Bagian Ketiga:
Evaluasi Teks Riwayat dan Implikasinya
Evaluasi Teks Riwayat dan Implikasinya
Para pembaca yang budiman, setelah membahas sanad-sanad, ikutilah pembahasan kami untuk mengkaji teks riwayat-riwayat itu serta implikasinya... supaya kita dapat menyaksikan dengan jelas betapa dalam kebencian musuh-musuh Ahlul Bait as.
Dalam pembahasan ini kita memiliki beberapa poros:
Poros pertama:
Riwayat-riwayat itu berbunyi seperti ini:
Imam Ali as menolak Umar dengan alasan sedikitnya umur Ummu Kultsum dan telah menjodohkan putrinya untuk kemenakannya, Ja'far bin Abi Thalib.
Di riwayat Ibn Sa'ad kita membaca: "Ali as berkata: "Aku telah menyiapkan putri-putriku untuk anak-anak Ja'far."
Di riwayat Hakim disebutkan bahwa beliau berkata: "Aku telah menyiapkannya untuk anak saudaraku."
Di riwayat lain yang dinukil oleh Ibnu Sa'ad kita membaca bahwa beliau berkata: "Ia adalah anak perempuan yang masih kecil."
Ibnu Abdul Barr, Ibnu Atsir dan selainnya juga menukilkan riwayat yang mirip.
Dan di riwayat-riwayat Baihaqi disebutkan bahwa Imam Ali as berkata: "Ia masih kecil untuk urusan ini."
Jadi di riwayat-riwayat itu tidak ada pembicaraan Imam Ali as yang lain, kecuali Umar datang kembali dan berkata, "Nikahkanlah ia denganku; demi Tuhan! Di muka bumi tidak ada orang..."
Dan Imam Ali as (sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat tersebut) tidak melakukan apa-apa selain mengirim putrinya kepada Umar untuk dilihat oleh Umar...(!!).
Dan di sebagian riwayat ditambahkan bahwa Imam Ali as memerintahkan agar ia disiapkan; lalu ia dihias kemudian Imam Ali as membawanya ke sisi Umar...supaya ia disukainya dan dinikahinya...(!!).
Menakjubkan sekali, bagaimana dengan mudahnya Imam Ali as yang mulanya menolak lalu tiba-tiba menerima dan memberikan putrinya? Bagaimana mungkin pendapat beliau berubah dengan cepatnya?
Siapa yang percaya? Paling tidak masalah ini perlu diragukan dan perlu direnungnkan.
Dari sela-sela riwayat-riwayat yang berserakan, akan terlihat suatu fakta bagi pembaca budiman, fakta yang terus berusaha disembunyikan. Mari kita sebutkan riwayat-riwayat itu:
Di riwayat yang dinukil oleh Ibn Maghazili (483 H) dengan sanadnya melalui Abdullah bin Umar disebutkan:
"Umar bin Khattab naik ke atas mimbar dan berkata: "Wahai umat! Demi Tuhan! Alasanku mendesak Ali bin Abi Thalib as tentang putrinya adalah karena aku pernah mendengar Rasulullah saw berkata padaku,
"Kelak di hari kiamat semua garis keturunan akan terpotong, kecuali garis keturunanku dan keluargaku; karena keduanya akan mendatangiku di hari itu dan memberi syafa'at kepada pemiliknya."
Dari riwayat tersebut dapat difahami bahwa perkara itu membuat para sahabat dan tabi'in terheran dan semua berbicara tentangnya, sehingga Umar terpaksa menjelaskan di atas mimbar tentang tujuannya melamar putri Imam Ali as dan ia bersumpah bahwa satu-satunya alasannya mendesak untuk melamar putri Imam Ali as adalah karena ia mendengar ucapan Rasulullah saw itu...
Namun teks riwayat itu tidak menjelaskan tentang seperti apakah desakan Umar dan seperti apa tanggapan Imam Ali as?
Di riwayat Khatib Baghdadi disebutkan:
Umar bin Khattab melamar putri Ali bin Abi Thalib as dan berkali-kali datang ke rumahnya untuk tujuan itu dan berkata: "Wahai Abu Al-Hasan! Apa yang membuatku datang berkali-kali ke rumahmu adalah perkataan yang kudengar dari Rasulullah saw..."
