Hermeneutik dan Ushul Fiqih; Sebuah Studi Komparatif
Oleh: A. Kamil
Apabila kita berpandangan bahwa masa-masa bersemi dan berbuahnya pemikiran Scheleirmacher (seorang teolog dan sastrawan Jerman yang hidup pada tahun 1768 hingga 1834 M yang menjadi peletak dasar batu pertama neo-hermeneutik) sebagai pemantik munculnya pengetahuan ini maka kita harus berkata bahwa kurang-lebih dua kurun telah berlalu dari ditemukannya pengetahuan ini.
Demikian juga apabila benar adanya bahwa setiap ilmu memiliki subyek permasalahan tersendiri dan masalah-masalah makro dan mikro dengan pengaturan dan penataan logis ihwal subyek tersebut bersatu, akan tampak bahwa hermeneutik sebelum ia menjadi sebuah ilmu yang bermakna resmi, ia merupakan dialog ilmiah yang memiliki sisi mediasi dan barangkali pada masa-masa mendatang mencapai tingkatan yang dapat dibandingkan dengan logika dan linguistik.
Akan tetapi sebelum mencapai tingkatan tersebut, terdapat pelbagai tingkatan yang terbentang di depan, lantaran dialog ilmiah seperti ini belum sampai pada kesimpulan yang bersifat definitif. Para periset setelahnya tanpa basa-basi dan bersikap kritis menerima kesimpulan tersebut dan pada kelanjutan serta penyempurnaannya belum sampai kepada apa yang diharapkan.
Satu-satunya poin yang telah diterima dan menjadi konsensus seluruh periset dan para pemilik otoritas dalam bidang ini bahwa: Apa yang menjadi pertanyaan utama dalam batasan ilmu ini atau riset yang mengemuka harus dipikirkan. Sangat jelas bahwa dengan takaran ini hermeneutik sukar untuk dapat sampai pada satu ilmu resmi dan mandiri.
Pada belahan Timur dunia Islam dan di antara negeri-negeri itu adalah Iran yang memiliki pelbagai pengalaman dalam bidang hermeneutik -yang kelak akan disinggung pada bagian lain dari tulisan ini-. Namun harus dikatakan bahwa pertanyaan utama berkenaan dengan masalah ini belum dikemukakan atau dijelaskan secara benar, walau boleh jadi isi pertanyaan ini jelas dan terang bagi para pakar di bidang ini. Isykalan yang paling minimal adalah bahwa terma-terma yang digunakan dalam penerjemahan tidaklah satu dan perlu dengan memperhatikan lafaz-lafaz yang digunakan dalam teks asli Barat dan padanan kata Persianya – atau bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Persia – dan penggunaan historis dan ilmiah padanan kata ini, pertanyaan utama ditata sedemikian apik sehingga dalam membeberkan jawaban tidak terjebak dalam perdebatan linguistik yang tidak menghasilkan kesimpulan dan harus jelas bahwa apa yang menjadi keinginan utama dan melalui jalan apa masalah ini harus dikaji.
Jelas bahwa poin ini memerlukan penjelasan. Dan penjelasan ringkas di samping dapat menerangkan tujuan utama masalah hermeneutik dan kedudukannya, juga dapat menerangkan pada kita tujuan hermeneutik yang ada di Barat. Hal ini juga merupakan mukaddimah untuk memasuki pembahasan utama dari makalah sederhana ini, yaitu, Hermeneutik dan Ilmu Ushul Fiqih. Oleh karena itu, beberapa paragrap harus mendapat perhatian ekstra dari pembaca; lantaran ia memiliki tujuan-tujuan pendahuluan yang saling berkaitan.
Terma hermeneutik pada peristilahan Eropa-Persia yang kita miliki tidak diperkenalkan dengan padanan kata yang satu, baik hal itu adalah urf umum atau khusus, zaman kekinian, maupun sepanjang sejarah kehidupan bahasa ini. Yakni terdapat perbedaan-perbedaan di antara sebagian dari kedua bahasa ini.
Sebagai contoh, pada salah satu kamus standar Inggris-Persia kalimat hermeneutik diterjemahkan sebagai – ilmu tafsir, ta’bir, dan ilmu atau cara menafsirkan kitab suci. Dan kamus standar itu, terma hermetic yang diambil dari nama Hermes dipadankan dengan kata-kata seperti, kimia, sihir dan misterius. (Abbas Aryan Pur Kasyani: Farhang-e Kâmil Engelisyi-Fârsi). Akan tetapi dalam penerjemahan Persia yang berkenaan dengan hermeneutik, baik itu tulisan buku atau nukilan atau terjemahan resmi, yang digunakan adalah kebanyakan kalimat-kalimat seperti pemahaman, pencerapan, tafsir dan takwil. Dan di antaranya disebutkan:
“Hermeneutik merupakan pengetahuan yang membahas masalah yang bertalian dengan pemahaman, pencerapan, tafsir dan takwil dalam berhadapan dengan teks yang beragam.”
Di sini seluruh penerjemah tidak menggunakan satu lafaz yang sama dalam menerjemahkan terma hermeneutik dan bahkan terkadang seorang penerjemah menggunakan lafaz-lafaz yang beragam pada kesempatan yang berbeda dengan makna yang beragam pula. Sementara hal ini dimana lafaz-lafaz ini sendiri sesuai dengan kebiasaan bahasa Persia dengan memperhatikan aplilkasi spesialis-historis ia tidak memiliki satu makna tertentu.
Atas alasan ini maka kekaburan yang bersumber dari peristilahan yang belum didefinisikan, secara natural terkadang berujung kepada pelbagai perdebatan semantikal. Dan juga menyebabkan munculnya komparasi-komparasi dan aplikasi-aplikasi yang tidak memiliki landasan tekstual dan historis yang diperlukan oleh dua sisi dalam melakukan perbandingan, dan sebenarnya apa yang digambarkan tidak dapat dibandingkan. Perbandingan Usul Fiqih Islami dan Hermeneutik, yang semakin intens dilakukan pada satu dasawarsa terakhir, menurut hemat penulis, pada sebagian bentuknya memiliki ciri yang sama dengan apa yang disebutkan di atas.
Karakterisasi Sisi Perbandingan
Kajian kita ihwal perbandingan Usul Fiqih dan Hermeneutik apapun bentuknya telah dilakukan oleh orang-orang pada masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu untuk sampai kepada sebuah kesimpulan, probabilitas mendesain dan menunjukkan perbandingan tersebut, pertama-tama karakterisasi terhadap sisi perbandingan, betapapun ringkas dan singkatnya, harus dilakukan di antara kedua sisi yang dibandingkan.
A. Hermeneutik
Hermeneutik hari ini secara ringkas dapat dikatakan dengan istilah ilmu tafsir teks.[1] Ilmu dan pengetahuan baru ini secara perlahan menyebar dan menemukan jalannya pada bidang filsafat, seni, sastra dan teks-teks. Dan boleh jadi hanya ilmu mate-matika dan pengetehuan murni (eksak) – yang bertalian dengan angka atau kalimat yang bersifat lahiriah secara sempurna dan atau sebagian teks-teks sederhana yang dapat dipahami oleh orang awam – yang tidak termasuk dalam wilayah operasi hermeneutik ini. Dan hal ini merupakan hal yang pasti bahwa aplikasi hermeneutik modern digunakan pada bidang dan wilayah untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran filosofis, seni, sastra, agama dan lain sebagainya. Dan makna-makna yang digunakan untuk mengekspresikan hal-hal tersebut tidak bersifat mutlak namun dengan memperhatikan lafaz-lafaz dan redaksi-redaksi yang disebutkan atau didengarkan yang menjadi perhatian.
