Dari Rahim Keimanan Lahir Generasi Cahaya (1)
Dalam pandangan Islam, anak bukan sekadar penerus garis keturunan, melainkan pancaran ruh dan amal orang tuanya. Ia dapat menjadi cahaya yang menuntun keluarga menuju rahmat Ilahi, atau sebaliknya, menjadi cermin kelalaian dan keburukan yang menghantui generasi.
Kemuliaan Anak Saleh dan Bahaya Anak yang Tidak Saleh
Dalam hadis-hadis Ahlulbait as, anak saleh disebut sebagai anugerah yang melampaui ukuran duniawi—ia adalah “wewangian surga” yang ditebarkan Allah di antara hamba-hamba-Nya.
Rasulullah saw bersabda, “Anak saleh merupakan kebahagiaan bagi setiap orang.” Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Sesungguhnya anak saleh adalah wewangian dari semerbak aroma surga.” Nabi Muhammad saw juga bersabda, “Anak saleh adalah wewangian yang Allah tebarkan di antara hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya wewangianku di dunia ini adalah Hasan dan Husain…” (Bihar al-Anwar, jilid 43, hlm. 278)
Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda, “Karunia yang diberikan Allah pada seseorang adalah anak yang menyerupainya.” (Bihar al-Anwar, jilid 103, hlm. 95) Anak yang meniru akhlak dan perangai orang tuanya bukan semata cerminan genetik, melainkan pantulan spiritual: hasil dari benih yang ditanam dalam ketulusan, kesalehan, dan doa.
Keluarga bukan hanya pertautan darah, melainkan simpul keimanan. Allah Swt berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak-cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak-cucu mereka dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala dari amal mereka.” (QS. at-Thur: 21)
Imam Ja‘far Shadiq as menafsirkan ayat ini dengan berkata, “Perbuatan anak berada di bawah perbuatan orang tua. Oleh karena itu, anak bergabung dengan orang tuanya agar mereka saling menyenangkan pandangan.” (Tafsir al-Qummi, jilid 2, hlm. 372)
Janji ini menunjukkan bahwa hubungan ruhani yang dibangun atas dasar iman tidak akan terputus bahkan setelah kematian. Di surga, keluarga yang saling menegakkan kebaikan akan dikumpulkan kembali dalam kebahagiaan abadi.
Namun sebaliknya, anak yang buruk perangainya dapat menjadi sumber duka bagi keluarga. Imam Ali as berkata, “Anak yang berperangai buruk menghancurkan kehormatan dan membuat malu keluarganya.” (Ghurar al-Hikam, hadis 3994) Dalam riwayat lain beliau menegaskan, “Anak yang buruk membuat malu pendahulunya dan merusak generasi berikutnya.” (Nahjul Balaghah, hikmah 238)
Beliau juga berkata, “Anak durhaka adalah sumber derita dan kesedihan yang tak kunjung reda.” (Ghurar al-Hikam, hadis 3872)
Imam Shadiq as pun memperingatkan, “Berhati-hatilah terhadap perbuatan yang dapat mempermalukan kami. Sesungguhnya anak yang buruk mempermalukan orang tuanya dengan perbuatannya.” (al-Kafi, jilid 6, hlm. 47)
Anak yang tidak saleh bukan hanya aib sosial, tetapi luka batin bagi ruh orang tua. Dalam pandangan Ahlulbait, mendidik anak bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi amanah Ilahi yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Bersambung...