Banjir Darah Hari Asyura
Untuk sementara kalangan, hari Asyura saat itu adalah hari jihad, pengorbanan, dan perjuangan
menegakkan kebenaran. Namun, untuk kalangan lain, hari itu adalah hari pesta darah, hari perang, dan
hari penumpahan ambisi-ambisi duniawi. Akibatnya, terjadilah banjir darah para pahlawan Karbala
yang terdiri anak keturunan Rasul dan para pecintanya.
Hari itu tanah Karbala sedang diguyur sengatan terik mentari yang mengeringkan tenggorokan para
pahlawan Karbala. Hari itu, para pejuang Islam sejati itu satu persatu bergelimpangan meninggalkan
sanjungan sejatinya, Husain putera Fatimah binti Muhammad SAWW. Bintang kejora Ahlul Bait Rasul
ini akhirnya menatap pemandangan sekelilingnya. Wajah-wajah setia pecinta keluarga suci Nabi itu sudah tiada. Dari para pejuang gagah berani itu yang ada hanyalah onggokan jasad tanpa nyawa. Putera
Amirul Mukminin sejati itu melantunkan kata mutiaranya:
"Akulah putera Ali dari Bani Hasyim, dan cukuplah kiranya ini menjadi kebanggaan bagiku. Fatimah
adalah ibundaku, dan Muhammad adalah kakekku. Dengan perantara kamilah Allah menunjukkan
kebenaran dari kesesatan. Kamilah pelita-pelita Allah yang menerangi muka bumi. Kamilah pemilik
telaga Al-Kautsar yang akan memberi minum para pecinta kami dengan cawan-cawan Rasul. Tak
seorangpun dapat mengingkari kedudukan kami ini.
"Para pengikut kami adalah umat yang paling mulia di tengah makhluk, dan musuh-musuh kami adalah
orang paling rugi pada hari kiamat. Beruntunglah hamba-hamba yang dapat berkunjung kepada kami di
surga setelah kematian, surga yang keindahannya tak kunjung habis untuk disifati."
Hari Asyura adalah hari pementasan duka nestapa Ahlul Bait Rasul, hari rintihan sunyi putera Fatimah,
hari keterasingan putera Azzahra, hari kehausan dan jerit tangis anak keturunan Nabi. "Adakah sang
penolong yang akan menolong kami? Adakah sang pelindung yang akan melindungi kami? Adakah
sang pembela yang akan menjaga kehormatan Rasulullah?" Pinta putera Ali bin Abi Thalib as itu
kepada umat kakeknya, Muhammad SAWW.
Rintih pinta cucu Rasul itu tak dijawab kecuali oleh beberapa pemuda Bani Hasyim yaitu keluarga,
kaum kerabat dan pengikut beliau yang masih tersisa. Diantara mereka adalah Ali Akbar, putera beliau
sendiri. Ali Akbar meminta izin sang ayah untuk maju melawan musuh. Sang ayah mendapati wajah
anaknya itu dibinari cahaya spiritual yang amat cemerlang, mengingatkan beliau pada wajah Rasul.
Wajah memohon itu direstui tatapan bisu sang ayah. Hanya linangan air mata dan tak sepatah katapun
terucap sebagai kata perpisahan untuk pemuda ksatria itu di alam fana. Demi tujuan sebuah yang
agung, Imam Husain as itu harus rela mengorbankan jiwa dan raga putera yang sangat dikasihinya.
Demikianlah, Imam Husain as akhirnya mempersembahkan putera tercintanya, Ali Akbar, sebagai
pejuang pertama Bani Hasyim di Karbala. Dalam pertempurannya, Ali Akbar selalu beliau perhatikan dengan seksama dan penuh ketabahan. Dalam keadaan berlinang air mata, imam Husain as berucap:
"Ya Allah, saksikanlah seorang remaja yang paras, perangai, dan tutur katanya paling menyerupai
rasul-Mu kini telah tampil berjuang melawan kaum itu. Kepada wajah remaha inilah kami memandang
jika kami sedang merindukan rasul-Mu."
Imam Husain as kemudian berseru kepada Umar bin Sa'ad, "Hai putera Sa'ad semoga Allah
memutuskan hubungan kekeluargaanmu sebagaimana kamu telah memutuskan hubungan
kekeluargaanku."
