20. Apakah shalat itu? Kenapa kebanyakan para kawula muda menghindar dari melaksanakan shalat?
Shalat merupakan akhir dan puncak suluk setiap salik serta koridor tempat dimana seorang salik bisa berbincang dengan Tuhannya secara langsung dan tanpa perantara.
Allah Swt dalam Quranul berfirman, "Dirikanlah salat untuk mengingat-Ku." (Qs. Thaha [20]:14) Jika ingatan kepada-Nya telah terbentuk melalui shalat, maka kalbu manusia akan menjadi tenang, karena mengingat-Nya akan memberikan ketenangan dan keyakinan dalam kalbu, sebagaimana firman-Nya, "… hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram ..."
Sesungguhnya dengan melakukan shalat, para pelaksana shalat tengah memusnahkan tabiatnya dan menghidupkan fitrahnya, karena salah satu manfaat dan khasiat dari shalat adalah untuk menghidupkan fitrah manusia. Dengan ketenangan yang diperoleh melalui shalat, seorang pelaksana shalat tidak akan pernah terjatuh dalam kehidupan yang lamban penuh kemalasan, dan tidak akan pernah terjungkal dalam kekacauan ketika berada dalam kesulitan.
Shalat adalah sebuah kautsar dan telaga yang akan membersihkan jiwa manusia. Sungguh, jika kita tidak merasakan adanya kesucian, kebersihan, dan pancaran cahaya dalam diri kita dari shalat yang kita lakukan, maka sesungguhnya shalat yang kita lakukan bukanlah shalat yang hakiki. Bisa jadi shalat yang kita lakukan adalah sah dan benar, akan tetapi tidak diterima oleh-Nya. Karena hanya shalat yang dikabulkan dan diterima oleh-Nyalah yang akan mampu membersihkan dan mensucikan jiwa manusia. Dan seseorang baru bisa memfokuskan kalbunya dalam shalatnya ketika dia telah menutup mata dan telinganya di luar shalat.
Shalat adalah pertemuan dengan Sang Kinasih , percintaan dengan Yang Dicinta dan pasrah menyerah di haribaan Yang Dipuja, sedangkan waktu yang terbentang menjadi jeritan rindunya dan tempat keluh kesahnya. Dia akan menemui Pujaannya dengan pujian dan sanjungan penuh kegembiraan, dan di akhir setiap pertemuan, dia akan meninggalkan-Nya dengan salam takzim yang dipenuhi dengan kesedihan dan kerinduan untuk segera bertemu kembali.
Selama kita tidak mengenal dan mengintiminya, selama masih ada yang lain di hati kita dan menyibukkan khayal-khayal kita, kapan kita akan memahami keindahan shalat?
Lompatan maknawi dan mi’raj-nya para ahli makrifat serta para pemilik kalbu adalah shalat. Dan setiap salik yang menuju kepada-Nya (ilaLlah) mengkhususkan shalat untuk dirinya guna menggapai ketinggian maqamnya.[1]
Ketika a-Quran al-Karim mengungkapkan tentang shalat, berfirman-Nya, "Dirikanlah salat untuk mengingat-Ku." Dan Aku akan muncul di dalam ingatan kalian, dengan shalat yang kalian lakukan. Maka dengan shalat dan dengan mengingat-Nya, akan muncul ketenangan kalbu, sebagaimana firman-Nya, "… hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram." (Qs. Al-Ra’ad [13]:28) Dengan demikian, seorang pelaksana shalat akan memiliki kalbu yang tenang, tiada rasa takut terhadap selain-Nya, tidak ada seorang musuhpun baik dari dalam maupun dari luar yang akan mampu mempengaruhinya, karena seorang yang senantiasa melakukan shalat akan senantiasa mengingat-Nya, sedangkan mengingat-Nya akan memberikan ketenangan dan kemantapan kalbu.
Tentang hikmah shalat ini, surah al-Ma'arij ayat ke 19 hingga 23 mengungkapkan firman-Nya demikian,"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan salat."
Fitrah manusia mengajak ke arah tauhid, sedangkan tabiat akan menggiringnya kepada kecenderungan untuk menyimpang dari fitrah. Fitrah dihidupkan oleh para nabi, namun tabiat tidak memberikan apapun selain penyimpangan dan penyelewengan.
Sesungguhnya para pelaksana shalat telah memberangus tabiatnya dan menghidupkan fitrahnya, dan inilah khasiat shalat, karena ia akan menghidupkan fitrah manusia. Pelaksana shalat adalah mereka yang mampu mengendalikan tabiat liarnya, dan dengan ketenangan yang diperolehnya dari shalat, mereka akan menjadi orang-orang yang tidak pernah terjebak dalam kemalasan, tidak berkeluh kesah dalam kesulitan dan tidak kikir ketika mendapatkan kebaikan.[2]
Telah dinukil dari Imam Baqir As dari Rasul Saw yang bersabda. "Ketika seorang hamba Tuhan tengah berdiri untuk melakukan shalat, sesungguhnya Tuhan tengah memandangnya hingga dia menyelesaikan shalatnya. Dia berada dalam lindungan rahmat Ilahi dari atas kepalanya hingga ufuk langit, para malaikat akan mengitarinya dan Tuhan akan memerintahkan kepada para malaikat untuk mengatakan, "Wahai para pelaksana shalat, jika kalian mengetahui siapa yang memandang kalian dan dengan siapa kalian bermunajat, maka kalian tidak akan mempedulikan selain-Nya dan tidak akan memisahkan diri dari keadaan ini."[3]
Keelokan Yusuf yang semu saja telah mampu membuat wanita tenggelam dalam keterpesonaan[4], bagaimana dengan keelokan dan keindahan Yang Maha Indah, dimana setiap keindahan merupakan jelmaan dan bayangan dari keindahan-Nya?[5]
Sayyidus Syuhada Husain As pada petang hari Asyura kepada Abul Fadhl Abbas bersabda, "Malam ini adalah malam Asyura, pergilah kepada kaum itu dan katakan kepada mereka untuk memberikan kepadaku kesempatan satu malam lagi. Karena Allah Swt mengetahui aku begitu mencintai shalat, dan shalat adalah kecintaan dan cahaya mata hatiku."[6]
Ya, sementara orang-orang membanggakan diri dengan mengatakan, "Aku mendirikan shalat." Imam dengan rendah hati mengatakan, "Aku mencintai shalat dan shalat adalah cahaya mata hatiku." Sungguh sebuah kondisi yang sangat jauh berbeda.
Keadaan Imam Sajjad, Imam Baqir As dan para Imam As yang lain pun persis seperti ini, sehingga biasanya putra-putra mereka akan memanfaatkan kesempatan ini untuk bermain. Mereka mengatakan, "Ketika ayah kami tengah melakukan shalat, beliau tidak akan lagi mempedulikan kami sehingga kami bebas untuk membuat kegaduhan yang bagaimanapun."[7]
Suatu hari ketika Imam tengah melakukan shalat, di sekitar kediaman beliau terjadi sebuah kebakaran. Teriakan dan hilir mudik penduduk setempat yang hendak menghentikan kobaran api telah membuat suasana sedemikian gaduh. Dan hal ini berlangsung hingga akhirnya kobaran api berhasil ditaklukkan. Setelah selesai shalat, beberapa penduduk datang menghadap kepada Imam dan bertanya, "Wahai Imam, di sini tadi telah terjadi kebakaran, dan suasana sebegitu gaduh karenanya, apakah engkau tidak menyadari hal ini?" Imam bersabda, "Tidak", bertanya, "Bagaimana bisa?", bersabda, "Sebenarnya aku tengah memadamkan api di tempat lain, dan aku telah memadamkan api di alam sana."[8]
Ya, yang dimaksud dengan shalat adalah kehadiran kalbu, tenggelam, dan kefanaan dzat seorang hamba secara sempurna kepada Sang Khalik, dan terpana dalam menyaksikan Sang Haq.
Akan tetapi, untuk terhubung dengan maqam ini tentu saja membutuhkan begitu banyak kerelaan dan perlawanan dimana jika sedetik saja kita terlena dan tidak menyibukkan diri dengan perintah kalbu maka kita tidak akan pernah sampai pada rahasia shalat.
Namun secara global, orang-orang bijak mengklasifikasikan rahasia shalat dalam enam tingkatan berikut: Pertama: kehadiran kalbu yaitu tidak mengaitkan sesuatupun di dalam kalbunya selain Tuhan.
Kedua: memahami makna bacaan, dzikir, dan tasbih yang terdapat dalam shalat sedemikian hingga kalbu ketika memahami kata-kata tersebut akan bergerak bersesuaian dengan lisan.
Ketiga: mengagungkan, yaitu dalam keadaan shalatnya dia menyadari akan keagungan Tuhan yang disembahnya dan menjadikan-Nya sebagai sumber segala tujuan.
Keempat: takut, yaitu rasa ketakutan menguasai kalbunya dan ia akan berusaha semaksimal mungkin supaya tidak meremehkan dan membuat kesalahan dalam ibadahnya ini.
Kelima: harapan, kedudukan mulia dari wujud-Nya sangat jelas bagi kita dimana dengan rahmat dan kasih sayang-Nya Dia tidak pernah meninggalkan kita dan akan senantiasa mengampuni dosa-dosa yang telah kita lakukan.
Keenam: Malu, yaitu kita menyadari bahwa diri dan ibadah yang kita lakukan merupakan hal terkecil yang kita lakukan di hadapan-Nya. Ibadah kita pada dasarnya merupakan sebuah kerendahan diri dan penghambaan mutlak.[9]
Wahai yang budiman, ini adalah tujuan akhir dari perjalanan dan lintasan setiap salik dan koridor tempat bercakap dengan-Nya tanpa perantara, dan tempat mengulang kalimat mulia "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in". (… hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan)[10]
Ya Allah! Seumpama pohon, gapaian tangan ini tak akan mampu meraih langit kedua-Mu, dan seumpama burung akal ini tak mampu mengepakkan sayapnya hingga ke ketinggian jamal dan keindahan-Mu. Ilahi, siapakah yang akan mampu memahami keagungan-Mu dengan pemahaman akal kecil kami, dan hingga dimanakah kami akan berhasil merayap di puncak keindahanmu dengan keranjang bekal kami? Ilahi, tempatkan kami di antara pepohonan yang akar-akarnya memenuhi tanah perkebunan, yang kobaran cintanya kepada-Mu telah memberanguskan kalbu-kalbu dan yang aroma mewangi keindahan-Mu telah menerbangkan pikiran-pikiran ke puncak kulminasi. Yaitu mereka yang berdatangan ke tanah penggembalaan untuk mendapatkan-Mu, meneguk minuman dari mata air cinta-Mu dengan cawan-cawan kasih-Mu. Mereka yang menetap di sisi rumah-Mu, meminum air kehidupan dari tetesan-tetesan air rahmat-Mu dan mengenal busana-busana halus dari kelembutan-Mu.[11]
Imam Sajjad As dalam salah satu munajatnya bersabda, "Ilahi, berikanlah kepadaku keindahan dan manisnya mengingat-Mu"[12]
Karena kita tidak merasakan manisnya mengingat-Nya-lah sehingga kita menganggap shalat hanyalah sebuah persoalan yang biasa. Tentang kenapa meskipun kita melakukan shalat akan tetapi tidak merasakan keindahan cahaya yang dipancarkannya adalah karena kita tidak melakukan shalat dengan adab-adab, irfan dan pengetahuan akan rahasia-rahasia yang dimilikinya.
Amirul Mukminin Ali As dalam Nahjul Balaghah menukilkan dari Rasul saw yang bersabda, "Aku heran dengan seseorang yang memiliki mata air di dalam rumahnya dan membersihkan diri dengan mandi sebanyak lima kali sehari namun tetap saja berdaki dan kotor." Karena sesungguhnya shalat seperti mata air yang jernih dimana para pelaksananya seakan membersihkan dirinya di dalamnya dengan shalat yang dilakukannya sebanyak lima kali sehari.
Shalat merupakan sebuah telagadan kautsar dimana manusia membersihkan dirinya. Jika dari shalat kita tidak merasakan kesuciannya maka harus kita terima bahwa shalat yang kita lakukan bukanlah shalat yang hakiki. Bisa saja shalat yang kita lakukan adalah sah dan benar, akan tetapi tidak diterima di sisi-Nya, karena ciri-ciri shalat yang diterima adalah shalat yang mampu membersihakan ruh dan jiwa. Dan manusia akan mampu memfokuskan kalbunya dalam shalat ketika dia telah berhasil menguasai mata dan telinganya di luar shalat.