Dalam riwayat tersebut dijelaskan bahwa Umar datang berkali-kali ke rumah Imam Ali as.
Di riwayat lainnya disebutkan tentang adanya ancaman. Dalam penukilan Ibn Sa'ad disebutkan:
Umar dalam menjawab Imam Ali as yang berkata: "Ia adalah perempuan yang masih kecil." berkata: "Demi Tuhan! Alasanmu yang sebenarnya bukan ini, dan aku tahu apa tujuanmu!"
Dan di riwayat Dulabi dan Muhibb Thabari yang menukil dari Ibnu Ishaq disebutkan: Umar berkata: "Demi Tuhan! Tujuanmu bukanlah itu, sesungguhnya kamu ingin mencegahku!"
Di riwayat lainnya secara jelas disebutkan bahwa "cambukan Umar" sangat berperan penting dalam permasalahan itu. Dalam sebuah riwayat yang dinukil Dulabi dari Aslam, Maula Umar, dijelaskan:
"Umar mendatangi Ali bin Abi Thalib as untuk melamar Ummu Kultsum. Ali bermusyawarah dengan 'Abbas, 'Aqil dan Hasan.
'Aqil marah dan berkata kepada Ali: "Hari dan bulan berlalu hanya menambah ketidak fahamanmu. Demi Tuhan jika kau melakukan itu, maka akan begini dan begitu..."
Ali berkata kepada 'Abbas: "Demi Tuhan! Perkataannya bukanlah atas dasar nasehat, namun cambukan Umar-lah yang memaksanya berbuat seperti yang kau lihat."
Dari sisi lain, Abu Na'im Isfahani juga menukilkan kabar tersebut dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, namun perkara pertentangan 'Aqil dan perkataan "cambukan Umar" telah dihapus. Mari kita baca riwayat itu bersama:
Zaid bin Aslam menukil dari ayahnya bahwa Umar bin Khattab memanggil Ali bin Abi Thalib untuk datang ke hadapannya dan berbicara sembunyi-sembunyi dengannya. Lalu setelah itu Ali bangkit dan datang ke Shuffah
dan bermusyawarah dengan 'Abbas, 'Aqil dan Hasan tentang pernikahan Umu Kultsum dengan Umar.
Ali berkata: "Umar mengkabariku bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:
"Setiap nasab dan garis keturunan akan terpotong di hari kiamat kecuali keturunanku."
Selain itu, di riwayat lain disebutkan bahwa Imam Ali as selain mengatakan masih kecilnya usia Ummu Kultsum dan dijodohkannya ia dengan putra saudaranya, ada alasan lain pula yang ia utarakan. Beliau pernah berkata: "Ia denganku, juga punya dua amir dan wali lain."
Maksud Imam Ali as tentang "dua" itu adalah Imam Hasan as dan Imam Husain as, dan berdasarkan sebuah riwayat, Imam Ali as bermusyawarah dengan Imam Hasan dan Husain, 'Aqil dan 'Abbas.
Riwayat yang dinukil oleh Aslam ini menjelaskan diamnya Imam Hasan as tentang permasalahan tersebut, dan diam dianggap sebagai tanda bersedia.
Di riwayat lain disebutkan:
"Husain as diam dan Hasan memulai berbicara. Memuji Allah swt lalu berkata: "Wahai ayahku! Siapakah setelah Umar yang mempunyai kelayakan untuk ini? Ia sering bersama nabi di masa hidupnya, dan Rasulullah saw meninggal dunia dalam keadaan ridha atasnya. Ia menduduki kursi kekhalifahan dan bersikap adil (!!)."
Imam Ali as berkata: "Engkau berkata benar, wahai anakku! Namun aku tidak suka melakukan sesuatu tanpa mendengar pendapat kalian berdua."
Namun riwayat itu bertentangan dengan riwayat lain yang dinukil oleh Baihaqi dari Ibnu Abi Malikah dari Hasan bin Hasan. Dalam riwayat tersebut dijelaskan: "Ali berkata kepada Hasan dan Husain: "Nikahkanlah ia dengan paman kalian."
