Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Keadilan dari Meja Makan Imam Ja‘far Ash-Shadiq as (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Suatu waktu, Madinah mengalami masa-masa sulit. Tanah kering, ladang gagal panen, dan persediaan bahan pokok menipis. Harga biji-bijian naik tajam, membuat masyarakat panik. Mereka yang memiliki simpanan segera menimbunnya, khawatir hari-hari depan semakin gelap. Sementara yang miskin, yang hidup dari tangan ke mulut, terpaksa berdesak-desakan di pasar setiap hari hanya untuk mendapatkan sedikit makanan.

Dalam situasi seperti itu, masyarakat terbelah antara yang mampu mempertahankan keamanan pangan dan yang terhimpit oleh kelaparan. Namun, di tengah kepanikan itu, Imam Ja‘far Ash-Shadiq as memberikan teladan yang mengguncang logika umum dan menggugah nurani manusia.

Imam Ja‘far Ash-Shadiq as memanggil Ma‘tab, orang kepercayaannya yang bertugas mengatur kebutuhan rumah tangga beliau. Dengan tenang Imam bertanya,

“Ada berapa persediaan makanan kita?”

Ma‘tab menjawab, “Cukup banyak, wahai Imam.”

Imam kemudian berkata dengan mantap,

“Bawa ke pasar dan juallah semuanya.”

Ma‘tab heran. Ia tahu bahwa di Madinah saat itu tidak ada bahan makanan tersisa di pasar. Ia menimpali,

“Wahai Imam, di Madinah tidak ada makanan. Jika kita menjualnya, kita tidak akan bisa membeli lagi yang lain.”

Namun Imam tetap dengan pendiriannya,

“Bawa ke pasar dan juallah.”

Maka dijual lah gandum yang menjadi persediaan keluarga Imam. Setelah itu, Imam berkata kepada Ma‘tab,

“Mulai sekarang, belanjalah setiap hari seperti orang banyak. Dan siapkan makanan keluargaku separuh dari sya‘ir (gandum kualitas rendah) dan separuh dari hinthah (gandum berkualitas tinggi). Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa aku mampu memberi keluargaku makan hanya dengan hinthah saja. Namun aku ingin Allah melihat bahwa aku mengatur kehidupanku dengan cara yang baik.”

Perintah Imam Ash-Shadiq as ini sederhana, tetapi sarat makna moral dan sosial. Di tengah krisis, beliau menolak untuk hidup dalam kelebihan sementara rakyat di sekitarnya menderita. Ia tidak hanya menyeru pada kesederhanaan, tetapi juga mencontohkannya secara nyata. Ia tidak menyimpan kelebihan makanan untuk dirinya sendiri, bahkan melepaskan seluruh persediaannya agar ikut merasakan kesulitan yang dialami masyarakat umum.

Tindakan ini bukanlah bentuk populisme, melainkan ekspresi tauhid sosial: keyakinan bahwa hidup harus selaras dengan keadilan Ilahi. Bahwa kesejahteraan sejati bukanlah milik individu, melainkan milik seluruh umat yang saling berbagi.

Dengan menjual persediaannya dan membeli makanan seperti rakyat biasa, Imam as menghancurkan sekat antara “pemimpin” dan “yang dipimpin”. Ia menunjukkan bahwa tanggung jawab moral seorang pemimpin bukan sekadar memberi perintah, tetapi menjadi teladan hidup yang nyata.

Bersambung...