Intinya, shalat merupakan even pertemuan dan berkhalwat dengan sang Mahbub. Sebuah akhir dari perjalanan untuk menikmati wajah yang Dicinta dan saat-saat untuk terhubung dengan Yang Agung. Kehadiran di hadapan-Nyalah yang kadangkala menggerakkan lisan untuk menggumamkan puja puji dan syukur dan menampakkan ketakmampuan diri.
Wahai yang budiman, bagaimana orang yang tidak memiliki kekasih, tidak mengenal keindahan dan keagungannya, tidak memberikan kalbu dan menerima ajakannya, melainkan tidur, malas, dan beratnya makanan serta kerasnya hati telah mengisi kesehariannya … akan bergelora ketika menunggu pertemuan dengannya, akan bergetar dan berubah pucat pasi ketika berdiri di hadapannya? Dan selama kesibukan masih merajai dan mengikat kaki tuk melangkah, siapakah yang akan berhasil untuk melakukan pertemuan dengan selainnya?
Tak bisa dipungkiri bahwa pendidikan dan tumbuhnya para remaja dalam sebuah keluarga yang kadangkala merupakan sebuah taman yang indah berbunga dan pada saat lainnya terselimuti awan sangat berpengaruh dalam membentuk karakteristik dan lintas kehidupan mereka.
Jadi, tidak benar jika dikatakan seluruh remaja dan kawula muda memalingkan diri dari pertemuan dan ziarah dengan Sang Ma'bud, karena lihatlah betapa berderet saff-saff yang menunggu di pusat-pusat ilmu dan agama. Shaf-shaf yang setia menunggu detik-detik indah shalat berjamaah.[]
Catatan Kaki: [1] . Imam Khomeini, Sayyid Ruhullah, Sirr as- Shalat, Muasese-ye Tandzim wa Nasyr Atsar-e Imam, hal. 5.
[9] . Meqdadi Ishfahani, Ali, Nesyan az bi Nesyan-ho, jil. 1, hal. 325.
[10] . Qs. Al-Fatikhah:5.
[11] . Syuja'i, Daste doa Cisym-e Umid, munajad ke 12.
[12] . Mafatihul Jinan, Munajat Khamsah 'Asyar.
21
Tanya Jawab Masalah Akhlak
21. Apa yang dimaksud dengan spiritualisme hakiki dan spiritualisme emosional?
Orang-orang yang memiliki kecendrungan terhadap spiritualitas dan keimanan pada umumnya kecendrungan mereka adalah kecendrungan yang mengikut perasaan dan emosi jiwa. Artinya orang-orang ini menemukan kecendrungan terhadap maknawiyat dan spritualitas dengan mengikut pada ayah dan ibu, lingkungan atau di bawah pengaruh dorongan afeksi dan perasaannya, atau berdasarkan kejadian-kejadian seperti karamah para kekasih Tuhan (auliya) dan menyaksikan sebagian perayaan-perayaan keagamaan seperti shalat jamaah, haji, acara-acara duka, pesta dan acara peringatan hari lahirnya para orang suci, lalu kemudian mereka tertarik pada agama dan pelaksanaan acara-acara keagamaan
Apabila kecendrungan ini berlanjut dan dengan pengulangan, peringatan, dan pelatihan yang lebih banyak dari satu sisi disertai dengan perolehan maarif yang benar dan informasi yang lebih banyak dalam ranah pengetahuan agama serta manfaat-manfaat spritualisme di dunia dan akhirat dari sisi lain. Dan tidak tergoncang tatkala orang-orang mengalami goncangan, misalnya sampai kepada sebuah kedudukan, harta dan syahwat, dan mampu menguasai dirinya pada saat-saat seperti itu dan sekali-kali, seberapapun harganya, tidak akan meninggalkan segala kewajiban syariatnya dan segala kegiatan-kegiatan maknawinya, maka kecendrungan emosionalnya ini akan berubah menjadi kecendrungan hakiki yang menunjukkan kekokohan perkara-perkara maknawi dalam jiwa dan qalbunya. Kalau tidak demikian, sebagaimana yang didapati sebagai konsekuensi dari reaksi emosional, dalam menghadapi pelbagai konsekuensi emosional atau reaksi lainnya akan terlepas darinya dan tidak akan bertahan lama.
Falsafah umumnya pelbagai ujian Ilahi juga berlaku demikian hingga menjadi jelas bagi setiap orang bahwa apakah iman dan ekspresi keislamannya adalah emosional dan permukaan atau hakiki, ril dan berfondasi sehingga mampu ia jaga meski harus menderita menghadapi pelbagai siksaan dan ujian.
Manusia adalah makhluk bebas yang pekerjaannya dilakukan berdasarkan kehendak dan pilihan. Bentuk pemilihannya ini bergantung pada dua perkara batin dan intrinsik: yaitu kecendrungan dan pandangannya. Pelbagai kecendrungan dan pandangan ini juga memiliki dua jenis: Kecendrungan fitri, non-perolehan dan non-ikhtiari. Kedua, kecendrungan yang diperoleh dengan usaha dan sifatnya ikhtiari.
Bagian pertama adalah potensi yang terpendam pada setiap manusia dan memerlukan perhatian dan binaan sehingga ia lahir secara visual dan teraktualkan. Adapun bagian kedua, dihasilkan dengan pilihan manusia itu sendiri. Atau apa yang didapatkan manusia dari lingkungan atau melalui perantara tarbiyah dan warisan. Kecendrungan-kecendrungan fitri seperti kecendrungan manusia terhadap pencarian hakikat dan kuriositas terhadapnya, kecendrungan manusia terhadap segala perbuatan baik dan kebaikan. Kecendrungan manusia terhadap eksistensi unggul.
Pengenalan-pengenalan fitri yang mengemuka adalah biasanya dalam bentuk husn wa qubh aqli (kebaikan dan keburukan yang ditimbang dengan teraju akal). Misalnya mengenal bahwa berbuat adil itu merupakan kebaikan demikian juga bersikap jujur, setia terhadap janji. Mengenal keburukan bahwa kezaliman, perkataan dusta, dan menyalahi janji itu merupakan perbuatan buruk.
Pelbagai kecendrungan dan pandangan fitri ini sesungguhnya merupakan penggerak sejati manusia untuk meraih pelbagai pandangan dan kecendrungan yang diperoleh melalui usaha dan kegiatan-kegiatan lainnya. Namun apabila seseorang keliru dalam mengidentifikasi hakikat dan realitas serta mengidentifikasi contoh-contoh kebaikan, keindahan dan kesempurnaan maka ia tidak akan sampai kepada kebahagiaan hakikinya. Namun apabila seseorang mampu berpikir dengan benar dan benar dalam memilih, maka motor-motor penggerak dan pelbagai aktifitas ini, pilihan-pilihan dan kencendrungan yang benar dapat menyediakan ruang bagi kebahagiaan dunia dan akhirat.
Para nabi datang kepada manusia supaya mengajarkan kemampuan mengidentifikasi dengan benar pelbagai kecendrungan ini. Para nabi diutus untuk membimbing manusia untuk memperoleh kecendrungan dan pilihan yang benar. Membantu manusia supaya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, khususnya karena pada umumnya manusia lebih didominasi oleh pelbagai kecendrungan dan perasaannya ketimbang berpikir secara rasional dan penuh pertimbangan.
Kecendrungan kepada hal-hal spiritual – sebagai satu perbuatan ikhtiari manusia – tidak terkecuali dalam masalah ini. Artinya boleh jadi sumber dari kecendrungan maknawi tersebut adalah riset, kontemplasi dan refleksi pemikiran atau gerakan afeksi dan perasaan. Dalam bentuk pertama, kecendrungan tersebut adalah kecendrungan filosofis atau teologis. Bentuk kedua, adalah kecendrungan orang-orang awam atau dalam bahasa teknisnya disebut sebagai “spiritualisme emosional.”
Adapun bentuk ketiga juga dapat digambarkan. Bentuk ketiga itu adalah bahwa keduanya senantiasa bersama dimana akal dan hati bersatu tidak berpisah. Kebersamaan ini menjadi sebab munculnya kecendrungan terhadap agama dan iman serta spiritualitas. Kecendrungan ini adalah kecendrungan irfani.[1] Kecendrungan irfani ini adalah kecendrungan hakiki terhadap maknawiyat dan spiritualitas dan secara teknis spiritualitas semacam ini disebut sebagai “spiritualisme hakiki.”
Dalam bentuk pertama yang menjadi penggerak adalah semata-mata ilmu, dengan tiadanya kemampuan menjelaskan secara rasional filosofis sebuah hukum dari hukum-hukum Ilahi – baik itu hukum takwini dan penciptaan atau hukum tasyri’i – dan juga tatkala hawa nafsu dan syahwat hewani mendominasi, maka ia akan mengucapkan selamat tinggal terhadap ilmu dan tidak akan setia terhadapnya. Dan apabila dalam kondisi terdesak, ia menyembunyikan ilmunya, bahkan menutup-nutupinya, seperti Fira’un yang dikisahkan dalam al-Qur’an, “Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.” Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan itu.” (Qs. Al-Naml [27]:13-14)[2]
Kelompok kedua, laksana keburukan yang bertahan di atas air yang bergerak mengikut arus sosial, lingkungan dan kemana air mengalir ke situ ia bergerak. Dalam kondisi seperti ini, ia larut dalam segala perubahan yang terjadi padanya! Langkahnya labil dan tidak tetap serta suasana hatinya tidak dapat dijamin.
Misalnya seperti seseorang yang mengikuti – apapun alasannya – majelis duka Imam Husain As dan dengan pergerakan segala afeksi dan emosinya – bukan atas dasar cinta terhadap wilayah – air matanya tumpah laksana hujan musim semi. Boleh jadi, apabila beberapa saat kemudian ia datang kepada sebuah majelis lainnya yang tidak mengindahkan tata aturan dan etika, ia akan tenggelam dengan pelbagai kelezatan yang haram dan larut ternoda pengaruh lingkungan dan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Dan kelompok yang mengejar pangkat dan kekuasaan, pemerintahan dan khilafah, mengekspresikan iman dan Islam atau untuk mendapatkan harta rampasan perang dan para tawanan (budak) ikut serta dalam perang, begitu mendapatkan apa yang diinginkannya, maka agama dan religiusitasnya akan ditanggalkan begitu saja.
Orang seperti ini akan dengan susah payah berderma di jalan Allah[3] dan untuk sampai kepada tujuannya, menjaga jabatannya, ia akan menggunakan segala cara illegal. Tidak mengenal batas demarkasi dan hantam kromo untuk mencapai tujuannya! Dengan demikian kesetiaan kelompok kedua ini terhadap agama dan spiritualitas mengikut kepada penyediaan harta dan benda duniawinya dari satu sisi. Pada oran seperti ini tidak ada keinginan untuk rugi. Kalau kepentingan duniawinya terganggu dan tatkala menderita kerugian, maka dengan mudah ia akan melepaskan dirinya dari agama.
Dengan kata lain, terdapat tiga golongan masyarakat terkait sisi kecendrungannya terhadap akhirat, maknawiyat dan ibadah. 1. Golongan yang takut kepada azab neraka dan kerugian duniawi yang dijanjikan Tuhan kepada mereka dan disampaikan melalui para nabi-Nya. Mereka menyembah Tuhan dan taat kepadanya serta beriman kepada kemurkaan-Nya, serta hari Kiamat, kemaksuman nabi dan imamah, kepemimpinan para maksum, keimananan mereka yang bersandar pada makrifat dan ilmu atau beribadah dengan benar, bukan taklid buta yang dalam bahasa Imam Ali As, “ibadahnya kaum budak.” Yaitu beribadah dan taat karena ingin menghindar dari azab.
2. Golongan orang yang serakah kepada surga dan ingin mendapatkan janji-janji Tuhan di dunia dan akhirat, dengan memeperoleh kecendrungan maknawiyat dan agama serta sokongannya, memiliki iman kepada ghaib dan visi yang benar bukan taklid buta. Ibadah orang-orang yang termasuk golongan ini dilakukan karena ada kepentingan yang terpendam dari pelaksanaan ibadah tersebut. Dalam bahasa Imam Ali As ibadah semcam ini adalah ibadahnya kaum peniaga. Golongan orang yang berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ganjaran dan pahala dari Tuhan.
3. Golongan ketiga adalah orang-orang yang beribadah atas dasar pendalaman, pemikiran, visi disertai dengan syukur kepada Sang Pemberi nikmat, upaya bertungkus lumus untuk mendapatkan Sang Kinasih sejati. Tunduk patuh terhadap pelbagai perintah dan titah Ilahi. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang disebut oleh Imam Ali sebagai “ahrar” orang-orang merdeka. Orang-orang yang menyenangi pelbagai nikmat duniawi dan ukhrawi, jauh dari ananiyah dan egoisme dan lebur dalam kecintaan kepada Tuhan.
