• Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 10311 / Download: 3414
Ukuran Ukuran Ukuran
tragedi karbala

tragedi karbala

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Title : Tragedi Karbala

Author : Ny.

Farida Gulmohammadi.

Translator : Tim Abatasya Islamic Website

Editor : Tim Abatasya Islamic Website

Publisher : Abatasya Islamic Website

Publish date : Islamic Republic of Iran Broadcasting

Page count : 113

Pendahuluan

Pertengahan abad pertama Hijirah, yaitu masa pasca kekhalifahan Abu Bakar bin Abu Quhafah, Umar

bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Imam Ali bin Thalib, Muawiyah yang tadinya menjabat gubernur

Syam (Suriah) atas pilihan Utsman bin Affan mengangkat dirinya sebagai khalifah setelah berhasil

menyingkirkan khalifah yang sah, Imam Hasan bin Ali yang menggantikan Imam Ali dan berbasis di

Madinah.

Ketika Muawiah Bin Abi Sufyan menemui ajalnya, anaknya yang bernama Yazid menggantikan

kedudukannya di atas singgasana khalifah yang saat itu sudah benar-benar menyerupai kerajaan tiran

dan sarat ironi. Seperti ayahnya, karena naik tanpa restu umat dan syariat, Yazid mencari baiat dengan

cara paksa dari umat. Di pihak lain, sebagai tokoh yang paling berpengaruh di tengah umat, putera

Fatimah Azzahra dan cucu tercinta Rasul, Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib yang tinggal di

Madinah, diincar oleh Yazid. Beliau dikirimi surat dan pesan agar memilih satu diantara dua pilihan;

baiat kepada Yazid atau mati.

Saat menolak pilihan pertama, baiat, Imam Husain tiba-tiba diserbu ribuan surat dari penduduk Kufah,

Irak. Mereka menyatakan siap mengadakan perlawanan bersenjata atas Yazid bin Muawiyah dan membaiat Imam Husain sebagai khalifah dengan syarat beliau datang ke Kufah untuk mengoordinasi

dan mengomandani pasukan perlawanan. Tadinya Imam keberataan memenuhi ajakan itu karena orang

Kufah sudah lama beliau ketahui sulit dipegang janjinya.

Namun, keberatan itu membuat beliau semakin dibanjiri surat sampai akhirnya beliau tak kuasa untuk

menolak saat surat-surat terakhir penduduk Kufah berisikan ancaman mereka untuk mengadukan

beliau kepada Allah di hari kiamat kelak bahwa beliau telah menolak kebangkitan melawan penguasa

tiran, bahwa beliau telah menyia-nyiakan kekuatan dan kesempatan yang tersedia untuk

menumbangkan penguasa zalim dan kejam, bahwa beliau tidak mengindahkan jeritan, derita, dan

harapan kaum mustahd'afin, dan bahwa beliau tidak berani mengorbankan jiwa dan raga demi melawan

penguasa durjana. Sang Imam tak berkutik, meskipun beliau tahu semua itu belum tentu mencerminkan

loyalitas penduduk Kufah dengan resiko apapun. Saat itulah Imam merasa dihadapkan pada ketajaman

lensa sejarah yang hanya mau merekam bukti dan kenyataan di depan mata umat, bukan dogma-dogma

sakral tentang hakikat non-derawi. Jadi, kebangkitan Imam tadinya bukan berarti harus keluar dari

menuju Kufah, tetapi karena secara kasat mata di Kufah sudah tersedia kesempatan dan kekuatan untuk

menumbangkan Yazid, beliau harus keluar untuk memastikan benarkah kesempatan itu memang ada.

Maka, meskipun dengan berat hati dan keyakinan penuh bahwa beliau akan menghadapi marabahaya,

undangan penduduk Kufah itu akhirnya beliau penuhi. Beliau mengirim utusannya, Muslim bin Aqil

untuk meninjau keadaan yang sesungguhnya di Kufah. Di Kufah, Muslim mendapati rakyat benarbenar

sedang diterjang gelora semangat perlawanan. Karenanya, Muslim menyampaikan berita gembira

itu kepada Imam Husain lewat surat. Imam berangkat menuju Kufah bersama rombongannya yang

berjumlah ratusan orang, setelah beliau singgah terlebih dahulu ke Mekkah.

Ketika Imam sedang dalam perjalanan panjang menuju Kufah, keadaan di kota ini berubah total. Nyali

penduduk tiba-tiba ciut dan keder setelah diancam habis-habisan oleh gubernur Kufah yang berdarah

dingin, Ubaidillah bin Ziyad. Semua menutup pintu rapat-rapat dan tak ada yang berani keluar untuk

bicara dan berkumpul lagi soal gerakan perlawanan. Hanya segelintir orang yang masih setia kepada

Muslim bin Aqil dan siap menyongsong segala resiko. Namun akhirnya mereka ditangkap. Muslim

dihabisi dengan cara yang sangat sadis. Jasadnya yang tanpa kepala dipertontonkan di pasar Kufah, dan

penduduk terpaksa pura-pura ikut bergembira atas kematian Muslim.

Perubahan itu tercium Imam Husain dan rombongannya ketika sudah mendekati Kufah. Mendengar itu,

rombongan Imam banyak yang terguncang kemudian memilih mundur dan keluar dari barisan Imam.

