Perpisahan Terakhir
Detik-detik terakhir kehidupan Imam Husain as telah semakin berdetak keras. Maka, kepada kaum
wanita keluarga dan kerabatnya bintang ketiga dari untaian suci Imam Ahlul Bait as yang siap
menyongsong kematian sakral itu berkata:
"Kenakanlah gaun duka cita kalian. Bersiaplah menanggung bencana dan ujian. Namun, ketahuilah
bahwa Allah adalah Penjaga dan Pelindung kalian. Dia akan menyelamatkan kalian dari keburukan musuh, mendatangkan kebaikan dari persoalan yang kalian hadapi, mengazab musuh dengan berbagai
macam siksaan, dan akan mengganti bencana kalian dengan berbagai macam kenikmatan dan
kemuliaan. Maka janganlah kalian mengeluh dengan rintihan dan kata-kata yang dapat mengurangi
keagungan kalian."
Imam menatap wajah puteri-puterinya satu persatu sambil berkata: "Sakinah, Fatimah, Zanab, Ummu
Kaltsum, salamku atas kalian. Inilah akhir pertemuan kita, dan akan serea tiba saatnya kalian dirundung
nestapa."
Wajah Imam bersimbah air mata sehingga Hazrat Zainab memberanikan diri untuk bertanya:
"Mengapa engkau menangis?"
"Bagaimana aku akan dapat meredam tangis, sedangkan sebentar lagi kalian akan digiring oleh musuh
sebagai tawanan?!"
Sakinah juga bertanya: "Ayahku, apakah engkau akan menyerah kepada kematian?"
"Bagaimana tidak, sedangkan aku sudah tidak mendapati orang yang akan menolongku?!" Jawab
Imam.
Sakinah berkata lagi: "Kalau begitu, lebih baik pulangkan kami ke tanah suci kakek."
Imam Husain menjawab: "Mana mungkin aku bisa memulangkan kalian? Andaikan mereka mau
melepaskan diriku, tidak mungkin aku akan menjerumuskan diriku kepada kebinasaan..."
Sejurus kemudian Sang Imam bergerak untuk menjejakkan kakinya seorang diri menuju gerombolan
musuh yang sudah haus akan darah beliau itu. Namun, gerakannya tertahan lagi oleh sisa-sisa jerit tangis anak-anak yang menahan dahaga. "Tak usah kalian menangis, demi kalian jiwaku akan aku
korbankan."
Kepada adiknya, Hazrat Zainab as, beliau berpesan, "Aku titipkan anak-anak dan kaum wanita ini
kepadamu. Jadikanlah kamu sebagai ibu mereka sepeninggalku, dan tak perlu engkau menguraiuraikan
rambutmu (sebagai luapan dukacita) atas kepergianku. Apabila anak-anak yatimku merindukan
ayahnya, biarlah putera Ali yang akan tampil sebagai ayah mereka."
Dengan suara lirih, beliau akhirnya mengucapkan salam perpisahan: "Alwidaa', alwidaa', alfiraaq,
alfiraaq."
Putera Ali bin Abi Thalib as itu kemudian mengendarai Dzul Janah, kuda yang sebelum ditunggangi
oleh Abul adhl Abbas as. Anak-anak kecil dan kaum wanita tetap tak kuasa menahan ratapan duka lara.
Gerakan Imam diiringi raung tangis mereka. Sebagian tersimpuh sambil memeluk kaki Dzul Janah.
"Ayah! Ayah!" Panggil puteri beliau yang masih berusia tiga tahun. "Aku haus, aku haus! Mau kemana
engkau ayah? Lihatlah aku, ayah. Aku sedang kehausan."
Hati Sang Imam kembali menjerit. Imam sempat tersedu menahan tangis, tetapi kemudian tetap
menarik kendali kudanya menuju laskar iblis kerajaan Bani Umayyah itu. Di situ beliau mencoba untuk
mengajukan permohonan.
"Hai putera Sa'ad!" Seru beliau. "Aku menginginkan darimu satu diantara tiga pilihan. Pertama, kamu
bebaskan aku untuk kembali kembali ke tanah suci kakekku dan menetap di sana."
"Itu tidak mungkin!" Sergah Ibnu Sa'ad dengan raut muka yang angkuh.
"Kedua," Lanjut Imam. "Berilah kami air, karena keluargaku sedang tercekik dahaga."
"Ini juga tidak bisa!" Teriak panglima pasukan Yazid dari Kufah itu.
Imam berkata lagi: "Kalau begitu, kalian tahu aku disini hanya seorang diri. Karenanya, sekarang aku
minta satu diantara kalian maju berduel denganku."
Umar bin Sa'ad menjawab: "Ini pekerjaan gampang. Saya terima permintaanmu untuk memulai duel."