Atau meminjam bahasa Irfan “fana filLah.” Ia tidak memandang dirinya, tidak menggunakan logika untung dan rugi sehingga dengan itu ia melakukan penghambaan dan ketaatan. Dalam kamus orang-orang yang termasuk dalam golongan ini tidak taat tatkala ingin mendapatkan keuntungan atau membangkang tatkala menderita kerugian. Dalam kebudayaan Islam dan al-Qur’an ketiga golongan ini – dengan perbedaan tingkatan dan derajatnyag secara vertikal dan horizontal – memiliki spiritualisme hakiki, sepanjang mereka memiliki tanda-tanda di bawah ini dan telah melewati pelbagai ujian, namun jelas bahwa tiga golongan ini tidak sederajat dan golongan ketiga sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan dua golongan sebelumnya.[4]
Tanda-tanda yang disebutkan dalam al-Qur’an berkenaan dengan orang yang memiliki spiritualisme hakiki di antaranya: 1. Orang yang meninggalkan perbuatan dosa dan mengerjakan segala kewajiban secara berketerusan.[5]
2. Iman disertai dengan amal shaleh.[6]
3. Mengoreksi segala keyakinan dan tidak mengerjakan perbuatan tercela kepada Tuhan seperti bahwa Tuhan memiliki anak atau adanya kemungkinan perbuatan buruk dikerjakan Tuhan, atau bahwa para malaikat adalah putri-putri Tuhan, atau memandang bahwa para malaikat merupakan sekutu Tuhan.[7]
4. Mengingat Tuhan dan membaca al-Qur’an serta berpartisipasi dalam majelis-majelis maknawi baginya merupakan sebuah kelezatan dan menyaksikan dosa dan para pendosa menyebabkan derita dan kesedihannya.[8]
5. Tidak menyerah di hadapan segala kepelikan dan musibah duniawi sehingga menyeretnya kepada kekufuran, melainkan senantiasa berharap, tawakkal kepada Tuhan dan bersabar menghadapinya serta berusaha untuk mencari jalan keluar darinya dan dengan mengingat Tuhan hatinya menjadi tenang.[9]
6. Tiada satu pun yang berpengaruh secara mandiri selain Tuhan dan seluruh pelaku – baik pelaku natural atau manusia – merupakan para pelaksana perintah Tuhan dan seluruhnya bergantung dan bersandar kepada Tuhan.[10]
7. Dalam kondisi-kondisi tersedianya ruang maksiat dan dosa seperti: sampai kepada sebuah kedudukan atau harta dan tersedianya pelampiasan hawa nafsu, ia menahan nafsunya dan menjaga dirinya dengan jihad akbar, ia menyembelih nafsu ammarahnya serta menjinakkan segala kecendrungannya.[11]
8. Tidak bersedih hati karena mendermakan harta, anak dan jiwa di jalan Allah dan memandang bahwa dengan memperoleh harta duniawi dan segala isinya tidak menyebabkan orang keluar dari rel penghambaan.[12]
9. Tidak banyak mencari-cari dalih dan dengan kerelaan sempurna ia berserah diri terhadap hukum Allah, Rasul dan Wali-Nya As. Dan jiwanya tidak akan bersedih hati apabila tidak sejalan dengan selera dan tabiatnya.[13]
10. Menerima dan mengidentifkasi segala ilham Rahmani, perhatian dan inayah Ilahi dan sampai kepada kehidupan tayyibah.[14]
Mengidentifikasi spiritualisme emosional dan labil dari spiritualisme hakiki yang stabil dan terpelihara memerlukan kehendak dan tekad yang kuat serta sabar dan ketabahan ekstra. Khususnya pada tingkatan dimana seluruh faktor-faktor sosial dan global bergandengan tangan seiring sejalan ingin memisahkan manusia dari agama dan spiritualitas kemudian menjadikannya sebagai budak para penjajah.
Namun harus diperhatikan bahwa manusia adalah eksisten yang tidak hanya memiliki kemampuan bergerak melawan arus sungai namun ia juga mampu mengubah arah gerakan masyarakat atau dunia dan minimal kemampuan menjaga dirinya pada kondisi yang paling pelik sekali pun, semakin pekerjaan tambah pelik maka nilainya dan ganjaran yang diterimanya akan semakin besar.
Bagaimanapun, setiap manusia yang lebih mengetahui dirinya daripada orang lain. Dan lebih baik mengetahui kecendrungan dan pandangannya ketimbang orang lain, kendati boleh jadi dalam tingkatan kalkulasi, ia bertoleransi ia tidak memandang segala keburukannya atau mengkambing hitamkan orang lain atau boleh jadi apa yang nampak secara lahir berbanding terbalik pada jiwanya.
Karena itu, ia harus prihatin terhadap dirinya dan berpikir untuk menyelamatkan dirinya dari pelbagai kebinasaan ini dan meraih kebahagiaan abadi, melalui jalan meraup maarif dengan benar dan mengerjakan amal shaleh, akhlak fadhilah dengan bertawassul dan bersandar kepada Ahlulbait As, dan menjaganya dengan kehendak yang kokoh dan melestarikannya hingga sampai pada puncak perjalanan yang dimaksud.[]
Daftar Pustaka: 1. Abdullah Jawadi Amuli, Hayât-e ‘A^rifâne Imâm ‘Ali As, hal. 15-33, cetakan pertama, 1380, Qum.
2. Abdullah Jawadi Amuli, Marâhil Akhlâq dar Qur’ân, hal. 227-249, Isra, cetakan ketiga, 1379, Qum.
3. Abdullah Jawadi Amuli, Ma’rifat Syinâsi dar Qur’ân, hal. 277-315, Isra, cetakan pertama, 1379, Qum.
4. Abdullah Jawadi Amuli, Shurat-e wa Sirat-e Insân dar Qur’ân, hal. 153-255, Isra, cetakan pertama, 1379, Qum.
5. Abdullah Jawadi Amuli, Fitrat dar Qur’ân, hal. 227-249, Isra, cetakan pertama, 1379, Qum.
6. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma’ârif-e Qur’ân, jil. 1-3, hal. 421-442, Muassasah Dar Rah-e Haq, cetakan kedua, 1368, Qum
7. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Akhlâq-e dar Qur’ân, jil. 1, hal. 110 & 174, Daneshgah-e Azad Islami, Muassese-ye Amuzesy wa Pazuhesy Imam Khomeini Qr, Teheran.
8. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Khudsyinâsi barâye Khudsâzi, Muassese-ye Amuzesy wa Pazuhesy Imam Khomeini Qr, cetakan pertama, 1377, Qum.
Catatan Kaki: [1]. Catatan: Boleh jadi sebagian orang dengan klaim irfan dan tasawuf, tidak memiliki kecendrungan terhadap spiritualitas, dengan menampakkan secara lahir wilayah dan thariqat, sibuk dengan hiruk-pikuknya dunia!
[2]. “Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama dan syariat); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhan-mu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya.” (Qs. Al-Jatsiyah [45]:17); “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh setan (sampai tergoda), maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu. Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah. Perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya, anjing itu menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, ia menjulurkan lidahnya (juga). (Ia sangat haus terhadap dunia sehingga tidak pernah terpuaskan). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (Qs. Al-A’raf [7]:175-176)
[3]. “Orang-orang Arab Badui itu lebih sangat kekafiran dan kemunafikan mereka, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Di antara orang-orang Arab Badui itu, ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian dan dia menanti-nanti marabahaya menimpamu; merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. Dan tidak juga mereka menafkahkan suatu nafkah yang kecil maupun yang besar, dan tidak melintasi suatu lembah (untuk menuju atau kembali dari medan jihad), melainkan ditulis bagi mereka, karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(Qs. Al-Taubah [9]:97,98, 119, 121);” Katakanlah, “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau keterbunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian sekalipun), kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” . Mereka mengira (bahwa) golongan-golongan yang bersekutu itu belum pergi; dan jika golongan-golongan yang bersekutu itu datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab Badui, sambil menanya-nanyakan tentang berita-beritamu. Dan sekiranya mereka berada bersama kamu, mereka tidak akan berperang, melainkan hanya sebentar saja.” (Qs. Al-Ahzab [33]:16 & 20)
[5]. “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-An’am [6]:82)
[6]. “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, pada waktu ia memberi nasihat kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), karena sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qs. Luqman [31]:13)
[7]. “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, pada waktu ia memberi nasihat kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), karena sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qs. Luqman [31]:13)
[8]. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.” (Qs. Al-Anfal [8]:2); “Allah telah menurunkan firman yang paling baik, (yaitu) sebuah kitab (Al-Qur’an) yang serupa (mutu dan kandungan ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka gemetar karenanya, kemudian menjadi tenang lahir dan batin mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, Dia memberi petunjuk dengannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.” (Qs. Al-Zumar [39]:23); “Dan orang-orang yang mengerahkan seluruh daya mereka untuk melaksanakan ketaatan, sedang hati mereka takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (Qs. Al-Mukminun [23]:60)
[9].“Mereka adalah orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. Al-Ra’ad [13]:28)
[10]. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). (Qs. Yusuf [12]:106)
[11]. “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim [14]:27); “Sesungguhnya Kami pasti menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari para saksi (bangkit) berdiri (hari kiamat),” (Qs. Ghafir [40]:51); “Tatkala mereka berhadapan dengan Jâlût dan bala tentaranya, mereka pun (Thâlût dan bala tentaranya) berdoa, “Hai Tuhan kami, curahkanlah kesabaran atas kami, kukuhkanlah langkah-langkah kami, dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (Qs. Al-Baqarah [2]:250)
[12]. “(Kami jelaskan semua itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang Dia berikan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. Al-Hadid [57]:23)
[13]. “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu penentu dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. Al-Nisa [4]:65); “Dan tidaklah patut laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) perempuan yang mukmin memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab [33]:36)
[14]. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-Ankabut [29]:69)
22
Tanya Jawab Masalah Akhlak
22. Kenapa terjadi banyak kerusakan (fasâd) dalam negara-negara Islam?
Menurut pandangan al-Qur`an faktor menyebar luasnya kerusakan dalam masyarakat-masyarakat Islam disimpulkan dalam satu kalimat yaitu tiadanya keimanan kepada Allah Swt dan tiadanya penentangan terhadap “thâghut” (segala sesuatu yang tidak terkait dengan Allah Swt dan tidak memiliki warna Ilahi). Sebaliknya, iman kepada Allah Swt dan menentang “thâghut” (secara kolektif) merupakan faktor transendensi individu dan masyarakat.[i]
Dengan kata lain, perbaikan manusia dan masyarakat Islam di sisi Allah Swt terdapat pada agama yang dianugerahkan kepada manusia. Jika manusia dengan kehendaknya dapat menjalankan perintah-perintah dan ajaran etika agama dalam segala aspek kehidupannya, maka ia telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan fitrahnya dan akan sampai kepada tujuan-tujuan penciptaannya dengan potensi yang ia miliki.
Jika kecendrungan duniawi dan hal-hal yang bersifat duniawi (thâghut) telah menjadikannya mengabaikan agama atau menjalankan sebagian aturan-aturan agama saja yang tidak merugikan duniawinya, maka dia telah terpengaruh oleh hawa nafsunya dan hal inilah yang menyebabkannya dan masyarakat terpuruk secara bertahap. Mereka yang sangat bertanggung jawab atas keterbelakangan masyarakat tersebut ialah para penguasa dan kemudian para ulama istana, kemudian para ulama yang sadar namun diam, kemudian masyarakat awam dan solusi yang dapat menjunjung masyarakat tersebut terdapat pada para penguasa, ulama dan masyarakat.
Para pemimpin memiliki andil besar dalam fenomena baik atau rusaknya sebuah masyarakat. Jika para pemimpin ini adalah orang-orang yang beragama, menjaga agama, berkomitmen sepenuhnya terhadap ajaran-ajaran agama, menerapkan ajaran agama secara teliti dan menyebarluaskannya di tengah masyarakat serta mengikutsertakan ulama dan figur-figur yang berpengaruh dalam merealisasikan hal tersebut, maka masyarakat akan mencontoh para pemimpin dan ulama tersebut dalam menjalankan agama sehingga terjauhkan dari kerusakan-kerusakan.
Tetapi sebaliknya jika seorang pemimpin adalah seorang yang tidak menjaga agama, rakus terhadap dunia dan kedudukan, tenggelam dalam hawa nafsu dan kesenangan, memperalat ulama dan figur yang berpengaruh untuk tujuan kotor, mengabaikan problema-problema masyarakat dan berbuat kezaliman kepada mereka, maka kondisi ini akan mempengaruhi kejiwaan setiap individu masyarakat.