Mereka berkata: "Ia adalah wanita seperti wanita-wanita lainnya yang memiliki hak untuk memilih."
Ali dengan marah berdiri dan hasan menarik pakaiannya lalu berkata: "Wahai ayahku! Aku tidak sanggup jauh darimu."
Lalu Ali berkata: "Maka nikahkanlah ia dengan Umar."
Meski demikian, sekelompok lainnya secara sengaja dan sadar menyelewengkan cerita bohong itu. Perhatikanlah! Sama seperti pertentangan dalam perkataan Hasan bin Hasan dalam perkara pernikahan Ummu Kultsum dengan 'Aun bin Ja'far. Di riwayat itu kita membaca:
"Ketika Ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib as menjadi janda setelah Umar bin Khaththab, saudara-saudaranya, Hasan dan Husain as mendatanginya dan berkata..."
Riwayat panjang itu secara jelas sangat lucu sekali dan benar-benar nampak kebohongannya.
Poros kedua:
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada kebanyakan dari riwayat-riwayat tersebut sebab pertentangan Imam Ali as atas pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar adalah kecilnya usia Ummu Kultsum... Apa yang dapat kita fahami dari riwayat-riwayat tersebut adalah bahwa Umar tidak membenarkan perkataan Imam Ali as. Oleh karena itu ia datang berkali-kali ke rumah Imam Ali as dan terus mendesak... yang akhirnya berujung pada ancaman. Bahkan di sebagian riwayat hal itu disebutkan
dengan jelas. Di riwayat Dulabi dan Muhib Thabari disebutkan:
Ali berkata: "Ia masih kecil."
Umar berkata: "Tidak, demi Tuhan! Alasanmu yang sebenarnya bukan itu, sungguh engkau ingin mencegahku dari hal ini. Jika yang sebenarnya adalah apa yang kau katakan, maka bawalah ia ke sisiku..."
Karena sikap Umar ini tidak patut, maka ulama Ahlu Sunah mencegah diri untuk menukil alasan Imam Ali as, desakan Umar, ancaman dan bantahannya... Jika anda merujuk kepada riwayat Khatib Baghdadi, maka permasalahannya bakal jelas.
Poros ketiga:
Ibn Sa'ad menukil dari Waqidi dan selainnya, dan berkata: "...saat itu Ali as meminta kain lalu mengikatkannya dan berkata kepada Ummu Kultsum: "Datanglah ke Umar dengan ini."
Dalam penjelasan Muhibb Thabari yang menukil dari Ibnu Ishaq disebutkan: "Ali memanggil Ummu Kultsum lalu memberi kain kepadanya dan berkata: "Pergilah kepadanya dengan ini..."
Hal itu dikarenakan Umar akan melihatnya. Oleh karena itu, ketika Ummu Kultsum kembali ke ayahnya ia berkata: "Ia tidak membuka kain ini, dan ia tidak melihat selain kepadaku."
Ya, sikap khalifah Muslimin seperti itu bagi ulama Ahlu Sunah (seperti Sibth bin Jauzi) adalah sikap yang tak pantas dan tak cocok; yang mana kami akan menjelaskan ucapan-ucapannya.
Oleh karena itu sebagi ahli hadits lainnya tidak menyebutnya dalam riwayat-riwayat mereka.
Abu Bushr Dulabi meriwayatkan seperti ini:
"...Ali, memanggil Ummu Kultsum (yang saat itu masih anak kecil) lalu berkata kepadanya: "Pergilah ke hadapan Amirul Mukminin dan katakan padanya: "Ayahku menyampaikan salam kepadamu." lalu berkata: "Kami menerima apa yang kau minta..."
Khatib Baghdadi juga meriwayatkan seperti ini:
"Umar mendatangi Ali bin Abi Thalib as untuk melamar Ummu Kultsum dan berkata: "Nikahkanlah ia denganku."
Ali as berkata: "Aku telah menjodohkannya dengan putra saudaraku, Abdullah bin Ja'far."