Perjuangan Ksatria Karbala Seorang Diri
Sebagaimana yang sudah disepakati, terjadilah duel satu lawan satu. Singkat cerita, Imam Husain as
adalah pendekar yang tak tertandingi oleh musuh-musuhnya dalam pertarungan secara jantan satu
lawan satu. Akibatnya, satu persatu lawan-lawan beliau dalam duel bergelimpangan menjadi korban
hantaman pedang beliau. Umar bin Sa'ad pun was-was dan cemas saat melihat sudah banyak
pasukannya yang tak bernyawa setelah berani menjawab tantangan duel Imam Husain as.
Dengan kesalnya, Umar bin Sa'ad menggerutu: "Keparat, tak ada seorangpun yang mampu bertanding
dengan Husain. Jika begini terus, tak akan ada satupun diantara pasukanku yang tersisa nanti."
Dia lantas berteriak kepada pasukannya: "Tahukah kalian dengan siapakah kalian hendak bertarung?!"
Umar bin Sa'ad rupanya baru menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan bukan sembarang
orang, termasuk untuk urusan. Dia adalah putera pendekar Islam legendaris, Imam Ali bin Abi Thalib
as. Dia adalah putera ksatria yang dijuluki dengan Haidar Al-Karrar, Singa Yang Pantang Mundur. Dia
adalah putera si pemilik pedang Dzulfikar yang telah banyak menghabisi benggolan-benggolan
pendekar kaum kafir dan musyrik. Dia adalah putera yang mewarisi semua kehebatan ayahnya.
Karenanya, tak mengherankan jika Imam Husain as tak tertandingi oleh siapapun dalam pertarungan
secara ksatria. Oleh sebab itu, begitu beliau tidak bisa dirobohkan dengan cara-cara jantan, pasukan
musuh akhirnya mengepung beliau yang sendirian dari segenap penjuru. Mereka sudah siap merenggut
nyawa beliau dengan cara mengeroyok habis-habisan. Di saat yang lebih menegangkan itu, beliau tibatiba
didatangi oleh sehelai surat bertinta emas yang melayang jatuh dari angkasa dan hinggap di atas
pelana kuda beliau, Dzul Janah. Surat diraihnya dan tertera sebuah pernyataan:
"Salam atasmu wahai hamba-Ku yang salih, Husain. Rahmat dan berkat Allah atasmu, wahai Husain.
(Ketahuilah bahwa) Kami tidak mewajibkan keterbunuhanmu."
"Jika engkau menghendaki kehidupan di dunia, maka kembalilah ke sarangmu, dan urusilah dunia
hingga kaum itu binasa."
Surat itu dicium oleh Imam Husain as, dan melayangkan kembali ke angkasa bak burung merpati.
Beliau kemudian berucap kepada Allah: "Ya Allah, aku sudah berjanji kepada-Mu untuk memberi syafaat umat kakekku. Lantas bagaimana mungkin aku akan mencabut kembali janji itu, dan
Engkaupun juga sudah memberitahuku bahwa sesungguhnya untuk memberikan syafaat itu terdapat
suatu derajat mulia yang tak dapat dicapai kecuali dengan syahadah..."
Perjanjian untuk menggelar pertarungan secara ksatria akhirnya benar-benar diabaikan oleh musuh.
Umar bin Sa'ad memerintahkan seluruh pasukannya untuk ramai-ramai mengerungi dan membantai
Imam Husain as sedapat mungkin. Maka, sang Imam pun mulai menjadi bulan-bulan menghadapi
sekian banyak manusia-manusia buas itu. Tubuh Imam semakin lemas dalam melakukan perlawanan
sehingga saat demi saat tubuh beliau mulai menuai luka dan kucuran darah. Jasad beliau mulai
terkoyak-koyak oleh berbagai jenis senjata pedang, tombak, dan panah yang sudah tak sabar untuk
menghabisi riwayat Imam Husain as.
Di saat-saat Imam dalam posisi yang nyaris tak berdaya itu, beliau melihat seseorang bernama Syimir
bin Dzil Jausyan bersama anak buahnya mengendap-mengendap diantara tempat Imam Husain
bertahan dan lokasi perkemahan beliau. Di situ beliau berteriak lantang:
"Celakalah kalian, hai pengikut keluarga Abu Sufyan! Jika kalian memang sudah tak beragama, tidak
takut kepada hari kebangkitan, maka berpesta poralah kalian dengan urusan duniawi kalian!"
"Kamu bicara apa, hai putera Fatimah!" Sergah Syimir.
Imam menjawab: "Yang berperang adalah aku dan kalian. Jangan kalian ganggu kaum wanita.
Janganlah kalian berbuat sesuatu yang sangat melanggar kehormatanku!"
Syimir menjawab: "Kami tidak akan melanggar kehormatan."
Manusia kejam ini lalu berteriak kepada pasukannya: "Celakalah kalian! Apa yang kalian pelototi?!
