Keinginan yang Menghinakan (1)
Dalam literatur etika Islam sangat ditekankan pentingnya mengendalikan keinginan. Imam Hasan al-Askari as bersabda:
مَا أَقْبَحَ بِالْمُؤْمِنِ أَنْ تَكُونَ لَهُ رَغْبَةٌ تُذِلُّه
“Alangkah buruknya bagi seorang mukmin apabila ia memiliki keinginan yang justru menghinakannya!” (Al-Ḥarrani, Tuḥaf al-‘Uqul, hal. 498; lihat juga: Riḍai Iṣfahani, Mizan al-Ḥikmah, jilid 2, hal. 1742)
Ungkapan ini menyingkap sebuah prinsip moral yang mendalam: tidak semua keinginan patut diikuti, karena sebagian darinya justru dapat meruntuhkan kehormatan manusia.
Manusia secara fitri memiliki kecenderungan dan hasrat. Namun, keinginan tersebut dapat dikategorikan menjadi dua: yang sejati dan yang palsu. Keinginan sejati membawa manusia pada kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki, sementara keinginan palsu justru menjerumuskannya pada kehinaan dan kerendahan.
Misalnya, rasa lapar dapat memunculkan keinginan untuk makan. Namun, tidak semua makanan bermanfaat. Ada makanan yang tampak lezat namun membawa penyakit setelah dikonsumsi. Dengan demikian, keinginan yang tampak menyenangkan tidak selalu selaras dengan kebaikan hakiki.
Membedakan antara keinginan sejati dan keinginan palsu bukan perkara sederhana. Imam Hasan al-Askari as menegaskan bahwa tugas ini hanya mungkin dilakukan oleh ahli hakikat manusia—yakni Allah Swt, Nabi, dan Ahlulbait Nabi. Mereka memahami hakikat fitrah manusia dan mengetahui jalan yang benar menuju kemuliaan dan ketinggian. Karena itu, hanya melalui bimbingan ilahi seseorang mampu mengarahkan hasratnya ke arah yang benar.
Bersambung...