Dimulainya Perang Tak Seimbang
Pasukan dari pihak yang hak dan pihak yang batil akhirnya bergerak maju dalam posisi frontal. Dari pihak Imam Husain as, nampak wajah-wajah cemerlang dan berbinar seakan tak sabar lagi untuk
berjumpa dengan Yang Maha Kuasa. Mereka siap terbang bahu membahu dan berlomba menuju alam
keabadian di sisi Al-Khalik dengan kepakan sayap-sayap imannya yang lebar. Dengan jiwa yang
membaja mereka siap mengarungi lautan darah membela kehormatan dan cita-cita mulia Al-Husain as,
bintang kejora dari keluarga suci Rasul. Jiwa mereka yang sudah terpatri dalam semangat altruisme
telah siap menyongsong kematian yang suci dan sakral sebelum Imam Husain as sendiri meneguk
puncak kemuliaan derajat syahadah.
Saat bayangan kecamuk perang sudah nampak di depan mata itu, Hur datang mendekati Imam Husain
sambil berkata:
"Hai Putera Rasul, saat Ubaidillah menggiringku untuk memerangimu, dan lalu aku keluar dari Darul
Imarah aku mendengar suara lapat-lapat dari belakang mengatakan: 'Berita gembira tentang kebaikan
untukmu, Hai Hur.' Saat aku berpaling ke belakang, aku tak melihat satu orangpun sehingga aku lantas
berkata dalam hati bahwa demi Allah ini bukanlah berita gembira karena aku akan pergi untuk
memerangi putera Rasul, dan aku tadinya tak pernah berpikir bahwa suatu saat nanti aku akan
bertaubat. Baru sekarang aku menyadari bahwa itu memang berita gembira.
"Hai Husain, aku adalah orang pertama yang berani menghadangmu. Karena itu sekarang perkenankan
aku untuk menjadi orang pertama yang akan berkorban untukmu agar di hari kiamat kelak aku bisa
menjadi orang pertama yang dapat berjabat tangan dengan Rasulullah saww."
Imam Husain as mengizinkan permohonan Hur untuk maju sebagai orang pertama untuk berjihad. Hur
pun maju dengan gagah berani. Saat berhadapan dengan barisan pasukan musuh yang berjumlah besar
itu, dia berteriak lantang:
"Hai orang-orang Kufah, laknat untuk kalian dan ibu yang melahirkan kalian. Kalianlah yang
mengundang hamba salih Allah ini untuk mendatangi kalian tetapi kemudian melupakan begitu saja
janji yang pernah kalian nyatakan. Kalian sekarang malah mengepungnya. Kalian telah menjadikan
bumi Allah yang luas ini sempit baginya sehingga tak ada lagi tempat yang aman bagi dia dan
keluarganya. Kini mereka menderita bagai orang-orang tawanan. Kalian mencegah mereka untuk meneguk air sungai ElFrat sementara kalian membiarkan binatang-binatang liar meminumnya. Betapa
celakanya perangai kalian terhadap anak keturanan Rasul. Di hari kiamat Allah pasti akan membiarkan
kalian tercekik kehausan..."
Kata-kata Hur kembali menyengat telinga pasukan dari Kufah tersebut. Tak tak tahan digedor emosi,
mereka menyerang Hur. Sambil melawan dan mengayun-ayunkan pedangnya Hur berteriak-teriak lagi:
"Rumahku selalu menjadi tempat singgahnya para tamu dan aku tahu adat menghormarti tamu. Namun,
untuk membela para tamu yang lebih mulia daripada para tamu Allah di Makkah dan Mina ini
pedangku tak akan segan-segan membabat siapa saja. Akulah orang yang tumbuh besar di tengah
keluarga pemberani dan aku mewarisi mereka."
Selama melakukan perlawanan dan serangan di tengah pasukan musuh yang mengerubunginya, Hur
sempat melihat anaknya yang juga termasuk satu diantara ribuan pasukan musuh. Hur meminta
puteranya yang bernama Ali itu supaya bertobat, dan usaha Hur itu berhasil sebelum manusia yang
terbebas dari angkara murka ini gugur sebagai syahid.