Jika para ulama dan pejabat tidak meluruskan jalannya seorang penguasa dan kelompok tertentu dan masyarakat tidak melakukan amar makruf dan nahi mungkar serta bercampurnya budaya dengan lingkungan yang tercemar ini, maka perlahan-lahan dan tanpa dikehendaki, kondisi ini akan mencemari setiap individu masyarakat dan lingkungan yang tercemar ini akan menyulitkan kehidupan orang-orang yang baik dalam menjaga agama mereka.
Dengan demikian menyebarnya kerusakan dalam sebuah masayarakat bersumber dari cinta dunia, sifat egois para penguasa, penyalahgunaan kelompok yang berpengaruh guna menutupi kebejatan-kebejatan dalam pemerintahan, sikap diam masyarakat terhadap kezaliman ini dan adanya permasalahan-permasalahan yang melilit mereka.
Sebagai contoh, tatkala sosok seperti Yazid memimpin sebuah masyarakat yang tujuannya tidak lain hanyalah untuk berbangga diri, memperoleh kedudukan, harta, popularitas, tenggelam dalam perangkap duniawi dan hawa nafsu. Membeli perawi hadis atau mubalig agama menjadi pendukung pemerintahan, sikap diamnya orang-orang karena ketakutan dan keserakahan. Adanya orang-orang bodoh yang menjadi pengawas. Munculnya para hakim saat itu yang mengenalkan penguasa sebagai seorang mujtahid yang berbuat berdasarkan ijtihadnya yang salah.
Kejahatan terhadap keluarga Rasulullah (Ahlulbait) yang dilakukan dengan cara meracuni mereka. Kemudian mereka bertaubat sehingga kehormatan mereka tetap terjaga dan tidak ada seorang pun yang berhak menampakkan kebenciannya atas sepak terjang mereka. Sebab jika tidak, mereka akan di anggap sebagai seorang musyrik dan kafir. Ketika orang-orang tanpa berpikir mendengarkan simpang siurnya berita tersebut, maka masyarakat tidak bisa di harapkan untuk dapat memberantas kerusakan dan memperbaikinya.
Dengan demikian kecenderungan kepada “thâghut” dan meninggalkan agama Allah swt merupakan faktor terpuruknya sebuah masyarakat, sebagaimana tergambar dalam hal-hal berikut ini: 1. Mengingkari para Nabi dan mengabaikan ayat-ayat Ilahi.[1]
2. Kezaliman para pemimpin.[2]
3. Adanya perpecahan.[3]
4. Meninggalkan amar ma`ruf nahi mungkar dan menggampangkan sesuatu, bertoleransi secara tidak jelas, melakukan provokasi untuk kemungkaran dan menyebarluaskannya.[4]
5. Tidak bertindak ”Iistar” dan infak atas harta dan jiwa, tidak membantu menjaga agama Allah swt serta rakus terhadap harta dan tenggelam dalam hawa nafsu.[5]
Solusi pembenahan, sebagaimana yang telah di singgung hanya ada satu hal yaitu, iman kepada Allah swt dan meninggalkan “thâghut” (pengaruh duniawi dan hawa nafsu) dalam segala aspek kehidupan setiap individu dari seorang pemimpin, ulama dan kelompok tertentu hingga masyarakat awam. Apabila manusia berpandangan bahwa dunia adalah sementara dan fana, maka ia harus berhati-hati atas pengaruh hawa nafsu, gemerlap dunia dan penumpukan harta baik di dunia maupun di akhirat.
Menyadari adanya sang pengawas yang senantiasa merekam dan mengawasi segala keadaan, pikiran dan perbuatannya. Menyadari adanya pertanggung jawaban atas perbuatannya di akhirat kelak. Singkat kata bahwa jika manusia mengikuti akal sehat dan fitrahnya, maka ia akan sepenuhnya menyerah kepada perintah dan larangan Ilahi.
Hal ini memberikan arti keselamatan bagi sebuah masyarakat dari kerusakan dan kehancuran di dunia serta kebahagiaan yang akan di dapatkan di akhirat. Ya, apakah yang harus di lakukan ketika kerusakan dalam sebuah masyarakat menjadi tolok ukur penghargaan bagi sebagian orang dan keimanan serta perbuatan baik sulit untuk di miliki?
Jika seorang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat dan pemimpin, hendaknya ia berusaha semaksimal mungkin dengan mengorbankan harta dan jiwanya untuk membina masyarakat dan lingkungan. Dengan demikian ia harus bersabar atas cacian, bersunggung-sungguh dalam menjaga agama dan meminta pertolongan kepada Allah Swt dan auliya-Nya untuk tetap melangkah di jalan agama yang benar serta sedapat mungkin tidak berputus asa dalam memberikan petunjuk kepada orang lain. Insya Allah dengan ini kita akan segera menyaksikan kedatangan Imam Mahdi As dan terciptanya kedamaian, keadilan serta kebaikan di seluruh dunia.[]
Referensi: 1. Al-Quran
2. Tafsir Nemuneh dan Al-Mizan berikut ayat-ayat terkait yang tertera pada catatan kaki.
3. Barresihâye Islâmi, Muhammad Husaein Thabathaba`i
4. Jâme`e wa Târikh”, Murtadha Mutahhari
Catatan Kaki: [i]. “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu.” Lalu di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang telah dijerat oleh kesesatan. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul). (Qs. Al-Nahal [16]:36); “Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Oleh karena itu, barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 256); “Allah berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sedang sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, niscaya ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Qs. Thaaha [20]:123-124)
[1]. “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raf [7]:96)
[2]. “Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fira‘un dengan benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Fira‘un telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka, dan membiarkan kaum wanita mereka hidup (untuk diperbudak). Sesungguhnya Fira‘un termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al-Qashash [28]:3-4)
[3]. “Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Qs. Al-Anfal [6]:46); Anda juga dapat melihat surah al-An’am (6):53-65)
[4]. “Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Qs. Al-Maidah [5]:79); Demikian juga Anda dapat menyimak ayat-ayat 104, 110 dan 113 surah Ali Imran.
[5]. “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah mereka dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan memperoleh siksa yang besar.” (Qs. Al-Maidah [5]:33)
23
Tanya Jawab Masalah Akhlak
23. Dimanakah penghambaan itu? Siapa hamba? Bagaimana dapat bergerak di atas rel penghambaan?
Ahli linguistik memaknai ibadah sebagai tujuan khudhu’ (tunduk) dan tadzallul (menghinakan diri) dan berkata bahwa karena ibadah merupakan tingkatan tertinggi khudu’, dengan demikian tidak layak, kecuali bagi sosok yang memiliki ketinggian derajat wujud dan kesempurnaan, keagungan tingkatan segala nikmat, dan kebaikan. Oleh karena itu, ibadah selain kepada Allah Swt adalah syirik. Karena ketulusan dalam ibadah tidak terlaksana.
Penghambaan dapat disimpulkan dalam tiga perkara: Pertama, bahwa seorang hamba tidak memandang sebagai pemilik atasapa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Atas alasan ini, para hamba bukanlah sebagai pemilik, ia harus memandang bahwa harta benda adalah milik Tuhan dan membelanjakannya pada hal-hal yang dititahkan oleh Tuhan kepadanya.
Kedua, hamba Tuhan tidak berpikir kemaslahatan bagi dirinya sendiri.
Ketiga, seluruh aktifitas dan perbuatan hamba terbatas pada apa yang diperintahkan Allah Swt kepadanya atau yang dilarang darinya. Dengan penjelasan ini, hakikat penghambaan menjadi jelas berikut jalan untuk meraih penghambaan. Penghambaan adalah kunci wilayah dan nama hamba adalah sebaik-baik nama. Insan kamil adalah hamba Allah (Abdullah) yang sirna (fana), lebur pada wujud Allah Swt dan terkalahkan (maghlub) nama-nama-Nya.
Oleh karena itu, hamba Allah adalah seseorang yang memandang bahwa ketaatan dan kepatuhan kepada perintah Allah adalah memberikan kelezatan dan kenyamanan baginya. Menumpukan hajatnya kepada Tuhannya, menuturkan kisahnya kepada-Nya dan melabuhkan kepercayaan dan bertawakkal kepada-Nya.
Ahli linguistik memaknai ibadah sebagai tujuan untuk tunduk (khudhu’) dan menghinakan diri (tadzallul) dan berkata bahwa karena ibadah merupakan tingkatan tertinggi ketundukan (khudu’), dengan demikian tidak layak dilakukan kecuali bagi sosok yang memiliki ketinggian derajat wujud dan kesempurnaan, keagungan tingkatan segala nikmat, dan kebaikan. Oleh karena itu, ibadah selain kepada Allah Swt adalah syirik.[1]
Ibadah terdiri dari tiga jenis: Sebagian beribadah kepada Tuhan dengan harapan untuk mendapatkan pahala akhirat dan takut dari siksaan.[2] Orang-orang yang tergolong dalam ibadah sedemikian adalah kaum awam dari orang-orang beriman. Dan sebagian lainnya beribadah kepada Tuhan karena kemuliaan penghambaan dan Tuhan memandang mereka sebagai hamba-Nya. Dan sebagian lagi beribadah kepada Tuhan karena wibawa, keagungan dan kecintaan kepada-Nya yang merupakan tingkatan tertinggi ibadah.[3]
Sesuai dengan sabda Imam Shadiq As, kalimat ‘abd terbentuk dari tiga huruf, “a-b-d”. “Ain” merupakan kinayah dari ilmu dan keyakinan seorang hamba kepada Allah Swt. Kalimat “b” isyarat kepada bainunat (keperantaraan), perpisahan dan kejauhannya dari selain Tuhan. Dan huruf “d” menunjukkan pada dunnuw, kedekatan dan taqarrub hamba kepada Allah Swt tanpa adanya hijab dan media.”[4]
Hamba pada seluruh keberadaan dan kesempurnaannya memikul hutang kepada Tuannya. Oleh karena itu ia berserah diri kepada-Nya dan dengan mengabaikan diri dan hawa nafsunya, ia mendapatkan corak dan warna kesempurnaan Tuhan pada dirinya. Hingga pada tingkatan sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Hamba sejati Tuhan adalah seseorang yang memandang bahwa ketaatan dan kepatuhan pada perintah Allah adalah memberikan kelezatan dan kenyamanan baginya. Menumpukan hajatnya kepada Tuhannya, menuturkan kisahnya kepada-Nya dan melabuhkan kepercayaan dan bertawakkal kepada-Nya.”[5]
Apa itu Penghambaan? Imam Shadiq As bersabda, “Hakikat penghambaan ada tiga: Pertama, bahwa seorang hamba tidak memandang sebagai pemilik atas apa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Atas alasan ini, para hamba bukanlah sebagai pemilik, ia harus memandang bahwa harta bendanya adalah milik Tuhan dan membelanjakannya pada hal-hal yang dititahkan oleh Tuhan kepadanya. Kedua, hamba Tuhan tidak berpikir kemaslahatan bagi dirinya sendiri. Ketiga, seluruh aktifitas dan perbuatan hamba terbatas pada apa yang diperintahkan Allah Swt kepadanya atau yang dilarang darinya. Oleh karena itu, apabila hamba Tuhan tidak memandang apa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya sebagai miliknya, maka menginfakkan harta benda tersebut akan menjadi mudah baginya.
Dan karena hamba menyerahkan pengurusan dan kemaslahatannya kepada Tuhan, maka seluruh musibah dan kesulitan akan menjadi enteng baginya. Dan tatkala seorang hamba sibuk dengan apa yang dititahkan dan dilarang oleh Allah Swt, maka waktunya tidak akan kosong sehingga ia mendapatkan peluang untuk menampilkan dirinya dan berbangga-banga di hadapan khalayak.
Dengan demikian, karena Tuhan memuliakan hamba-Nya dengan tiga jenis penghambaan ini, maka kehidupan di dunia dan bagaimana berhadapan dengan iblis dan khalayak akan menjadi mudah dan ringan baginya. Ia tidak lagi berbangga-bangga, bersikap congkak di hadapan masyarakat dalam mengejar dunia. Dan apa yang berada di tangannya berupa harta, tahta, kedudukan, tidak dijadikannya untuk meraih kemuliaan dan ketinggian derajatnya (di dunia) dan hari-harinya tidak dilalui dengan sia-sia dan tanpa tujuan.[6]
Penghambaan adalah kunci wilayah.[7] Dan nama abdi atau hamba merupakan sebaik-baik nama. Atas alasan ini, Nabi Saw sebagai ‘Abdullah pada malam Mikraj memohon penghambaan, “Tinggikan aku kepada-Mu dengan penghambaan wahai Tuhanku.”
