PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN0%

PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN pengarang:
Kategori: Tafsir
Halaman: 34

PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

pengarang: Ayatullah al-uzhma Syaikh Makarim Syirazi
Kategori:

Halaman: 34
Pengunjung: 58126
Download: 3098

Komentar:

PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 34 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 58126 / Download: 3098
Ukuran Ukuran Ukuran
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

pengarang:
Indonesia
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN


Oleh : Ayatullah al-uzhma Syaikh Makarim Syirazi

Penerjemah : Ahmad Marzuqi Amin





1
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

DAFTAR ISI
Prakata

Perlunya Al-Qur'an dan Bulan Ramadhan

Perumpamaan Pertama: Orang-orang munafik

Perumpamaan kedua: Gambaran lain kaum munafikin

Perumpamaan Ketiga: Orang-Orang Kafir

Perumpamaan Keempat: Infak

Perumpamaan Kelima: Infak yang Disertai Kata-Kata dan Caci Maki

Perumpamaan Keenam: Infak yang Sesuai

Perumpamaan Ketujuh: Akibat Sebuah Berbuatan

Perumpamaan kedelapan: Makanan Riba

Perumpamaan Kesembilan: Penciptaan Isa bin Maryam yang Mencengangkan

Perumpamaan Kesepuluh: Infak Orang-Orang Kafir

Perumpamaan Kesebelas: Kufur dan Imam

Perumpamaan Keduabelas: Melapangkan Dada

Perumpamaan Ketigabelas: Mabda` dan Ma`ad

Perumpamaan Keempatbelas: Negri Yang Baik

Perumpamaan Kelimabelas: Ulama Yang Menyimpang

Perumpamaan keenambelas: Masjid Dharar

Perumpamaan Ketujuhbelas: Dunia yang Sementara

Perumpamaan kedelapanbelas: Orang Kafir dan Orang Mukmin

Perumpamaan Kesembilanbelas: Mereka yang Berdo`a Kepada Selain Allah

Perumpamaan Keduapuluh: Hak dan Batil

Perumpamaan Keduapuluh Satu: Ketaqwaan Memperkenankan Masuk Surga

Perumpamaan Keduapuluh Dua : Amal-Amal Orang Kafir

Perumpamaan Keduapuluh Tiga dan Keduapuluh Empat: Kalimat Yang Baik dan Kalimat Yang Buruk

Perumpamaan keduapuluh Lima: Allah Memiliki Perumpamaan yang Maha Tinggi

Perumpamaan Keduapuluh Enam: Hamba Berhala dan Hamba Allah

Perumpamaan Keduapuluh Tujuh: Mukmin dan Musyrik

Perumpamaan Keduapuluh Delapan: Para Pemula Pemeluk Islam

Perumpamaan Keduapuluh Sembilan: Kufur Nikmat

Catatan Kaki:

2
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Prakata
Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Tuhan Pengatur alam semesta. Shalawat dan salam sejahtera semoga senantiasa tercurah kepada seluruh nabi dan utusan-Nya, terutama nabi terakhir yang paling mulia. Dan juga kepada keluarganya yang suci, maksum dan manusai pilihan-Nya.

Rasulullah Saw, di dalam "khutbah Sya'baniyah" nya yang terkenal, menilai bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan ampunan dan keberkahan 1 . Bulan itu adalah bulan rahmat, karena seluruh amal perbuatan rutinitas manusia, seperti tidur dan bernafas mendapat ganjaran pahala ibadah, terlebih lagi ibadah itu sendiri.

Bulan itu adalah bulan ampunan dan pemberian maaf. Karena pada bulan itu, lautan kasih sayang Ilahi dan pemberian maaf-Nya melimpah ruah. Pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, sementara setan-setan dibelenggu dengan rantai. Setiap malam -sebagaimana tersebut di dalam riwayat- Allah mengampuni tujuh puluh ribu orang, dan pada malam qadar Dia mengampuni sejumlah orang-orang yang diampuni selama satu bulan kecuali orang-orang yang menyimpan kemarahan dan mengadakan permusuhan terhadap saudara-saudara seagama mereka. Dosa-dosa mereka tidak akan diampuni sebelum mereka berdamai.2

Bulan itu adalah bulan penuh keberkahan. Karena pada bulan itu berbagai macam kenikmatan, karunia, baik yang berupa maknawiyah maupun Ilahiyah, diturunkan. Pada bulan itu rahmat Ilahi turun dengan deras kepada manusia. Nikmat yang paling besar adalah turunnya Al-Qur'an al-Karim yang merupakan hidangan langit yang paling besar. Sungguh beruntung orang-orang yang dapat meneguk air jernih pengetahuan darinya, sempat merenung dan bertadabbur atasnya, mengambil permata-permata dari lautan ajarannya, kebun indah hikmahnya dan nasihat-nasihatnya yang semerbak.

Sebagian Negeri Islam, khususnya Negeri Islam Iran, mengharumkan dirinya pada bulan ini dengan tabligh dan menyebarkan ma'arif Ilahiyah. Karena kaum muslimin -dengan memasuki bulan jamuan Ilahi ini- menyambut para muballigh dan para pecinta ma'arif Ilahiyah dengan senang hati. Oleh karena itu, kita saksikan pengkajian-pengkajian Al-Qur'an, bacaan, tafsir dan penjelasan ma'arifnya dan hukum-hukum syari'at serta bertawassul kepada Ahlulbait As bertebaran di setiap gang dan jalan raya.

Kajian ilmiah yang dilakukan oleh seorang marja besar; ayatullah al-Uzhma Makarim Syirazi yang membahas tafsir Al-Qur'an turut pula menyemarakkan bulan mulia tersebut. Dengan ceramah-ceramahnya, beliau menyirami para pecinta Al-Qur'an dengan air jernih ma'arif Al-Qur'an al-Karim.

Tema tafsir dalam ceramah-ceramah Ayatullah Makarim Syirazi yang disampaikan pada tahun 1418 dan 1419 H itu adalah "Perumpamaan dalam Al-Qur'an". Meskipun nampaknya tema tersebut sederhana, namun ia merupakan kajian Al-Qur'an yang paling penting dan rumit. Menyadari kokohnya tema pengkajian tersebut, indahnya penjelasan yang disampaikan oleh mufassir yang mulia ini dan padatnya pembahasan-pembahasan yang terkandung di dalam ceramah-ceramahnya, maka dengan segera saya mengumpulkan, menyusun dan mengaturnya serta menerbitkannya setelah mohon izin terlebih dahulu dari beliau. Jadi buku yang kini ada di hadapan anda adalah kumpulan ceramah-ceramah beliau yang telah disusun dan ditata dengan rapih untuk dihidangkan kepada para pecinta ma'arif Ilahiyah dan Qur'aniyah.


Beberapa Poin yang Perlu diperhatikan :
1. Barangkali ada pembaca yang menduga bahwa ayat-ayat "Perumpamaan-perumpamaan Al-Qur'an" ini telah dijelaskan dengan luas di dalam tafsir "Al-Amtsal". Ya, betul. Tetapi dengan mengkaji buku ini akan kita ketahui bahwa Ustazd yang mulia di dalam ceramah-ceramahnya itu telah sampai kepada hakikat-hakikat yang baru, indah dan sangat bermanfaat yang belum pernah beliau singgung di dalam tafsir "Al-Amtsal". Meskipun kitab itu memiliki berbagai kelebihan dan keistimewaan, namun kita tetap perlu mengkaji pembahasan yang disusun di dalam buku ini.

2. Ustadz Ayatullah al-Uzhma Makarim Syirazi pernah berkata bahwa ada sebagian orang yang memprotesnya ketika beliau mulai menulis tafsir "Al-Amtsal". Orang itu mengatakan bahwa kehadiran kitab tafsir "Majmaul Bayan" sudah mencukupi sehingga tidak perlu lagi menulis kitab tafsir yang baru. Setelah masa berlalu, barulah terungkap bahwa kaum muslimin memerlukan penulisan kitab tafsir yang baru seperti tafsir "Al-Mizan" dan "Al-Amtsal", dan perlunya mereka mengetahui hal-hal baru yang bersumber dari wahyu Ilahi. Hal itu sesuai dengan hadis mulia Rasulullah Saw: "Para ulama tidak akan puas darinya, tidak akan usang dengan seringnya dirujuk dan tidak akan habis keajaibannya"3. Dan para mufassir di setiap masa dituntut untuk mengembangkan kemampuannya, yaitu dengan cara memanfaatkan berbagai ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan baru mereka, sebagaimana dikatakan: "Betapa banyaknya yang ditinggalkan orang-orang terdahulu untuk generasi yang akan datang".

3. Kami mengakui terdapat kejanggalan dalam menyusun dan menata kitab ini, oleh karena itu, kami mengharapkan partisipasi para pembaca yang mulia dengan mengajukan saran-saran dan kritikan yang membangun.

Wahai Tuhan kami, hidupkan dan matikanlah kami bersama Al-Qur'an, dan giringlah kami bersamanya. Amin Ya Rabbal Alamin. Wahai Tuhan kami, terimalah amal kami ini. Sesungguhnya Engkau Mahamendengar dan mengetahui.

Hauzah Ilmiah

Abul Qasim Aliyan Nezadi

18-12-1376Sy = 11-12

Hari kelahiran Imam Ali bin Musa al-Ridha As.





3
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perlunya Al-Qur'an dan Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan yang merupakan bulan diturunkannya Al-Qur'an, memiliki hubungan kuat dengan Al-Qur'an. Untuk menjelaskan hubungan ini, kami perlu mengkaji sebagian ayat-ayat Al-Qur'an mulia secara global. Al-Qur'an menjelaskan pada surat Al-Baqarah ayat 183 tentang kewajiban puasa. Mengingat pentingnya masalah itu, maka dikemukakanlah persoalan-persoalan.?

Puasa secara menyeluruh pada kaum yang lain. Allah Swt berfirman: "Diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian". Kemudian Al-Qur'an menilai takwa dan pendidikan ruhani sebagai hasil berpuasa. Kemudian ada tiga golongan manusia yang dikecualikan oleh Allah dari kewajiban berpuasa, sebagaimana terdapat pada ayat 184 dalam surat tersebut. Adapun golongan yang terakhir diwajibkan membayar kafarah sebanyak 750 gram gandum atau makanan lainnya. Pengecualian lainnya yang menafikan kewajiban puasa adalah para wanita (yang lemah fisiknya) yang baru saja mencapai usia baligh, karena mereka belum mencapai usia sepuluh tahun. Sesungguhnya baligh adalah salah satu syarat diwajibkannya berpuasa. Syarat lainnya adalah mampu melakukannya. Dengan demikian hilanglah problem para wanita tersebut. Karena puasa tidak diwajibkan atas para wanita yang baru baligh ketika mereka tidak mampu melakukannya karena lemahnya fisik dan kecilnya usia mereka.

Kemudian pada ayat 185 dalam surat tersebut, Al-Qur'an memberikan pengumuman bahwa bulan Ramadhan adalah bulan puasa. Al-Qur'an menjelaskan pentingnya bulan tersebut karena ia merupakan bulan diturunkannya Al-Qur'an. Allah Swt berfirman: "Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan menjelaskan petunjuk dan furqan (pembeda antara yang hak dan batil)".

Dari penjelasan ayat tersebut dapat dipahami bahwa turunnya Al-Qur'an pada malam Qadar ke dalam hati Rasulullah Saw tersebut merupakan kelebihan dan keistimewaan bulan mulia ini.


Hubungan bulan Ramadhan dengan Al-Qur'an
Bulan Ramadhan adalah bulan ibadah, pendidikan, meninggalkan maksiat dan melakukan ketaatan. Untuk melakukan tugas penting ini, kita memerlukan pengajaran sekaligus pendidikan. Al-Qur'an memberikan pelajaran kepada manusia sementara puasa mendidiknya. Karena manusia tidak akan sampai kepada kesempurnaan kecuali dengan dua hal tersebut. Pada hakikatnya Al-Qur'an -tanpa diwajibkannya puasa- merupakan pengajaran yang tidak lengkap karena tidak disertai pendidikan. Sementara puasa tanpa Al-Qur'an, merupakan pendidikan yang kehilangan pengetahuan dan ma'rifah. Oleh karena itu setiap muslim diwajibkan berpuasa dan menghidupkan bulan Ramadhan ini agar mendapat pendidikan. Dan dengan merasa dekat dan akrab dengan Al-Qur'an mereka akan mendapatkan petunjuk. Hal itu karena Al-Qur'an merupakan petunjuk, penjelas dan pembeda. Kitab Al-Qur'an ini diturunkan pada bulan Ramadhan, sebagaiman pula ia mewajibkan kaum muslimin untuk berpuasa pada bulan mulia ini. Karenanya kedua bentuk hidayah tersebut perlu diperhatikan.


Tema Pembahasan
Membaca Al-Qur'an mengandung keutamaan yang sangat besar dan tak terhingga banyaknya, khususnya pada bulan Ramadhan yang penuh berkah. Keutamaan tersebut dapat diperoleh apabila bacaan tersebut disertai dengan tadabbur dan tafakkur yang dapat membersihkan jiwa dan menyediakan lahan untuk mengamalkannya. Dengan dasar itulah, pada bulan Ramadhan tahun ini 4 , kami mengadakan pengkajian tafsir Al-Qur'an. Tema yang kami pilih adalah "Perumpamaan-perumpamaan Al-Qur'an" sebagai langkah baru dalam tafsir dan agar semua kalangan dapat mengambil manfaatnya.


Menganapa Al-Qur'an membawakan perumpamaan-perumpamaan?
Lebih dari lima puluh perumpamaan dapat kita temukan di dalam Al-Qur'an 5 . Di dalam surat Al-Baqarah yang merupakan surat kedua, paling tidak terdapat sepuluh buah perumpamaan. Sebenarnya apa hikmah yang terkandung pada perumpamaan-perumpamaan tersebut sehingga Al-Qur'an menyebutkannya begitu banyak? Jawabnya adalah: Sesungguhnya matsal (perumpamaan) ialah menyerupakan realitas-realitas logis dengan hal-hal yang bersifat inderawi dan dapat disentuh. Dari satu sisi, banyak sekali terdapat hal-hal yang bersifat logis yang tidak dipahami oleh kebanyakan manusia. Dan dari sisi lain, manusia lebih akrab dengan hal-hal yang dapat diindera dan dapat disentuh. Oleh karena itu, terdapat pribahasa bahwa "akal pikiran masyarakat awam terdapat pada matanya", artinya bahwa pemahaman manusia terhadap hal-hal yang dapat dilihat dan disentuh itu lebih mudah bagi mereka. Dari sinilah Al-Qur'an memaparkan sebagian pahaman-pahaman akli yang tinggi melalui kulit berbagai perumpamaan agar manusia dapat memahaminya dengan mudah. Atas dsar itu, maka filsafat perumpamaan-perumpamaan Al-Qur'an ialah menurunkan persoalan-persoaaln yang mendalam dan tinggi kepada peringkat yang sesuai dengan ufuk pemikiran manusia.


Matsal-matsal praktis dan ucapan
Poin berikut ini perlu diperhatikan, yaitu bahwa sebagian perumpamaan itu berupa amal perbuatan dan dijelaskan melalui sikap. Sebagian lainnya berupa lafzhi yang dijelaskan melalui lisan dan ucapan.

Sesungguhnya perumpamaan-perumpamaan Al-Qur'an termasuk jenis yang kedua. Tetapi dapat kita saksikan sebagian matsal yang terdapat pada sirah Rasul Saw dan para Imam suci As berupa matsal-matsal praktis. Tentu, hal itu mempunyai pengaruh yang besar 6 . Berikut ini kami bawakan dua contoh.


1. Ketika Dosa-dosa Kecil Bertumpuk
Suatu ketika Rasulullah Saw turun di daerah yang tandus dan kering, beliau berkata kepada para sahabatnya: "Kumpulkanlah kayu-kayu" (tujuan beliau itu, bukan ingin membakarnya). Mereka berkata: "Ya Rasulallah, kita berada di daerah yang tandus yang tidak terdapat kayu-kayu".Beliau berkata: "Hendaklah setiap orang mengambil sekedar kemampuannya". Beberapa saat kemudian mereka membawa kayu-kayu iyu dan menumpuknya di hadapan beliau. Rasulullah Saw bersabda: "Beginilah dosa-dosa bertumpuk", kemudian melanjutkan sabdanya: "Hendaklah kalian jangan sampai meremehkan dosa-dosa kecil, karena segala sesuatu itu dituntut. Ketahuilah, bahwa yang menuntutnya mencatat segala apa yang mereka kerjakan. Dan segala sesuatu kami catat di dalam kitab yang nyata" 7 .

Sesungguhnya dosa-dosa kecil itu bagaikan kayu bakar, ia bertumpuk sedikit-sedikit hingga akhirnya mencapai setinggi gunung api. Sesungguhnya bahaya dosa-dosa kecil itu akibat sikap tidak peduli terhadapnya sebagaimana yang diingatkan oleh Rasul Saw dalam matsal praktisnya.


2. Gambaran Panasnya Neraka Jahanam
Ketika Imam Ali As menjabat sebagai khalifah muslimin dan baitul mal berada pada kekuasaaanya. Beliau mempunyai saudara yang bernama Aqil yang telah berkeluarga dan mempunyai beberapa orang anak. Uang yang dia terima dari baitul mal tidak mencukupi untuk biaya hidupnya. Pada suatu hari ia minta kepada Imam Ali As bagian dari baitul mal yang lebih banyak lagi. Untuk menunjukkan buruknya permintaannya tersebut dan azab akibat tidak adil, beliau As mengambil sepotong besi yang telah dipanaskan. Besi panas tersebut beliau arahkan ke tangan Aqil. Dengan serentak Aqil berteriak, karena ia menduga bahwa Imam Ali akan melukainya dengan besi panas tersebut. Ketika itu Imam Ali As berkata kepada Aqil:"Saudaraku, jika dengan api yang tidak seberapa ini saja kamu tidak sanggup menanggungnya, bagaimana mungkin kamu menyeretku ke api neraka jahanam yang tidak mungkin dapat dibandingkan panasnya dengan api dunia ini? 8 Apabila kamu tidak mampu melihat panasnya api dunia ini, bagaimana mungkin kamu mengajakku kepada kemurkaan Allah demi menyenangkan hati hamba-Nya yang pada akhirnya terjerumus ke dalam api jahanam? Apabila panasnya api yang sedikit ini saja kamu tidak kuat, mengapa kamu bisa menarikku untuk menjauhi ketaatan kepada Allah, hak dan kedilan yang pada akhirnya berujung ke neraka jahanam?

Perumpamaan-perumpamaan seperti ini sangat memudahkan dalam memahami dan mencerna berbagai pengetahuan. Dan matsal seperti ini memiliki pengaruh yang jauh melebihi nasihat dan wejangan. Matsal tersebut tidak hanya khusus berlaku buat Aqil saja dan pada masa itu saja. Bahkan matsal tersebut berlaku untuk semua manusia dan pada setiap masa dan zaman. Untuk tujuan itulah Al-Qur'an menggunakan berbagai perumpamaan.


Tujuan Matsal di dalam Al-Qur'an
Tujuan adanya perumpamaan-perumpamaan telah dijelaskan di dalam sebagian ayat-ayat Al-Qur'an. Berikut ini kami bawakan tiga contoh:

1. Di dalam surat Ibrahim ayat: 25 -setelah kata "al-Kalimah al-Thayyibah" diserupakan dengan "al-Syajarah al-Thayyibah", pembahasannya akan datang- Allah Swt berfirman pada bagian akhir ayat tersebut:"…dan Allah menjadikan perumpamaan-perumpamaan tersebut bagi manusia agar mereka mendapat peringatan". Berdasarkan hal ini maka memberikan peringatan termasuk tujuan dibawakannya berbagai perumpamaan dalam Al-Qur'an.

2. Di dalam surat Al-Hasyr ayat: 21 -setelah Allah Swt menyerupakan sebagian hati dengan gunung dan kemungkinan adanya pengaruh pada gunung itu lebih banyak daripada kemungkinan adanya pengaruh pada hati manusia- Allah berfirman pada bagian akhir ayat tersebut:"…perumpamaan-perumpamaan tersebut Kami jadikan buat manusia agar mereka berpikir". Atas dasar ini maka berpikir itu termasuk tujuan dibawakannya berbagai perumpamaan di dalam Al-Qur'an.

3. Di dalam surat Al-Ankabut ayat: 40-43 -setelah Allah Swt menyerupakan orang yang menjadikan para pemimpin mereka dari musuh-musuh Allah dengan laba-laba yang membuat rumahnya sangat lemah- Allah berfirman pada bagian akhir ayat tersebut:"…dan berbagai perumpamaan tersebut Kami jadikan bagi manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu". Berdasarkan penjelasan ayat ini bahwa pemahaman para ulama itu termasuk tujuan dibawakannya berbagai perumpamaan di dalam Al-Qur'an. Dari uraian di atas dapat kita simpulkan terdapat tiga peringkat pengaruh berbagai perumpamaan terhadap hati manusia, yaitu:

Pertama: Peringkat pemberian peringatan, yaitu peringkat lewatnya hakikat khitab Ilahi di dalam benak manusia.

Kedua: Peringkat tafakur (berpikir), yaitu peringkat anjuran untuk berpikir terhadap subjek matsal dan hikmahnya.

Ketiga: Peringkat memahami, yaitu peringkat seruan memahami dan mencerna berbagai hakikat. 9


Perlunya Khitab Matsal
Sesungguhnya manusia pada sebagian besar persoalan yang mereka hadapi menganggap sesuatu yang besar sebagai dalil bahwa itu penting dan menganggap sesuatu yang kecil sebagai dalil bahwa hal itu kurang penting. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Yang penting adalah khitab yang dikandung oleh sesuatu tersebut keterangan yang dikehendaki oleh si mutakalim. Demikian pula yang terdapat didalam Al-Qur'an al-karim bahwa yang penting adalah khitab yang ditujukan dan diarahkannya melalui matsal-matsal, dan bukan besar atau kecilnya suatu matsal.

Allah Swt berfirman di dalam surat Al-Baqarah ayat: 26: "Sesungguhnya Allah tidak segan-segan untuk membuat perumpamaan sebuah nyamuk atau yang lebih rendah darinya. Adapun orang-orang yang beriman mereka mengetahui bahwa hal itu hak dari Tuhan mereka. Adapun orang-orang kafir mereka berkata: 'Apakah yang dikehendaki oleh Allah dengan perumpamaan ini? Dengan perumpamaan tersebut Dia menyesatkan orang banyak dan memberi petunjuk orang banyak'. Dan tidak ada yang disesatkan allah dengan perumpamaan tersebut, kecuali orang-orang yang fasik".


Merenungkan Ayat-ayat Al-Qur'an
Merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an akan mengantarkan kita kepada poin-poin berikut ini:

1. Sesungguhnya Allah Swt menjadikan tujuan adanya berbagai perumpamaan untuk memberikan hidayah kepada manusia.

2. Pentingnya perumpamaan dan kandungannya melebihi pentingnya kandungan lahiriah dan segala yang maujud di dalam perumpamaan tersebut.

3. Sesungguhnya seluruh makhluk, meskipun sekecil nyamuk, akan mengungkap keagungan Allah Swt.


Syarah dan Tafsir
Sebelum kami mulai menafsirkan ayat dan untuk mempersiapkan konsentrasi agar dapat memahami lebih dalam lagi, sekilas akan kami sebutkan sya'ni nuzul ayat tersebut.

Sesungguhnya rewel dan mencari-cari berbagai alasan termasuk cirri-ciri orang munafik. Orang munafik senantiasa mencari-cari alasan, menunda-nunda dan rewel dengan berbagai alasan yang batil dalam setiap masalah. Mereka tidak peduli dengan arahan-arahan yang ditujukan kepada mereka. Karena mereka mamandang kepada masalah dengan sikap menentang dan beramal atas dasar pandangan ini. Contohnya ialah seperti seseorang atau beberapa orang membangun satu pusat pengkajian Islam yang terdiri dari masjid, perpustakaan, mushalla, rumah sakit dan rumah untuk para jompo dan lain sebagainya. Pada kondisi seperti ini si munafik akan berkata begini: "Apakah dibenarkan membangun pusat Islam sebesar dan semegah ini dan dengan biaya yang besar di kota ini, sementara masih banyak orang fakir miskin dan orang-orang yang lapar? Bukankah lebih baik jika dana yang besar itu digunakan untuk mengenyangkan dan menyelamatkan nyawa para fakir miskin? Alangkah baiknya jika dana tersebut digunakan untuk mengawinkan para pemuda yang masih bujang? Bukankah lebih utama lagi jika dana sebesar itu digunakan untuk membiayai orang-orang sakit dari orang-orang miskin? Bukankah lebih baik jika dana tersebut digunakan untuk tujuan mengajarkan dan mendidik para pemuda?

Sesungguhnya orang ini atau orang-orang yang baik seperti ini, kalau saja mereka keluarkan uangnya itu untuk memberi makan fakir miskin, membantu para pemuda, mengobati orang-orang yang sakit, dan lain sebagainya, maka si munafik tersebut akan beralasan dengan alasan-alasan lainnya seperti: Islam apakah ini? Muslimin macam apakah mereka ini? Kami tidak mendapatkan sebuah masjid pun di kota ini. Sementara Anda telah menyisihkan uang untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Anda telah menyia-nyiakan Islam dengan perbuatan Anda seperti ini. Belajarlah dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka membangun dan mendirikan sinagog-sinagog dan gereja-gereja yang megah dan indah yang menarik perhatian orang-orang. Belajarlah dari orang-orang Hindu, mereka membangun dan mendirikan vihara-vihara besar dan megah untuk patung-patung dan berhala-berhala mereka yang bisu.

Pendek kata, bahwa tujuan orang munafik adalah menentang, menyalahi dan menebarkan bibit-bibit keraguan dan pertikaian, dan menyakiti orang lain. Dengan memperhatikan mukadimah trsebut, kami akan menjelaskan ayat berikut ini.

Ketika turun sebagian perumpaman Al-Qur'an, mulailah orang-orang munafik merasa ragu, melakukan kritikan dan berkata: "Perumpamaan macam apakah yang dibawakan AL-Qur'an ini? Karena Allah Swt -dengan keagungan dan kemuliaan-Nya- tidak layak membawakan perumpamaan yang lemah seperi nyamuk 10 dan laba-laba, atau perumpamaan yang berupa benda mati seperti guruh dan kilat. 11 Tujuan mereka melontarkan ucapan semacam itu adalah untuk menyebarkan keraguan bahwa Al-Qur'an bersumber dari Allah Swt, dan bahwa Al-Qur'an itu bukan wahyu Ilahi.

Sudah pasti, apabila Alalh Swt tidak menurunkan ayat-ayat dan perumpaman semacam ini, atau Dia menurunkan kalimat-kalimat dan ungkapan yang rumit, pasti orang-orang munafik akan beralaan dengan lainnya dan mengatakan: "Mana mungkin ucapan semacam ini merupaka Kalam Ilahi, sementara kita tidak dapat memahaminya sama sekali? Atau mereka akan berkata: "Mengapa Allah tiak menurunkan persoalan-persoaaln dan berbagai hakikat dengan bahaa yang mudah dipahami oleh semua orang? Sebagaimana hal ini terjadi pada nabi Syuaib As dan dikisahkan di dalam surat Hud ayat: 91, Allah Swt berfirman:

"Mereka berkata :"Wahai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang engkau katakana itu, sedang kenyataannya kami memandang engkau seorang yang lemah di antara kami. Kalau tidak karena keluargamu, tentu kami telah merajam engkau, sedang engkau pun bukan seorang yang berpengaruh di lingkungan kami."

Dari penjelasan ayat tersebut dapat dipahami bahwa berpegang kepada berbagai alasan sebagai logika mereka. Dari satu sisi mereka berkata: "Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang engkau katakana itu". Artinya : Kami tidak paham apa yang engkau ucapkan. Sementara dari sisi lain mereka berkata: "Kalau saja tidak karena keluargamu, temtu kami telah merajammu". Artinya: Kalau bukan karena sukumu, pasti kami telah membunuhmu. Syu'aib As menjawab: "Wahai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah?" 12

Mengingat bahwa orang-orang munafik yang membangkang itu membuat keragu-raguan dan berhujjah (beralaan) atas perumpaman tersebut dengan benda-benda mati atau sesuatu yang lemah, maka surat Al-Baqarah ayat: 26 menjawab dan mematahkan hujjah mereka. Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak segan untuk membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu…"

Sesungguhnya kefasihan suatu perkataan terkadang menuntut perumpamaan dengan sesuatu yang besar dan terkadang pula dengan sesuatu yang kecil. Jika perumpamaan itu ditujukan untuk menjelaskan sesuaut yang agung, maka ia diserupakan dengan sesuatu yang besar. Dan jika ditujukan untuk menjelaskan kecil dan lemahnya sesuatu, maka ia diserupakan dengan benda atau binatang yang kecil dan lemah. Atas dasar itu, maka sesungguhnya perumpamaan sesuatu yang besar tidak selamanya menunjukkan atas ketinggian dan fasihnya suatu perkataan. Dengan demikian, tidak ada problem alal qaran ketika mengumpamakan dengan sesuatu yang sesuai dengan subjek matsal dan tujuannya, meskipun kecil atau besar.

Sesungguhnya orang-orang mukmin dan saleh, ketika mereka mengetahui hakikat dan kandungan perumpamaan tersebut, mereka tahu bahwa hal itu adalah hak dan datang dari Tuhan mereka dan mereka tidak mengingkarinya. Tetapi bagi orang-orang munafik dan kafir, karena fanatic dan pembangkangan mereka, mereka berkata: "Apa sebenarnya yang dikehendaki Allah dengan perumpamaan ini, Dengan perumpamaan terebut banyak orang yang dibiarkannya sesat, dan dengan itu banyhak pula orang yang diberi hidayah."


Kekeliruan kaum munafik
Sesungguhnya kekeliruan besar orang-orang munafik tidak pedulinya atau tidak ada perhatian mereka kepada balaghah dan kefasihan Al-Qur'an yang merupakan salah satu bentuk i'jaz Al-Qur'an al-Karim dan Rasulullah Saw.13

Kefasihan dan balaghah merupakan bagian dari ilmu-ilmju ke-Islaman yang dipelajari di hauzah-hauzah Ilmiah. Suatu uangkapan itu disebut fashih, apabila ia dijelaskah dengan kata-kata yang indah. Dan apabila ia memiliki makna yang tinggi dan dalam, maka ia disebut baligh. Atas daar itulah, fashahah dan balaghah -yang merupakan bagian dari I'jaz Al-Qur'an- diartikan sebagai keindahan lahiriah yng mengandung ungkapan yang tinggi.

Jelas, bahwa Al-Qur'an al-Karim itu fasih dan baligh. Artinya bahwa lahiriahnya indah, memiliki gaya tarik untuk didengar dan diperhatikan dan kandungan maknanya mulia dan tinggi.

Sesungguhnya Al-Qur'an telah mencapai puncak balagah dan kafasihan, sehingga musuh-musuh Islam menamakannya sebagai sihir. Hal itu karena Al-Qur'an membuat pendengarnya pasrah dan tunduk kepadanya. Hal itu sebenarnya merupakan klaim dan pengakuan mereka terhadap gaya tarik Al-Qur'an yang luar biasa yang keluar dari kewajaran secara umum, sehingga banyak manusia yang beriman karena mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an.


Gaya tarik Al-Qur'an dan menyelamatkan muslimin
Banyak orang-orang Islam pada masa permulaan Islam yang pergi hijrah ke Habasyah akibat tekanan yang semakin kuat yang dilakukan oleh kaum musyrikin Makkah. Ketika mereka disambut dan diterima dengan baik oleh raja Habasyah, kaum musyrikin segera mengirimkan beberapa orang delegasinya untuk menjumpai Najasyi (raja Habasyah) dengan membawa hadiah yang melimpah agar orang-orang Islam itu dikembalikan ke Makkah. Pada awalnya delegasi-delegasi itu sangat berambisi untuk mendekati raja Habasyah. Sesampainya mereka dihadapan raja, mereka berkata: "Wahai raja, sekelompok orang-orang bodoh dari kalangan kami ini telah berlindung (mohon suaka politik) di negaramu. Mereka mengangkat agamanya dan tidak mau mengikuti agamamu. Mereka membawa agama baru yang mereka buat, kami dan juga kamu tidak mengenalnya. Kami telah mengutus kepadamu para pembesar kaum mereka, yaitu ayah-ayah, paman dan suku mereka, agar engkau mengembalikan orang-orang ini kepada mereka. Karena mereka lebih berhak untuk memantaunya, dan lebih mengetahui bagaimana membuat mereka jera dan melakukan sangsi.

Dari semua sisi, pertemuan tersebut menguntungkan orang-orang kafir, karena mereka telah menyiapkan berbagai mukadimah agar dapat mengambil sikap yang menguntungkan mereka. Tetapi berkat kebaikan dan kemuliaan Najasyi, dia meminta kepada kaum muslimin untuk menjelaskan sikap mereka. Mulailah Ja'far bin Abi Thalib Ra angkat bicara dengan memperkenalkan Islam, Rasulullah Saw dan Al-Qur'an. Najasyi minta agar ia membacakan sebagian ayat-ayat Al-Qur'an.

Memperhatikan situasi dan kondisi, waktu, tempat dan orang-orang yang hadir pada waktu itu memeluk agama masehi, maka Ja'far membacakan ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang kelahiran Isa As. Seketika itu, pertemuan yang tadinya dan sejak awal menguntungkan orang-orang kafir dan membahayakan orang-orang Islam, berbalik menjadikan kaum muslimin beruntung. Mendengar ayat-ayat Al-Qur'an tersebut, mulailah Najasyi dan pemuka-pemuka agamanya meneteskan air matanya. Kefasihan Al-Qur'an, balagah dan gaya tariknya, sedemikian kuatnya mempengaruhi Najasyi sehingga ia menolak dan mengembalikan hadiah-hadiah orang-orang kafir yang diberikan kepadanya. Sementara itu, ja'far dan kaum muslimin diizinkan untuk tinggal di Habasyah sampai kapan saja yang mereka inginkan.14


Contoh lain pengaruh Al-Qur'an
Contoh lainnya dari pengaruh kefasihan Al-Qur'an dan balagahnya adalah: Kisah As'ad bin Zurarah. Kabilah As'ad sudah semenjak lama selalu berseteru dengan kabilah lainnya. Pada suatu hari As'ad pergi dari Madinah menuju ke kota Makkah untuk menziarahi Ka'bah dan patung-patung yang berada di sekitarnya. Di tengah jalan ia berjumpa dengan seorang musyrikin. Orang itu memperingatkannya agar tidak mendengarkan ucapan seorang penyihir yang duduk dekat Hijir Ismail. Mulailah As'ad sibuk melakukan tawaf. Ketika ia memandang wajah Rasulullah Saw yang bercahaya, sejenak ia berpikir. Akhirnya ia memutuskan untuk mendengarkan dan memperhatikan apa yang diucapkan oleh Rasulullah Saw, dan ia siap mengkritiknya manakala ia dapat ucapan beliau itu tidak logis.15 Ketika ia mendekati Rasul dan mendengarkan beberapa ayat Al-Qur'an, ia merasa tertarik hingga mohon kepda beliau Saw agar membacakan ayat-ayat yang lainnya. Rasul pun membacakannya, kemudian ia menyatakan ke-Islamannya. As'ad menceritakan ikhtilaf yang terjadi antara kabilah-kabiblah di Madinah dan mengundang Rasul agar datang ke Madinah untuk menyelesaikan pertikaian tersebut. 16


Khithab-khithab ayat

Nyamuk bukan hewan yang hina
Banyak para mufasir terkenal, di antaranya adalah al-Marhum al-thabarsi. Di dalam kitab tafsirnya yang berharga; Majma'ul Bayan, beliau menukil sebuah hadis dari Imam As-Shadiq As. Beliau As bersabda -sehubungan dengan perumpamaan Al-Qur'an- :"Allah Swt menjadikan perumpamaan seekor nyamuk, karena nyamuk dengan bentuknya yang kecil itu, telah Allah ciptakan di dalamnya seluruh apa yang dia ciptakan di dalam gajah dengan bentuknya yang besr dan dua anggota tambahan lainnya. Dengan hal itu, Allah Swt ingin memberi peringatan kepda orang-orang beriman mengenai keindahan dan kaajaiban ciptaan-Nya. 17

Sesungguhnya Allah Swt dengan perumpamaan tersebut pada hakikatnya ingin menjelaskan keunikan ciptaan-Nya. Dan berpikir mengenai lemahnya hewan tersebut secara lahiriah -yang telah Allah ciptakan mirip dengan hewan darat yang paling besar- dapat menuntun manusia kepada keagungan penciptanya.


Penjelasan
Di dalam badan nyamuk yang lemah itu terdapat anggota badan gajah yang bentuknya besar. Terdapat di dalamnya alat pencernaan, belalai yang unik yang memiliki lubang yang dalam, anggota untuk bergerak dan alat kelamin dan lain sebagainya. Bahkan nyamuk memiliki dua buah tanduk yang mirip dengan antenna. Gunanya untuk berkomunikasi di antara mereka dan dengan lingkungan di sekitarnya. Hali ini tidak terdapt pada gajah.


2. Dua hijab besar: melimpahnya kenikmatan dan kebiasan atasnya
Ada dua perkara yang membuat manusia lalai dari nikmat-nikmat Allah yang besar dan tidak peduli untuk memikirkan keunikan dan keindahan ciptaan-Nya.


Pertama: Hijab melimpahnya nikmat
Sesungguhnya melimpahnya kenikmatan dapat membuat manusia meremehkan, tidak menganggap dan tidak berpikir tentangnya. Sebagai contoh misalnya: Seekor nyamuk jika langka di alam ini, lalu jatuh ke tangan para ilmuan, pasti mereka akan menilai bahwa nyamuk itu memiliki nilai yang tinggi. Kemudian mereka pasti akan mengadakan penelitian dan penyelidikan tentangnya.


Kedua: Hijab kebiasan
Mata manusia -misalnya- termasuk tanda-tanda ciptaan Allah yang besar. Hanya saja kita tidak memikirkan dan tidak memperhatikan penciptaannya. Demikian halnya dengan telinga. Telinga merupakan penerima suarua yang kokoh, unik dan menakjubkan. Karena kita telah terbiasa mendengar dengannya, maka kita tidak mengetahui kadar dan nilainya yang tinggi. Padahal jika kita amati secara teliti, bukan hanya dua anggota tersebut, bahkan setiap sesuatu yang ada di alam dunia ini, kita dapati menakjubkan dan penuh dnegan keajaiban yang dapat menyingkap berbagai rahasia penciptaan, keagungan dan ketahuhidan.


3.Petunjuk dan kesesatan dalam Al-Qur'an
Pada bagian akhir ayat tersebut, Allah Swt menjawab uapan orang-orang munafik yang mengatakan: "Apa sebenarnya yang Allah kehendaki dengan mengadakan perumpamaan seperti ini? Sementara banyak orang yang tersesat dan banyak pula yang mendapat pentujuk?". Allah Swt menjawab mereka: "Dengan perumpamaan tersebut Allah tidak menyesatkan, kecuali orang-orang yang fasik". Pada ayat ini dan ayat-ayat yang serupa dengannya 18, kesesatan dinisbahkan kepada Allah Swt sebagaimana petunjuk -pada ayat-ayat lainnya- dinisbahkan juga kepada-Nya. 19

Jika petunjuk dan kesesatan dari Allah Swt dan kita ini terpaksa atasnya dan tidak memilii kehendak sama sekali, tetapi mengapa Allah Swt memberi ganjaran pahala kepada orang-orang yang mendapat petunjuk dan menyiksa orang-orng yangsesat meskipun mereka itu terpaksa?

