Kautsar dan Abtar: Dua Jalan Sejarah
Kisah ‘Ash bin Wā’il dan Surah al-Kautsar bukan sekadar peristiwa historis. Ia adalah pembeda abadi antara dua jalan: jalan kebaikan yang terus mengalir, dan jalan kebencian yang terputus.
Dalam pandangan Syiah, kautsar bukan hanya simbol keturunan, tapi juga simbol kesinambungan hidayah. Sebaliknya, abtar bukan sekadar hilangnya garis darah, tetapi terputusnya hubungan dengan kebenaran.
Siapa pun yang menolak kebenaran Rasulullah ﷺ dan keluarganya, meski namanya besar, akan berakhir seperti ‘Ash bin Wā’il — sirna tanpa makna.
Sedangkan siapa pun yang berpegang pada wilayah Ahlulbait, meski sederhana, akan menjadi bagian dari aliran kautsar yang abadi.
Imam al-Baqir as pernah bersabda:
“Kami adalah pohon yang akarnya adalah Rasulullah, cabangnya adalah Amirul Mukminin, dan buahnya adalah Fatimah dan anak-anaknya. Barang siapa berpegang pada pohon ini, tidak akan tersesat.” (Bihar al-Anwar, jilid 23, hlm. 101)
Fatimah az-Zahra (sa) adalah kautsar Rasulullah ﷺ — sumber kebaikan yang tak pernah kering. Ia adalah jawaban Allah atas penghinaan manusia, bukti bahwa cinta dan kebenaran selalu melahirkan kehidupan baru.
Selama masih ada orang yang mencintai kebenaran, bershalawat kepada Nabi dan keluarganya, serta menegakkan nilai-nilai yang mereka bawa, maka al-Kautsar akan terus mengalir — menyejukkan bumi yang haus keadilan.
Maka siapa pun yang meneladani akhlak Fatimah, menegakkan kebenaran seperti Husain, bersabar seperti Zaynab, dan menjaga kesucian iman seperti para Imam Ahlulbait — dialah bagian dari kautsar itu. Dan barang siapa berpaling dari mereka, walau hidupnya gemerlap, ia hanyalah bayangan dari dunia yang akan sirna — abtar, terputus dari sumber kehidupan ruhani.