Dalam riwayat disebutkan bahwa saat melihat anaknya, Hur berkata: "Puteraku, kini sudah tiba saatnya
bagimu untuk mempertontonkan keberanianmu di jalan putera Rasulullah hingga kamu gugur." Katakata
sang ayah segera membuat anaknya sadar. Putera bernama Ali dari keluarga pemberani itu segera
menari-narikan pedangnya untuk membabat siapa saja dari pasukan musuh yang ada di dekatnya. Tak
kurang dari 24 pasukan musuh mati terkapar akibat sabetan pedangnya sebelum dia sendiri kehabisan
tenaga dan gugur dibantai musuh.
Saat menyaksikan anaknya tersungkur ke tanah tanpa nyawa, Hur memanjatkan puji syukur untuk
anaknya: "Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahi-Mu dengan syahadah di sisi putera dari
puteri Rasulullah."
Hur kemudian bergegas lagi menghadapi pasukan musuh. Saat itu dia melihat saudaranya yang
bernama Mash'ab yang bergerak mendekatinya. Pasukan Umar bin Sa'ad segera menduga akan terjadi
duel antara kakak dan adik. Mereka menyoraki keduanya. Namun, ketika berhadapan dengan Hur,
Mash'ab tiba-tiba berkata:
"Aku ucapkan selamat kepadamu yang telah berhasil membebaskan diri dari kesesatan dan
mendapatkan hidayah. Sekarang bawalah aku ke hadapan Imam Husain agar taubatku diterima."
Hur lantas membawanya menghadap Imam Husain dan memperkenalkannya kepada beliau. Mash'ab
pun bertaubat dan masuk ke dalam barisan pengikut Imam Husain as. Umar bin Sa'ad semakin naik
pitam melihat ulah dua orang kakak beradik itu. Dia segera memerintahkan Sofwan bin Handalah,
orang yang dikenal jagoan di Kufah, untuk menghabisi Hur jika Hur menantang duel.
Maka, begitu Hur memacu kudanya ke arena pertempuran, Sofwan segera menghadangnya sambil
berteriak, "Hai Hur, betapa keparatnya perbuatanmu. Kamu berpaling dari khalifah Yazid dan
menyebrang ke kelompok Husain!"
Hur menjawab: "Setahuku kamu adalah lelaki yang pintar, tetapi sekarang aku heran mengapa kamu
sampai mengeluarkan kata-kata seperti ini. Kamu memintaku supaya meninggalkan Husain lalu
memilih bergabung dengan Yazid, si tukang mabuk dan penzina itu?!"
Mendapati jawaban seperti ini, tanpa basa-basi lagi Sofwan menghunus pedang dan mengayunkannya
ke arah tubuh Hur. Namun dengan tangkasnya Hur menangkis ayunan pedang jagoan Kufah itu. Belum
sempat melancarkan serangan lagi, Sofwan tiba-tiba mengerang kesakitan begitu mendapat serangan
balas dari Hur. Ketangkasannya ternyata tak sehebat Hur. Dada Sofwan tertembus tombak yang
dihujamkan Hur. Sofwan sang jagoan itu roboh bersimbah darah.
Tiga saudara Sofwan geram menyaksikan pemandangan itu. Hur segera dikeroyok oleh mereka. Tapi
ketiga orang itu ternyata tak ada artinya di depan kehebatan Hur yang baru saja menjadi komandan
pasukan musuh itu. Tiga-tiganya roboh menyusul Sofwan ke alam baka. Hur kemudian menantang
orang-orang lain untuk duel. Tapi begitu tak seorang pun berani menjawab tantangannya, Hur segera
mendobrak barisan musuh. Barisan itupun cerai-berai dan Hur segera kembali lagi menghadap Imam
Husain dengan wajah ceria setelah berhasil menambah jumlah korban tewas di pihak musuh. Begitulah
seterusnya apa yang dilakukan Hur hingga banyak korban yang berjatuhan akibat sabetan pedang Hur.