Cepat habisi dia!" Teriakan ini segera disusul dengan keroyokan yang lebih sengit terhadap Imam
Husain yang nampak sudah kewalahan itu. Dari sekian pedang yang berebut untuk menghabisi nyawa
cucu Rasul dan putera Fatimah itu, satu pedang yang digenggam Soleh bin Wahab berhasil
menghunjam keras paha beliau. Hantaman ini menjatuhkan beliau dari atas kuda. Pelipis kanan beliau
menghempas pasir Karbala yang panas itu.
Beliau tetap bangkit berdiri dan melanjutkan perlawanan sekuat tenaga. Dalam keadaan seperti itu beliau masih sempat menjatuhkan beberapa pasukan. Saat spirit beliau bertambah beliau selalu
mengucap kalimat:
لا حول ولاقوة الا بالله العلي العظیم
Beliau juga sempat bersumbar kepada musuh bahwa mati terbunuh lebih baik daripada harus hidup
terpedaya oleh kehinaan dan ketercelaan. Terbunuhnya para pengikut beliau seiring dengan jerit tangis
anak-anak kecil yang meratap kehausan sama sekali tak menciutkan nyali beliau untuk terus melawan
dan pantang mundur. Ketabahan dan tawakkal di depan Allah adalah prinsip yang tak tergoyahkan.
Saat itu kepada Tuhannya beliau berucap:
"Aku sabar atas garis yang telah Engkau tentukan, tiada Tuhan Yang Patut Disembah kecuali Engkau,
wahai Pelindung orang-orang yang memohon perlindungan."
Dalam doa ziarah untuk beliau disebutkan, "Dan para malaikatpun terkesima menyaksikan
kesabaranmu."
Hati musuh sama sekali sudah buta dan mengenal belas kasih. Dalam perlawanan sekuat tenaga itu,
tubuh Imam Husain as terpaksa semakin bermandi darah saat tombak-tombak dan panah musuh ikut
menggerogoti daya pertahanan beliau.
Dari arah sana Hazrat Zainab tak kuasa menahan diri menyaksikan kakaknya menjadi sasaran
pembantaian seganas itu. Wanita agung menjerit-jerit mengadukan penderitaan kepada kakek, ayah,
dan pamannya yang sudah bersemayam di alam keabadian.
"Oh Muhammad! Oh Ayah! Oh Ali! Oh Ja'far!" Ratap Zainab tersedu-sedu. "Alangkah baiknya
seandainya langit ini runtuh menimpa bumi! Alangkah baiknya seandainya gunung-gunung ini
berhamburan menimpa sahara."
Puteri Fatimah Azzahra as mencoba mendekati ajang pembantaian kakaknya. Di saat yang sama,
manusia biadab Umar bin Sa'ad dan gerombolannya bergerak menuju perkemahan keluarga dan rombongan Imam Husain as. Di saat tubuh Imam roboh dan nafasnya sudah tersengal-sengal menanti
ajal, gerombolan manusia liar itu mengobrak-abrik perkemahan anak keturunan Rasul tersebut. Mereka
melakukan aksi pembakaran, merampasi harta benda, dan menangkapi dan menggiring kaum wanita
dan anak-anak kecil sebagai tawanan.
Hazrat Zainab yang masih terbayang nasib kakak sekaligus pemimpin sucinya itu berteriak kepada
Umar bin Sa'ad: "Hai Umar, apakah Abu Abdillah terbunuh dan kamu menyaksikannya sendiri?!"
Entah mengapa, kata-kata wanita pemberani ini tiba-tiba menggedor perasaan putera Sa'ad itu sehingga
tak berani menjawabnya dengan bentakan. Bagai binatang pandir, dia tak berani menjawab atau
menatap wajah Zainab. Dia memaling muka.
Zainab berteriak lagi: "Adakah seorang Muslim diantara kalian?!" Tak seorangpun menjawabnya. Saat
gerombolan itu dibungkamkan oleh kata-kata Hazrat Zainab, tubuh Imam Husain as yang masih
bernafas tiba-tiba bangkit lalu menerjang beberapa pasukan yang ada di dekatnya sehingga mereka
mundur. Dengan tubuh yang sudah tercabik-cabik dan sengalan nafas yang masih tersisa itu, beliau
berteriak:
"Hai umat yang paling bejat, kalian telah memberikan perlakuan yang terburuk kepada Muhammad
dengan menganiaya anak keturanannya. Ketahuilah bahwa setelahku nanti kalian tidak akan mungkin
takut (berdosa) lagi dalam membunuh seseorang. Sesudah membunuhku kalian pasti akan gampang
sekali berbuat itu. Demi Allah, aku sangat mendambakan kemuliaan dari Allah dengan syahadah, lalu
Dia akan menuntut balas darahku dari kalian tanpa kalian sadari."