Pertanyaan utama hermeneutik adalah terletak pada jarak antara pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca) serta perbedaan ruang, waktu, pribadi dan syarat-syarat beragam lain dari keduanya yang membentuk dan menata teks pertanyaan. Setiap mukhâtab (pembaca atau pendengar) berdasarkan spesifikasi ruang dan waktu serta syarat-syarat lain yang ada padanya, yaitu keyakinan atau pra-asumsi yang dimilikinya, dimana dalam kondisi pemikirannya dikuasai dengan mereka dan terbentuk dengan perantaraan mereka, dia berhadapan dengan teks (matan) dan sedemikian keyakinan dan pra-asumsi tersebut berpengaruh padanya dia memahami teks itu. Hasilnya, di samping pemahaman para mukhâtab dalam hubunganya dengan satu teks berbeda dengan satu yang lainnya, juga tidak ada satu pun dari pencerapan-pencerapan itu yang secara mesti sesuai dengan apa yang digagas oleh si pembicara dari sisi mana pun. Akan tetapi semua ini pada gilirannya sebuah asumsi yang layak diperdebatkan.
Namun apabila diterima, konsekuensinya adalah pertanyaan ini, kriteria tafhîm (memahamkan) dan tafâhum (saling memahami) apakah yang dijadikan ukuran dalam masalah ini? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan utama dalam masalah hermeneutik. Dan dalam hubungan dimana kita menganggap serius perbedaan kondisi dan pengaruh pra-asumsi, pertanyaan yang disebutkan juga akan menjadi lebih serius. Dan dengan hubungan ini jawaban-jawaban dalam hal ini juga akan mendapatkan vibrasi dan getaran dan berujung pada dua pilihan, pada kondisi moderat atau kondisi ifrath atau tafrith.
Gadamer (1901, Polandia) adalah salah seorang pengusung gagasan hermeneutik yang termasuk masyhur dalam golongan ifrath berkenaan dengan masalah ini. Dan ia memandang salah atau benar dalam memahami teks tidak ada maknanya, demikian dari apa yang disandarkan kepadanya.[2]
Teks yang mana?
Teks yang menjadi pertanyaan utama dalam masalah hermeneutik adalah bagaimana memahami hal tersebut, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, tidak terlalu awam dan juga tidak terlalu murni matematis dan ilmiah, melainkan teks yang berdasarkan tabiat dan kondisi kandungannya, berdimensi ganda (ambigu), interpretabel dan dapat ditakwil dan terkadang – imaginatif.
Masing-masing pada wilayah seni, sastra, irfan berdasarkan pada tipologi wilayah mereka sendiri, teks-teks menunjukkan dirinya. Akan tetapi pada teks-teks agama, lantaran antiquasi (matan) dan perubahan kondisi dikeluarkannya dengan kondisi kehidupan dan pelbagai keyakinan dan konsen mukhâtab dewasa ini, terkadang pertanyaan utama hermeneutik dengan keseriusan lebih menunjukkan dirinya dan menuntut jawaban, hingga berdasarkan kepada apa yang terjadi pada sejarah ilmu ini, bagaimana tafsir atau takwil kitab-kitab suci (dua perjanjian) khususnya Perjanjian Baru atau Injil, merupakan salah satu motivasi dan produk utama pembahasan hermeneutik di belahan dunia Barat.
B. Ushul Fiqih
Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang latar belakangnya apabila dihitung pada priode awal kemunculannya dan sebelum ada penyusunan, dapat ditelusuri hingga masa awal-awal kemunculan Islam. Ushul Fiqih meletakkan fondasi ijtihad ahkam (plural dari hukum) dan sebagai konsekuensinya tatkala terjadi ijtihad hukum fiqih dan istinbath (inferensi) hukum – betapapun sederhananya – maka terdapat juga kaidah ushul yang tidak tertulis.
Dewasa ini Ushul Fiqih Islami merupakan ilmu yang sangat menjuntai dan menyebar di mana-mana, ia memiliki pembahasan yang sangat detil, rinci, jelas dan karya-karya modern serta mahaguru yang terkemuka. Ushul Fiqih Syiah, di samping dinamika naturalnya, dengan dorongan dari sebagian faktor eksternal dan internal, ia banyak mengalami kemajuan dan progresifitas.
Di antara faktor-faktor eksternal, kurangnya perhatian saudara-saudara Ahlusunnah terhadap pentingnya ijtihad. Dan di antara faktor-faktor internal, gerakan anti-ijtihad satu kelompok Syiah yang dikenal sebagai “Akhbariyun”, yang memiliki kisah tersendiri. Dan bukan tempatnya di sini untuk membahas masalah tersebut. Namun dapat dikatakan bahwa peran faktor tersebut dalam perkembangan dan penelitian secara seksama Ushul Fiqih Syiah tidak dapat dinafikan dan dinegasikan. Faktor intenal ini, dikarenakan perang serius dan menyeluruh yang dikerahkan untuk melawannya – dimana ia telah menjadi penyebab berkembangnya multi dimensional Ushul Fiqih pada kurun dan abad terakhir – hingga keberadaannya kira-kira hampir punah dan kini tidak terlalu dikenal.
Seorang juris (faqih) dalam melakukan istinbâth (inferensi) hukum, ia berurusan dengan teks kitab dan tradisi, yaitu al-Qur’an dan hadis-hadis Islami. Urgensi penggunaan teks-teks ini telah menyebabkan kurang lebih setengah dari pembahasan Ushul Fiqih dialokasikan untuk menjelaskan kaidah-kaidah yang menjadi penuntun bagaimana mengambil manfaat dari lafaz-lafaz yang termaktub dalam Kitab Suci dan Sunnah ketika melakukan inferensi hukum.
Bagian ini, berdasarkan penamaannya, disebut sebagai ushul lafzi. Berangkat dari sini hubungan Ushul Fiqih dan Hermeneutik dapat digambarkan. Dan kriteria tafhîm dan tafâhum mengetengah di antara komunikan (mutakkallim) dan komunikator (muhkatab) dimana keduanya tidak memiliki horizon yang sama.
Ushul Fiqih dan Hermeneutik
Nampaknya dalam masalah hubungan antara hermeneutik dan Ushul Fiqih setidaknya ada dua pertanyaan dapat diajukan di sini:
1. Apakah dalam proses tafhîm (memahamkan) dan tafâhum (saling memahami) antara Kitab dan Sunah dari satu sisi, dan juris ketika melakukan istinbath dari sisi lain, sebagaimana yang telah dijelaskan, problem hermenetis akan mengemuka?
2. Apakah pembahasan hermeneutik pada bagian lafaz-lafaz dari Ushul Fiqih Islami, tinjauannya untuk memecahkan problem hermeneutik dengan melakukan pendekatan biasa yang dilakukan pada wilayah-wilayah kontemporer Barat? Dengan kata lain, apakah pembahasan yang disinggung secara tradisional dalam bentuk mandiri dari pembahasan hermeneutik yang dijelaskan dalam Ushul Fiqih, dapat memberikan solusi atas problem hermeneutik? Jelas bahwa apabila jawaban atas pertanyaan ini positif, dapat diharapkan adanya jenis keselarasan dan integrasi antara dua pengetahuan ini, lantaran masalah ini merupakan masalah yang sangat bernilai dan mengandung silsilah pembahasan praktis penting lainnya.