Jumlah pengikut beliau akhirnya surut drastis, hanya tinggal beberapa wanita dan anak kecil serta

puluhan orang. Namun, karena masih ada setumpuk alasan seperti yang dapat Anda baca dalam menu

Falsafah Peristiwa Karbala dan Falsafah Peringatan Tragedi Karbala, putera pasangan suci Imam Ali

dan Fatimah Azzahra itu tetap melanjutkan perjalanan sampai kemudian berhadapan dengan pasukan

kiriman gubernur Kufah pimpinan Hur bin Yazid Arriyahi. Pasukan itu dikirim sengaja untuk

menghadang rombongan Imam. Berikut ini adalah penggalan kisah akhir perjalanan beliau yang kami

sadur dari buku Husain, Beheshti-e Mau'ud (Husain, Sorga yang Dijanjikan), karya penulis Iran Ny.

Farida Gulmohammadi.

Pertemuan Imam Husain as Dengan Hur bin Yazid Arrayahi

Tak lama setelah memasang tenda, rombongan Imam Husain as didatangi seribu pasukan kuda yang

dipimpin oleh Hur bin Yazid Arrayahi. Pasukan yang tampak siap berperang itu berjajar di depan Imam

Husain dan para sahabatnya yang juga siap bertempur dengan mengikatkan sarung pedang masingmasing

dipinggang.

Gurun sahara semakin memanas. Matahari memanggang setiap kepala. Imam Husain dan para

sahabatnya memerintahkan para pengikutnya supaya air yang masih tersisa diminum dan minumkan

kepada kuda-kuda mereka. Hingga tengah hari itu suasana yang masih relatif tenang. Begitu waktu

solat dhuhur tiba, Imam memerintah seorang pengikutnya yang bernama Hajjaj bin Masruq Al-Ja'fi

untuk mengumandang azan. Seusai azan, beliau berdiri di depan pasukan Hur untuk menyampaikan

suatu kata kepada mereka yang beliau pandang sebagai orang-orang Kufah tersebut.

"Hai orang-orang!" Seru Imam Husain setelah menyatakan pujian kepada Allah dan salawat kepada

rasul-Nya. "Aku tidaklah kepada kalian kecuali setelah aku didatangi surat-surat dari kalian. Kalian,

orang-orang Kufah, telah mengundangku. Kalian memintaku datang karena kalian merasa tidak

memiliki pemimpin, dan agar kemudian membimbing kalian kepada jalan yang benar. Oleh sebab

inilah aku pun bergerak ke arah kalian. Kini aku telah datang. Jika kalian masih berpegang pada janji

kalian, maka aku akan menetap bersama kalian. Jika tidak, maka aku akan kembali ke negeriku."

Rombongan pasukan berkuda yang diajak bicara oleh Imam Husain as itu terdiam seribu basa. Tak ada seorang yang angkat bicara.1 Beliau kemudian memerintahkan muazzin tadi untuk mengumandangkan

iqamah setelah meminta Hur supaya menunaikan solat bersama pasukannya sebagai Imam Husain as

juga solat bersama para pengikut setianya. Uniknya, Hur menolak solat sendiri. Dia meminta solat

berjamaah di belakang beliau. Kedua rombongan kemudian bergabung dalam solat dhuhur berjamaah

yang dipimpin Imam Husain as.

Seusai solat, kedua rombongan itu kembali ke perkemahan masing-masing. Beberapa lama kemudian

kedua rombongan ini bergabung kembali untuk menunaikan solat asar berjemaah dipimpin oleh Imam

Husain as. Seusai solat asar, beliau mengutarakan khutbah yang diawali dengan pujian kepada Allah

dan disusul dengan pernyataan sebagai berikut:

"Amma ba'du. Hai orang-orang, sesungguhnya kalian pasti akan diridhai Allah jika kalian memang

bertakwa dan mengerti siapakah yang layak memegang hak (untuk memimpin umat), dan (ketahuilah)

bahwa kami, Ahlul Bait Muhammad saww, adalah orang lebih layak memimpin kalian daripada

mereka yang mengaku layak tetapi sebenarnya tidak memiliki kelayakan dan mereka yang telah

menggerakkan kezaliman dan rasa permusuhan (terhadap kami). Jika kalian tidak mengerti hal ini dan

hanya memahami kebencian kepada kami, tidak mengetahui hak kami, dan kata-kata kalian sekarang

sudah tidak seperti yang kalian katakan dalam surat-surat kalian yang telah datang menyerbuku

bersama para utusan kalian, maka aku akan pergi meninggalkan kalian."2

Hur menjawab: "Aku tidak tahu menahu tentang surat-surat yang engkau katakan itu."

Imam Husain as memerintahkan Aqabah bin Sam'an untuk mengambil surat-surat itu supaya

diperlihatkan kepada Hur. Setelah melihat surat-surat itu, Hur mengatakan: "Aku bukan bagian dari

mereka yang mengirim surat-surat itu kepadamu. Aku hanya diperintahkan untuk menyosong

balatentaramu dan menggiringmu hingga kamu menyerah di depan Ubaidillah bin Ziyad."

Kata-kata Hur rupanya tak diduga sebelumnya oleh Imam Husain as. Kata-kata ini mengundang

kegeraman beliau. Beliau memerintahkan para pengikutnya untuk membongkar kembali tenda-tenda

yang terpasang kemudian bergerak lagi sambil mengendarai kuda-kuda mereka. Perintah Imam Husain as pun mereka laksanakan. Namun begitu hendak bergerak, jalan rombongan Imam Husain as dihadang

oleh pasukan Hur.

"Semoga kematianmu menimpa ibu, hai Hur, apa yang kamu inginkan dari kami?" Seru Imam Husain

as gusar.

"Engkau menyebut-nyebut ibumu, seandainya bukan engkau, aku pasti juga mengucapkan kata-kata

yang sama, tapi aku tahu ibumu adalah wanita yang sangat patut dimuliakan." Kata Hur.

"Lantas apa maumu?" Tanya Imam lagi.

"Aku ingin kamu bersamaku untuk datang kepada Ibnu Ziyad."