Dinukil dari Abu Bashir bahwa Imam Shadiq As bersabda: “Di antara doa-doa Amirul Mukminin As adalah, “Tuhanku! Cukup bagiku kemuliaan asalkan aku adalah hamba-Mu. Dan cukup bagiku kehormatan asalkan Engkau adalah Tuhanku.” Tuhanku! Sebagaimana aku cinta Engkau bagian dariku, maka suskeskan aku pada apa-apa yang Engkau cintai.”[8]
Insan kamil adalah hamba Allah (Abdullah) dan memiliki seluruh manifestasi nama-nama. Sirna (fana) dan lebur dalam nama-nama Tuhan.
Alangkah indahnya tuturan Khaja Abdullah Anshari, “Ilahi sekiranya sekali Engkau berkata “Hamba-Ku,” maka melintas hingga arsy “keceriaanku.”[9]
Dalam hadis Qudis disebutkan, “Wahai hamba-Ku, taatilah kepada-Ku hingga engkau seperti-Ku (serupa atau mirip), aku berkata kepada sesuatu jadilah (kun) maka jadilah (fayakun). Engkau berkata kepada sesuatu jadilah (kun) maka jadilah (fayakun).” [10]
Oleh karena itu, senada dengan sabda Imam Shadiq As: “Ubudiyyah dan penghambaan kepada Allah Swt merupakan sebuah mutiara dan realitas batin dan hakikatnya adalah rububiyyah.”[11]
Melalui perantara penghambaan maka jiwa manusia akan terhiasi dan mampu merefleksikan pendaran cahaya alam atas. Semakin suci dan terhiasi jiwanya maka semakin benderang dan refleksinya semakin besar. Dan manifestasi-manifestasi Ilahi pada dirinya semakin banyak menjelma pada dunia luar, sedemikian sehingga ia mengaktualkan potensi khalifatuLlah dalam dirinya.
Harus diketahui bahwa hal ini bukan bermakna uluhiyyah, melainkan khilafah dan perwakilan yang merupakan karya uluhiyyah itu sendiri yang terjelma padanya.
Patut untuk diingat bahwa khalifatuLlah tidak melakukan perbuatan yang dilakukan Tuhan, namun Tuhan berbuat melalui tangannya. Nama-nama dan sifat-sifat Ilahi terjelma dan terekspresi dari jendela jiwanya.
Arif bilLlah merupakan cermin seluruh keindahan dan keagungan Tuhan azali nan abadi. Pada seluruh tingkatan mukjizat para nabi, karamah para imam dan wali-wali Tuhan, sejatinya Tuhanlah yang merupakan Pelaku nir-batas dan Penguasa mutlak. Dimana pada tingkatan ini, jiwa wali Tuhan telah fana dan inilah makam “ubudiyyah”, makam yang diperoleh melalui jalan ketaatan kepada Allah Swt.[12]
Salik pada makam ini memandang dirinya sebagai “nama Allah,”, “tanda-tanda Allah,” dan “fana fillah.” Juga memandang makhluk-makhluk lainnya sedemikian, dan apabila ia menjadi seorang wali sempurna, maka ia layak menyandang nama mutlak, mencapai makam ubudiyyah mutlak dan menjadi hamba Allah yang hakiki. Dan mampu memikul gelar hamba sebagaimana yang tertuang pada ayat, “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya.” (Qs. Al-Isra [17]:1) dengan maksud mikraj qurb, ufuk quds, melabuh jangkar di pelabuhan cinta dengan penghambaan dan kefakiran, dan menolak debu egoisme dan nafsu ingin merdeka. Dan mengekespresikan kesaksian (syahadah) pada risalah pada tasyahhud, setelah syahadah (kesaksian) pada ubudiyyah. Karena penghambaan adalah media risalah dan shalat yang merupakan mikraj orang beriman dan cermin mikraj kenabian, semua ini bermula setelah menghilangkan pelbagai hijab dengan bismillah – yang merupakan hakikat penghambaan “Subhanalladzi asra binabiyyihih birmarqât al-‘ubudiyyah al-mutlaqah.” Artinya bahwa Mahasuci Allah yang telah memperjalankan nabi-Nya dengan tangga-tangga penghambaan mutlak dan menariknya kepada penghambaan, kepada ufuk ahadiyah. Melepaskannya dari negeri mulk, malakut, jabarut dan lahut dan dari makhluk-makhluk lainnya yang bermandikan pendaran cahaya suci kepada nama dari nama-nama Allah dan dari tangga-tangga terjewantahkannya bismilLah – yang merupakan batin penghambaan – kepada mikraj kedekatan.”[13]
Peran niat dan ketulusan dalam ibadah Niat di sisi orang awam adalah tekad untuk menunaikan ketaatan dengan harap atau takut, “Sedang mereka berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap.” (Qs. Al-Sajdah [23]:16). Niat di sisi ahli makrifat (arif) adalah tekad untuk menunaikan kepatuhan dengan penuh pengagungan: “Sembalah Tuhanmu seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Dan di sisi pecinta niat adalah tekad untuk menunaikan ketaatan karena kerinduan dan cinta. Di sisi para wali niat adalah tekad untuk melaksanakan kepatuhan setelah penyaksian keindahan Sang Kinasih secara mandiri, esensial dan fana di sisi rububiyah secara esensial, sifat-sifat dan perbuatan. Yang dituju hanyalah Dia, ibadah hanya sebagai media belaka yang mengikut pada tujuan ini.[14] Dan kondisi niat yang paling tinggi intensitasnya adalah ikhlasnya.
Ikhlas dalam ibadah orang-orang awam, pemurnian dari syirik jali (terang-terangan) dan khafi (tersembunyi), seperti riya, ujub dan bangga diri.” Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Qs. Al-Zumar [39]:3) Ikhlas dalam ibadah orang-orang khusus (khawwas), pemurnian dari campuran rasa cemas dan harap dimana kedua hal ini dalah syirik di sisi mereka. Ikhlas dalam ibadah ahli kalbu adalah pemurnian dari segala egoisme dan keakuan dimana hal ini pada mereka merupakan syirik terbesar dan kekufuran teragung.
Ibu segala berhala adalah berhala jiwamu
Berhala lahir ini adalah ular dan berhala batin itu adalah naga.[15]
Ikhlas dalam ibadah orang-orang paling sempurna (kummal) adalah pemurnian campuran pandangan (rukyat) penghambaan dan ibadah, bahkan pemurnian pandangan terhadap keberadaan (rukyat kaun); sebagaimana Imam Khomeini Ra berkata, “Qalbu salim (jiwa yang suci) adalah bersua dengan Allah Swt dan padanya tiada sesuatu apa pun kecuali Allah Swt.”[16]
Penghambaan kepadanya lebih baik daripada kerajaan
Ucapan aku lebih baik adalah bisikan setan
Bedakan antara keduanya dan pilih di antara keduanya wahai yang terpenjara
Penghambaan Adam atau kepongahan Iblis
Dikatakan yang ada adalah mentari jalan menuju pada-Nya
Berita gembira bagi sesiapa yang menistakan dirinya
Siluet orang yang menistakan dirinya adalah tempat ketenangan
Tempat ketenangan itu adalah tempat bersenang-senang
Pabila engkau beranjak menuju bayangan egomu
Segera engkau menjadi durhaka dan tersesat jalanmu[17]
[15]. Jalaluddin Muhammad Rumi, Matsnawi Ma’nawi, daftar-e awwal, hal. 22.
[16]. Imam Khomeini, Op Cit, hal. 75
[17]. Rumi, Op Cit, daftar-e charum.
24
Tanya Jawab Masalah Akhlak
24. Bagaimana manusia dapat menjadi kekasih Allah Swt?
Kecintaan keapda Tuhan dapat digambarkan dalam dua konsep: 1. Kecintaan hamba dengan Tuhan dan Tuhan menjadi Sang Kinasih
2. Kecintaan Tuhan dengan para para hamba dan para hamba menjadi sang kekasih
Adapun yang menjadi pertanyaan di sini adalah konsep yang kedua. Tentu saja seluruh eksisten di semesta raya, sebagai makhluk dan merupakan kreasi dari Sang Pencipta, adalah kekasih Allah Swt. Akan tetapi yang dimaksud dengan hubb (cinta) yang mengemuka pada ayat dan riwayat adalah yang bermakna khusus yaitu tersingkapnya pelbagai hijab dan keceriaan batin hamba yang mendapat inayah (perhatian) dan lutfh (kelembutan) Allah Swt.
Terkadang kita berhadapan dengan ayat dan riwayat yang menggunakan pelbagai barometer dan teraju universal yang menjelaskan jalan-jalan untuk menjadi kekasih Tuhan. Seperti ketaatan, mengikuti Rasulullah Saw, mecintai Allah, mengamalkan segala yang wajib dan mustahab, serta meninggalkan segala yang haram dan makruh, dan terkadang juga kita bersua dengan hal-hal partikular yang termaktub dari ayat dan riwayat.
Dengan kata lain, iman kepada Tuhan dan hari Kiamat, membenarkan para nabi dan kenabian Nabi Muhammad Saw, menerima wilayah dua belas Imam Maksum As, dan menghindar dari kekufuran dan kemusyrikan, kemunafikan, memiliki ilmu dan pengetahuan pada tataran akidah; melaksanakan seluruh syariat Islam dan tiadanya diskriminasi dalam melaksanakan seluruh hukum agama, mengikuti sepenuhnya perintah Allah Swt tanpa tedeng aling-aling, Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As, tiadanya kerusakan dan bersikap congkak, melanggar aturan-aturan agama, makhluk-makhluk Tuhan, sahabat Allah dan Rasul-Nya pada tataran amal; dan menghiasi jiwa dan batin dengan sifat-sifat mulia dan terpuji, dan mengosongkannya dari pelbagai sifat tercela pada arsy akhlak; kesemua ini merupakan hal-hal yang menjadi sebab berseminya kecintaan dan kedekatan serta membuat manusia mampu meraup derajat yang menjulang di sisi Allah Swt, Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As. Dan hal ini bermakna sampainya manusia kepada kesempurnaan dan tujuan yang menjadi maksud penciptaannya yaitu “Qurb indaLlah” (kedekatan di sisi Allah Swt).
Dalam kaitannya dengan Tuhan, kecintaan dapat digambarkan dalam dua konsep: 1. Kecintaan para hamba kepada Tuhan dan Tuhan menjadi Sang Kinasih
2. Kecintaan Tuhan kepada para hamba dan para hamba menjadi kekasih Tuhan sebagaimana yang disinggung dalam al-Qur’an, “Yuhibbuhum wa yuhibbunah” (Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah) (Qs. Al-Maidah [5]:54)
Yang mengemuka menjadi pertanyaan di sini adalah kecintaan bagian kedua yaitu para hamba menjadi kekasih Allah Swt.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, kiranya kita perlu memperhatikan dua matlab berikut ini: 1. Derajat mahabbah (cinta) dan isyq (cinta yang berlebih) merupakan derajat yang tinggi dan menjulang. Kalau kita ingin masuk dalam pembahasan ini, dengan keluasan dan signifikansinya, maka akan menyebabkan panjangnya tulisan ini dan keluarnya dari tema asli pembahasan, khususnya terkait dengan banyak ayat dan riwayat, doa yang terdapat pada teks-teks agama, yang meniscayakan penulisan buku tersendiri untuk menjelaskan dan mengkajinya.
2. Allah Swt mencintai dzat dan keindahan-Nya. Hal ini bermakna bahwa Allah Swt mencintai seluruh makhluk dan karya Tuhan yang merupakan manifestasi keindahan-Nya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis qudsi, “Aku adalah khazanah tersembunyi. Kemudian Aku cinta untuk dikenal maka Aku ciptakan semesta dan segala isinya supaya Aku dikenal.”[1]
Khazanah tersembunyi dan menyuburkan lempung
(membuat) Lempung lebih benderang daripada bintang gemintang[2]
Asas penciptaan semesta raya adalah kasih dan cinta Allah Swt kepada Dzat-Nya sendiri. Dia ingin keindahan-Nya tampak, maka Dia mencipta semesta sebagai cermin untuk berkaca melihat keindahan-Nya. Abdurrahman Jami salah seorang arif abad ke-9 menuturkan demikian:
Dalam kesendirian tatkala keberadaan tanpa bunyi
Pada ambang batas ketiaadan, semesta tersembunyi
Terdapat sebuah wujud yang tampak dari kejauhan
Bercengkerama kami dan Engkau dari kejauhan
Keindahan mutlak dalam kerangka pelbagai cermin
Mencahayai dirinya, mencermini diri-Nya
Keindahan-Nya menjelma dimana-mana
Semesta raya tertutup tirai bagi para pecinta
Seluruh eksisten di alam semesta adalah kekasih Allah Swt.[3] Namun yang menjadi topik bahasan kita di sini adalah manusia yang menjadi kekasih Allah Swt dalam artian khusus yang akan dijelaskan kemudian.