Jawaban atas Pertanyaan
Dalam menjawab pertanyaan pertama kita harus memperhatikan poin ini bahwa hermeneutik, sebagaimana yang telah disebutkan, dan definisi serta redaksi yang bersumber dari para ahli, merupakan suatu pengetahuan yang menyingkap rahasia teks. Menyingkap rahasia menjadi urgen tatkala teks yang ada merupakan teks yang misterius. Apakah rahasia ini bersumber dari teks – sebagaimana pada teks-teks “mutasyahibat” al-Qur’an dapat ditemukan masalah ini – atau berasal dari perbedaan kondisi pembicara dan pendengar dan perbedaan kondisi setiap pendengar antara satu dengan yang lainnnya. Sebagaimana para puak-puak hermeneutik (hermenus) berpikir tentang masalah ini dalam menghadapi kitab suci.
Teks-teks jurisprudensial, sepanjang bertalian dengan masalah fiqih itu sendiri[3], dikenal sebagai furu’uddin. Dan hukum-hukum visual yang ia haturkan pada bidang ibadah atau muamalah. Sebagian teks ini biasanya tidak bersifat misterius; karena ia berurusan dengan kehidupan. Dari sisi lain, tabiat visual menyebabkan dimana dengan perbedaan kondisi si pembicara dan pendengar serta para pendengar masing-masing tidak terjebak pada hal-hal yang mengandung rahasia. Akan tetapi, terkadang terdapat kekurangan, irja’at dan pertentangan dalam teks-teks ini. Misalnya, aturan yang bersifat universal dan ulasan bagian-bagian partikularnya tidak terdapat pada teks aslinya dan atau hukum yang bersifat umum pada satu teks dan pengecualiannya pada teks yang lain dan atau kandungan dua teks yang tidak selaras satu dengan yang lainnya. Masalah ini dan pelbagai masalah yang lain telah diprediksi dan dikerangka dengan kaidah-kaidah dan pendekatan-pendekatan Ushul Fiqih dan tidak ada satu pun misdak yang mengandung rahasia.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hubungan antara faqih (juris) dan teks-teks agama secara fundamental tidak memiliki masalah hermeneutik. Matlab ini merupakan matlab yang jelas. Akan tetapi tidak ada salahnya kita perhatikan dua poin berikut ini:
Poin pertama, kepelikan para teolog Kristen dalam berhubungan dengan Perjanjian Baru (Injil), kebanyakan bertalian dengan prinsip seperti Trinitas. Dan dalam berurusan dengan ahkam syariat Isa As, mereka tidak banyak menjumpai kesulitan. Betapapun dalam konsep keagamaan mereka, tidak terdapat syariat secara rinci dan detil yang diambil dari teks-teks agama. Realitas ini, setidaknya dari sisi pembuktiannya, mereka berkata kepada kita, “Masalah yang berkenaan dengan masalah fiqih di sini tidak bersumber dari teks-teks aslinya yang bersifat non-jurisprudensial.
Kedua, pada bab “muhkam dan mutasyabih” yang merupakan pembahasan interpretatif dan Ulumul al-Qur’an kaum Muslimin dan memiliki latar belakang sejarah yang panjang serta terdapat beragam pendapat yang telah disampaikan dalam masalah ini. Pendapat pertama, kurang-lebih 16 pendapat tentang masalah ini – dimana mereka berkata, “Ayat-ayat muhkamat merupakan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah cabang (furu’uddin) dan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang bertalian dengan perkara-perkara asli (ushuluddin), di antaranya yang berkenaan dengan sifat-sifat Tuhan.”[4]
Pendapat ini – dimana di sini kita tidak ingin menafikan atau membuktikannya – mendukung bahwa penyebutan penafian keburaman dan penafian penerimaan takwil pada ayat-ayat yang berhubungan dengan ahkam, dan yang mengikutinya dalam riwayat-riwayat fiqih, merupakan urusan di kalangan para mufassir kawakan yang juga memiliki latar belakang sejarah dan mereka juga tidak menaruh perhatian yang lebih pada pertanyaan hermeneutik. Jawaban masalah tersebut dapat dijumpai pada “tabiat shuri” teks-teks juriprudensial ketika dibandingkan dengan “tabiat umqi” teks-teks yang berkenaan dengan ushuluddin dan ia terpaparkan berdasarkan suatu pandangan dan motivasi yang lain.
Dari apa yang disebutkan, tidak berarti bahwa Ushul Fiqih Islami tidak perlu diperbaharui dari sisi ini, melainkan di samping dari sisi lain yang tidak menjadi sasaran pembahasan makalah ini,[5] terkadang dari sudut pandang hermeneutik kiwari juga adanya kemungkinan telaah baru dalam Ushul Fiqih. Penulis tidak menafikan kemungkinan ini, namun sepanjang tidak ada pembahasan dan dialog baru dalam masalah ini dan dalam kitab juga yang diterbitkan kurang lebih dua tahun sebelumnya dengan judul “Hermeneutik Kitab dan Sunnah”, kendati dengan judul yang memberikan harapan, tidak nampak tanda-tanda muatan kitab dari sisi ini dan pemanfaatannya dari berbagai sisi,[6] dan dengan memperhatikan watak shuri teks-teks fiqih – yang telah dijelaskan sebelumnya – harapan juga tidak bisa ditambatkan pada masalah ini.
Pertanyaan Kedua dan Jawaban
Apakah pembahasan Ushul Fiqih tradisional dalam kerangka tujuan-tujuan hermeneutik dan keselarasannya bertentangan dengan hermeneutik? Dan apakah perkataan, menafikan atau membuktikan, dalam hubungannya dengan hermeneutik dalam masalah ini, dimana usianya mencapai hingga ribuan tahun dapat dijumpai? Menjawab pertanyaan ini merupakan tujuan penulisan makalah ini dan karena semenjak beberapa tahun yang lalu secara gradual dalam ranah keilmuan Islam telah diuraikan dalam bentuk yang beragam. Bagaimana kecenderungan dan jawaban positif atau negatif terhadap masalah tersebut juga layak untuk diperhatikan dan dipikirkan di sini.
Berkenaan dengan masalah tersebut dapat dikatakan: Terdapat kecenderungan umum, khususnya kecenderungan generasi muda universitas dan seminari keilmuan Islam dimana mereka memiliki selera untuk menjawab seruan baru dan atau paling tidak memandangnya dengan optimisme.
Sambutan attraktif dari tulisan-tulisan seperti ini, misalnya buku yang telah disebutkan sebelumnya dan karya-karya skripsi mahasiswa dalam ranah hubungan antara hermeneutik dan ushul fiqih merupakan indikasi adanya kencendrungan ini.
Tentang sebab-sebab munculnya kecenderungan ini dapat diperlihatkan beberapa alasan yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa kecenderungan ini memiliki alasan dan pembenaran. Di antaranya:
1. Kecenderungan pada sesuatu yang baru, khususnya generasi muda seminari-seminari keilmuan Islam. Kecenderungan ini khususnya karena seminari-seminari yang dimaksud dituding sebagai orang-orang yang tetap berkutat dengan tradisi lama dan bahkan dengan keliru dinamai sebagai seminari ilmu-ilmu kuno, tentu saja semakin menambah bobot kecenderungan ini.
