Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kebebasan dan Rahasia Karbala

0 Pendapat 00.0 / 5

Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya IslamSiapa pun yang merapat kepada Yang Satu

maka telah dibebaskan dari penindasan

setiap berhala menuju di mana cinta berada

mukmin sejati, dan cinta baginya

cinta membuat segala sesuatu mungkin bagi kita

Akal tak mengenal belas kasihan; Cinta bahkan lebih,

lebih suci, lebih hidup, dan lebih berani

Tersesat dalam labirin sebab dan akibat

Itulah akal; Cinta dengan pasti hadir dalam medan

Aksi. Akal bulus merancang sebuah jebakan;

Cinta menaklukkan mangsa dengan senjata yang tepat dan kuat.

Akal kaya akan ketakutan dan keraguan; tetapi Cinta

telah memantapkan keputusan, keyakinan yang tak terkalahkan.

 

Akal bangkit untuk menciptakan sebuah keliaran;

Cinta membuang jauh-jauh kesia-siaan, untuk menjadikan segala sesuatu berbeda.

Akal itu murah, berlimpah layaknya udara;

Cinta sangat sedikit ditemukan, dan dengan harga yang mahal.

Akal berlindung di balik fenomena,

Tetapi Cinta telanjang dari jubah-jubah materi.

Akal berkata, “Percayakan dirimu sendiri kepada yang tampak”

Cinta menjawab, Ujilah hatimu, dan buktikan sendiri”

Akal melalui pemerolehan diberi tahu

tentang yang lain; Cinta dilahirkan dengan rahasi kemuliaan

dan menciptakan hubungan dengan Diri. Akal menyatakan

jadilah kaya dan berbahagialah; Cinta menjawab

jadilah seorang hamba, hingga engkau dapat bebas

Kebebasan menghasilkan kebahagiaan paripurna kepada jiwa Cinta

Kebebasan, sang pengarah kekuatan-pengendali Cinta

Apakah engkau tidak mendengar bahwa pada masa perang

Cinta dibenturkan dengan akal yang liar? Aku akan berbicara

tentang pemimpin besar dari segala manusia yang mencintai

Tuhan sejati, dialah pohon cemara yang tegak

di taman Rasul, dialah Anak Ali,[1]

yang ayahnya mengawali pesta pengorbanan

hingga ia dapat mendemonstrasikan sebuah sembelihan yang besar[2]

dan bagi pangeran dari umat terbaik itu

Rasul terakhir menyerahkan punggungnya

Untuk dinaiki, sebuah kafilah unta tengah melaju,[3]

Memerah darahnya karena keberanian Cinta yang cemburu

(tema itu menghiasi bait puisiku dalam keberanian yang indah)

kedudukannya sangat sentral dalam komunitas kami

seperti Katakanlah, Dia-lah Allah puji Kitab suci.[4]

Musa dan Firaun, Shabbir dan Yazid-[5]

 

dari kehidupan muncullah pontensi-potensi yang bertentangan itu

Kebenaran hidup dalam kekuatan Shabbir; ketidakbenaran adalah

kekejaman itu, penderitaan terakhir dari kematian yang memalukan.

Dan ketika Khilafah pertama kali memutuskan benangnya

dari al-Quran, maka ke dalam kerongkongan kebebasan telah dituangkan

sebuah racun yang mematikan, bak hujan yang menghapus awan

Suatu cahaya terang dari manusia terbaik telah bangkit

bukan dari Barat, untuk menumpahkan darah di Karbala,

dan tanah itu, yang sebelumnya kering kerontang,

ditaburi, saat ia gugur, oleh bunga-bunga tulip dari darah.

 

Di sana, hingga Hari Kebangkitan, tirani

telah dikalahkan untuk selama-lamanya; sebuah padang rumput

diciptakan ketika sumber hidupnya ditumpahkan.

Karena kebenaran itu sendiri adalah darahnya yang menetes ke tanah,

Mengapa ia menjadi benteng

keimanan kepada Tuhan yang satu. Apakah memang

ambisinya tertuju kepada kekuasaan duniawi,

bukanlah perbekalan seperti itu yang ia rencanakan

pada perjalanan terakhirnya, memiliki musuh-musuh

dalam jumlah yang tak terbatas seperti debu-debu padang pasir,

sementara sahabat-sahabatnya sama dengan jumlah nama-nama Tuhan.

 

Suatu misteri yang dilambangkan

dalam Ibrahim dan Ismail seluruh hidup

dan matinya tegak sampai akhir dalam pengabdian yang utuh.

Kuat bak sebuah gunung adalah solusinya,

keras, tak tergoyahkan menuju tujuannya

Mengangkat pedang untuk kejayaan agama

dan ia terhunus untuk mempertahankan Hukum (Tuhan)

Seorang Muslim, hanyalah hamba kepada Tuhan

sebelum seorang firaun memenggal kepalanya.

Darahnya memberi tafsir kepada misteri-misteri tersebut,

dan membangunkan umat kita yang tengah terlelap.

Pedangnya menuliskan Tidak ada tuhan selain Allah

dan menumpahkan darah mereka yang mengungkapkan kebohongan;

mengukir di gurun pasir, selamatkan Agama

Dia menetapkan bagi semua untuk membacakan kata-kata pujian

atas pengorbanan kami. Dari Husain kita belajar

rahasia kitab suci, dan dengan sinarnya

menyalakan obor-obor kita. Mungkinkini telah jauh dari pikiran

kejayaan Damaskus, kemuliaan Baghdad,

serta keagungan Granada, semuanya hilang dari ingatan;

namun senar-senar yang ia petik bersama jiwa kita

tetap bergetar, bahkan iman kita tetap segar

berkat seruannya, Allahu Akbar, yang berhembus dengan lembut.

Duhai utusan dari mereka yang jauh,

bawalah air mataku ini kepada debunya yang suci.


Catatan:


    Husain bin Ali bin Abi Thalib terbantai bersama 72 pengikutnya oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad di Karbala, Irak, pada tahun 61 Hijriyah / 640 Masehi

    QS. Ash-Shaffat: 107

    Sebuah hadis Nabi saw

    QS. Al-Ikhlash: 112

    Shabbir adalah panggilan Rasulullah saw kepada Imam Husain

Muhammad Iqbal adalah filsuf-penyair Muslim kenamaan yang lahir pada 9 November 1877 di Sialkot, Punjab, Pakistan. Puisi di atas dikutip dari karyanya Rumuz-i Bekhudi (1918). Secara singkat, puisi Iqbal tentang Imam Husain as ini pernah diulas oleh Islamolog Prof. Anne-marrie Schimmel dalam artikel berjudul Karbala and The Imam Husayn in Persian and Indo-Muslim Literature.