Ali Akbar bin Husain as sudah ada di medan laga. Tanpa di duga pasukan musuh, mereka tercengang
menyaksikan kepiawaian Ali Akbar dalam berperang. Gerakan dan ketangkasannya dalam bertempur
mengingatkan mereka kepada Haidar Al-Karrar alias Ali bin Abi Thalib as yang tenar dengan Singa
Allah. Tak sedikit pasukan musuh yang mati menjadi mangsa sambaran pedang Ali Akbar. Namun,
saat tenaganya sudah terkuras dan jumlah musuh seakan tak berkurang, Ali Akbar sempat mendatangi
sang ayah dan berkata: "Ayah, aku tercekik kehausan sehingga (senjata) besipun kini
memberatkanku..."
Imam Husain as menjawab: "Tabahkan dirimu, hai puteraku tercinta. Sesungguhnya Rasulullah tak
lama lagi akan memberimu minum yang akan membuatmu tidak akan pernah lagi merasa kehausan."
Remaja berhati baja itu akhirnya kembali lagi ke medan laga. Namun, keadaannya yang sudah nyaris
tanpa daya itu segera dimanfaatkan musuh untuk menghabisi riwayatnya. Maka dari itu, kedatangannya
disambut dengan hantaman pedang tepat mengena di bagian atas kepala Ali Akbar. Darahnya yang
mengucur segera disusul dengan sambaran anak panah yang menusuk tubuhnya secara bertubi-tubi.
Dalam kondisi fisik yang mengenaskan itu, bibir Ali Akbar mengucapkan kata-kata yang dimaksudkan
kepada ayahnya:
"Sekarang aku sudah melihat kakekku yang sedang membawa cawan yang beliau persiapkan
untukmu."
Ali Akbar lalu tergolek di atas kudanya yang berputar-putar ke sana kemari setelah kehilangan kendali
di tengah riuhnya suasana perang. Tubuhnya yang sudah mengenaskan itu masih sempat dihantam senjata dan dipanah lagi saat kuda yang tak terkendali itu bergerak di sekitar pasukan musuh. Di saatsaat
itulah, sambil memanfaatkan sisa-sisa tenaga dan nafasnya, Ali Akbar berucap lagi:
"salam atasmu wahai ayahku, sekarang aku sudah menyaksikan kakekku Rasulullah. Beliau
menyampaikan salam kepadamu dan bersabda: 'Cepatlah datang kepada kami!'"
Kata-kata yang didengar Imam Husain as ini segera disambut dengan kata-kata lantang beliau: "Allah
akan membinasakan kaum yang telah membunuhmu!"
"Hai orang-orang Kufah, aku berharap mata kalian kelak akan dipedihkan oleh tangisan, dada kalian
akan dibebani rintihan untuk selamanya, dan Allah tidak memberkati kalian, dan Dia akan mencerai
beraikan kumpulan kalian."
Setelah memekikkan kutukan ini, Imam Husain as maju sendiri ke medan perang menerobos dan
membubarkan barisan depan musuh. Beliau mendekati kuda Ali Akbar dan menggiringnya ke tempat
yang aman lalu menurunkan tubuh penuh luka dan bermandi darah puteranya itu dari kuda. Tubuh suci
direbahkan dalam pelukan hangat beliau. Di situ dada Ali Akbar ternyata masih bergerak. Setelah
kelopak matanya terbuka perlahan, bibirnya berucap:
"Ayahku yang mulia, aku sudah melihat pintu-pintu langit terbuka, para bidadari di surga sedang
berkumpul sambil membawa cawan-cawan minuman dan memanggil-manggil diriku. Sekarang aku
akan pergi ke sana dan membinarkan wajah mereka yang merindukan kedatanganku itu..."
Ruh Ali Akbar melayang setelah jasadnya menghembus nafas terakhir. Kepergiannya ke alam
keabadian diantar ayahandanya yang mulia itu dengan kata-kata:
"Adalah sesuatu yang berat bagi kakekmu, pamanmu, dan ayahmu untuk tidak memenuhi
permohonanmu.
Imam Husain as membawa jasadnya yang penuh luka bacokan dan menjadi sarang anak panah itu ke
arah perkemahan. Hazrat Zainab segera keluar dari dalam tenda dan menyambut jasad itu dengan jerit
tangis dan ratapan. Jasad itu dipeluknya erat sambil meratap: "Oh kemenakanku. Oh putera kesayanganku." Imam Husain as mengantarkan adiknya itu ke dalam kemah orang-orang perempuan lagi
lalu kembali memeluk jasad Ali Akbar sambil berucap:
"Puteraku, engkau sudah beristirahat dari kegundahan dan kegetiran hidup di dunia. Kini tinggallah
ayahmu seorang diri."
Imam Husain as lantas memerintahkan para pemuda Bani Hasyim untuk membawa jasad suci yang
tercabik-cabik itu ke dalam tenda tempat jasad para syuhada dikumpulkan. Jasad putera kesayangan
Imam itu diusung diiringi dengan kata-kata beliau berkali-kali: "Innaa lillaahi wa innaa ilahi raaji'uun."