"Aku tidak akan pernah bersamamu."

"Aku ditugaskan supaya tidak melepaskanmu kecuali setelah kamu aku bawa ke Kufah dan aku

serahkan kepada Ibnu Ziyad. Wahai Husain, demi Allah, jagalah jiwamu, aku yakin engkau akan

terbunuh jika kamu berperang."

"Apakah kamu hendak menakut-nakuti dengan kematian, dan apakah urusan kalian akan selesai jika

aku terbunuh?! Aku akan pergi dan kematian bukanlah sesuatu yang hina bagi seorang ksatria apabila

kebenaran sudah diniatkan, perang dilakukan demi Islam, jiwa dikorbankan di atas jalan orang-orang

yang salih, dan diri terpisah dari orang-orang yang celaka dan para pendurhaka."

Kata-kata Imam Husain ini mulai menyentuh hati Hur. Hur mendekati Imam Husain as sambil

memerintahkan pasukan bergerak mengikuti perjalanan beliau. Selama perjalanan terjadi dialog antara

beliau dan Hur hingga ketika sampai di lembah Baidhah beliau mengatakan: "Kalau kamu hendak

berperang denganku maka aku siap berduel denganmu."

Hur menjawab: "Aku tidak ditugaskan berperang denganmu. Aku hanya ditugaskan menyerahkan

dirimu kepada Darul Imarah. Jika engkau tidak berkenan ikut aku ke Kufah, maka silahkan engkau

kembali ke Madinah atau kota lain agar aku bisa bebas dari beban tanggungjawabku. Kalau tidak, maka

aku akan menuliskan surat kepada Ibnu Ziyad agar dia menentukan apa yang harus aku lakukan."

Di lembah ini semua rombongan berhenti, dan keduanya pun kembali ke perkemahan masing-masing.

Sakinah puteri Imam Husain mengisahkan: "Dari dalam tenda aku mendengar suara seseorang tersedu

menangis sehingga aku keluar tanpa sepengetahuan siapapun. Aku mendatangi ayahku, dan ternyata

ayahkulah yang menangis di depan para sahabatnya. Kepada mereka ayahku berkata: 'Kalian telah

keluar bersamaku, dan kalian berpikir aku pergi kepada suatu umat yang akan membaiatku dengan

lisan dan hati yang tulus. Namun umat itu sekarang sudah berubah, setan telah memperdayai mereka,

mereka melupakan Allah, yang terpikir di benak mereka sekarang terbunuhnya aku dan orang-orang

yang bersamaku untuk berjihad di jalanku serta tertawannya kaum wanita dan anak-anakku.Yang aku

khawatirkan sekarang ialah jangan-jangan kalian tidak tahu apakah akibat dari apa yang kita lakukan

ini. Oleh sebab itu, sekarang aku bebaskan kalian untuk pergi mengurungkan perjalanan ini jika kalian

kecewa terhadap perjalanan ini. Sedangkan untuk kalian yang masih ingin siap berkorban bersamaku,

ketahuilah bahwa penderitaan ini akan diganti kelak dengan gemerlapnya surga. Ketahuilah bahwa

kakekku Rasulullah pernah bersabda:

"Puteraku Husain akan terbunuh di padang Karbala dalam keadaan terasing seorang diri.

Barangsiapa yang menolongnya, maka dia telah menolongku, dan barangsiapa yang menolongku,

maka dia menolong putera keturunan Husain yaitu Al-Qaim dari keluarga Muhammad, dan barang

siapa yang menolong kami, maka pada hari kiamat nanti dia akan dimasukkan ke dalam golonganku."3

Sakinah melanjutkan, "Demi Allah, setelah mendengar pernyataan itu, para pengikut beliau banyak

yang memisahkan diri sehingga tinggal sekitar 70-an orang.4 Aku mendatangi ayahku dengan hati yang

sangat kesal dan kecewa. Aku rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya, namun akhirnya hanya bisa

menengadahkan wajahku ke langit sambil berdoa: Ya Allah, sesungguhnya mereka telah menyianyiakan

kami, maka sia-siakanlah mereka. Janganlah Engkau gemakan suara mereka ke langit,

janganlah Engkau anugerahi mereka tempat dan kehormatan di muka bumi, timpakanlah kepada

mereka kemiskinan hingga di liang lahat, jangan Engkau curahkan kepada mereka syafaat kakek kami

pada hari kiamat. Kabulkan doa orang yang suci dari noda dan dosa."5

Sehari kemudian, seorang pengendara onta dari Kufah datang menghadap Hur sambil menyerahkan

surat balasan dari Ubaidillah yang memerintahkan supaya bersikap keras dan angkuh kepada Imam

Husain as dan menggiring beliau ke padang sahara yang tandus hingga Ubaidilah mengirim balatentara

bantuan. Hur memberitahu Imam Husain as isi surat ini.

Mendengar pernyataan yang tertera dalam surat Ubaidillah, seorang sahabat Imam Husain as yang

bernama Yazid bin Muhajir Al-Kindi berseru kepada utusan Ibnu Ziyad: "Semoga ibumu meratapi

kematianmu, betapa celakanya isi surat yang kamu bawa itu!"

Utusan itu menjawab: "Aku mematuhi perintah imamku. Apa saja yang diperintahkannya akan aku

laksanakan."

Muhajir berseru lagi: "Kamu telah durhaka kepada Tuhanmu, karenanya api jahanam layak

membakarmu."

Salah seorang sahabat Imam Husain lainnya ikut menimpali. "Wahai putera Rasul!" Seru sahabat

bernama Zuhair bin AlQein itu. "Izinkan aku berperang sekarang juga dengan orang-orang ini sampai

mereka tak berkutik."