Kemungkinan menjadi kekasih Allah Swt dan menjadi sorotan perhatian Ilahi: Allah Swt dalam menyampaikan dustur kepada Nabi Saw, mewartakan adanya kemungkinan orang-orang beriman dan para hamba menjadi kekasih Allah Swt, sebagaiman tertuang dalam firman Allah, “Katakanlah jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku maka Allah Swt pasti akan mencintai kalian.” (Qs. Ali Imran [3]:31) Dan juga pada surah al-Maidah, “Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah.” (Qs. Al-Maidah [5]:54) dan pada hadis Qudsi, “Sekiranya mereka yang membelakangi-Ku tahu teraju kerinduan dan kecintaan-Ku kepada mereka, maka mereka akan mati karena kerinduan yang berlebihan.”[4] Demikian juga pada hadis Qudsi yang muktabar dan populer dimana Imam Shadiq As menukil dari Nabi Saw bahwa Allah Swt berfirman: Annahu liyataqarrabu ilayya bi al-nafilah hatta uhibbuhu,[5] sesungguhnya seorang hamba shaleh melalui media amalan mustahab dan perbuatan baik mereka mendekati-Ku dan menjadi kekasih-Ku.
Beberapa makna menjadi kekasih Allah: Kecintaan Tuhan kepada ciptaan dan menjadi kekasih Dzat Yang Mahaindah memiliki ragam makna. Namun hal ini tidak seperti kecintaan dan kesukaan yang acapkali diekspresikan dan digunakan oleh manusia. Apa yang menjadi sorotan pembahasan kita kali ini adalah bahwa berdasarkan pengaruh kecintaan ini, Allah Swt menyingkapkan tirai sehingga para kekasih-Nya dapat menyaksikan Tuhan dengan mata hati mereka dan mendekat kepada-Nya. Dan hal ini telah menjadi perhatian Allah Swt semenjak azal dimana Dia mensucikan batin hamba semacam ini sehingga tiada yang berkediaman selain Allah Swt pada kerajaan batinnya. Serta menghilangkan pelbagai penghalang sehingga hamba ini tidak mendengar selain yang hak, dan tidak melihat sesuatu yang lain selain menggunakan pandangan Allah Swt dan tidak berkata-kata kecuali dengan tuturan Allah Swt.[6]
Jalan-jalan untuk menjadi kekasih Allah: Jalan terpenting dalam meraup kecintaan di sisi Allah Swt adalah bahwa manusia mengetahui secara jeluk apa saja yang menjadi kecintaan dan keridaan Allah Swt sehingga ia melakukan apa saja dan mengerjakan segala yang menjadi titah-Nya untuk menyedot perhatian Tuhan. Dan setapak demi setapak mendekat kepada-Nya. Sebagaimana untuk memelihara kecintaan-Nya ini juga harus menjalani proses sedemikian selama hayat di kandung badan. Ia juga harus tahu ihwal apa saja yang tidak disenangi oleh Allah Swt dan dapat mendatangkan kemurkaan, laknat Tuhan dan hal-hal yang telah dilarang oleh-Nya guna menghindar darinya sehingga menjadi seorang kekasih di sisi Allah Swt. Dan hal ini harus berkelanjutan hingga akhir hayatnya sehingga tidak menjadi sasaran kemurkaan dan laknat Tuhan.
Apa yang telah dijelaskan di atas merupakan jalan termudah untuk mendulang makrifat ini, mengenal dan merujuk kepada al-Qur’an dan riwayat-riwayat dari para Maksum, karena al-Qur’an merupakan kitab yang terpelihara dari penyimpangan dan Allah Swt merupakan penjelas seluruh perkara yang menjadi kecintaan-Nya dan iman serta amal menjadi penyebab kecintaan di sisiNya. Dan karam dalam samudera rahmat-Nya dan juga penjelas bahwa beriman atau beramal atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai karakternya menjadi sebab kemurkaan Tuhan dan terusir dari haribaan Tuhan dan terlempar di neraka.
Dan apabila manusia menyesuaikan secara sempurna antara iman, amal, akhlak dan Qur’an dengan meneledani sirah nabawi dan para Imam Maksum As. Atas maksud ini, yaitu meraih kecintaan di sisi Allah dan keselamatan dari murka, kesusahan dan laknat Ilahi. Banyak ayat dan riwayat yang menjelaskan barometer dan pakem universal yang menunjukkan jalan-jalan untuk menjadi kekasih Allah Swt, terkadang terdapat ayat dan riwayat menunjukkan hal-hal partikular di hadapan jalan para salik yang meniti jalan kepada kesempurnaan.
Barometer dan pakem universal seperti: 1. Mengikuti Rasulullah Saw: Sebagaimana yang telah disinggung dimana Allah Swt mensyaratkan untuk dapat menjadi kekasih-Nya maka harus mengikuti dan meneladani Rasul-Nya sebagaimana firman-Nya, “Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Qs. Ali Imran [3]:31)
Dalam ayat ini, barometer dan pakem universal kekasih Tuhan adalah mentaati Rasulullah Saw, baik lisan atau perbuatannya. Pada ayat-ayat yang lain berisikan perintah kepada manusia untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah saw, “Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]:7), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya),” (Qs. Al-Nisa [4]:59), “Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan.” (Qs. Al-Anfal [8]:46)
2. Mengerjakan apa-apa yang diwajibkan (faraidh) dan yang disunnahkan (nawafil). Pada hadis muktabar yang dikenal sebagai hadis qurb faraidh dan qurb nawafil, disebutkan jalan-jalan untuk menjadi kekasih Allah yaitu dengan mengerjakan apa-apa yang diwajibkan dan disunnahkan. Kita tidak akan mengulas panjang lebar ihwal hadis qurb faraidh dan qurb nawafil di sini mengingat keterbatasan ruang dan waktu, oleh itu di sini kita akan mencukupkan untuk menyebut beberapa contoh darinya dan mengakhiri pembahasan ini dengan mengkaji riwayat-riwayat yang bertalian dengan masalah-masalah partikular yang menjadi penyebab meraih cinta Ilahi.
Dalam sebuah hadis yang dinukil dari Imam Shadiq As yang meriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Tidak mendekati-Ku seorang hamba dengan sesuatu yang lebih dicintai dari yang Kuwajibkan kepadanya. Dan senantiasa mendekati-Ku dengan perantara amalan-amalan sunnah hingga sampai pada derajat dimana Aku mencintanya. Tatkala Aku mencintainya, dalam kondisi ini, maka Aku akan menjadi pendengaran yang dengannya ia mendengar. Menjadi penglihatan yang dengannya ia melihat. Menjadi lisan yang dengannya ia berkata-kata. Menjadi tangan yang dengannya ia mengerjakan segala perbuatan…”[7] Terdapat hadis yang serupa dengan riwayat ini dinukil dari Imam Baqir As.[8]
Dengan memperhatikan riwayat semacam ini dan mengkaji ayat-ayat terkait, maka akan menjadi jelas hasil dan natijah pengaruh tatkala seorang hamba menjadi kekasih Tuhan, dimana secara umum, munculnya keceriaan batin dan tersingkapnya pelbagai hijab dan tirai serta sampai pada derajat “kedekatan kepada Allah” (qurb ilaLlah) yang semuanya merupakan keutamaan dan kemuliaan dari Allah Swt sebagai hasil dari kecintaan ini.[9]
“Iman” sendiri merupakan hasil dari kecintaan Ilahi ini dan dalam riwayat dinukil dari Nabi Saw yang bersabda, “Allah memberikan dunia kepada yang dicintai dan dibenci-Nya, dan tidak menganugerahkan iman kecuali kepada yang dicintai-Nya.”[10] Karena pandangan mahbub (yang dicinta) kepada muhib (pecinta), ekspresi kepeduliaan dan kemuliaan kepadanya dan pada akhirnya, kecintaan pecinta kepada yang dicinta akan semakin membuncah dan membuatnya abai terhadap dirinya sendiri. Dalam doa Nudbah kita membaca, “Allahummah, hadapkankan kepada kami wajah-Mu yang mulia dan terimalah taqarrub kami kepada-Mu dan pandanglah kami dengan pandangan rahmat sehingga dengan perantara itu kemuliaan semakin sempurna di sisi-Mu dan jangan Engkau palingkan kami dari kepemurahan-Mu.”[11]
Berangkat dari sini, sebagian jalan-jalan universal untuk meraih cinta Ilahi menjadi jelas. Sekarang sebagian hal-hal partikular akan disinggung di sini yang diperkenalkan dalam ayat-ayat al-Qur’an sebagai “amal-amal shaleh dan orang-orang yang dicintai di sisi Allah.”
Iman, mentaati Allah dan Rasul-Nya, bersegera kepada perbuatan baik, menebus segala kesalahan dan memohon ampunan kepada Allah Swt. Berinfak di jalan Allah baik sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, menahan amarah dan memaafkan kesalahan manusia serta berbuat baik kepada mereka, orang-orang yang senantiasa mengingat Allah, tidak mengulang-ulang kesalahannya dan tidak memakan riba.[12] Bertawakkal kepada Allah dan bersabar atas segala kesusahan dan penderitaan serta tidak berkelu-kesah, bermusyawarah dengan manusia, bersikap lembut dan santun dengan manusia.[13] Membekali diri dengan takwa, setia kepada janji dan ikrar yang disepakati dengan Allah, Rasul-Nya dan wali atau dengan manusia.[14] Mensucikan diri dengan taubat dan ikhlas serta takwa. Dan menghindar dari segala noda dan cela. [15] Menjaga mata, telinga, lisan, perut dan kemaluannya dari hal-hal yang diharamkan.[16] Memuliakan ayah dan ibunya, dan menjaga kehormatan sanak famili (arham).[17] Menyebut para pembesar agama khususnya Nabi Saw dengan baik, dengan pemuliaan dan menyampaikan salam dan shalawat kepadanya. [18] Bersikap adil tatkala memikul sebuah tanggung jawab, ketika mengadili dan memerintah. [19] Tidak menyesali apa yang telah dikorbankan di jalan Allah dan tidak bersikap sombong tatkala mendapatkan harta, kedudukan dan pemerintahan,[20] dan gemar berkorban jiwa dan raga di jalan-Nya.[21]
Kita juga dapat melihat riwayat hal-hal yang dapat meraih cinta Ilahi sebagaimana berikut ini, memuliakan apa yang mulia di sisi Allah,[22] mencintai Rasulullah Saw dan keluarganya,[23] mecintai Allah,[24] menuntut ilmu dan pengetahuan,[25] banyak berkata tahlil (laa ilaha ilaLlah) dan takbir (Allahu Akbar),[26] senantiasa menyegerakan perbuatan baik.[27]
Sebaliknya, kelompok berikut ini disebut sebagai “orang-orang yang dimurkai” (maghdub) dan “orang-orang yang dilaknat” (mal’un) di sisi Allah Swt: Orang-orang kafir,[28] kaum musyrikin,[29] orang-orang munafik,[30] orang-orang yang menyombongkan diri,[31] keras kepala dan ahil kesumat,[32] berbangga-bangga,[33] melanggar batas dan tidak menunaikan hak-hak Allah dan manusia,[34] orang-orang yang suka mencari kesenangan,[35] orang-orang boros,[36] membuat kerusakan di muka bumi,[37] tidak menggunakan hartanya sebagaimana mestinya dan tidak diinfakkan di jalan Allah, bakhil, hasud dan dengki,[38] suka melanggar janji dan bekerja sama dengan orang-orang kafir dan musuh-musuh agama,[39] pengkhianat dan tidak tahu berterima kasih,[40] tidak segan-segan membunuh orang-orang beriman, para nabi dan wali-wali Tuhan,[41] pendosa, pelaku maksiat dan pendurhaka,[42] berlaku aniaya terhadap diri sendiri, manusia dan tidak menunaikan hak-hak Allah,[43] tidak termasuk golongan yang mengingat Allah, orang yang menyesal, ahli taubat, tidak gemar berdoa dan tunduk di hadapan Allah dan bersikap congkak dan angkuh di hadapan Allah, menyimpangkan agama Allah,[44] mengikut setan dan thagut,[45] menutup jalan petunjuk manusia, membuat perpecahan di antara orang-orang beragama dan menyesatkan mereka,[46] suka menggunjing dan tidak mengamalkan apa yang diucapkannya, [47] menyakiti Allah, Rasul-Nya dan para wali Allah dengan lisan dan perbuatannya, [48] mencari-cari dalih dan lari dari pengorbanan jiwa dan raga di jalan Allah,[49] pendosa dan tidak tahu berterima kasih,[50] mengikut kepada orang-orang fasik,[51] tidak tergolong sebagai orang-orang yang mengerjakan kebaikan, beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan para wali Allah, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah supaya dihubungkan.[52]
Sekarang apabila kita benar-benar ingin meraih kecintaan, rahmat dan inayah di sisi-Nya maka kita harus memisahkan diri dari barisan dan golongan kedua dengan tekad membaja dan menyatukan diri kita dengan barisan dan golongan pertama. Melakukan amar makruf dan nahi mungkar, tabligh, dan membela wilayah eksklusif Islam dan kaum Muslimin, dan wilayah eksklusif Syiah, ridha kepada diri dan Allah, membuat Allah ridha kepada diri kita, mencintai Allah, Rasul dan wali-Nya, serta menjadikan diri kita sebagai orang-orang yang dicintai Allah, Rasul dan wali-Nya.[53] Insya Allah []
25. Dimanakah letak kebahagiaan dan kesempurnaan manusia?
Jawaban lengkap untuk pertanyaan ini berada dalam lingkup jawaban terhadap dua pertanyaan asasi berikut ini: 1. Apa arti kebahagiaan manusia? Apakah kebahagiaan tersebut terpisah dari kesempurnaan atau tidak?