Dengan hati pilu putera Ali bin Abi Thalib as ini berkata dengan nada tinggi kepada Umar bin Sa'ad:
"Tahukah kamu apa yang akan terjadi nanti denganmu? Allah pasti akan membinasakan keluarga dan
keturunanmu sebagaimana kamu membinasakan keluargaku, sebagaimana kamu tidak mengindahkan
kekerabatanku dengan Rasulullah. Allah tidak akan memberkahimu. Allah akan menguasakan atasmu
seseorang yang akan memenggal kepalamu di atas tempat tidurmu!"
Satu lagi diantara ksatria Karbala dari kerabat Rasul yang berdiri teguh melawan badai bencana dengan
segala jiwa dan raga ialah Abdullah bin Muslim bin Aqil. Dia termasuk prajurit yang meminta sendiri
kepada Imam Husain as untuk angkat pedang melawan musuh. Imam menjawab:
"Masih belum lama ayahmu Muslim gugur sebagai syahid. Aku akan mengizinkanmu berperang jika
kamu membawa ibumu yang sudah tua itu keluar dari suasana pertempuran ini."
Abdullah bin Muslim menjawab, "Ibuku pasti siap berkorban untukmu, dan aku sendiri bukanlah orang
yang mengutamakan kehidupan di dunia daripada kehidupan yang abadi di akhirat. Aku memohon
restumu untuk mengorban jiwaku di jalanmu."
Sang Imam suci dan agung itupun kemudian merestuinya. Maka, dengan jiwa yang besar dan tak kenal
kata gentar, Abdullah maju ke medan laga dengan tatapan yang tajam ke arah musuh yang bergerombol
bak srigala kelaparan. Di tengah kerumunan manusia-manusia srigala padang pasir itu, Abdullah bin
Muslim mengamuk bak singa sahara. Pedangnya berkelebat-kelebat memangkas nyawa manusiamanusia
tak berperasaan dari Kufah itu. Beberapa serdadu bergelimpang diterjang keperkasaan
Abdullah yang mewarisi darah kependekaran ayahnya, sebelum kemudian dia sendiri tak berdaya melawan prajurit iblis yang menyemut itu. Putera Muslim bin Aqil ini gugur di tangan Amr bin Sabih
Assaidawi dan Asad bin Malik.
Berakhirnya legenda kependekaran Abdullah disusul dengan tampilnya satu lagi putera Muslim,
Muhammad. Sebagaimana Abdullah, Muhammad juga meneguk manisnya derajat syahadah di bumi
gersang Karbala itu.
Dikisahkan pula dalam sejarah bahwa di hari yang paling na'as untuk anak keturunan dan kerabat suci
Rasul itu, Hazrat Zainab Al-Kubra as sempat mengenakan baju baru kepada kedua puteranya,
Muhammad dan 'Aun, sebelum kemudian menyerahkan pedang kepada mereka sambil menahan jerit
hati yang pilu di dalam hati. Dengan linangan air mata, wanita suci, pemberani, dan mulia ini meminta
restu kepada kakaknya supaya kedua puteranya itu ikut mempersembahkan jiwa dan raganya di jalan
Allah. Imam Husain as tadinya masih ingin menahan keberadaan kedua putera itu. Namun, keinginan
itu luluh setelah Hazrat Zainab tetap mendesak beliau supaya mengizinkan kepergian mereka. Imam
lantas merestui kepergian kedua kemenakan yang dikasihinya itu.
Yang maju terlebih dahulu adalah Muhammad bin Abdullah bin Jakfar. Seperti syuhada sebelumnya,
Muhammad jatuh dan gugur setelah menghabisi ajal sejumlah serdadu musuh. Setelah itu baru
menyusullah 'Aun bin Abdullah bin Jakfar. Dalam keadaan bertahan dan menyerang pasukan musuh,
dia mencoba mendekati jasad saudaranya yang sudah tak bernyawa itu lalu berkata: "Saudaraku,
nantikan aku yang tak lama lagi akan menyusulmu."
Benar, tak setelah itu 'Aun menyusul kepergian saudaranya ke alam keabadian setelah tubuhnya
mendapat serangan telak dari seseorang Abdullah bin Qathanah. Arwah kedua putera Hazrat Zainab itu
terbang tinggi bak dua merpati menuju kerimbunan taman-taman surgawi.
