Anjing dalam Tradisi Islam dan Alam 1
Diskursus keislaman tentang alam dan kegunaan anjing merupakan medan ketegangan yang terkait dengan peran sejarah, mitologi, rasionalitas, dan modernitas dalam Islam. Kenyataannya, perdebatan seputar kenajisan anjing, dan keabsahan memiliki atau hidup dengan hewan itu, adalah salah satu isu utama yang melambangkan dinamika antara hukum agama yang diwahyukan dan status penciptaan (alam).
Selain itu, aspek-aspek tertentu dari perdebatan ini berada dalam semangat patriarki dan, lebih umum dari itu, konstruksi sosial terhadap elemen yang marjinal dalam masyarakat.
Sama dengan cerita rakyat abad pertengahan di Eropa, anjing hitam, khususnya, dipandang menakutkan dalam tradisi Islam. Menurut salah satu hadis yang ternisbatkan pada Nabi Muhammad, anjing hitam ialah kejahatan, atau bahkan setan, yang berbentuk hewan.
Meskipun riwayat ini merefleksikan sebagian dari mitologi Arab pra-Islam, ia memiliki dampak tertentu pada hukum Islam. Sebagian besar ahli fikih beranggapan hadis itu keliru dinisbahkan kepada Nabi, dan karena itu, hadis itu apokrif (keasliannya diragukan).
Namun demikian, banyak dari diskursus Islam yang terfokus pada hadis Nabi yang memerintahkan bahwa jika anjing, terlepas dari warnanya, menjilati suatu wadah, maka wadah itu harus dicuci tujuh kali, dengan taburan debu di salah satu basuhan.
Versi lain dari riwayat yang sama menerangkan bahwa wadah itu dicuci sekali, tiga, atau lima kali, atau menghilangkan redaksi perintah taburan debu.
Poin penting yang disampaikan dalam riwayat hadis itu ialah bahwa anjing adalah hewan yang najis, atau, setidaknya, bahwa air liur mereka adalah kontaminan yang menghalangi kesucian ritual seorang Muslim.
Permusuhan terhadap anjing, bukan hanya dari segi kenajisan fisik tetapi juga moral, lebih jauh dinyatakan dalam hadis Nabi yang mengklaim bahwa malaikat, sebagai agen belas kasih dan pengampunan dari Tuhan, tidak akan masuk rumah yang memiliki anjing, atau bahwa memiliki anjing mengurangi pahala kebaikan seorang Muslim.
Bias budaya terhadap anjing sebagai sumber bahaya moral mencapai titik ekstrim dalam hadis yang menyatakan bahwa Nabi memerintahkan umat Islam agar tidak berbisnis anjing, dan bahkan membantai semua anjing, kecuali yang digunakan untuk menggembala, bertani, atau berburu.
Berbagai hadis anti-anjing ini mengungkapkan kecemasan sosial, yang secara kultural telah mengakar, tentang aspek-aspek alam yang dipandang sebagai ancaman. Selain itu, wacana tentang anjing memainkan peran simbolis dalam upaya masyarakat pra-modern dalam menyelidiki batas-batas yang membedakan manusia dari hewan . Dalam hal ini, perdebatan tentang anjing menjadi media untuk merundingkan bukan hanya sifat anjing, tetapi juga sifat manusia.
Hal ini paling tampak dalam hadis-hadis yang menciptakan perhubungan simbolis antara unsur-unsur terpinggirkan dalam masyarakat, seperti non-Muslim atau perempuan, dan anjing. Dalam beberapa hadis tersebut diklaim, Nabi mengatakan bahwa anjing, keledai, perempuan—dan dalam beberapa versi, non-Muslim—jika lewat di depan lelaki yang sedang salat, bisa membatalkan salat itu.
Menariknya, otoritas Muslim perdana, seperti istri Nabi, Aisyah, memprotes keras hubungan simbolis antara anjing dan perempuan ini karena ia berimplikasi merendahkan perempuan. Sehingga sebagian besar ahli hukum Islam memutuskan bahwa hadis itu tidak asli, dan bahwa menyeberangnya wanita di depan para lelaki tidak membatalkan salat mereka.
Meskipun ada penisbahan kepada Nabi tentang sejumlah besar hadis yang memusuhi anjing, banyak sarjana Muslim pra-modern, dengan berbagai alasan, menantang orientasi ini. Al-Qur’an, kitab suci Islam, tidak mengutuk anjing sebagai najis atau jahat.
Selain itu, sejumlah besar riwayat perdana, yang mungkin mencerminkan praktik sejarah, bertentangan dengan hadis-hadis yang memusuhi anjing. Sebagai contoh, beberapa riwayat menunjukkan bahwa sepupu muda Nabi, dan beberapa sahabat memiliki anak anjing.
Laporan lain menunjukkan bahwa Nabi salat sementara ada seekor anjing bermain di sekitarnya. Di samping itu, ada bukti sejarah yang cukup bahwa anjing berkeliaran bebas di Madinah dan bahkan memasuki masjid Nabi.
Sebagian hadis yang menarik dan ternisbahkan kepada Nabi juga menegaskan bahwa pelacur, dan dalam beberapa versi, seorang pria yang berdosa, memastikan tempat mereka di surga dengan menyelamatkan kehidupan anjing yang sedang sekarat kehausan di padang pasir.