2. Judul matlab ini dalam pembahasan ijtihad dan sejarahnya dimana kondisi dan situasi personal dan sosial menjadi hakim atas pemikiran mujtahid dan mempengaruhi ketika memberikan fatwa. Masyhur bahwa salah seorang juris abad medieval (pertengahan) Islam, tatkala berurusan dengan kemungkinan adanya perubahan fatwa lama ihwal najisnya air sumur (ketika ternodai dengan najis ain) dan juris ini mengambil keputusan untuk mengkaji dalil-dalil naqli (narratif) sekali lagi dan pertama ia memerintahkan supaya pintu sumur yang terdapat di rumahnya ditutup dan mengumumkan bahwa air sumur ini tidak dapat dimanfaatkan. Demikian juga, Mutahhari dalam salah satu ceramahnya dengan judul “Pengaruh Pandangan Dunia Juris dalam Fatwa-fatwanya,”[7] ia bersandar pada contoh kecil ini dimana jika seorang juris hidup dan tinggal di Tehran saja yang hanya menggunakan air yang mengalir dan kurr (ukuran tertentu dalam fiqih) di kota ini, tentu saja ia akan bersikap ketat dalam mengeluarkan fatwa-fatwa yang bertalian dengan masalah ini. Namun apabila juris atau faqih tersebut melakukan muhibah haji, dengan susah payah ia akan menemukan air yang mengalir (jâri) pada masa musim haji. Dalam kondisi seperti ini, seluruh fatwa-fatwanya akan mengalami perubahan.[8]
3. Dikatakan bahwa dalil yang paling jelas atas probabilitasnya sebuah perkara, adalah terealisirnya probabilitas itu. Dengan memiliki kaidah ini dan saksi-saksi hidupnya, nampaknya kita tidak perlu beralih ke belakang hingga abad pertengahan dan kita bisa bersandar pada perumpamaan “air sumur”, kini kita berhadapan dengan beragam fatwa dalam subyek-subyek penting sosial setelah revolusi Islam dimana keseluruhannya merupakan contoh-contoh pengaruh kondisi dan situasi baru, dalam pemikiran seorang mujtahid dan pemahamannya tatkala melakukan istinbath (inferensi) ahkam (plural dari hukum) dari sumber-sumber istinbath hukum agama. Kesemua masalah ini tidak dapat dicampur adukkan dengan masalah hukum sekunder (tsanawi), dan kesemuanya juga tidak bersandar hanya kepada istinbath rasional sehingga hukum-hukum baru semata-mata berurusan dengan istinbath rasional-juriprudensial. Dan teks-teks baru juga belum keluar sehingga mengabrogasi (nasakh) teks-teks sebelumnya dan menjadi sumber hukum baru; namun teks-teks lama itu yang kini menjadi sumber hukum-hukum baru. Pada sebagian masalah ini kita berhadapan dengan dua hukum yang berbeda dalam dua hal yang nampaknya mirip satu dengan yang lainnya. Di antaranya: Sebuah fatwa yang berujung pada aturan keharusan menyerahkan mahar kepada wanita sesuai dengan rating mahar ketika itu (aktual); sementara hukum tersebut dalam urusan penyerahan-penyerahan sekaligus (repel) yang lain pada tahun-tahun sebelumnya tidak diterapkan. Sebagai contoh, apabila Ali memiliki piutang dalam hitungan besar kepada Hasan atau kepada salah satu institusi negara semenjak tiga puluh tahun dan Ali dalam hal ini melakukan penagihan secara berulang, ia tetap belum menerima piutang tersebut sehingga pada akhirnya ia membuat pengaduan, maka hukum untuk penyerahan hutang kepada Ali tidak akan dikeluarkan berdasarkan rating ketika terjadi penagihan (aktual). Demikian juga fatwa tentang kehalalan musik yang dikeluarkan dan diamalkan oleh Imam Khomeini Ra minggu kedua pasca revolusi. Tentu saja semenjak semula disebutkan bahwa hukum (penghalalan musik) tidak termasuk musik vulgar dan yang melalaikan. Namun kondisi hari ini dalam tataran praktis berubah dimana satu jenis musik khusus, berdasarkan dua jenis perilaku dimana contoh luarannya sesuai denga musik vulgar tersebut, mau tidak mau kita harus mengenal dua titel “vulgar yang dibolehkan” dan “vulgar yang tidak dibolehkan” dan salah satunya kita sebut secara melampaui batas sebagai lagu dan yang satunya dimana bentuk dan isinya adalah yang pertama itu sendiri, kita spesifikasi dengan nama-nama sebelumnya. Juga fatwa ihwal kehalalan bunga bank dengan bilangan pada batasan dua puluh empat persen dimana sekali-kali kita tidak dapat sebut sebagai keuntungan dan semuanya juga tidak dalam bentuk partisipasi warga kota; sementara bunga itu sendiri apabila diambil dengan rating yang lebih rendah di pasar bebas akan menjadi mishdaq riba pinjaman (riba qardhi) dan dengan demikian hukumnya adalah haram dan bahkan secara hukum (konvensional) pelaku perbuatan ini patut dikenai sanksi dan hukum.[9] Masalah ini dan masalah-masalah yang lain tidak dapat disebutkan dalam makalah sederhana ini, kesemua hal ini menjadi sumber inspirasi pemikiran ini bahwa kondisi yang berbeda pada pemikiran para mujtahid sebelum terbentuknya pemerintahan Islami dan setelahnya, pada kondisi dan situasi berbeda setelah revolusi memberikan pengaruh pada pemikiran mujtahid. Dan pra-asumsi-pra-asumsi yang ia masukkan dimana dihasilkan dua jenis istinbath dari teks-teks baru, bukan pada dua masa, namun pada masa yang satu. Buki-bukti pengaruh hermeneutik ini, mau-tidak-mau berdampak, sebelum justifikasi (pembenaran) dan apologi yang berdasarkan kepada perbedaan realitas atau ‘itibari subyek-subyek yang ada dapat berpengaruh secara nyata.
4. Redaksi-redaksi yang terdapat pada sebagian kitab rujukan Ushul Fiqih kiwari, dimana para penyusunnya termasuk para juris yang tercerahkan dan familiar dengan kebutuhan zaman, dinukil bahwa diterimanya hibrida (percampuran) antara ushul fiqih dan hermeneutik apakah sikap optimistik para penyusun kitab ushul fiqih terhadap percampuran ini. Di antaranya dinukil bahwa Muhammad Ridha Mudhaffar berkata:
“Yang benar adalah bahwa al-Qur’an memiliki sisi yang beragam secara lahir dan lahiriyahnya dari sisi ini tidak satu bagi setiap orang.”[10]
Ekspresi-ekspresi semacam ini kurang lebihnya dilakukan oleh para pembesar masa lampau dan kiwari dan bahkan penulis menyaksikan contoh-contoh masalah ini pada karya-karya tafsir Shadra Muta’allihin. Namun nampaknya kandungan umum karya-karya tersebut berkenaan dengan perbedaan para pemirsa dari sisi pencerapan kunhi (hakikat) makna tanpa makna itu sendiri dan tingkatannya mengalami perubahan.
Dalil klaim ini adalah pembahasan utama dan resmi ushul fiqih dimana pada kesempatan mendatang akan disinggung contoh-contohnya. Demikian juga, perbedaan yang dilakukan oleh Muhammad Baqir Shadr antara literal secara esensial (zhuhur adz-dzati) dan literal secara subyektif (zhuhur maudhu’i).[11] merupakan dalil yang jelas bagi klaim ini.
5. Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas memiliki sisi eksistensial. Akan tetapi sebagian dari kekurangannya – dimana hal ini sejatinya berdimensi non-eksistensial – juga ditemukannya kecenderungan terhadap hermeneutik pada orang-orang yang menelaah ushul fiqih sangat berpengaruh, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Lafaz “tafsir” dan “takwil” dalam bahasa al-Qur’an memiliki latar belakang sejarah, tapi sayangnya, belum diberikan makna secara jelas. Lafaz ini dan semisalnya – seperti , “fahm”, “idrak”, “inferensi”, dan “istinbath” yang berkembang pada refrensi-refrensi tafsir dan ushul fiqih baru dan lama, pada kegiatan penerjemahan hermeneutik banyak digunakan, tanpa pada masalah tersebut, juga belum didefinisikan dengan benar.
Ketiadaan definisi yang akurat dan kata ini telah berkembang sebelumnya, telah membuka jalan bagi pemikiran hermeneutikal dan tinggal di situ dimana para imigran Barat dan orang-orang asing, pada sebuah kota hunian, seukuran rumah kosong dan tanpa penghuni untuk istirahat dan – terkadang tinggal di tempat itu dan tinggal di tempat itu untuk selamanya.
Faktor-faktor ini dengan lampiran poin ini dimana pada hermeneutik dan bab lafaz-lafaz dalam ushul fiqih secara umum bercerita ihwal “hubungan antara lafaz dan makna”. Dan kesatuan subyek atau masalah ini telah menjadi sebab dekatnya atau terciptanya hubungan satu dengan yang lain, dan membuka jalan rapuh hermeneutik menuju ke gerbang ushul fiqih.
Akan tetapi dengan semua ini, penulis dalam hal pemikiran ini sepanjang berkaitan dengan warisan tradisional dan hidup ushul fiqih, sebenarnya merasa “was-was” akan tetapi jika tidak berurusan dengan apa yang ada dan berada pada tataran membuka bab baru dalam masalah ini, tentu masalahnya akan menjadi berbeda. Dan hal ini merupakan terobosan yang dapat diterima. Penjelasan klaim pertama ini Anda dapat simak pada kelanjutan makalah di bawah ini.
Hipotesa Makalah
Hipotesa yang jelas dan terang yang kini kita bahas, dengan melakukan tinjauan global terhadap bab-bab ushul fiqih, dan bersandar pada bab-bab tersebut: Pembahasan tradisional ushul fiqih merupakan lafaz yang sedemikian rupa ditata dan berada dalam kerangka dimana jalan untuk memandang dengan pandangan hermeneutik tertutup.”
Untuk membuktikan klaim ini, sebagai mukaddimah perbedaan antara “madlul” dan “murâd” harus kita perhatikan.
Apabila pertanyaan ini diutarakan: Apakah yang membentuk makna: maksud (murâd) si pembicara atau madlul (petunjuk) dari ucapannya? Apa yang harus dikatakan dalam menjawab pertanyaan ini? Jelas bahwa maksud (murâd) dan petunjuk (madlul) terkadang terdapat sesuatu dan pada tataran tersebut jawaban apapun yang Anda berikan tidak ada bedanya namun kemungkinan juga ada ambiguitas, sedemikian sehingga apa yang menjadi madlul adalah ucapan, bukan maksud dari pembicara dan apa yang menjadi murâd (maksud) bukanlah petunjuk (madlul) resmi.
Madlul (petunjuk) tersedia melalui jalan bahasa, kaidah-kaidah gramatikal, semantik dan sastra. Dan tidak berada di tangan si pembicara dan pemirsa dan bahkan apabila seorang pembicara berada dalam keadaan tidur atau mabuk atau gila atau bercanda, berkata sesuatu tanpa adanya kehendak serius, kembali yang ditengok adalah petunjuk (madlul) ucapannya.
Akan tetapi dikarenakan kita ketahui bahwa tidak ada kehendak atau kehendak serius terhadap madlul ini, kita tidak akan memperhatikan ucapan ini.[12] Namun (murâd) berada di tangan pembicara dan bahkan terkadang seorang pemirsa sedemikian ia memahami (karena sebelumnya telah diberitahu) maksud pembicara juga turut campur tangan dalam masalah ini. Sebagai contoh, seorang kepala kantor berkata kepada penjaga: Setiap saat saya mengingingkan air di hadapan orang-orang yang merujuk, artinya: Bukalah pintunya dan katakanlah pada orang-orang yang berada di luar menunggu.
Atau seorang filosof yang membuat istilah untuk dirinya, atau Syâri’ Islam lafaz-lafaz seperti salat dan zakat dalam maknanya yang khusus disebut sebagai realitas-realitas syar’i, semua itu mendapatkan batasan dan kesemuanya merupakan “murâd” (maksud) yang sebelumnya telah diketahui yang secara gradual pada tingkatan tertentuakan berubah menjadi “madlul”.
Namun apabila kita berasumsi “murâd” secara mutlak, sebagai makna ucapan dan pemirsa hanya bertugas untuk menyingkap “murâd” itu sendiri, tanpa diragukan pangkal dan pokok (pembicaraan) keluar dari jangkauan pemirsa dan kenyataan yang ada adalah tidak ada ucapan yang akan memiliki makna sama sekali – makna yang dikenal pada urf bahasa. Oleh karena itu dalam menjawab pertanyaan bahwa apakah “makna” itu”? Kapan saja terjadi fluktuasi di antara “murâd” dan “madlul” dan kita beranjak kepada madlul, makna akan menjadi lebih jelas. Pertanyaan mengapa begini dan mengapa begitu tidak digunakan lagi. Dan apabila kita memberikan preferensi pada sisi “murâd” problem dan kekaburan semakin bertambah dan membuka ruang untuk beragam dalih, di samping itu bila ucapan “madlul” sepanjang masa dan pada lintasan kondisi yang beragam akan terbukti dan sedikit mengalami perubahan, “makna” akan menjadi lebih jelas dan semakin kokoh. Intervensi “murâd” dan perubahan yang tidak diprediksi sebelumnya dan juga perubahan gradual “madlul” dengan berlalunya waktu dan berubahnya tempat dan kondisi yang lainnya, membuka jalan lapang bagi pandangan hermeneutik dan stabilitas hipotesisnya menutup atau membatasi kedua jalan tersebut.
Upaya para ahli ilmu Ushul (ushuliyyun), dengan saksi-saksi fundamental yang telah dibangun semenjak awal dalam bidang ushul fiqih, lebih memilih “madlul” dan sepanjang tersedia peluang, mereka mencoba menemukan berbagai “madlul” dari lafaz-lafaz al-Qur’an dan al-Sunnah, dan mengingat wilayah madlul sedemikian luas dan memberikan kesempatan kepada pembicara untuk berhenti kapan saja yang ia kehendaki di sepanjang wilayah madlul tersebut, mereka berusaha menemukan halte-halte khusus dan berasumsi bahwa pembicara berdiri (berhenti) pada suatu tempat tertentu. Halte-halte ini biasanya dikenal sebagai “qadr mutayaqqan” (kadar yang pasti). Oleh karena itu apabila ditemukan bukti-bukti yang cukup untuk membuktikan klaim ini dalam teks ushul fiqih, dapat diambil kesimpulan bahwa orang-orang Ushul kita memiliki sikap yang berbeda yang telah ditentukan semenjak awal di hadapan hermeneutik. Sekarang mari kita perhatikan bukti-bukti sistematis dari bab ini:
A. Penetapan Berbagai Lafaz
Pada permulaan kitab ushul fiqih dibahas penetapan pelbagai lafaz untuk makna dan pertanyaan-pertanyaan diutarakan dan dijawab secara ringkas.