Setelah berusaha melakukan perlawanan sekian lama di depan pesta pembantaian itu, Imam Husain as
mencoba menjauh dari pasukan lawan untuk mengatur nafas. Namun, tiba-tiba sebuah batu melayang
dari arah musuh dan mengena kepala beliau. Darahpun mengucur deras lagi. Belum selesai beliau
mengusap darahnya yang suci itu, dada beliau diterjang sebuah anak panah bermata tiga. Tertembus
panah beracun itu, beliau berucap: "Bismillahi wa billahi wa 'ala millati rasulillah."Beliau menatap
langit dan berdesah lagi:" Ilahi, sesungguhnya Engkau mengetahui mereka telah membunuh seseorang di muka bumi yang tak lain adalah putera Nabi."
Di saat beliau semakin kehabisan tenaga itu, beliau mencabut anak panah itu dari dadanya. Darah
kembali menggenang. Sebagian beliau hamburkan ke atas dan sebagian yang lain beliau usapkan ke
wajahnya sambil berucap: "Beginilah aku jadinya hingga aku bertemu dengan kakekku Rasulllah
dalam keadaan berlumuran darah lalu aku adukan kepada beliau: fulan, fulan telah membunuhku."
Puas menatap pemandangan seperti ini, balatentara musuh sejenak menghentikan kebrutalannya.
Mereka terkekeh-kekeh menyaksikan Imam Husain as berdoa:
"Ya Rabbi, aku bersabar atas ketetapan-Mu, tiada Tuhan selain-Mu, wahai Penolong orang-orang yang
memohon pertolongan. Tiada Tuhan Pemelihara kami selain-Mu, tiada Tuhan Yang Patut disembah
kecuali Engkau. Aku bersabar atas ketentuan (humum)-Mu, wahai Pelindung orang-orang yang tak
memiliki perlindungan, wahai Zat Yang Maha Kekal dan Tak Berpenghabisan, wahai Yang
Menghidupkan orang yang sudah mati, wahai Zat Yang Menghakimi setiap jiwa sesuai perbuatannya,
hakimilah antara aku dan mereka, sesungguhnya Engkau adalah yang terbaik diantara para hakim."
Setelah itu sempat terjadi keheningan beberapa saat. Untuk sementara waktu masih belum ada
seorangpun yang berani tampil sebagai pembunuh utama cucu Rasul itu di depan Allah SWT kelak.
Diriwayatkan bahwa saat itu pula tiba-tiba Imam Husain as didatangi bayangan ajab wajah kakek dan
ayahnya. Wajah-wajah suci itu bertutur kepada beliau: "Cepatlah kemari, sesungguhnya kami sangat
merindukanmu di surga."
Keheningan itu ternyata tak berlangsung lama. Umar bin Sa'ad kembali buas dan memerintahkan anak
buahnya untuk segera menghabisi Imam Husain. Maka tampillah Shabats sebagai orang pertama yang
berani mendaratkan mata pedangnya ke kepala Imam Husain as. Namun, saat mata Imam menatap
tajam wajah Shabats, tubuh pria kurang ajar ini tiba-tiba gemetaran lalu menggigil keras sehingga
pedang yang ditangannya terhempas ke tanah. Dengan wajah pucat pria itu berkata kepada Umar bin Sa'ad: "Hai Putera Sa'ad, kamu tidak mau membunuh sendiri Husain agar nanti akulah yang akan
dibalas. Tidak. Aku tidak mau bertanggujawab atas darah Husain."
Syabats segera ditegur oleh seseorang bernama Sannan bin Anas. "Kenapa kamu tidak jadi
membunuhnya?!" Tanya Sannan ketus.
Syabats menjawab: "Dia menatap wajahku, Sannan! Kedua matanya menyerupai mata Rasulullah.
Sungguh, aku segan membunuh seseorang yang mirip dengan Rasul."
Sannan dengan congkaknya berkata: "Berikan kepadaku pedangmu itu, karena akulah yang lebih patut
untuk membunuhnya." Begitu pedang itu pindah ke tangannya, Sannan segera menenggerkannya di
atas kepala beliau. Imam yang sudah tak berdaya itu kembali menatap wajah orang yang berniat
menghabisinya itu. Seperti yang dialami, Syabats, tubuh Sannan yang kotor itu tiba-tiba juga menggigil
ketakutan setelah ditatap Imam dengan tajam. Sannan mengambil langkah mundur sambil berucap:
"Aku berlindung kepada Tuhannya Husain dari pertemuan dengan-Nya dalam keadaan berlumuran
darah Husain."
Kini tibalah giliran Syimir bin Dziljausan. Pria yang menutupi wajah dan hanya menyisakan celah
untuk matanya ini menghampiri Sannan sambil mengumpat. "Semoga ibumu meratapi kematianmu,
kenapa urung membunuhnya!?" Maki Syimir.