Umar berkata: "Demi Tuhan! Tidak ada orang yang lebih baik dariku untuk merawatnya."
Setelah itu Ali as menikahkannya dengan Umar dan Umar mendatangi Muhajirin..."
Poros ke-empat:
Dalam cerita tersebut ada yang menukil sepenggal perkara yang "tak layak", misalnya:
Di riwayat Ibnu Sa'ad dari Waqidi disebutkan: "Ali memerintahkan agar Ummu Kultsum dihias dan disiapkan."
Di riwayat Khatib Bagdadi dari 'Uqbah bin 'Amir disebutkan: "Mereka menghiasnya"
Di riwayat Ibn Abdul Barr dan selainnya dari Imam Baqir as dijelaskan: "Ketika Ummu Kultsum mendatangi Umar, betisnya ditelanjangi (!!)."
Ya, hal itu memang tak layak didengar dan jelek sekali.
Sesungguhnnya apakah para pemalsu riwayat ini tidak malu atas perbuatan mereka? Ini sungguh kejelekan yang jika didengar oleh orang biasa pasti ia akan membencinya dengan sangat dan mengakui keburukannya.
Apakah mereka tidak malu menukilkan cerita bohong dan mengakunya dari Imam Baqir as?
Ya, sungguh memalukan sekali. Oleh karena itu kita sering melihat sebagian ahli hadits Ahlu Sunah merubah riwayat-riwayat tersebut. Ibnu Atsir merubah kisah itu dan berkata: "Umar meletakkan tangannya di atasnya."
Dulabi dan Muhib Thabari dalam hal ini menjelaskan: "Umar menarik lengannya."
Di tempat lainnya mereka berkata: "Umar menariknya dan memeluknya (!!)."
Sebagian lain seperti Baihaqi dan Hakim Neisyaburi dalam hal itu tidak menukilkan apapun.
Muhibb Thabari ketika menukil riwayat-riwayat ini berkata: Ibnu Samman menjelaskan permasalahan itu dengan singkat...
Adapun apa yang ia nukilkan, tidak ada satupun dari masalah ini.
Dari sisi lain, sebagian orang yang menukil kisah tersebut secara jelas menyebutnya sebagai kebohongan. Sibth bin Jauzi (654 H.) mengenai hal ini berkata:
"Kakekku dalam kitab Al-Muntadham menulis: "Ali mengirim Ummu Kultsum kepada Umar agar Umar melihatnya. Umar menelanjangi betisnya lalu menyentuhnya."
Sibth bin Jauzi menambahkan: "Menurutku -demi Allah!- perbuatan itu buruk sekali; sekalipun ia adalah budak
, tak seharusnya diperlakukan demikian."
Lagi pula semua umat Islam percaya bahwa menyentuh perempuan bukan muhrim adalah haram hukumnya. Lalu bagaimana mereka menuduh Umar melakukan perbuatan itu?
Penulis berkata: "Andai hanya menyentuh saja. Di riwayat lainnya Khatib Bagdadi menukilkan bahwa ia sampai mencium dan memeluk betisnya."
Poros kelima:
Teks riwayat yang dinukil oleh Ibn Sa'ad dan selainnya mengandung semacam ungkapan selamat. Kita telah membaca bahwa Umar berkata kepada Muhajirin:
"Ucapkanlah selamat kepadaku." Lalu mereka mengucapkan selamat.
Yakni Umar meminta mereka mengucapkan selamat spesial dan mengatakan, “kalian doakan aku agar mempunyai keluarga yang tentram, bahagia dan anak yang banyak.
Jelas sekali bahwa bentuk ungkapan selamat ini adalah kebiasaan jaman jahiliah, yang mana umat Islam sepakat bahwa Rasulullah saw telah melarangnya.
Mengenai hal itu Ahmad bin Hanbal meriwayatkan demikian:
"Abdullah bin 'Aqil berkata: "'Aqil putra Abu Thalib menikah, lalu ia datang kepada kami dan kami mengucapkan selamat kepadanya dengan ungkapan selamat jaman jahiliah. 'Aqil berkata: "Tenanglah! Jangan kalian ungkapkan selamat seperti ini, karena Rasulullah saw telah melarang kita untuk mengungkapkan selamat seperti itu dan berkata: "Katakanlah: Semoga Allah memberkahimu."."