Terdapat banyak pandangan dalam menafsirkan ayat tersebut dan yang sesrupa dengannya. Sebagian ulama berkata: "Maksud dari "menyesatkan" ialah: "menguji". Artinya Allah Swt ingin menguji manusia melalui perumpaman-perumpamaan tersebut." 20

Ulama lain berkata: "Maksud dari petunjuk dan kesesatan ialah menyiapkan mukadimah-mukadimah keduanya dan bukan menyiapkan keduanya. Sedang keputusan akhir kembali kepada kehendak manusia itu sendiri. Seakan-akan Allah Swt mencabut keberhasilan dari orang-orang yang membangkang. Dengan demikian maksud dari kesesatan adalah: mencabut keberhasilan (taufik). 21

Sebab adanya ikhtilaf di antara mufassirin adalah karena rumit dan sulitnya mengartikan dua kosa kata (Al-Dhalal dan al-Hidayah). Oleh karena itu, kita harus menjelaskan kedua kosa kata tersebut, kemudian berusaha memecahkan problema ikhtilaf dalam menafsirkan kata terseut.


Arti hidayah
Perhatikan contoh ini baik-baik. Sesungguhnya tetes-tetes air hujan yang lembut dan bersih sera dapat memberikan kehidupan turun di atas seluruh permukaan bumi. Sebagaimana juga matahari memancarkan dinarnya ke atas bola bumi dan memberikan cahaya penerangan dan energi. Hujan dan matahari merupakan rahmat Allah Swt. Tetapi hasil pertanian yang diperoleh dari tanah berkat kedua nikmat hujan dan sinar matahari ini berbeda-beda. Di tanah yang kering tumbuh pohon-pohon berduri. Sementara di tanah yang subur tumbuh bunga-bunga dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat. Apakah sebab perbedaan tersebut karena air hujan dan sinar matahari, ataukah karena tanahnya yang kering?

Tidak diragukan lagi, bahwa sumber perbedan tersebut adalah tanah. Sekiranya bibit-bibit pohon bunga ditebarkan di tempat bibit-bibit pohon berduri pada tanah tersebut, pasti tanah itu akan berganti menjadi sebidang kebun bunga. Atas dasar itulah, jika dikatakan bahwa air hujan turun kepada kita dengan membawa pohon-pohon berduri, hal itu tidak berarti bahwa hujan merupakan penyebabnya. Tetapi karena tanah itulah yang tidak subur.

Sesungguhnya masalah hidayah dan kesesatan berlaku seperti itu. Karena curahan rahmat Ilahi itu turun kepada hati seluruh umat manusia dengan perantara Rasul Saw. Dan mereka semua telah mendengarkan wahyu Al-Qur'an. Orang-orang yang sebelumnya telah menyiapkan lahan hatinya, pasti akan mendapat hidayah. Adapun mereka yang tidak menyirami hatinya dengan pancaran iman dan tidak menyiapkan diri mereka, pasti akan tersesat.

Sesungguhnya ayat-ayat Al-Qur'an mendukung klaim tersebut.
Ayat yang kedua dari surat Al-Baqarah berbunyi: "Itulah kitab Al-Qur'an yang tidak terdapat keraguan sedikit pun di dalamnya". Artinya bahwa hidayah itu akan dilimpahkan kepda orang-orang yang menyingkirkan tirai fanatic dan pembangkangan dari hati mereka, dan mereka memiliki kesadaran penuh.

Pada ayat yang sedang dibahas di sini (Surat Al-Baqarah ayat: 26) Allah Swt berfirman: "Tidak disesatkan melainkan orang-orang yangfasik". Artinya mereka itu rang-orang yang fasik dan lahan hati mereka gersang. Oleh karena itu mereka disesatkan Allah. Kemudian tumbuhlah di dalam hati mereka -dengan turunnya hujan rahmat dan iman- duri-duri kekufuran.

Di dalam surat Ar-Rum ayat: 10 Allah Swt berfirman:" Kemudian kesudahan bagi orang-orang yang berbuat kejahatan adalah azab yang buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah". Artinya bahwa mendustakan ayat-ayat Allah Swt dan kesesatan merupakan hasil dan akibat perbuatan orang-orang yang zalim terhadap diri mereka sendiri. 22 Atas dasar itu, maka hidayah dan kesesatan sebagai akibat dari perbuatan manusia. Karena Allah Swt -Yang Mahabijak secara mutlak- telah menetapkan ketentuan-ketentuan-Nya atas hamba-hamba-Nya sesuai dengan kebijakan-Nya. Apabila aku melangkahkan kaki untuk meraih rahmat Ilahi, maka aku pasti akan memperoleh hidayah-Nya. Tetapi jika aku menapakkan kakiku pada jalan selain hak, maka aku akan menjadi mishdaq bagi ayat yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah menyesatkan orang yang dikehedaki-Nya dan memberi hidayah kepada siapa yang kembali kepada-Nya". Maka akhir perjalananku adalah kesesatan.

Berdasarkan penjelasan ayat tersebut dapat dipahami bahwa hidayah itu bukan tanpa usaha. Bahkan seseorang itu akan mendapatkan curahan hidayah jika ia melangkahkan kakinya menuju jalan hak dan kembali kepada Allah Swt. Sementara orang-orang yang memusuhi Allah Swt, maka akhir perjalanannya hanyalah kesesatan.

Pendek kata, tidak ada keterpaksan kepada keduanya. Karena hidayah dan kesesatan merupakan hasil dan akibat amal perbuatan manusia itu sendiri.

Kesesatan merupaka racun yang dapat membunuh seseorang. Oleh karena itu, jika seseorang berani meneggak racun itu dengan kehendaknya sendiri, maka janganlah menyalahkan orang lain.

Sebenarnya ayat-ayat hidayah dan kesesatan, tidak serumit yang dibayangkan. Karena ayat-ayat itu ditafsirkan oleh ayat-ayat lainnya di dalam Al-Qur'an.

Akhirnya taklif dan tugas seorang muslim adalah beramal dan berusaha sebatas kemampuannya untuk menyiapkan lahan hati agar dapat menerima hujan rahmat Ilahi. Dan mohon kepada Allah Swt bantuan dan ampunan atas segala kesalahan yang dikerjakannya.





4
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Pertama

Orang-orang munafik
Perumpamaan pertama subjek pembahasan kita terdapat pada surat Al-Baqarah ayat: 17 dan 18. Ayat itu berbunyi:

"Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api, setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka tidak dapat melihat dalam kegelapan. Mereka tuli, bisu dan buta. Sehingga mereka tidak dapat kembali".


Gambaran pembahasan
Ayat ini berbicara tentang orang-orang munafik yang menggunakan tabir nifak. Tetapi akhirnya tabir nifak tersebut terkoyak. Dan kesudahan orang-orang munafik itu adalah kehinaan.

Di sini orang munafik diserupakan dengan manusia yang tersesat sendirian di padang pasir. Dia berusaha menemukan jalan untuk menyelamatkan dirinya dengan menyalakan api. Tetapi usahanya itu tidak berguna, sehingga ia tetap dalam kebingungan.


Syarah dan tafsir
Terdapat dua penafsiran atas ayat tersebut.

Penafsiran pertama: Perumpamaan orang-orang munafik seperti orang-orang yang tersesat di padang sahara yang gelap dan menakutkan. Asumsikanlah bahwa seorang musafir tertinggal sendirian dari robongannya di tengah-tengah padang pasir yang gelap. Dia tidak memiliki lampu, cahaya dan penunjuk jalan. Dia juga tidak tahu jalan dan tidak memiliki bushlah. Dari satu sisi dia merasa khwatir terhadap para penyamun dan binatang-binatang buas. Dari sisi lain iapun merasa khawatir akan mati akibat lapar dan dahaga. Kondisi ini mendorongnya untuk berpikir serius untuk mencari jalan dan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat selamat dari bahaya yang dihadapinya. Setelah melakukan berbagai usaha, dia menemukan kayu bakar. Disulutlah kayu tersebut kemudian ia bawa untuk menerangi jalannya. Tetapi angin yang kencang memadamkan cahaya kayu tersebut. Kemudian ia segera mencari kayu lainnya agar dapat meneranginya, tetapi usahanya itu sia-sia, bahkan malah menambah jauh penyimpangan dan ketersesatannya dari jalan.

Sesungguhnya orang-orang munafik seperti musafir ini telah tersesat jalan. Mereka berada dalam kegelapan dalam hidup yang penuh cahaya ini. Mereka tertinggal dari kafilah kemanusiaan dan iman, dan tidak menemukan penunjuk jalan. Karena Allah Swt telah memadamkan cahaya hidayah dari hati mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan.

Orang-orang munafik mempunyai dua wajah. Wajah lahir mereka muslim, tetapi bagian dalamnya kafir. Bagian lahirnya benar, tetapi batinnya dusta. Bagian lahirnya ikhlas, tetapi batinnya ria. Bagian lahirnya jujur, tetapi batinnya pengkhianat. Bagian lahirnya bersahabat, tetapi batinnya memusuhi. Mereka sengaja membuat lahiriahnya tipuan yang menerangi. Mereka sengaja menampakkan ke-Islaman-nya agar dapat mengambil keuntungan dari kejayaan Islam. Hewan sembelihan mereka halal, kehormatan mereka terpelihara, harta benda mereka terjaga dan dapat menikah dengan kaum muslimin. Mereka dapat menikmati materi duniawi yangsedikit yang mereka peroleh berkat cahaya api yang mereka sulut. Hanya saja cahaya tersebut menjadi padam setelah kematian mereka (Allah mamadamkan cahaya yang menerangi mereka). Ketika itu Allah Swt membiarkan mereka dalam kegelapan alam kubur, alam barzakh dan pada hari kiamat. Pada saat itulah mereka mengerti bahwa ke-Islaman lahiriah mereka dan keimanan mereka yang ria tidak ada gunanya sama sekali.

Kesimpulannya ialah bahwa dalam ayat atau perumpamaan tersebut terdapat tasybih (penyerupaan). Orang-orang munafik adalah mereka yang diserupakan, sedangkan musafir yang kebingungan di padang sahara adalah yang diserupakan dengannya (al-musyabbah bihi). Sedangkan titik keserupaannya (wajhu at-tasybih) adalah kebingungan dan kesesatan serta usaha lahiriahnya itu tidak membuahkan hasil apa-apa.

Penafsiran kedua: Sehubungan dengan penafsiran pertama, perlu kami ingatkan bahwa cahaya lahiriah dari api dan kegelapan yang mengikuti cahaya tersebut, tidak hanya khusus pada hari kiamat maknawi saja. Tetapi terdapat akibat-akibatnya pula di dunia ini.

Orang munafik tidak akan pernah dapat menyembunyikan kemunafikannya. Karena pada akhirnya akan terbongkar juga. Dan hal ini terjadi ketika ia melihat dirinya atau maslahatnya terancam dalam bahaya dan kehancuran. Fainnahu yafshah 'an khuldihi al-Qadzara...

Tidakkah kita melihat dengan mata kepala kita pada masa-masa terjadinya revolusi Islam dan pada masa kebangkitan yang terjadi sebelumnya? Betapa banyak orang-orang munafik yang tersingkap -dengan berlalunya masa- isi hati mereka yang busuk, dan terbuka tabir nifak dari dalam hati mereka. Akhirnya mereka dipermalukan di dunia ini. Semoga Allah Swt menjaga kita dari keburukan diri kita. Atas dasar ini maka sesungguhnya kata: "Allah telah memadamkan cahaya mereka" tidak hanya khusus pada hari akhirat dan kiamat saja. Bahkan hal itupun akan terjadi di dunia ini.


Khitab ayat

1. Pembagian orang-orang munafik
Orang munafik, tidak hanya bersifat individu. Bahkan bisa jadi bersifat kelompok, organisasi, partai bahkan dalam bentuk pemerintahan dan negara tertentu. Telah kita saksikan terungkapnya sebagain negara yang menggunakan kedok Islam secara lahiriah. Mereka juga ikut menghadiri seminar-seminar dan konfrensi Islam. Hal itu terjadi karena mereka menjalin hubungan dengan musuh islam terbesar, yaitu Israel perampas. Tersebarnya perjanjian yang menghancurkan antara mereka dengan Israel dan apa yang tersembunyi dan yang nampak. Cahaya klaim-klaim mereka menjadi padam dan terungkaplah wajah nifak dan riya' mereka. Ya, itulah akibat kemuanfikan mereka. "Ambillah pelajaran dan ibrat darinya wahai orang-orang yang berakal".


2. Gambaran nifak
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahsan secara global yang telah lalu adalah adanya gambaran nifak yang bermacam-maca, yaitu sebagai berikut:

a. Nifak dalam akidah, ialah: Seperti seseorang yang mengaku dengan ucapannya bahwa dia seorang muslim. Tetapi dia tidak dianggap seorang muslim. Atau ia menampakkan keimanannya. Tetapi ia tidak dianggap termasuk orang-orang mukmin.

b. Nifak dalam perkataan, yaitu: Seseorang yang berkata-kata sesuatu, tetapi ia sendiri tidak meyakininya. Atas dasar ini, maka pendusta itu munafik. Karena perkataannya tidak sesuai dengan isi hatinya.

c. Nifak dalam perbuatan, yaitu: Seseorang yang amal perbuatannya berbeda dan bertentangan dengan isi hati batinnya. Misalnya seperti seseorang yang berpura-pura melakukan shalat atau bersikap jujur. Tetapi sebenarnya ia tidak ingin melakukan shalt dan pengkhianat.


3. Tanda-tanda nifak
Rasulullah Saw pernah bersabda dalam sebuah riwayat tentang tanda-tanda seorang munafik: "Ada tiga perkara yang merupakan sifat-siafat orang munafik, meskipun ia melakukan shalat dan berpuasa dan meyakini bahwa dirinya itu muslim, yaitu: jika diberi amanat, ia berkhianat, jia berbidara, ia berdusta dan jika berjanji, ia mengingkarinya".


Pertama: Khianat.
Pengkhianat adalah munafik, karena ia berpura-pura jujur, tetapi sebenarnya ia pengkhianat. Oleh karena itu, kita tidak mungkin menyerahkan urusan baitul mal. Terkadang sebagian orang itu jujur ketika menghadapi harta yang yang jumlah sedikit. Tetapi jati dirinya sebagai pengkhianat terungkap ketika menerima amanat berupa harta yang banyak.


Kedua: Dusta.
Pendusta itu munafik. Hal itu karena ia menyembunyikan berbagai rencana busuknya di dalam hatinya dan menentang kenyataan dan realita melalui ucapan-ucapannya, meskipun ia rajin shalat, membaca doa, dzikir dan lain sebagainya.


Ketiga: Mengingkari janji.
Orang yang mengingkari janjinya itu muanfik. Karena menepati janji itu merupakan hal yang penting dari sisi akhlak dan hukum fikih. Bahkan terkadang -menepati janji itu- menjadi wajib hukumnya. 23

Kesimpulannya bahwa setiap sesuatu yang memiliki dua wajah adalah termasuk nifak.


4. Sejarah orang-orang munafik
Masyarakat tidak pernah kosong dari orang-orang muanfik. Bahkan bisa dikatakan bahwa sifat nifak itu muncul sejak adanya kehidupan manusia di muka bumi ini. Jadi permusuhan orang-orang munafik terhadap masyarakat terungkap sejak masa itu. Orang-orang munafik merupakan musuh masyarakat yang paling berbahaya. Karena mereka mengenakan pakaian pershabatan, tetapi menyimpan permusuhan.

Sesungguhnya muqara'tul a'da (menyingkirkan permusuhan) merupakan salah satu sifat masyarakat. Dan hal pelaku hal itu tidak terdapt dalam diri si munafik.

Karena munafik senantiasa menampakkan dirinya sebagai kawan. Oleh karena itu ia merupakan musuh bebuyutan. Karenanya, ungkapan-ungkapan Al-Qur'an mengenai orang-orang munafik sangat keras sekali.


Orang-orang munafik dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an mengungkap tentang orang-orang munafik -sebagaimana telah kami singgung di atas- dengan ungkapan-ungkapan yang keras. Berikut ini kami sampaikan sebagian ayat tentangnya:

a. Allah Swt berfirman dalam surat Al-Munafiqun ayat 4: "Mereka adalah musuhmu, maka berhati-hatilah".

Al-Qur'an -melalui ayat-ayatnya yang mulia- menegaskan tentang musuh-musuh kaum muslimin.24 Tetapi tidak menggunakan metode seperti ini tentang msusuh-musuh lainnya. Sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, susunan kalimat tersebut menunjukkan bahwa orang-orang munafik merupakan musuh sejati manusia.

b. Selanjutnya Allah Swt berfirman: "Allah memerangi mereka dimana saja mereka berada", yakni mereka menyimpang dari jalan yang benar. Khitab yang keras ini jarang terjadi, dan Al-Qur'an tidak menggunakannya pada kasus lainnya. 25

c. Allah Swt berfirman dalam surat An-Nisa ayat 145 :"Sesungguhnya orang-orang munafik berada di neraka yang paling dasar. Dan engkau tidak mendapatkan penolong buat mereka". Atas dasar itu, maka sudah seharusnya untuk menjauhi berkawan dengan musuh-musuh Allah yang termasuk tanda-tanda nifak.

Kata "Ad-Durj" dan "Ad-Darajah" memiliki makna yang sama. Begitu pula dengan kata "Dark" dan "Darak". Hanya saja kedua kata pertama digunakan sebagai anak tangga untuk naik ke atas. Sementara kedua kata yang kedua digunakan sebagai anak tangga untuk turun ke bawah. Kedua kata ini (Dark dan Darak) digunakan dalam Al-Qur'an. 26

Sesungguhnya "Ad-Darkul Asfal" ialah jurang neraka jahanam atau tempat yang paling bawah di jahanam. Sudah jelas bahwa siksaan di tempat tersebut lebih dahsyat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Allah Swt telah menyiapkan siksa yang paling pedih untuk orang-orang munafik. Hal ini menunjukkan betapa penting dan sensitifnya masalah nifak dan bahaya orang-orang munafik dalam seluruh perjajian, baik dahulu maupun pada zaman sekarang.


Bahaya munafikin dalam pandangan Rasulullah Saw
Al-Marhum As-syaikh Abbas Al-Qummi Ra menukil hadis dari Rasulullah Saw di dalam kitabnya yang berharga (Safinatul Bihar) pada kata (nafaqa).

Beliau bersbda: "Aku tidak merasa khaatir atas umatku, baik yang mukmin mupun yang musyrik. Seorang mukmin Akan dijaga oleh Allah karena keimanannya. Adapun seorang musyrik akan di jebloskan ke neraka oleh Allah karena kemusyrikannya. Tetapi aku khawatir atas kalian setiap munafik yang pandai berbicara, ia berbicara apa yang kalian ketahui, tetapi melakukan apa yang kalian ingkari". 27

Berdasarkan riwayat tersebut, Rsulullah Saw merasa cemas terhadap masyarakat Islam dari bahaya orang-orang munafik. Kecemasan beliau tersebut tidak hanya terbatas pada masa itu dan di Hijaz saja, tetapi kecemasan beliau itu meliputi sepanjang masa dan negeri-negeri Islam, bahkan juga termassuk negara islam Iran.


5. Pemakaian kata "An-Nar" dalam Al-Qur'an
Terdapat dua kesimpulan yang dapat diambil dari pemakaian kata "An-Nar" dan bukan "An-Nur" dalam Al-qur'an.

Pertama: Asap dan debu merupakan konsekuensi api. Seorang munafik membahayakan orang lain dengan sesuatu yang timbul dari api tersebut yang ia nyalakan dendiri. Yaitu berupa bahaya yang akibatnya adalah perpecahan dan kedengkian yang menimpa umat manusia. Sedangkan orang mukmin memanfaatkan An-Nur (cahaya) yang murni dan menerangi imannya.

Kedua: Meskipun orang-orang munafik menampakkan lahiriah mereka dengan cahaya iman, tetapi hakikat mereka adalah api. Dan kalaupun mereka menyandang keimanan, maka iaman mereka lemah sekali dan dalam tempo yang sejenak. 28


6. Cahaya dan kegelapan
Allah Swt berfirman: "Dan Allah membiarkan mereka dalam kegelapan, dan mereka tidak dapat melihat". Kata "Zhulumat" (kegelapan) digunakan sebanyak 23 kali dalam Al-Qur'an. Dan tidak pernah digunakan dalam bentuk mufrad (singular), tetapi semuanya dalam bentuk jamak (plural). Adapun kata "An-Nur" digunakan sebanyak 43 kali dalam Al-Qur'an dan dalam bentuk mufrad (singular) bukan jamak. Gerangan apakah khitab ini?

Rahasianya adalah bahwa Al-Qur'an ingin menjelaskan bahwa cahaya itu satu meskipun ragamnya banyak, yaitu cahaya Allah (Allah adalah cahaya langit dan bumi).29 Cahaya iman, cahaya ilmu, cahaya yakin, cahayan persatuan dan kebersamaan, itu semua kembali kepada satu cahaya, yaitu cahaya Allah, bukan cahaya selain-Nya. Oleh akrena itu, Al-Qur'an tidak menggunakan kata "An-Nur" dalam bentuk jamak.

Adapun nifak, kufur, ikhtilaf dan perpecahan, bukan merupakan satu kegelapan, melainkan kegelapan yang bermacam-macam. Ada kegelapan bodoh, kegelapan kufur, kegelapan bakhil, kegelapan hasad, kegelapan tidak merasa takut kepasa Allah, kegelapan hawa nafsu, kegelapan bisikan seta dan lain sebagainya. Pendek kata bahwa kegelapan itu bermacam-macam, bukan satu saja. Oleh karena itu ia digunakan dalam bentuk jamak.


7. Tiga sifat munafik
Sesungguhnya orang-orang munafik -sesuai dengan ayat tersebut- memiliki tiga sifat:

Pertama: Shummun. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata Ashamm, artinya adalah tuli.

Kedua: Bukmun. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata Abkam, artinya adalah bisu. Maksud dari ayat tersebut ialah bahwa mereka tidak dapat mendengar dan tidak mampu berbicara. Orang yang tuli tidak mampu berbicara meskipun indera ucapannya normal. Karena manusia tiak mungkin dapat berkata-kata satu kalimat pun yang tidak dapat ia dengar dan tidak ia pelajari. Oleh karena itu Al-Qur'an mengungkapkannya dengan sifat ashamm sebelum sifat Abkam. Maksudnya adalah bahwa pada akhirnya orang-orang minafik itu tuli dan bisu selamanya.

Ketiga: 'Umyun. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata A'ma, artinya ialah buta. Dengan demikian orang-orang munafik itu tuli, bisu dan buta. Artinya mereka tidak memiliki telinga untuk mendengar, tidak memiliki lidah untuk berbicara dan tidak memiliki mata untuk melihat. Dalam kondisi seperti itu, bagaimana mungkin mereka dapat mengetahui jalan yang benar? Bagaimana mungkin mereka menmgetahui penyimpangan dan kesalahan mereka?

Sesungguhnya ketiga indera tersebut merupakan sarana bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Telinga sebagai alat untuk belajar, lidah sebagai alat untuk memindahkan berbagai ilmu pengetahuan dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan mata sebagai alat untuk mengungkap berbagai ilmu pengetahuan dan fenomena-fenomena baru.

Orang yang kehilangan tiga indera tersebut, pasti ia tidak akan dapat keluar dari jalan yang menyimpang, sebagaimana pula ia tidak mungkin dapat kembali kepada jalan yang benar. Tetapi ada sebuah pertanyaan yang perlu dilontarkan di sini, yaitu: Kita saksikan bahwa orang-orang munafik dapat menggunakan ketiga indera tersebut, lalu kenapa Al-Qur'an menafikan hal itu? Jawabnya adalah: Sesungguhnya Al-Qur'an memiliki mantik (logika) tertentu. Artinya bahwa Al-Qur'an memandang segala sesuatu itu berdasarkan sisi atsar dan pengaruhnya.

Karenanya, ada dan tidaknya sesuatu itu tergantung kepada ada dan tidaknya atsar tersebut. Atas dasar ini, maka orang-orang yang dapat menggunakan nikmat pandangan matanya tetapi mereka tidak menggunakannya untuk menyaksikan ayat-ayat Allah dan tidak mengambil i'tibar (pelajaran) dari pemandangan dunia, mereka itu pada hakikatnya -menurut pandangan Al-Qur'an- buta.

Mereka yang dapat menggunakan nikmat pendengaran,tetapi tidak mereka gunakan untuk mendengarkan kalam Allah dan jeritan orang-orang yang teraniaya dan tertindas, maka pada hakikatnya mereka itu tuli menurut logika Al-Qur'an. Dan mereka yang dapat menggunakan nikmat lisannya, tetapi mereka tidak menyibukkan dirinya dengan dzikir kepada Allah, amar makruf dan mencegah kemungkaran serta menuntun orang-orangf yang bodoh, maka pada hakikatnya mereka itu bisu menurut rasio Al-Qur'an.

Berdasarkan logika ini, maka -pada tataran yang lebih luas- sebagian manusia yang masih hidup dianggap mati. Dan sebaliknya sebagian manusia yang sudah mati dianggap hidup. Sebagai contohnya adalah bahwa Al-Qur'an mensifati syuhada (orang-orang yang mati) di jalan hak sebagai manusia hidup meskipun secara lahiriah mereka telah mati. Allah Swt berfirman:

"Dan janganlah kalian mengira orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu sebagai orang-orang mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dan mendapat rizki". 30

Sesungguhnya syuhada' itu dalam pandangan Al-Qur'an hidup. Karena mereka memberikan pengaruh sebagaimana orang yang masih hidup. Mereka menghidupkan Islam dan mengenang mereka dapat mendorong perbuatan makruf dan kebajikan. Allah Swt berfirman paa ayat yang lainnya:

"Dia tidak lain kecuali merupakan peringatan dan Qur'an yang nyata agar dia memberikan peringatan orang yang masih hidup. Dan azab itu hak bagi orang-orang yang kafir". 31

Sesungguhnya orang-orang yang masih hidup menurut pandangan Al-Qur'an sesuai dengan ayat ini ada dua golongan. Golongan pertama: Orang-orang mukmin yang dalam hidupnya mengamalkan Al-Qur'an. Kedua: Orang-orang non mukmin. Mereka adalah mayat-mayat yang hidup di masyarakat. Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak memiliki pendengaran yang taat sebagai orang-orang mati menurut pandangan Al-Qur'an.

Kesimpulannya bahwa orang-orang munafik meskipiun mereka memiliki pendengaran, penglihatan dan lisan, tetapi mereka kehilangan manfaat panca indera tersebut. Oleh karena itu mereka dianggap sebagai orang-orang yang tuli, bisu dan buta menurut pandangan al-Qur'an. Oleh karena itu mereka tidak dapat kembali kepada jalan yang hak. Karena mereka kehilangan sarana pengetahuan. Keadaan mereka tak ubahnya seperti orang-orang yang memiliki sifat-sifat tuli, bisu dan buta yang jatuh terjerembab. Dan kita tidak mungkin dapat menlong mereka. Karena mereka tiak memiliki lisan untuk menjawab, tiodak memiliki telinga untuk mendengar peringatan kita dan tidak memiliki mata untuk dapat melihat tanda-tanda bahaya sebelum jatuh terjerembab.


8. Sumber kemunafikan
Sumber nifak itu ada tiga:


Pertama: Tidak mampu berhadapan langsung.
Sesungguhnya musuh-musuh Islam, ketika tidak mampu memgadakan perlawanan secara langsung, mereka menggunakan pakaian nifak (kemunafikan) untuk meneruskan permusuhan dan perlawanannya. Musuh-musuh Rasul Saw saat itu menampakkan permusuhan terhadapnya. Tetapi mereka menampakkannya dengan kepatuhan dan ketundukan ketika Rasul dapat mengalahkan mereka. Dan mereka melanjutkan permusuhannya terhadap Islam dengan menyembunyhikan kekafirannya. Abu Sufyan dan semisalnya tetap dalam kesesatan nifaknya hingga akhir hayatnya.32 Oleh karena itu dikatakan bahwa nifak (kemunafikan) itu mulai tumbuh di Madinah. Karena Islam ketika di Makkah masih lemah dan tidak seorang musuh Islam pun yang merasa takut.

Oleh karena itu mereka tidak memrlukan untuk menampakkan ke-islaman dan menyembunyikan kekafiran. Tetapi kami meyakini bahwa nifak itu sudah mulai muncul sejak di Makkah, meskipun motivasi nifak di Makkah bukan rasa takut. Melainkan motivasinya ketika itu adalah perhitungan sebagian orang bahwa islam di masa mendatang akan mengalami kajayaan. Hal inilah yang menjanjikan dan menjamin mereka masa depan yang baik.

Kita dapat menyaksikan cara nifak ini pada setiap masa dan revolusi, diantaranya ketika terjadi revolusi Islam di Iran. Sebagian orang-orang munafik adalah musuh-musuh Islam yang mengalami kekalahan dalam peperangan menentangan revolusi dan mereka tidak mampu untuk mengadakan perlawanan secara terbuka dan terang-terangan.


Kedua: Mental yang lemah
Orang-orang yang lemah jiwanya, penakut dan tidak mempunyai keberanian untuk memprotes dan berkata-kata dalam menentang lawan-lawannya senantiasa berusaha menggunakan nifak sebagai jalan hidupnya. Mereka tidak berani berhadapan langsung, tetapi menampakkan persetujuannya dengan semua orang.

Orang munafik senantiasa menampakkan ke-Islamannya ketika berada di kalangan muslimin, berpura-pura menyembah api ketika berada di kalangan para penyembah api dan berpura-pura sebgai ateis ketika berada di lingkungan orang-orang ateisme. Hal itu karena lemahnya mentelnya, sehingga ia tiak berani menampakkan akidahnya yang sebenarnya. 33


Ketiga: Cinta dunia
Sesungguhnya kemunafikan internasional pada masa sekarang ini disebabkan karena cinta dunia. Sesungguhnya sebab terjadinya nifak dan bermuka dua dalam bermuamalah dan adanya berbagai undangan untuk menghormati hak-hak manusia yang dilakukan oleh negara-negara super power dan berbagai hal dan diamnya beberapa negara pada hal-hal lainnya, meskipun telah terjadi berbagai kejahatan terhadap manusia adalah karena cinta dunia. Negara-negara tersebut menggunakan cara-cara itu ketika kepentingannya terancam dan menggunakan kebebasan tersebut untuk melawan negara-negara lainnya yang mencoba menghalangai kepentingannya. Tetapi negara-negara itu menutup mata ketika kejahatan itu dilakukan oleh negara sahabatnya yang tidak mengganggu kepentingannya, sekalipun kejahatan itu dilakkukansecara terus terang dan tidak ada keraguan sedikitpun.

Al-Qur'an al-Karim telah menjelaskan contoh yang jelas dan menyakitkan tentang usaha sekolompok munafikin tersebut di dalam ayat 75-77 pada surat At-Taubah.

"Dan di antara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah, "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami, niscaya kami akan bersedekah dan niscaya kami termasuk orang-orang yang saleh". Ketika Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan beraling, dan selalu menentang kebenaran. Maka Allah menanamkan kemunafikan di dalam hati merekasampai pada waktu mereka menemui-Nya, karena mereka telah mengingkari janji yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta".

Ayat-ayat ini turun berkenaan dengan Tsa'labah bin Hathib salah seorang golongan anshar. Dia pernah berkata kepada nabi Saw: "Berdoalah kepada Allah agar Dia melimpahkan harta kepadaku". Rasul Saw bersabda kepadanya: "Wahai Tsa'labah, harta yang sedikit tapi engkau dapat mensyukurinya, lebih baik daripada harta yang banyak tetapi engkau tidak mampu mensyukurinya.34 Bukankah kehidupan Rasul merupakan contoh yang baik buatmu? Demi jiwaku di tangan-Nya, sekiranya aku menginginkan gunung itu menjadi emas dan perak buatku, maka aku dapat melakukannya". Pada suatu hari Tsa'labah datang kembali menjumpai rasul Saw, dia berkata: "Ya Rasulallah, berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan harta keapdaku. Demi Zat yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, jika Dia memberikan harta kepadaku, niscaya aku akan memenuhi hak-hak orang-orang yang berhak". Kemudian nabi Saw berdoa: "Ya Allah berikanlah Tsa'labah rizki". Kemudian ia membeli seekor kambing, kambing itu dengan cepat berkembangbiak seperti ulat sehingga kota menjadi sempit baginya. Lalu ia pergi menjauhi kota dan mencari sebuah lembah. Kambing-kambing itu semakin banyak berkemebang biak sehingga ia harus pergi menjauhi kota dan meninggalkan shalat jum'at dan jama'ah. Ketika itu Rasul Saw mengutus seseorang untuk minta sedekah darinya, tetapi ia menolaknya dengan kikirnya ia berkata: "apa ini kalau bukan pajak.35 Rasulullah Saw bersabda: "Sungguh celaka Tsa'labah, sungguh celaka Tsa'labah". Kemudian turunlah ayat tersebut.36

Al-Qur'an al-karim menjelaskan bahwa kemunafikan Tsa'labah disebabkan karena kekikiran, cintanya keapda dunia dan mengingkari janjinya. Yang menakjubkan adalah bahwa ayat mulia tersebut menganggap kemunafikan tsa'labah itu berlangsung terus hingga hari kiamat dan sifat nifak itu tidak keluar dari dalam hati mereka hingga hari perjumpamaan mereka dengan Allah Swt. Ya Allah jadikanlah akibat danakhir urusan kami berupa kebaikan.

Apabila kita menginginkan agar tidak terjangkiti penyakit yang amat membahayakan ini, maka kita harus menjauhkan dan menghindari sebab-sebab kemunafikan. Khususnya kita sekarang ini berada pada malam-malam bulan Ramadhan yang penuh berkah. Hendaknya kita banyak mengambil keberkahan malam-malam ini pada waktu sahur, yaitu dengan melakukan shalat malam sekalipun dengan singkat dan tanpa melakukan semua yang disunatkan. Hendaknya kitra sujud, bersandar dan berlindung kepada Allah dari perbuatan nifak dan berbagai dosa dan akhlak-akhlak yang buruk.





5
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan kedua

Gambaran lain kaum munafikin
Allah Swt berfirman pada dua ayat 19 dan 20 dalam surat Al-Baqarah:

"Atau seperti orang yang ditimpa hujan lebat dari langit yang disertai kegelapan, petir dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya untuk menghindarisuara petir karena takut mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir. Hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari, mereka berjalan dibawah sinar itu, dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti. Dan sekiranya Allah menghendaki, niscara Dia hilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sungguh Allah Mahakuasa atas segala sesuatu".


Ragam perumpamaan Al-Qur'an
Di dalam Al-Quran terdapat berbagai macam perumpamaan. Allah Swt menggunakan perumpamaan yang berragam itu untuk menjelaskan berbagai persoalan penting yang memiliki pengaruh besar dalam mendidik manusia demi kebahagiaannya. Terkadang Allah mendatangkan perumpamaan berupa benda-benda mati, sebagaimana pada ayat 17 dalam surat ar-Ra'd :

"Aallah telah menurunkan air hujan dari langit, maka mengalirlah air itu di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari logam yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada pula buihnya yangf seperti buih arus tersebut. Demikianlah Allah membuat perumpamaan tentang yangbenar dan yang batil".

Untuk menjelaskan esensi hak dan batil, Al-Qur'an menggunakan hujan sebagai perumpamaan. Ketika air hujan itu turun dari langit, ia mengucur dalam keadaan bersih. Kemudian ketika mengalir di permukaan bumi, air itu menjadi kotor karena lumpur dan berbagai kotoran yang terdapat di atas tanah. Terkadang kotoran tersebut berubah menjadi buih. Ketika air hujan itu mengalir sampai ke lembah-lembah, maka buihnya hilang sedikit demi sedikit dan kembali menjadi bersih. Hak dan batil seperti air tersebut. Sementara buih-buih yang kotor diperumpamakan sebagai kebatilan dan air suci yang mengalir sebagai hak dan kebenaran.

Terkadang Al-Qur'an mendatangkan perumpamaan berupa tumbuh-tumbuhan, sebagaimana terdapat pada ayat 24 pada surat Ibrahim :

"Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang kuat, akarnya kuat dan cahanya menjulang ke langit".

Sesungguhnya contoh yang paling jelas bagi kalimat yang baik adalah kalimat "La Ilaha Illallah". Kalimat ini Allah umpamakan sebagai pohon yang baik dan senantiasa subur.

Pada tempat lainnya Al-Qur'an membawakan perumpamaan berupa hewan-hewan. Contohnya adalah pada ayat 26 pada surat Al-Baqarah:

"Sesungguhnya Allah tidak meraa malu untuk membuat sebuah perumpamaan sesuatu berupa seekor nyamuk atau yang lebih rendah lagi".

Di sini Allah Swt membawakan perumpamaan dengan seekor hewan yang kecil. Sebagaimana pula Dia membawakan perumpamaan tersebut pada ayat 41 dalam surat al-Ankabut.

Terkadang Al-Qur'an membawakan perumpamaandengan manusia sebagaimana pada ayat 171 surat Al-Baqarah. Allah swt berfirman:

"Dan perumpamaan orang-orang kafir adalah seperti seorang pengembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka itu tuli, bisu dan buta. Oleh karena itu mereka tidak mengerti"

Allah Swt menyamakan Rasul Saw dalam ayat ini denganseorang pengembala. Sementara orang-orang kafir Allah samakandengan binatang-binatang yang digembala oleh pengembala.

Sesungguhnya sebab utama beragamnya perumpamaan-perumpamaan Al-Qur'an adalah untuk menyederhanakan pemahaman dan mendalamnya bagi mukhatab (audiens) pda masa awal Islam, yaitu orang-orang Arab yang ummi (tidak mampu baca tulis) pada masa jahiliyah. Demikian juga kaum muslimin, kecuali sekelompok kecil. Mereka tidak dapat memahami ayat-ayat itudengan baik.

Wama Kana Bil Imkani Tafhimuhum..... hal 38





6
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Ketiga:

Orang-Orang Kafir
Allah SWT berfirman: "Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti" .37

Rintangan terbesar dihadapan dakwar para nabi adalah taklid buta.

Taklid kepada nenok moyang dan kepada orang-orang terdahulu adalah terus-menerus menjadi penghalang utama di hadapan dakwah para nabi. Ketika para nabi menyeru umat-umatnya kepada agama dan tauhid, mereka pun menjawabnya dengan perkataan berikut: "Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya".38

Sebab sebenararnya penolakan mereka terhadap seruan para nabi adalah kebiasaan menyembah berhala-berhala sebagaimana dilakukan nenek-moyang mereka serta taklid buta kepada para pembaharu dan para nabi. Maka penolakan orang-orang kepada Rosulullah Saw ketika menyerunya kepada agama Islam dan menyembah Allah yang Esa, tidaklah lebih sebagai rasa heran terhadap ajakan Rosulullah Saw kepada Islam yang bertolakbelakang dengan tradisi-tradisi yang mereka takdili selama ini. Penolakan mereka hanyalah karena ketaklidan kepada nenek-moyang dari menyembah berhala-berlaha yang mereka buat dengan tangan-tangannya sendiri, dan mereka pun memakannya kembali saat merasakan lapar.