Sannan menjawab: "Tatapan matanya mengingatkanku pada keberanian ayahnya. Aku takut. Aku tak
berani membunuhnya."
Sambil menyeringai Syimir berseru: "Berikan pedang itu kepadaku. Demi Allah, tak ada seorangpun
yang lebih layak dariku untuk membunuh Husain. Akulah yang akan menghabisinya, walaupun dia
mirip Al-Mustafa ataupun Al-Murtadha."
Syimir berpaling ke arah pasukannya lalu membentak: "Hai, tunggu apa lagi?! Cepat bunuh dia!!"
Tanpa basa-basi lagi, satu anak panah melesat ke arah Imam Husain dari Hissin bin Numair. Sejurus
kemudian yang lain ikut ramai-ramai menghajar Imam Husain sehingga tak ada anggota tubuh suci
cucu Rasul itu yang luput dari hantaman benda tajam, dan benda tumpul. Batu-batupun bahkan ikut
meremukkan tubuh beliau.
Syimir bersumbar lagi: "Ha, ha, ha, tak ada orang yang lebih patut dariku untuk membunuh Husain".
Dia bergerak mendekati Imam Husain yang terbaring di tanah lalu menduduki dada Imam Husain as
yang masih bergerak turun turun naik. Imam mencoba membuka kedua kelompak matanya dan
menatap wajah Syimir yang menyeringai di depan wajah beliau, namun tatapan beliau kali ini tak
meluluhkan hati Syimir yang sudah sangat membatu. Bukannya ketakutan, dari mulut Syimir yang
tertutup kain itu malah keluar kata-kata:
"Aku bukanlah seperti mereka yang mengurungkan niat untuk membunuhmu itu. Demi Allah, akulah
yang akan menceraikan kepalamu dari jasadmu, walaupun aku tahu kamu adalah orang yang paling
mulia karena kakek, ayah, dan ibumu itu."
"Hai siapa kamu sehingga berani menduduki tubuh yang sering diciumi oleh Rasul ini?"
"Aku Syimir bin Dzil Jausyan!"
"Apakah kamu tahu siapa aku?"
"Aku tahu persis. Ayahmu adalah Ali Al-Murtadha, ibumu Fatimah Azzahra, kakekmu Muhammad al-
Mustafa, dan nenekmu Khadijah Al-Kubra."
"Alangkah celakanya kamu. Kamu tahu siapa aku, tetapi mengapa akan membunuhku dengan cara
seperti ini?"
"Supaya aku bisa mendapat imbalan besar dari Yazid bin Muawiah."
"Kamu lebih menyukai imbalan dari Yazid daripada syafaat kakekku?"
"Yah, aku lebih menyukai imbalan Yazid."
"Karena tidak ada pilihan lain bagimu kecuali membunuhku, maka berilah aku seteguk air."
"Oh tidak! Itu tidak mungkin, kamu tidak mungkin bisa meneguknya sebelum kamu meneguk
kematian."
Syimir kemudian menyingkap dan melepas kain penutup muka yang hanya menyisakan celah untuk
kedua matanya yang juling itu. Maka, nampaklah seluruh wajah Syimir yang buruk, kasar, belang, dan
ditumbuhi bulu-bulu keras itu. Mulutnya ditutup oleh penutup seperti penutup mulut anjing supaya tak
menggigit. Melihat wajah Syimir, Imam Husain as segera berucap:
"Benar apa yang dikatakan oleh Rasulullah."
"Apa yang dikatakan kakekmu itu?!" Tanya Syimir angkuh. "Kakekku pernah berkata kepada ayahku,
Ali: 'Sesungguhnya puteramu ini akan dibunuh oleh seseorang yang berkulit belang, bermata juling,
bertutup mulut seperti anjing, dan berambut keras seperti bulu babi.'"
"Kakekmu telah menyamakanku dengan anjing?! Demi Allah, aku memisahkan kepalamu dari
lehermu."
Syimir mencabut pedang dari sarungnya dan tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki bengis
mengayunkan pedangnya kuat-kuat ke leher cucu Rasul dan putera Fatimah Azzahra itu. Sekali tebas,
kepala manusia mulia terlepas dari badannya. Terpisahnya kepala manusia suci itu disusul dengan
suara takbir tiga kali dari liang mulut balatentara Umar bin Sa'ad yang busuk itu. Kepala yang dulu
sering diciumi oleh Rasulullah SAWW itu ditancapkan ke ujung tombak. Dia antara mereka terdengar
teriakan keras:
"Bergembiralah hai Amir! Inilah Syimir yang telah membunuh Husain!" Langitpun kelabu. Bumi
meratap pilu.