Dengan demikian, perbuatan Umar itu menunjukkan bahwa ia tidak tahu bahwa Rasulullah saw telah melarang kebiasaan tersebut. Atau dengan sengaja ia ingin memarakkan kembali kebiasaan jahiliah itu. Akhirnya ulama Ahlu Sunah terpaksa menyelewengkan teks riwayat ini, dan oleh karenanya dalam Mustadrak Hakim disebutkan seperti ini:
Umar mendatangi Muhajirin dan berkata: "Apakah kalian tidak mengucapkan selamat kepadaku?"
Dalam As-Sunan Al-Kubra Baihaqi disebutkan:
"Umar mendatangi kaum Muhajirin... lalu mereka mengucapkan selamat dan keberkahan serta mendoakannya."
Di sisi lain, Khatib Bagdadi sama sekali tidak menukilkan hal itu dalam kitabnya.
Poros keenam:
Poros lain kisah ini yang perlu dibahas adalah buah pernikahan palsu itu.
Dalam beberapa riwayat disebutkan: "Ummu Kultsum setelah menikah dengan Umar memiliki anak yang bernama Zaid."
Di riwayat Sa'ad dan selainnya disebutkan: "Ia melahirkan Zaid bin Umar dan seorang Ruqayah dari Umar".
Nawawi di bagian jumlah anak-anak Umar menukil demikian, "...dan Fathimah dan Zaid, yang mana ibu mereka adalah Ummu Kultsum..."
Dalam riwayat Ibn Qutaibah tentang putri-putri Imam Ali as disebutkan: "Ummu Kultsum memiliki anak-anak yang mana mereka telah kami sebutkan."
Poros ketujuh:
Salah satu poros lain yang perlu dibahas mengenai kisah palsu di atas adalah pernikahan Ummu Kultsum sepeninggal Umar bin Khattab.
Dalam riwayat yang berkenaan dengan ini disebutkan bahwa setelah Umar, Ummu Kultsum dinikahi oleh 'Aun lalu setelahnya Muhammad putra Ja'far. Namun mereka yang menyatakan pernikahan Ummu Kultsum dengan kedua orang itu berkata, "Aun dan Muhammad terbunuh di peperangan Syusytar dan peperangan itu terjadi di jaman Umar."
Ibn Abdul Barr berkata berkenaan dengan hal ini:
"Aun bin Ja'far bin Abi Thalib lahir di jaman Rasulullah saw. Ibunya adalah Asma' binti 'Umais Khats'ami, dan saudara-saudaranya adalah 'Abdullah dan Muhammad, putra-putra Ja'far bin Abu Thalib. Aun dan saudaranya, Muhammad, mati di perang Syusytar dan tidak memiliki satupun anak."
Lalu ia melanjutkan, “Muhammad bin Ja’far bin Abi Thalib lahir di zaman Rasulullah saw… dia adalah orang yang menikahi Ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib as sepeninggalnya Umar… yang kemudian meninggal di perang Syusytar”
.
Ibn Hajar berkata: "'Aun bin Ja'far terbunuh di perang Syusytar. Perang itu terjadi di jaman kekhalifahan Umar dan Aun tidak memiliki seorang anak."
Ibn Atsir juga berkata demikian.
Perlu dijelaskan bahwa perang itu terjadi di jaman Umar, dan para ahli sejarah telah menjelaskannya secara rinci.
Ibn Hajar juga menjelaskan hal yang sama.
Ya, para pembaca yang budiman, anda sekalian telah memperhatikan perkataan-perkataan mereka yang saling bertentangan dan anda pasti terheran-heran.
Poros kedelapan:
Pembahasan lainnya adalah, sebenarnya siapa di antara dua bersaudara ini yang menikahi Ummu Kultsum? 'Aun bin Ja'far ataukah Muhammad bin Ja'far?