Diriwayatkan pula bahwa dua kakak beradik dari putera-putera Muslim bin Aqil juga tampil ke medan
laga. Mereka adalah Abdurrahman bin Aqil dan Jakfar bin Aqil. Kedua tampil untuk
mempersembahkan jiwa dan raganya di jalan yang hak. Keduanya kemudian disusul lagi oleh
Muhammad bin Abi Said bin Aqil yang juga tampil dengan langkah mantap untuk menerjang pasukan
iblis hingga titik darah penghabisan, titik darah yang terukir abadi dalam prasasti sejarah heroisme dan
duka nestapa perjuangan Ahlul Bait Nabi demi tegaknya agama Muhammad SAWW.
Musibah Hazrat Qasim as
Pada malam Asyura Imam Husain as telah memberitahu para sahabatnya bahwa mereka besok akan
syahid. "Kalian semua besok akan terbunuh." Ujar beliau. Saat itu, Qasim bin Hasan bin Ali as,
seorang remaja rupawan datang menghadap Imam Husain as.
"Paman," Panggil putera Imam Hasan as itu, "apakah aku juga akan terbunuh?" Pertanyaan ini
membuat sang Imam terharu dan segera memeluk erat kemenakannya itu lalu bertanya:
"Bagaimanakah menurutmu kematian itu?"
Anak yang baru beranjak usia remaja itu menjawab: "Kematian bagiku adalah lebih manis daripada
madu."
Mendengar jawaban ini, Imam segera memberitahu: "Kamu akan terbunuh setelah terjadi
bencana besar, dan bahkan Ali Asghar pun juga aka terbunuh."
Pada hari Asyura, saat sudah mempersiapkan diri untuk berperang, Qasim pergi menghadap pamannya
untuk mengajukan sebuah permohonan. "Paman, izin aku untuk ikut berperang." Pintanya. Namun
Imam menjawab: "Kamu bagiku adalah cindera mata dari kakakku
, maka bagaimana aku dapat
merelakan kematianmu?"
Sikap Imam Husain as ini tidak memudarkan semangat Qasim. Dia tetap memohon lagi agar beliau
membiarkannya bertempur melawan musuh. Namun Imam tetap menahan kepergian Qasim. Remaja
tampan ini bersedih lalu terduduk seorang diri sambil berenung penuh duka cita. Di saat itu tiba-tiba
dia teringat pada pesan ayahnya dulu, Imam Hasan as. Saat masih hidup, kepada Qasim Imam Hasan
pernah berpesan: "Jika nanti suatu penderitaan sedang menimpamu, maka bukalah catatan yang kamu
ikatkan dilenganmu, lalu bacalah dan amalkanlah."
Qasim kemudian berpikir-pikir lagi tentang musibah sedemikian besar yang belum pernah dia alami
sebelumnya. Dari situ dia lantas merasa bahwa sekarang inilah saatnya dia membaca surat wasiat itu.
Surat itu dibukanya dan disitu dia mendapatkan pesan ayahnya yang mengatakan:
"Hai Qasim, aku berpesan kepadamu bahwa jika kamu mendapati pamanmu Husain di Karbala dalam
keadaan terasing dan kerumuni oleh musuh, maka janganlah kamu tinggalkan jihad, dan jangan sampai kamu enggan mengorbankan jiwamu deminya."
Qasim lalu membawa pesan tertulis itu kepada Imam Husain as. Imam Husain as terharu dan tiba
menangis begitu menyaksikan ciri khas tulisan kangan kakak yang amat dicintainya itu, lalu berkata
kepada Qasim:
"Jika ayahmu telah berwasiat demikian kepadamu, maka saudaraku Hasan itu juga pernah berwasiat
suatu hal kepada sehingga akupun sekarang harus menikahkan puteriku Fatimah denganmu." Imam
meraih tangan Qasim dan membawanya ke dalam tenda. Beliau bertanya kepada semua orang dan para
pemuda yang ada di sekitarnya: "Adakah pakaian bagus untuk aku kenakan kepada Qasim?" Semua
orang menjawab tidak.
Imam lalu meminta adiknya, Hazrat Zainab, supaya mengambilkan beberapa potong pakaian
peninggalan Imam Hasan as dari sebuah peti. Setelah pakaian itu didatangkan, beliau mengenakan
serban dan gamis Imam Hasan itu kepada Qasim lalu mengakad nikahkan Fatimah dengannya. Begitu
selesai, Imam berujar kepada Qasim: "Hai puteraku, adakah sekarang kamu siap melangkah menuju
kematian?"
Qasim menjawab: "Entahlah paman, bagaimana aku harus pergi meninggalkanmu seorang diri tanpa
pelindung dan kawan diantara sekian banyak musuh. Yang pasti, jiwaku jiwaku siap berkorban untuk
jiwamu, diriku siap melindungi dirimu."