Kesakralan Syahadah Imam Husain as
Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa tragedi pembantaian keluarga Rasul pimpinan Imam Husain
ini segera disusul dengan berbagai tanda alam dan lain yang menunjukkan kesakaralan syahadah
beliau. Diantaranya disebutkan bahwa kematian suci cucu Rasul di tangan manusia-manusia sadis itu
segera disusul dengan bertiupnya angin kencang, angkasa tiba-tiba gelap gulita, sehingga orang-orang
tak dapat melihat apa yang ada di depannya.
Selain itu Zari' Al-Asadi, seorang petani yang bercocok tanam di tepian sungai 'Alqamah dalam
kisahnya tentang Imam Husain mengatakan: Pukulan tongkat Nabi Musa as ke batu dapat
memancarkan mata airm tetapi musibah Imam Husain telah memancarkan darah dari bebatuan,
sebagaimana darah pernah mengucur dari runtuhan batu-batu di Baitul Maqdis.
Dikisahkan pula bahwa dari awal malam ke 11 Muharram hingga terbitnya fajar semua bebatuan dan
bongkahan-bongkahan tanah mengucurkan darah dibawahnya.
Periwayat menceritakan: "Hazrat Musa adalah pemilik Yad AlBaidha' dan sering memancarkan cahaya
ketika dia memperlihatkan suatu mukjizat. Namun, dari Imam Husain yang memancarkan cahaya
cemerlang adalah dahi dan leher beliau.
Untuk Nabi Musa as Allah telah membelahkan laut agar Bani Israel dapat menyeberanginya. Namun,
untuk Imam Husain as seluruh samudera bergemuruh hebat dan penghunipun meratap, sementara para
bidadari juga turun dari alam Firdaus dan mendatangi samudera sambil berucap: "Hai para penghuni
lautan, berdukalah atas terbunuhnya putera Rasulullah."
Nabi Musa as telah menggali liang lahadnya dengan tangannya sendiri. Namun liang lahad Imam
Husain as digali oleh Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada hari 10 Muharram
(Asyura), Ummu Salamah bermimpi menyaksikan Rasulullah bermandi debu dan berucap: "Orangorang
telah membantai dan mengugurkan puteraku. Aku melihatnya jasadnya dan aku sedang sibuk
menggalikan lubang kubur untuk Husain dan para sahabatnya."
Diriwayatkan pula bahwa tujuh hari sepeninggal Imam Husain as langit berwarna merah dari ujung ke
ujung. Bahkan kendati tragedi Karbala sudah berlalu 14 abad, hingga kini masih terdapat keajaibabankeajaiban
yang berkaitan dengannya, khususnya pada hari Asyura. Satu diantara keajaiban itu ialah
mengalirnya cairan seperti darah dari sebuah pohon di Zarabad, sebuah daerah di Qazwin. Pohon yang
tumbuh di dekat benteng Alamut itu setiap tahun pada hari Asyura dikunjungi oleh ribuan orang untuk
menyaksikan mengalirnya cairan seperti darah tersebut dari batang pohon yang disebut dengan pohon
canar (plane tree) tersebut.
Dalam doa ziarah Imam AlMahdi as untuk Imam Husain as disebutkan:
"Bagaimana aku dapat membayangkan adegan nyata dimana kudamu kembali ke tendamu sambil
merundukkan kepala seperti menangis, dan kaum wanita (mu mendapatinya dalam keadaan mengenaskan dan pelananya terbalik sehingga mereka keluar tenda, rambut mereka terurai, wajah
mereka dibanjiri air mata, dan tampak jelas, dan ratap tangis mereka terdengar keras, setelah mereka
kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Mereka lantas bergegas menuju tempat pembantaianmu di
saat Syimir menduduki dadamu sambil menghunus pedangnya di atas lehermu."
"(Wahai kakekku), maka aku akan sungguh-sungguh meratapi dirimu setiap dan sore. Bukannya
dengan air mata, tetapi dengan darahlah aku menangisinya dan meratapi bencana besar yang telah
menimpamu hingga aku meninggal dunia nanti dalam keadaan menanggung beban duka cita."
Imam AlMahdi as juga bertutur kata untuk Imam Husain as:
"Syimir telah duduk diatas dadamu sambil menghunus pedang pedang diatas lehermu dan menarik
janggutmu, lalu menyembelihmu dengan pedangnya. Sejak itu, panca inderamu redup, nafasmu reda,
dan kepalamu ditancapkan di atas tombak."
Dalam ziarahnya untuk kakeknya, Imam Husain as, Imam Al-Mahdi as juga berkata: "Seandainya pun
masa ini diakhirkan dan takdirkan telah menghalangiku untuk menolongmu, maka aku akan tetap
sungguh-sungguh meratapimu dan menangisimu dengan darah, bukan bukan dengan air mata.