2. Eksistensi semacam apakah manusia itu? Materi murnikah dia atau …?
Sepertinya kebahagiaan tidak terlepas dari kesempurnaan, seberapapun manusia memperoleh kesempurnaan, hal ini akan mengantarkannya kepada kebahagiaan. Perlu diketahui bahwa manusia adalah sebuah eksistensi yang terkomposisi dari ruh dan badan, dimana ruhnya di sini merupakan substansi wujudnya.
Kebahagiaan ruh dan badan bergantung pada perolehan keduanya terhadap kesempurnaan wujud mereka. Kebahagiaan ruh berada dalam kedekatan dan sampainya ke Tuhan, dalam keadaan inilah dia akan sampai pada kesempurnaan akhirnya. Tentunya kesehatan, keselamatan badan serta persoalan-persoalan materi dalam riwayat-riwayat Islam dikategorikan pula sebagai bagian dari kebahagiaan manusia.
Namun dalam kaitannya dengan hal ini, sebagian kalangan menganggap bahwa kebahagiaan itu terpisah dari kesempurnaan, atau terdapat kelompok yang memiliki pandangan lain dalam masalah pengenalan manusia, dimana keseluruhan dari wacana-wacana tersebut telah dianalisa dan dikritik pada tempatnya tersendiri. Misalnya sebagian menganggap karena manusia adalah sebuah eksistensi materi maka kebahagiaannya terletak dalam perolehan-perolehan kenikmatan materi.
Kelompok lainnya seperti sebagian dari para filosof menganggap bahwa akal merupakan substansi manusia, sementara sebagian lainnya seperti para urafa meletakkan cinta sebagai tolok ukur kemanusiaan, dan sebagainya. Dan keseluruhannya, karena tidak melihat hakikat, telah menyebabkan mereka berjalan di atas khayalannya masing-masing.
Jawaban detil dan lengkap terhadap pertanyaan ini berada dalam lingkup penjelasan yang benar dan jelas terhadap mafhum kebahagiaan dan pengenalan yang benar terhadap manusia dan tujuan-tujuannya.
Sebagian seperti Kant, sepakat terhadap keterpisahan antara kesempurnaan dan kebahagiaan, dia mengatakan bahwa di seluruh dunia hanya terdapat sebuah kesempurnaan dan kebaikan yang tak lain adalah 'kehendak baik', dan kehendak baik ini bermakna ketaatan pada perintah-perintah hati, baik kemudian ia mencarinya ataupun tidak, akan tetapi kebahagiaan adalah kenikmatan yang tidak dibarengi dengan sedikitpun rasa sakit dan penderitaan, sementara moral, etika dan akhlak berkaitan dengan kesempurnaan, bukan kebahagiaan.[1]
Akan tetapi, para ulama dan filosof Islam mengatakan, seberapapun manusia mencapai kesempurnaan dan mendekati tujuannya maka berarti dia telah sampai pada kebahagiaan.[2] Tidak sebagaimana halnya Kant, mereka menganggap kesempurnaan tidak terpisah dari kebahagiaan, tentunya mereka sepakat jika yang dimaksud dengan kebahagiaan adalah kebahagiaan inderawi (kesenangan materi dunia) maka kebahagiaan yang semacam ini ini akan terpisah dari kesempurnaan.[3]
Dari sisi lain, bentuk pandangan dan perspektif yang dimiliki oleh berbagai isme-isme terhadap manusia telah menyebabkan terjadinya perbedaan dalam menyimpulkan kebahagiaan.
Pandangan dan isme yang menganggap manusia sebagai sebuah eksistensi materi, meletakkan kebahagiaan manusia dalam lingkup terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan materinya, dan sebagian lainnya menganggap kesempurnaan manusia terletak pada semakin dimilikinya kenikmatan-kenikmatan materi (sebagai kepemilikan pribadi maupun bersama), sedangkan mereka yang menempatkan akal sebagai parameter kemanusiaan sepakat bahwa kebahagiaan manusia terletak pada kemajuan dan perkembangan akal terhadap maarif dan pengenalan hakikat-hakikat Ilahi.
Mereka seperti para urafa memberikan perhatiannya pada masalah-masalah internal dan penderitaan, dan menganggap manusia sebagai sebuah eksistensi yang terjebak dalam sangkar dan terasing dari watan aslinya, sehingga mereka meletakkan kebahagiaannya seukuran dengan perolehan cinta. Sementara itu kelompok yang meletakkan kekuatan sebagai asas menganggap kebahagiaan manusia terletak pada kodrat dan kemampuannya.
Akan tetapi perspektif Islam (dengan penerimaannya terhadap keberadaan akal dan cinta) mendefinisikan manusia sebagai berikut: manusia adalah sebuah eksistensi yang memiliki potensi-potensi yang berbeda, mereka tergabung dari jiwa dan raga (ruh dan badan), bukan sebuah eksistensi materi murni,[4] kehidupan hakikinya berada di dunia lain, diciptakan untuk keabadian, dan pikiran, perbuatan, perilaku dan moralnya akan membentuk badan ukhrawinya dan …
Dengan pandangan yang seperti ini, kebahagiaan manusia hanya akan terwujud dengan adanya pertumbuhan yang harmoni antara potensi-potensi yang dimilikinya dan jawaban yang sesuai terhadap kebutuhan-kebutuhan ruhani dan jasmaninya. Allamah Thabathabai dalam kaitannya dengan masalah ini mengatakan,[5]"Kebahagiaan segala sesuatu adalah sampai sesuatu tersebut kepada kebaikan wujudnya, dan kebahagiaan manusia karena ia merupakan sebuah eksistensi yang terkomposisi dari ruh dan badan adalah sampainya mereka pada kebaikan jasmani dan ruhaninya."
Ruh yang berasal dari Tuhan, "… Aku telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku …" (Qs. Al-Hijr [15]: 29) kebahagiaannya berada dalam lingkup kedekatannya kepada Tuhan, yaitu kembali ke tempat dari mana dia berasal. Dengan ibarat lain, ruh sebagai substansi manusia yang berasal dari Tuhan (innalillah), dengan melintasi tahapan-tahapan di tempat tinggal sementaranya di alam tabiat, akan memperoleh kebahagiaannya ketika keluar dari alam tabiat dengan mengendarai cinta dan kematian ikhtiari[6] lalu sampai pada tempat dari mana dia berasal (wa inna ilaihi raji'un). Manusia semacam ini meskipun tubuhnya berada di dunia, akan tetapi ruhnya terlah terikat dengan dunia lain.[7]
Tentunya hal ini tidaklah dengan makna ketiadaan perhatian terhadap persoalan-persoalan materi, karena memperoleh kesehatan, keselamatan dan kenikmatan-kenikmatan materi, dan … termasuk dari kebahagiaan manusia dan telah dianjurkan kepada manusia untuk memperhatikan prinsip-prinsip kesehatan untuk memperkuat jasmani. Hal ini dikarenakan tubuh yang sehat merupakan sarana dan syarat untuk mendapatkan ruh yang sehat.[8]
Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa ruh akan membentuk substansi dan identitas manusia, dan tujuan dari penciptaan eksistensi semacam ini adalah kedekatan dan taqarrub kepada-Nya, berfirman, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas lagi diridai. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Qs. Al-Fajr [89]: 27-30); "Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya." (Qs. Insyiqaq [84]: 6); "… di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa" (Qs. Al-Qamar [54]: 55).
Atau pada tempat lain berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Qs. Adz-Dzariyat: 56). Ibadah merupakan sarana untuk mendekati dan taqarrub kepada-Nya, "Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat." (Qs. Al-Baqarah [2]: 45) … dengan demikian dapat dikatakan bahwa segala hal yang bisa membantu manusia untuk mendekati-Nya akan mengantarkan kepada kebahagiaannya dan di sini bukan hanya shalat yang akan menjadi sarana untuk mendekati-Nya, mengabdi dan berkhidmat kepada para hamba-Nya dikategorikan pula dalam jajaran ibadah dan sarana untuk memperoleh kedekatan kepada Tuhan.
Allamah Thabathabai mengatakan,[9] "Segala sesuatu yang dikategorikan sebagai kenikmatan, hanya akan merupakan sebuah kenikmatan ketika bersesuaian dengan tujuan yang ditetapkan oleh Tuhan dalam penciptaan mereka untuk manusia, karena segala sesuatu tersebut diciptakan dengan maksud supaya digunakan oleh manusia sebagai bantuan dari Tuhan dalam meraih jalan kebahagiaan hakikinya yang tak lain adalah kedekatan kepada-Nya dengan melalui penghambaan dan kepasrahan di hadapan-Nya,sebagaimana firman-Nya, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." []
[4] . "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan dia air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain." (Qs. Al-Mukminun12-14) dan "Maka apabila Aku telah menyempurnakan penciptaannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku …" (Qs. Hijr [15]: 24).
[6] . Kematian ikhtiyari tak lain adalah melawan nafsu dan membunuhnya dimana dalam ungkapan Imam Ali As dikatakan "Hanya menghidupkan akalnya dan mematikan nafsunya", Nahjul Balaghah, khutbah ke 220.
26. Apakah Tuhan itu harus ditakuti atau dicintai?!
Mencintai dan keterjalinan antara takut dan harapan, serta tentang cinta dalam kaitannya terhadap Tuhan, bukan merupakan suatu hal yang mengejutkan. Karena masalah ini adalah sesuatu yang lumrah dan memenuhi kehidupan kita. Namun karena saking jelasnya masalah ini terkadang membuat kita lalai darinya.
Harus diketahui bahwa tatkala kita berjalan di suatu tempat adalah hasil dari gabungan perasaan takut, harapan dan cinta. Karena ketika tiada harapan maka kita tidak akan berjalan menganyunkan langkah kaki. Dan apabila kita tidak berjalan mengayungkan langkah kaki maka kita tidak akan sampai pada tujuan.
Sepanjang kita tidak merasa takut, maka di sepanjang perjalanan kita tidak akan berlaku hati-hati yang dapat membuat kita cedera dan tetap kita tidak akan sampai tujuan. Masalah ini dapat kita jumpai ketika kita memanfaatkan alat transportasi, media listrik atau alat yang dapat membakar dan sebagainya. Kita berhasrat untuk memanfaatkan media-media tersebut, namun apabila pemanfaatan media tersebut tidak disertai dengan takut dan sikap hati-hati, mendekati media-media tersebut akan menjadi sebab kecelakaan dan kematian kita.
Berangkat dari sini, harus dikatakan bahwa Tuhan itu harus ditakuti dan juga harus dicintai dan mesti menjadi tumpuan harapan. Karena dari satu sisi, cinta, kasih serta menumpukan harapan kepada-Nya akan menuai kebersamaan. Dan dari sisi lain, bergerak, berusaha dan bersegera dalam beraktifitas untuk memperoleh segala sesuatu yang mengundang keridhaan-Nya akan meraup segala anugerah, emanasi, nikmat duniawi dan ukhrawi dari-Nya. Adanya perasaan takut dari-Nya akan menyebabkan munculnya sikap tunduk (khudu'), perasaan khidmat (khusyu'), semakin mengundang ketaatan, membuat orang akan meninggalkan segala maksiat dan segala faktor yang dapat mendatangkan murka, amarah dan azab-Nya.
