserbu—semua menjadi tanda bahwa kebenaran sering harus dibayar dengan seluruh diri.
Dan justru dalam penderitaan senyap itulah Fatimah menjadi lebih besar daripada seorang pahlawan perang.
Karena syahid dalam perang dapat dilakukan siapa saja, bahkan dengan amarah. Tetapi syahid sepanjang hidup hanya dapat dilakukan oleh orang yang paham sepenuhnya apa yang ia perjuangkan.
Dalam kalimat yang paling terkenal dari Syariati:
“Fatimah adalah Fatimah.”
Artinya: ia bukan simbol yang dipinjam untuk mendukung ide tertentu. Ia bukan disucikan untuk dijadikan ikon pasif. Ia tidak boleh direduksi menjadi teladan ibu rumah tangga tanpa konteks sejarah.
Fatimah adalah dirinya — perempuan yang berdiri di puncak kemanusiaan, kesadaran, dan keberanian.
Ia adalah putri Nabi, tetapi ia berjalan dengan kekuatannya sendiri.
Ia adalah istri Ali, tetapi ia memiliki suara dan sikapnya sendiri.
Ia adalah ibu Imam Hasan dan Husain, tetapi ia tidak hanya dikenang karena melahirkan dua manusia besar.