Adapun salam beliau untuk Imam Husain as ialah sebagai berikut:
"Salam atas putera Nabi Putera Terakhir, salam atas putera pemuka para washi, salam atas putera
Fatimah Azzahra, salam atas putera Khatijah Al-Kubra, salam atas putera Sidaratul Muntaha, salam
atas putera surga Al-Ma'wa, salam atas putera Zamzam dan Safa, salam atas dia yang telah
bermlumuran darah bercampur debu, salam atas dia yang kemahnya telah dihujani anak panah, salam
atas orang kelima penghuni Al-Kisa', salam atas dia, orang yang paling terasing, salam atas pemuka
para syuhada, salam atas manusia yang ditangisi oleh para malaikat di langit, salam atas manusia yang
selalu didatangi oleh orang-orang yang menderita. Salam atas bibir-bibir yang kekeringan, salam atas
jasad-jasad yang terlucuti, salam atas kepala-kepala yang terpenggal, salam atas wanita-wanita yang
tertawan, salam atas hujjah Allah."
"Salam atas jasad yang bermandikan darah luka-luka."
"Salam atas jasad yang urat-urat jantungnya diputuskan oleh anak panah."
"Salam atas jasad yang tersalib."
"Salam atas deretan gigi yang ditumbuk oleh tongkat."
"Salam atas bibir yang kering kehausan."
"Salam atas kepala-kepala yang tertancap di ujung tombak dan pertontonkan di semua tempat.
Diriwayatkan bahwa setelah Imam Husain as terbunuh, Umar Bin Sa'ad di tengah pasukannya berberu:
"Siapa yang siap melumat jasad Husain dengan injakan kaki kuda?!"
Dari sekian ribu pasukan yang
ikut serta dalam pembantaian Imam Husain itu tak ada yang bersedia berbuat sesuatu sebiadab itu
terhadap cucu rasul tersebut kecuali sepuluh orang. Mereka yang konon anak zina itu bergantian
menghentak-hentakkan kudanya diatas tubuh Imam hingga tulang belulang jasad beliau yang suci dan
mulia remuk.
Mereka melakukannya sambil terkekeh-kekeh dan penuh kebanggaan seakan dengan perbuatan seperti
itu mereka dapat menjatuhkan keagungan Imam Husain. Padahal, perlawanan pantang mundur beliau
dan para pengikutnya di depan kezaliman dan pendurjana telah menjadi teladan bagi umat manusia
dan karena itu jutaan manusia di muka bumi telah menjadi pengikut dan atau setidaknya pengagum
beliau. Sebaliknya, Muawiah dan Yazid tidak menyisakan bekas apapun kecuali ketercelaan,
keterkutukan, dan laknat yang abadi.
Dengan demikian, selamat untuk Imam Husain as atas perjuangan dan jihadnya di Karbala yang beliau
mulai dengan seruan "Adakah sang penolong yang akan menolongku?!" Kini, hamba-hamba beriman
sedang menantikan kedatangan Imam AlMahdi as untuk kita penuhi seruan firman allah:
يَا اَيّهَا الّذِينَ امَنُوا اِن تَنصُرُوا اللّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبّتْ اَقْدَامَكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah niscaya Allah akan menolong kalian, dan Dia akan mengokohkan langkah-langkah kalian." (QS. Muhammad: 7)
Sayidah Fatimah Azzahra as pernah berkata, "Jika kalian hendak membantu puteraku, AlMahdi, maka
jadikanlah jiwa kalian seperti jiwa seorang ibu yang telah melepaskan anak salihnya pergi jauh dan
tidak apakah hari ini, besok, atau tahun depan akan pulang."
Imam AlMahdi as sendiri berkata, "Aku pasti akan kembali kepada orang yang paling lemah diantara
kalian, agar rahmat Allah yang abadi tercurah kepada kalian."
"Aku akan datang agar hati yang luka dapat terobati."
"Aku pasti datang untuk membebaskan orang-orang yang terbelenggu."
"Aku pasti akan datang untuk menegakkan agama Muhammad di dunia."
Pada masa Imam Al-Mahdi as nanti, sedemikian damainya muka bumi ini sehingga kambingpun dapat
hidup tentram berdamping dengan srigala. Anak-anak kecil dapat bermain dengan ular dan
kalajengking. Dunia saat itu tidak lagi menyisakan keburukan. Yang tinggal hanyalah kebaikan. Bumi
mempersembahkan segala kekayaannya, dan langitpun mencurahkan segala berkahnya. Harta dari
perut bumi melimpah, permusuhan reda di hati setiap orang, pintu-pintu kebahagiaan dan keamanan
terbuka lebar, seorang wanita dapat bepergian ke mana saja di malam hari seorang diri tanpa ada rasa
takut. Wajah bumi serba hijau dan rindang, dan siapaun tidak akan takut lagi kepada binatang-binatang
liar.