Terkait dengan hal ini, Allah Swt melukiskan perkataan orang-orang kafir sebagai berikut: "Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan" .39

Dalam beberapa buku sejarah tertulis, suatu hari Abu Thalib r.a jatuh sakit dan Muhammad, anak Pamannya sedang tidak di rumah karena sibuk berdakwah.

Lalu datanglah para pemuka suku Quraisy kepada Abu Thalib dengan maksud menjenguknya, lalu mereka berkata: Engkau adalah pemuka dan pembesar kami.

Kami datang kepadamu agar kamu menyatakan sikap antara kami dan keponakanmu, karena ia benar-benar telah menghapus dan menghancurkan mimpi-mimpi kami.

Lalu Abu Thalib memanggil Rosulullah Saw dan berkata: wahai putra saudaraku, mareka, kaummu meminta kepadamu. Beliau Saw berkata: Apa yang mereka minta dariku? Mereka berkata: .Kami mengajakmu pad atuhan-tuhan kami dan kamu mengajak kami pada Tuhan kamu. Maka Rosulullah Saw bersabda: Apakah kalian sanggup memberiku sebuah kalimat yang dimiliki oleh orang-orang Arab dan Azam (non-Arab)? Abu Jahal menanggapinya: Semoga ayahmu ada pada lindungan-Nya, kami akan memberimu dengan sepuluh kali lipat darinya. Beliau Saw bersabda: katakanlah bahwa tiada Tuhan selain Allah. Lalu mereka berdiri dan berkata: Dia telah jadikan tuhan-tuhan itu menjadi Tuhan yang esa.40 Rosulullah Saw telah berusaha maksimal mengajak mereka kepada pengesaan Allah SWT (tauhid).


Syarakh dan tafsir
Dalam teks perumpamaan Qur`an ini, orang-orang kafir disamakan dengan binatang. Dan untuk menjelaskan perumpamaan ini, al-Qur`qan mempertegasnya dengan menjelaskan ketaklidan mereka adalah ketaklidah yang dilakukan secara buta kepada nenek-nenek moyangnya. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat al-Baqarah: ayat 170: "Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".

Ayat ini seakan-akan ingin mengatakan: wahai orang-orang bodoh, apakah ketaklidan kalian kepada para leluhur kalian padahal mereka tidak menggunakan akalnya sedikitpun adalah taklid karena mengerti dan sengaja? Lalu dalam konteks ini Rosulullah Saw digambarkan seperti seorang pengembala -ketika beliau Saw membacakan ayat-ayat ini kepada orang-orang musyrik- yang memanggil ternak gembalaannya dengan bunyi-bunyi suara tertentu untuk mengarahkan langkah mereka, namun gembala-gembala ini tetap saya tidak mengerti maksud panggilannya kecuali sebagai bunyi-bunyian tertentu saja. Ketika sang pengembala mengeraskan suaranmya maka barulah berpengaruh kepada gembalaan itu, dan kalau tidak maka tidak ada pengaruh apa-apa bagi mereka.

Sesungguhnya perumpamaan orang-orang musyrik adalah seperti hewan-hewan gembalaan ini yang tidak mau mengerti makna-makna dan pengertian agung yang dibacakan kepada mereka. Bahkan mereka tidak dapat memahami seruan itu kecuali hanya sebagai suara-suara dan musik yang kamu mainkan saja.
Karena itu, mereka tetap saja berlalu dengan ketaklidaan butanya kepada nenek-nenek moyangnya.


Sasaran-sasaran ayat tersebut
Pertama, sesungguhnya ayat tersebut adalah jawaban yang tepat untuk pertanyaan berikut; Apabila benar Qur`an itu adalah wahyu Tuhan, maka tentu ia dapat membekas dan berpengaruh pada hati orang-orang dan meninggalkan efek di dalamnya. Lalu kenapa kita tidak menyaksikan efek ini kepada orang-orang musyrik. Hati-hati mereka tetap saya membeku dan tidak pernah tersadarkan hingga akhir usianya?

Sebuah efek akan terjadi terhadap sesuatu apapun jika terdapat dua faktor;

1. Kemampuan pemberi efek, dan

2. Kemampuan atau kesanggupan penerima efek

Dan tidak diragukan lagi bahwa al-Qur`an adalah pemberi efek yang berkemampuan memberikan sebuah efek dan pengaruh, hanya saja orang-orang kafir itu tidak memiliki kesanggupan menerima dan menangkap ajaran-ajaran al-Qur`an. Sama seperti potensi air hujan yang dapat menumbuhkan tanaman, namun apabila ia jatuh pada sebuah batu maka kita pun tidak dapat berharap akan tumbuh tumbuh-tumbuhan darinya. Demikian itu karena batu memang tidak memiliki kesanggupan ditumbuhi biji tumbuh-tumbuhan. Demikian juga halnya dengan kondisi orang-orang kafir. Sesungguhnya firman Allah Azza wa Jalla bagaikan curahan air hujan dan sementara hati orang-orang kafir itu seperti batu keras yang tidak dapat bergeming ketika terkenai tetesan-tetesan lembut al-Qur`an.

Namun sekeras apapun sebuah batu, percikan-percikan air hujan lama-kelaman akan juga memberikan bekas kepadanya. Sekalipun hati orang-orang kafir itu telah membatu dimana fotensi menerima sebuah efek di dalamnya telah mengkristal, maka firman Allah akan bermanfaat dan dapat meninggalkan bekasnya.

Dari sini jelas bahwa kemampuan pemberi efek saja masih belum cukup, namun dituntut juga kesanggupan penerima efek pada sisi penerima, dan orang-orang kafir itu tidak memiliki kemampuan menerima efek tersebut.

Kedua, kesuksesan upaya orang-orang mendapatkan ajaran-ajaran al-Qur`an akan sesuai dengan standar kemampuan mereka menerima ajaran-ajaran tersebut.

Al-Qur`an adalah laksana sebuah taman dimana setiap orang dapat menikmatinya dengan standar kemampuan yang dimilikinya. Atau ia laksana air yang berasal dari air terjun, maka tidaklah setiap orang dapat meminumnya sebagai air kehidupan dan dapat menghilangkan rasa hausnya. Perbedaan kemampuan masing-masing orang akan menentukan seberapa besar kemampuan mereka menimum air dairnya.

Sesungguhnya orang-orang kafir tidak memiliki wadah atau tempat untuk menampung air sumber tersebut. Mereka pun tidak memiliki kemampuan menangkap curahan rahmat dan anugrah ilahi. Demikian itu disebabkan oleh ketaklidan buta mereka kepada para leluhurnya sehingga menghalangi mereka dari memperoleh curahan pengetahuan ilahiyah.

Dengan gambaran lain, ketaklidan mereka kepada agama nenek moyangnya menjadi sebuah penghalang kuat sampainya pengetahuan kepada mereka.

Sekalipun mereka memiliki penglihatan, pendengaran dan lisan, mereka tetap buta, tuli dan tidak sanggup memahami sesuatu.

Ayat tersebut juga dapat ditafsirkan dengan tafsiran lain, yaitu; Wahai orang-orang musyrik, kalian berlutut (ruku) kepada berhala-berhala, menyembahnya dan memohon kepadanya. Sesungguhnya ia tidaklah bisa mendengar kebutuhan-kebutuhan kalian dan tidak pula dapat melihat aktivitas-aktivitas kalian. Ia pun tidak dapat berbicara dan berkata-kata kepada kalian. Ia buta, bisu dan tuli seperti binatang. Wahai orang-orang, kamu telah memecahkan sendiri kepribadianmu dengan beribadah dan tunduk kepada berhala-berhala yang diam ini.

Sesungguhnya dhamir hum pada kalimat "fahum" dan dhamir yang ada pada kalimat "lâ ya`qilûn" keduanya ditunjukkan untuk orang-orang yang berakal. Karena itu, tafsiran yang pertama jauh lebih bisa diterima oleh akal.

Al-hasil, sasaran sesungguhnya ayat tersebut adalah penolakan terhadap taklid buta kepada para leluhur dan nenek moyang.


Taklid dalam al-Qur`an
Banyak sekali ayat al-Qur`an yang berbicara tentang taklid. Di antaranya adalah ayat-ayat yang mengecam praktek taklid dan menganggapnya sebagai kemunduran. Salah satu dari ayat tersebut adalah ayat ke 170 dari surat al-Baqarah.41

Namun sejumlah ayat lain tidak hanya mengecam prkatek taklid saja, bahkan sebaliknya, menganjurkan orang-orang untuk melakukannya seperti firman Allah Swt pada surat al-Anbiya ayat 7; "Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu
kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui".

Dengan melihat pertentangan sekilas diantara dua contoh ayat tadi, lalu apa yang menjadi tugas seorang mukmin? Apakah taklid merupakan praktek yang baik atau terlarang dan diharamkan? Apakah memungkinkan seorang mukmin bertaklid kepada seorang berilmu (ahlul `ilm)?


Macam-macam taklid
Untuk lebih memperjelas penjelasan tema taklid ini, alangkah baiknya jika kita mengkaji dahulu berbagai macam bentuk taklid.

Pertama, taklid seorang jâhil (bodoh) kepada seorang jahil lainnya. Contoh taklid seperti ini adalah taklidnya orang-oranag kafir dan musyrik yang jahil kepada nenek moyang mereka yang juga jahil. Taklid seperti ini adalah terlarang dan tidak dapat dibenarkan berdasarkan pertimbangan syari`at dan akal sehat.

Kedua, taklid seorang berilmu (`âlim) kepada seorang berilmu lainnya. Seorang `âlim adalah orang yang memiliki pandangan dan pengetahuan sehingga ia tidak dapat dibenarkan bertaklid kepada seorang `âlim lainnya. Demikian itu, karena seorang `âlim bertugas untuk berfikir, mengeluarkan pandangan-pandangan dan mengambil manfaat dari ilmunya sendiri. Karena alasan inilah di dalam ilmu fiqh disebutkan seorang mujtahid haram bertaklid kepada mujtahid lainnya.

Ketiga, Taklid seorang `âlim kepada seorang jâhil. Yaitu seorang pemikir meninggalkan hasil pemikiran dan pandangan-pandangannya untuk kemudian mencari pandangan orang-orang awam guna melakukan menyesuaian dengan mereka. Amat di sayangkan di zaman sekarang taklid semacam ini banyak sekali terjadi.

Contoh yang paling mencolok adalah sistem demokrasi di Barat. Dengan alasan demokrasi, para pemikir dan ilmuan harus rela mencampakkan hasil pemikiran dan risetnya, lalu melakukan penyesuaian dengan pandangan umum masyarakat. Apabila terdapat pertentangan pandangan antara para ahli dan suara mayoritas masyarakat, maka para ahli harus meninggalkan pemikiran dan hasil-hasil risetnya, dan kemudian mengambil suara masyoritas masyarakat.

Keempat, taklid seorang bodoh kepada seorang `âlim (berilmu). Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang suatu bidang permasalahan hendaknya ia bertanya kepada seorang `âlim atau seorang spesialis dibidangnya. Orang yang sakit haruslah merujuk kepada seorang dokter. Seseorang yang hendak membangun rumah hendaknya merujuk kepada seorang insinyur. Seorang petani yang hendak menggali sumur haruslah merujuk kepada seorang insinyur yang khusus membidangi bidang ini. Orang-orang akan merujuk kepada seorang marja dalam permasalahan-permasalahan agamanya, dan lain sebagainya.

Kesimpulannya disini ialah bahwa seorang jahil hendaknya bertaklid kepada seorang `âlim. Yakni ia harus merujuk kepada orang-orang yang spesialis dan ahli dibidangnya. Jenis taklid seperti ini banyak terjadi dalam banyak dimensi kehidupan kita, dan sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi.

Dari pembahasan tadi dapat disimpulkan bahwa tiga jensi taklid pertama adalah jenis taklid yang dilarang, dan ayat-ayat yang kandunganya mengecam praktek taklid adalah dimaksudkan untuk ketiga jensi taklid ini. Adapun jenis taklid yang keempat tidak hanya diperbolehkan bahkan ia justru terpuji, dan ayat-ayat yang menganjurkan agar orang-orang melakuklan taklid adalah berkaitan dengan jenis taklid yang keempat ini.42

Namun di sini kita juga harus memperhatikan spesialisasi dan keilmuan seseorang pada bidang tertentu sebagai satu-satunya alasan seseorang diperkenankan melakukan transper pengetahuannya kepada orang lain pada bidang keilmuan tertentu, dan tidak ada alasan lain selain itu. Akan tetapi patut disayangkan apa yang terjadi belakangan ini, kita menyaksikan beberapa orang memberikan berbagai komentar pada berbagai bidang keilmuan berbeda dan tidak spesifik sesuai dengan spesialisasinya. Ia menyampaikan pandangannya terkait dengan masalah hijab, kishash, warisan, permasalahan dan ijtihad kaum wanita, diyat (denda), dan lain sebagainya, sementara ia tidak memiliki kapasitas kemampuan yang mumpuni di bidang-bidang tersebut. Patut kiranya ditanyakan, apakah mereka mengijinkan diri mereka sendiri tidak merujuk kepada seorang dokter ketika mereka jatuh sakit? Apakah mereka akan melakukan praktek oprasi sendiri ketika ditimpa penyakit-penyakit keras? Jawabannya tentu saja tidak. Lalu kenapa pula mereka memperkenankan diri-dirinya ikut berkomentar pada permasalahan-permasalahan agama (syar`iyyah) dengan tanpa didukung pengetahuan yang mumpuni di bidang fiqh dan bidang-bidang agama lainnya?





7
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Keempat:

Infak
Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 261 sebagai berikut: "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui".


Pembahasan
Ayat tersebut berbicara tentang infak yang dikeluarkan di jalan Allah dengan sebuah perumpamaan agung. Kefaqiran adalah masalah yang benar-benar problematik, dan umat manusia sepanjang sejarahnya tidak pernah terlepas dari problem krusial ini dengan berbagai macam derivasi bentuknya. Problem kefakiran ini sebenarnya berumber dari tidak adanya keadilan dalam pemerataan kekayaan, dan ini menjadi pemicu terbaginya umat manusi kepada kelompok kaya dan miskin.

Sejarah menyaksikan bahwa di sana terdapat sejumlah orang kaya seperti Karun yang memiliki kekayaan melimpah luar biasa, dimana kunci-kunci tempat penyimpanan kekayannya saja perlu dipandu oleh sejumlah orang-orang perkasa.43 Di sisi lain terdapat sejumlah orang yang membutuhkan sesuap nasi (roti) dan menanggung baban ini sepanjang malam harin. Problem seperti ini benar-benar terjadi di masa kita sekarang ini.

Sebagai contoh kami akan sebutkan bahwa sejumlah catatan statistik menyebutkan bahwa 80% kekayaan bumi hanya dapat dinikmati oleh sekitar 20% orang saja. Artinya apabila jumlah umat manusia di muka bumi ini sekitar lima milyar jiwa, maka 80% tidak dapat menikmati kekayaan bumi, dan sisa 20% lainnya bisa menikmati dan terbagi pada empat milyar orang saja.

Dengan gambaran lain, apabila penduduk negara-negara industri berkisar satu milyar jiwa, maka sejumlah satu milyar jiwa ini menjadi pemiliki empat perlima kekayaan bumi, dan seperlima lainnya terbagi kepada milyaran sisa penduduk lainnya. Dan yang mengherankan disini ialah semakin bertambanya jurang perbedaan dari hari ke hari antara orang kaya dan dan orang miskin.


Cara mengentaskan kefakiran
Untuk mengatasi problem krusial ini, semenjak dahulu para ulama telah mengajukan cara pengentasannya. Selama ini umat manusia telah mencoba dua cara untuk mengatasi problem ini; Pertama, orang-orang sosialis dan komunis yang meyakini bahwa problem kefairan berhasil kita temukan akar penyebabnya dari kepemilikan pribadi. Maka apabila kita berhasil menyingkirkan akar penyebabnya, kita pun akan berhasil mengatasinya.

Para penganut pandangan ini telah mencoba menerapkan teorinya semenjak tujuh puluh tahun silam. Dalam pelaksanaannya, jutaan orang telah menjadi korban. Mereka telah menggunakan banyak bakteri untuk membunuh, melakukan pemaksaan berat, dan memberikan janji-janji palsu kepada orang-orang.

Mereka dijanjikan akan mendapatkan kehidupan menyenangkan dan surga dunia. Bahka mereka mengatakan bahwa surga para nabi adalah kesuksesan mereka dalam bekerja. Hanya saja setelah uji coba ini telah berlangsung, mereka mengetahui kegagalannya dan kemudian konsep mereka pun menjadi usang. Sebuah sistem dimana mereka telah memaksa orang-orang tunduk di bawah pemerintahannya.

Kedua, negara-negara kapitalis mengambil langkah-lang lain dalam mengentaskan problem kefakiran ini. Untuk mengatasinya, mereka banyak membentuk berbagai yayasan dan organisasi. Seperti Organisasi Palang Merah, Dana Moneter Internasional (IMF), Bang Dunia, organnisasi bantuan pangan dan yasasan-yayasan penyalur bantuan ekonomi dan pangan lainnya kepada negara-negara fakir. Untuk tujuan ini mereka telah mengalokasikan sejumlah anggaran, namun semuanya itu -setidaknya- masih menyisakan dua poin kelemahan; Pertama, pelaksanaannya masih minim dan terbatas sehingga tidak sesuai dengan jumlah penduduk di negara-negara fakir, sehingga tidak mengherankan jika standar angka kefakiran di negara-negara tersebut tidak banyak mengalami perubahan.

Kedua, pemberian bantuan-bantuan tersebut selalu disertai dengan pesan-pesan politik yang apabila negara-negara tersebut menyanggupi pesan-pesannya maka bantuan tersebut akan mereka berikan, dan jika tidak maka bantuan pun tidak akan diberikan. Dan terkadang sejumlah pejabat negara-negara miskin ini mengetahui motip-motip politik di balik bantuan-bantuan ini.44 Dengan demikian upaya sistem kedua pun masih juga belum berhasil mengatasi kefakiran dunia.


Solusi Islam
Solusi terakhir pengentasan kefakiran adalah solusi yang telah ditawarkan Islam. Upaya yang ditawarkan Islam dapat mengatasi celah kefakiran dan meminimalisir jurang pemisah antara kelompok kaya dan miskin.

Solusi ini telah diterapkan pada masa Rosulullah saw, dan itu merupakan keberhasilan pertama dalam sejarah umat manusia saat itu. Keberhasilan itu berupa terciptanya masyarakat yang tidak terbagi-bagi kepada kelas-kelas sosial, atau sebuah masyarakat dengan bentuk perbedaan kelas sosial yang sangat mencolok.

Andaikan kita sekarang dapat menerapkan pesan-pesan dan perintah ilahi dalam masyarakat kita ini, bahkan dalam masyarakat dunia secara keseluruhan, tentunya distribusi kekayaan dapat merata secara adil dan dapat meminimalisir jurang pemisah antara kaya dan fakir di masyarakat dunia ini.


Infak sebagai media pengentasan kemiskinan
Infak merupakan salah satu diantara pesan dan perintah-perintah ilahiah yang agung yang kini menjadi tema pembahasan kita. Sesungguhnya al-Qur`an banyak sekali menekankan infak hingga ia menjadi tema utama kandungan sejumlah ayat. Adapun jumlah seluruh ayat yang berisikan tema infak setidaknya ada tujuh puluh ayat. Jumlah ini menjadi lebih banyak lagi jika kita masukkan ke dalamnya ayat-ayat lain yang secara tidak langsung juga berbicara tentang tema infak.

Allah Swt memerintahkan dalam al-Qur`an agar seseorang menginfakkan bagian yang menjadi hak-Nya dalam kehidupan duniawi ini. Ayat ke 19 pada surat Adz-Dzariyat dengan sangat indah memerintahkan hal ini; "Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian". Berdasarkan pesan ayat ini, sesunggunya di dalam harta orang-orang kaya terdapat hak bagi para fakir dan miskin.

Untuk membuat orang-orang lebih semangat dalam mengeluwarkan infaknya, al-Qur`an melalui beberapa ayatnya mendorongnya dengan gambaran cukup indah;

1. Allah Swt berfirman dalam ayat ke 96 pada surat an-Nahl: "Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan".

Ini sungguh sebuah penggambaran yang luar biasa indah. Gambaran tersebut mengandung makna-makna besar maupun kecil. Ia menjelaskan bahwa apabila seseorang membelanjakan hartanya berjuta-juta, maka berjuta-juta harta yang dikeluwarkannya akan sirna, sementara sedikit saja dari hartanya yang dibelanjakan sebagi infak di jalan Allah Swt, ia akan tetap berada di dalam "bank" Allah yang gaib yang tidak akan pernah sirna. Yang terakhir ini adalah kebiasaan terbalik diantara kebiasaan kebanyakan orang.

2. Terdapat dalam surat an-Naml ayat ke 89 Allah Swt berfirman: "Barangsiapa yang membawa kebaikan, maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik daripadanya, sedang mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram dari kejutan yang dahsyat pada hari itu".

Ayat lain yang berkandungan sama terdapat pada surat al-Qashash ayat 84. Berdasarkan ayat ini, sesungguhnya shadaqah dan infak tidak akan sirna begitu saja, bahkan Allah akan memberikan untuk keduanya sebagai ganti sesuatu yang lebih baik darinya.

3. Allah Swt berfirman dalam surat al-An`am ayat 160 mengangkat nilai sebuah infak; "Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya".

Ayat tersebut berbicara tentang kebaikan secara umum, dan mengingat infak juga termasuk perbuatan baik yang mulia, maka infak pun akan mendapatkan pahala dan balasan sepuluh kali lipat darinya, sebagaimana dijelaskan ayat tersebut.

Adapun ayat 261 dari surat al-Baqarah yang menjadi tema pembahasan di sini telah memposisikan infak pada derajat setinggi mungkin. Infak diumpamakan seperti tangkai-tangkai pohon yang mengandung biji-bijian yang banyak, dan setiap biji-bijian tersebut akan menumbuhkan tumbuhan-tumbuhan yang bayak. Itu artinya bahwa balasan dan pahala infak akan berlipat dan berlipat terus-menerus. Dan untuk menjawab keraguan sebahagian orang tentang kemungkinan dari mana sumber berlipatnya pahala infak, ayat tersebut menjawabnya bahwa sumbernya dari pembendaharaan kekayaan Allah yang besar. Kekayaan yang jauh lebih luas dan besar dari apa yang dapat dibayangkan.


Sasaran-sasaran ayat tersebut

1. Maksud dari kalimat "fîsabilillah" (di jalan Allah) pada ayat tersebut
Istilah fîsabilillah telah dipakai lebih dari 45 kali dalam al-Qur`an. Istilah "`an sabilillah" telah dipakai 25 kali. Pemakaian kata fîsabilillah biasanya dimaksudkan untuk tema-tema ayat tentang jihad. Pada surat Ali Imran ayat ke 169 misalnya, kaliamt fîsabilillah menjelasan ketinggian posisi para syuhada; "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki". Kalimat fîsabilillah pada ayat ini dimaksudkan untuk jihad, sebagaimana juga ia dimaksudkan untuk hal yang sama pada ayat-ayat lainnya.

Haya saja, pada beberap ayat lain, seperti pada surat Shad ayat 26, kalimat fîsabilillah memiliki makna yang berbeda dengan diatas; "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah".

Ayat ini melarang Nabi Dawud a.s mengikuti hawa nafsu dalam memutuskan perkara dan menganjurkannya untuk memutuskan perkara pada jalan Allah (fîsabilillah). Yakni memberikan putusan yang adil yang dengannya seorang yang berhak dapat memperoleh haknya.

Atas dasar ini, maka tidaklah dapat dibenarkan pandangan sekelompok orang bahwa maksud dari " fîsabilillah" ialah berinfak untuk jihad saja. Demikian itu karena kalimat tersebut dimaksud sebagai fîsabilillah secara mutlak, baik dalam jihad bersenjata, jihad dalam budaya, jihad dalam memberi kemakmuran penduduk, membangun perpustakaan, memberi bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan, membangun rumah sakit-rumah sakit dan klinik, membangun kantor bank simpan-pinjam, dan lain-lain.

Tentu saja, mengutamakan pertolongan kepada hal-hal yang lebih mendesak dan darurat adalah penting, sebagaimana menggagas bidang ini akan pula menarik orang lain melakukan hal yang serupa dengan cakupan yang lebih luas lagi. Berikut ini akan kami sebutkan dua contoh gagasan tersebut:

Pertama, kantor yang bergerak memberikan bantuan kepada para penghuni penjara yang miskin.

Mayoritas orang-orang yang terpenjara adalah penopang ekonomi keluwarga, dan selama masa tahanan dalam penjara, terutama mereka yang memiliki masa tahanan cukup lama, keluwarga yang ditinggalinya pasti menemui masalah sangat besar. Di satu sisi mereka dililit oleh problem ekonomi (kemiskinan), dan disisi lain mereka dirundung problem-probem sosial dan etika. Karena itu, apabila kita tidak memperhatikan kondisi yang dialami keluwarga orang-orang terpenjara dan kita tidak berhasil menemukan jalan keluwarnya, maka terpenjaranya seorang kepala keluwarga akan melahirkan narapidana-narapidanan dan kriminal lain. Sayangnya hal ini belum mendapatkan perhatian dari masyarakat dan sedikit sekali kita temukan ada orang yang berfikri tentangnya.

Apabila kita bergerak melakukan sebuah aktivitas sosial seperti mendirikan lembaga simpan pinjam, maka gerakan kita ini benar-benar akan banyak membantu problem-problem tersebut, terutama bantuan kepada keluwarga yang ditinggal kepala keluwarganya karena dipenjara, dan kepada para narapidana itu sendiri. Dengan langkah ini berarti kita menyelamatkan masyarakat dari berbagai tindak kekerasan dan kriminal yang memungkinkan dilakukan oleh mereka.

Apabila seseorang dipenjara karena hutang yang dimilikinya, maka lembaga batuan pinjaman ini memberikan bantuan pinjaman sehingga dapat membebaskannya. Dan setelah ia memdapatkan pekerjaan yang layak, ia dapat mengembalikan kembali pinjamannya kepada lembaga ini. Dengan langkah ini berarti kita telah membantu menyelesaikan problemnya dan problem keluwarganya, serta menyelamatkan mereka dari masalah-masalah sosial dan etika yang senantiasa siap menjerumuskannya.

Kedua, lembaga koprasi bantuan untuk orang-orang sakit.

Terdapat banyak sekali orang yang memberikan bantuan kepada orang-orang sakit. Sebagian mereka ada yang membutuhkan perawatan lebih dari sekali dalam seminggu. Selama ini mereka memberikan pertolongan kepada para pengidap sakit keras. Mayoritas dari mereka siap membatu memberi pengobatan jika diberikan kuliah baru. Hanya saja kebanyakan mereka tidak sanggup membayar biyaya perkuliahan baru tersebut. Dalam kondisi seperti ini apabila koprasi bantuan tersebut memberikan bantuan kepada para relawan untuk melanjutkan kuliahnya, berarti koprasi tersebut telah melakukan upaya keras membebaskan dan memberikan pertolongan kepada mereka dari penyakit-penyakit yang dideritanya, dan juga akan akan mengeluwarkan keluwarga-keluwarga mereka dari kondisi kebingungan dan genting.

Sangat memungkinkan dibangun sejumlah lembaga koprasi serupa yang akan memberikan manfaat lebih luas pada langkah dan bidang-bidang lain. Dan demikian itu semua dimaksudkan untuk meminimalisir problem-problem ekonomi dan sosial masyarakat.


2. Maksud dari kalimat "habbah" (biji-bijian) pada ayat tersebut
Banyak sekali pembahasan yang dilakukanpara mufassir seputar makna habbah yang dimaksud dalam ayat tersebut. Dikatakan; maknanya adalah bahwa Allah Swt akan melipatgandakan pahala orang-orang yang dikehendakinya hingga mencapai tujuh ratus kali lipat.45

Perumpamaan seperti ini tidak ada dalam kenyataan aktualnya (luar), namun ini tidak berarti negatif. Perumpamaan seperti ini banyak sekali terjadi dalam perumpamaan atau pribahasa-pribahasa lain, baik dalam bahasa Farsi, Arab atau lainnya. seperti malapetaka dalam bentuk binatang yang dalam kenyataannya tidak biasa digunakan dalam berbagai perubahaan.

Akan tetapi, mengingat perumpamana tersebut berasal dari Allah Swt yang maha bijaksana dan maha Mengetahui, maka Ia pasti akan memiliki wujud aktualnya. Untuk itu, sejumlah ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "habbah" (biji) pada perumpamaan ayat tersebut adalah biji tanaman sejenis gandum (Dukhn), namun bukan biji gandum, karena biji Dukhn bercabang hingga menghasilkan tujuh ratus biji. Namun belakangan ini perkebunan-perkebunan di kota Bosyahraya (sebuah kota di bagian selatan Iran) satu biji Dukhan dapat menghasilkan empat ribu biji. Karena itu di sini kami mentafsirkan kata "habbah" tersebut dengan biji gandum sekalipun kita dapat menunjukkan tafsiran dalam bentul aktualnya.


3. Maksud dari kalimat "Yudhâfu" (dilipat gandakan) pada ayat tersebut
Apa maksud dari kalimat "Yudhâafu liman yasyâ" (akan dilipat gandakan kepada orang yang Ia kehendaki) berarti bahwa Allah akan memberikan kepada pelaku kebaikan dan orang yang berinfak sesuai kehendak-Nya dengan tanpa ada hitungan yang baku. Ia bisa saja memberikan si A dua kali lipat balasan, sementara si B diberi tiga kali lipat? Atau pelipatan tersebut memiliki standar yang jelas dan baku?

Sesungguhnya hikmah Allah Swt dalam memberikan pahala akan berlaku dengan tanpa hitungan, melainkan secara sewenang-wenang sesuai kehendak-Nya, bahkan hal itu berkaitan dengan perbedaan tingkat keikhlasan, bagaimana proses menginfakkannya, bagaimana benda yang diinfakkan, dan bagaimana orang yang memberi dan yang diberi nya. Artinya bahwa pahala seseorang yang memberi infak secara ikhlas murni karena Allah semata akan berpeda pahalanya dengan pemberi infak lain yang tidak memiliki tingkat keikhlasaan yang sama. Pahala seseorang yang memberi infak secara sembunyi-sembunyi (sir) dengan tanpa cercaan dan kata-kata kasar akan berbeda dengan pemberi infak lain yang berinfak secara terang-terangan. Keduanya berada pada dua martabat berbeda dan bukan pada satu martabat yang sama.

Seorang muslim yang hanya memiliki sebuah roti lalu ia menginfakkan roti tersebut akan berbeda pahalanya dengan orang lain yang menginfakkan roti yang sama namun ia memiliki sepuluh buah roti. Demikian juga seseorang yang membatu sebuah keluwarga miskin yang belum mengungkapkan kebutuhannya kepada orang lain akan berbeda dari seseorang yang memberi bantuan kepada keluwarga yang sebelumnya sudah memohon bantuan darinya.


Saya akan sebutkan sejumlah contoh infak dalam al-Qur`an
Terkait dengan pemberian infak, terdapat nama surat dalam al-Qur`an dengan nama "ad-Dahr", atau "al-Insan", atau "al-Abrar" yang ditunjukkan kepada seseorang yang berinfak secara tulus. Surat-surat ini menggambarkan kenikmatan surga yang terindah kepada para pemberi infak.

Baik para mufassir `am (umum) maupun khas (khusus) semuanya telah meriwayatkan bahwa surat tersebut diturunkan kepada dua orang Imam, al-Hasan dan al-Husain a.s ketika keduanya jatuh sakit. Lalu Imam Ali a.s bernadzar melakukan puasa selama tiga hari untuk kesembuhan kedua putranya. Sayyidah Fathimah a.s pun dan juga pembantunya, Fadhdha ikut serta dalam nadzar ini. Setelah sembuh, mereka semua berpuasa. Pada hari pertama puasa mereka, Fathiman telah mempersiapkan lima potong roti gandum, dan ketika tiba satnya berbuka seorang faqir tiba-tiba datang mengetuk fintu sambil memohon makanan. Maka mereka semua memberikan roti-roti tersebut kepadanya sehingga mereka harus berbuka puasa hanya dengan air putih saja. Pada hari yang kedua, datang kepada mereka seorang anak yatim. Dan pada hari ketiga, datang kepada mereka seorang tawanan perang. Mereka pun memberikan makanan buka puasanya kepada orang itu sebagaimana pada hari pertama. Maka pada hari keempat, turunlah sebuah ayat terkait dengan hak dan keutamaan mereka .46

Ayat tersebut berisikan pujian dan anjuran berinfak, serta janji kenikmataan besar di surga. Ayat ini juga menegaskan bahwa keluwarga mulia tersebut mendapatkan pahala yang besar karena telah menginfakkan lima belas potong roti.

Pada ayat ke 9 dan ke 10 dari surat Ad-Dahr, Allah Swt berfirman; "Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan".

Contoh-contoh lain yang belum sempat kami sebutkan adalah contoh yang terkait dengan para makmusim a.s, padahal hakikatnya kisah mereka adalah sumber-sumber ajaran yang harus kita jalankan sebagai kaum muslimin untuk menuju kepada sebuah masyarakat islami yang bersih dari kesenjangan kelas ekonomi sosial.

Kita pun dapat menarik kesimpulan dari riwayat dan hadis-hadis yang ada bahwa terhapusnya kefakiran adalah diantara karakteristik khusus sebuah masyarakat Islam yang ideal.

Artinya, jika pada suatu hari nanti kita sampai pada sebuah tatanan masyarakat dengan standar perekonomian cukup tinggi dan dengan tingkat pertumbuhan cukup baik, dimana kekayaan terdistribusikan secara adil dan merata kepada masyarakat Islam di seluruh negara-negara Islam, maka berarti kita telah sampai -dari sisi standar ekonomi- pada sebuah karakter masyarakat muslim ideal.

Keyakinan ini bukanlah sebuah syair, slogan, atau perkataan sentimental dan emosional belaka. Bahkan ia merupakan kandungan riwayat yang dikutif dari Imam ash-Shadiq a.s; Muhamamd bin Muslim meriwayatkan dari sahabat-sahabat Ash-Shadiq a.s, dari beliau a.s, ia berkata: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menetapkan bagi para faqir dari harta orang-orang kaya yang Allah limpahkan kepada mereka. Andaikan diketahui bahwa semuanya itu tidak akan menambah kekayaan mereka, tentu mereka tidak akan mau mengeluwarkannya dari sisi karena kewajiban dari Allah Azza wa Jallan maun mereka mengeluwarkan kepada orang yang dinilai haknya terhalangi, dan bukan dari apa yang telah Allah wajibkan untuk mereka. Andaikan orang-orang menunaikan hak-haknya, niscaya mereka akan hidup dengan baik .47

Sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat orang-orang fakir, kemiskinan tersebut hendaknya tidak hanya membebani orang-orang miskin saja, melainkan juga menjadi beban bagi seluruh masyarakat tersebut. Sesungguhnya kefakiran adalah sebab diantara berbagai sebab dosa, diantaranya adalah; pencurian, praktek-praktek menjual harga diri, dan lain sebagainya.

Terdapat riwayat lain dari Imam ash-Shadiq a.s; "Seandainya orang-orang menunaikan zakat harta-hartanya, maka tidak akan ada lagi tersisa seorang muslim yang faqir yang membutuhkan kecuali ia berkecukupan dengan (zakat) yang telah Allah wajibkan. Maka tidaklah ada orang-orang yang faqir, membutuhkan, kelaparan, tidak berpakaian kecuali karena dosa orang-orang kaya" .48

Berdasarkan riwayat ini, sesungguhnya kewajiban-kewajiban agama seperti khumus dan zakat dapat menyelesaikan kebutuhan orang-orang yang membutuhkan. Apabila kewajiban-kewajiban ini dilaksanakan secara penuh, maka problem krusial ini akan diangkat dari akar-akarnya secara sempurna.

Di sini timbul sebuah pertanyaan, apa fungsi infak dan bantuan yang sunah sifatnya jika kebutuhan orang-orang fakir sudah dapat teratasi oleh infak-infak yang wajib? Dan berdasarkan ini, lalu apa fungsi ayat 261 pada surat al-Baqarah yang kandungannya terkait dengan hal ini?

Kita dapat menjawab pertanyaan ini dengan dua cara; Pertama, orang-orang kaya dan berharta terkadang melupakan kewajiban agama mereka dan tidak menunaikan kewajiban zakatnya. Sebagaimana kondisi ini terjadi pada masa kita sekarang, dimana orang-orang yang dan berduit tidak mau menunaikan kewajiban zakatnya. Dalam kondisi seperti ini tibalah saatnya peran shadaqah dan infak-infak yang sunnah untuk mengisi kekosongan yang ada karena orang-orang kaya tidak menunaikan sadaqah-saadaqah wajibannya.

Atas dasar ini, orang-orang mukmin wajib mengambil alih peranan orang-orang kaya yang durhaka dan menanggung hasil ulah-ulah kemaksiatannya karena tidak lagi mau menunaikan kewajiban-kewajiban sadaqahnya.

Kedua, sesungguhnya zakat dan sadaqah-sadaqah wajib lain yang diwajibkan kepada orang-orang kaya dapat menjawab kebutuhan mendesak orang-orang faqir jika mereka menunaikannya, sementara infak berfungsi mengantarkan orang-orang faqir pada standar kehidupan yang lebih layak dan pantas.

Kesimpulannya, apabila kita melihat tingkat kefakiran dan jenisnya dalam sebuah masyarakat telah berkurang, maka kita dapat menyimpulkan berdasarkan standar minimal yang kita miliki bahwa ia adalah wajah masyarakat Islami yang dicita-citakan.


4. Analisa terhadap perumpamaan dalam ayat infak tersebut.
Para mufassir memiliki dua pandangan terkait perumpamaan yang terdapat dalam ayat 261 surat al-Baqarah. Sebagian berpandangan bahwa itu adalah harta yang diinfakkan dimana ia diserupakan dengan biji-bijian yang berkah yang dihasilkan darinya tujuh ratus biji lainnya.

Sebagain lainnya berpandangan bahwa perumpamana itu dimaksudkan kepada pemberi infak dimana ia akan tumbuh dan menjadi lebih sempurna kepada derajat yang sangat tinggi. Namun mayoritas mufassir lebih cendrung kepada tafsiran pertama bahwa ia dimaksudkan terhadap harta yang diinfakkan, dan mereka berkesimpulan adanya satu kalimat yang dibuang disini, sehingga redaksi kalimatnya menjadi; "(mitslu amwaalil ladziina yunfiquuna...) seperti harta-harta mereka yang menginfakkan....".

Kami meyakini bahwa ayat tersebut tidak perlu ditambahkan redaksinya, dan berdasarkan redaksi tekstualnya berati bahwa yang dimaksud dengan yang diperumpamakan adalah manusia pemberi infak yang kepribadianya meningkat, menjadi sempurna, dan tumbuh tujuh ratus kali lipat. Dan bukti keyakinan ini didukung oleh sejumlah riwayat dan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa manusia laksana tumbuhan yang tumbuh dan berkembang menjadi sempurna;

Pertama, adalah firman Allah Swt dalam surat Nuh ayat 17 dan 18; "Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya". Dalam ayat ini manusia diumpamakan seperti tumbuhan yang tumbuh, berkembang dan menjadi sempurna, lalu mengering (mati), kemudian hidup kembali untuk kali berikutnya, kemudian mati lagi, hidup lagi dan demikian seterusnya.

Kedua, adalah firman Allah Azza wa Jalla dalam surat Ali Imran ayat 37; "Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab".