Imam menjawab: "Aku tidak berniat memulai perang, aku ingin menuntaskan hujjahku kepada

mereka."

Sahabat Imam Husain lainnya, Birrin bin Khudair ikut berseru: "Demi Allah, kami akan berjihad

membelamu walaupun tubuh kami akan tercincang."

Imam Husain as kemudian menyampaikan khutbahnya yang dikenal dengan khutbah Al-Gharra'ii

untuk menjelaskan tujuan-tujuan beliau. Dalam khutbah ini, setelah memanjatkan puji syukur kepada

Allah, Imam Husain berkata:

"Sesungguhnya Rasulullah pernah bersabda: 'Barangsiapa mendapati penguasa zalim yang

menghalalkan apa yang diharamkan Allah, melanggar janjinya, menentang sunnah Rasulullah,

memperlakukan hamba-hamba Allah dengan dosa dan aniaya, tetapi dia tidak menentangnya dengan

tindakan maupun kata-kata, maka Allah berhak memasukannya ke (neraka) tempat orang zalim itu

disemayamkan."6

Beberapa lama kemudian, kedua rombongan Imam Husain dan Hur bergerak. Ketika tiba di suatu

gurun sahara bernama Nainawa, Imam Husain as meminta supaya berhenti, tetapi Hur menolaknya.

Hur berkata: "Aku tidak mengizinkanmu berhenti di sini, sebab utusan sang Amir datang untuk

mengawasi keadaan. Karenanya, di depan utusan itu mau tidak mau aku harus melaksanakan segala

perintahnya."

Kedua pasukan hak dan pasukan batil bergerak lagi hingga sampai di suatu daerah bernama Karbala

pada tanggal 2 Muharram 61 Hijriah, sebuah daerah yang dialiri sungai Elfrat.

Karbala, Pesinggahan Terakhir

Tentang keberadaan Imam Husain as di Karbala diriwayatkan bahwa ketika beliau tiba di padang ini

kuda yang beliau tunggangi tiba-tiba berhenti. Kuda itu tetap bergeming dan memaku kendati beliau

sudah menarik tali kekangnya kuat-kuat agar beranjak dari tempatnya berdiri. Beliau lalu mencoba

menunggangi kuda lain, namun hasilnya tetap sama, kuda kedua itu juga tak menggerakkan kakiknya.

Karena itu, Imam Husain as nampak mulai curiga sehingga bertanya: "Apakah nama daerah ini?"

Orang-orang menjawab: "Qadisiah."

"Adakah nama lain?" Tanya Imam lagi.

"Shati' Al-Furat."

"Selain itu ada nama lain lagi?"

"Karbala."

Mendengar jawaban terakhir ini Imam Husain as segera berucap: "Ya Allah, aku berlindung kepada-

Mu dari kegundahan dan malapetaka."7

Imam lalu berseru kepada para pengikutnya: "Kita berhenti disini, karena di sinilah akhir perjalanan

kita, di sinilah tempat tumpahnya darah kita, dan di sinilah tempat kita dikebumikan."8

Di tanah itu, Ummu Kaltsum as adik Imam Husain as berkeluh kesah kepada beliau. "Padang sahara

terlihat menyeramkan, aku tiba-tiba dicekam ketakutan yang amat besar."

Imam menjawab: "Adikku, dalam perjalanan untuk Perang Siffin, bersama ayahanda kami pernah

berhenti di sini. Di sini ayah merebahkan kepalanya ke pangkuan kakakku, Hasan, kemudian tertidur.

Aku juga kebetulan ada di sisinya. Begitu terjaga, ayah tiba-tiba menangis sehingga kakakku bertanya

mengapa ayah menangis.

"Ayah menjawab: 'Aku bermimpi sahara ini berubah menjadi lautan darah dan Husain tenggelam ke

dalamnya sambil berteriak-teriak meminta pertolongan tetapi tak seorangpun mengindahkan

teriakannya.' Ayah kemudian bertanya kepadaku: 'Bagaimanakah kalian jika seandainya ini terjadi.'

Aku menjawab: 'Tidak ada jalan lain, aku akan sabar.'"9

Imam Husain as kemudian berkata: "Sesungguhnya Bani Umayyah telah mencemarkan nama baikku,

tetapi aku bersabar. Mereka merampas harta bendaku, aku juga bersabar. Mereka kemudian menuntut

darahku, tetapi juga tetap sabar. Demi Allah, mereka akan membunuhku sehingga Allah akan

menimpakan kepada mereka kehinaan yang amat sangat dan akan menghunjam kepada mereka pedang

yang amat tajam."10

Sementara itu, Ubaidillah bin Ziyad sudah mendapat laporan bahwa Imam Husain as berada di Karbala.

Dia mengirim surat kepada beliau berisikan desakan agar beliau membaiat Yazid. Ubaidillah

mengancam Imam Husain as pasti akan mati jika tetap menolak memberikan baiat.

Imam Husain as membaca surat itu kemudian melemparkannya jauh-jauh sambil berkata kepada kurir

Ubaidillah bahwa surat itu tidak akan dibalas oleh beliau. Ubaidillah murka setelah mendengar laporan

sang kurir tentang sikap Imam Husain ini. Dipanggilnya Umar bin Sa'ad, orang yang sangat

mendambakan jabatan sebagai gubernur di kota Rey. "Cepat pergi!" Seru Ubaidillah kepada Umar.