1. Penetapan lafaz untuk makna dan pembentukan dal (yang menunjuk) dan madlul (yang ditunjuki) dengan ditambahkan tiga jenis dalalah (petunjuk).
2. Bagian-bagian penetapan lafaz dari isi luas dan terbatasnya makna, yang pada tingkatan probabilitas berujung pada empat bagian; penetapan umum (wadh’e am) dan maudhu lah am, wadh’e khas (penetapan khusus) dan maudhu lah khas, wadh’e ‘am (penetapan umum) dan maudhu lah khas, dan sebaliknya. Akan tetapi bagian keempat tidak rasional dan tidak memiliki contoh luaran (misdhaq).
3. Makna-makna yang langsung dan tidak langsung atau dengan kata lain, nomina (ism) dan preposisi (harf).
4. Makna naratif (khabari) dan imperatif (insya’i) atau makna haiati.
5. Makna hakiki (haqiqi) dan figuratif (majazi) dan alamat-alamat hakiki (alaim haqiqi) dan kondisi-kondisi figuratif (syarait majaz).
Rangkaian pembahasan di atas memuat poin-poin yang penting dalam bab dalalah alfaz (petunjuk lafaz-lafaz) dan kaum ushuliyyun melakukan beragam riset ihwal bab tersebut dimana karya mereka dapat kita saksikan hari ini.[13]
Rangkaian ini, terlepas dari pandangan khusus yang disampaikan masing-masing dari periset ini, juga mengandung satu jawaban universal pada pertanyaan makalah ini. Dan jawaban itu adalah sumber dan kriteria penggunaan makna dari lafaz adalah penetapan (wadh’e).
Pada setiap penetapan bahasa, lafaz dikenal sebagai dâl (yang menunjukkan) dan kebalikannya bukan maksud (murâd) pembicara dan bukan “fahm” (pemahaman) khusus pemirsa, melainkan “madlul” (yang ditunjukkan) yang sebelumnya telah ditentukan dan antara pembicara dan pemirsa mau tidak mau dalam kisaran dal dan madlul berhadap-hadapan, serta melakukan interaksi tafhim (memahamkan) dan tafahum (saling memahami). Beralih dari jalan ini dalam pandangan ushuliyyun tidak dibenarkan dan sumber kesalahan, apakah itu sifatnya dalam kerangka ikhtiar atau non-ikhtiar dan bersumber dari berbagai pra asumsi pemirsa. Dalam hukum universal ini seluruh pemirsa, jauh dan dekatnya, berada satu tingkatan dan musytarak (common), kecuali pemirsa yang jauh, boleh jadi berada pada situasi syak dan ragu dalam memaknai lafaz ketika disampaikan. Dan terpaksa melakukan pencarian. Namun pencarian ini berada pada level “madlul” dengan asumsi bahwa maksud pembicara juga terpaksa harus menyesuaikan dengan “madlul” lafaz ketika lafaz itu disampaikan.
Di sini kemungkinan paling maksimal adalah kebalikannya: pembicara melepaskan makna hakiki dan berbicara dalam bentuk figuratif (majazi) akan tetapi hal ini juga memiliki pakem yang telah ditentukan sebelumnya dan untuk beralih dari pakem tidak di tangan pembicara dan pemirsa.
Pada salah satu kitab yang muktabar (diakui) akhir-akhir ini, setelah ingin menjelaskan secara rinci dan detil masalah dalalah alfaz (petunjuk lafaz-lafaz), pada pasal yang berbeda, menuturkan matlab ini: Apakah kehendak pembicara pada makna lafaz mufrad atau rangkapannya telah diperhatikan atau tidak? Dan dalam menjawab pertanyaan ini, disebutkan: tuntutan riset menyatakan bahwa lafaz-lafaz ditetapkan untuk makna-makna “ril”. Terlepas apakah ada kehendak atau tidak; dan kehendak tidak memiliki campur tangan dan intervensi sebagai syarat dan jawaban syarat, dalam masalah ini.[14]
B. Riset dalam Wilayah Makna
Apa yang diutarakan tentang penetapan lafaz (wadh’e lafz) dalam ushul fiqih bersifat universal dan tidak terkhusus pada lafaz tertentu. Akan tetapi ketika maklum sumber dan kriteria ifadah dan istifadah makna antara pembicara dan pemirsa adalah wadh’e, yang digunakan oleh kaum ushuliyyun, tentang bagaimana penetapan (wadh’e) merupakan bagian dari lafaz-lafaz khas dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan Ushul Fiqih. Dan sejatinya, dalam wilayah makna mereka melakukan riset, pembahasan ini pada mulanya tidak terkhusus pada ushul fiqih saja, melainkan dalam setiap hermeneutik – bersifat umum atau spesifik – dapat diutarakan, akan tetapi dalam ushul ia memiliki aplikasi yang khusus. Dan di sini ia memiliki signifikansi bagi kita dimana semuanya memperhatikan madlul. Pembahasan yang paling penting dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah lafaz-lafaz ibadah dan muamalah telah ditetapkan untuk bentuk-bentuk yang sahih dan sempurna atau kandungan penetapannya lebih umum dari sahih, fasid, sempurna dan cacat? Sebagai contoh dikatakan: “Salat” atau “nikah”, apakah madlulnya adalah salat dan nikah yang sahih yang memiliki efek syar’i atau termasuk salat dan nikah yang batil juga.[15] Pembahasan ini disebut sebagai pembahasan “sahih dan a’am”.
2. Apakah sifat-sifat yang diambil dari verba atau derivat (mashdar)[16] termasuk berada dalam kawasan “dalalat”nya yang memiliki sifat pada masa disampaikannya lafaz tersebut, atau lebih umum dari hal tersebut? Pembahasan ini, yang populer disebut sebagai “musytaq”, merupakan pembahasan penting dalam ushul fiqih dan masing-masing jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan asli, ia memiliki kesimpulan khusus dalam bab-bab yang beragam ilmu fiqih.