Dalam ayat ini sejumlah komponen tumbuhan dipakai sebagai isyarat kepada pendidikan Maryam oleh Zakariyyah. Sebagai buktinya ialah pendidikan seseorang diumpamakan seperti tumbuhnya pepohonan setelah dilakukan perawatan.

Ketiga, terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan dari Rosulullah Saw: "Hati-hatilah kalian dengan sayur-sayuran hijau di tempat sampah", (sebuah peribahasa yang artinya; seorang wanita berwajah cantik namun hatinya busuk, penej). Dikatakan: apa yang dimaksud dengan "seorang wanita berwajah cantik sementara hatinya busuk" itu? Beliau Saw bersabda: Perempuan-perempuan yang tumbuh ditempat yang tidak baik".49 Dalam hadis ini seseorang diperumpamakan seperti tumbuhan yang tumbuh di tempat yang kotor/salah.

Dari sisi lain, hadis ini mengandung sebuah sasaran yang jelas dan pesan yang penting kepada seorang pemuda yang hendak membangun sebuah rumah tangga. Dalam hadis ini Rosulullah Saw berwasiat kepada seorang mukmin agar tidak menjadikan kecantikan wajah sebagai standar satu-satunya dalam memilih calon istri, namun sebagai tambahan harus juga melihat kepada kondisi keluwarganya. Yakni lingkungan dimana ia tumbuh. Demikian itu, karena kecantikan memang bernilai, namun ia hanya berlaku pada saat-saat pertama yang singkat saja dibanding dengan perjalanan seluruh rentang waktu sebuah rumah tangga.

Adapun nilai-nilai fundamental dan penting dalam kehidupan rumah tangga ialah pendidikan, budaya, cara berfikir, nilai-nilai yang ada dalam sebuah rumah yang kemudian akan muncul peranannya pada tahap-tahap kehidupan seseorang berikutnya. Yang bagus adalah jika perjalanan hidup yang baik dan etika yang bagus yang meliputi sebuah keluwarga suci tidak berubah menjadi neraka jahannam yang sulit dipikulnya.

Sebagaimana telah kita saksikan dalam ayat-ayat dan riwayat tadi, seseorang benar-benar mirip seperti tumbuhan yang tumbuh dan berkembang. Dan dengan alasan ini maka dapat disimpulakn bahwa yang dimaksud dengan yang diserupakan dalam ayat tersebut adalah manusia itu sendiri, sehingga pengertian ayat ini dapat disimpulkan sebagai berikut; Wahai mansuia, engkau bagaikan tumbuh-tumbuhan, dan infak bagaikan air yang dipakai untuk menyiraminya sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang. Dengan gambaran lain, sesungguhnya infak dapat menghidupkan sifat-sifat mulia pada diri seseorang, seperti kedermawanan, rasa peduli, keberanian, keadilan, kejujuran, dan lain sebagainya.

Pada mulanya sifat-sifat ini hanyalah sebuah potensi atau sebuah amal yang insidental. Namun apabila ia dilakukan secara berulang-ulang ia akan menjadi sebuah kebiasaan. Kemudian jika terus berlangsung secara kontinyu akan berubah menjadi karakter, dan pada akhirnya akan berubah menjadi subuah malakah (naluri) dan bagian tidak terpisahkan dari keberadaan seseorang.

Berdasarkan hal ini, maka infak sebelum menjadi sebuah keuntungan material, ia memiliki keuntungan-keuntungan non-material. Yaitu setiap kali infak dilakungan dengan lebih ikhlas, ketika ia dilakukan dengan lebih jelas dan lebih dekat, maka setiap kali itu pula keuntungan-keuntungannya menjadi lebih besar dan lebih luas. Kita semua tentu pernah mencoba memberikan infak kepada seorang miskin sebelum ia menjelaskan jumlah kebutuhannya berapa kepada kita, maka pada saat itu kita menemukan sebuah kelezatan non-materil yang kita rasakan dengan segenap keberadaan kita. Semua itu telah memberikan efek ketenangan batin dan secara khusus memberikan ketentraman spiritual.

Itulah pertumbuhan dan perkembangan yang dimaksudkan oleh ayat tersebut. Sesungguhnya Allah Yang Maha Bijaksana berkuasa membuat semua orang menjadi kaya dan menghilangkan seluruh akar kemiskinan dari masyarakat. Namun Ia Swt berkehendak agar terjadi pertumbuhan dinamis antara orang-orang faqir dan kaya. Orang -orang mukmin akan berusaha menunaikannya sehingga mereka dapat melihat efek perbuatan-perbuatan baiknya dan berkah infak-infaknya di dunia ini. Mereka juga dapat merasakan efek-efek ini hingga sampai kepada derajat yang tinggi, kemuliaan dan kelezatan maknawi. Atas dasar ini, maka kita tidak perlu mengungkit-ngungkit infak dan orang yang diberinya kepada Allah, dan Allah akan ridha kepada kita atas amal yang agung ini. Semoga Allah merestui kita.

Dari sejumlah perjelasan tadi, kami dapat secara terbuka mentafsirkan ayat 161 dari surat al-Baqarah dengan tanpa perlu merubah redaksinya. Demikian itu tidaklah berarti kami menolak keritikan terhadap penafsiran kami, bahkan kami menganggap bahwa kedua penafsiran tersebut dapat diterima. Artinya kami dapat menyimpulkan bahwa ayat tersebut mengatakan bahwa harta yang diinfakkan dapat berkembang menjadi sempurna, dan demikian pula orang yang menginfakkannya akan tumbuh dan berkembang dalam bentuk perolehan kebaikan yang dikhususkan untuknya.


Pertumbuhan harta yang diinfakkan dalam sabda Rosulullah Saw
Terkait dengan pertumbuhan harta yang diinfakkan, terdapat sabda Rosulullah Saw yang sangat indah yang akan kami kutifkan di sini. "Tidaklah seseorang bershadaqah dengan shadaqah yang baik -dan Allah hanya akan menerima shadaqah yang baik- kecuali Allah yang maha kasih akan menjadikannya berada di samping kanan-Nya. Dan apabila ia berupa kurma, maka ia akan dijadikan berada dalam genggaman-Nya sehingga membentuk sebuah gunung yang besar".50

Dalam hadis ini kita menemukan sejumlah poin yang layak kita simak. Pertama, hadis tersebut menjelaskan bahwa Allah akan menempatkan shadaqah berada di samping kanan-Nya. Hal ini memancing sebuah pertanyaan, apakah Allah memiliki jisim dan anggota badan?

Jawabanya jelas bahwa Allah Swt tidaklah memiliki jism atau tubuh, dan kalimat "menempatkannnya berada disamping kanan-Nya" dimaksudkan sebagai kiasan terhadap kekuasaan dan kesempurnaan-Nya, karena dalam kebiasaan manusia, bagian kanan merupakan simbol yang paling kuat. Untuk itu kita dapat memahami kiasan tersebut bahwa Allah akan mengambil shadaqah dengan kesempurnaan kekuasaan-Nya disertai sebuah penghormatan.

Kedua, sesungguhnya poin terpenting yang menjadi perhatian Islam adalah bagaimana kwalitas dan faktor apa yang melatarbelakangi sebuah amal, dan bukan pada kuantitas dan bentuk lahirnya. Karerna itu, memberi kurma yang halal kepada seorang miskin dengan tanpa disertai cemoohan dan kata-kata menyakitkan adalah jauh lebih utama disisi Allah dibanding memberi kurma yang banyak yang tidak halal atau disertai perkataan mencemooh dan menyakitkan penerimanya.

Ketiga, dengan merujuk kepada hadis diatas, sesungguhnya sebuah harta yang diinfakkan akan tumbuh berlipat menjadi tujuh ratus buah atau bahkan lebih dari itu. Dan atas dasar ini pula dapat disimpulkan bahwa sebuah harta yang ada pada sisi Allah Swt akan terus tumbuh dan kembali kepada pemiliknya hingga hari kiamat, sehingga menjadi sebab penyelamat baginya dari api jahannam.


Infak dalam gambaran al-Qur`an yang indah
Untuk menjelaskan pentingnya berinfak dalam Islam dan nilai pentingnya di dalam al-Qur`an, terdapat sejumlah ungkapan dan keterangan dalam al-Qur`an yang terkait dengannya, dan itu merupakan bahan cukup penting untuk meneliti dan mengkajinya. Namun di sini kami hanya akan menunjukkan sebagian contohnya saja;

Pertama, terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 245 sebagaimana berikut; "Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan".

Ungkapan "pinjaman yang baik" atau qardan hasana terhadap infak merupakan ungkapan yang sangat brilian dan cerdas. Bagaimana mungkin Allah Swt yang Maha Kuasa dan Maha Memiliki segala sesuatu akan meminjam sesuatu kepada seorang manusia yang faqir dan butuh kepada Tuhannya dalam setiap langkah dan gerakannya, bahkan pada saat menarik dan melepas nafasnya? Dan dan apalagi diharamkan pinjaman berbungan (riba) dalam Islam. Penggambaran infak dengan " pinjaman yang baik" tidak lain dimaksudkan sebagai ungkapan betapa penting nilai sebuah infak dan dorongan kepada para hamba untuk melakukannya secara ikhlas.

Membahas poin yang satu ini cukup penting, karena pinjaman riba kembali kepada prilaku para hamba, sementara pinjaman yang baik kembali kepada Tuhan para hamba. Yakni bahwa seseorang yang memberi pinjaman kepada Allah, maka Allah akan mengembalikan pinjamannya dengan berlipat-lipat ganda. Poin pentingnya di sini ialah ungkapan bahwa tangan seorang fakir -berdasarkan riwayat-riwayat dan ayat tersebut- adalah tangan Allah dan rumhanya adalah rumah Allah. Dan pada hakikatnya, apa yang diberikan kepada tangan seorang fakir adalah diberikan kepada tangan Allah.

Untuk itu riwayat-riwayat tersebut memesankan kepada kita akan meletakkan tangan-tangan kita pada tingkat lebih rendah dari tangan seorang fakir ketika memberikan shadaqah kepadanya, sehingga ia dapat mengambilnya dari tangan-tangan kita. Demikian itu juga karena tangannya adalah tangan Allah dan kekuasaan-Nya yang sempurna, dan tangan itulah yang menyebabkan shadaqah seseorang akan diterima. Maka berhari-hatilah dari menghardik dan menghina seorang faqir.

Ungkapan yang sama juga banyak terulang dalam al-Qur`an, seperti pada surat al-Hadid ayat ke 11; "Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak".

Kedua, terdapat dalam surat Ali Imran ayat ke 92; "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya".

Juga terapat dalam surat al-Baqarah ayat ke 268 sebagaimana berikut: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".

Yakni agar kita tidak menginfakkan sesuatu kecuali yang baik, dan jangan berinfak dengan sesuatu yang tidak ada lagi manfaatnya, atau dengan sesuatu yang membahayakan seperti pakaian tidak layak pakai dan buah-buahan serta makanan yang sudah membusuk, atau barang-barang buruk lain yang serupa dengannya. Ayat tersebut bahkan beranjak lebih jauh dari itu, dengan perintah menginfakkan sesuatu yang paling dicintai seseorang dan sesuatu yang layak untuk diberikan kepada tangan Allah, sementara selain itu tidaklah pantas diberikan kepada-Nya. Berinfak dengan makanan hendaklah dilakukan dengan makanan yang paling disukai pemberi dan keluwarganya, dan infak baju hendaknya dilakukan dengan memberikan jenis baju yang disukai olehnya dan oleh keluwarganya.

Sesungguhnya standar nilai yang berlaku dalam Islam menjelaskan bahwa ketentuan Islam memberi penilain terhadap sebuah amal berdasarkan kualitasnya dan bukan kuantitasnya. Karena itu, Allah Swt melipatgandakan kebaikan pada sebuah kurma tertentu dengan seribu kali lipat, sementara hal yang sama tidak berlaku pada kurma lain karena dihasilkan dari proses yang tidak halal atau dilakukan karena ria dan niatan buruk semisalnya. Disini kami akan tuliskan sebuah cerita dari Rosulullah Saw yang akan menyingkap berbagai sisi sebuah infak.

Rosulullah Saw menyiapkan peralatan untuk salah satu peperangannya dan kaum muslimn menyumbangkan sesuatu untuk persiapan perang ini. Maka datanglah seseorang dan mensadaqahkan sesuatu dengan jumlah yang banyak. Lalu mereka berkata: munafik. Perkataan ini muncul dari orang-orang munafik yang tidak seorang pun akan percaya dengan ucapannya. Kemudian datanglah Abu `Aqil yang tidak memiliki sesuatu untuk disadaqahkan. Namun pada malam harinya ia mekasakan diri ikut serta dalam kegiatan masyarakat ini dengan memberikan setengah sha` gandum. Lalu orang-orang munafik berkata: Allah tidak butuh dengan ukuran sodakah seperti ini. Maka turunlah ayat ke 79 dari surat at-Taubah sebagai berikut:

"(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih".51





8
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Kelima:

Infak yang Disertai Kata-Kata dan Caci Maki
Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 264 sebagai berikut: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir".

Perumpamaan ke lima dan ke enam terlah berbicara tentang infak, namun tetap tidak terjadi pengulangan penjelasan di dalamnya. Perumpamaan kelima berbicara tentang keutamaan dan nilai berinfak, sementara perumpamaan keenam berbicara tentang infak dari sisi negatifnya dimana seorang mukmin tidak boleh membatalkan shadaqah-sadaqah dan infaknya dengan caci maka dan menyakiti orang yang menerima shadaqahnya.


Syarah dan tafsir ayat
Ayat tersebut dibulai dengan seruan kepada kaum mukminin. Artinya bahwa seruan tersebut hanya khusus ditunjukkan kepada orang-orang mukmin saja. Syarat pertama adalah iman, maka barang siapa beramal tidak berdasarkan keimanan berarti bukan seorang mukmin.

Penjelasan "janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima)", berarti ada dua hal yang dapat membatalkan pahala shadaqah; pertama dengan menyebut-nyebut pemberian, dan kedua dengan menyakiti perasaan orang yang diberi. Demikian itu karena ia telah diindikasikan bahwa ada sebagin orang yang bersadaqah kepada orang lain, namun shadaqahnya disertai menyakiti penerimanya hingga akhir umurnya. Seperti perkataannya; andaikan tidak ada aku, kamu pasti sengsara karena kamu tidak memiliki apa-apa lagi. Atau perkataan; ambilah uang recehan ini dan setelah itu janganlah kamu tampakkan lagi wajahmu kepadaku. Tidak hanya sekedar menyebut-nyebut dan mengata-ngatai saja yang menyebabkan pahala sadaqah menjadi batal, namun membuat seorang faqir tidak lagi berani mengemukakan kebutuhan dan problemnya juga termasuk tindakan yang tidak benar dan tercela.

Dalam sebuah riwayat disebutkan: "Janganlah kalian putuskan pengaduan seorang peminta-minta. Maka kalau tidak, orang-orang miskin itu akan menyembunyikan kebutuhannya".52

Di sini kiranya tidak ada salahnya jika kita jelaskan kata "al-manna" (menyebut-nyebut) terlebih dahulu. Ia berasal dari kata "manna" yang biasa dipakai untuk menunjukan pengertian sebagaimana ada dalam ayat tersebut, karena pelakunya (al-mân) memberikan beban berat yang dirasakan oleh orang yang diberinya.

Dari sisi lain, bahwa pemberian seseorang kepada orang lain ia biasa disebut al-man, dan itu terbagi kepada dua macam; Pertama secara praktis, yakni secara praktis seseorang memberikan bantuan kepada orang lain, dan ini jelas mulia. Kedua teoritis, yakni seseorang hanya sebatas bicara akan membantu orang lain dan tidak ada aktinya sama sekali. Itu artinya ia tidak membantu. Bentuk kedua ini telah dipakai dalam al-Qur`an al-Karim sebanyak sepuluh kali.

Di antara ayatyang didalamnya menggunakan bentuk kedua ini adalah ayat ke 17 dari surat al-Hujurat; "( يَمُنُّونَ) Mereka merasa telah memberi ni`mat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: (لَا تَمُنُّوا) "Janganlah kamu merasa telah memberi ni`mat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan ni`mat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar".

Al-mannu yang pertama pada ayat tersebut adalah al-mannu teoritis, karena orang-orang Arab tidak memberikan kenikmatan apapun kepada nabi. Orang yang sakit ketika datang kepada seorang dokter dan meminta obat darinya. Lalu dokter pun menuliskan daftar obat untuknya dan ia sembuh karena meminum obat tersebut. Maka apakah ini berarti pemberian orang yang sakit kepada seorang dokter? Adapun al-Mannu yang kedua adalah al-mannu praktis, karena Allah telah memberi mereka nikmat Islam. Ia telah menganugrahi mereka dengan Islam.

Atas dasar ini, al-mannu yang bersumber dari Allah berupa anugrah dan pemberian adalah al-mannu praktis. Sementara al-mannu yang bersumber dari seorang manusia bisa bersipat teoritis dan juga bisa bersifat praktis. Al-mannu pertama pada ayat tersebut adalah al-mannu secara lisan dan dan secara teoritis.

Kemudian ayat tersebut menggambarkan mereka sebagai sebongkah batu. Ayat tersebut mengatakan: ".... seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir".

Maka seseorang yang berinfak dengan disertai menyebut-nyebut pemberiannya dan mengata-ngatai penerimanya (seperti seorang kafir yang ria), infaknya tidak akan diterima disisi Allah, karena keimanan merupakan syarat dikabulkannya sebuah amal. Dua perumpamaan ini (yakni orang yang berinfak yang menyebut-nyebut pemberiannya dan mengata-ngatai penerimanya disatu sisi, serta seorang kafir yang ria disisi lain) digamabarkan seperti batu licin. Yakni sebongkah batu yang diatasnya terdapat tanah sehingga dapat ditanami tanaman. Namun jika ia terkena guyuran air hujan, maka keasliannya sebagai batu akan tersingkap dan tidak lagi layak ditanami. Maka mereka menemukan dirinya "tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan". Seluruh hasil kerja mereka musnah bagaikan debu, karena perbuatannya tidak disertai ilmu dan pengetahuan, namun berdasarkan penglihatan dangkal hanya pada sisi luar sesuatu saja, dan tidak melihat sisi dalamnya.

Hujan adalah sebuah anugrah yang dapat mengairi ladang-ladang pertanian dan menumbuhkan bibit biji-bijian, namun ia juga dapat saja menghancurkan pertanian. Maka demikian pula halnya dengan ayat-ayat Allah yang akan bermanfaat bagi orang-orang saleh dan beriman dengan mendapatkan berkah darinya, namun ia juga dapat menyesatkan bagi orang-orang kafir dan orang-orang munafik.

Sesungguhnya kesulitan dan ongkos menggarap pertanian yang dilakukan dengan keikhlasan dan pertanian yang dilakukan dengan ria adalah sama, namun yang dihasilkan keduanya berbeda. Yang satu akan menghasilkan tujuh ratus kali lebih banyak, sementara yang satunya lagi tidak menghasilkan apa-apa, bahkan pelakunya akan kehilangan setiap kekayaan yang dimilikinya.


Sasaran-sasaran ayat
1. Sasaran atau khithab al-Qur`an kebanyakan menggunakan redaksi umum "wahai orang-orang", "wahai Bani Adam", "wahai manusia", dan "wahai orang-orang yang beriman". Semuanya ini dimaksudkan untuk seluruh umat manusia apapun kebangsaan dan kesukuannya. Karena itu tidak pernah kita temukan sasaran (khithab-khithab) al-Qur`an menggunakan ungkapan "wahai orang-orang Arab" atau "wahai orang-orang Quraisy", atau ungkapan lain yang serupa dengannya.

Khithab-khitab ini mengandung poin cukup bagus, yaitu keuniversalan agama Islam. Artinya bahwa Islam bukanlah agama ekslusif yang dikhususkan hanya untuk kelompok, negara, kabilah atau organisasi tertentu, melainkan ia dimaksudkan untuk semua umat manusia dimana pun mereka berada.

2. Sesungguhnya sikap ria dan keinginan menunjukkan amal adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya sama sekali. Orang yang ria (ingin dilihat) dan yang sukan menunjukkan amalnya dikatakan sebagai perbuatan tercela, karena setiap waktu dan kesempatan yang ada lama-kelamaan akan mengungkap bentuk aslinya, sebagaimana hujan lebat pada ayat 264 dalam surat al-Baqarah tadi yang telah menyingkap hakikat batu berpasir yang sebenarnya.

3. Sesungguhnya orang-orang yang berinfak dengan disertai kata-kata dan caci-maki bagaikan sebuah batu dan hati mereka keras sekeras batu. Pelajaran yang dapat diambil disini ialah bahwa air hujan yang lembut dapat menyingkap kerasnya hati dan kerasnya karakter mereka. Air hujan turun untuk menyirami bibit tumbuhan hingga ia tumbuh. Namun dalam kasusu ini ia berperan menghancurkan biji itu sendiri. Air hujan pada ayat ilahiyah ini akan menembus pada hati orang ria dan akan mencuci benih-benih keriaan di dalamnya serta menyingkap kekerasan sebuah hati sehingga akan tersingkap hakikat pelakunya.

4. Sesungguhnya orang-orang ria dan munafik suka menyebut-nyebut (manna) pemberiannya. Mereka akan mendapatkan hasil dari seluruh amal perbuatannya. Perbuatannya seperti seorang petani yang menanam biji tumbuhan di tanah licin. Maka ia akan kehilangan peranannya sebagaimana abu yang tertiup berterbaangan, dan pada akhirnya ia tidak akan mendapatkan apapun dari perbuatannya. Demikian pula orang yang berinfak dengan ria, ia tidak akan mendapatkan pahala apapun, bahkan ia kehilangan harta yang diinfakkannya.

5. Berdasarkan cara berfikir filosofis para guru dan berdasarkan keyakinan banyak orang, kekayaan merupakan sesuatu yang berharga dan kekayaan dinilai sebagai kebanggaan. Adapun menerut pandangan Islam -dengan tetap memperhatikan peran penting kekayaan dalam kehidupan di dunia- nilai-nilai seperti keimanan, kesyahidan, mengutamakan orang lain, dan lain-lain jauh lebih berharga dari kekayaan. Dan diantara sejumlah nilai agung yang diyakini oleh Islam adalah nilai menghormati kemanusiaan, menjaga kemuliaan dan kehormatan seorang mukmin.

Atas dasar ini, apakah diperkenankan menghitung nilai amal seseorang yang memberi bantuan kepada seorang miskin dihadapan orang-orang, baik dalam bentuk sadaqah atau infak? Dan apakah bisa dibenarkan seseorang mengharap balasan dari Allah Swt?

Sangat disayangan bahwa nilai yang berlaku bagi madzhad-madzhab materialis adalah harta, dan standar ril yang berlaku adalah dolar. Dolar dapat berbuat membenarkan apa saja, termasuk berbagai tindakan kriminal yang dilakukan orang-orang.

Diantara tindak kriminal tersebut adalah praktek jual-beli manusia, terutama banyi-banyi yang masih kecil. Sementara mereka membeli bayi-bayi kecil dari negara-negara miskin, terutama dari belahan dunia bagian Timur dengan harga cukup murah, lalu mereka menjualnya kembali ke negara-negara Barat yang biasa mendengungkan selogan HAM dengan harga yang jauh lebih mahal. Anak-anak kecil itu dilepas bagian-bagian anggota badannya dan kemudian diterapkan pada tubuh-tubuh sekelompok milyader di negara-negara Barat, sebagaimana juga telah dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan seks dan bisnis.

Dan diantara sejumlah langkah negara-negara Barat yang ditelorkan oleh dolar-dolar mereka adalah sistem demokrasi yang membentuk landasan asasi untuk penuntutan HAM. Upaya merumuskan HAM ini telah sempurna dilakukan oleh mereka dengan dolar-dolar miliknya. Diantaranya adalah penghapusan suara masyarakat Al-Jajair yang terdzalimi dan memutuskan bantuan dengan sederet langkah sewenang-wenang dan pembantaian-pembantaian masal. Namun anehnya para penyeru HAM di Al-Jajair berlaku buta, bisu dan tuli. Mereka tidak mendengar pembantaian-pembataian tersebut, tidak mau peduli suara-suara mereka, dan lain sebagainya.

Pada hakikatnya itu adalah efek dari nilai dolar, dan itu karena kejadian-kejadian ini menguntungkan kepentingan-kepentingan mereka, bahkan mereka sendiri baik secara langsung atau tidak menjalani langkah-langkah tersebut untuk menjaga kepentingan-kepentingannya.

Hal ini tidaklah hanya terjadi di Al-Jajair saja, bahkan ia berlangsung di seluruh penjuru dunia. Pemerintahan manapun di dunia yang mau menjaga kepentingan-kepentingan mereka dan tidak mengeluarkan kebijakan kecuali menambah keuntungan-keuntungan mereka akan dianggap sebagai pemerintahan yang baik. Mereka pun akan melakukan pengawasan setiap pandangan masyarakat. Adapun pemerintahan yang tidak berpihak pada kepentingan-kepentingan mereka dan membahayakan aset-aset kekayaannya, maka pemerintahan tersebut dianggap sebagai pemerintahan yang tidak manusiawi dan melanggar HAM, sekalipun pemerintahan tersebut menjungjung slogan-slogan mulia kemanusiaan dan menjalankan sistem politik yang maju.

Hal demikian berbeda dengan pandangan Islam, sistem yang berlaku harus dibangun berdasarkan landasar imam, kesempuraan, kemuliaan, keutamaan, keagungan dan martaban kemanusiaan yang tinggi.


Sejarah para Imam a.s dalam berinfak dan berderma
Sejarah bagaimana para imam berderma merupakah hikayat yang mengajarkan berbagai ajaran dan pelajaran. Allamah al-Majlisi mengutif sebuah kisah indah dalam tulisannya mengenang sejarah Imam al-Hasan al-Mujtaba a.s sebagai berikut yang penuh dengan nasehat dan pelajaran.

Al-Hasan dan al-Husein a.s keluar bersama Abdullah bin Ja`far (suami Zainab a.s) menuju Hijaj dan mereka kehabisan perbekalan. Mereka pun kelaparan dan kehausan. Lalu mereka lewat kepada seorang nenek tua renda di dalam kemahnya, lalu mereka berkata: Apakah ada air minum? Ia menjawab: Ya. Lalu mereka tinggal dengannya, dan tidak terdapat minuman kecuali seekor kambing betina di dalam celah kemah. Lalu ia berkata: Peras dan minumlah susunya. Mereka pun melakukannya dan berkata: Apakah punya makanan? Ia berkata: Tidak ada kecuali kambing ini, silahkan salah seorang dari kalian menyembelihnya sehingga aku dapat menyuguhkannya dan kalian dapat makan. Lalu salah seorang dari mereka menyembelih dan mengulitinya. Lalu nenek tua itu menyuguhkannya sehingga mereka pun dapat makan, lalu mereka bangkit hingga merasa kenyang. Ketika berangkat, mereka berkata kepadanya: Kami lari dari kaum Quraiys dan menginginkan suasana seperti ini. Apabila kami telah kembali dengan selamat, datanglah kepada kami maka kami akan memberimu hadiah. Lalu mereka pun pergi meninggalkannya.

Lalu nenek tua itu menemui suaminya dan menceritakan kedatangan mereka dan penyembelikan kambing. Maka ia marah dan berkata kepadanya: Sialan, kamu telah menyembelih kambingku untuk orang-orang yang tidak kamu kenal, dan kamu katakan bahwa mereka adalah pelarian dari Quraisy.

Kemudian pada suatu hari ia memiliki kepentingan untuk memasuki kota Madinah. Keduanya masuk Madinah dengan menaiki keledai dan melewati sejumlah penduduk Madinah. Al-Hasan berada di pintu sambil berdiri dan mengenali perempuan tua itu, namun ia tidak mengingatnya. Lalu al-Hasan mengutus pembantunya untuk menemuinya dan berkata: Wahai umat Allah, tidakkah engkau mengenaliku? Ia menjawab: Tidak. Beliau berkata: Saya adalah tamu Anda pada hari anu. Lalu ia berkat: Oh demi ayah dan ibuku. Lalu Al-Hasan membelikan untuknya sebagai sadaqah berupa seribu kambing, memberinya uang seribu Dinar dan mengantarkannya bersama seorang pembantu kepada saudaranya al-Husein a.s, lalu beliau berkata: Berapa saudaraku al-Hasan telah memberimu? Ia menjawab: seribu kambing dan seribu Dinar. Lalu beliau pun memberinya sadaqah sejumlah yang sama. Lalu al-Husein mengantarkan bersama pembantunya kepada Abdullah bin Ja`far a.s, dan ia berkata: Berapa al-Hasan dan al-Husein a.s telah memberimu? Dua ribu kambing dan dua ribu Dirham. Lalu Abdullah memberinya lagi dengan dua ribu kambing dan uang dua ribu Dirham .53


Sadaqah dapat mencegah bencana dan kematian .54
Telah saya katakan sebelumnya bahwa sadaqah akan memberi manfaat kepada pemberinya sebelum pihak yang diberi mendapatkan manfaatnya. Kita juga telah membaca penjelasan-penjelasan sebelumnya manfaat terkait dengan sadaqah berupa sifat-sifat kesempurnaan, selain balasan dan pahala non material. Di sini kami katakan bahwa sadaqah pun dapat mencegah bencana dan malapetaka, sebagaimana dikatakan sebuah riwayat berikut ini;

Seorang Yahudi bertemu Rosulullah Saw dan berkata: assâmu `alaik (kecelakaan atasmu) 55 . Maka Rosulullah Saw menjawab: "dan juga untmu". Lalu beliau Saw bersabda: "sesungguhnya orang Yahudi ini akan digigit dan dibunuh ular hitam yang ada di gendongannya". Orang Yahudi tersebut pergi sambil mengumpulkan sejumlah kayu bakar yang kemudian dibawa digendongannya dengan tanpa banyak perhatian terhadapnya. Maka berkatalah Rosulullah Saw kepadanya: letakkan -kayu-kayu- itu. Lalu dia meletakkannya dan ternyata seekor ular hitam sedang melingkar di dalam tumpukan kayu tersebut dan siap menggigit. Beliau bersabda kepadanya: Wahai Yahudi, apa yang telah kamu lakukan hari ini? Ia menjawab: Saya tidak melakukan apapun kecuali membawa kayu bakar ini. Namun aku memiliki dua kueh kaak, yang satu aku makan sendiri dan yang satu lagi aku sadaqahkan kepada seorang miskin. Maka bersabdalah Rosulullah Saw: Dengan sadaqah tersebut Allah menggagalkan bencana darinya". Lalu beliau melanjutkan: "Sesungguhnya sadaqah dapat mencegah kematian buruk dari seseorang". 56





9
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Keenam:

Infak yang Sesuai
Allah Sang Pemberi Rizki berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 265 sebagai berikut: "Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat".

Perumpamaan pada ayat ini hampir sama dengan perumpamaan sebelumnya terkait dengan infak, hanya saja perumpamaan kali ini berbicara sisi positif sebuah infak dengan berbagai pelajaran indah di dalamnya yang berbeda dengan pelajaran-pelajaran infak sebelumnya yang berhubungan dengan manni dan ada (menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti penerima bantuan). Pembicaraan kali ini berkisar tentang infak dan keikhlasan.


Syarah dan tafsir ayat
Allah Swt berfirman dalam ayat ini bahwa perumpamaan orang-orang yang berinfak secara ikhlas, tanpa ria, dan tanpa menyakiti perasaan penerimanya seperti sebuah kebun di dataran tinggi, memiliki tanah subur dan dicurahi air hujan, sementara cahaya matahari menyinarinya dari berbagai sisi. Karena itu hasil panennya melimpah dan berlipat ganda. Maka perumpamaan orang yang berinfak sama seperti kebun tersebut, dimana infaknya seperti penghasilan panen kebun subur yang melimpah dan berlipat ganda.

Adapun motif-motif mereka berinfak sebagaimana disebutkan ayat tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, karena mencari keridhaan Allah. Hal ini menuunjukkan kepada sebuah hadis terkenal dari Imam Ali a.s :"Tidaklah aku menyembahMu karena aku takut api neraka". Padahal sekedar membayangkan apinya saja sudah menakutkan, lagi dengan kenyataan sebenarnya. "bukan pula karena mengharap surgaMu", padahal kenikmatannya sungguh besar dan luar biasa sekali yang tidak mungkin dapat dibayangkan oleh pemikiran seorang manusia 57. "Melainkan aku mendapatkanmu Dzat yang layak untuk disembah, maka aku menyembah-Mu". Artinya bahwa kelayakan Allah untuk disembah lah yang telah mendorong Imam Ali a.s menyembah-Nya, bukan karena takut neraka atau karena mengharap surga.

Ibadah jenis pertama adalah ibadah seorang budak, karena seorang budak bergerak melakukan berbagai perintah karena takut pada tuannya. Yang kedua adalah bentuk ibadah seorang pedagang, karena ibadah disini dimaksudkan untuk mengharapkan suatu keuntungan dan balasan. Sementara bentuk terakhir adalah ibadah seorang merdeka, karena ketaatan kepada tuannya bukan karena rasa takut dan bukan pula karena mengharap sesuatu, melainkan murni hanya untuk Allah semata.58

Ayat tersebut dimaksudkan untuk jenis ibadah yang terakhir ini. Yakni infak yang diberikan semata-mata hanya karena Allah dan mengharap ridha-Nya.

Kedua, motif kedua bagi seorang pemberi infak dalam ayat tersebut ialah sampai kepada berbagai kesempurnaan psikologis dan kesempurnaa spiritual, dimana ayat tersebut mengatakan; "Tatsbiitan lianfusihim (dan untuk keteguhan jiwa-jiwa mereka)". Menurut catatan Al-Râgib, kata Tatsbît mengandung arti taqwiyah (penguatan) dan tahkim (ketetapan). Tentu kata tatsbit dalam sebuah do`a "Allahumma tsabbit aqdâmana", tidaklah berarti menguatkan kaki-kami kami, melainkan menguatkan dan menetapkan langkah kaki-kaki kami.

1. Dalam perumpamaan ini, pemberi infak diumpamakan seperti surga dan kebun yang berada di dataran tinggi. Tanah di dataran tinggi biasanya memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut;

a. Cahaya matahari merupakan unsur-unsur penting bagi pertumbuhan tanaman, dan dataran tinggi akan mendapatkan cahaya matahari langsung dari berbagai arah, karena tidak ada lagi penghalang padanya.

b. Udara di daerah dataran tinggi biasanya cukup segar karena masih banyak pepohonan dan tumbuh-tumbuhan.

c. Dataran tinggi aman dari ancaman banjir, sementara perkebunan-perkebunan yang berada di lembah-lembah atau dataran rendah rentan terkena bahaya banjir.

d. Keindahan dan kecantikan kebun yang ada di daerah dataran tinggi jeuh lebih indahn dan lebih cantik di banding kebun-kebun yang ada di dataran rendah.

Atas dasar ini, orang-orang yang berinfak seperti kebun-kebun yang langsung mendapatkan cahaya hidayah lebih besar dari selain mereka. Ini yang pertama.

Kedua, mereka akan mendapatkan pemberian dan anugrah Allah Swt yang murni dengan bentuk yang paling utama.

Ketiga, Mereka akan sedikit ditimpa bencana dan kematian buruk (karena kecelakaan).

Keempat, Ia akan lebih dicintai orang-orang dan akan mendapatkan nilai-nilai non-material yang besar.

Problem satu-satunya kebun-kebun ini adalah ia jauh dari aliran-aliran sungai, karena itu Allah turunkan air hujan lebih banyak sehingga cukup untuk kebutuhan tumbuh-tumbuhan.

2. Ayat tersebut menjelaskan bahwa wâbil (air hujan yang deras) menjadi kiasan terhadap derajat infak. Dengan pengertian bahwa air hujan yang deras akan mengairi kebun secara merata sempurna sehingga menghasilkan buah-buahan yang banyak. Adapun air hujan yang sedikit tidak dapat mengairinya dengan sempurna sehingga buah-buahan yang dihasilkan menjadi kurang bagus.

Disinilah perbedaan nilai infak dijalan Allah, antara penginfak yang masih membutuhkan harta yang diinfakkannya dan penginfak yang sudah tidak lagi membutuhkannya, sekalipun kedua-duanya ditujukan untuk mendapatkan keridhaan Allah.

Sebagaimana juga terdapat perbedaan antara infak kepada orang-ornag yang benar-benar membutuhkan pertolongan dengan orang-orang yang tidak begitu mendesak kebutuhkannya.

Akhir ayat tersebut mengatakan: "Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat". Ini adalah bukti nyata atas apa yang telah kami kemukakan pada paragraf tadi dimana kandungan ujung ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt maha mengetahui dan maha melihat apakah pengifak itu menginfakkan hartanya dalam kondisi ia masih membutuhan harta tersebut atau tidak, atau apakah ia menginfakkannya kepada orang yang berhak (mustahik) atau tidak.

3. Obyek infak pada ayat 262, 263, dan 265 dari surat al-Baqarah ialah infak kekayaan dan harta. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang infak dalam bentuk kekayaan, seperti harta, baju, makanan, peralatan, buku-buku, kertas, dan lain sebagainya. Namun ayat ke tiga dari surat al-Baqarah berbicara tentang infak yang lebih umum mencakup kenikmatan apapun yang dapat diberikan. Sejumlah ayat-ayat al-Qur`an telah mengkategorikan berinfak sebagai salah satu karakter orang-orang mukmin, seperti "Dan mereka menginfakkan diantara anugrah yang telah Kami berikan kepada mereka".59

Berdasarkan ayat ini dapat disimpulkan bahwa obyek infak adalah umum mencakup seluruh nikmat dan rizki Allah, seperti nikmat-nikmat berikut ini;

a. Ilmu. Para ulama hendaknya mensadaqahkan ilmunya, yaitu dengan cara mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Dan kalau tidak, maka ia akan dinyatakan sebagai orang-orang hina dihadapan mahkamah keadilan ilahi. Sebuah riwayat dari Imam ash-Shâdiq a.s, ia berkata: "Zakat ilmu adalah menyebarkannya".

b. Kemampuan berdiplomasi adalah rizki yang Allah anugrahkan, maka sebaiknya orang yang memiliki kemampuan tersebut menginfakkan kemampuannya.
Apabila menemukan perselisihan antara suami-istri, antara kedua tetangga, antara dua rekanan, antara saudara, antara keluwarga dekat, dan lain-lain sebaiknya kemampuan berkata-kata atau berdiplomasi digunakan untuk mendamaikan mereka.

c. Nasib lebih beruntung dan posisi terhormat di tengah masyarakat adalah nikmat ilahiah lain yang harus diinfaki. Maka tidaklah ada seorang yang terzalimi terus berada dalam kekangan seorang dzalim, sementara ada orang yang berkemampuan memberikan pertolongan bagi orang yang terdzalimi ini dengan menggunakan posisi dan pengaruh sosialnya dari cengkraman kesewenang-wenangan orang dzalim. Maka janganlah enggan untuk itu, bahkan harus membantunya dengan rasa kerinduan.

d. Anak-anak. Ia merupakan anugrah Allah yang paling besar, maka ia harus diinfakkan di jalan Allah Swt kapan pun ia dibutuhkan, sebagaimana telah terjadi pada masyarakat Iran dalam gerakan revolusi Islam yang telah rela mengorbankan anak-anaknya, dan tidak kikir atas hal itu.

e. Kemampuan berfiki. Itulah diantara anugrah paling besar yang Allah berikan kepada manusia, maka ia pun harus diinfaki dan digunakan dalam berbagai musyawarah untuk membantu orang lain menemukan solusi sebagai konsultan yang baik dan saleh.