"Habisi Husain, setelah itu datanglah kemari lalu pergilah ke Rey untuk menjabat di sana selama 10

tahun."11

Umar bin Sa'ad meminta waktu satu hari untuk berpikir, dan Ubaidillah pun memberinya kesempatan

itu. Umar kemudian berunding dengan teman-temannya. Dia disarankan supaya tidak menerima tugas

untuk membunuh cucu Rasul itu. Namun, saran itu tidak meluluhkan hatinya yang sudah dilumuri

ambisi untuk bertahta. Maka, dengan memimpin 4.000 pasukan dia bergerak menuju Karbala. Begitu

tiba di Karbala, mulai adegan-agedan penganiayaan terjadi terhadap Imam Husain beserta

rombongannya. Umar bin Sa'ad bahkan tak segan-segan mencegah mereka untuk mendapatkan seteguk

air minum.12

Hur dan pasukannya bergabung di bawah pasukan pimpinan Umar bin Sa'ad. Umar memerintahkan

seseorang bernama Azrah bin Qais. "Cepat datangi Husain, dan tanyakan kepadanya untuk apa datang

kemeri." Kata Umar. Azrah kebingungan dan malu karena dia termasuk orang yang mengirim surat

kepada Imam Husain as supaya beliau datang ke Kufah.

Umar bin Sa'ad kemudian menyuruh beberapa orang lain untuk bertanya seperti itu, tetapi tak ada

satupun diantara mereka yang bersedia. Mereka keberatan karena mereka juga seperti Azrah bin Qais;

ikut mengundang Imam Husain as tetapi malah berada di barisan pasukan yang memusuhi beliau.

Diriwayatkan bahwa Barir bin Khudair meminta izin Imam Husain as untuk berbicara dengan Umar

bin Sa'ad mengenai penggunaan air sungai ElFrat. Beliau mengizinkannya dan Barir pun pergi

mendatangi Umar bin Sa'ad. Di depan Bin Sa'ad Barir langsung duduk tanpa mengucapkan salam.

Karena itu Umar bin Sa'ad langsung naik pitam.

"Kenapa kamu tidak mengucapkan salam kepadaku? Bukankah aku ini seorang muslim yang mengenal

Allah dan rasul-Nya?" Tegur Ibnu Sa'ad geram.

"Kalau kamu memang seorang Muslim," jawab Barir, "kamu tentu tidak akan keluar untuk memerangi

keluarga nabimu, Muhammad bin Abdullah, untuk membunuh mereka, untuk menawan para anggota

keluarga mereka. Di saat orang-orang Yahudi dan Nasrani bisa menikmati air sungai ElFrat, Husain

putera Fatimah beserta keluarga dan sahabatnya justru terancam maut akibat kehausan karena kamu

mencegah mereka meneguk air sungai tersebut, tetapi di saat yang sama kamu mengaku mengenal

Allah dan rasul-Nya."

Ibnu Sa'ad sejenak menunjukkan kepada kemudian mendongak lagi sambil berkata: "Hai Barir, saya

yakin siapapun akan masuk neraka jika memerangi dan membunuh Husain dan kaum kerabatnya.

Namun, apa yang bisa aku lakukan nanti untuk ambisiku di Ray? Apakah aku akan membiarkannya

jatuh ke tangan orang lain? Demi Allah, hatiku tidak berkenan untuk yang demikian."

Barir kemudian kembali menghadap Imam Husain as dan melaporkan apa yang dikatakan Umar bin

Sa'ad. Imam pun berkomentar: "Dia tidak bisa mencapai kekuasaan di Ray. Dia akan terbunuh di

tempat tidurnya sendiri."13

Pertemuan Imam Husain as Dengan Umar Bin Sa'ad

Demi menuntaskan hujjahnya, Imam Husain as menyampaikan pesan kepada Umar bin Sa'ad bahwa

beliau ingin bertemu dengannya. Umar setuju. Maka, diadakanlah sebuah pertemuan antara keduanya.

Umar bin Sa'ad ditemani 20 orang dari pasukannya sebagaimana Imam Husain as juga ditemani oleh

20 pengikutnya. Namun, di tengah pertemuan ini keduanya memerintahkan semua pengikut masingmasing

itu untuk keluar dari ruang pertemuan kecuali dua orang dari mereka masing-masing. Dari

pihak Imam Husain yang dizinkan untuk terus terlibat dalam pertemuan adalah Abbas dan Ali Akbar

as, sedangkan dari pihak Umar bin Sa'ad yang diperbolehkan tinggal adalah puteranya, Hafs, dan

seorang budaknya.

Dalam pertemuan 6 orang ini terjadi dialog sebagai berikut:

Imam Husain as: "Hai putera Sa'ad, adakah kamu tidak takut kepada Allah, Tuhan yang semua orang

akan kembali kepada-Nya. Kamu berniat memerangiku walaupun kamu tahu aku adalah cucu

Rasulullah, putera Fatimah Azzahra, dan Ali. Hai putera Sa'ad, tinggalkanlah mereka (Yazid dan

pengikutnya) itu, dan kamu lebih baik bergabung denganku karena ini akan mendekatkanmu dengan

Allah."

Umar bin Sa'ad: "Aku takut mereka menghancurkan tempat tinggalku."

Imam Husain as: "Aku akan membangunnya kalau mereka merusaknya."

Umar bin Sa'ad: "Aku takut mereka merampas kebunku."

Imam Husain as: "Kalau mereka merampasnya, aku akan menggantinya dengan yang lebih baik."

Umar bin Sa'ad: "Aku punya keluarga dan sanak famili, aku takut mereka disakiti."

Imam Husain as terdiam dan tak mau menyambung jawaban lagi. Sambil bangkit untuk keluar

meninggalkan ruang pertemuan beliau berucap: "Allah akan membinasakanmu di tempat tidurmu. Aku

berharap kamu tidak akan dapat memakan gandum di Ray kecuali sedikit."