3. Apakah klausul amar (perintah) secara mutlak dapat digunakan untuk “menunjukkan” kewajiban (wajib untuk dilakukan) atau istihbab dan atau ideal dan dalam hal ini setiap kewajiban dan istihbab, ditentukan melalui indikasi lafzi dan maqami bersama “amr”?[17] Pembahasan “amr” merupakan pembahasan lafaz yang penting dalam bidang ushul fiqih dan pembahasan cabangnya, diutarakan di dalamnya dimana seluruh pembahasan ini sebagai kesimpulan menjadi fokus pembahasan makalah ini, ia memiliki status hukum pembahasan asli, di antaranya; pembahasan ulangan dan repetisi,[18] segera (harus segera dikerjakan) dan belakangan (dapat ditunda)[19], pendahuluan yang diperintahkan (ma’murun bih)[20], larangan kontra ma’murun bihi[21], dan pembahasan tabiat dan fard.[22]
4. Apakah klausul “nahi” (larangan) menujukkan pada keharaman atau makruhnya sebuah perbuatan, dan atau menujukkan pada maghbudhiyat (dimurkainya)[23] secara mutlak dan barometernya harus ditentukan oleh qarinah lafzi dan maqami? Pembahasan asli di sini memiliki kemiripan dengan pembahasan imperative (amr) dan disinggung kebanyakan dalam cabang pembahasan imperative (amr).[24]
5. Apabila sebuah hukum distipulasi dengan syarat atau sifat atau tujuan tertentu, apakah “madlul” yang distipulasi adalah apabila syarat, sifat atau tercapainya tujuan tertentu ternafikan, maka hukum juga akan ternafikan? Pembahasan ini, sesuai dengan tuntutan lahir lafaz atau apa yang diucapkan (mantuq), berlalu dan terfokus pada selain yang lahir yang disebut sebagai pembahasan “mafahim” (pemahaman). Oleh karena itu, redaksi “mafhum” di sini merupakan kebalikan dari redaksi “mantuq” dan lebih bersifat khusus dari mafhum dalam pandangan urf.[25]
6. Pembahasan ihwal umum dan khusus, mutlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan dan masalah-masalah cabangnya. Dalam titel-titel pembahasan ini yang dari sisi definisi dan aplikasi satu dengan yang lainnya saling berdekatan setelah pendefinisian kosa kata dan pembagian-pembagianya, yang menjadi pembahasan selanjutnya adalah hubungan masalah tersebut dengan yang lain dan fokus seluruh pembahasan adalah apa “madlul” masing-masing dari tandem ini dalam hubungannya antara satu dengan yang lain? Sebagai contoh dalam pendefinisian mufradat bab ini disebutkan bahwa klausul plural (jamak) apabila dalam bentuk alif lam “menunjukkan” pada umum istigraqi; artinya seluruh person termasuk di dalamnya. Dengan pembahasan ini diketengahkan bahwa penyampaian-penyampaian umum sepeti “Ya ayyuhan nas” dan “Ya ayyuhalladzina amanu” berdasarkan “madlul-nya” apakah termasuk orang ketiga tunggal pada masa dan tempat disampaikannya seruan itu atau terkhusus pada yang hadir saja (orang pertama tunggal)?
Dengan memperhatikan bahwa judul pembahasan dan kualitas deskripsinya pada seluruh hal-hal yang disebutkan di atas, tidak dibolehkan sekecil apa pun perhatian terhadap “murâd” pembicara dan “pelbagai pra-asumsi yang berlaku atas pemahaman pendengar” dan atau dengan kata lain, pembicara dan pendengar bertugas bahwa dalam batasan “dalalah” lafaz-lafaz mengadakan hubungan antara satu dengan yang lain, dan hukum ini sedemikian mutlak dikeluarkan sehingga, menurut anggapan mereka, seakan-akan setiap jeda dan perbedaan kondisi antara pembicara dan pemirsa tidak memiliki efek dan dapat dihapus.
C. Hal-hal yang diragukan kelompok-kelompok ambigu pembahasan lafaz yang telah disinggung sebelumnya, dan kaidah-kaidah serta gramatika yang dikemukakan dalam pembahasan lafaz dalam kitab ushul fiqih, seluruhnya berada dalam kondisi normal; artinya asumsinya adalah bahwa juris dalam melakukan operasi istinbath hukum dari teks al-Qur’an dan Sunnah, ia memerlukan sebuah aturan praktis dan harus mengetahui tugasnya sebagai seorang pribadi yang menjadi pendengar (objek khitab al-Qur’an dan Sunnah) atau termasuk keseluruhan (kulliyat) yang terdapat dalam teks. Namun terkadang taklif (tugas syar’i) jelas kedudukannya akan tetapi juris karena sangsi dalam penggalan tipologi dan kondisi-kondisi yang berlaku atas waktu dan tempat keluarnya teks, tidak mengetahui aturan mana yang harus diterapkan? Sebagai contoh teks berada di hadapannya dan ia mengetahui madlul hakiki dan penggalan dari beragam madlul majazi yang selaras dengan teks namun ia tidak mengetahui apakah dialog antara pembicara disertai dengan indikasi (qarinah) non-lafzi dimana makna yang digunakan adalah makna majazi sebagai ganti makna hakiki atau ucapan itu telah disampaikan dalam kondisi normal? Dalam masalah demikian juga kaum ushuliyyun dalam rangka menentukan taklif mereka menggunakan kaidah dimana menurut keyakinan mereka sesuai tuntutan urf dan bana uqalai (paradigma orang-orang berakal) dalam mengaplikasikan lafaz-lafaz.
Kaidah ini juga seperti kaidah-kaidah sebelumnnya seperti sebagian “madlul” dan struktur bahasa yang digunakan dan diusulkan serta tidak ada hubungannya dengan kondisi khusus pembicara dan pendengar dan secara sengaja dalam bentuk seperti ini:
1. Prinsipalitas hakikat, tatkala terjadi keraguan antara makna hakiki dan setiap makna majazi.
2. Prinsipalitas umum, tatkala hadir keraguan antara tetapnya umum atas keumumannya atau keluarnya sifat keumumam dikarenakan adanya eksepsional-eksepsional yang mungkin.
3. Prinsipalitas kemutlakan, manakala terjadi keraguan antara tetapnya itlaq nomina spesis dan stipulasi yang disebabkan oleh setiap jenis stipulasi.
Perlu disebutkan bahwa kaidah yang berlaku ini berguna ketika terjadi keraguan, dan kaidah ini biasanya tidak dikhususkan pada pasal khusus dari ilmu ushul fiqih dan hal ini barangkali dikarenakan kejelasan atau kuatnya intensitas keterikatannya kepada ilmu bahasa. Akan tetapi pada pembahasan lafaz yang lain, terkadang seiring dengan kaidah ini dan kaidah-kaidah yang serupa (seperti prinsipalitas zhuhur dan prioritasnya non-indikasi dan semacamnya(, hal ini disinggung dan dijadikan sandaran.[26]
Kesimpulan
Dari apa yang dijelaskan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut bahwa ulama ushul fiqih Islam, semenjak masa terdahulu hingga hari ini bukan hanya tidak memiliki kekuatiran terhadap hermeneutik dan bahkan biasanya mereka tidak terlalu memperhatikan masalah ini, sebaliknya secara praktis mereka membangun fondasi dimana keharusan mengetahui atau tidak mengetahui masalah tersebut, menafikan pandangan hermeneutik dan memandang cukup penetapan bahasa di samping penggalan kontrak-kontrak syariat dalam memahami maksud-maksud teks-teks keagamaan pada setiap masa dan kondisi masa lalu dan masa kini dan masa depan, dan atas alasan ini mereka menyuguhkan pelbagai riset dan pakem-pakem ushul fiqih – dan di antaranya adalah pembahasan yang kini sedang dibahas – secara mutlak, bukan dimaksudkan untuk kondisi khusus.
Kiranya klaim ini, yang menjadi hipotesa utama makalah ini, setelah penjelasan tiga macam pembahasan lafzi ushul fiqih dan kaidah-kaidah yang digunakan di dalamnya, menjadi jelas dan kini kita dapat akhiri pembahasan ini dengan menyebutkan beberapa poin penting:
1. Klaim di atas dan pembuktiannya melalui kandungan ushul fiqih lafzi, dilakukan berdasarkan kepada apa yang berlaku secara umum dan ghalib. Dan hal ini tidak bermakna bahwa singgungan betapapun singkat dan sekelebatan – yang dianggap sebagai penegasan pandangan heremenetik tentang masalah tersebut – khususnya pada dasawarsa terakhir – tidak terjadi. Sebagaimana contoh sederhana yang telah disebutkan di atas. Akan tetapi harapan koordinasi seluruh pihak atau yang mendekati di antara ushul fiqih tradisional – Syiah dan pandangan hermeneutik kiwari, sekali-kali tidak akan membuahkan hasil. Poin ini merupakan tujuan utama penulisan makalah ini dan nampaknya telah dibuktikan dengan dalil-dalil yang memadai.