Cara berinfak dan menolong orang lain
Terdapat banyak cara dalam berinfak, dan cara atau jalan yang biasa dikenal dikalangan orang-orang adalah infak harta berupa uang atau lainnya kepada orang-orang yang membutuhkan. Cara seperti ini adalah baik, namun terdapat cara lain yang jauh lebih baik dan lebih banyak efeknya dibanding cara pertama, yaitu dengan membentuk yayasan atau organisasi khusus yang bergerak memberikan bantuan dan infak secara terorganisir.

Yayasan-yayasan amal seperti ini telah banyak dibentuk dengan standar pelayanan cukup baik di sejumlah lembaga Iran. Yayasan-yayasan tersebut berusaha menggalang berbagai macam bantuan dari satu sisi, dan dari sisi lain ia bergerak mendistribusikannya kembali kepada mereka yang membutuhkan sebagai bantuan dengan menggunakan berbagai macam cara. Bantuan tersebut seperti pengadaaan berbagai perangkat rumah yang murah dari beberapa yayasan, pabrik dan perusahaan.

Lembaga-lembaga ini bahkan telah bergerak mengurusi program sekolah anak-anak dengan mendistribusikan infak-infak mereka melalui program ini, hingga sebagian anak-anak dapat melanjutkan sekolah ke jengjang yang lebih tinggi, menengah atas hingga lulus universitas.

Sebagian yayasan tersebut bergerak dibidang cultural, selain dalam bentuk bantuan finansial. Diantaranya membentuk program-program pembelajaran dan pengajaran cultural untuk berbagai lapisan umur.

Hendaklah orang-orang muslim sekarang lebih perhatian terhadap bentuk infak terorganisir seperti ini. Dan sekalipun pemerintah sudah bergerak dalam bidang ini, namun mengingat jumlah orang fakir yang membutuhkan bantuan sekarang cukup banyak, maka kondisi ini menuntut keberadaan yayasan-yayasan amal yang bisa bergerak lebih luas.

Yayasan-yayasan pemberi bantuan kepada para narapidana dan orang-orang sakit adalah bentuk lain yang juga sangat baik, seperti telah di jelaskan pada pembahasan sebelumnya.

Berfikir kreatif menciptakan sistem baru pemberian bantuan untuk lembaga-lembaga ini akan memberikan hasil yang lebih maksimal, karena bantuan benar-benar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Sebelumnya telah disebutkan bahwa sadaqah sebagaimana disabdakan Rosulullah Saw dapat mencegah dari kematian buruk (karena kecelakaan). Di sini terdapat hadis lain dari Rosulullah Saw, beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah Yang tiada tuhan selain-Nya adalah Yang mencegah penyakit, kebakaran, tenggelam, jatuh, kehancuran, gila dan tujuh puluh keburukan lain dengan sadaqah".

Tentu saja sabda Rosulullah bukanlah omong kosong, melainkan sesuai dengan kenyataan, dan inilah efek hakiki sebuah saqadah. Apabila sunnah hasanah ini dapat dijalankan, pasti banyak problem-problem sosial dan pribadi kita yang terselesaikan.


Empat kekhususan dalam perumpamaan ke tujuh
Pertama, dataran tinggi. Kedua, pohon-pohon dalam kebun. Ketiga, hujan yang lebat. Keempat, buah-buahan yang banyak. Ini semua dari satu sisi adalah perumpamaan, namun dari sisi lain ia menggambarkan anggota dan sifat-sifat manusia atau nikmat ilahi yang dinikmati manusia.

Berikut ini penjelasan-penjelasan empat perumpamaan barusan yang ada dalam salah satu buku tafsir. Ruh dan hati seseorang biasa diserupakan dengan tanah yang tinggi yang di dalamnya terdapat perkebunan. Adapun amal-amal saleh seseorang biasa diumpamakan dengan infak dan bantuan di jalan Allah, rahmat Allah, hidayah takwiniyah dan tasyri`iyyah-Nya biasa diumpamakan seperti air hujan yang lebat yang mengguyur pepohonan dan tumbuhan hingga tumbuh berkembang. Sementara dampak-dampak psikologis dan kecendrungan-kecendrungan spiritual serta akhlak yang ada berupa kedermawanan, suka memberi bantuan, tawadhu, berendah diri, dan mencintai orang lain diumpamakan seperti buhan-buahan kebun yang berkah.

Tujuan dari perumpamaan ini -sebagaiaman juga tujuan perumpamaan-perumpamaan lainnya- ialah kesempurnaan eksistensi seseorang dan sampainya ia pada derajat kedekatan kepada Allah. Dengan kata lain, menjadikan seseorang hanya sebagai hamba Allah, dan itulah tujuan penciptaan manusia dan penciptaan seluruh keberadaan.60 Dan itu gambaran lain dari sampainya seseorang kepada posisi mulia dalam ayat berikut ini:

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku".61


Alangkah baiknya kebahagiaan yang dicapai seseorang
Di antara kesimpulan yang dapat diambil dari perumpamaan ini adalah bahwa di sana terdapat surga (premi surga yang dijanjikan di akhirat) di dunia. Yaitu surga di hati seorang mukmin yang dipenuhi dengan berbagai pohon dan tumbuh-tumbuhan. Yakni dengan berbagai sifat dan keutamaan akhlaki pada ruh seseorang dan kebersihannya dari kotoran. Seseorang tidaklah mungkin menggapai surga ini dan tidak mungkin dapat merasakannya kecuali seluruh amal-amalnya dilakukan murni hanya untuk Allah semata yang tidak ada sekecil apapun bentuk riba di dalamnya dan juga hanya untuk mengharap ridha-Nya.

Inilah tema yang dimaksudkan oleh kalimat terakhir ayat tersebut: "Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat". Sesungguhnya Allah akan melihat amal, melihat niatannya, dan apa pun yang terbersit dalam niat dari tujuan-tujuan lain selain Allah.

Tema syirik dalam beramal yang diistilahkan dengan ria telah banyak dibicarakan dalam berbagat ayat dan hadis dengan jumlah cukup banyak. Rosulullah Saw bersabda dalam sebuah hadisnya: "Sesungguhnya syirik jauh lebih tersembunyi dari suara semut yang merayap di sebuah batu hitam di tengah kegelapgulitaan malam hari".62 Seseorang yang sudah melewati masa beribadah puluhan tahun akan merasakan keikhlasan dan ketidak ikhlasannya dalam beribadah.

Celakalah seseorang yang terlambat mengetahui ketidakikhlasannya. Allah Swt berfirman: "agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan".63

Kita akan akhiri penjelasan syikirk ini dengan menyebutkan kisah ayatullah al-`udhma, marja dunia Islam, Sayyed Burujurdi -semoga ridha Allah Swt ditetapkan atasnya-. Suatu hari Sayyed Burujurdi pergi ke sebuah desa di pinggiran kota Qum untuk keperluan istirahat. Selama beberapa hari disana, ia membentangkan sebuah sejadah bersama orang-orang yang menemaninya. Mereka menyaksikan saat itu bahwa Sayyed Burujurdi tenggelam lama dalam berfikir. Lalu mereka bertanya tentang sebab semua itu, dan beliau menjawab: Saya berfikir apakah ada padaku sebuah amal yang benar-benar murni karena Allah dan benar-benar dimaksudkan karena mengharap ridah-Nya, tanpa ada tujuan selainnya atau tidak ada?

Mereka berkata kepadanya: Wahai tuan kami, alhamdulillah Anda telah banyak berkhidmat kepada hauzah ilmiyyah dan kepada kaum muslimin 64, maka tidak ada alasan lagi untuk ragu. Lalu beliau menggeleng-gelengkan kepalanya dan membacakan sebuah hadis: "Ikhlaslah beramal, karena sesungguhnya an-nâqid (yang membedakan) itu melihat".65

An-nâqid berarti seseorang yang dapat membedakan antara tuli yang asli dan tuli yang palsu. Sebuah kepalsuan akan dapat diketahui orang-orang secara umum jika bentunya cukup besar. Namun jika bentuknya kecil dan samar, ia tidak dapat diketahui kecuali oleh seorang An-nâqid. Berdasarkan riwayat ini, Allah adalah An-nâqid terhadap niatan-niatan seseorang sehingga kuasa membedakan antara niatan yang tulus dan niatan yang palsu. Ia Maha Melihat dan Maha

Menyaksikan sekali pun terhadap kepalsuan dan ketidakmurniaan yang paling kecil.
Untuk itu, hendaknya kita berusaha agar tidak ada kepalsuan sedikit pun dari niatan-niatan dalam amal-amal, ucapan dan pemikiran kita sehingga dengannya kita dapat bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Swt.


Etika berinfak

Pada tema ini kita akan mengkaji sejumlah etika dan landasan berinfak.

1. Berinfak dari sesuatu yang dicintai
Apabila seseorang menginfakkan kelebihan makanan dan pakaian bekas yang dimilikinya maka itu baik dan tidak ada masalah, sekali pun masuk dalam kategori derajat infak paling rendah. Maka untuk mencapai derajat infak yang paling tinggi, ia harus menginfakkan sesuatu yang ia cintai, sebagaimana firman-nya Swt:

"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya" .66

Diriwayatkan, Sayyidah az-Zahra a.s ketika berangkat ke rumah suaminya untuk pernikahan. Di perjalanan ia bertemu seorang pemohon yang meminta bantuan darinya. Maka beliau tanggalkan baju pengantinnya untuknya, sementara beliau sendiri hanya memakai baju bekas .67 Tidaklah akan pernah ada sepanjang sejarah orang yang dapat menandingi keikhlasan sebagaimana keikhlasan Az-Zahra a.s, sementara saat itu ia seorang gadis yang masih cukup belia. Namun ia rela menginfakkan baju pengantinnya dan merasa cukup dengan pakaian bekas saja lain yang dimilikinya. Ia adalah referesentatif ayat mulia di atas.

Kita mungkin dapat memahami nilai infak dari riwayat yang bersumber dari para maksumum a.s. Imam Ali a.s telah menginfakkan cincinnya dalam posisi ruku, dan untuk kasus ini sebuah ayat al-Qur`an ayat ke 55 dari surat al-Maidah diturunkan.68

Imam Ali a.s diriwayatkan telah membeli dua buah gamis, dan memerintahkan pembantunya untuk melilih dan mengambil salah satunya.69

Dalam sebuah riwayat, Imam ash-Shadiq a.s pernah berkata: "Tidaklah ada sesuatu yang malaikat dikuasakan untuknya selain sadaqah. Karena sesungguhnya ia berada di tangan Allah Swt".70

Kini, apakah layak dan pantas jika seseorang menginfakkan harta yang memang sudah tidak disukai dan akan sampai langsung kepada Allah?


2. Berinfak dengan tujuan mendidik
Etika terpenting ketika berinfak dan menolong adalah berusaha menjaga kehormatan dan kepribadian penerima infak. Allah Swt berfirman dalam al-Qur`an:

"Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun".

Apabila seorang peminta datang kepadamu meminta sesuatu dan kamu tidak punya apa-apa, maka kamu harus katakan kepadanya; maaf, saya tidak bisa membantumu. Yakni kamu wajib menanggapinya dengan penghormata, dan itu jauh lebih baik dari memberi disertai hardikan dan kata-kata menyakitkan, seperti kamu katakan kepadanya: Semoga setelah ini saya tidak lagi melihatmu. Atau; Ambil ini supaya saya terhindar dari sialmu.

Ajaran etika berinfak yang mulian ini bersumber dari para maksum a.s dengan bentuknya yang sangat jelas. Telah diriwayatkan tentang Imam as-Sajjad a.s:

Apabila seseorang memberi seorang peminta, maka ciumlah tangannya. Lalu beliau ditanya, kenapa harus melakukan demikian? Beliau a.s menjawab: karena sadaqah tersebut sudah berada pada tangan Allah sebelum berada di tangan seorang hamba".71 Berapakah perbedaan antara infak yang murni dan diserta penghormatan dengan infak yang dilakukan dengan ria dan penghinaan?


3. Bersegera dalam berinfak
Tidaklah perlu, was-was dan berfikir lama ketika ingin bersadaqah sebagai upanya mendekatkan diri kepada Allah, karena syetan pada saat itu akan berusaha keras mencegah seseorang dari bersadaqah. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 268; "Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui".

Sesungguhnya syetan berusaha membisiki seseorang dengan berbagai macam cara. Ia akan mengatakan misalnya; coba kamu fikirkan bagaimana masa depan anak-anakmu, bagaimana hari-hari tuamu nanti. Simpanlah harta-hartamu untuk masa tuamu. Inilah upaya syetan menggagalkan infak seseorang, padahal Allah Swt telah menjanjikan pengampunan dan mengganti kembali harta yang diinfakkan.

Di tengah-tengah manusia syetan sudah diketahui akan menempel terus pada tangan seseorang ketika ia hendak menginfakkan hartanya, sehingga ia membatalkan niat infaknya. Inilah penjelasan lain ayat tersebut.

Seperti diketahui bahwa Al-Qur`an belum pernah menggunakan kata fakr kecuali dalam ayat ini yang dinisbatkan kepada syetan. Siapakah yang memberimu rizki ketika kamu masih janin saat berada dalam tiga kegelapan? Allah lah Sang pemberi rizki, Ia juga akan menjami rizkimu dan rizki anak-anakmu ketika kamu sudah tua dan lemah.

Di sana terdapat perkataan indah seorang pembesar; Saya tidak berbuat sesuatu untuk masa depan anak-anakku, karena kalau mereka termasuk kekasih (wali) Allah, maka Allah tidak akan mungkin menelantarkan seorang walinya sendirian. Dan apabila ia termasuk musuh Allah, maka apa lagi yang bisa saya lakukan.


4. Sadaqah tersembunyi dan terang-terangan
Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai riwayat adalah bahwa sadaqah merupakan amal yang lebih utama disampaikan secara rahasia, hanya saja dalam sejumlah kondisi sadaqah justru perlu dinyatakan dan dipublikasikan untuk umum, karena alasan-alasan tertentu.72 Hal ini telah dijelaskan oleh al-Qur`an dalam surat al-Baqarah ayat 271:

"Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan".


5. Mengutamakan orang-orang miskin yang menutupi kemiskinannya
Al-Qur`an al-Karim menggambarkan orang-orang miskin yang menutup-nutupi kemiskinannya sebagai orang yang benar-benar membutuhkan bantuan sehingga mereka layak diutamakan menerima sadaqah dan bantuan. Pesan ini disinggung dalam surat al-Baqarah ayat 273: "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui".

Orang-orang miskin yang memiliki harga diri tinggi dan orang-orang sepertinya adalah lebih pantas dan lebih berhak menerima sadaqah dan bantuan. Lebih lagi pada bulan Ramadhan sebagai bulan berkah dimana alam-amal biasa saja akan dihitung sebagai ibadah, dan apalagi disertai dengan nilai ketaatan. Ketaatan akan bernilai tinggi sebagaimana sadaqah, sesuai dengan falsafah puasa, merasakan penderitaan orang-orang yang membutuhkan solusi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.73





10
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Ketujuh:

Akibat Sebuah Berbuatan
Allah Swt berfiman terkait sebuah perumpamaan dalam al-Qur`an pada surat al-Baqarah ayat 266 sebagai berikut: "Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya".


Gambaran penjelasan
Bagaimana mungkin salah seorang dari kalian mengharapkan ditimpa bencana di masa ketika ia sudah berumur senja, padahal sebelumnya ia memiliki sebuah kebun yang diipenuhi kurma dan pohon-pohon lain yang berbuah, dan juga terdapat sungai-sungai. Ia memiliki anak-anak dan keturunan yang lemah, sementara dalam kondisi lemah seperti ini kebunya diserang badai topan besera api yang melalap kebun dan apapun yang ada di dalamnya. Ia pun kini di usia senjanya menjadi seorang yang lemah dan hina.


Syarah dan tafsir
Terdapat banyak sekali tafsiran para mufassir terkait dengan ayat ini. Sebagin mufassir meyakini bahwa perumpamaan ini menjelaskan akibat seseorang yang membakar hasil-hasil infaknya dan melalapnya dengan api ria, maka seluruh ibadah dan amal-amal salehnya akan sirna sia-sia.

Ada sekelompk orang yang telah banyak beramal dari haji, shalat, puasa, jihad membangun masjid, mendirikan rumah sakit, dan membantu anka-anak yatim selama kurun waktu cukup lama, hanya saja kemudian ia membakarnya sehingga seluruh amalnya hilang dan sementara bekas-bekasnya bertaburan ditiup angin. Demikian itu dimaksudkan agar ia berkaca dan mengintrospeksi diri.74

Sekelompok mufassir berpandangan bahwa perumpamaan tersebut tidaklah hanya dikhususkan untuk ria, melainkan mencakup semua bentuk dosa. Ayat tersebut mengingatkan kaum muslimin agar menjaga amal-amal serta ibadahnya dari dosa-dosa yang dapat menghilangkan dan membakarnya.

Berdasarkan ayat ini, apabila seseorang tidak mengontrol amal-amalnya, maka ia akan mengalami nasib seperti nasib masa tuan orang ini, dimana ia telah hidup sengsara bersama keluwarga dan anak-anaknya. Ia telah menjadikan masa depan anak-anaknya masa depan yang suram.75

Dengan kata lain; wahai manusia, jagalah selalu amal-amal dan ibadahmu dengan cara yang baik, dan fikirkanlah akibat-akibat perbuatanmu. Sesungguhnya menjaga sebuah amal jauh lebih sulit daripada melakukan amal itu sendiri.

Rosulullah Saw bersabda: Barang siapa membaca tiada tuhan selain Allah (lâ ilâha illallah), maka Allah menanamkan untuknya sebuah pohon di sorga". Artinya bahwa setiap kali seseorang mengucapkan kaimat ini, akan ditanamkan untuknya sebuah pohon di surga.

Yang dapat disimpulkan dari hadis ini adalah bahwa surga dan juga neraka dibangun berdasarkan amal-amal kita. Artinya bahwa ia belum dibangun sebelumnya.

Rosulullah Saw bersabda: "Barang siapa mengucapkan maha Suci Allah (subhânallah), maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah pohon di surga.
Barang siapa mengucapkan segala puji bagi Allah (Alhamdulillah), maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah pohon di surga. Barang siapa mengucapkan tiada tuhan selain Allah (lâ ilâha illallah), maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah pohon di surga. Dan barang siapa mengucapkan Allah Maha Besar (Allahu Akbar), maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah pohon di surga".

Seorang laki-laki dari Quraisy pernah berkaat kepada Rosulullah Saw: Wahai Rosulullah, berarti kita punya banyak pohon di surga? Beliau menjawab: Benar, namun hati-hati jangan sampai kalian mengirimkan api kepadanya lalu kalian membakarnya. Itulah maksud firman Allah Azza wa Jalla: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian".76

Dalam hadis lain, Rosulullah Saw berabda: "para ulama seluruhnya celaka kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya. Setiap mereka yang mengamalkan ilmunya akan celaka kecuali mereka yang ikhlas melakuaknnya, dan orang-orang ikhlas pun masih juga berbahaya (belum aman posisinya, penej).77

Dalam hadis ini terdapat peringatan lain kepada manusia agar tidak menghilangkan amal-amalnya yang murni (ikhlas) yang lalu dengan dosa-dosa yang akan datang.

Firman-Nya; "Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur", adalah isyarat hanya kepada buah anggur dan kurma saja, todak yang lainnya, karena keduanya adaklah buah-buahan makanan pokok paling penting bagi manusia.

Firman-Nya; "mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan," adalah kebun yang di dalamnya terapat sebuah kanal atau kolam sehingga dapat dialiri air darinya. H..109...

Firman-Nya; "kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil (lemah-lemah)", artinya bahwa pemilik kebun ini sudah berumur tua. Sementara keturunan yang lemah berarti keturunannya tidak mungkin bisa membantunya mengurusi urusan perkebunan, bahkan anak-anaknya yang masih kecil ini senantiasa merepotkan dan membenaninya. Namun kebun tersebut sudah tiga lagi membutuhkan perawatan cukup berat dan terus-menerus sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari buah-buahannya.

Firman-Nya; "Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah". Artinya, disaat kakek tua itu sedang sangat membutuhkan jasa kebun ini, tiba-tiba kebunnmya diterpa badai hingga kebakaran seluruhnya dan berubah menjadi abu, lalu abu-abunya terbang dibawa angin hingga tidak tersisa apapun darinya.

Badai merupakan kondisi yang dihasilkan oleh pertemuan dua jenis angin dari dua arah yang berlawanan. Ketika berada di suatu tempat, ia akan menghancurkan apapun yang ada di situ dengan kekuatan dahsyat. Terkadang ia menyapu air laut dan mengangkat ikan-ikat di dalamnya dan menjatuhkannya di tempat lain sehingga sebagian orang menganggap ia turun dari langit. Terkadang juga orang terbawa olehnya dan kemudian dijatuhkan di tempat lain.

Pertanyaan, bagaimana api bisa muncul bersamaan dengan badai? Terdapat banyak sekali analisa sebagai jawaban atasnya;

a. Sebagian analis meyakini bahwa badai sebenarnya tidak mengandung api. Api tersebut dihasilkan dari halilintar, dan halilintar lah yang membakar kebun terebut, lalu datanglah badai mengangkat debu-debu kebakaran kebun dan memindahkannya ke tempat lain.

b. Badai terkadang bertemu dengan api yang menyala, lalu ia menyeretnya hingga sampai ke kebun tersebut, membakar dan merubahnya menjadi debu-debu.

c. Badai ini bukanlah badai yang biasa dikenal. Ia adalah badai yang biasa disebut "sumum" atau angin panas yang kebanyakan muncul di wilayah Saudi, dan orang-orang yang berada di jalurnya biasa bercadar dan bertiarap hingga badai itu lepas dari mereka. Dan ketika badai ini melewati kebun tersebut, ia membakar dan menghancurkannya.

Firman-Nya; "Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya". Tujuan Allah memberikan perumpamaan ini adalah agar mereka berfikir dan menggunakan akalnya. Ayat ini mengingatkan agar seseorang menitipkan dirinya kepada kekuasaan (tangan) Allah dan menyadari bahwa seluruh amal, ibadah dan ketaatan yang dilakukannya masih sedikit di sisi Allah Swt. Sementara kenikmatan, kebaikan dan keberuntungan yang datang dari Allah Swt kepadanya tidaklah sebanding dengan ibadan dan amalnya.

Sayangnya, manusia yang lemah ini terkadang tidak berpikir dengan baik dan menipu dirinya sendiri dengan rakaat-rakaat shalat dan puasa yang dilakukannya sekian lama, dan karenanya ia menganggap dirinya sebagai penghuni surga, atau bahkan meyakini bahwa surga memang wajib diperuntukkan untuknya.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang dirahmati, dan jangan jadikan kami termasuk orang-orang yang diharamkan dari rahmatMu.


Keburukan adalah akibat dari perbuatan seseorang
Dimasa al-Bahlawi, ada seorang pelajar hauzah yang sangat beragama, bertaqwa, dan seing kali mengontrol amal-amalnya. Ia penah marah, cemberut dan menjauhi saudaranya karena tidak membayar khumus dan zakat. Pada suatu hari, pelajar ini jatuh sakit cukup serius. Lalu ia dibawa saudaranya kerumahnya untuk dirawat. Di tengah-tengah ia dirawat di rumah saudaranya, datanglah seorang ustadz untuk menjenguknya. Ketika ustadz itu hendak duduk, ia berkata kepadanya: janganlah duduk di atas sadah itu, karena ia hasil gashab (rampasan hak orang lain, penej). Namun zaman kemudian merubah pelajar ini sehingga bebeda jauh dari sebelumnya, bahkan kini ia tidak pernah lepas dari makanan-makanan memabukkan.

Imam Ali a.s berkata dalam khutbah singkatnya yang berisikan efek-efek takabbur dan sombong:78 "Ambilah pelajaran dari apa yang dilakukan Allah terhadap iblis. Ia telah menihilkan amal-amal perbuatannya yang agung dalam waktu lama karena kesombongan sejenak, walau pun Iblis telah menyembah Allah enam ribu tahun lamanya, apakah tahun menurut perhitunagn dunia ini atau dunia yang akan datang, tidak diketahui". Sesungguhnya takabbur telah menghancurkan amal-amalnya dan menjerumsukan ke titik akhir yang tidak terpuji.

Atas dasar ini, untuk selamanya janganlah seseorang membanggakan ibadan dan amal-amalnya, bahkan hendaknya ia senantiasa memohon rahmat dan ampunan Allah Swt. Ya Allah jadikanlah akhir urusan kami dengan kebaikan.


Sasaran ayat; Penghapusan Amal dan Penebusan Dosa (ihbâth wat takfîr)
Diantara pembahasan penting dalam teologi (ilmu kalam) adalah pembahasan ihbâth wat takfîr yang telah disinggung sejumlah ayat al-Qur`an.

Sesungguhnya ihbâth adalah gambaran tentang amal dan dosa-dosa, yang jika melakukannya maka kebaikan-kebaikan dan ibadah seseorang akan sirna.

Sementara takfîr adalah gambaran tentang amal-amal yang yang jika dilakukan, maka dosa-dosa akan sirna dan terhapuskan. Sebagai contoh, kesombongan syetan dan rasa hasudnya menjadi sebab amal-amal yang telah ia kerjakan selama enam ribu tahun gugur. Sementara taubat al-Hur bin Yazid ar-Rayâhî pada perinstiwa al-Husein telah menjadi penghapus (takfîr) dosa-dosa yang telah ia lakukan.

Sesungguhnya taubat dapat memupas api-api dosa, karena itu kaum muslimin hendaknya selalu bertaubat dan kembali kepada Allah dengan do`a dan munajat serta tawassul kepada para imam maksum a.s.

Berdasarkan ayat tersebut, sesungguhnya doa-doa pada malam sepertiga dari bulan Ramadhan berkaitan dengan masalah ihbat dan takfir. Kita membaca dalam do`a malam al-Qadar misal; "Andaikan aku termasuk orang-orang...h.111". Bagain awal do`a tersebut berkaitan dengan masalah ihbât dan bagian keduanya berkaitan dengan maslah takfîr.


Argumentasi ihbâth wat takfîr
Sekalipun sejumlah ulama Islam tidak meyakini adanya ihbâth wat takfîr dan menganggap antara keduanya tidak dapat saling memeri efek apapun. Amal baik tidak akan berpengaruh terhadap amal-amal buruk, dan sebaliknya amal-amal buruk tidak akan berpengaruh terhadap amal-amal baik. Namun al-Qur`an menjelaskan ihbâth wat takfîr dalam sejumlah ayat-ayatnya. Sebagai contoh akan saya sebutkan sebagiannya;

a. Allah Swt berfirman dalam surat Hud ayat 114 sebagai berikut: "Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.".

b. Dalam surat al-Maidah ayat 5, al-Qur`an al-Majid menjelaskan: "Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".79

Atas dasar ini, prinsip ihbâth wat takfîr sebenarnya telah dibahas dalam ayat-ayat al-Qur`an. Hanya saja di dalamnya tidak terlalu jelas dosa-dosa apa saja yang dapat mengihbat kebaikan, dan amal-amal baik apa saja yang dapat mengtakfir dosa-dosa. Semuanya itu kami simpulkan dari berbagai riwayat yang ada.

Yang harus kita lakukan adalah menjaga amal-amal baik kita karena khawatir amal perbuatan buruk yang akan menggugurkan (mengihbat) amala-amalan bernilai besar tersebut. Maka apabila kita melakukan dosa, mohonlah kepada Allah dengan tangisan dan ratapan sehingga mengalir lautan ampunan menghapus dosa-dosa tersebut. Apabila pribadi seperti Imam Ali a.s saja bersujud dan berkata dalam sujdunya dengan penuh ketundukan: Oh alangkah sedikitnya bekalku, alangkah panjangnya perjalananku, alangkah jauhnya perjalananku….".80 lalu bagaimana pula dengan kita, saya dan Anda?





11
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan kedelapan:

Makanan Riba
Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat ke 275 sebagai berikut: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya".


Obyek pembahasan
Sesungguhnya pemakan riba berdasarkan ayat ini ketika mereka memasuki Mahsyar pada hari kiamat seperti orang-orang mabuk dan gila atau orang-orang ketakutan. Mereka tidak dapat mengontrol dirinya dan tidak dapat menjaga keseimbangannya sehingga terus menerus jatuh bangun. Kondisi ini memancing perhatian para penghuni Mahsyar sehingga dapat mengenali bahwa mereka adalah para pemakan riba.


Hubungan ayat tersebut dengan ayat sebelumnya.
Ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang sadaqah dan infka di jalan Allah, dan ayat ini pun masih berkaitan dalam beberapa hal dengan sadaqah. Demikain itu karena sadaqah terdiri dari dua macam:

1. Sadaqah yang tidak kembali, yaitu infak dan bantuan kepada mereka yang membutuhkan

2. Sadaqah yang kembali, yaitu hutang atau pinjaman baik (qardan hasana).

Hutang yang tidak diserta dengan bunga disebut qardan hasana, dan apabila disertai bunga maka ia adalah riba dan haram hukumnya. Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa pahala memberi sadaqah dan bantuan yang perlu dikembalikan akan mendapatkan pahala sepuluh kali lipat, sementara pinjaman atau bantuan yang perlu dikembalikan pahalanya delapan belas kali lipat .81

Dari Rosulullah Saw, beliau bersabda: "Saya melihat sebuah tulisan di pintu surga "Sadaqah memiliki sepuluh pahala dan pinjaman (qardh) delapan belas pahala". Lalu saya berkata: wahai Jibril, kenapa demikian padahal orang yang bersadaqah tidak mengharap dikembalikan dan sementara orang yang meminjamkan mengharap dikembalikan? Ia menjawab; Ya. Demikian itu karena tidak setiap sadaqah diterima oleh mereka yang benar-benar membutuhkannya, sementara orang yang meminjam tidaklah mungkin kecuali karena benar-benar membutuhkannya. Sadaqah terkadang tidak sampai kepada mustahik (yang berhak) nya, sehingga pinjaman jauh lebih utama dari sadaqah". Sebabnya cukup jelas, orang-orang yang menghutang adalah mereka yang benar-benar membutuhkan. Ia membutuhkan tapi tetap memiliki harga diri sehingga tidak mau meminta-minta..

Atas dasar ini, ada dua hal yang penting dari sebuah pinjaman; pertama, ia dapat mengangkat kebutuhan orang-orang yang membutuhkan. Kedua, tetap menjaga kehormatan dan harga diri peminjamnya.

Dan berdasarkan atas ayat "Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya)" 82, maka karena pinjaman mengandung dua kebaikan, ia pun mengandung dua puluh kebaikan sekaligus. Namun, karena pada waktu tertentu ia harus dikembalikan, maka kebaikannya berkurang menjadi delapan belas.


Syarah dan tafsir
Firman-Nya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba", yakni bahwa para pemakan harta riba akan mendapatkan bencana di hari Mahsyar nanti, mereka berjalan seperti jalan orang gila atau bingung.

Firman-Nya: "Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba", artinya bahwa bencana yang mereka dapatkan di alam Mahsyar sana adalah karena makanan riba yang mereka makan, lalu menjustifikasi perbuatannya itu dengan berkata; sesungguhnya jual beli sama seperti riba. Ia halal sebagaimana halalnya jual beli.

Firman-Nya: "padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". Perdagangan dan jula beli adalah dihalalkan karena di dalamnya terkandung kemaslahatan, berbeda dengan riba yang di dalamnya terkandung berbagai bencana yang dapat menghancurkan kemaslahatan. Dalam jual beli terkadang mengalami keuntungan dan terkadang kerugian, sementara kondisinya dalam riba tidaklah demikian. Pemakan riba selalu mendapatkan keuntungan dan tidak pernah mengalami kerugian apapun, sementara kerugian tersebut selalu ditanggung pihak peminjam sehingga ia mendapatkan harta dengan tanpa cape.

Makanan riba adalah penyebab kesenjangan kelas sosial dalam sebuah masyarakat, karena kenyataannya apabila riba merajalera di sebuah masyarakat, maka dalam waktu singkat kekayaan dan harta benda mereka akan terkumpul di pihak pemakan riba sehingga hidup dalam kondisi paling buruk.

Firman-Nya: "Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah". Sejak permulaan peringatan-Nya, Allah Swt menjelaskan bahwa rahmat dan ampunan-Nya mencakup mereka yang pernah melakukan riba sebelum turun ayat ini, maka tidak ada kekhawatiran dan ketakutan atas mereka dari tidak mendapatkannya.

Orang-orang yang memiliki harta pada orang lain, harus membersihkan harta-harta miliknya dari riba. Maka semenjak hari ini mereka tidak lagi memiliki harta benda riba kecuali bentuk modalnya saja, dan karena itu mereka berhak mendapatkan lebih banyak dari itu.

Firman-Nya: "Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya". Allah Swt mengancam dengan ayat ini bahwa mereka yang kembali lagi memperaktekan riba setelah turun ayat ini, yang dalam riwayat lain disebutkan sebagai perbuatan keji dan melampoi batas.83 Sesungguhnya jahannam menanti mereka dan mereka akan kekal di dalamnya.

Pertanyaan; bukankah kekekalan dalam neraka dikhusukan untuk orang-orang kafir, lalu apa maksud kekekalan para pemakan riba di dalamnya?

Jawabannya: Dari tafsir-tafsir yang telah kami kemukakan nampak jelas bahwa para pemakan riba akan mati dalam keadaan tidak umunm disebabkan perbuatan buruknya ini. Dan tentu orang-orang non-mukmin akan kekal di dalam jahannam .84


Sasaran-sasaran ayat tersebut:
Siksa memakan harta riba terjadi di dunia dan di akhirat.

Terdapat sejumlah perdebatan dikalangan para mufassir apakah penyerupaan para pemakan riba dalam ayat tersebut berlaku di penghujung kehidupan dunia, atau merupakan siksa dan balasan di akhiran nanti?

Dengan bantuan beberapa riwayat, di sana menunjukkan ada dua jenis pase akhir pada kedua alam tersebut. Dalam tafsir "Nûruts Tsaqalain" dikutif sebuah diwayat dari Imam ash-Shadiq a.s, beliau berkata: "Pemakan riba tidaklah akan keluar dari dunia sehingga ia ditimpa sesuatu yang menyakitkan"85 . Maksud sesuatu yang menyakitkan di sini adalah kegilaan.

Dalam riwayat lain yang berbicara tentang peristiwa Mi`raj 86, Rosulullah Saw bersabda: "Ketika Ia mengisrakan aku ke langit, saya melihat suau kaum. Salah seorang dari mereka ingin berdiri namun tidak kuasa untuk itu karena perutnya yang besar. Saya bertanya: Siapakah mereka wahai Jibril? Jibril menjawab: Mereka adalah orang-orang yang memakan riba".87


Penisbatan gila kepada syetan.
Kenapa dalam ayat tersebut kegilaan dinsibatkan kepada syetan? Dari redaksi tekstual ayatnya dapat disimpulkan bahwa syetan adalah penyebab kegilaan seseorang. Namun pembahasan ilmiyah tidak seperti itu, melainkan ada sebab-sebab lain selainnya yang tidak ada hubungannya dengan syetan. Di sini terdapat sejumlah tafsiran para mufassir terkait dengan ayat tersebut, dan sebagai contoh saya akan sebutkan sebagiannya di sini;

a. Al-Qur`an berbicara kepada manusia sesuai dengan keyakinan-keyakinannya. Orang-orang Arab pada masa itu meyakini bahwa kegilaan datang dari syetan, atau syetan telah merasuki tubuh seseorang sehingga ia gila. Karena itulah penjelasan ayat tersebut adalah kinayah (makna samaran) tentang kegilaan.

b. Kalimat tersebut dimaksudkan untuk makna hakikinya dan bukan makna kiasannya. Penisbatan gila kepada syetan adalah karena Allah Swt menjadikan balasan kepada para pendosa karena pengaruh syetan atas mereka. Pengaruh syetan inilah yang menyebabkan mereka stres dan gila.


Kesamaan antara siksa dan tindak keriminal.
Beberapa mufassir meyakini bahwa siksa yang dialamatkan al-Qur`an untuk sebuah dosa tidaklah sesuai dengan dosa tersebut, namun siksa yang ditetapkan untuk para pemakan riba dan siksa kegilaan terhadap sesuatu memiliki kesamaan dan keterkaitan erat. Para pemakan riba dengan perbuatan-perbuatan buruknya telah melakukan pengendalian ekonomi dan menjauhkan masyarakat dari keadilan sehingga tidak ada pemerataan ekonomi dalam masyarakat.

Demikian juga dirinya sendiri akan mendapatkan bencana dari perbuatannya ini di masa-masa akhir hayatnya.

Dalam sebuah riwayat dari Imam al-Baqur a.s, ia berkata: "satu kedzalima di dunia adalah setara kedzaliman-kedzaliman di akhirat".88


Falsafah pengharaman riba
Sebagaimana riba dapat menimbulkan berbagai macam kerusakan, maka pengharamnya secara otomatis akan mengarah pada falsafah-falsafahnya. Berikut kami sebutkan sebagiannya;

a. Sesungguhnya kedzaliman yang ditunjukkan pada ayat 279 dari surat al-Baqrah adalah falsafah pengharaman riba.

b. Falsafah lain pengharaman riba adalah menetapkan sunnah Rosulullah Saw (pinjaman tanpa bunga) di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana banyak disebutklan dalam berbagai riwayat. Sebuah riwayat dari Sahamah, dari Imam ash-Shadiq a.s dimana beliau ditanya: Saya lihat Allah Swt telah menyebutkan riba berulang-ulang pada lebih dari satu ayat? Beliau a.s berkata: Apakah kamu tahu kenapa demikian? Saya berkata: Tidak. Beliau a.s berkata: Agar orang-orang tidak berlaku pura-pura pada sesuatu yang sudah terkenal" .89

Artinya bahwa jika riba menjangkit dan merajalela, maka orang-orang akan meninggalkan sunah memberi pinjaman tanpa bunga (qardh). Karena itu riba diharmakan dalam syari`at Islam.


Hubungan antara etika dan ekonomi dalam Islam
Sangatlah jauh perbandingan antara ekonomi Islam dan ekonomi materialis. Perbedaan paling mencolok antara keduanya adalah bahwa ekonomi Islami merupakan konposisi dari akhlak dan prinsip-prinsip kemanusiaan, sementara ekonomi materialis tidak mengandung nilai etika melainkan hanya sentimental emosional aja. Bahkan kepentingan material dianggap sebagai prinsip utama sistem ekonomi ini. Atas dasar ini, segala sesuatunya berbeda dan bertentangan antara keduanya, dimana ekonomi materialis hanya berjuang untuk kepentingan materi. Produksi narkotika dan obat-obat sejensinya -yang dikategorikan bertentangan dengan perinsip kemanusiaan- menjadi hal yang tidak begitu serius diperhatikan di sejumlah negara, termasuk di negara-negara yang melakukan gerakan anti narkoba dengan mengadakan berbagai seminar yang terkait dengannya dari saat ke saat juga tidak lepas dari peredaran obat-obatan terlarang ini.

Sesungguhnya para seponsor dan pendukung sistem ekonomi materialis tidak banyak memperhatikan kerusakan generasi pemuda, kemerosotan nilai-nilai moral serta kehancurkan berbagai prinsif sosial, dan mereka hanya mementingkan kemaslahatannya saja.