Dengan nada mengejek, Umar bin Sa'ad menjawab: "Kalau aku tidak dapat menyantap gandumnya,

barley-nya sudah cukup bagiku."

"Hai putera Sa'ad, jadi kamu hendak membunuhku dengan harapan dapat berkuasa di Ray dan Jirjan

seperti yang dijanjikan Ibnu Ziyad. Demi Allah kamu tidak akan dapat menggapai ambisimu itu karena

ayahku sudah memberitahuku tentang ini. Lakukan segala apa yang kamu inginkan karena

sepeninggalku di dunia ini nanti kamu tidak akan pernah bahagia lagi. Aku seakan sudah melihat

kepalamu tertancap di ujung tombak dipajang di Kufah. Kepalamu itu dilempari oleh anak-anak kecil."

Imam Husain as kemudian pergi meninggalkan Umar bin Sa'ad tanpa membawa hasil apapun dari

pertemuan tersebut. Umar bin Sa'ad memang dikenal sebagai pria pandir, pengkhianat, dan pendusta.

Sifat-sifat buruk ini antara lain dia perlihatkan dalam surat yang dikirimnya kepada Ibnu Ziyad. Dalam

surat ini dia menyatakan: "Husain telah memutuskan untuk pulang kembali ke negerinya atau jika tidak

dia akan pergi menghadap Yazid untuk menyatakan baiat." Ini jelas satu kebohongan yang dikaitkan

dengan Imam Husain as, dan karenanya beliau berkali-kali menegaskan: "Sesungguhnya si anak zina

(Umar) putera si anak zina itu (Sa'ad) telah menghadapkanku pada dua pilihan, mati atau hidup secara

terhina. Tetapi kehinaan bagiku adalah pantangan. Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang mukmin

dan salih tidak mungkin akan menerima kehinaan dan tidak menganggap kehinaan lebih baik daripada

kematian dengan penuh kehormatan..."14

Setelah membaca surat ini, Ubaidillah bin Ziyad berkata:

"Ini adalah surat seorang pendamba kebaikan dan penyayang untuk kaumnya."15

Akan tetapi, begitu Ibnu Ziyad hendak membalas surat ini, Syimir bin Dzil Jausyan bangkit dan berkata

kepadanya: "Apakah engkau percaya kepada kata-kata Ibnu Sa'ad sementara engkau tahu Husain tidak

menjabat tanganmu untuk menyatakan baiat?" Kata-kata Syimir segera mengubah pandangannya

tentang Ibnu Ziyad. Karena itu dalam surat balasannya dia menuliskan:

"Aku mengirimmu bukan untuk perdamaian, kompromi, dan mengulur urusan. Ketahuilah, jika dia

menuruti perintahku maka kirimkan dia kepadaku sebagai orang yang sudah menyerah. Jika tidak,

maka sikapilah dia dengan kekerasan, perangilah dia, dan jika dia sudah mati letakkan jasad di bawah

injakan kaki-kaki onta...

"Jika ini kamu lakukan, berarti kamu sudah dekat denganku dan aku akan memberimu imbalan yang

besar. Jika tidak maka menyingkirlah kamu dan jabatan panglima perang akan aku serahkan kepada

Syimir."

Surat ini disusul dengan satu surat lagi yang menyatakan:

"Aku sudah mengirimkan pasukan yang cukup untukmu. Kamu harus melaporkan apa yang terjadi

siang dan malam. Husain dan para pengikutnya jangan diberi jalan untuk mendatangi sungat ElFrat.

Jangan biarkan mereka menngambil walaupun setetes."

Pada hari ketujuh bulan Muharram, Ubaidillah bin Ziyad mengirim 500 pasukan berkuda dipimpin

Amr bin Hajjaj untuk memperketat penjagaan sungai ElFrat dari jangkauan Imam Husain as dan para

pengikutnya. Belum cukup dengan itu, Ubaidillah alias Ibnu Ziyad itu mengirim lagi 4000 pasukan ke

Karbala disertai dengan surat untuk Umar bin Sa'ad. Seperti sebelumnya, surat ini menekan Umar

supaya melaksanakan tugasnya sebaik mungkin, jika tidak maka Umar harus menyingkir dan posisinya

akan digantikan Syimir. Namun, kepada Syimir Umar mengatakan: "Aku akan tetap memegang

komando pasukan, dan posisi terhormat ini tidak akan jatuh ke tanganmu. Biarlah kamu tetap

memimpin pasukan pejalan kaki."16

Syimir yang merasa sudah tidak ada lagi waktu untuk berbasa-basi segera menghampiri perkemahan

Imam Husain as kemudian berteriak: "Hai, dimana kalian wahai anak-anak saudara perempuanku?"17

Mendengar suara teriakan manusia keparat itu, Imam Husain as berkata kepada beberapa orang

saudara, termasuk Abu Fadhl Abbas as: "Aku tahu Syimir adalah manusia yang fasik, tetapi karena dia

masih tergolong kerabat kalian, maka jawablah teriakannya." Maka, empat orang yang bersangkutan

pun menjawab: "Apa kamu maukan dari kami?!"

"Kalian adalah anak-anak saudara perempuanku. Kalian saya jamin aman asalkan kalian melepaskan

diri kalian dari Husain dan patuh kepada Amirul Mukminin Yazid bin Muawiah", pekik Syimir.

Abu Fadhl Abbas menjawab: "Apakah kamu akan mengamankanku sedangkan putera Rasul tetap

diberi keamanan?!18 Semoga Allah melaknatmu beserta keamanan yang kamu miliki itu?"