Di lain pihak, menyaksikan pasukannya kacau balau diterjang pendekar bernama Hur itu, Umar bin
Sa'ad segera memekikkan suara: "Hujani dia dengan panah. Jangan biarkan dia lolos!"
Hujan panah pun menyerbu tubuh sang pendekar bernama Hur itu. Dia tak kuasa menghalau serangan
selicik itu. Tubuhnya menjadi sarang beberapa anak panah beracun itu. Sebelum tubuhnya roboh, para sahabat Imam Husain as maju menerjang musuh dan sebagian lain membopong Hur yang dalam
keadaan sekarat dan membawa ke hadapan Imam Husain as. Imam kemudian mengusap wajah Hur
sambil berucap:
"Kini telah hur (bebas) sebagaimana nama yang diberikan ibumu untukmu. Kamu hur di dunia dan di
akhirat."42
Hur sang manusia bijak dan pemberani itu kemudian menghembuskan nafas terakhir. Dan kini giliran
Mash'ab, saudara Hur, yang meminta izin kepada Imam Husain as untuk berbuat seperti Hur. Imam
mengizinkan dan Mash'ab pun menantang musuh untuk berduel. Setelah tak seorangpun dari pihak
musuh yang berani berduel, Mash'ab memulai serangannya dengan mengobrak-abrik barisan musuh.
Seperti Hur, Mash'ab juga ahli perang. Pedang Mash'ab berkelebat ke sana kemari dan mengimbas
siapapun yang ada di dekatnya. Korbannya berjatuhan. Namun, apalah artinya seorang Hur dan
Mash'ab di depan lautan pasukan kuffar itu. Tubuh Mash'ab akhirnya menerima tikaman-tikaman
senjata musuh setelah tubuhnya lemas kehabisan tenaga. Mash'ab pun roboh menyusul saudara dan
kemenakannya setelah berusaha menggunakan sisa-sisa tenaganya untuk mendekati junjungannya,
Imam Husain as. Dia mengakhiri kehidupannya di alam fana ini setelah mengucapkan kata-kata:
"Salam atasmu wahai putera Rasul." Imam pun menjawab: "Salam pula atasmu, dan kami akan
menyusulmu."
Setelah itu beliau membacakan ayat suci AlQuran:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مّن
يَنتَظِرُ وَمَا بَدّلُوا تَبْدِيلاً
"Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan
kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang
menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya)." (QS. Al Ahzab: 23)
Gugurnya beberapa orang bekas pasukan musuh itu kemudian disusul dengan terjunnya para sahabat Imam Husain as ke medan pertempuran. Mereka berguguran satu persatu setelah masing-masing
berhasil merenggut ajal beberapa orang dari serdadu musuh. Diantara para sahabat setia itu adalah
Muslim bin Ausajah, pemuda gagah berani yang berhasil membinasakan sejumlah besar pasukan
musuh. Sebelum menemui ajalnya, pemuda ini sempat mengucapkan kata-kata indah kepada
junjungannya, Imam Husain as.
"Wahai Putera Rasul!" Ucap Muslim. "Aku akan pergi untuk memberikan berita gembira kepada kakek
dan ayahmu tentang ketibaanmu." Arwah Muslim bin Ausajah terbang meninggalkan jasadnya yang
fana setelah ucapan itu tuntas. Kematian Muslim itu kebetulan juga disaksikan anaknya. Darah sang
anak mendidih menyaksikan kematian ayahnya dalam keadaan bersimbah darah. Dia segera
menungangi kuda untuk memacunya ke arah pasukan musuh dan melancarkan serangan. Namun,
gerakan itu dicegah oleh Imam Husain as. "Hai pemuda!" Panggil beliau. "Ayahmu telah gugur. Jika
kamu juga gugur, siapakah nanti yang akan melindungi ibumu?"
Putera Muslim lantas bergerak mundur. Namun, tiba-tiba ibu putera Muslim itu mencegahnya sendiri.