Peraktek jual beli manusia dan anak-anak sekalipun ditentang oleh semua prinsip kemanusiaan itu dianggap boleh oleh para pendukung HAM palsu, dan mereka mengetahuinya dengan bentuk yang tidak terang-terangan.

Siapakah yang memasok senjata-senjata pemusnah masal, bom-bom kimia dan makrobilogi, rudal-rudal jarak jauh, bom-bom cluster, dan jenis bom-bom lain semisalnya yang ditujukan untuk menggoyang kedaulatan republik Islam Iran? Kenapa para seponsor HAM diam dan tidak mau angkat berbicara? Padahal sebelumnya mereka mengangkat selogan pengecaman terhadap serangan Irak ke Kuwait dan menyimpulkan perlunya diadakan pelucutan senjata.

Sesungguhnya rahasia sikap dualisme mereka sangat jelas. Negara-negara sombong itu pada suatu hari berkepentingan mempersenjatai Irak dengan persenjataan-persenjataan tercanggih dan mendorongnya untuk berperang. Kepentingan-kepentingan ini juga yang pada suatu hari nanti mendorong pelucutan senjata Irak untuk mensukseskan kepentingan-kepentingan mereka yang lainnya. Yang dominan dalam semua itu adalah kepentingan-kepentingan material, sementara prinsip-perinsip kemanusiaan terkalahkan olehnya.

Prinsip yang berlaku dalam sistem ekonomi Islami adalah akhlak, dan prkatek-praktek ekonomi yang dimaksudkan untuk mendapatkan kepentingan materi haruslah tunduk dibawah prinsip-iprinsip akhlak. Karena itu, Islam mengharamkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang memunculkan kerusakan. Sebagai contoh, Islam melarang mendirikan tempat-tempat maksiat, mengharamkan jual-beli minuman keras dan judi, atau mendirikan lembaga ekonomi riba, dan lain sebagainya. Demikian itu karena ia akan menjadi sumber berbagai kehancuran. Sesuatu yang tidak berkesesuaian dengan akhlak Islam.

Sesungguhnya nilai-nilai etika
12
khlak yang menjadi mengendali ekonomi Islam memiliki sejumlah prinsif, dan berikut ini kami tuliskan sebagainnya;

a. Diantara prinsif yang dipakai dalam ekonomi Islam adalah sasaran ayat berikut: "mereka tidak mendzalimi dan tidak terdzalimi"90 . Artinya bahwa kegiatan-kegiatan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak memunculkan kedzaliman bagi kedua belah pihak; pembeli dan penjual.

b. Berorientasi manfaat dan mencegah bahaya secara umum. Mengerjakan aktivitas-aktivitas tertentu yang dibutuhkan masyarakat adalah sebuah kewajiban. Apabila sebuah masyarakat membutuhkan tenaga-tenanga pengajar, maka anggota masyarakat yang dinilai mampu wajib mengambil alih tugas ini.

Pada sisi lain, praktek-peraktek ekonomi yang dapat merusak masyarakat dikategorikan sebagai peraktek haram dalam Islam, sekali pun di dalamnya terkandung kemaslahatan dan keuntungan-keuntungan pribadi. Seperti penjualan minuman keras dan kegiatan-kegiatan lain terkait dengannya adalah haram dan terlarang. Karena itu, dalam beberapa riwayat disebutkan penanaman pohon anggur dengan tujuan membuat minuman keras, atau menyirami, memanen, membawa buahnya dan lain-lain juga dihukumi haram.91

Akan disebutkan di sini bahwa prinsif-prinsif akhlak tidakalah hanya terbatas pada hal-hal wajib dan haram saja, bahkan juga mencakup pada hal-hal sunnah dan makruh. Karena itu praktek peraktek beli barang di luar pasar, yakni menunggu kiriman barang dagangan di luar kota dan langsung membelinya sebelum pemiliknya tahu betul berapa harga penjualan sebenarnya di pasar kota tujuan.

Para ulama fiqh mengkategorikan praktek ini sebagai haram, namun sebagain laninnya mengkategorikannya makruh 92, sebagaimana praktek menjual kain kapan juga dimakruhkan karena penjulnya secara tidak lagsung mengharapkan kematian orang-orang sehingga dikhawatirkan akan mengeraskan hatinya.

c. Mengalokasikan modal kepada orang lain, dan prinsip ini diambil dari pesan ayat ke 77 surat al-Qashash. Allah Swt berfirman: "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".

Berdasarkan ayat ini, sesungguhnya modal akan dianggap bernilai jika dipergunakan untuk kepentingan akhirat. Dengan kata lain, harta yang dipergunakan untuk mendukung kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi. Dan pada akhir ayat tersebut disebutkan bahwa nilai-nilai akhlaki adalah pengendali sistem ekonomi Islam, sementara sistem ekonomi materialis tidak memiliki nilai-nilai ini. Para penganut madzhab materialis ini akan mengorbankan apa saja untuk kepentingan materialnya.


Sebuah model dalam nilai-nilai etika
Imam Ali a.s mewasiatkan pada masa pemerintahannya kepada Malik al-Asytar93 terkait kelas-kelas sosial masyarakat dari kelompok militer, jaksa, ulama, pedagang, petani, para mentri, pegawai pemerintahan, dan lain-lain. Hanya saja ketika beliau sampai kepada kelompok marjinal masyarakat, beliau menggunakan berbagai ungkapan dalam menjelaskan hak-hak mereka yang belum pernah beliau ungkapkan pada hak-hak selainnya. Beliau a.s berkata:

"Ingatlah Allah dan ingatlah Allah selalu dalam perlakuanmu terhadap rakyatmu yang berada ditingkat terbawah, terutama mereka yang lemah tak berdaya, kaum fakir-miskin dan meraka yang dipaksa oleh kebutuhan , orang-orang sengsara dan penderita cacat. Termasuk dalam kelompok ini, mereka yang meminta-minta dan yang selalu mengharapkan pemberian .94

Ingatlah Allah dan ingatlah selalu orang-orang seperti ini dari kekayaan yang dititipkan kepadamu. Berilah mereka bagian dari Baytul Mal serta bagian dari rampasan perang (ganimah) dan hasil tanah dari seluruh penjuru negri Islam 95. Mereka semua, yang dekat mau pun yang jauh, telah ditetapkan untuknya bagiannya dan diperhatikan kepentingannya.

Jangan-jangan sekali kamu disibukkan dengan kemewahan sehingga kamu melalaikan mereka. Janganlah beranggapan bahwa kamu tidak akan dituntut akibat melalaikan yang remeh semata-mata disebabkan kamu telah menyempurnakan berbagai urusan yang besar lagi penting 96. Curahkanlah perhatianmu kepada mereka dan jangan sekali-kali kamu palingkan wajahmu dari mereka 97. Teliti juga urusan-urusan mereka yang tidak dapat mencapaimu disebabkan kehinaan mereka dimata orang banyak. Tugaskanlah beberapa orang kepercayaanmu 98 -yang bersahaja dan tawdhu- untuk meneliti keadaan orang-orang tersebut".

Benar-benr luar biasa pesan-pesan ini, ia benar-benar hadis yang sangat indah. Ia bagaikan matahari yang senantiasa menyinari sekalipun telah berlalu lebih dari seribu tahun dari usia pembuatnya, dan setiap hari cahayanya semakin bertambah dan bertambah. Alangkah baiknya pembuat hadis ini, ia sangat baik dan sangat luar biasa. Sebuah hadis yang sangat pantas ditulis para penguasa dengan tinta emas sehingga menjadi panduan terhadap aktivitas-aktivitasnya.

Yang menakjubkan di sini adalah model etika ideal seseorang baik sebagai pribadi atau sebagai penguasa. Ia mewasiatkan kebaikan kepada orang-orang terutama para mustadhafin dan orang-orang terisolir. Negarawan-negarawan Barat kini memerankan kekuatan dan bentuk lain pemerintahan dimana mereka membiarkan ribuan orang terbunuh demi terpenuhinya kepentingan-kepentingan material mereka. Coba perhatikan paradok-paradok tersebut.

Pertanyaan, nilai-nilai etika terkadang bersebrangan dengan pertumbuhan ekonomi. Lalu bagaimana mungkin dapat diraih secara bersama antara nilai-nilai etik dan standar pertumbuhan ekonomi yang diinginkan?

Jawabannya; Sesunggunya sistem kita adalah sistem elastis/pleksibel menurut perbandingan yang ada. Yang terpenting bagi kami adalah menjaga nilai-nilai etik. Kami berpandangan bahwa menjaga nilai-nilai etik dan pertumbuhan ekonomi tidaklah bersebrangan dan apalagi menjerumuskan kepada keterbelakangan ekonomi. Bahkan sistem ekonomi yang tidak berbasis nilai-nilai etik yang kini menguasai dunia yang justru akan mengantarkan pada kesengsaraan yang tidak mungkin lagi dielakkan.

Apakah sistem ekonomi pleksibel seperti ini adalah sebab dasar terjadinya perang dunia kedua? Sebuah peperangan yang melanda sejumlah negara yang telah menimbulkan berbagai kerugian berat yang melanda kehidupan tiga puluh juta jiwa. Inilah sebagian yang ditinggalkan perang ini yang masih ada dalam ingatan kita.

Apakah ekonomi terbelakang -menurut standar para pendukung madzhab materialis- jauh lebih utama atau ekonomi yang maju? Perlu diketahui bahwa dunia tidak akan maju dan tidak akan berkembang kecuali jika berada di bawah sistem ekonomi yang pleksibel.


Ali a.s dan hidayat malam hari.
Setelah Imam Ali a.s menceritakan kisah saudaranya, Aqil ketika ia meminta sesuatu darinya dari baitul mal, beliau berkata tentang seseorang yang ingin ia bimbing untuk mendapatkan haknya;

"".
Apakah sekarang alam aman dengan adanya para pembesar (zu`ama) yang berkorban dengan karomahnnya.....Oh kenapa tedapat perbedaan-perbedaan? Setiap muslim hendaknya mempelajari dan memahami nilai-nilai etika, serta mengatur masalah-masalah perekonomian dengan tetap menjaga nilai-nilai tersebut pada saat besamaan.


Tema-tema bahasan ayat tersebut
1. Pada masa lalu pemakan riba hanya terbatas pada mereka yang meminjami orang-orang dan dikembalikan lagi (dibayar) setelah masa tertentu dengan diserta sejumah bunga. Namun masalahnya berbeda dengan zaman kita sekarang. Para pemakan riba jauh lebih banyak dari sebelumnya, aren dan jangkauanya jauh lebih luas mencakup semua orang dan seluruh negara. Perbuatan buruk ini benar-benar telah banyak diperaktekkan saat-saat sekarang.

Di antara negara-negara yang mengizinkan praktek riba di negaranya adalah sejumlah negara miskin dengan menerima berbagai pinjaman. Negara-negara ini membelanjakan setiap pemasukan dan pendapatan-pendapatan negaranya untuk menyelesaikan penyakit yang ekstrim ini. Untuk itu kita perlu melihat kesenjangan yang ada antara negara-negara miskin dan kaya dari hari ke hari semakin bertambah dna bertambah lebar, dan kalau hal ini terus menerus demikian, maka negara-negara miskin ini akan sulit keluar dari kebangkrutannya. Sebagai contoh terkait dengan riba yang kami bahas ialah keiris ekonomi di negara-negara Asia Barat, semuanya disebabkan oleh pemberlakuan sistem riba.

Sesungguhnya jeratan penyakit riba global ini telah mendominasi kita semenjak perang melanda Iran, dengan memberikan harta dan hutang sebagai tanda "kedermawatan" mereka. Sekalipun mereka telah mencoreng kita dengan hutang-hutang ini, namun alhamdulillah mereka segera bertanggungjawab dengan bahaya racun mematikan ini. Mereka menghentikan kebijakan berhutang dan membayarnya sedikit demi sedikit untuk melepaskan negara kita dari jeratan ini.

Selain bentuk riba tadi, terdapat bentuk riba lain sekarang yang jauh lebuh buruk dan busuk dari sebelumnya, yaitu meminjamkan kembali modal orang-orang.

Apabila sebelumnya mereka melakukan praktek riba dengan meminjamkan harta-harta pribadinya, sekarang bank-bank -dimana aset-asetnya adalah miliki orang-orang- melakukan prkatek buruk ini tentu saja akan menimbuklan bencana yang jauh lebih besar dan lebih buruk.


2. Apakah mungkin dilakukan aktivitas perbankan tanpa riba
Sejumlah pengamat meyakini bahwa zaman contemporer kita sekarang mengharuskan diberlakukannya sistem perekonomian berbunga, sistem ekonomi yang di dalamnya tidak mungkin ada akrtivitas apapun tanpa bunga. Pengharuan pemberlakuan sistem bunga dalam kegiatan-kegiatan perbankan akan mengarah pada kehancuran perbankan, dan pada akhirnya akan berakibat pada kebangkrutan perekonomian itu sendiri. Dengan kata lain, bersikap ria sungguh identik dengan ekonomi dalam keidentikan yang tidak mungkin dipisahkan.

Inilah bentuk pemikiran yang dikemukakan para pemikir Barat, dengan alasan kebutuhan negara-negara kaya kepada juru bicara di negara-negara miskin. Demikian itu karena jenis pemikiran ini berkesesuaian dengan kepentingan-kepentingan mereka.

Sesungguhnya kalau bank-bank Islami menerapkan ketentuan-ketentuan yang benar di negara kita sekalipun orang-orang mengkritik kandungan-kandungan ketentuan ini dan prontal menanggapinya, benar-benr akan menyelesaikan riba dan para pemiliki modal pasti memperoleh manfaatnya yang lebih jelas, demikian juga bank-bank bersangkutan akan mendapatkan manfaatnya, dan percepatan pertumbuhan ekonomi akan segera bangkit.

Di antara akad-akad Islami yang terkait dengan ketentuan-ketentuan perbankkan adalah akad mudharabah. Ia tidak hanya khusus terkait dengan perdagan 99 saja, bahkan mencakup berbagai jensi investasi dalam industri, pertanian, kedokteran, bisnis jasa, dan lain sebagainya.

Dengan asas mudharabah seseorang dapat menyimpan modalanya di bank, dan pihak bank akan menentukan standar keuntungan sesuai dengan dasar akad (perjanjian) yang ada. Tentunya keuntungan tersebut diambil dari keuntungan yang diperoleh dan bukan dari modal. Pihak pembeli dapat mengajukan kepada pihak bank untuk bernegosiasi atas sahamnya terkait keuntungan jelas yang akan ia dapatkan dalam setiap bulan. Namun keuntungan tersebut dihitung setelah akad selesai. Kemudian pihak bank mengajukan surat kuasa mutlak untuk menginvestasikan harta tersebut pada bidang apa saja yang ia inginkan, dan pihak bank tentunya harus berbuat sesuai dengan perjanjian tersebut.

Dengan sistem seperti ini, problem riba akan terselesaikan, sementara pihak pemilik modal dan bank tetap mendapatkan keuntungan, sementara faktor pendongkrak ekonomi tetap tidaklah akan stagnan, bahkan akan terus mengikuti perdagangan.

Perlu juga diperhatikan bahwa praktek tersebut harus dilakukan berdasarkan perjanjian-perjanjian (akad) syari. Membiarkannya hanya tertulis di atas kertas tanpa diperaktekkan tidaklah akan merubah sesuatu dari realita sesungguhnya, dan problem riba akan tetap ada tanpa ada solusi.

Penghapusan bunga dari perktek-peraktek perbankan adalah mungkin dilakukan, karena riba telah beredar pada permulaan Islam dan kemudian diharamkan setelah kemunculannya, karena nyatanya sistem riba tidak dapat menyelesaikan problem-problem perekonomian.


3. Hukum simpan dan pinjam
Apakah diperkenankan orang-orang menitipkan harta-hartanya ke bank dan mengambil bunganya? Dan bagaiman hukum meminjam uang di bank dimana pihak bank akan menentukan sejumlah bunga tidak tentu?

Sebaiknya sebelum menjawab dua pertanyaan tersebut, kami akan menyampaikan mukaddimah yang di dalamnya terkandung falsafah simpan pinjam.

Banyak sekali orang memiliki harta kekayaan, baik melalui proses pewarisan, kerja, atau jalan apapun lainnya. Namun terkadang pemilik modal tidak dapat menjalankan modal-modal ini dalam bidang ekonomi. Di sisi lain ada sekelompok orang yang memiliki bakat dan keahlian manajerial berbisnis cukup baik dalam menjalankan modal namun terbentur masalah modal, seperti para lulusan berbagai universitas.

Di sini sebuah bank dapan berperan aktif mempertemukan antara modal dan kemampuan berbisnis. Ia dapat mengambil modal dari pemiliknya dan diserahkan kepada mereka yang berkemampuan menjalankannya untuk dikelola dan dituntut mengembalikan kembali modal-modal tersebut. Dalam hal ini pihak bank akan memperoleh sebagian dari keuntungan yang ada.

Dari sisi lain pihak bank pun dapat menarik kembali modal-modal yang tidak dapat berkembang untuk diikutsertakan dalam investasinya, dan kemudian mengembalikan sejumlah keuntungannya kepada pihak pemilik modal.

Jawabanya, apabila persekutuan ini berjalan secara sempurna berdasarkan perjanjian-perjanjian Islami (syari`), maka tidaklah bermasalah dalam menjalaninya.

Dan agar hal ini dapat terrealisasi, kami akan pesankan beberapa hal berikut ini;

1. Pelajaran hukum dan perjanjian-perjanjian syari yang berkaitan dengan masalah-masalah perbankan bagi para pelaku bisnis perbankan dan mengharuskan mereka menjalani ketentuan-ketentuan ini.

2. Para ulama dan pihak-pihak tertentu yang terkait dengan hukum-hukum Islam hendaknya memberikan penjelasan hukum yang secara khusus berkaitan dengan perbankan dan mensosialisaiskannya kepada masyarakat dengan bahasa sesederhana mungkin, serta menjelaskan bahaya-bahaya riba dan bagaimana seharusnya sikap Islam terhadapnya.

3. Sudah selayaknya pihak bank mempertimbangkan antara keuntungan pihak pemodal dan pihak peminjam, dan bunga pihak peminjam tidak harus lebih besar dari keuntungan bunga pihak pemodal, sebagaimana dijelaskan bahwa memberi pinjaman tanpa bunga (qaradh) adalah sunnah yang baik (sunnah hasanah).


4. Ayat-ayat lain yang terkait dengan riba
Untuk lebih menyempurnakan pembahasan ini, di sini kami akan tunjukkan tiga ayat lain yang berbicara tentang riba dan hukum-hukumnya;

a. Allah Swt befirman dalam surat al-Baqarah ayat ke 278 sebagi berikut: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman". Permulaan ayat ini ditunjukkan kepada orang-orang mukmin, sementara dipenghujugnya terdapat persyaratan keimanan. Artinya harus ada kebaikan di awal dan di akhir. Riba tidaklah sesuai dengan keimanan, dan pemakan riba bukanlah seorang beriman.


Sebab nuzul ayat tersebut
Sejumlah orang kaya kaum muslimin menuntut sejumlah bungan kepada orang-orang yang meminjam modal darinya. Di antara mereka adalah al-Abbas bin Abdul Muthalib dan Khalid bin Walid. Ketika ayat pengharaman riba turun, sebigan orang bertanya-tanya tentang nasib harta-harta mereka dan bunga-bunganya. Maka turunlah ayat yang menjelaskan hukum bahwa modal-modal mereka tetap harus dikembalikan dengan tanpa bunga dan riba. Rosulullah Saw telah bersabda ketika turun ayat pengharaman riba ini: "Ingatlah bahwa semua riba dari riba jahiliyyah adalah fakta, dan riba pertama yang musnahkan adalah riba al-Abbas bin Abdul Muthalib" 100 . Ini menjelskan bahwa Islam tidak melihat nilai hubungan terkait dengan hukum-hukum dan ketentuan.

b. Allah Swt berfirman masih dalam surat al-Baqarah ayat ke 279 sebagai berikut: "Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya".101

Harus diperhatikan disini bahwa permulaan ayat tersebut menjelaskan pernyataan perang dari Allah dan rosul-Nya dan bukan dari pemakan riba, karena kata "fa`dzanû" di situ berarti fa`lamû (ketahuilah). Namun apabila kata tersebut dibaca faâdzanû -sebagaimana dibaca sebagian orang, dan bacaan itu tidak lah terkenal- berarti pernyataan perang tersebut datang dari para pelaku riba.

c. Firman Allah dalam ayat berikutnya (270) dari surat al-Baqarah; "Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui".

Yakni para pemilik modal harus memberikan kesempatan menunda pembayaran kepada para peminjam dan tidak segera meminta kembali harta-hartanya. Seandainya kondisi mereka sudah tidak mungkin lagi bisa mengembalikan, maka sebaiknya pihak pemodal menganggap hartanya sebagai sadaqah yang diberikan kepada mustahiknya (yang berhak menerimanya).

Dari kumpulan ayat ayat di atas dapat disimpulkan bahwa riba di sisi Allah adalah dosa paling besar dan berbahaya. Al-Qur`an telah menggunakan sejumlah penjelaskan keras yang tidak pernah dipakai dalam menjelaskan dosa-dosa lainnya.





13
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Kesembilan:

Penciptaan Isa bin Maryam yang Mencengangkan
Allah Swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat ke 59 sebagai berikut; "Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia".


Syarah dan Tafsir
Dalam ayat ini Allah Swt berfirman bahwa penciptaan Isa a.s serupa dengan penciptaan Adam a.s. Allah telah menciptakannya dari tanah tanpa keberadaan seorang ayah dan ibu, melainkan hanya dengan firman Allah Azza wa Jalla kepadanya; "kun" (jadilah).

Pada ayat ke 45 dalam surat Ali Imran, al-Qur`an al-Karim berbicara tentang Isa bin Maryam a.s dan menjelaskan pase-pase kehidupannya yang unik dari sisi proses kelahiran, pendidikan, pertumbuhan, pengutusannya sebagai rosul, risalahnya, karomahnya, mukjizatnya dan kenaikannya ke langit. Melalui ayat ini al-Qur`an berusaha mengangkat kerancuan seputarnya.

Pertanyaan, bagaimana mungkin seseorang dilahirkan hanya dari keberadaan seorang ibu dan tanpa ayah? Atau bagaimana mungkin seseorang dilahirkan tanpa proses pertemuan sel telur dan sperma? Apakah ayat tersebut bermaksud menjawab kerancuan ini dimana ia mengatakan; Bukankah Kami telah menciptakan Adam tanpa seorang ayah? Yakni ayat tersebut seakan-akan ingin mengatakan bahwa penciptaan Adam yang jauh lebi sulit dari penciptaan Isa, karena penciptaan Isa masih melalui keberadaan seorang ibu, sementara penciptaan Adam tanpa keberadaan keduanya; ibu dan ayah. Karena itu, penciptaan Adam jauh lebih sulit dari penciptaan Isa a.s.

Penciptaan seperti ini tidaklah sulit bagi Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt apabila berfirman; jadilah, maka sesuatu pun akan menjadi (kun fayakûn) 102 . Tidaklah beda bagi Allah antara penciptaan yang besar dan yang kecil, antara yang sulit dan yang mudah.

Sesungguhnya Allah Swt apabila berkehendak menciptakan sebuah alam seperti alam kita ini sekarang dengan segala bintang dan benda-benda lainnya, sebagaimana ditunjukan hasil-hasi riset ilmiah tentang keagungan dan kebesaran alam ini, maka Ia pun bisa menciptakannya.

Apabila seseorang dalam shalatnya membayangkan sedang berada di hadapan Sang Pencipta yang memiliki kekuasaan dan keagungan seperti ini, dan merasakan bahwa ia benar-benar berbicara kepada setiap wujud, dipastikan shalatnya dan kondisinya saat shalat akan jauh berbeda dan lebih sempurna.


Kekuasaan Allah dalam ungkapan Amirul mukminin a.s
Dalam khutbahnya ke 185 dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali a.s berbicara tentang kekuasaan Allah dengan penjelaskan dan ungakapan sangat indah sebagaimana akan kita lihat di sini; "h.130". Lalu beliau menjelaskan bagaimana penciptaan semut dan kerumitan kompoisisi makhluk kecil ini.

Di antara penghalang yang menghalangi seseorang mengetahui keajaiban penciptaan adalah penghalang kebiasaan, karena sebuah kebiasan dapat melupakan seseorang dari keagungan sesuatu. Semut misalnya, karena jumlahnya sangat banyak keberadaannya pun menajdi biasa dan kita pun melihatnya hanya biasa-biasa saja. Sesuatu yang membuat seseorang lupa akan keagungan penciptaannya, padahal jika dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan atau kreasi paling penting manusia akan jelaslah bagaimana keagungannya.

Sesungguhnya penciptaan pesawat terbang adalah penciptaan yang sangat bergantung kepada berbagai keahlian. Di udara ia membawa terbang orang dan barang-barang. Dalam awaknya terdapat sejumlah komponen persis seperti sebuah kota kecil.

Pesawat ini -yang ditemukan melalui peran sebuah keahlian teknik dan kreasi manusia- jika dibandingkan dengan seekor semut -yang merupakan wujud kekuasaan Allah Azza wa Jalla paling kecil- tentu keagungan semut akan jauh lebih besar dari keagungan sebuah pesawat terbang. Demikian itu, karena seekor semut sekalipun bentuknya kecil dan kurus ia mengandung segala sesuatu. Padanya terdapat sejumlah anggota badan, seperti penglihatan, pendengaran, kaki, tangan, alat pengunyah, alat reproduksi, pengetahuan kearsitekan membangun rumah, menyediakan dan menyimpan makanan dengan sempurna dan tidak rusak, dan anggota tubuh lainnya. Bagaimana menurutmu wujud kecil ini memiliki semua anggota-anggota badan ini?

Adapun sebuah pesawat, ia tetap saja tidak memiliki sejumlah kompenen seabagimana dimiliki semut. Ia tidak memiliki alat reproduksi dan beberapa komponen lainnya, bahkan ia tidak dapat bergerak dengan sendirinya. Untuk bergerak saja, pesawat membutuhan bantuan para teknisi dan insinyur.

Memang manusia akan mendapatkan petunjuk dan akan takjub dari penciptaan manusia tanpa ayah, jika ia memikirkan dan merenungkan penciptaan Allah. Ia harus bersujud kepada Tuhan yang Maha Kuasa ini, sebagaimana ia harus menyampaikan shalawat dan salam kepada manusia sempurna, Imam Ali a.s karena telah berhasil mensifati kekuasaan yang tak terbatas ini dengan bentuk yang cukup indah dan mengagumkan.


Penciptaan manusia
Di sana terdapat dua pandangan pokok tentang penciptaan manusia; Pertama, tanawwu`ul anwâ` (variasi spesies). Para pendukung pandangan ini meyakini bahwa manusia merupakan ciptaan indevenden sebagaimana penciptaan hewan-hewan lainnya. Pandangan ini biasa disebut tsubûtul anwâ` (ketetapan spesies-spesies).

Kedua, evolusi spesies-spesies (tabaddulul anwâ). Sebuah pandangan yang populer di kalangan para ilmuan alam yang mengatakan bahwa penciptaan dimulai dengan keberadaan sel-sel yang mengapung di lautan. Sel ini tumbuh secara bertahap sehingga berevolusi menjadi ikan. Lalu ikan-ikan ini bertambah banyak dan sebagiannya pindah ke daratan diterpa ombak laut. Selanjutnya ia berevolusi secara bertahap menjadi hewan darat yang salah satunya adalah monyet.


Berikutnya sejumlah moyet berevolusi secara sempurna menjadi manusia.
Apakah para pendukung teori evolusi ini mempunyai argumentasi kuat atas pandangannya?

Tidak, mereka tidak memiliki argumentasi kuat karena pandangannya merujuk kepada jutaan tahun lalu, hingga ke suatu zaman yang di sana manusia sama sekali tidak ada, ke suatu zaman yang tidak bisa dideteksi secara akurat, dan kita tidak memiliki bukti-bukti dan peninggalan masa-masa tersebut?


Perbedaan antara asumsi dan hukum
Sejumlah permasalahan yang dicoba diangkat, dan memungkinkan untuk diuji dan dipaparkan melalui metode eksperimen ilmiah hingga berubah menjadi sebuah hukum ketika ia terbukti kebenarannya, seperti asumsi bahwa kesepatan cahaya adalah 300.000 kilometer per detik. Adapun kaidah-kaidah yang tidak dapat dipaparkan melalui metode eksperimen, ia dapat ditetapkan dengan akal melalui kaidah dan pembuktikan-pembuktiaan rasional, maka itu disebut hipotesa (fardhiyyah).

Atas dasar ini, teori evolusi (tabaddulul anwâ) terkategori sebagai hipotesa dan bukan hukum, dan diantara karakteristik sebuah hipotesa adalah dapat mengalami perubahan, pergantian dan bahkan pengguguran. Misalnya sebuah hipotesa mengatakan bahwa manusia empat puluh ribu tahun yang lalu berbeda dengan manusia sekarang. Para ahli kepurbakalaan menemukan rahasia-rahasia yang berkaitan dengan dua juta tahun sebelum masa kita sekarang menyingkap kemiripan orang pada masa itu dengan orang pada masa sekarang. Dengan ini, maka gugurlah hipotesa di atas.


Pandangan al-Qur`an dalam penciptaan manusia
Sesungguhnya teori variasi spesies (tanawwu`ul anwâ) ia juga dapat disimpulkan dari al-Qur`an. Qur`an nampak mendukung teori ini. Adapun teori evolusi (tabaddulul anwâ) tidaklah mungkin mengangapnya sebagai sebuah hukum tetap. Al-hasil, mana pun yang benar, pertama atau yang kedua, tafsir al-Qur`an tetap tidak akan berubah.

Sekalipun ternyata teori evolusi yang benar, maka kita tetap akan katakan; sesungguhnya Yang dapat menciptakan wujud bakteri juga kuasa menciptakan Isa a.s tanpa perlu pada keberadaan seorang ayah dan ibu. Hal ini sejalan dengan pandangan para sarjanan alam yang menyatakan bahwa keberadaaan-keberadaaan (al-Maujudât) dapat berkembang biak tanpa perlu kepada proses pertemuan (perkawinan). Hewan-hewan pun dapat berkembang biak dengan cara membelah dua tanpa perlu keberadaan jantan. Dan kalau alam saja memungkinkan untuk itu, maka kelahiran Isa a.s bukanlah satu-satunya kasus yang menakjubkan, bahkan ada wujud lain yang jauh lebih menakjubkan darinya.





14
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Kesepuluh:

Infak Orang-Orang Kafir
Allah Swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat ke 117 sebagai berikut: "Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri".


Pengantara pembahasan
Dalam ayat ini al-Qur`an mengumpamakan infak orang-orang dengan pertanian seorang kafir di sebua tanah yang subur sehingga benih-benih dapat tumbuh. Hanya saja kedatangan angin dingin dan kering telah mengeringkan apa yang ditanam orang kafir di kebun ini.


Syarah dan tafsir
Firman-Nya Swt; "Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini,". Sejumlah mufassir meyakini bahwa kata niyyah (niat) atau dâfi` (motif) yang tersembunyi dalam ayat ini adalah kata yang akan menjelaskan maksud ayat. Dengan kata tersembunyi ini maka pengertian ayat tersebut menjadi sebagai berikut; Sesungguhnya niat serta motifasi berinfak seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman orang-orang. Sebagaimana angin ini menghancurkan tanaman, demikian juga niat benar-benar dapat menghancurkan fahala infak.

Firman-Nya Swt; "adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin (shir), yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknyai". Kata "shir" dalam bahasa Arab berarti angin kencang yang sangat dingin, atau angin yang bersuara sangat keras.103

Al-hasil, maksud dari ayat ini adalah angin sangat kencang yang membakar, terkadang ia dapat membakar sejumlah hutan besar.

Disebabakan kebakaran ini -sebagaimana kita dengar dari para peneliti- adalah geludug dan petir. Terkadang ia menimbulkan angin ribut (torpedo) sangat kencang yang mengangkat pepohonan yang kuat sehingga memunculkan titik-titik api dan kemudian terjadilah kebakaran. Atas dasar ini, perumpamana infak orang-orang kafir seperti lahan pertanian yang diterpa angin kencang disertai api.

Firman-Nya Swt; "Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri". Apa yang menimpa amal-amal mereka bukanlah kedzaliman Allah, bahkan semua itu disebabkan oleh niatan-niatan buruk dan ketidak jujuran mereka.

Bertani ditempat yang diketahui biasa dilewati angin kencang dan dingin, apabila angin tersebut muncul maka bisa dipastikan ia akan dihancurkan olehnya. Demikian juga kedzaliman yang mereka munculkan sendiri dan kemudian efeknya kembali mengenai diri mereka sendiri.


Sasaran-sasaran ayat tersebut;

1. Maksud infak dalam ayat tersebut
Yakni jenis infak apakah yang diperumpamakan dalam ayat tersebut dengan angin rebut? Ada beberapa kemungkinan di sana, dan kami akan sebutkan tiga kemungkinan di antaranya;

a. Yang dimaksud di situ adalah infak yang tidak dikeluarkan di jalan Allah, sebagaimana infak yang dikeluwarkan oleh Ibn Sufyan, orang-orang kafir dan munafik -dalam hatinya mereka belum menjadi Islam dan tetap menjadi kafir hingga akhir umurnya- untuk mengagungkan berhala-berhala dan untuk merongrong Islam.

Al-Qur`an al-Karim mengatakan bahwa infak untuk tujuan ini seperti tanah yang dipersiapkan untuk bertani, sementara motif mereka berinfak -yaitu syirik dan menyembah berhala- seperti angin ribut yang akan menghancurkan lahan pertanian mereka.

b. Yang dimakduk di sana adalah infak yang berasal dari kaum muslimin yang ria dalam membangun mesjid-mesjid, husainiyah, rumah sakit, klinik, jembatan, jalan, dan lain-lain. Semuanya itu terkategori infak-infak yang dilakukan bukan pada jalan Allah. Ia muncul dengan motivasi mendapatkan keridhaan orang-orang guna mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar ke depan. Infak-infak mereka seperti tanah subur, dan niatan mereka yang tidak ikhlas dalam berinfak seperti angin sangat kencang.

c. Yang dimaksud dengannya adalah infak yang disertai menyebut-nyebut pemberian dan kata-kata yang menyakitkan penerimanya. Secara lahir ia terlihat infak, namun sebenarnya ia upaya mencoreng dan menghancurkan kehormatan orang lain. Infak seperti itu bagaikan tanah pertanian, sementara kata-kata menyakitkan dan menyebut-nyebut pemberian bagaikan angin sangat kencang yang akan membatalkan pahala infak tersebut. Sebagaimana ia mengalami kerugian duniawi, berupa hartanya yang hilang, ia pun akan mendapatkan dosa dan siksa.


2. Infak dari seorang kufur nikmat
Dari ayat tersebut dan juga ayat-ayat lainnya dapat disimpulkan bahwa Allah Swt benar-benar akan menyiksa orang-orang yang mengkufuri nikmat dan berlaku melampoi batas. Allah akan menjadikan nikmat-nikmat tersebut sebagai wasilah untuk mengadzab mereka dan menggantinya dengan bencana (yakni kematian dalam hidup itu sendiri).

Sebagai contoh, Allah telah membinasakan kaum nabi Nuh melalui hujan dan angin topan, padahal hujan memberikan kehidupan bagi orang yang diberinya. Hujan pada hakikatnya adalah anugrah terbesar Allah Swt kepada kaum ini.

Apabila hujan tidak kunjung turun, maka segala sesuatu di muka bumi ini akan hancur. Karena itu hujan merupakan nikmat, hanya saja ia berubah menjadi bencana bagi kaum nabi Nuh ini.

Surat as-Saba menceritakan kisah kaum Saba. Sebuah kisah yang benar-benar nyata terjadi saat itu. Negri saba adalah negri subur yang terletak di jalur sungai curaha hujan. Mereka membangun mendungan tanah untuk menampung curah hujan yang melimpah itu dan menggunakannya saat dibutuhkan. Mereka mengaliri ladang-ladangnya dari aliran bendungan ini sehingga lahan-lahan mereka berubah menjadi perkebunan dan petanian yang banyak ditumbuhi jenis pohon dan sayur-sayuran. Dan Allah tidaklah mengharapkan apapun dari kaum beruntung ini kecuali bersyukur kepada Tuhannya atas nikmat-nikmat yang ada, sebagaimana ditunjukkan al-Qur`an dalam surat Saba ayat ke 15;

"Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".

Namun karena manusia biasa lupa dengan ketika ia tenggelam dalam nikmat-nikmat-Nya, demikian pula kaum Saba, mereka lupa kepada Allah Swt dan bahkan berlaku sombong, melampoi batas serta mengkufuri nikmat. Demikianlah sifat manusia yang lupa segala sesuatu ketika ia berada pada kejayaan hidup.

Al-Qur`an melukiskan adzab yang ditimpakan kepada mereka sebagai berikut; "Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr", (QS. Saba: 16).

Benar, kufur nikmatlah yang telah merubah anugrah bendungan tanah itu menjadi bencana. Sebenarnya telah ada peringatan-peringatan akan muncul bencana tersebut. Allah mewahyukan kepada tikus-tikus untuk melobangi bendungan sehingga air keluar dari celah-celah lubang sedikit demi sedikit hingga lubang-lubang itu membesar dan menghancurkan bendungan. Air bendungan pun tumpah membanjiri kebun dan ladang-ladang mereka sehingga berubah menjadi tanah gundul.

Kesimpulan perubahan nikmat menjadi bencana ini ialah agar menjadi pelajaran bagi generasi manusia setelahnya sehingga mereka tidak berlaku melampoi batas di hadapan Allah Swt.

Contoh lain ialah adzab Allah yang diturunkan kepada kaum nabi Syueb melalui suara teriakan memekik (shaihah), sebagaimana disebutkan dalam surat Hud ayat ke 94, atau petir. Siksa tersebut terdiri dari dua jenis, pertama ia membakar setiap apapun yang dikenainya, dan kedua suara-suaranya menghancurkan pendengaran.

Disebutkan di sini bahwa petir tersebut adalah nikmat bagi mereka, karena ia menyebabkan gumpalan-gumpalan air hujan turun. Sebuah nikmat yang telah memberikan seluruh kehidupan di planet bumi ini.

Sebagaimana disebutkan dalam surat Hud ayat ke 16 bahwa bencana tersebut diundang oleh sikap melampoi batas dan kekufuran mereka atas nikmat-nikmat Allah Swt. Sikap tersebut telah merubah bumi yang menjadi tepat tinggal mereka yang nyaman menjadi wasilah bencana yang menyiksa mereka.

Sesungguhnya gempa bumi telah merusak kota-kota mereka dan Allah kemudian menurunkan hujan batu yang lebat kepada mereka sehingga tidak tersisa apapun dari mereka.

Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa angin pada dasarnya merupakan nikmat besar Allah Swt kepada para petani, karena proses perkawinan tumbuhan tidak akan berjalan sempurna jika ia tidak ada. Demikian juga udara apabila ia tidak mengalami siklus (pergantian), maka oksigen di dalamnya akan menghancurkan, dan pada akhirnya tumbuh-tumbuhan tersebut akan gagal berubah.


3. Falsafah bencana-bencana alam
Sejak dahulu bencana alam dibincangkan dalam salah satu bahasan keadilan ilahi. Seandainya Allah memang Maha Adil, lalu apa falsafah bencana-bencana dan kejadian menyakitkan; penyakit, banjir, topan, gemba bumi, hujan deras, kilat, dan lain-lain? Apakah peristiwa-peristiwa menyakitkan dan menghancurkan manusia ini serasi dengan keadilan Allah?