Hari Tasyu'a

Detik-detik masa di padang Karbala terus bergulir. Kamis 9 Muharram Umar bin Sa'ad mendatangi

pasukannya dan berseru: "Wahai lasykar Allah, tunggangilah kuda-kuda kalian! Semoga surga

membahagiakan kalian."19

Pasukan Umar segera mengendarai kuda dan bergerak ke arah daerah perkemahan Imam Husain as.

Saat itu, Imam Husain as sedang dudur tertidur dalam posisi merebahkan kepala di atas lututnya.

Beliau terjaga saat didatangi adindanya, Zainab Al-Kubra as yang panik mendengar suara ribut ringkik

dan derap kaki kuda.

"Kakanda, adakah engkau tidak mendengar suara bising pasukan musuh yang sedang bergerak menuju

kita?!" Seru Zainab as.

Imam Husain as menjawab: "Adikku, aku baru saja bermimpi melihat kakekku Rasalullah, ayahku Ali,

ibundaku Fatimah, dan kakakku Hasan. Mereka berkata kepadaku: 'Hai Husain, sesungguhnya kamu

akan menyusul kami.'20 Rasulullah juga berkata kepadaku: 'Hai puteraku, kamu adalah syahid keluarga

Mustafa, dan semua penghuni langit bergembira menyambut kedatanganmu. Cepatlah datang kemari

karena besok malam kamu harus berbuka puasa bersamaku, dan sekarang para malaikat turun dari

langit untuk menyimpan darahmu dalam botol hijau ini.'"

Mendengar kata-kata Imam Husain ini, Zainab hanyut dalam suasana haru yang amat dalam. Suara

rintih dan tangis keluar dari tenggorokannya yang kering. Keuda telapak tangannya menampar-nampar

wajahnya. Imam Husain as mencoba menghibur adiknya.

"Tenanglah adikku, kamu tidak celaka. Rahmat Allah pasti bersamamu." Ujar Imam Husain as.

Beliau kemudian berkata kepada adik lelakinya, Abbas: "Datangilah kaum itu, dan tanyakan kepada

mereka untuk apa mereka kemari?"

Abbas pun pergi ke arah musuh dan menyampaikan pertanyaan tersebut kepada mereka. Pihak musuh

menjawab: "Sang Amir telah memerintahkan agar kalian patuh kepada perintahnya. Jika tidak maka

kami akan berperang dengan kalian."

Abbas kemudian bergegas lagi menghadap Imam Husain as dan menceritakan apa jawaban musuh.

Imam berkata lagi kepada Abbas: "Adikku, demi engkau aku rela berkorban, datangilah lagi pasukan

musuh itu dan mintalah mereka supaya memberi kami waktu satu malam untuk kami penuhi dengan

munajat, doa, dan istighfar. Dan Allah Maha Mengetahui bahwa aku sangat menyukai solat, membaca

Al Quran, berdoa, dan beristighfar."

Abbas kembali mendatangi pasukan musuh untuk menyampaikan pesan tersebut. Setelah mendengar

permintaan itu, Umar bin Saad berunding dengan orang-orang dekatnya. Sebagian orang ada yang

menolak permintaan Imam Husain tersebut. Namun, Amr bin Hajjaj yang termasuk salah satu pemuka

kaum berkata kepada Umar:

"Subhanallah, seandainya mereka adalah orang-orang kafir Dailam dan mengajukan permintaan seperti

ini, kamu pasti akan memenuhinya!" Umar bin Sa'ad berpikir sejenak kemudian memenuhi permintaan

tersebut. Dia mengirim utusan kepada Imam Husain as. Sesampainya di perkemahan Imam Husain as,

utusan Umar itu berteriak lantang: "Kami beri waktu kalian hingga besok. Jika kalian menyerah, kami

akan memboyong kalian ke hadapan Sang Amir. Jika tidak maka kami tidak akan melepaskan

kalian.”21

Imam Husain as dan Para Pengikut Setianya

Karena Imam Husain as dan rombongannya diberi waktu satu malam, maka pasukan dari masing-masing pihak kembali ke perkemahan masing-masing dengan tenang. Pada malam Asyura itu, adeganadegan

yang semakin memilukan terjadi. Rintih tangis, munajat, doa, pembicaraan, dan puisi-puisi

duka dan perjuangan Ahlul Bait mengiringi putaran detik-detik gulita malam sahara Karbala. Tentang

ini, Imam Ali Zainal Abidin as putera Imam Husain as antara lain berkisah:

"Saat itu aku sedang menderita sakit. Akan tetapi, aku mencoba mendekati ayahku untuk

mendengarkan apa yang beliau katakan kepada para sahabatnya. Aku mendengar beliau berkhutbah

dimana setelah menyampaikan ucapan puji dan syukur kepada Allah, beliau berkata: 'Amma ba'du,

sesungguhnya aku tidak pernah mengetahui adanya sahabat yang lebih setia dan baik daripada sahabatsahabatku,

dan tidak pula mengenal keluarga yang lebih taat dan penyayang daripada keluargaku.

Maka dari itu, Allah akan memberi kalian pahala...22 Aku sudah memastikan bahwa aku tidak akan bisa

selamat dari (kejahatan) orang-orang itu. Sekarang, kalian aku perbolehkan untuk meninggalkan dan

membiarkan aku sendirian melawan orang-orang itu, karena yang mereka inginkan hanyalah

membunuhku."

Tawaran Imam Husain as ini ditolak oleh saudara-saudara, anak-anak, dan segenap anggota keluarga

serta sahabat-sahabat setia beliau. Salah seorang dari mereka mengatakan:

"Untuk apa kami harus meninggalkanmu? Apakah supaya kami hidup sepeninggalmu? Tidak. Semoga

Allah tidak sekali-kali menciptakan hari seperti itu untuk kami. Kami tidak akan berpisah denganmu.

