• Mulai
  • Sebelumnya
  • 23 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 31496 / Download: 568
Ukuran Ukuran Ukuran
ISU-ISU TEOLOGI KONTEMPORER

ISU-ISU TEOLOGI KONTEMPORER

pengarang:
Indonesia
ISU-ISU TEOLOGI KONTEMPORER

18. Apakah Hakikat Kehendak (irâdah) Tuhan itu?
Tidak syak lagi bahwa kehendak dengan makna yang ada pada manusia tidak sama dengan kehendak yang ada pada Allah swt. Karena, manusia terlebih dahulu mengkonsepsikan (tashawwur) sesuatu, meminum air, misalnya, lalu ia menimbang manfaat dari meminum air tersebut. Dan setelah memastikan (tashdiq) manfaat itu, keinginan (syauq) dan antusias untuk melakukan tindakan meminum terwujud dalam dirinya. Dan tatkala keinginan mencapai puncaknya, lahirlah perintah untuk mewujudkannya. Maka ia pun bergerak untuk melakukan pekerjaan tersebut.[1]

Akan tetapi, kita ketahui bahwa tidak satu pun dari konsepsi (tashawwur), afirmasi (tashdiq), syauq (keinginan), perintah, diri (nafs), dan gerakan otot dapat dinisbahkan kepada Allah swt. Karena, semua ini adalah perkara hâdits (sebelumnya tidak ada, kemudian mengada).

Lalu, apakah maksud dari kehendak (irâdah) Tuhan itu?

Dalam hal ini para ulama Kalam dan filsafat Islam mengkaji makna yang sesuai dengan wujud Tuhan yang sederhana; tak tersusun (basîth) dan bebas dari segala macam perubahan ini. Mereka menyimpulkan bahwa kehendak (irâdah) Allah swt. terdiri dari dua bagian:

a. Iradah Dzatiyah (kehendak dalam tahap dzat).

b. Iradah Fi'liyah (kehendak dalam tahap tindakan).


a. Kehendak Dzatiyah
Kehendak dzatiyah Tuhan adalah ilmu terhadap sistem terbaik pada alam penciptaan, dan kebaikan para hambanya terdapat pada hukum syariat.

Ia mengetahui sebaik-baiknya sistem untuk alam semesta. Dan setiap wujud pada setiap tingkatan harus bersifat baru. Ilmu ini merupakan sumber wujud bagi seluruh wujud. Dan kebaruan fenomena-fenomena yang terdapat pada setiap zaman adalah berbeda-beda.

Demikian juga dari sudut pandang hukum, Dia mengetahui letak maslahat seluruh hamba, dan ruh seluruh hukum adalah ilmu-Nya terhadap maslahat dan mafsadat.


b. Kehendak Fi'liyah
Kehendak Fi'liyah (perbuatan) Allah Swt. adalah pengadaan (îjâd) itu sendiri dan termasuk dalam sifat fi'liyah. Oleh karena itu, kehendak Allah Swt. atas penciptaan bumi dan langit adalah pengadaan bumi dan langit itu sendiri. Dan kehendak-Nya atas kewajiban shalat dan keharaman dusta adalah pewajiban dan pengharaman kedua perkejaan itu sendiri.

Pendeknya, kehendak Dzatiyah Allah Swt adalah ilmu-Nya itu sendiri, dan kehendak Fi'liyah Allah Swt. adalah pengadaan itu sendiri.[2]


Catatan Kaki:
[1] Sebagian filsuf beranggapan bahwa kehendak (irâdah) adalah syauq muakkad (keinginan yang sangat). Sementara, sebagian yang lain beranggapan bahwa selain syauq muakkad, ia juga bermakna perbuatan dan gerakan. Dan ia memandang kehendak (irâdah) itu adalah amalan nafsâni. (Perhatikan baik-baik)

[2] Tafsir Payâm-e Qurân, jilid 4, hal. 153.

21
ISU-ISU TEOLOGI KONTEMPORER

19. Kerusakan apakah yang akan Terjadi bilamana Tuhan yang Berkuasa itu Banyak?
Pada ayat 22, surat Al-Anbiya’ [21], kita membaca: “Sekiranya ada Tuhan selain Allah, maka akan terjadi kerusakan dan sistem-semesta akan saling bertabrakan.”

Soal yang mengedepan di sini adalah banyaknya Tuhan akan menjadi sumber kerusakan di alam semesta, lantaran tiap-tiap mereka akan bangkit untuk memerangi satu sama lainnya. Akan tetapi, jika kita menerima mereka sebagai orang-orang bijak dan berpengetahuan, tentu saja dalam mengelola alam semesta ini mereka akan saling bahu-membahu.

Jawaban atas soal ini cukup sederhana. Kebijakan mereka tidak akan menafikan keberbilangan mereka. Ketika kita berasumsi mereka berjumlah banyak, berarti tidak adanya satu pendapat di antara mereka. Karena, apabila mereka adalah satu dari segala sisi, maka konsekuensinya adalah satu Tuhan. Oleh karena itu, jika ada jumlah banyak, pasti terdapat perbedaan-perbedaan dalam perbuatan, kehendak dan efek. Keadaan inilah yang akan menggiring semesta kepada kerusakan. (Perhatikan baik-baik!)