"Apakah kamu lebih mementingkan kehidupan di dunia ini daripada kebersamaan dengan Putera
Rasul? Kalau begitu, aku tidak pernah rela kepadamu."
Mendengar kata-kata itu, putera Muslim bin Ausajah segera menarik tali kendali dan memacu kudanya
ke medan pertempuran. Gerakan itu diiringi suara ibunya dari belakang: "Bergembiralah anakku, tak
lama lagi kamu akan meneguk air telaga Al-Kautsar!" Suara ini rupanya menambah semangat putera
Muslim sehingga tarian-tarian pedangnya berhasil memanen nyawa tak kurang dari 30 tentara musuh.
Pemuda itu kemudian tersungkur dalam keadaan penuh luka. Kepalanya kemudian dipenggal dan
dilempar ke dekat ibunya. Sang ibu segera mendekap dan menciuminya di depan beberapa pasang mata
pengikut Imam Husain yang berlinang menyaksikan adegan tragis dan mengharukan itu.
Diriwayatkan pula bahwa saat kecamuk perang berlanjut hingga pertengahan hari Asyura, sahabat
Imam yang bernama Abu Tsamamah Asshaidawi datang mendekati beliau sambil berkata: "Walaupun
aku tahu musuh tidak akan memberi kesempatan, tetapi demi Allah, jangan sampai engkau terbunuh
sebelum aku, wahai Putera Rasul. Walau demikian, aku ingin menghadap Allah dan kini aku ingin
mendirikan solat di belakangmu karena waktu dhuhur telah tiba."
Wajah Imam Husain as menatap ke langit dan berucap: "Kamu telah mengingatkanku kepada solat.
Semoga Allah memasukkanmu ke dalam golongan orang-orang yang solat dan ingat kepada-Nya.
Mintalah kesempatan kepada musuh untuk kita tunaikan solat."
Adalah Habib bin Madhahir yang menyampaikan permintaan Imam Husain itu kepada pihak musuh.
Habib sendiri adalah orang yang pernah hidup menyaksikan Rasul serta termasuk sahabat dekat Imam
Ali as, dan kini dia memendam kesetian yang luar biasa kepada Imam Husain as. Karenanya, dia
termasuk orang yang gigih menyerukan kepada masyarakat kufah agar membaiat Muslim Bin Aqil
yang datang mewakili Imam Husain as.
Dikisahkan bahwa setelah Habib menyampaikan permohonan tersebut, Hisshin bin Tamim, salah
seorang komandan pasukan musuh berteriak: "Hai Husain, solatlah sesuka hatimu, tapi ketahuilah
solatmu itu tidak akan diterima."
Habib menjawab: "Hai si tukang mabok, apa mungkin Allah menerimamu tetapi menolak putera
Rasul?!" Hisshin merasa dihina sehingga naik pitam. Tanpa basa-basi lagi dia segera menyerang Habib.
Habib berusaha menangkis, menghindari serangan, dan membalas serangan sehingga terjadilah duel
satu lawan satu. Setelah duel bertahan beberapa lama, Habib berhasil mengungguli Hisshin. Pentolan
pasukan bejat ini terlempar dari kudanya, tetapi kemudian ditolong dan dilindungi oleh anak buahnya.
Habib lantas menghantamkan pedangnya ke arah beberapa pasukan musuh mengakibatkan sejumlah
orang dari mereka tewas. Namun, saat Habib kecapaian dalam bertahan dan menyerang, hantaman
pedang musuh lolos dari tangkisannya dan langsung mendarat di bagian kepalanya. Habib terjerembab
dari atas kuda. Dalam keadaan lunglai, Habib mencoba bangkit bertahan. Namun, berdirinya Habib
segera disusul dengan ayunan pedang Hisshin yang menghantam kepala Habib lagi. Sahabat setia
Imam Husain as ini roboh dalam kondisi mengenaskan. Tak puas dengan itu, Hisshin datang lagi dan
memenggal kepada Habib hingga terpisah dari jasadnya.
Kejadian ini menimbulkan sedikit percekcokan antara beberapa orang yang mengeroyok Hisshin.
