Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Wasiat Terakhir Sayyidah Zahra sa: Tentang Masa Depan

0 Pendapat 00.0 / 5

Sayidah Fatimah memandang langit-langit rumah yang ia cintai — rumah kecil yang menjadi saksi kasih, perjuangan, dan luka.

“Ali, setelah aku tidak ada… jangan tinggalkan jalan ayahku. Jangan tinggalkan orang-orang lemah yang membutuhkanmu. Jangan biarkan kekuasaan membuatmu diam.”

Tangannya meraih tangan Ali.

“Kau akan hidup lama setelah aku pergi. Dan kau akan menyaksikan banyak hal yang membuatmu ingin membalas. Tetapi demi Allah, aku memohon… jangan biarkan kebencian menghitamkan hatimu.”

Lalu dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berkata:

“Jadilah Ali yang kucintai—bukan Ali yang disakiti sejarah.”

Syariati menulis bahwa kalimat seperti itu hanya mungkin keluar dari jiwa yang telah “menyatu dengan langit, namun tetap mencintai bumi.”

Kepergian yang Tidak Pergi

Sesudah wasiat itu, Sayidah Fatimah memanggil anak-anaknya. Ia mencium kepala Hasan dan Husain satu per satu. Ia memeluk Zainab erat, seakan menitipkan seluruh cahaya dirinya kepada putri itu.

Dan ketika semua orang menunduk dalam tangis, Sayidah Fatimah tersenyum kecil — senyum yang menenangkan, senyum yang tidak terasa seperti perpisahan.

“Ali… matikan lampu,” katanya.

Ali mematikan lampu minyak.
Kegelapan turun, namun ruangan itu seperti tetap bercahaya.

Dalam gelap itulah, Sayidah Fatimah kembali kepada Rabb-nya — tenang, lembut, dan agung.

Penutup

Dalam pandangan Ali Syariati, wasiat-wasiat terakhir Fatimah bukan hanya pesan keluarga, tetapi deklarasi moral, protes keadilan, dan peta jalan sejarah umat.

Sayidah Fatimah tidak pergi dengan ratapan.
Tidak pergi dengan kemarahan.
Ia pergi dengan kesadaran sejarah, meninggalkan pesan yang hingga kini tetap menyala:

Bahwa kebenaran harus dijaga, anak-anak harus dididik dengan nilai, dan ketidakadilan harus dilawan — bahkan dengan kepergian yang sunyi.