Al Quran Pertama di Eropa dan Wajah Toleransi Kita
Ida ridwanJika melihat catatan dalam beberapa literatur sejarah Jerman, sebenarnya Islam sudah lama dikenal di kawasan ‘jerman lama’ yang pada waktu itu tata kehidupan bernegara masih berbentuk kekaisaran Romawi Jerman ( Römisches Deutsches Reichs). Di penghujung abad ke 8 (th 801), mulai terjalin hubungan antara Khalifah Harun Al-Rasyid dengan Kaisar Karls des Großen. Sebagai simbol persahabatan, Khalifah menghadiahkan seekor gajah putih yang diberi nama “Abul Abbas” kepada sang Kaisar. Peristiwa ini diabadikan dala bentuk lukisan yang berjudul “Elephant and Castle” yang kini disimpan di musium Del Prado, di Madrid, Spanyol. Kontak pertama dengan dunia Muslim tersebut dilanjtkan oleh Kaisar Freiderich II yang turut membawa pengaruh Islam dalam perkembangan budaya di Jerman. Arsitektur bergaya Byzantium pada bangunan-bangunan lama di kawasan Eropa adalah salah satu contohnya.
Di abad ke 17, Abraham Hinckelmann (1652-1695), seorang Doktor Teologi Protestan yang juga seorang orientalis serta pernah mengepalai sebuah SMA di Lübeck (sekarang di kawasan Jerman Utara), pada tahun 1694 di Hamburg, telah menterjemahkan Al Qur’an secara lengkap dari bahasa Arab ke dalam bahasa latin dengan judul “Al-Coranus sive Lex Islamitica Muhammedis”. Penerbitan Al Qur’an yang ditulis oleh Hinckelmann ini dilakukan oleh seorang pemilik penerbitan bernama Benjamin Schiller, untuk kemudian dipasarkan secara luas ke seluruh Eropa. Bahasa Jerman pada waktu itu belum dikenal. Penduduk kawasan ‘Jerman lama’ menggunakan bahasa latin sebagai bahasa komunikasi antar bangsa. Terjemahan Al Qur’an karya Hinckelmann ini bukan merupakan yang pertama Untuk kawasan Eropa. Sebelumnya , dilakukan penerbitan Al Qur’an di Venezia – Italia pada tahun 1537/38.
Yang menarik dari catatan sejarah ini, sebagaimana ditulis oleh Eckart Klessmann dkk. dalam buku “Sejarah Kota Hamburg” (Geschichte der Stadt Hamburg, 1981), penerbitan Al Qur’an secara lengkap dan disampaikan kepada publik Eropa ini terjadi justru pada saat warga kota Hamburg masih belum lupa dengan pengalaman pahit mereka terkait kaum Muslim. Masa itu, kota pelabuhan kebanggan mereka sering diganggu oleh bajak-bajak laut berkebangsaan Aljazair dan Turki yang notabene beragama Islam.
Pada masa itu pula, tradisi berdiskusi di pasar-pasar tradisional sambil berjualan dan berbelanja berbagai kebutuhan sehari-hari, sudah menjadi kebiasaan masyarakat kota dagang ini. Gänsemarkt adalah salah satu tempat penyelenggaraan pasar tradisional sekaligus kegiatan budaya dan intelektual yang terkenal pada waktu itu. Dan Islam adalah salah satu tema yang cukup menarik untuk didiskusikan dalam pertemuan intelektual mereka di pasar-pasar tersebut.
“Apakah karena pengalaman buruk yang dilakukan para bajak laut itu, ataukah karena ketertarikan yang begitu besar terhadap Islam hingga Al Qur’an dibawa ke tengah publik di kota pelabuhan ini, adalah hal yang perlu dipertanyakan lebih lanjut,” begitu kata Eckart Klessmann. Peristiwa itu terjadi lebih dari 600 tahun lalu ketika ‘wajah peradaban’ masih jauh lebih sederhana daripada sekarang. Bayangkan, Islam dibicarakan di tengah masyarakat yang tidak mengenal Islam dan tidak beragama Islam. Budaya intelektual yang mencerminkan keterbukaan, rasa ingin tahu akan sesuatu yang baru bahkan aneh sekalipun, serta tidak dianggap sebagai suatu “dosa maupun kesesatan” ketika mengapresiasi sesuatu yang berbeda dengan agama serta budaya mereka, telah menjadi bagian hidup dari masyarakat Hamburg pada waktu itu. Soal apresiasi terhadap Islam itu, bisa saja bermuatan positif maupun negatif, setuju atau protes. Sangat wajar jika masyarakat Hamburg kemudian berkembang menjadi semakin matang dan maju.