Argumentasi ini menjelaskan argumentasi Tamânu’ dalam rumusannya yang berbeda-beda. Namun, mengupas seluruh argumentasi yang ada bukanlah tujuan pembahasan kita kali ini. Apa yang kami sebutkan di atas merupakan rumusan argumentasi (tamânu’) yang terbaik.

Pada rumusan lain, argumentasi ini bersandar pada proposisi bahwa apabila ada dua kehendak yang berlaku dalam penciptaan, alam semesta tidak akan pernah tercipta. Sementara ayat yang dinukil di atas, berbicara tentang kerusakan jagad dan terjadinya kekacauan dalam sistem semesta, bukan tidak terciptanya atau wujudnya alam semesta. (Perhatikan baik-baik!).

Menariknya, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Hakam dari Imam Ash-Shadiq a.s., ketika menjawab seorang kafir yang meyakini banyaknya Tuhan, beliau bersabda: “Dua Tuhan yang engkau katakan ini, apakah mereka itu qadim atau azali dan kuat, ataukah lemah dan tidak berdaya, atau satunya kuat dan lainnya lemah?

Apabila keduanya kuat, mengapa salah satunya tidak menyingkirkan yang lain dan memikul tanggungjawab mengatur alam semesta? Apabila anggapanmu seperti ini bahwa yang satu kuat dan yang lain lemah, engkau telah menerima Tauhid, karena yang kedua adalah lemah dan tidak berdaya. Dengan demikian, ia bukanlah Tuhan.

Dan apabila engkau berkata bahwa ada dua Tuhan (yang sama-sama kuat), maka asumsi ini tidak akan keluar dari dua kondisi; entah mereka bersepakat dari seluruh sisi atau berbeda. Akan tetapi, ketika kita melihat penciptaan yang sistemik; bintang-gemintang di langit masing-masing bergerak pada orbitnya, silih bergantinya siang dan malam secara teratur, bulan dan matahari bergerak sesuai dengan garis lintasnya masing-masing, koordinasi pengaturan jagad raya dan sistematika hukum-hukumnya adalah dalil bahwa pengaturnya adalah satu.

Terlepas dari masalah ini, sekiranya engkau mengklaim Tuhan ada dua, maka di antara mereka pasti ada jarak (keunggulan) sehingga dualitas itu terwujud. Di sini, jarak tersebut sendiri adalah wujud yang ketiga yang harus azali juga. Dan dengan demikian, Tuhan menjadi tiga. Dan apabila engkau meyakini Tuhan adalah tiga, maka harus ada jarak (keunggulan) juga di antara mereka. Dengan demikian, engkau harus percaya pada lima wujud qadim dan azali. Dan dengan ini, bilangan Tuhan akan semakin banyak, dan masalah ini tidak berakhir dan tak tertuntaskan.”[1]

Permulaan hadis ini mengindikasikan burhan tamânu’, dan di bagian akhirnya terdapat argumentasi lain yang dikenal sebagai argumentasi farjah (berbedanya poin persamaan dan poin perbedaan).

Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa Hisyam bin Hakam bertanya kepada Imam Ash-Shadiq a.s.: “Dalil apa yang dapat membuktikan keesaan Tuhan?” Beliau bersabda, “Sistemika dan koordinasi pengaturan alam semesta dan sempurnanya penciptaan. Demikian Allah Swt. berfirman, ‘Sekiranya langit dan bumi terdapat Tuhan-Tuhan selain Allah, niscaya alam semesta ini akan mengalami kerusakan.” [2]


Catatan Kaki:
[1] Tauhid Shaduq, sesuai dengan nukilan dari Tafsir Nûr ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 417 dan 418.

[2] Idem.; Tafsir Nemûneh, jilid 13, hal. 373.

22
ISU-ISU TEOLOGI KONTEMPORER

20. Apakah Maksud dari Kalam Tuhan itu?
Pada surat An-Nisa’ [4], ayat 164 disebutkan, “Allah berfirman kepada Musa dengan langsung.” Soal yang mengemuka dari ayat ini adalah apakah maksud dari Allah berfirman itu?

Maksud dari Allah Swt. berfirman bukanlah berucap dengan lisan. Sebab, berucap dengan lisan dan dengan suara merupakan aksiden-aksiden (‘awâridh) bentuk (benda). Dan Allah Swt. yang suci dari bentuk dan kebendaan tidak dapat disifati dengan sifat demikian.

Jadi, maksud dari berfirman adalah dengan perantara ilham hati atau pengadaan gelombang suara pada ruang. Dan hal itu tidak mustahil lantaran Allah Swt. mampu mencipatkan gelombang suara pada ruang. Dan gelombang suara ini sampai ke telinga para nabi dan rasul-Nya, dan Tuhan menyampaikan pesannya melalui jalan ini. Firman Allah kepada Musa bin ‘Imran di lembah Wadi Aiman -sebagaimana disebukan di dalam Al-Qur’an- memberikan kesaksian bahwa gelombang suara tercipta di sebuah pohon, dan Musa dipanggil ke arah pohon tersebut.[1]


Catatan Kaki:
[1] Tafsir Nemûneh, jilid 2, hal. 278; Payâm-e Qur'ân, jilid 4, hal. 379.

23