Setelah kembali mengajukan permohonan dengan amat sanga untuk berperang, Imam Husain as
akhirnya rela melepaskan Qasim berperang melawan musuh. Beliau menyobek serbannya menjadi dua
potong, satu untuk beliau pakai lagi untuk serban, selebihnya beliau kenakan dalam bentuk kain kafan.
Setelah menyerahkan sebilah pedang kepada Qasim, Imampun melepaskan kepergiannya ke arah
musuh yang tak sabar menanti korban-korban suci selanjutnya.
Di medan pertempuran, Qasim sang remaja suci itu menyorot tajam mata Umar bin Sa'ad kemudian
menumbuknya dengan kata-kata: "Hai Umar, masihkan kamu tidak takut kepada Allah?! Apakah kamu
tetap saja mengabaikan hak Rasulullah?! Lantas bagaimana kamu bisa mengaku sebagai seorang Muslim sementara kamu memblokir sungai Elfrat agar putera dan Ahlul Bait Rasul yang berteriakteriak
kehausan itu tidak dapat meneguk airnya?!"
Dengan angkuhnya Umar bin Sa'ad menjawab: "Aku hanya akan membiarkan kalian meminumnya
airnya jika kalian menanggalkan sikap takabur kalian."
"Oh tidak, terima kasih, (kami tidak akan meminumnya)." Sergah Qasim.
Saat menatap wajah-wajah musuh yang berjajar di depannya, putera Imam Hasan as itu sempat
mengucapkan sebuah syair tentang jiwanya yang sudah membaja dan kenal kata gentar itu. Syair itu
berbunyi:
"Jika kalian belum mengenalku, maka ketahuilah bahwa akulah putera AlHasan, cucu Nabi Al-
Mustafa, manusia kepercayaan (Allah). Dan ini adalah Husain yang sedang menderita bagai tawanan
yang disandera di tengah orang-orang."
Meski usianya masih beliau, Qasim akhirnya mementaskan kehebatan ilmu perang yang dikuasainya di
atas gelanggang sejarah heroisme Karbala. Sejumlah musuh jatuh bergelimpangan setelah menikmati
kerasnya sabetan pedang Qasim.
Syaikh Mufid ra dalam kitabnya, Al-Irsyad, meriwayatkan dari Hamid bin Muslim yang berkata:
"Saat itu aku berada di tengah pasukan Ibnu Sa'ad. Aku menyaksikan seorang remaja belia yang
wajahnya sangat rupawan dan bersinar bagai purnama. Dia mengenakan pakaian dan izar (semacam
sarung). Kakinya mengenakan sepasang sendal yang tali satu diantaranya sudah terputus. Menyaksikan
remaja itu, Amr bin Sa'ad Al-Izadi berkata: ' Demi Allah, aku memperlakukannya dengan kasar dan
membunuhnya.'
"Aku berseru: 'Subhanallah! Kehendak macam apakah yang kamu katakan ini?! Orang sebanyak itu
dan kini sedang mengelilinginya itu sudah cukup untuk membantainya. Lantas untuk apa kamu mau
ikut-ikutan menghabisinya?!'
"Saat aku masih berpikir demikian, seekor kuda tiba-tiba menerjang kemudian disusul dengan
hantaman pedang yang mengena bagian kepala anak yang sedang teraniaya itu. Kepalanya terkoyak sehingga Qasim tersungkur ke tanah dan berteriak: 'Oh paman, aku haus, aku dahaga. Beri aku seteguk
air minum!'
"Hazrat Husain bin Ali dari jauh mencoba memberinya semangat dan ketabahan hati, sementara
pasukan musuh terus mengerubungi sambil menganiayanya secara bertubi-tubi. Saat mereka hendak
memenggal kepalanya, remaja belia itu merintih dan meminta diberi kesempatan untuk mengucapkan
suatu wasiat kepada seseorang. Namun, saat dia tidak melihat siapapun di dekatnya kecuali kuda
tunggangannya. Maka, ditujukan kepada kudanya itu dia berkata: "Katakanlah kepada puteri pamanku,
sesungguhnya aku terbunuh dalam keadaan dahaga seorang diri. Maka, jika kamu meminum air,
ingatlah aku dan ratapilah aku, dan jika (di sini) kamu hendak mewarnai kukumu dengan sesuatu,
maka warnailah dengan darahku."
Dalam keadaan tak berdaya itu, Qasim dipenggal oleh musuh. Kepalanya terpisah dari badan.