Al-Qur`an telah memberikan jawaban terhadap kerancuan ini dalam beberapa ayatnya, dan sebagai contoh kami akan sebutkan sebagiannya;

1. Bencana-bencana tersebut bertujuan untuk mengingatkan dan menyadarkan manusia dari kelalaiannya. Alalh Swt berfirman dalam surat ar-Rum ayat ke 41 sebagai berikut; "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".

Berdasarkan ayat ini, bencana-bencana tersebut dikategorikan sebagai wujud kelembutan Allah kepada orang-orang lalai. Bencana tersebut menyadarkan orang-orang lalai dari kelalaiannya sehingga mereka akan kembali kepada Allah. Sebagaimana bencana penyakit di masa kita sekarang adalah karena berbagai kerusakan mereka lakukan. Tujuannya ialah agar dengan bencana ini mereka kembali dan sadar. Atau seperti bencana yang menimpa masyarakat dunia sekarang dengan peperangan, kerusakan dan dekadensi moral yang menghancurkan kebudayaan manusia sehingga berbagai penyakit merajalela di tengah-tengah mereka, seperti memakan riba. Bencana-bencana ini membantu mereka agar sadar dari kelalaiannya dan kembali kepada jalan yang benar.

Dengan demikian, bencana-bencana tersebut pada hakekatnya adalah anugrah Allah Swt. Dan untuk lebih memperjelas lagi falsafah ini, coba perhatikan contoh berikut ini;

Di sejumlah jalan kita menemukan beberapa rintangan "polisi tidur" yang sengaja dibuat. Apabila kita bertanya kenapa dipasang rintangan? Jawabannya, karena jalanan tanpa hambatan sering membuat seorang sopir lalai yang dapat mengancam hidupnya dan hidup orang lain. Dan agar ia tetap sadar dan tidak lalai, maka dianggap perlu memasang rintangan "polisi tidur ini" sehingga seorang sopir senantiasa terjaga.

Sesungguhnya kehidupan seseorang apabila lepas dari rintangan-rintangan, ia akan mengarah kepada kelalaian, kelupaan dan pada akhirnya kejatuhannya pada jurang kesengsaraan. Keberadaan rintangan-rintangan ini menyebabkannya tetap terjaga dan selamat dari keterpurukan.

2. Falsafah lain yang dapat disimpulkan dari ayat tersebut adalah bahwa bencana-bencana tersebut dihasilkan oleh perbuatan manusia itu sendiri. Artinya bahwa manusia lah yang mendzalimi dirinya sendiri, dan Allah tidak mendzalimi siapapun.

Sebagai contoh kedua orang tua yang tidak perhatian terhadap kebaikan atau keburukan pendidikan anaknya, tidak mengarahkannya kepada pendidikan agama, tidak membimbing dan membiasakan anak-anaknya ke tempat-tempat seperti masjdi atau husainiyah, maka hasilnya mereka menjadi seorang anak durhaka dan terlibat pemakaian NARKOBA. Efek dari kesalahan itu tidakhanya kembali kepada kedua orang tuanya, bahkan kepada masyarakat secara luas.
Perhatikanlah siapa yang pertama kali menebar penyakit dan kedzaliman ini? Tiada lain adalah kedua orang tua tersebut.
Untuk direnungkan.

Baru-baru ini seseorang datang ke kantor kami untuk menunaikan kewajiban-kewajiban pada hartanya. Lalu para pengurus melayani kebutuhannya dan kemudian ia pun kembali.

Pada kesempatan berikutnya ia datang lagi diserta seorang kawannya. Ia datang dengan membawa sejumlah problem dan kesulitan sambil menangis. Aku bertanya kenapa ia menangis? Ia menjawab; anak-anakku terus menuntut ingin mengambil kekayaanku selurunya yang telah aku kumpulkan sepanjang umurku.

Mereka telah mengusirku dari rumah, dan kini saya tidur setiap malam di tempat-tempat umum. Lalu ia melirik kepada sahabatnya dan berkata: sungguh jalan yang telah ditempuh sahabatku ini adalah jalan yang benar. Semenjak awal ia berusaha mendidik anak-anaknya, mengajari mereka pendidikan agama dan membiasakannya semenjak kecil datang ke masjid dan husainiyah-husainiyah. Kini anak-anaknya bagaikan tongkat di tangan kedua orang tuanya, mereka menghormati dan menunaikan kewajiban mereka kepada kedua orang tuanya. Sementara aku sudah salah sejak awal. Aku kirimkan mereka ke luar negri untuk belajar tanpa membekali mereka dengan pendidikan agama. Kini mereka telah kembali kepada kami, namun kami menemukan mereka tidak berfikir kecuali memikirkan kepentingan-kepentingan materilanya saja. Mereka hanya memikirkan harta saja. "Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri".104

Sesungguhnya rahmat dan kelembutan Allah kepada hamba-hamba-Nya seperti air hujan yang menyirami bumi. Sebagian tanah itu ditumbuhi tumbuhan dan bunga-bunga, dan sebagan lainnya ditumbuhi semak belukar. Problemnya bukanlah pada air hujan itu, melainkan pada bumi yang menerimanya. Demikian juga masalahnya bukanlah ada pada cahaya-cahaya hidayah Allah, melainkan ada pada hati-hati manusia itu sendiri. Atas dasar ini, falsafah bencana lainnya ialah ia kembali kepada perbuatan-perbuatan atau sikap kita sendiri. Tentu masih banyak falsafah-falsafah lainnya yang tidak bisa dibincangkan semaunya disini.





15
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Kesebelas:

Kufur dan Imam
Allah menggambarkan perumpamaan keimanan dan kekufuran ini dalam surat al-An`am ayat ke 122, sebagi berikut; "Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan".


Pengantar pembahasan
Dalam ayat tersebut terdapat dua perumpamaan tentang kufur dan iman. Al-Qur`an mengumpamakan keimanan pada perumpamaan pertama sebagai kehidupan, sementara kekufuran sebagai kematian. Pada perumpamaan kedua iman diperumpamakan seperti cahaya, sementara kekufuran seperti kegelapan.


Sebab nuzul (turun) ayat tersebut

Ada dua sebab turun ayat tersebut;
1. Ayat tersebut turun berkaitan dengan Hamzah, paman Nabi Saw dan Abu Jahal, musuhnya. Hamzah saat itu masih belum masuk Islam, pelan-pelan ia pun mempelajari agama baru ini dengan bentuk yang lebih baik. Dalam pangguan Islam ia bersikap diam dalam menerima dakwah. Sementara Abu Jahal selalu menyakini Rosulullah Saw dengan berbagai bentuknya. Ia meletakkan jebakan-jebakan untuk mencelakakan beliau.

Pada suatu hari ketika Hamza telah pergi berburu, dan pada saat yang sama Abu Jahal telah menyakiti Nabi Saw dengan sangat keji. Lalu sampailah berita ulah Abu jahal itu kepada Hamzah setelah ia kembali dari berburu. Ia langsung mendatangi Abu Jahal dan memukul hidungnya sehingga mimisan. Sekalipun Abu Jahal memiliki banyak penolong, hanya saja ia tetap takut kepada Hamzah sehingga ia tidak berani memberikan reaksi apapun. Pada saat inilah Hamzah menyatakan keislamannya.

Ayat tersebut turun berkaitan dengan peristiwa ini. Ia seakan-akan ingin mengatakan bahwa Hamzah hidup ketika ia masuk Islam, sehingga hatinya bersinar. Berbeda dengan Abu Jahal yang berada dalam bencana (kematian) dengan berbagai kegelapan. Kefanatikan dan keras kepalanya membuat ia tidak bisa keluar dari kegelapan-kegelapan tersebut. Orang-orang kafir meyakini akan kesahihan amal-amal mereka, padahal dalam setiap harinya mereka semakin terperosok ke dalaam kesulitan dan kekufuran.105

2. Pandangan lain ia turun kepada Ammar bin Yasir dan Abu Jahal. Ammar adalah seorang pemuda pemberani dan termasuk orang-orang yang pertama memeluk Islam sehingga hatinya disinari keimanan. Ia adalah seorang penolong Rosulullah Saw, dan setelah wafat beliau Saw, ia pun menjadi pembantu Amirul Mukminin a.s hingga ia syahid dalam perang Shiffin.106


Apakah itu kehidupan?
Agar kita bisa memahami lebih dalam perumpamaan pertama, kita harus terlebih dahulu memahami pengertian hidup. Sekalipun jejak-jejak kehidupan ditemukan dimana-mana, dan sekalipun kita dapat membedakan antara kehidupan dan kematian, namun kenyataannya memahami pengertian dan hakikat hidup adalah sesuatu yang sulit. Hingga kini belum ada orang yang bisa memberikan defenisi menyeluruh terhadap hakekat kehidupan.

Sejumlah ulama meyakini ketidakmungkinan memisahkan kehidupan dari kematian. Meskipun manusia berhasil menciptakan alat canggih seperti komputer dan lain-lain, mereka tetap tidak bisa membuat wujud hidup dari wujud mati.

Al-Qur`an telah menjelaskan semenjak 1400 tahun yang lalu bahwa manusia adalah lemah, seperti firman-Nya dalam surat al-Haj ayat ke 73; "Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah".

Di antara prinsif-prinsif eksperimental yang pasti ialah bahwa kehidupan tidaklah mungkin diciptkaan dari kematian. Orang-orang awam menyangka bahwa kelembaban udara dapat menciptakan sejumlah wujud hidup, dan ini anggapan yang salah, sebagaimana tidak mungkin membayangkan apel dengan sendirinya menciptakan ulat yang ada di dalamnya. Ia akan mengada ketika ada telor ulat di dalamnya. Tidaklah ada hewah yang mencitakan tumbuhan dan tidak ada tumbuhann yang menciptakan hewan.

Pertanyaan, pada saat bumi terlepas dari matahari, saat itu tidak terdapat kehidupan di atas muka bumi ini, namun setelahnya wujud hidup muncul. Tidakkah itu bukti bahwa wujud-wujud hidup tercipta dari wujud-wujud materi (mati)?

Jawab, memang benar di sana ada masa tertentu wujud-wujdud material menciptakan wujud hidup, namun kondisi ini tidak pernah terjadi secara kenyataan, sebagaimana juga manusia tidak mungkin dapat membayangkan kejadiannya.

Atas dasar ini, kehidupan benar-benar fenomena paling menakjubkan di alam keberadaan, dan yang paling menakjubkan lagi dari itu adalah Pencipta kehidupan itu sendiri. Sekalipun jutaan ilmuan telah melakukan pengkajian dan penelitian, tidak seorang pun berhasil mengungkap rahasia ini dan mengetahu rahasia penciptaan. Karena itu, kehidupan merupakan bukti terpenting di antar bukti-bukti keberadaan Allah.


Macam-macam kehidupan

Kehidupan sebenarnya terbagi kepada tiga macam;
1. Kehidupan tumbuhan yang ditandai dengan tiga hal; pertumbuhan, suplai makanan, dan perkembangan biak.

2. Kehidupan hewan, yaitu ditandai dengan dua hal; gerak dan rasa.

3. Kehidupan manusia, yang ditandai dengan seluruh tanda-tanda dalam kehidupan hewan dan tumbuhan di atas, dengan disertai karakter khusus lainnya; ilmu, pengetahuan, iman, akhlak, cinta, dan kehendak. Apabila ia kehilangan tiga karakter khusus terakhir, maka ia akan berubah menjadi kehidupan hewan. Karena itulah al-Qur`an al-Karim menyebut orang-orang non- muslim sebagai mati, karena ia melihat kepada hidupan mereka dari sisi agama Islam.


Maksud "hidup" dalam ayat tersebut
Tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud kehidupan pada ayat tersebut adalah kehidupan manusia. Artinya bahwa Hamzah, Amamr atau yang lain mereka dikatakan hidup jika menjadi Islam. Di dalaamnya nampak tanda-tanda kehidupan manusia; ilmu, pengetahuam, akhlak, keimanan, cinta dan kehendak. Karena itu, Hamzah, Amamr dan para syuhada adalah perumpamaan orang-orang hidup, sementara Abu Jahal merupakan perumpamaan orang mati.


Kenapa orang-orang Jahiliyah dianggap mati
Hal ini telah dibahas Amirulmukminin Ali.a s dalam khutbahnya no. 26 dalam Nahjul Balaghah, ia berkata: "Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Saw sebagai pemberi peringatan kepada seluruh alam, penjaga atas apa yang diturunkan....". lalu beliau menyebutkan sepuluh kebiasaaan orang Arba jahiliyah;

1. "Kalian wahai orang-orang Arab berada pada agama yang salah". Menyembah berhala-berhala sungguh merupakan tahayul/khurafat yang paling buruk. Bagaimana mungki seseorang memahat sebuah patung lalu ia sujud, ruku, bermunajat dan memohon kepadanya berbagai permohonan? Yang paling bodoh dari itu semua adalah mengorbankan anaknya untuk patung-patung ini, dan ketika mereka lapar, mereka pun memakan patungnya yang terbuat dari kurma.

2. "berada pada rumah yang paling buruk". Mereka berada di sebuah rumah yang tidak ada keamanan di dalamnya. Api peperangan senantiasa menyala. Mereka saling berperang, bermusuhan, dan menanamkan kebencian kepada anak-anaknya. Kematian adalah akhir seseorang yang tidak dapat membalas musuhnya, dan mereka mewariskan penuntutan balas kepada anak-anaknya.

3 dan 4. "Kalian ,,,,antara batu yang keras dan kehidupan yang tuli". Yakni mereka adalah orang-orang fakir yang hidup diantara bebatuan kasar dan keras serta kehidupan berbahaya yang tidak berbelas kasihan. "Langit menjadi atap kalian dan bumi menjadi lantainya".

5. "Kalian meminum air yang keruh". Yakni mereka tidak meminum air jernih, bahkan senantiasa meminum air yang kotor.

6. " Kalian memakan makanan yang kasar". Yakni makanan kalian tidaklah enak, bahkan seadanya dan hambar.

7. "Kalian menumpahkan darah-darha kalian". Mereka saat itu dikuasai oleh keadaan kacau dan cheos.

8. "Kalian memutuskan hubungan kekeluwargaan". Mereka tidak menyayangi anak-anaknya sendiri, dan apalagi anak-anak orang lain. Mengubur anak perempuan adalah diantara kebiasaan mereka.

9. "Kalian jaga patung-patung pada kalian". Yakni patung-paung tersebut mereka jaga untuk dihormati, dipuja, disembah, dan lain-lain.

10. "Sementara dosa-dosa kalian pelihara". Yakni mereka telah tenggelam dalam lautan dosa dan maksiat.

Dari perkataan Imam di atas dapat disimpulkan bahwa kefakiran menjadi pengendali, baik dalam pengrrtian agama, budaya, politik, ekonomi, keamanan dan lain-lain. Maka dalam kondisi kematian total seperti ini Allah mengutus seorang rosul dengan membawa ilmu dan pengetahuan.

Orang-orang Arab jahiliyah selanjutnya dapat bersentuhan dengan ilmu dan pengetahun dalam naungan Islam, dan tidak seberapa lama mereka dapat menguasai dunia pengetahuan hingga menyebar ke Eropa untuk melakukan transper ilmu pengetahuan. Sekitar empat atau lima abad, orang-orang muslim berhasil memperkenalkan dunia Eropa kepada pengetahuan (sains). Namun meskipun orang-orang Islam pernah menguasai sains dunia, kondisi mereka kini kembali terbelakang dalam industri dan teknologi. Kini mereka memohon kepada dunia Eropa untuk mengutus para ahli dan ilmuan mereka, padahal ini dapat berpengaruh buruk pada etika, agama dan sosial.

Para ulama sekarang hendaknya memperkenalkan para pemuda dengan masa lalu mereka yang cemerlang, dan memberitahu generasi ini dengan ilmu pengetahuan, reset dan penemuan-penemuan ilmiah yang dipelajari Eropa dari kaum muslimin sebelum mereka bangkit. Dengan membekali para pemuda seperti itu di universiats dan pusat-pusat studi ilmiah, mereka dapat didorong menuju aktivitas dan efektivitas yang lebih besar.


Efek dan fungsi cahaya
Keimana dalam perumpamaan di atas disamakan dengan cahaya, dan kekafiran diumpamakan seperti kegelapan. Dan untuk lebih memperjelas keagungan cahaya tersebut, alangkah baiknya jika kita tunjukkan efek-efek material dan kegunaannnya (barokahnya) di sini.

Cahaya merupakan wujud paling halus dan paling cepat di antara wujud-wujud material. Kecepatannya dalam perdetik mencapai 300.000 kilometer. Dengan kata lain, dalam satu detik ia dapat mengelilingi bumi sebanyak tujuh kali putaran plus setengah, karena garis katulistiwa bumi ialah 40 ribu kilometer. Maka apabila kita bagi 300.000 dengan 40.000, hasilnya adalah 7,5 (tujuh setengah).

Keberkahan (kebahagiaan) dunia materi secara keseluruhan adalah karena cahaya. Dengan perantaranyanya kuman-kuman berbahaya dapat dibunuh dan dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Dengan peranannya udara menghangat, berkatnya bumi mendapatkan penyinaran, dan berkatnya pula air hujan turun ke bumi.

Keimanan dan keislaman adalah sinar sebagaimana cahaya. Sekalipun hamzah dan Amamr meninggal dunia sebelum Islam, sebagaimana kondisi orang-orang Arab jahiliyah saat itu, kemudian mereka bercahaya setelah keimanannya, sera menghidupkan keberadaan dan hati-hati mereka. Dengan cahaya inilah mereka telah menempuh hakikat dan jalan yang benar. Dan tetntu saja secara alami pemiliki cahaya akan berbeda dengan yang tidak memilikinya.


Cahaya al-Furqan
Ayat ke 29 berikut dari surat al-Anfal adalah diantara ayat-ayat berkandungan sama yang memilik makna cukup dalam yang diturunkan terkait masalah ini. "Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar".

Secara bahasa, al-furqan berarti sesuatu yang dengnya hak dibedakan dari yang batil. Ayat tersebut ingin menjelaskan bahwa apabila seseorang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan menempatkan cahaya dalam hatinya sehingga dengan cahaya itu ia dapat memilah kebenaran dari kebatilan. Untuk tujuan ini, diantara orang-orang awam biasa terdapat sekelompk orang yang membawa cahaya ini dan mengajarkan realitas sesuatu, mengingat sebuah kenyataan dipiputi dengan berbagai tabir dan penutup sehingga orang-orang awam itu dapat mengetahui asal dan tujuannya.

Para pembawa cahaya ini tidaklah berada dalam jeratan syetan dan tidak juga menjadi perpanjangan tangannya. Demikian itu karena cahaya al-furqan membukakan sesuatu yang tertutupi kepada mereka dan menunjukinya kepada jalan yang benar. Untuk itu Rosulullah Saw bersabda; "seorang mukmin melihat dengan cahaya Allah". 107


Taqwa adalah buah puasa dan Fur`an adalah buah taqwa
Bulan Ramadhan adalah bulan ketakwaan dan cahaya. Ketakwaan diperoleh hingga batas paling maksimal dengan berpuasa yang di dalamnya tumbuh biji ketakwaan (agar kalian bertaqwa). Taqwa merupakan buah dan hasil puasa, dan berdasarkan keterangan ayat al-Qur`an tersebut bahwa al-Furqan adalah buah dari ketaqwaan.

Maka alangkah tepat jika pada malam-malam Ramadhan yang berkah ini, dan terutama pada saat waktu sahurnya untuk kita mengangkat tangan ke langit menunjukakn rasa takut dan berendah diri, sambil memohon ketaqwaan dan al-furqan kepada Allah (semoga amin ya Allah)


Amal-amal buruk akan nampak baik di mata orang-orang kafir
Allah Swt berfiman pada penghujung ayat tersebut: "Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan". Demikian itu karena cinta diri, hawa nafsu dan ego serta kesombongan membuat seseorang lalai akan amal-amal buruknya dan kemudian ia dihiasi oleh amal-amal buruknya sehingga ia nampak seperti baik dan indah.





16
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Keduabelas:

Melapangkan Dada
Allah Swt berfirman dalam surat al-An`am, ayat 125 sebagai berikut; "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman".


Pengantar pembahasan
Ayat-ayat tersebut berada dalam ruang menjelaskan wilayah ruhaniah kepada seseorang agar mau menerima kebenaran (hak), dan kesimpulan ayat ini menunjukkan bahwa kedudukan orang-orang itu berbeda. Sebagain mereka dengan sendirinya menjumpai dan menyambut Islam dengan lapang dada dan kemudian memeluknya. Demikian itu terjadi karena kebersihan ruhani dan kebercahayaaan hatinya, maka Allah pun melapangkan dadanya. Berbeda dengan mereka, ada sekelompok orang yang tidak terpengaruh dengan al-Qur`an sekalipun seuruhnya dibacakan kepadanya, demikian itu karena ia telah kehilangan ruang tempat menerima kebenarana, maka Allah jadikan dada-dadanya sempit dan sesak.


Syarah dan tafsir
Allah Swt berfirman; "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam". Istilah lain dari melapangkan dada ialah meluaskannya, dimana ia menjadi mudah menerima hakikat dan kebenaran.

Allah Swt berfirman: "Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit". Istilah lain dari kesempitan dada ialah dicabut kemampuan dan potensi dari hatinya sehingga fikirannya menjadi tidak stabil.

Allah Swt berfirman; "seolah-olah ia sedang mendaki langit". Yakni kesempitan dada membuat seseorang sampai kepada posisi tertentu seakan ia terbang ke langit tanpa sebuah perantara (alat), dan terbang tanpa alat seperti ini adalah mustahil bagi seorang manusia. Demikian pula mereka yang memikul kesempitan dan kegelapan tidak akan dapat sampai. Sesungguhnya Allah telah menempatkan kegelapan dan kekufuran ini pada hati-hati orang non-mukmin.


Sasaran-sasaran ayat tersebut

1. Hidayah dan kesesatan ada pada tangan Allah
Pengertian yang sesuai dengan makna lahir ayat tersebut ialah bahwa hidayah dan kesesatan berada ditangan Allah, dan ini pasti berarti jabr (deterministik). Dalam ayat ini kekafiran dan keislaman merupakan dua hal yang non-ikhtiari, dan menerima kesimpulan ini -berdasarkan keyakinan akidah kita- bertentangan dengan keadilan Allah. Untuk itu kami perlu memberikan mukaddimah untuk menjelaskan masalah ini.

Di antara kelompok Islam -yang tidak brsumber pada konsep wilayah dan imamah- ada sekelompk umat Islam yang mengakui konsep jabr. Mereka meyakini bahwa manusia tidak memiliki pilihan (ikhtiyar). Keyakinan madzhab ini -yang bertentangan dengan madzhab Syi`ah- berarti sama dengan mengingkari ushuluddin yang lima.

Landasan pertama yang diabaikan madzhab ini adalah landasan keadilan ilahi. Seseorang apabila amal-amalnya deterministik (majbur), maka memberi pahala orang mukmin dan memberi siksa kepada orang kafir bukanlah bagian dari keadilan ilahi. Karena kekafiran seorang kafir bukanlah atas pilihannya dan kemukminan seorang mukmin pun bukan karena pilihannya. Untuk itu orang yang meyakini konsep jabr tidak mengakui keadilan ilahi.

Tauhid adalah konsep kedua yang bertentangan dengan keyakinan jabr, demikian itu karena Allah apabila ia tidak adil maka ia tidak layak untuk mentatur dan mengendalikan alam yang luas ini yang berjalan berdasarkan sistem keadilan, keseimbangan dan kebijaksanaan.

Dari sini, maka pengutusan para rosul dan nabi tidak memiliki arti sama sekali. Para nabi itu tidak memiliki kekuasaan memberi hidayah kepada orang-orang yang sudah tertulis sebagai kafir, karena mereka tidak memiliki pilihan (ihtiar). Demikian pula para nabi tidak punya peran apapun terhadap keimanan orang-orang mukmin, karena mereka sudah tertulis tidak menyimpang. Dengan kata lain, yang pertama adalah mustahil dan yang kedua sia-sia, dan keduanya dari kacamata filosofis tidaklah mungkin terjadi.

Imamah -yang menjadi misi lanjutan dari kenabian- menjadi gugur dengan keyakinan jabr tersebut. Landasar lain yang juga digugurkan oleh jabr konsep ma`ad, karena konsep ma`ad dibangun diatas landasan ikhtiyar. Apabila semua orang tidak memiliki ikhtiyar dan deterministik (majbur), maka konsep balasan surga dan neraka, kiamat dan ma`ad seluruhnya menjadi konsep-konsep yang tidak bermakna.

Kesimpulannya kita tidak mungkin menjadi Islam dengan keyakinan jabr, sebagaiamna juga kita tidak mungkin menerima ushuluddin dengan keyakinan tersebut. Untuk itu syi`ah harus bersyukur kepada Allah tidak berpemahaman jabr yang kelam itu -berkat bimbingan para imam maksum a.s-, sebagaimana Ia tidak meninggalkannya begitu saja dalam kebingungan di sebuah sahara, bahkan Allah menunjukkan jalan tengah diantara dua jalan ekstrim kepada syi`ah. Dan Itulah jalan yang benar dan lurus.

Yang ditunjukkan oleh ayat tersebut ialah bahwa langkah pertama untuk hidayah, sementara kesesatan dilakukan oleh manusia itu sendiri. Apabila langkah ini menuju kepada hidayah, maka ia akan mendapatkan hidayah rabbaiyah. Namun apabila langkah ini menuju kepada kesesatan, maka ia akan sampai kepada kesesatan rabbaiyah. Seperti Salman al-Farisi ia pergi dari Iran dan bergerak menuju sumber hidayah. Dalam perjalannya ia menemukan berbagai rintangan sehingga sempat mengalami dijadikan budak. Namun karena langkah pertamanya adalah langkah menuju hidayah, maka Allah memberikan kepadanya hidayah, melapangkan dadanya dan mendapatkan apa yang ia harapkan.

Adapun Abi Jahal dan Abu Lahab meskipun keduanya berada di samping sumber hidayah, hanya saja langkah pertamanya adalah memushi dan membencinya. Yakni ia telah memilih jalan kesesatan dan menjadi pengikut syetan, menutup kedua mata dan kedua telinganya untuk menolak seruannya. Karena itu keduanya mendapatkan kesesatan dan kesempitan dada.

Atas dasar ini pula, hidayah dan kesesatan sebenarnya hasil dari pilihan langkah seseorang, dan ayat tersebut sebagaimana juga ayat-ayat lainnya tidaklah bertentangan dengan ikhtiyar seseorang.


2. Kemukjizatan al-Qur`an dalam ayat tersebut
Meskipun para mufassir menganggap bahwa kalimat "seolah-olah ia sedang mendaki langit" adalah kalimat kiasan dan bukan dalam pengertian yang sebenarnya, karena kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan manusia sudah berhasil menembusnya. Bisa saja diberikan tafsiran lain terhadap ayat ini yang akan menyingkap keilmiahan mukjizat al-Qur`an al-Karim.108

Bola bumi berkisar diatas 30 kilo meter dikelilingi gumpalan gas oksigen, yang dimanfaatkan oleh mujud-mujud hidup. Mereka memanfaatkannya dari ketentaun yang ada hingga ketinggian kilometer tertentu, dan pada ketinggian lebih tingggi dari ketentuan itu akan sulit mendapatkannya. Seperti mansuai ketika ia berada diketinggian lebih dari ketentaun normal, ia akan sesak dan kesulitan bernafas.

Karena itu para pendaki gunung akan kesulitan bernafas ketika berada pada gunung yang tinggi. Yaitu ketika mencapai ketinggian tertentu dimana oksigen sulit dihirup yang terkadang beberapa saat setelahnya menyebabkan pingsan dan bahkan kematian.

Karena sebab yang sama, pesawat-pesawat dipersiapkan dengan persediaan-persediaan oksigen di dalamnya ketika ia terbang diketinggian tertentu. Setelah mencapai ketinggian tersebut para penumpang diperintahkan mengenakan masker khusus yang akan mensuplai mereka oksigen yang telah dipersiapkan.

Apabila mereka kesulitan menggunakannya maka pesawat tersebut harus menurunkan ketinggian terbangnya pada ketinggian tertentu untuk menjaga keselamatan para penumpang.

Pada saat ayat tersbeut diturunkan, belum ada penemuan ilmiah seperti ini, namun al-Qur`an pada masa itu (1400 tahun yang lalu) telah menyinggung masalah ilmiah ini dengan mengatakan tidak dapat menghirup udara pada ketinggian udara tertentu, lalu al-Qur`qan mengumpamakan orang-orang sesat seperti mereka yang ingin bernafas di ketingggian udara.


3. Melapangkan dada
Ketika nabi Musa a.s mendapatkan misi kenabiannya, beliau memohon kepada Allah beberapa hal, diantaranya adalah melapangkan dada, seperti dikutif dalam firman-Nya Swt; "Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku". Sementara Nabi Saw mendapatkan anugrah agung ini tanpa memohon terlebih dahulu kepada-Nya. Allah Swt berfirman: "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?".


Pengertian "melapangkan dada".
Dada tersebut tidaklah berarti dada badan, melainkan ruh dan fikr. Karena itu, melapangkan dada berarti pemikiran yang terbuka dan ruh yang tercerahkan, berupa kesabaran dan ketenangan fikr dan spiritual sehingga tidak berguncang di hadapan bentangan berbagai kejadian atau yang lebih besar dari itu. Karena itu, pelapangan dada merupakan salah satu tangga naik terpenting menuju Allah Swt.


Rosulullah Saw dan tetangga Yahudi
Rosulullah Saw memiliki seorang tetangga Yahudi. Ia seriang melempari kotoran dan sampah-sampah kepada nabi ketiak beliau melewati rumahnya, dan perbautan ini ia lakukan kepadnya setiap hari. Pada suatu hari Rosulullah Saw melewati rumahnya dan beliau Saw tidak menemukan fenomena keseharian Yahudi itu, lalu Rosulullah Saw bertanya kepada sahabatnya. Lalu mereka menjawab bahwa ia sedang sakit. Maka berangkatlah Rosulullah Saw ke untuk menjenguk rumahnya. Beliau ketuk pintu dan istrinya bertanya kepada beliau dari balik pintu ada apa gerangan. Lalu beliau menjawab bahwa tujuannya ingin menjenguk, dan ia pun kemudian membukakan pintu untuknya. Lalu terlontarlah ucapan salam dan penghormatan beliau kepada Yahudi itu, padahal ia setiap hari selalu menyakiti belum.

Ketika ia menyaksikan perlakuan ini dari Rosulullah Saw, ia pun langsung bertanya, apakah akhlak sepetti ini adalah bagain dari agama yang kamu serukan? Beliau Saw menjawab; ya.

Kita pun menemukan contoh-contoh lain perilaku seperti dalam sejarah Nabi Saw, para imam dan para ulama Islam.

Sebagai contoh, seseorang berasal dari kota Siraz menulis sebuah surat kepada seorang ulama di kota itu. Dalam surat itu ia mengusirnya dan meminta pergi dari kota itu. Lalu ulama tersebut memandangi orang itu, lalu berkata; kamu telah menulis surat yang ditujukan kepadaku, nampaknya kamu sedang mengalami problem materi. Maka ambilah uang ini supaya problemmu segera selesai.

Ia pun nampak senang dan berkata kepada dirinya; untung saja ia belum membaca suratku. Seorang muslim hendaknya saling tolong-menolong dengan Rosulullah Saw, melapangkan dan meluaskan dadanya. Ia hendaknya bersabar menghadapi permasalahan dan bersyukur atas nikmat-nikmat terhadap segala peroblem yang ia hadapi, sekalipun itu kecil. Ia pun harus berusaha untuk tetap bangkit.

Ya Allah dengan keberkahan bulan (Ramadhan) ini, lapangkanlah dada-dada kami dan buatlah kami tabah menerima sesuatu yang tidak sanggup kami tarima.





17
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Ketigabelas:

Mabda` dan Ma`ad
Allah Swt berfirman dalam surat al-A`raf ayat ke 57 sebaagi berikut; "Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran".


Pengantara pembahasan
Ayat ini menjelaskan kepada kita dua obyek pembahasan, bagian awal berbicara tentang tauhid dan pengenalan terhadap Sang Pencipta, serta pembuktian kuat atas mabda (asal atau permulaan penciptaan). Bagian akhir berbicara tentang alam akhirat dan ma`ad (akhir penciptaan).


Pentingnya mabda dan ma`ad.
Mabda dan ma`ad merupakan bagian dari permasalahan sangat penting yang dikemukakan al-Qur`an dalam bentuk cukup luas, dimana sekitar dua ribu ayat (yakni sepertiga al-Qur`an) berbicara tentang maad, dan juga banyak ayat al-Qur`an lain berbicara tentang tema mabda. Fenomena ini menunjukkan sedemikian penting mabda dan ma`ad.

Permasalahan-permasalahan yang diungkap al-Qur`an ialah masalah keadilan ilahi, surga dan neraka, buku amal, penjelmaan amal, maad, kenikmatan surga, dan lain sebagainya. Rahasia pentingnya ma`ad cukup jelas, dimana seorang manusia tidak bisa berada pada jalan kebahagiaan dan tidak mungkin melangkah pada jalan ini kecuali bersandar kepada dua landasan dasar penting; Pertama, mabda dan tauhdi. Kedua, ma`ad dan kembalinya seseorang kepada Allah.

Keyakinan seseorang kepada Allah Swt akan mengajarinya bahwa Ia benar-benar menyertainya pada setiap waktu dan tempat. "dan Ia berada bersama kalian dimana saja kalian berada"109. Adapun keyakinan kepada ma`ad akan mengajari seseorang bahwa tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi Allah Swt. Ia Maha Tahu terhadap segala perbuatan seseorang. "Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati"110. Dan "Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati".111

Sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat al-Qur`an bahwa manusia pada hari kiamat akan diadili dalam mahkamah ilahi. Sebuah mahkamah yang hakimnya tidak mungkin dapat disuap dan kesaksian para saksi pun tidak mungkin terbantahkan. Diantara ayat tersebut ialah ayat; "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula"112. Sebagaimana juga terdapat pada ayat lainnya: "Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun". Maka seseorang akan dipintai pertanggungjawaban atas setiap amal perbuatannya sekecil apapun.

Perhatian kepada dua landasan tadi akan membuat seseorang beranggapan bahwa Allah melihat atas segala amalnya. Sebuah keyakinan yang akan memimbing ia hingga tidak melakukan perbuatan maksiat, dan lengah sesaat dari keyakinan ini akan memberi syetan kesempatan menyesatkannya. Demikian itu seperti terdapat dalam ayat berikut ini; "Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya".


Ma`ad jasmani dan ma`ad ruhani
Dalam pandangan al-Quran, ma`ad terdiri dari dua macam; jasmani dan ruhani. Yakni fisik manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat, dan demikian juga ruhnya akan ikut dibangkitkan. Dengan kata lain, ruh seseorang akan dimintai pertanggungjawab atas nikmat-nikmat Allah, demikian juga halnya pada badan. Demikian itu adalah bagian dari tuntutan keadilan ilahi. Karena seseorang melakukan kebaikan dan keburukan dengan ruh dan tubuhnya, maka pada hari kiamat keduanya harus sama-sama mendapatkan setiap pahala dan siksa dari amal-amal duniawi yang dilakukannya.

Di antara keheranann dan keberatan para pengingkar ma`ad yang ada dalam Islam ialah kebangkitan secara fisik, bukan secara ruhani, karena akal mayoritas orang akan meyakini apa yang telah ia lihat oleh matanya dan tidak akan membenarkan apa yang belum dilihatnya. Berdasarkan ini, maka para pengingkar ma`ad biasa bertanya; bagaimana mungkin seseorang akan dikembalikan setelah kematiannya, setelah berubah menjadi tanah sehingga bisa mendapatkan siksa di hari kiamat? Maka Allah Swt menjawab keraguan mereka ini pada dua ayat; 7-8 dalam surat Saba, Ia berfirman;

"Dan orang-orang kafir berkata (kepada teman-temannya). "Maukah kamu kami tunjukkan kepadamu seorang laki-laki yang memberitakan kepadamu bahwa apabila badanmu telah hancur sehancur-hancurnya, sesungguhnya kamu benar-benar (akan dibangkitkan kembali) dalam ciptaan yang baru? Apakah dia mengada-adakan kebohongan terhadap Allah ataukah ada padanya penyakit gila?" (Tidak), tetapi orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat berada dalam siksaan dan kesesatan yang jauh" .113

Dalam menjelaskan ma`ad jismani dan ruhani, al-Qur`an telah menggunakan beberapa perumpamaan, dan di sini ada tiga perumpamaan terkait dengannya;

1. Diumpamakan dengan tumbuh-tumbuhan, dan kehidupan setelah kematian diumpamakan dengan tumbuhnya kembali tumbuh-tumbuhan setelah kematiannya.

2. Diumpamakan dengan pase-pase perkembangan janin manusia, dimana kehidupannya dimulai dari air seperma yang kecil dan kemudian setiap hari tumbuh dan tumbuh terus, dan setiap pase perkembangannya dikategorikan sebagai kehidupan baru baginya.

3. Diumpamakan dengan tidur kaum Ashhabul Kahfi, tidur mereka benar-benar seperti kematian dan bangun mereka dari tisurnya diumpamakan seperti hidup baru setelah kematian beberapa tahun.

Bagaimana mungkin sesorang kembali bangun dengan selamat setelah tertidur selama lebih dari tiga ratus tahun tanpa makan dan minum?

Sebagaimana dikemukakan ayat diatas, ashabul kahfi tertidur selama ratusan tahun, dan selama masa ini mereka tidak mendapatkan makanan dan minuman sedikit pun, namun mereka tetap bangun dengan sehat. Padahal manusia biasa tidak akan sanggup bertahan hidup lebih dari dua atau tiga hari tanpa makan dan minum.

Diantara keajaiban penciptaan manusia ialah jantungnya. Ia akan berdetak hingga seratus ribu kali dalam sehari. Apabila kita hitung umur normal manusia tujuh puluh tahun, maka total detakan jantungnya mencapai 250 juta kali. Suatu hikmah Allah yang menakjubkan.

Hati seseorang cukup untuk bisa mengenal Allah dan menetapkan keagungan Sang Pencipta hingga bersikap rendah diri kepada-Nya. Jika anggota tubuh ashabul kahfi bisa bertahan hidup karena makanan yang dikonsumsi sebelum tidurnya dan untuk jangka waktu jutaan hari, maka hati mereka tidak berdetak lebih dari satu kali dalam sehari. Atas dasar ini, tidur ashhabul kahfi benar-benar seperti kematian yang Allah hidupkan kembali setelah lebih dari tiga ratus tahun. Apabila Allah Swt kuasa menghidupkan kembali manusia setelah tertidur jutaan hari, lalu bagaimana tidak mungkin Ia dapat menghidupkan kembali orang yang sudah mati? Untuk itu Allah menegaskan pada penghujung ayat ashabul kahfi dengan ungkapan sebagai berikut; "agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar" .114


Syarah dan tafsir
Allah Swt befirman; "Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan);". yakni Allah mengirim berita gembira berupa turunnya air hujan, karena langit dapat menurunkan hujan melalui perantara tiupan angin.

Allah Swt berfirman; "hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu". Yakni angin akan terus bergerak hingga dapat menyeret awan menjadi bergumpal dan mengandung air di dalamnya 115. Sesungguhnya Allah Swt mengutus angin agar awan-awan berkumpul dan menjadi hujan di sebuah negri dan kawasan yang mati hingga tanah-tanahnya bisa hidup kembali.