Keterjalinan takut dan harapan di dunia akan menyebabkan ketenangan yang terlepas dari segala ketakutan dan kesedihan di akhirat; dunia merupakan ladang bercocok-tanam dan tempat beraktivitas. Untuk bercocok tanam dan beraktivitas ia memerlukan penjagaan dan pengawalan dari keterpurukan sehingga ia dapat menuai hasilnya di akhirat kelak. Di tempat ini, ia tidak memerlukan pengawalan dan penjagaan, karena akhirat bukan ladang untuk bercocok tanam dan beraktivitas.
Ketakutan semata (an sich) akan menjadi penyebab keputus-asaan dan kesedihan. Demikian juga, harapan dan cinta semata menjadi sebab penipuan diri, sikap kurang-ajar dan terjerembabnya seseorang ke dalam lembah maksiat dan kedua hal ini adalah tercela dan tidak ideal.
Takut dan harap serta cinta merupakan perkara fitri dan tidak perlu didefinisikan. Manusia dalam menghadapi pelbagai persoalan boleh jadi merasa takut dan gentar seperti: 1. Merasakan adanya bahaya yang mengancam jiwa, harta dan tanahnya.
2. Merasakan keagungan dan wibawa sesuatu;
3. Tidak mengetahui segala akibat dan konsekuensi sebuah perbuatan; dan sebagainya.
Kendati boleh jadi terhadap perkara sebagian faktor datang secara bersamaan.
Perasaan cinta dan kasih diperoleh dari beberapa perkara seperti: a. Mendapatkan ketertarikan dan keindahan pada diri seseorang atau sesuatu yang dicintai. Kecenderungan dan kesukaan kepadanya lantaran kecendrungan dan kesukaan kepada segala keindahan. Dan penyair memandang cinta sedemikian memiliki warna dan pada akhirnya membawa malu.
b. Namun perkara ini tidak berlaku secara umum, melainkan sekiranya pelbagai keindahan ini adalah keindahan yang bersifat selintasan, temporal dan bersifat lahir belaka, perkara ini merupakan perkara yang benar. Namun apabila keindahan (jamal) dan kesempurnaan (kamal), nilai-nilai akhlak atau kesempurnaan dan keindahan eksistensial dan bersifat riil, maka kecintaan ini tidak akan memiliki warna dan konsekuensinya tidak membuat pecintanya merasa malu namun akibatnya adalah kebersamaan.
c. Perasaan ketergantungan dan membutuhkan kepada sang kinasih (mahbub) dan penantian pertolongan dari sang kinasih untuk sampai pada tujuan yang ingin dicapainya. Sang pecinta tidak menginginkan dirinya. Namun yang diinginkan adalah sang kinasih.
d. Kecintaan yang diperoleh melalui perasaan syukur kepada pemilik anugerah dan pecinta yang tertawan hatinya oleh sang kinasih menerima anugerah, pemberian, nikmat dari sang kinasih dan merasa berhutang kepadanya.
e. Sang kinasih menuntut cinta sang pecinta dan ketertarikan sang pecinta kepadanya. Untuk menawannya dan membuatnya bertekuk lutut dan sebagainya, dalam kaitannya dengan seorang kinasih, boleh jadi disertai dengan beberapa faktor.
Apabila kita perhatikan secara seksama pada seluruh aksi dan reaksi kita terhadap jenis ketakutan dan kecintaan serta harapan, maka kita jumpai ketiganya saling terjalin secara berkelindan. Kendati boleh jadi satu dengan yang lainnya memiliki keunggulan dan tidak terjadi keseimbangan di antara ketiganya, namun keterjalinan takut dan harapan (serta kecintaan) merupakan perkara yang tidak dapat dihindari. Iya, perkara ini merupakan perkara yang sedemikian jelasnya sehingga terkadang membuat kita lalai dan kedua hal ini masing-masing berpengaruh pada seluruh perbuatan kita.
Harapan dan cinta, menjadi faktor penggerak bagi kita ke arah perbuatan keseharian dan bahkan perbuatan-perbuatan yang beresiko. Adanya rasa takut akan menjadi penyebab kehati-hatian, ketelitian dan penuh pertimbangan terhadap akibat-akibat dari perbuatan yang kita lakukan serta mempersiapkan pendahuluan-pendahuluan yang diperlukan.
Sekiranya yang ada hanya harapan dan cinta, dan kehati-hatian dikesampingkan, maka segera kita akan terjungkal dan terpuruk. Dan sekiranya yang ada hanya ketakutan maka tiada satu pun perbuatan yang akan kita lakukan, bahkan termasuk makan dan minum lantaran boleh jadi setetes air masuk ke dalam paru-paru kita atau sesuap makanan dapat mencekik dan menjadi penyebab kematian kita!
Oleh karena itu, ekspresi keterkejutan terhadap keterjalinan rasa takut, harapan serta cinta dalam kaitannya dengan Tuhan, adalah suatu hal yang lumrah. Karena hal ini merupakan perlambang kelalaian dari pengenalan terhadap diri kita sendiri.
Kiranya masalah ini perlu dijelaskan lebih jauh. Rasa takut, harap dan cinta kepada Tuhan pada setiap orang berdasarkan timbangan pengenalan mereka kepada Tuhan dan sifat-sifat kesempurnaan (jamâliyah) dan keagungan-Nya (jalâliyah).
Dan pengetahuan agama dari satu sisi, dan perbuatan masa lalu mereka di sisi lainnya, dan ketenangan atau kerisauan teradap masa depannya dari sisi lain berbeda; mereka yang tertarik kepada keagungan dan kebesaran Tuhan dan atau pada masa lalunya terjerembab pada perbuatan dosa dan tidak menuaikan hak-hak Tuhan, rasa takutnya akan lebih dominan dan menguasai daripada harapan dan cintanya.
Dan sebaliknya, mereka yang tertawan keindahan dan kasih Ilahi dan menerima segala anugerah dan perhatian serta pada masa lalunya bersikap hati-hati dan menunaikan adab di haribaan Sang Pencipta. Dan apabila alpa dan lalai, ia mendapatkan gerbang taubah dan ampunan Tuhan terbuka baginya, maka kecintaan dan harapan bagi orang seperti ini lebih dominan daripada takut.
Dan orang-orang yang berbuat in between (kecintaan, harapan dan takut tidak dominan) dan tidak terlalu yakin dengan perbuatan masa lalunya dan juga merasa risau dari ancaman murka dan azab Ilahi dan pada saat yang sama terbersit asa untuk meraup maaf dan kemuliaan dari-Nya. Antara takut dan harap serta cinta terajut keseimbangan.
Akan tetapi yang penting adalah pada kebanyakan masyarakat, takut dan harapnya bersumber dari kecintaan terhadap diri dan naluri untuk memperoleh manfaat dan menepikan kerugian. Artinya adalah bahwa kebanyakan manusia mengekspresikan cinta dan harapan kepada Tuhan berasal dari rasa takut terhadap azab Ilahi dan terjauhkannya dari nikmat Ilahi serta tamak terhadap surga, bidadari dan istana.
Namun mereka yang tertawan keindahan (jamaliyah) dan keagungan (jalaliyah) Tuhan dan terperanjat terhadap keagungan, kemuliaan (izzah) dan kebesaran ('azhama) Tuhan atau keduanya sangatlah sedikit jumlahnya. Selain para nabi dan washi sangat sedikit orang yang sampai pada tingkatan ini.
Imam 'Ali As dalam hikmat abadinya melukiskan tiga kelompok manusia yang beribadah kepada Allah Swt: "Sekelompok orang yang menyembah Allah dengan harapan terhadap anugerah; ibadah mereka ini laksana ibadahnya para peniaga. Sekelompok orang yang menyembah Tuhan lantaran takut; ibadah mereka ini adalah ibadahnya para budak. Ada kelompok orang yang menyembah Tuhan didorong oleh rasa syukur dan terima kasih; ibadah ini adalah ibadah orang-orang merdeka."[1]
Atas alasan ini, sebagian pemuka agama berkata: "Salah satu fondasi penting pembelajaran dan pengajaran dalam Islam adalah cinta (mahabbah). Al-Qur'an yang merupakan pengajar dan guru akhlak memandang cinta sebagai poros terpenting untuk keutamaan-keutamaan akhlak. Dalam kaitan ini, Imam Shadiq As bersabda: "Allah Swt mengajarkan dan menggembleng Nabi Saw dengan cinta Ilahi."[2]
Masalah menakut-nakuti (takhwif) dan memotivasi (tabsyir) dalam al-Qur'an dan riwayat-riwayat Ahlulbait As sangat melimpah. Namun dalam kaitannya dengan orang-orang lemah "tingkatan akhir" dan hubungannya dengan orang-orang menengah "pendahuluan dan media" sehingga manusia pada awal-awal perjalanan diperingatkan dan dimotivasi dan secara perlahan karena merasa diperhatikan dan dicintai ia akan bergerak.[3]
Oleh karena itu, tidak perlu terlalu kaget terhadap keterjalinan takut dan cinta dalam hubungannya dengan Tuhan, melainkan keterjalinan takut dan harapan sangat diperlukan bagi pengajaran dan kemajuan manusia. Karena dengan perasaan takut, manusia akan menghindar dan menjauh dari segala perbuatan maksiat dan segala yang menyebabkan kemurkaan dan azab Ilahi.
Tunduk (khudu') dan merasa khidmat (khusy'u) serta ketaatannya kepada Tuhan akan semakin banyak; dan terdorong oleh rasa cinta ia akan menunaikan segala kewajiban dan yang dianjurkan. Dan berlomba-lomba untuk melaksanakan segala sesuatu yang dapat menarik anugerah, kasih dan nikmat Ilahi.
Pendeknya, hasil rasa takut dan harapnya adalah berlomba pada kebaikan dan memperindah diri dengan segala keutamaan dan menghindar dari segala keburukan dan maksiat. Mengosongkan diri dari segala sifat tercela merupakan kesempurnaan ideal yang dihendaki Tuhan dalam penciptaannya. Artinya ialah pewarnaan diri dengan warna Ilahi dan mencapai makam khalifatuLlah. Merasa tenang dalam mengecap nikmat-nikmat ukhrawi dan terbebas dari segala kerisauan dan kekuatiran, sebagaimana hasil ini berulang kali disinggung dalam al-Qur'an: "Jika mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Qs. Al-Baqarah [2]:62), "Dan sekiranya ahli kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka ke dalam surga yang penuh kenikmatan." (Qs. Al-Maidah [5]:65
Jika tidak demikian, maka rasa takut itu hanya akan menjadi penyebab stress, putus-asa, patah hati dan membuat orang meninggalkan taubat lalu tenggelam dalam perbuatan dosa dan maksiat dan sebagainya. Sebagai pamungkasnya ia akan terpuruk dalam segala duka dan nestapa duniawi dan ukhrawi. Sementara apabila sekedar cinta saja, hal itu akan menjadi sebab orang-orang berlaku lancang dan terjerembab pada perbuatan maksiat, dengan harapan mendapatkan taufik untuk bertaubat pada akhir usianya, tamak yang tidak pada tempatnya kepada rahmat, kemuliaan dan kebaikan Tuhan. Padahal tatkala manusia tidak mencari sebab-sebab penarik ra'fat dan rahmat Ilahi, maka ia tidak dapat mendulang rahmat dan kebaikan (luthf) Tuhan!
Dengan memperhatikan masalah ini, Imam Husain As dalam doa Arafah bersabda: "Sungguh buta mata yang tidak melihat-Mu. Merugilah orang yang tidak mendulang saham cinta baginya."
Oleh karena itu, mengambil sedikit demi sedikit rasa takut dan cinta ini di akhirat nanti akan terjadi. Di tempat itulah azab dan derita akan ditimpakan kepada orang-orang yang tidak menjaga nikmat ini atau bagi orang yang putus harapan dan tenggelam dalam perbuatan maksiat atau tertipu dan tidak mengumpulkan sangu dan bekal di dunia ini.
Dan tempat itu juga akan menjadi nikmat dan ketenangan tanpa kerisauan dan ketakutan bagi orang-orang yang menjaga keseimbangan antara rasa takut dan harapan, menjauh dari perbuatan maksiat dan berlomba-lomba dalam mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhiratnya.
Untuk telaah lebih jauh terhadap kitab akhlak, kami persilahkan Anda untuk merujuk pada pembahasan "khauf dan raja" atau "mahabbah" dan "wilayah."