Mereka satu dengan yang lain saling berbangga sebagai orang yang paling berjasa membunuh Habib.
Tetapi mereka kemudian sepakat menyerahkan kepala Habib kepada Hisshin dan menggantungnya ke
leher kuda Hisshin. Kepala manusia mulia dipertontonkan ke sana kemari oleh Hisshin, dan Hisshin
pun mendapat imbalan dari atasannya.
Periwayat juga menceritakan, di medan pertempuran Habib bin Madhahir sempat menyerukan kata-kata lantang kepada musuh :
"Hai manusia-manusia yang paling bejat! Demi Allah, seandainya jumlah balatentara kami setara
dengan jumlah kalian atau setidaknya separoh dari jumlah kalian, niscaya kalian akan lari tungganglanggang."
Kematian Habib bin Madhahir membuat Imam Husain as tak kuasa menahan haru. Wajah beliau
tampak sangat berduka menyaksikan gugurnya pemegang tiang bendera sayap kiri pasukan beliau.
Kepergian Habib ke alam baka diiring kata-kata beliau: "Pahala Allah untukmu, hai Habib! Engkau
adalah manusia penuh keutamaan dimana dalam satu malam engkau menghatamkan AlQuran."
Imam Husain as kemudian memerintahkan Zuhair bin Al-Qain, Said bin Abdullah untuk berbaris di
depan Imam Husain bersama separuh pasukan beliau yang masih tersisa untuk mengawal solat beliau
bersama separuh pasukan dan pengikut Imam Husain as lainnya, karena pasukan musuh nampak tidak
mengizinkan beliau solat.
Kekejaman musuh keluarga Nabi SAWW itu ternyata tak kenal waktu. Said bin Abdullah yang berdiri
tepat di depan Imam Husain as menjadi sasaran beberapa anak panah. Tak urung, pria pemberani ini
gugur setelah menjadi perisai hidup Imam Husain as. Dia roboh tepat di depan mata junjungannya yang
suci itu. "Ya Allah, laknatlah golongan (musuh) itu seperti (laknat-Mu terhadap) kaum 'Aad dan
Tsamud." Ucap Imam Husain as.
Pembantaian terhadap Said hingga gugur itu tidak dilanjutkan musuh sehingga Imam Husain as
melanjutkan solat hingga tuntas. Seusai solat, Imam kembali menyiramkan semangat jihad kepada para
pengikutnya. Beliau antara lain berkata:
"Pintu-pintu surga telah terbuka, angkasanya cerah, buah-buahannya telah matang, istana-istananya
sudah berhias, anak-anak dan para bidadarinya sudah berkumpul. Rasulullah dan para syuhada yang
gugur bersamanya serta ayah dan ibuku sedang menantikan kedatangan kalian. Mereka mengucapkan
selamat kepada kalian. Mereka merindukan kalian.
"Belalah agama kalian! Belalah kehormatan Rasulullah, imam kalian, dan putera dari puteri Nabi
kalian sebab kalian sebenarnya sedang diuji dengan keberadaan kami. Kalian ada di sisi kakek kami
dan kalian akan menjadi manusia mulia di sisi kami. Maka berjihadlah kalian, niscaya Allah akan
membalas kalian dengan kebaikan."
Para sahabat Imam Husain as tak kuasa menahan gejolak dan kobaran semangat sekaligus rasa haru
mendengar kata-kata beliau. Mereka menangis tersedu-sedu, dan sebagian menjerit histeris. Diantara
mereka ada berseru mewakili yang lain.
"Demi Allah." Seru seseorang dari mereka. "Selagi hayat masih di kandung badan, jasad kami siap
menantang hujaman pedang dan serbuan anak panah agar tak seorangpun dapat menyakitimu
sedikitpun, agar kami dapat menjauhkanmu dari barisan musuh yang datang menyerang hingga kami
akhirnya meneguk kematian. Kebaikan yang dicari oleh seseorang hari ini akanlah kekal pada esok
hari..."