2. Dalil-dalil pandangan yang kontra terhadap hermeneutik dalam ushul fiqih tradisional tidak dapat dibatasi pada apa yang telah disebutkan, dan terkadang dengan ketelitian dan keseriusan yang lebih, poin pendapat seperti ini dalam pembahasan yang lain, dapat dilakukan istinbath atasnya. Apa yang telah disinggun dalam makalah ini hanya dalil-dalil yang terang dan kelas utama dari klaim ini.
3. Pandangan kontra hermeneutik ushul fiqih tradisional hanya dengan satu “sunnah” di antara sunnah yang lain yang dapat dijadikan tema pembahasan, memperbaharui pendapat, penyempurnaan dan bahkan dapat dikritisi. Namun harus diperhatikan bahwa pekerjaan ini dilakukan dengan modal apa dari pembahasan dan penalaran. Dan berujung kepada kesimpulan yang bagaimana, apa yang ditetapkan sebagai sunnah di sini dan apa batasannya – dalam batasan tujuan-tujuan tipikal ushul fiqih – yang bersifat urgen dan produktif.
4. Masalah lahir dan batin serta fenomena historis takwil yang mengemuka dalam bidang ulumul Qur’an dan tafsir, selaras dan sejalan dengan pembahasan hermeneutik. Akan tetapi pertama-tama, bukan judul-judul yang disebutkan dalam fiqih dan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa hal ini tidak dapat berlaku dalam fiqih, berdasarkan tabiat visualnya. Kedua, pengajuan judul-judul ini dalam tafsir dan ulumul Qur’an juga pada gilirannya merupakan penegas pandangan ushul fiqih tradisonal; lantaran kaidah diterimanya “lahir” bermakna bahwa ada poin yang mengarah kepada “batin” dan asumsi hadirnya dua jenis dan dua tingkatan yang berbeda dari makna dimana salah satunya merupakan yang utama dan yang lainya adalah yang bersifat takwil, hal ini dengan sendirinya merupakan perlambang keyakinan pada stabilnya makna berdasarkan “madlul” lafaz.
[1] . Penyifatan ini dengan menggunakan terjemahan-terjemahan yang ada akan tetapi karena alasan yang telah disebutkan tadi, alih-bahasa ini kurang akurat dan realistis.
[2] . Untuk penjelasan lebih jauh pandangan Gadamer dan kritikan atasnya dan penyifatan secara global pandangan para pemikir lainnya dalam disiplin ilmu ini dalam bahasa Persia, silahkan Anda merujuk ke: Fashl Nâme Kitâb-e Naqd, no. 5 & 6, makalah Abdulhussein Khusrupanah yang bertajuk “Nazhariye Ta’wil wa Ruikard-e A^n.”
[3]. Akan tetapi apabila dilakukan istinbath yang lain dari teks fiqih, misalnya dalam bidang Irfan, maka matlabnya akan menjadi lain.
[4]. Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, surah A^li ‘Imrân (3):7.
[5]. Seperti keharusan penggunaan pendekatan ilmu-ilmu empiris dan humaniora baru dalam pendahuluan istinbath hukum-hukum. Poin ini juga terdapat pada “Hermeneutik Kitab wa Sunnat,” karya Muhammad Mujtahid Syabestari.
[6]. Buku yang dimaksud oleh penulis telah mendapatkan kritikan dan evaluasi secara luas, dan poin lemah dan kuatnya sedapat mungkin disebutkan. Ulasan poin kritis ini yang tidak disebutkan dalam kitab yang dimaksud tidak bertitik tolak dari Ushul Fiqih tradisional dan juga bukan sebagai bab baru yang diambil dari luar, tidak dapat dibahas di sini. Untuk penjelasan lebih jeluk, silahkan lihat jurnal Kitab-e Naqd, no. 5 & 6.
[7]. Syahid Muthahhari, Dah Guftâr, Intisyarat-e Shadra, hal. 100.
[8]. Contoh yang disebutkan adalah berhubungan dengan empat puluh tahun yang lalu: Ceramah ini disampaikan pada 1 Urdibehesyt 40, seminggu pasca wafatnya Ayatullah Burujerdi.
[9]. Disebutkannya tiga contoh di atas tidak bermuatan kritikan namun sekedar penyuguhan bukti-bukti.
[10]. Danesygah-e Tehran, Danesykadeh Ilahiyyat wa Maarif-e Islami, Risyte Falsafeh wa Kalam-e Islami, Jabbar Aminin Kak Abadi, disertasi doktoral yang berjudul “Danesh Hermeneutik wa Ilmu Ushul.” (Hermeneutik dan Ilmu Ushul), hal. 119, yang menukil dari Ridha Mudhaffar, Ushul Fiqh, jil. 2, hal. 159.
[11]. Idem, hal. 118, yang dinukil dari: Durus fi ‘Ilm al-Ushul, al-Khalaqah ats-Tsalitsah, al-Qism al-Awwal, hal. 7 dan 267.
[12]. Terdapat bab yang bermanfaat dalam Ushul Fiqih yang bertajuk “Aya Dalalat Alfaz Tabi’ Iradah Ast? (Apakah Konotasi Alfaz Mengikut Kepada Kehendak?). Merujuk ke bab yang dimaksud untuk mendapatkan penjelasan rinci sangat berguna. Penulis memiliki makalah tentang masalah ini yang telah dicetak oleh Universitas Allamah Thaba-thabai.
[13]. Misalnya: Imam Khomeini Ra, Tahdzib al-Ushul (Taqrirat Durus, Ayatullah Ja’far Subhani), jil. 2, hal-hal 14-60, Muassasah Nasyr-e Islami, 1363, Qum.
[14]. Idem, hal-hal. 49.
[15]. Idem, hal-hal. 66-91.
[16]. Beranjak dari perbedaan bahwa apakah dalam satu rumpun keluarga sebuah lafaz yang termasuk di dalamnya verba (fi’il), mashdar (derivat), sifat (ajektif) dan yang menjadi sumber derivasi verba (fi’il) atau derivat (mashdar)?
[17]. Idem, hal-hal. 135-146.
[18]. Apakah perintah (amr) menunjukkan kepada sekali perbuatan atau berulang kali atau ia bersifat mutlak?
[19]. Apakah perintah (amr) menunjukkan kepada perbuatan yang harus segera dilakukan atau bersifat mutlak (kapan saja)?
[20]. Apakah perintah terhadap sebuah perbuatan juga mengandung makna perintah terhadap hal-hal yang menjadi pendahuluan dari perbuatan tersebut?
[21]. Apakah perintah terhadap suatu perbuatan mengandung larangan terhadap kebalikan dari perbuatan tersebut?
[22]. Apakah ikutan (muta’allaq) klausul perintah, Thabiat dari yang diperintahkan atau afradnya?
[23]. Penggunaan “Maghbudiyat” makna secara teknis sebagai kebalikan dari “Mathlubiyat.”
[24]. Ayatullah Burujerdi: Nihâyat al-Ushul (Transkripsi oleh Ayatullah Muntazheri), hal-hal. 220-223, Hikmat, 1375, Qum.
[25]. Idem, hal. 261-283.
[26]. Di antaranya: Syahid Muhammad Baqir Shadr, Durus fii ‘Ilm al-Ushul, al-Khalaqah ats-Tsalitsah, Dar al-Kitab al-Lubnani dan Dar al-Kitab al-Mishri, hal-hal. 265-276.