Menyaksikan pemandangan sedemikian biadab itu, Imam Husain as segera menerjang barisan pasukan
musuh. Bagaikan elang yang menukik dari angkasa saat memburu mangsa, Imam Husain as menerobos
gerombolan musuh dan mengincar manusia liar yang telah memenggal kepada kepala Qasim. Begitu
manusia biadab berama Amr bin Sa'ad itu terlihat di depan beliau, Imam Husain as segera
membabatkan pedangnya ke arah Amr. Amr pun mengerang kesakitan begitu melihat tangannya sudah
terpisah dari pangkal lengannya akibat sabetan pedang Imam Husain as. Namun, tanpa ampun lagi,
diiringi gelegar suara Imam Husain as yang menggetarkan nyali pasukan musuh yang ada di sekitarnya,
Amr bin Sa'ad mendapat serangan kedua kalinya dari pedang Imam. Manusia sadis terhempas dari
kudanya. Dalam keadaan bermandi darah diapun sekarat dan mati.
Debu yang beterbangan pun reda. Di saat musuh tercengang, Imam mendekati dan meraih kepala
Qasim dan memeluknya jasadnya yang tak bernyawa itu. Imam berucap: "Demi Allah, adalah sesuatu
yang tidak mungkin bagi pamanmu untuk tidak memenuhi panggilanmu jika kamu memanggilnya, atau
memenuhinya tetapi tidak berguna untukmu."
Hai Puteraku, orang-orang kafir telah membunuhmu.
Mereka tidak tahu siapa kamu, ayahmu dan kakekmu."
Gugurnya Qasim di medan jihad tak urung disambut dengan jerit tangis histeris isteri yang baru saja
dinikahinya. Ratapan histeris juga datang dari ibu Qasim. Mereka melumuri wajah mereka dengan
darah suci Qasim sambil menangis tanpa henti hingga kemudian dengan hati pilu Imam Husain as
meminta mereka untuk tabah didepan cobaan yang amat besar ini. Beliau kemudian membawa jenazah
suci Qasim ke dalam tenda yang khusus untuk dibaringkan di sisi jenazah para syuhada sebelum
Qasim. Dengan wajah yang tak dapat membendung luapan duka, beliau menatap ke arah langit dan
berucap:
"Ya Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa, Engkau tahu bahwa orang-orang (Kufah) itu telah
mengundangku untuk mendukungku. Namun sekarang mereka telah melepaskan tangan dariku
kemudian menjabat tangan musuhku. Mereka membantu musuh dan bangkit memerangiku. Ya Allah
Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, binasakanlah mereka, ceri beraikan mereka hingga tidak ada
lagi satupun diantara mereka yang tersisa.
"Laknat Allah atas para pembunuh kalian (para syuhada)."
Di Karbala, saat putera-putera ksatria Ali bin Abi Thalib as tidak tersisa lagi kecuali Imam Husain as
dan Abu Fadl Abbas, Abbas datang menghampiri kakaknya, Imam Husain as dan berkata:"
"Terbunuhya para sahabat dan kerabatku kini telah membuatku tak kuasa lagi menahan rasa sabar.
Maka izinkan aku untuk membalas darah mereka."
"Saudara-saudara Imam Husain as yang sudah maju ke depan dan membawa bendera perlawanan
sebelum Abbbas ialah Abdullah, Jakfar, dan Ustman. Mereka sudah gugur mendahului Abbas hingga
akhirnya tibalah giliran Abbas sendiri untuk melakukan perlawanan di atas pentas peperangan yang
sebenarnya lebih merupakan panggung pembantaian itu.
Musibah Hazrat Abu Fadhl Abbas as
Dalam riwayat disebutkan bahwa Abu Fadhl Abbas
as adalah pria yang berperawakan tinggi, tegap,
dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya Fisik Abbas sehingga adik Imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan “Purnama Bani Hasyim” (Qamar
bani Hasyim).
Dalam sejarah Abbas juga dikenal sebagai pemegang panji Karbala. Keberanian, kehebatan, dan
kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. Sebagai manusia yang tumbuh besar di tengah
binaan keluarga suci dan mulia, dia memiliki keteguhan dan kesetiaan yang luar biasa kepada
kepemimpinan dalam untaian figur-figur utama Ahlul Bait as. Perjuangan di Karbala telah
menyematkan namanya dalam sejarah keislaman dan Ahlul Bait Rasul sebagai salah satu pahlawan
yang sangat legendaris.
Tentang ini Imam Ali Zainal Abidin Assajjad as berkata, "Sesungguhnya di sisi Allah Abbas memiliki
kedudukan (sedemikian tinggi) sehingga seluruh para syuhada cemburu menyaksikannya pada hari
kiamat."
Imam Assajad as dalam doanya untuk Abbas as juga berucap, "Ya Allah, rahmatilah pamanku, Abbas.