Pada hari itu, Sang Penyelamat manusia-manusia yang teraniaya itu akan menyeret 'dua berhala Bani
Quraish; ke tiang gantungan, dan lalu beliau akan membawakan kisah lagi tentang syahadah kakeknya,
Imam Husain as, tentang penyembelihan anak-anak kecil keturunan Rasul saww, dan tentang semua
penderitaan dan keteraniayaan Ahlul Bait suci Rasul dan para pengikutnya.
Imam AlMahdi as akan tampil dan membalas darah datuknya setelah berada di alam kegaiban selama
sekian lama. Saat itu dia akan tampil di Mekah diantara Rukn dan Maqam lalu mengumandangkan
suara:
"Wahai para penghuni dunia, akulah Imam AlQaim, akulah pedang yang akan melakukan pembalasan."
"Wahai para penghuni dunia, sesungguhnya kakekku Husain telah dibunuh dalam keadaan tercekik kehausan."
"Wahai para penghuni dunia, sesungguhnya (jasad) kakekku Husain telah mereka gerus dengan injakan
kaki-kaki kuda."
Baginda Nabi Besar Muhammad saww tentang Imam AlMahdi as bersabda: "AlMahdi adalah satusatunya
penyelamat umat manusia kelak dimana kedatangannya akan membawa kedamaian universal."
Rasulullah saww juga bersabda: "Selamat atas kalian dengan kedatangan puteraku, AlMahdi, kelak,
karena janji Allah pasti akan terpenuhi. Ketahuilah bahwa AlMahdi dari keluarga Muhammad masih
dalam perjalanan."
Diriwayatkan bahwa ketika Imam Husain as menggapai puncak derajat syahadah, kuda beliau,
Dzuljanah, melepoti kepala dan lehernya lalu menghentak-hentakkan kakinya ke tanah sambil
meringkik keras hingga memantul ke segenap penjuru Karbala. Saat kuda perkasa itu dilihat oleh Umar
bin Sa'ad, manusia ambisius berseru kepada komplotannya: "Kuda milik AlMustafa itu serahkan
kepadaku." Sesuai perintah ini, beberapa pasukan penunggang kuda segera memacu kudanya untuk
mendekati Dzul janah. Namun, kuda yang sebelumnya ditunggangi oleh Abu Fadhl Abbas itu tinggal
diam oleh manusia-manusia kejam yang telah membantai habis tuannya. Dzuljanah tiba-tiba
mengamuk dan menerjang siapapun yang mencoba mendekatinya. Beberapa orang tewas diamuk oleh
kuda perkasa itu, sampai akhirnya Umar bin Sa'ad meminta anak buahnya membiarkan kuda itu.
Dzuljanah Menjadi Tempat Ratapan
Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika Dzuljanah sudah bebas dari gangguan, secara ajaib kuda
tunggangan manusia-manusia mulia itu berucap: "Betapa zalimnya umat yang telah membunuh putera
nabisnya sendiri."
Dzuljanah kemudian kembali ke perkemahan sambil meringkik-ringkik nyaring sehingga kaum wanita
Imam Husain as yang mengenal suara itu keluar dari dalam tenda dengan penuh rasa cemas dan
tercekam ketakutan. Di tengah mereka Hazrat Zainab AlKubra as berteriak histeris:
"Oh saudaraku! Oh junjunganku! Oh Ahlul Bait! Semoga langit ini runtuh menimpa bumi! Semoga
gunung-gunung ini dihamburkan dan menimpa pedang sahara."
Diantara mereka juga terdapat Ummu Kaltsum. Saat menyaksikan di atas punggung Dzuljanah sudah
tidak ada ayahnya lagi, Ummu Kaltsum juga mendadak histeris.
"Demi Allah, AlHusain telah terbunuh!" Jerit Ummu Kaltsum sambil menepuk-nepuk kepala dan
merobek kain cadarnya. Sakinah yang tak kalah histerisnya.
"Oh kakekku! Oh Muhammad! Betapa terasingnya AlHusain!"
Ratap Sakinah. Sambil beratap dan
tersedu-sedu, satu diantara mereka ada yang berucap kepada dzuljanah: "Mengapa engkau lepaskan
AlHusain ke tengah-tengah kerumunan musuh."
Sakinah juga meratap: "Apa yang terjadi dengan ayahku? Dimana sang pemberi syafaat di hari kiamat
itu?"
"Ayahku tadi pergi dalam keadaan tercekik dahaga."
"Apakah mereka telah memberi ayahku air, ataukah dia telah gugur dengan bibir yang kering
kehausan?"
Namun demikian, Dzuljanah tetaplah seekor kuda yang tak mampu berbuat apa-apa di depan ratapan
puteri-puteri Rasul ini. Disebutkan dalam riwayat bahwa hewan yang ikut membela para keturunan suci
Rasul di depan manusia-manusia srigala itu ikut tertimpa stres hingga akhirnya roboh dan mati. Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa Dzuljanah telah menceburkan diri ke sungai ElFrat lalu hilang entah
kemana.