Alalh Swt berfirman; "maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran". Yakni Allah benar-benar menghidupkan yang mati pada hari kiamat sebagaimana Ia telah menghidupkan pohon-pohon dan tanah yang mati. Pada penghujung ayat tersebut Allah meminta manusia agar ingat dan memberi wejangan kepada orang-orang dengan falsafah perumpamana tersebut.


Berbagai macam anugrah; air, udara dan tanah
Kami telah katakan sebelumnya bahwa kondisi biasa (adat) menjadi penghalang pengetahuan manusia. Ketika seseorang terbiasa dengan sesuatu, ia tidak akan memikirkan esensi, corak dan bentuk sesuatu tersebut. Ini merupakan hijab cukup besar bagi manusia. Dari sini, tumbuh beraneka macam tumbuhan dan berbuahnya beraneka macam pohon adalah bagian dari keajaiban-keajaiban alam. Semuanya merupakan penampakan kekuasaan Allah Swt dimana dari tanah, air dan udara yang sama tumbuh buah-buahan dan bunga dengan berbagai macam warna, serta beraneka ragam makanan. Ini semua mengajari manusia agar tidak heran dengan dihidupkannya kembali manusia pada hari kiamat.

Dari tanah yang sama ini telah diciptakan berbagai macam manusia; orang-orang shaleh, para nabi, imam, dan syuhada. Di antara mereka ada yang durhaka dan dzalim seperti Fir`aun, Namrud, Mu`awiyah, Saddam, dan lain-lain. Mereka semua diciptakan dari tanah yang sama. Melalui penyaksiaannya terhadap fenomena-fenomena tersebut, seseorang akan meilihat gambaran-gambaran ma`ad yang terjadi berulang-ulang pada setiap hari. Sesungguhnya langit akan menurunkan air hujan pada hari kiamat yang dengannya seluruh orang mati akan hidup kembali 116.

Hukum universal yang dapat disimpulkan dari ayat tersebut ialah bahwa konsep kematian dan hidup pada semua makhluk hidup adalah sama. Sebagaimana ada kematian pada tumbuhan, demikian juga ia ada pada manusia.

Pertanyaan; di dunia tumbuhan, tumbuhan dapat hidup kembali dengan cara menanam kembali benihnya, sementara di dunia manusia tidaklah demikian. Ketika manusia berubah menjadi tanah, bagaimana mungkin ia dapat dihiupkan kembali dari tanah?

Jawab; hidup untuk kedua kalinya pada tumbuhan bukanlah hanya melalui penanaman bibi saja, bahkan mati dan hidupnya serupa dengan hidup dan mati manusia. Pada musim gugur daun-daun pepohonan menguning dan berguguran. Selang beberapa waktu ia pun berubah menjadi tanah, dihisap oleh akar-akar tumbuhan, kemudian tumbuh kembali dengan daun baru seperti biasa terjadi di musim semi. Dengan ini daun yang sudah mati berganti menjadi daun baru, padahal sebelumnya ia benar-benar secara sempurna telah mati dan berubah menjadi tanah. Demikian juga manusia akan hidup kembali setelah kematiannya.

Atas dasar ini seseorang hendaknya melihat ma`ad dengan sendirinya dalam setiap tahun, Namun ia lalai bahwa Allah Maha Kuasa untuk menghidupkan kembali tumbuhan setelah kematiannya, sebagaimana Juga Ia Kuasa menghidupkan manusia dari kematiannya.


Pengaruh ma`ad
Keyakinan tehadap ma`ad akan mengajari seseorang agar bersikap tunduk dan menerima kebenaran, tidak berbuat dzalim, dan tidak berkhianat. Hal ini seperti kita lihat dalam satu ungkapan indah dari Amirulmukminin Ali a.s, pada khutbah ke 224 dalam Nahjul Balaghah yang ditujukan kepada saudaranya, Aqil;
"Demi Allah.. tidur diatas duri pohon Sa`dan lebih aku sukai daripada aku harus bertemu Allah dan Rosul-Nya pada hari kiamat dalam keadaan mendzalim sebagian hamba-Nya".

Yakni tidur di atas duri-duri pohon Sa`dan atau berjalan di atas terik dan panas siang hari lebih Ali cintai daripada bertemu Allah dan Rosal-Nya pada hari kiamat dalam kondisi mendzalimi beberapa hamba-Nya.

Apakah mungkin kedzaliman muncul dari seorang manusia seperti beliau yang mengenal dan meyakini betul mabda dan ma`ad? Apakah mungkin muncul ketidakadilan dari seorang hakim seperti dia? Apakah mungkin ada padanya sedikit kesalahan dari pancaindranya?

Jawabnya tentu tidak. Manusia seperti ini yang meyakini hari kiamat dan ma`ad akan membesar-besarkan dosa sekalipun itu dosa kecil. Beliau sama sekali tidak mungkin melakukannya. Dari khutbah ini dapat diambil dua pelajaran dari saudaranaya, Aqil dan seorang munafik, Asy`ats bin Qais. Pengaruh keyakinan kepada ma`ad sangat jelas dan gamblang dalam dua kisah tersebut.





18
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Keempatbelas:

Negri Yang Baik
Allah Swt berfirman dalam surat al-`Araf ayat ke 58 sebagai berikut; "Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur".


Pengantar pembahasan
Ayat ini adalah kelanjutan langsung dari ayat pada perumpamaan keempatbelas, dan ini pada hakikatnya kelanjutan dari pembahasan Ma`ad dan menjawab sejumlah pertanyaan yang ada pada benak sebagian orang.


Isyarat kepada perumpamaan sebelumnya
Pada perumpamaan keempatbelas, pada ayat ke 57 dari surat al-A`raf, al-Qur`an memberikan penjelasan indah bukti atas mabda dan tauhid, sebagaimana juga berargumentasi terhadap ma`ad dan alam akhirat.

Sesungguhnya gerakan angin, berkumpulnya awan berat, turunnya hujan, hidup kembali tanah yang sudah mati, buah-buahan dan bunga bermunculan, dan tumbunya berbagai macam tumbuhan dan pohon semuanya secara pasti menunjukkan atas tauhid. Itulah dalil yang andai tidak ada dalil lain selainnya, niscaya itu pun sudah mencukupi untuk menetapkan tauhid.

Tidak diragukan lagi bahwa bekas-bekas kematian nampak di sebuah kebun, semuanya berkat kedatangan musim dingin pohon-pohon berubah menjadi gandul dari ruh, dan selang beberapa waktu, yakni setelah datang musim semi kehidupan baru mulai muncul di kebun tersebut. Pohon-pohon kembali menghijau, bunga-bunga kembali mekar, dan berbagai tumbuhan mulai kembali tumbuh, dan pepohona nmulai kembali berbuah dengan berbagai macam warna yang dapat memberi kelembutan kepada ruh seseorang.

Alam yang menakjubkan ini merupakan argumen kuat terhadap keberadaan Allah Yang Maha Kuasa secara mutlak. Apabila seseorang hanya memikirkan daun yang hijau saja, niscaya ini cukup untuk mengenal kebenaran.

Sebuah daun -sebagaimana dikatakan para ilmuan tumbuhan- apabila daun terlepas dari pohonnya maka akan melalui tujuh tahap perkembangan. Setiap tahapnya menunjukkan struktur dan fungsi tersendiri. Apabila kita analisa sedikit maka kita akan menemukan langkah-langkah besar pada duan yang indah ini, seakan-akan ia seperti saluran pipa air di sebuah kota yang akan menyalurkan air dan makanan ke seluruh bagiannya yang berbeda-beda. Siapakah yang telah menciptakn langkah-langkah indah dan cantik ini? Tentu Dia adalah Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana yang telah mendesain jaringan agung dan teliti ini. Sebuah daun dan jaringan di dalamnya dapat dikategorikan sebagai sebuah buku pengetahuan untuk mengenal Sang Pencipta bagi mereka yang mencari ilmu dan pengetahuan.

Dengan demikian, permulaan ayat ke 57 surat al-A`raf tersebut menunjukkan pada tauhid, sementara bagian akhirnya "Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran" menunjuk dan menjelaskan masalah ma`ad.


Syarah dan Tafsir
Sebagaimana telah kami katakan sebelumnya, ayat tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan tersembunyi yang mungkin akan terlintas pada benak orang yang kembali memperhatikan ayat sebelumnya. Pertanyaan tersebut; apabila air, udara dan tanahnya sama dan satu, maka kenapa tumbuh bunga-bungan dan tumbuhan di sebagian bidang tanah saja, sementara bagian tanah lainnya ditumbuhi ilalang dan pohon-pohon berduri? Apabila curahan rahmat ilahi itu turun ke setiap hari manusia dalam kadar yang sama, maka kenapa sebagian hati manusia menjadi seperti negri yang subur yang mendapatkan hidayah dan indah, sementara sebagian lain menjadi seperti negri gersang sehingga tersesat dan tidak mendapatkan hidayah?

Ayat tersebut merupakan jawaban terhadap pertanyaan di atas, dimana ia mengatakan: "Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah". Sesungguhnya tanah yang bersih dan tidak tercemar atas seizin Allah Swt akan cocok dan sesuai untuk ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang bagus. Demikian juga hati yang dipersiapkan dan bersih akan tumbuh di dalamnya buah yang manis dari keikhlasan dan kebersihan, dan itu semua berkat wahyu dari Allah Swt.

Ia Swt berfirman; "dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana". Adapun tanah yang tidak cocok tidak akan ditumbuhi kecuali tumbuhan buruk (an-nakd). An-nakd artinya seseorang yang kikir. Tanah-tanah yang tidak bagus hanya akan ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang tidak bermanfaat. Sebagaimana seorang kikir tidak akan memberi manfaat kepada orang lain, demikian pula tanah-tanah tidak subur tidak akan mengeluarkan sesuatu yang bermanfaat dan tidak akan ada seorang pun yang dapat mengambil manfaat darinya.

Ia Swt berfirman; "Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur". Yakni Kami menjelaskan tanda-tanda kepada orang-orang dengan berbagai pelajaran dan contoh sederhana agar mereka mudah mengambil manfaat darinya dan bersyukur kepada Tuhan-Nya atas nikmat-nikmat tersebut. Atas dasar ini, tidaklah ada problem pada curhaan rahmat ilahi dan tidak pula pada wahyu langit, karena keduanya turun kepada semua hati dalam bentuk dan ukuran yang sama. Dan apabila terdapat kekurangan atau pengurangan, maka itu berasal dari hati itu sendiri. Sesungguhnya sebagian tanah ada yang tidak siap dan tidak cocok ditumbuhi tumbuh-tumbuhan sehingga hanya tumbuh di sana ilalang dan pohon-pohon berduri saja. Demikian juga sebagian mati manusia ada yang tidak siap menerima hidayah dan menganggap dirinya tidak butuh kepada wahyu ilahi.


Untuk siapakah perumpamaan ini?
Terdapat pembahasan di antara para mufassir untuk siapa perumpamaan tersebut ditunjukkan. Mayoritas mereka berpendapat bahwa ayat tersebut ditunjukkan untuk orang-orang kafir dan mukmin. Yakni di sini wahyu diumpamakan seperti air hujan, dengan pengertian ia turun kepada semua hati manusia, namun tidak semuanya bisa mendapat manfaatnya kecuali kecuali sebagiannya saja yang menjadi referentatif negara yang subur (baladun thayyib), yakni hati yang bersih. Buah tanah-tanah suci ini adalah akhlak yang baik, iman, takwa, kerinduan kepada para wali Allah, ikhlas dalam beramal, perbuatan yang sesuai dengan tuntutan, dan lain sebagainya. Lawan dari mereka adalah orang-orang kafir yang hati-hatinya serupa seperti tanah-tanah tercemar yang tidak akan mendapatkan manfaat apapun dari air hujan.


Sasaran ayat

1. Kesanggupan pemberi dan penerima sama-sama penting
Ayat tersebut dan juga ayat -ayat lainnya ditujukan untuk sasaran penting, yaitu untuk sampai kepada kesempurnaan ada dua hal penting yang harus terpenuhi secara bersamaan; kesanggupan pemberi (qâbiliyyatul fâ`ila) dan kesiapan penerima (qâbiliyyatul qâbil).

Untuk sampai pada sebuah kesempurnaan, dua hal tadi harus terpenuhi secara bersamaan sebagaimana harus terpenuhi pada tanah. Atas dasar ini, kemampuan atau potensi pemberi (qâbiliyyatul fâ`il) yakni air hujan tidaklah cukup, melainkan juga harus ada kesiapan atau potensi menerima penerimanya (qâbiliyyatul qâbil) yakni kesediaan tanah tersebut menerima hujan. Sekalipun air hujan jatuh selama seratus tahun ke sebuah tanah yang tidak subur, selamanya ia tidak akan ditumbuhi satu pun tumbuhan dan bunga.

Sebagaimana Rosulullah Saw telah menyeru Salman, Abu Dar dan kaum muslimn lainnya kepada Islam, demikian pula beliau Saw pun telah menyeru Abu Jahal dan Abu Lahab serta orang-orang kafir lainnya. kebersihatan hati Salman telah menumbuhkan keimanan, sementara ia tidak tumbuh pada hati Abu Jahal atau Abu Lahab kecuali kebencian dan sifat kikir saja.


2. Qur`an dan wahyu berfungi menyesatkan orang-orang kafir
Sesungguhnya ayat-ayat al-Qur`an tidaklah selamanya menjadi hidayah, bahkan ia pun telah berfungsi menyesatkan orang-orang kafir yang ladangnya tidak baik. Setiap kali mereka mendengar ayat-ayat al-Qur`an maka mereka pun semakin bertambah kesesatannya.

Hal ini telah dijelaskan al-Quran sendiri seperti dalam surat at-Taubah ayat 124-125; "Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir".

Pertanyaan; bagaimana mungkin ayat-ayat al-Qur`an, pemberi cahaya itu dapat berperan menyesatkan sebagian orang?

Jawabanya; Al-Qur`an seumpama lampu tempel yang apabila ada di tangan para ulama ia akan digunakan untuk ilmu, penelitian, penggalian dan kemajuan. Namuan jika ia berada di tangan seorang pencuri, ia akan dipergunakan untuk mencuri sesuatu yang berharga.

Permasalahannya di sini tidaklah ada pada lampu itu sendiri, melainkan ada pada kesanggupan menerimanya. Demikian juga halnya air hujan dimana perannya akan berfungsi sesuai jensi tanahnya. Apabila tanahnya bagus maka akan tumbuh bunga dan tumbuh-tumbuhan yang baik, dan apabila tanahnya tidak baik makan akan tumbuh pohon-pohon duri dan ilalang.

"maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada)". Ayat ini menunjukkan bahwa ketika ayat turun, maka mereka semakin bertingkah menentang, memusuhi dan melawan. Karena itu jangan heran jika kami katakan bahwa ayat-ayat al-Qur`an telah menyebabkan banyak orang tersesat.


Tiga kelompok manusia
Untuk menjelaskan topik ini (yang muncul karena perbedaan potensi manusia), kita akan awali dengan perkataan Amirulmukminin a.s yang di dalamnya beliau berbicara kepada Kumail bin Ziyad setelah beliau memanggilnya ke kuburan. Ketika keduanya sampai di sebuah sahara, Imam berkata kepadanya: "Wahai Kumai bin Ziyad, sesungguhnya hati-hati ini adalah bejana, dan hati yang terbaik adalah hati yang benar-benar dapat menampung isinya".

Sebagai contoh kita katakan; sesungguhnya orang-orang berbeda-berda dalam memanfaatkan air hujan. Diantara mereka ada yang mengambilnya seukuran danau karena ia memiliki tempat penampungan luas, sementara yang lain hanya dapat mengambil satu gelas kecil saja karena memang tidak bisa lagi mendapatkan lebih banyak dari itu. Ada juga sekelompok orang yang sama sekali tidak dapat mengambilnya, karena ia telah menutup dan membalikkan bejana hatinya. Contoh ini menjelaskan bahwa kesalahan bukanlah ada pada Allah, melainkan ada pada wadah yang disipakan untuk menerima air hujan. Lalu Imam Ali a.s berbicara kepada Kumail; "Jagalah dariku apa yang akan aku katakan kepadamu bahwa orang itu terdiri dari tiga macam; seorang alim rabbani (berilmu), orang yang belajar (muta`allim) untuk menuju kesuksesannya, dan dugu yang tidak berharga". Artinya bahwa manusia terbagi kepada tiga kelompok;

1. Kelompok pertama adalah para ulama/sarjana yang menelusuri jalan hakikat dan kebenaran, dan mau membimbing serta mendidik orang-orang.

2. Kelompok kedua adalah mereka yang tidak mempunyai ilmu namun mau belajar kepada orang alim sehingga menjadi tahu dan mengerti.

3. Kelompk ketiga adalah orang-orang dugu yang tidak mengerti dan tidak mau berusaha belajar atau bertanya kepada orang-orang mengerti untuk membimbingnya menuju jalan yang benar.

Selanjutnya Imam Ali juga menjelaskan kelompk ketiga ini dengan tiga ciri;

a. Mengikuti setiap teriakan. Yakni mengikuti berbagai macam pandangan orang lain tanpa pengetahuan dan filter.

b. Mengikuti setiap arah angin bertiup kemanapun. Mereka seperti angin yang akan kepincut dan ikut begitu saja pada berbagai macam ajakan. Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang berperang di bawah bendera Rosulullah Saw di zamannya, lalu setelah wafat beliau mereka berperang di bawah bendera Mu`awiyah. Bahkan seandainya mereka berumur panjang mereka akan juga berperang di bawah bendera Yazid bin Mu`awiyah. Demikian itu karena ia bergerak sesuai arah mata angin.

c. Tidak bernaung di bawah cahaya ilmu. Mereka adalah orang-orang lemah yang terhalang dari ilmu.

d. Mereka tidak berlindung kepada tiang yang kuat. Yakni mereka tidak hanya kehilangan ilmu saja, bahkan tidak bersandar pada sandaran yang dipegang oleh mahkamah .117

Kelompok ketiga adalah orang-orang yang memiliki bejanan kecil, orang-orang yang berbahaya. Mereka adalah perwujudan ayat "dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana", sementara kelompok kedua dan ketiga adalah perwujudan dari ayat "Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah".


Apakah kemampuan bersifat pilihan (ikhtiyari) atau ketentuan (jabariyah)?
Apakah kemampuan menerima penerima (qâbiliyyatul Fâ`il) yang merupakan syarat dari sebuah kesempurnaan bersifat ikhtiyari atau jabr? Atau dengan perkataan lain, Apakah Allah memberi sebagian orang kemampuan lebih dan memberi yang lain dengan kemampuan sedikit? Sesungguhnya kemampuan menerima adalah ikhtiyari dan bukan jabr. Demikian itu karena pandangan jabr berarti tidak adanya dosa bagi seseorang berbuat sesuatu seperti ria, dan karena itu jabr ia tidak berhak mendapatkan siska, sebagaimana tidak ada fungsinya dalam pengutusan para nabi.

Dari sini kami berpandangan bahwa setiap kali seseorang berusaha untuk mencari ketakwaan dan makrifat ilahiyah lebih besar, ia dapat mempersiapkan hatinya lebih banyak untuk menerima wahyu ilahi dan ayat-ayat al-Qur`an.

Sesungguhnya al-Qur`an menegaskan bentuk seseorang sebagai makhluk dalam bentuk dan gambar paling utama. Allah Swt perfirman; "sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya"118 . Dan bersandar pada ayat ini, sesungguhnya manusia tidak diciptakan dalam potensi penciptaan yang berbeda-beda. Hidayah dan kesesatan benar-benar bergantung kepada manusia itu sendiri, sekalipun syetan tidak pernah diciptakan sebagai penyesat. Karena itu, ia berada dalam barisan para malaikat yang telah menyembah Allah selama enam ribu tahun.119

Memang benar bahwa manusia satu dan yang lainnya berbeda-beda, namun itu tidak berarti sebagian mereka diciptakan sebagai baik dan yang lainnya buruk, melainkan sebagian mereka tercipta dengan baik dan sebagian lain tercipta dengan lebih baik. Untuk itu Rosulullah Saw telah bersabda; "Manusia adalah tambang sebagaimana tambang emas dan perak".120

Kesimpulannya ialah manusia tidak pernah tercipta secara buruk, kemampuan menerima adalah ikhtiyari dan bukan jabr. Sesungguhnya hujan turun jernih, namun ia menjadi kotor ketika turun pada tanah yang kotor, dan tetap bersih jernih ketika jatuh pada tanah yang bersih dan tetap pada kesucian dan fitrahnya.

Sesungguhnya lingkungan yang tidak baik, buku-buku menyesatkan, pemahaman-pemahaman yang merusak, sahabat-sahabat yang tidak baik, dan keluarga yang tidak sehat semuanya bagaikan tanah yang tercemar. Hati seseorang yang suci dan fitri menjadi tercemari.

Wahai para pemuda yang baik, sesungguhnya Allah telah menciptakan kalian bagaikan tetesan air hujan yang bersih jernih. Maka berusahalah untuk menjaga kebersihan, dan hindarilah bergaul dengan teman yang tidak baik, karena teman seperti ini benar-benar akan merubah masa depan.

Dalam kaca mata Islam, yang dimaksud dengan maksiat tidaklah hanya terbatas pada melakukan maksiatnya saja, bahkan turut hadir di sebuah majlis dosa -yang di dalamnya perbuatan dosa dilakukan- juga dikategorikan haram dan maksiat. Artinya, jika seseorang menghadiri majlis yang digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, maka kehadirannya di tempat tersebut juga dikategorikan sebagai maksiat, sekali pun ia tidak ikut melakukannya. Demikian itu karena sebuah lingkungan yang tercemar sedikit demi sedikit akan juga mencemari. Sekalipun saat itu ia tidak melakukannya, maka dosa tersebut sedikit-demi sedikit akan tertanam dan mendekat di masa depan. Sesungguhnya obat-obat terlarang atau narkoba akan menular sedikit demi sedikit dengan cara seperti ini.

Atas dasar ini, haruslah berusaha untuk menjaga kebersihan batin dan mempersiapkan wilayah hati untuk bisa menerima limpahan rahmat ilahi sebanyak mungkin.





19
PERUMPAMAAN DALAM Al-QUR'AN

Perumpamaan Kelimabelas:

Ulama Yang Menyimpang
Alalh Swt berfirman dalam surat al-A`raf ayat ke 175, 176 dan 177 terkait perumpamaan keenam belas ini. Allah Swt berfiman; "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim".


Pengantar pembahasan
Tema pembahasan pada ketiga ayat di atas ialah tentang seorang alim yang berada di jalan yang benar dan lurus sehingga melalui jalan ini ia sampai kepada posisi yang tinggi, hanya saja sedikit demi sedikit ia terperosok dan tergelincir kembali ke bawah. Maka Allah umpamakan orang alim ini seperti anjing supaya orang lain dapat mengambil pelajaran darinya.


Sebab turun ayat tersebut
Di sana terdapat pembahasan dan perdebatan di antara para mufassir tentang siapa orang alim yang dibicarakan dalam ayat tersebut. Mayoritas mereka meyakini bahwa ia adalah Bal`am bin Baura, salah seorang ulama Bani Israil. Melalui ibadah-ibadahnya ia telah mencapai posisi tinggi hingga mencapai standar predikat nama Allah yang agung dan do`anya pun pasti dikabulkan. Ketika Musa a.s diutus sebagai nabi, ia terjangkiti rasa sombong ini. Diutusnya nabi Musa membuat Bal`am hasud kepadanya. Rasa hasudnya semakin bertambah dari hari ke hari sehingga memakan kebaikan-kebaikannya sedikit demi sedikit.

Rasa hasudnya dari satu sisi dan kecintaannya pada dunia telah membuatnya mencari perlindungan kepada Fir`aun dan mendatangi istananya untuk menjadi pendukungnya. Maka hilanglah seluruh kebanggaan-kebanggaannya karena efek keburukannya, dan al-Qur`an mengungkap kembali orang alim ini agar orang-orang dapat mengambil pelajaran darinya.

Sebagian mufassir lain meyakini bahwa yang dimaksud dengannya ialah Umayyah bin ash-Shalat, seorang penyair terkenal pada masa jahiliyah. Pada awalnya ia masuk Islam, namun kemudian ia berbalik dan menyimpang karena hasud kepada posisi kenabian Rosulullah Saw.

Sejumlah mufassir lain lagi meyakini bahwa yang dimaksud dengannya ialah Abu Amir an-Nashrânî, seorang pendeta nasrani yang telah masuk Islam dan bergaung dengan orang-orang munafik. Kemudian ia pergi ke Roma untuk beraliansi dengan penguasanya, lalu kembali ke Madinah untuk mempropokasi orang-orang munafik dan membangun masjid "Dharar" yang terkenal itu.

Di antara ketiga pendapat ini, yang pertama adalah yang paling akurat, sementara dua lainnya terlalu jauh dari redaksi ayatnya; "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami..., yang menunjukkan hubungan dengan kisah-kisah umat terdahulu .121


Syarah dan tafsir
Firman-Nya Swt; "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab)". Allah Swt meminta kepada Rosulullah Saw agar menceritakan kisah orang alim tersebut kepada para sahabatnya.

Maksud dari ayat-ayat tersebut ialah wejangan dan hukum-hukum taurat. Sesungguhnya orang alim tersebut mengerti hukum-hukum Taurat dan wejangannya, dan juga mengamalkannya. Sebagian mufassir meyakini bahwa maksud ayat tersebut merujuk kepada nama agung. Untuk itu, Bal`am bin Baura dikabukan do`a-do`anya, dan ia seseorang yang memiliki posisi terhormat dan agung di masyarakat.

Firman-Nya; "kemudian dia melepaskan diri (insalakha) dari pada ayat-ayat itu, lalu syaitan menjadikan dia mengikutinya (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat". Kata "salakh" berarti melepas kulit binatang. Karena itu ia dipakai untuk seseorang yang sedang menguliti kulit domba. Namun kata "lalu dia diikuti" di sini mengandung dua makna; Pertama, tabi`a dan lahiqa (mengikuti dan membuntuti). Yakni syetan menjadikan orang alim tersebut sebagai pengikutnya.

Kedua, kata kerja tersebut dipakai dalam makna biasanya, sekalipun ia berbentuk kata sulatsi mujarrad (kata kerja yang terdiri dari tiga khuruf, penej) sehingga maknanya menjadi bahwa syetan mengikuti orang alim tersebut. Dengan kata lain, bahwa ia lebih dahulu tersesat sebelum disesatkan oleh syetan.

Perumpamaannya seperi seseorang yang melakukan perbuatan buruk sekali dengan cara terbaru dan ia selalu melaknat syetan atas perbuatannya ini, lalu munculah syetan kepadanya dan berkata; laknat itu atasmu, bukan atasku, karena menyesatkan memang sudah keahlianku. Saya tidak tahu sebelumnya tipe maksiatmu ini, bahkan engkaulah yang mengajariku cara seperti ini.

Atas dasar ini, ayat tersebut berarti bahwa Bal`am bin Baura lepas dari ayat-ayat Allah, maka ayat-ayat tersebut kemudian melepaskannya. Sekalipun ia menguasai seluruhnya, namun ia melepaskannya dan mengikuti syetan atau syetan mengikutinya. Itulah akibat kesesatan dan keburukan sehingga ia termasuk orang-orang yang sesat dan malang.

Firman-Nya; "Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu". Yakni seandainya Kami berkehendak menjadikan ia tetap berada pada jalan yang benar, maka tentu Kami bisa untuk itu, namun Kami tidak melakukannya agar ia berbuat sesuai dengan pilihan dan kehendaknya sendiri, karena dalam Islam yang berlaku adalah ikhtiyar (pilihan) dan bukan jabr. Allah Swt berfirman; "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir" .122

Allah kuasa menjadikan seluruh amal dari haji, puasa, dan shalat bagian dari tabiat-tabiat seseorang sebagaimana ia menjadikan makan dan minum. Namun Ia tidak mau melakukannya, bahkan menciptakan manusia bebas dan punya pilihan sehingga di sana terjadi proses hidayah, penyempurnaan, berkembang, ujian, pahala, siksa dan lain-lain sehingga ajaran-ajaran ini tidak kehilangan maknanya.

Adapun di penghujungnya, ayat tersebut berarti; Kami tinggalkan Bal`am bin Baura pada dirinya sendiri, namun orang alim yang menyimpang ini -yang lebih dahulu dan menjadi penyampai kuat bagi Musa a.s- mengikuti hawa nafsu dan keinginan tak pernah henti karena cinta dunia, hasud kepada Musa a.s, dan kepincut dengan janji-janji Fira`aun. Itu semua adalah efek dari terusir dari hamparan rabbani. Atas dasar ini, dua hal sesungguhnya yang menjadi sebab kejatuhan Bal`am bin Baura, yaitu; Pertama, kecintaan kepada dunia dan kecendrungan kepada Fira`un. Kedua, mengikuti hawa nafsu dan syetan.

Allah Swt berfirman; "maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga)". Anjing biasanya terkenal memiliki peran besar dimana manusia mendapatkan manfaat darinya. Karena itu, dalam fiqh Islam memeliharanya diperkenankan. Hanya saja di samping kebaikannya itu, anjing terkadang gila dan selalu lahap. Inilah penyakit anjing-anjing. Penyakit yang menjadikannya selalu menjulurkan lidah dan bersuara memekik, mengeluwarkan racun bakteri yang apabila mengenai manusia, ia akan mati, atau ia terkena penyakit anjing gila. Dalam kondisi seperti ini anjing sudah tidak lagi memiliki guna, dan karena itu tidak diperkenankan lagi memeliharanya karena dapat membahayangan jiwa orang lain.

Tanda-tanda penyakit ini pada anjing ialah ia selalu menjulurkan mulut dan menggerak-gerakkan lidahnya. Demikain itu agar berkurang rasa panas yang ia rasakan di dalam badannya. Gerakan lidahnya serupa dengan kipas angin yang berfungsi memasukkan udara ke dalam tubuh sehingga menjadi dingin. Di antara tanda lainnya ialah selalu kehausan. Alhasil, anjing seperti ini sangat berbahaya.

Al-Qur`an dengan perumpamaan cukup indah menyerupakan orang alim yang menyimpang ini dengan anjing yang tidak lagi memiliki nilai guna dan bahkan sangat berbahaya. Kecintaan kepada dunia, mengikuti hawa nafsu dan perasaan tidak pernah puas telah menggelincirkan orang alim tersebut hingga kehilangan pandangan dan penglihatan batinnya sehingga tidak lagi dapat membedakan antara kawan dan musuhnya.

Allah Swt berfirman; "Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir"123 . Yakni ini benar-benar seperti sebuah komunitas masyarakat yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt, maka ceritakanlah wahai nabi kepada orang-orang, khususnya Yahudi dan Nashrani kisah-kisah ini agar mereka dapat mengambil pelajaran darinya, juga agar mereka mengetahui apabila berani mendustakan ayat-ayat Allah, maka nasib akhir mereka akan sama seperti nasib akhir Bal`am bin Baura.


Sasaran ayat.

Bahaya ulama pembangkan
Bal`am bin Baura telah jatuh dari posisi mulia karena kecintaannya kepada dunia dan keikutsertaannya kepada syetan. Kejatuhannya diumpamakan oleh al-Qur`an dengan anjing liar yang tidak peduli siapapun hingga yang nampak seperti gila. Kecintaan kepada dunia dan keikutsertaan kepada syetan telah menjadikan seorang alim yang telah mendapatkan nama terhormat menjadi gila. Kegilaannya nampak dalam bentuk selalu haus dunia dan tidak pernah terpuaskan selamanya. Orang alim seperti ini membawa bahaya besar, dan diantaranya adalah sebagai berikut;

a. Orang alim seperti ini benar-benar akan menjadi pembantu kedzaliman, sebagaimana penjilat-penjilat para penguasa yang berkhidmat kepada para pelaku kedzaliman di antara raja-raja dan penguasa. Yang jelas bahaya orang alim seperti ini tidak lebih sedikit dari bahaya kedzaliman itu sendiri.

Para penguasa masa lalu berkeinginan menerapkan aturan khusus, maka ia meminta kepada para ulama negrinya untung mengharmonikan kehendak Pembuat Syari`at (Allah Swt, penj) dan syari`at versi kepentingannya. Maka seorang alim menjawabnya; sesungguhnya kehendak Sang Pembuat Syari`at adalah luas, dan urusannya bergantung kepada keputusan penguasa. Artinya ia dapat memberi jalan keluar atau justifikasi terhadap setiap keinginan penguasa. Memang benar ulama seperti ini memungkinkan untuk menjustifikasi kezaliman para penguasa.

Mereka adalah orang-orang yang menancapkan tonggak kezaliman. Mereka akan menepis setiap orang yang berusaha tidak setuju dengan kedzaliman. Ulama-ulama seperti mereka leluasa pada masa pemerintahan bani Umayyah membohongkan hadis-hadis Rosulullah Saw dan para imam a.s. Mereka pun menjilat beberapa penguasa dzalim dari keturunan al-Ababs dan Bani Umayyah.

b. Ulama-ulama seperti ini benar-benar dapat menghancurkan pondasi-pondasi aqidah manusia. Sesungguhnya orang-orang awam apabila menyaksikan seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, maka keyakinan keagamaannya akan goncang. Bahkan mereka dapat saja menjadi ragu terhadap surga dan neraka, hari kiamat dan hisab. Mereka akan berkata kepada dirinya masing-masing; andaikan memang benar di sana ada hari kiamat, maka orang-orang alim itu tentu beramal untuk bekal hari itu. Atas dasar itu, apabila para penguasa mendzalimi orang-orang atas dunia mereka, maka para ulama yang menyimpang itu mendzalimi orang-orang atas akhiratnya.

c. Seorang alim yang menyimpang akan menjerumuskan orang-orang melakukan dosa. Negara-negara yang bersebrangan dengan Islam telah mendirikan pada abad-abad terakhir -untuk merongrong Islam- sekelompok penyesat. Untuk memperkuat kelompok boneka ini, mereka mendidik seorang alim gadungan yang dapat mengarang buku yang berisikan propokasi perpecahan. Ia pun menggunakan sejumlah ayat-ayat al-Qur`an untuk tujuan perpecahan ini. Buku tersebut adalah buku menyesatkan karena dipersiapkan untuk memperbanyak perpecahan sebagai pengabdian kepada Negara-negara pendirinya.

Dari sini, para pengajar ajaran-ajaran agama hendaknya memberitahu bahwa sebab penyimpangan ini adalah karena tidakadanya keikhlasan. Sejumlah pelajar tidak belajar hanya untuk Allah, melainkan untuk tujuan-tujuan duniawi, seperti hawa nafsu dan kecintaan pada dunia. Dengan tujuan-tujuan inilah akhiratnya dihancurkan dan dirubah menjadi neraka Jahim.

Sekalipun seseorang telah mencapai sebuah posisi tinggi, maka hendaknya dia jangan terlebih dahulu merasa aman dari bisikan syetan. Perasaan cukup aman ini adalah awal dari keterjerumusan dan penyimpangan. Ia hendaknya selalu berada antara harap dan takut. Takut dari hawa nafsu, merasakan tidak puas dan bisikan-bisikan syetan, disamping berharap terhadap rahmat dan kelembutan Allah Swt. Dia Yang Paling Kasih di antara para pengasih.


Ulama dalam pandangan Imam Hasan al-`Askari
Sang faqih Syeh Anshari -semoga Allah meridhainya- mengutip dalam bukunya "Farâidul Ushûl" sebuah hadis indah sebagai tafsir agung dari Imam al-`Askari a.s; terhadap firma-Nya Swt "Di antara mereka adalah orang-orang buta aksara yang tidak mengerti al-Kitab…".

Seseorang bertanya kepada ash-Shadiq a.s; Apabila mereka itu dari Yahudi dan Nashrani yang tidak mengenal al-Kitab kecuali dari apa yang mereka dengar saja, dan para pemuka agama mereka tidak memiliki jalan selainnya. Lalu bagaimana ketaklidan mereka kepada para ulamanya dikecam. Apakah orang-orang awam Yahudi sama seperti orang-orang awam kita yang mentaklidi ulama-ulama mereka? Apabila taklid kepada para ulamanya tidak diperkenankan kepada orang-orang awam mereka, maka demikian juga tidak diperkenankan kepada awam-awam kita.

Beliau a.s berkata: Di antara orang-orang alam dan ulama kami dan di antara orang-orang awam Yahudi dna Nashrani dengan ulamanya terdapat perbedaan dari satu sisi dan kesamaan di sisi lain. Sisi kesamaannya ialah bahwa Allah Swt mencela orang-orang awam kita bertaklid kepada ulama-ulama mereka, sebagaimana juga Ia mencela awam-awam Yahudi dan Nashrani mentaklidi ulama-ulama mereka. Adapun dari sisi perpecahan mereka tidaklah sama.

Ia bertanya; Jelaskan kepadaku wahai putra Rosulullah!

Beliau berkata: Sesungguhnya awam-awam Yahudi telah mengetahui kebohongan ulama-ulamanya dengan jelas, mereka memakan harta haram, berbuat dzalim, merubah hukum, dan lain-lain. Karena itu, Allah mengecam mereka atas ketaklidannya kepada orang yang mereka ketahui tidak layak untuk ditaklidi pandangan-pandangannya, tidak boleh membenarkannya dan tidak boleh beramal dengan ajaran yang sampai kepada mereka dari orang-orang yang tidak mereka saksikan. Mereka pun harus mengoreksi diri mereka tentang Rosulullah Saw.

Demikian pula awam-awam umat kami. Apabila mereka mengetahui kefasikan secara jelas dan kefanatikan yang sangat dari para fuqahanya, maka barang siapa di antara mereka tetap mentaklidi fuqaha seperti itu, berarti mereka seperti awam-awam Yahudi yang telah Allah Swt kecam karena mentaklidi kefasikan para fuqahanya. Maka barang siapa mendapatkan di antara para fuqaha orang yang paling menjaga dirinya, menjaga agamanya, menentang hawa nafsunya, dan taat terhadap perintah Gusti-nya, maka hendaklah bagi orang-orang awam mentaklidinya. Demikian itu berarti hanya kepada sebagian fuqaha syi`ah saja, bukan semuanya.

Adapun mereka yang melakukan perbuatan buruk dan terbiasa bohong kepada kita, maka mereka sesat atau menyesatkan, dan mereka jauh lebih berbahaya kepada kelompok awam syi`ah kami dari tentara Yazid -laknat Allah atasnya- yang telah memerangi al-Husein bin Ali a.s .124

Pertanyaan, kenapa para ulama yang menyimpang jauh lebih buruk dari tentara-tentara Yazid?

Jawabnya, tentara Yazid menyatakan secara terang-terangan permusuhannya, sementara para ulama busuk (su) seperti serigala berbulu domba yang menghancurkan agama atas nama agama. Dan jelas bahaya mereka jauh lebih besar dari bahaya orang yang jelas-jelas menyatakan permusuhannya.

Adapun yang dibanggakan oleh orang-orang Syi`ah ialah mereka pada masa silam telah menjadi pengikut para ulama dan marja yang padanya terkumpul sayarat-syarat kemuliaan seperti dicirikan para Imam a.s. Mereka pun selalu ada di bawah bimbingan dan kelembutan kasih mereka.

Tentu tidak diragukan lagi bahwa bertaklid kepada seorang ulama zuhud dan bijak tidak hanya tidak tercela saja, bahkan itu wajib sebagaimana diperkuat oleh ayat-ayat al-Qur`an dan riwayat Ahlul Bayt a.s.





20