Sesungguhnya dia telah mengorbankan jiwanya untuk saudaranya."
Dalam peperangan kedua tangannya telah dipotong oleh musuh sehingga Allah menggantinya dengan
sepasang sayap untuk terbang dengan para malaikat di alam surga. Di sisi Allah dia memiliki
kedudukan yang sangat agung sehingga membuat para sahabat cemburu melihatnya.
Sang Purnama Bani Hasyim adalah pria dewasa yang perasaannya dikenal sangat peka. Perasaannya
sangat tersayat menakala dia mendengar ratapan kehausan dan tumpahnya darah para pahlawan
Karbala. Saat itulah dia semakin merasakan tidak ada gunanya hidup bila tidak dia gunakan untuk
berjihad membela junjungan dan pemimpinnya, Imam Husain as. Namun, selama terjadi peperangan
yang menggugurkan satu persatu dari sahabat dan kerabatnya, yang bisa dia nantikan hanyalah menanti
instruksi Sang Imam. Dan saat dia mendapat instruksi itu, banyak diantara pasukan musuh yang harus
bergelimpangan ditangannya untuk kemudian dia kirim ke neraka jahannam dengan harapan dapat
membalas kebejatan para musuh itu dengan sekuat tenaga.
Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang dia ucapkan kepada
beliau adalah: "Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan aku?" Pernyataan Sang Purnama ini membuat hati Sang Imam luluh sehingga menangis tersedu dan berkata: "Adikku, engkau adalah pengibar
panjiku dan lambang pasukanku."
Beliau juga mengatakan: "Engkaulah pemegang panjiku, namun
cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak itu."
Hazrat Abbas as lantas mendatangi kelompok Bani Umayyah dan mencoba menasihati mereka kendati
Abbas tahu bahwa itu tidak akan mereka dengar. Setelah terbukti nasihat itu sia-sia, dia kembali
menghadap Imam Husain as dan mendengar jerit tangis anak-anak kecil yang kehausan meminta
dibawakan air. Hati Abbas merintih. Sambil menatap langit, bibirnya berucap:
"Tuhanku, Junjunganku, aku berharap dapat memenuhi janjiku, aku akan membawakan satu girbah air
untuk anak-anak itu."
Abbas kemudian meraih tombak dan memacu kudanya sambil membawa girbah (kantung air dari kulit)
menuju sungai Elfrat yang seluruh tepi dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu Abbas
tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh itu segera mengepungnya sambil memasang anak panah ke
busurnya ke arah adik Imam Husain as tersebut. Pemandangan seperti itu tak membuatnya gentar.
Begitu beberapa anak panah melesat, Abbas segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh.
Sekali terjang, pedang Abbas berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemanapun kuda Abbas
bergerak, gerombalan musuh bubar dan porak poranda. Akibatnya, penjagaan sungai ElFrat yang
berlapis-lapis akhirnya jebol diterjang pendekar Abbas.
Sambil menahan letih dan rasa haus yang mencekiknya, Abbas turun ke sungai dengan kudanya. Mulamula
dia berusaha cepat-cepat mengisi girbahnya dengan air. Setelah itu dia meraih air dengan telapak
tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air itu menyentuh bibirnya, Abbas teringat
kepada Imam Husain as dan kerabatnya yang sedang kehausan menantikan kedatangannya. Air di
telapak tangannya langsung dia tumpahkan lagi sambil berucap:
"Demi Allah aku tidak akan meneguk air sementara junjunganku Husain sedang kehausan."
Hazrat Abbas as kemudian berusaha kembali dengan menempuh jalur lain melalui tanah yang
ditumbuhi pohon-pohon kurma agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam. Namun,
perjalanan Abbas tetap dihadang musuh. Dia tidak diperkenankan membawa air itu kepada Ahlul Nabi
tersebut. Kali ini pasukan Umar bin Sa'ad semakin garang. Abbas dikepung lagi. Pasukan yang
menghadang di depannya adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan sekian banyak anak
panah untuk mencabik-cabik tubuhnya. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam beracun
itu, dengan tangkasnya pedang Abbas menyambar musuh ada di depannya. Sejurus kemudian
kepungan musuh kembali porak-poranda diobrak-abrik Abbas.
Menyaksikan kehebatan Abbas yang tidak bisa dipatahkan dengan berhadapan langsung itu, beberapa
pasukan penunggang kuda ahli diperintahkan untuk bekerjasama menghabisi Abbas dengan cara
menyelinap dan bersembunyi di balik pepohonan kurma. Saat Abbas lewat, dua pasukan musuh
bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon segera muncul
sambil menghantamkan pedangnya ke tangan Abbas. Tanpa ampun lagi, tangan kanan Abbas putus dan
terpisah dari tubuhnya. Tangan kirinya segera menyambar girbah air dan pedangnya. Dengan satu
tangan dan sisa-sisa tenaga itu, Abbas masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga tewas.