Kami akan mengorbankan jiwa kami untuk membelamu. Kehidupan sepeninggalmu adalah kehidupan

yang buruk di mata Allah."

Imam Husain as kemudian mendoakan mereka semua. Beliau memberi semangat mereka dengan

besarnya kenikmataan di sisi Allah, kejayaan di akhirat. Karenanya, pedihnya hujaman pedang dan

tombak kemudian menjadi sesuatu yang kecil di mata mereka. Sedemikian kecilnya sehingga mereka

bahkan tidak merasakan kepedihan itu. Mereka berlomba bahu membahu untuk menggapai kemuliaan

sebagai seorang yang gugur sebagai syahid membela agama dan keluarga suci Rasulullah saaw.23

Imam Husain as kemudian berkata, "Demi Allah, setelah semua kejadian ini kita alami, masa akan terus berjalan hingga kita semua keluar (hidup lagi) bersama Al-Qaim kita untuk membalas kaum yang

zalim. Kami dan kalian akan menyaksikan rantai, belenggu, dan siksaan-siksaan lain yang membantai

musuh kita."

Seseorang bertanya: "Siapakah AlQaim itu?"

Imam Husain as menjawab, "Dari kami (Ahlul Bait) terdapat dua belas orang Mahdi dimana yang

pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah orang yang (merupakan

generasi) kesembilan dari anak keturunanku dan dialah Imam AlQaim Bilhaq. Dengannyalah Allah

akan menghidupkan bumi ini setelah kematiannya, dengannyalah Allah akan menjayakan agama

kebenaran ini atas seluruh agama lain, walaupun orang-orang musyrik membencinya. Dia (AlQaim)

akan mengalami masa kegaiban dimana sepanjang masa ini sebagian kaum ada yang murtad sementara

yang lain tetap teguh pada agama dan mencintai (AlQaim), dan mereka akan ditanya: 'Kapankah janji

(kebangkitan) ini (akan terpenuhi) jika kalian memang orang-orang yang jujur?' Akan tetapi orang yang

sabar pada masa kegaibannya akan mengalami banyak gangguan dan didustakan. Kedudukan orang itu

sama dengan pejuang yang mengangkat pedang bersama Rasulullah."24

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di alam maknawi Allah SWT menampakkan dosa-dosa

makhluk-Nya. Kemudian, untuk menghapus dosa-dosa ini, Allah bertanya kepada ruh para nabi dan

wali-Nya:

"Siapakah diantara kalian yang siap berkorban dengan jiwa, harta, dan keluarnya agar dosa-dosa ini

terampuni?"

Sang pahlawan terkemuka Karbala menjawab: "Aku siap berkorban dengan semua itu?"

Allah berfirman: "Wahai Husain, apakah kamu siap untuk gugur sebagai syahid dalam keadaan haus

dan lapar?"

Imam Husain as menjawab: "Aku rela untuk itu?"

Allah berfirman: "Kepalamu akan ditancapkan diujung tombak lalu dipertontonkan di kota-kota, di

padang sahara, dan di dalam pertemuan-pertemuan."

Imam Husain as menjawab: "Aku rela."

Allah berfirman: "Jasadmu akan dicincang dan dicampakkan ke tanah tanpa pakaian."

Imam Husain menjawab: "Aku rela."

Allah berfirman: "Para sahabatmu juga harus terbunuh."

Imam Husain menjawab: "Aku pasrah."

Allah berfirman: "Hamba-hambaku (saat itu) adalah para pemudan, dan pemudamu yang berusia 18

tahun akan terbunuh di depan matamu."

Imam Husain tetap pasrah.

Allah berfirman: "Di tengah mereka terdapat kaum wanita, dan keluargamu akan menjadi tawanan

yang terbelenggu dan pertontonkan dari kota ke kota, dari rumah ke rumah, dari lorong ke lorong."

Imam Husain pasrah.

Allah berfirman: "Puteramu dalam keadaan sakit akan terbelenggu dan dipertontonkan di atas onta

dalam keadaan tanpa baju dari lembah ke lembah, dari rumah ke rumah."

Imam Husain pasrah.25

Tentang penebusan dosa ini, orang-orang yang bisa berharap mendapat syafaat dari Imam Husain as

tentu saja orang-orang yang beriman kepada risalah para nabi dan ajaran suci serta mengamalkannya.

Oleh sebab itu, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata:

"Penuhilah seruan para nabi, pasrahlah kepada urusan mereka, dan taatilah mereka niscaya kalian akan

masuk ke dalam syafaat mereka."

Allah berfirman:

يَوْمَئِذٍ لّا تَنفَعُ الشّفَاعَةُ اِلّا مَنْ اَذِنَ لَهُ الرّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً

"Pada hari tidak berguna syafaat kecuali (syafaat) orang yang Allah Allah Maha Pemurah telah

memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya." (QS. Thaahaa:109)

وَكَم مّن مّلَكٍ فِي السّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً اِلّا مِن بَعْدِ اَن يَاْذَنَ اللّهُ لِمَن

يَشَاءُ وَيَرْضَى

"Dan berapa banyak nya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah

Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai-Nya." (QS. An Najm: 26)

وَاَنذِرْهُمْ يَوْمَ الْازِفَةِ اِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ مَا لِلظّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا

شَفِيعٍ يُطَاعُ

"Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai

seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya." (QS. Al Mu'min: 18)

Tentang ini harus diakui bahwa banyak sekali hamba-hamba Allah yang tidak memahami kebenaran

ajaran Ilahi sehingga banyak kehormatan ajaran ini dicemari dengan dosa-dosa mereka. Karena itu jelas

mereka tidak mungkin akan mendapatkan syafa'at.