Wasiat Ketiga Sayyidah Zahra sa: Tentang Dirinya
Fatimah menutup mata sebentar, seakan berbicara kepada dirinya sendiri. Ketika ia membukanya kembali, sorot matanya tenang.
“Ali… aku ingin sesuatu darimu, tapi mungkin inilah bagian tersulit.”
Imam Ali mendekat. Suaranya serak ketika berkata, “Perintahkan apa saja, wahai cahaya Rasulullah.”
“Aku ingin engkau menguburkan aku… di malam hari.”
Imam Ali terkejut. “Mengapa? Madinah mencintaimu. Mereka akan berduka.”
Sayidah Fatimah menggeleng pelan.
“Ada yang mencintaiku, tapi ada juga yang menyakitiku. Aku tidak ingin mereka yang menzalimi rumah ini berdiri di atas pusaraku.”
Suasana ruangan berubah hening. Inilah wasiat yang paling agung — dan paling menyayat.
“Jangan biarkan mereka hadir di pemakamanku. Jangan biarkan mereka mengklaim cinta yang tidak pernah mereka tunjukkan. Kuburkan aku diam-diam… seperti benih yang ditanam dalam keheningan.”
Menurut Syariati, itulah bentuk protes paling sunyi dalam sejarah. Tidak dengan suara, tidak dengan senjata, tidak dengan marah—tetapi dengan kepergian yang penuh kesadaran.
Sayidah Fatimah melanjutkan, “Jika mereka bertanya, biarkan mereka mencari. Biarkan sejarah yang berbicara.”
Imam Ali menggigit bibirnya untuk menahan tangis.
“Aku juga ingin kau tidak menangis di dekat kuburanku, wahai Ali. Bukan karena aku tidak ingin engkau sedih, tetapi karena aku ingin engkau tetap tegar. Umat ini masih membutuhkanku dalam bentuk lain—dalam bentuk kenangan, dalam bentuk pelajaran, dalam bentuk amanah yang harus engkau jaga.”