Para pahlawan Karbala itu akhirnya terjun ke medan laga dan bahu membahu membela junjungannya
dari kebejatan kaum zalim. Selagi tenaga masih tersisa mereka tak membiarkan siapapun untuk
menjamah kehormatan cucu Rasul itu. Bahkan para pengikut Imam Husain as dari kalangan non- Bani
Hasyim tidak membiarkan seorangpun dari Bani Hasyim yang terjun ke medan laga melawan musuh
sebelum mereka sendiri yang maju. Kehidupan mereka di alam fana ini satu persatu redup. Arwah
mereka terbang susul menyusul.
Zuhair bin AlQain adalah salah satu dari mereka. Selain pemberani, dia juga termasuk salah satu
pemuka kabilahnya. Tak sedikit peperangan yang pernah dialaminya. Karena itu, kepadanyalah Imam
Husain as menyerahkan tongkat komando sayap kanan. Banyak korban dari pihak musuh yang jatuh
bergelimpangan akibat kehebatannya dalam bertempur. Siapapun yang berhadapan dengannya pasti
akan tersungkur. Karena itu tak sembarang orang yang berani berhadapan dengannya kalau tidak ingin
segera dikirimnya ke neraka. Semua pasukan musuh baru berani menghadapinya saat dia sudah tampak
letih menerjang musuh yang terus mengerubunginya. Saat itulah, seseorang dari pihak musuh yang
bernama Katsir bin Abdullah berani menyerangnya. Itupun dengan bantuan temannya, Muhajir bin Us.
Serangan kedua orang inilah yang akhirnya merobohkan Zuhair. Robohnya pendekar beriman ini
diiringi ucapan Imam Husain:
"Allah merahmatimu, hai Zuhair. Pembunuhmu akan mendapat laknat sebagaimana laknat atas orangorang
yang dikutuk menjadi kera dan babi."
Satu lagi diantara pasukan Imam Husain as yang gugur di sahara Karbala yang tandus itu adalah Jaun, lelaki berkulit hitam. Dia adalah budak Abu Dzar yang sudah dibebaskan. Dia adalah termasuk orang
yang meminta sendiri kepada Imam untuk turut serta dalam rombongan beliau dengan resiko apapun,
termasuk berjihad melawan musuh. Menjawab permintaan ini Imam Husain as berkata: "Dulu selagi
sehat kamu selalu bersama kami, dan sekarang terserah kamu kemanapun kamu hendak pergi."
Jaun berkata: "Hai Putera Rasul, dulu aku bersamamu di saat keadaan sedang baik dan
menggembirakan. Kini, apakah adil jika aku membiarkanmu sendirian dalam kesulitan?! Demi Allah,
bau tubuhku tidak sedap, aku lahir dari keturunan yang hina, dan warna kulitku hitam. Namun, apakah
engkau tidak rela jika aku menjadi penghuni surga sehingga aroma tubuhku harum semerbak,
jasmaniku tampak mulia, dan wajahnya putih?! Tidak, demi Allah aku tidak ingin berpisah denganmu
sampai darahku yang kelam ini melebur dengan darahmu."
Dengan restu Imam Husain as di Karbala, bekas budak itu ikut berjuang melawan musuh. Seperti
rekan-rekannya yang lain, dia juga berhasil merenggut nyawa beberapa orang dari balatentara musuh
sebelum tubuhnya yang hitam itu akhirnya menjadi onggokan tanpa nyawa di tanah Karbala. Dia
berhasil menggapai impiannya membela keluarga Rasul untuk kemudian bergabung dengan mereka
sebagai para 'bangsawan' di alam surga.
Demikianlah, para pahlawan pembela Islam dan Ahlul Bait suci itu berguguran satu persatu. Darahnya
telah menyiramkan cahaya spiritual yang terang benderang di bumi Karbala, bumi duka nestapa. Jasadjasad
mereka yang fana memang sudah tergolek tanpa nyawa seperti yang diharapkan musuh. Namun,
jejak-jejak spiritual mereka akan tetap abadi dan tidak akan pernah sirna untuk selamanya.