Hamburg, sesuai dengan namanya sebagai “Kota Bebas dan Kota Pelabuhan” (Frei & Hansestadt Hamburg), adalah kota yang diwarnai dengan keanekaragaman bangsa, etnis, budaya dan agama. Islam dan kaum muslimin, yang jumlahnya sekitar 4 juta atau 5% dari seluruh penduduk Jerman, diberi ruang gerak yang cukup luas untuk berkembang. Selain karena jaminan UUD Jerman yang mengatakan bahwa “setiap penduduk berhak hidup berdasarkan agama dan keyakinan pribadinya”, juga karena masyarakat Jerman pada umumnya, serta masyarakat Hamburg pada khususnya adalah masyarakat yang terbuka serta memiliki minat yang baik dalam ‘melihat’ sesuatu yang baru atau berbeda.
Islam dalam berbagai topik , termasuk sangat banyak dibicarakan secara terbuka baik di berbagai media maupun di berbagai tingkat atau jenis komunitas masyarakat. Prof. Wolfgang Weiss, Direktur “Akademi Agama-Agama Dunia” yang berada dalam payung Universitas Hamburg, dalam sebuah acara bedah buku tahun lalu mengatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di Hamburg telah berdiri lebih dari 60 mesjid, baik besar maupun kecil. Ini suatu bukti kata beliau, bahwa Hamburg begitu ramah terhadap Islam dan kaum muslimin yang pada akhirnya menunggu partisipasi yang semakin aktif dan positif dari kaum muslimin sendiri untuk ‘mempercantik’ wajah peradaban kota Hamburg sebagai kota tempat tinggalnya. Adanya sikap “Islamophobia” dari kalangan non muslim haruslah dianggap sebagai reaksi yang wajar sekaligus sebagai dorongan untuk menampilkan wajah Islam yang semakin ramah terhadap siapapun.
Tapi, apa yang terjadi dengan masyarakat yang mayoritas Muslim seperti di negeri kita tercinta ini dalam ‘era keterbukaan’ seperti sekarang ini ? Sayangnya, sampai saat ini, tradisi intelektual dan semangat mencari kebenaran secara terbuka, bebas, merdeka serta bermoral, masih banyak dibungkam oleh tindakan menghakimi orang lain yang memiliki pemahaman berbeda dengan dirinya atau kelompoknya. Stigma “sesat” maupun “kafir” lebih mudah dilontarkan oleh mereka yang menganggap kebenaran hanyalah ada pada mereka dan milik mereka. Berbagai kegiatan keagamaan dari kelompok yang berbeda dengan mereka, kerap diganggu, diusik , dirusak dan disakiti. Buku-buku yang dianggap berbeda dengan orientasi keberagamaan mereka, ditarik dari pasaran karena dituduh akan merusak keimanan umat, bahkan ‘menodai agama’.
Itukah yang diyakini sebagai mencari ridha Allah? Bukankah Allah Maha Pengasih, tanpa pilih kasih terhadap setiap mahluk-Nya? Apakah masyarakat seperti ini siap menjadi pilar-pilar peradaban? Kebenaran itu satu. Tapi jangan lupa, persepsi orang tentang “Kebenaran” bisa berbeda-beda. Tuhan itu satu dan Esa. Tapi jangan lupa, persepsi orang tentang Tuhan bisa bermacam-macam. Jalan menuju Tuhan itu satu. Tapi jangan lupa, mereka bisa datang dari berbagai arah. Biarkanlah Allah sendiri yang menerima kedatangan seluruh mahluk-Nya ketika kembali kepada-Nya. Kita tentu amat sangat malu dan ‘tidak beradab’ kalau mau mencoba-coba mengajari Allah Sang Pemilik Kebenaran.
*Penulis alumnus FISIP Unpad, pernah studi sejarah di Universitas Hamburg; saat ini tinggal di Hamburg liputan Islam