Saat itu dia sempat berucap, "Demi Allah, walaupun tangan kananku telah kalian potong aku tetap akan
membela agamaku, membela Imam yang jujur, penuh keyakinan, dan cucu Nabi yang suci dan
terpercaya."
Hazrat Abbas as tetap berusaha bertahan dan menyerang walaupun badannya sudah lemah akibat
pendarahan. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba
muncul bak siluman dari balik pohon sambil mengayunkan pedangnya ke arah bahu Abbas. Abbas tak
sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anak
keturunan Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus. Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam
Husain ini mencoba meraihnya kantung air dengan menggigitnya. Tapi kebrutalan hati musuh tak
kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucur
habis seiring dengan habisnya harapan Abbas. Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satu
lagi anak panah ke dada Abbas. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan
batangan besi ke ubun-ubun Abbas. Abbas pun terjungkal dari atas kuda sambil mengerang kesakitan dan berteriak : "Hai kakakku, temuilah aku!"
Dengan sengalan nafas yang masih tersisa Abbas as berucap lagi untuk Imam Husain as: "Salam
atasmu dariku, wahai Abu Abdillah."
Suara dan ratapan Abbas ini secara ajaib terdengar oleh Imam Husain as sehingga beliaupun beranjak
ke arahnya sambil berteriak-teriak: "Dimanakah kamu?" Imam Husain as tiba-tiba dikejutkan oleh kuda
Abu Fadhl Abbas yang diberi nama Dzul Janah itu. Secara ajaib kuda itu dapat berucap berucap: "Hai
junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?"
Imam lantas melihat ke tanah dan tampaklah di depan mata beliau dua pasang tangan tergeletak di atas
tanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ pula, Imam melihat
tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam pun
tak kuasa menahan duka. Beliau menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hamba
sejati Allah di langit dan bumi.
"Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin
mencaci maki diriku." Ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abbas, adiknya dari lain ibu. Di
tengah isak tangisnya, Imam juga berucap kepada Abbas: "Semoga Allah membalasmu dengan
kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna."
Jasad Abbas yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar dan kemudian
bersuara lirih, "Kakakku, tolong jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal
memenuhi janjiku untuk membawakan air kepada anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang panji
sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka
akan menipis."
Imam Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersimbah darah itu. Air mata
Abbas yang mengalir beliau usap.
"Mengapa engkau menangis?" Tanya Imam.
"Wahai kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan menangis saat aku melihatmu
mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak
akan ada seorangpun yang akan meraih dan mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akan
membersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu."
Kata-kata Abbas ini semakin meluluhkan hati Imam Husain as sehingga beliau semakin terbawa derai
isak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari yang
membakar. Dengan hati yang pilu Sang Imam mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggung
pasukannya yang sudah tak berdaya itu lalu beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat. Abbas pun
gugur tergeletak bermandi darah, debu, dan air mata di bawah guyuran cahaya panas mentari sahara.
Begitu tiba di tenda tempat beliau tinggal, Imam yang masih tak kuasa membendung derai air mata
duka segera disambut dengan pertanyaan dari puterinya, Sakinah.
"Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku? Bukankah dia telah berjanji kepadaku untuk
membawakan air, dan bukankah dia tidak mungkin ingkar janji?"
Pertanyaan Sakinah nampak sulit untuk dijawab ayahnya. Hanya isak tangis yang segera menjawabnya,
sebelum kemudian beliau berkata dengan suara meratap pilu:
"Puteriku, sesungguhnya paman sudah terbunuh, tetapi ketahuilah bahwa arwahnya sudah bersemayam
di dalam surga."
Berita pilu ini tak urung segera disusul dengan gemuruh tangis dan ratapan pedih Sakinah, Zainab Al-
Kubra, dan wanita-wanita lain di sekitarnya. "Oh Abbas!" "Oh, saudaraku!" "Habislah sudah sang
penolong!" "Betapa pedihnya nanti bencana sesudah kepergianmu!"
Sang Imam sendiri tetap tak kuasa menahan duka lara kepergian Abbas yang telah menjadi perisai
tangguh kelompoknya. "Oh Abbas, oh adikku, oh buah hatiku, kini kami benar-benar telah kehilangan
dirimu. Patah sudah tulang punggungku. Lemah sudah strategiku. Punah sudah harapanku."