Riwayat-riwayat Ahlu Sunah tentang hal ini berbeda-beda. Ibn Sa'ad dan Dar Quthni (sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Ishâbah) mengatakan: "Aun meninggal di masa hidupnya Ummu Kultsum dan saudaranya, Muhammad, menjadikannya sebagai istri. Lalu Muhammad juga meninggal, dan 'Abdullah menikahinya."
Ibnu Sa'ad meriwayatkan seperti ini: "Ummu Kultsum sering berkata: "Aku malu terhadap Asma' binti 'Umais, karena ia punya dua anak lelaki yang meninggal dunia di sisiku, dan aku takut akan yang ketiganya ini. Namun ummu Kultsum meninggal di sisi Abdullah."
Lain lagi yang dinukil Ibn Qutaibah berkenaan dengan cerita itu. Ia berkata: "Ketika Umar terbunuh, Muhammad bin Ja'far menikah dengan Ummu Kultsum, dan ia mati di masa hidupnya. Lalu Aun bin Ja'far menikahinya, dan Ummu Kultsum meninggal dunia di sisinya."
Perhatikanlah bahwa Ibnu Qutaibah menyebut pernikahan Muhammad bin Ja'far dengan Ummu Kultsum adalah sebelum pernikahan Aun dengannya dan wafatnya di sisi Aun juga ia sebutkan, dan sama sekali tidak menyebut nama Abdullah.
Di sisi lain, meskipun Ibn Abdul Barr dalam penjelasan tentang hayat Ummu Kultsum sama sekali tidak menyinggung pernikahannya setelah kematian Umar, namun saat menjelaskan kisah kehidupan Muhammad bin Ja'far ia berkata:
"Muhammad bin Ja'far bin Abi Thalib adalah orang yang menikahi Ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib sepeninggal Umar bin Khattab."
Poros kesembilan:
Di bagian ini kita akan membahas secara sekilas tentang Abdullah bin Ja'far.
Ia adalah istri Aqilah Bani Hasyim, Zainab putri Imam Ali bin Abi Thalib as. Sayidah Zainab hidup dengan suaminya, Abdullah, yang kemudian meninggal pasca peristiwa Karbala.
Ibn Sa'ad mengenai sayidah Zainab berkata:
"Zainab, putri Ali bin Abi Thalib, dinikahi oleh Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib. Hasil pernikahan itu adalah empat lelaki dengan nama Ali, Aun Akbar, Abbas, Muhammad, dan seorang putri bernama Ummu Kultsum."
Ibnu Sa'ad melanjutkan dan menukil riwayat dari Muhammad bin Ismail bin Fadik dari Ibn Abi Dzi'b dan berkata:
"Abdurrahman bin Mihran berkata kepadaku: "Abdullah bin Ja'far bin Abu Thalib menikah dengan Zainab putri Ali. Ia secara bersamaan juga menikahi mantan istri Ali, Laila binti Mas'ud, yang mana keduanya adalah istri Abdullah."
Nawawi dalam menjelaskan kisah Abdullah, setelah menyebut nama anak-anaknya ia berkata: "...ibu mereka adalah Zainab putri Ali bin Abi Thalib, dari Fathimah putri Rasulullah saw."
Ibn Hajar tentang Sayidah Zainab menulis:"Zainab putri Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib, adalah Hasyimi dan keturunan rasulullah saw. Ibunya adalah Fathimah Azzahra."
Lalu ia menjelaskan dan menulis, "Ibn Atsir, menjelaskan Zainab seperti ini:
"Ia lahir di jaman Rasulullah saw. Ia adalah anak perempuan yang cerdas, pintar dan pandai berbicara. Ayahnya menikahkannya dengan Abdullah bin Ja'far, dan akhirnya melahirkan beberapa anak. Ketika saudaranya Imam Husain as terbunuh, ia bersamanya. Lalu ia dibawa ke Syam, dan hadir di majelis Yazid bin Mu'awiyah. Di sana, ada seorang lelaki meminta saudarinya, Fathimah, untuk menjadi budaknya. Zainab mengangkat suaranya dan berkata kepada Yazid lalu mengkritiknya yang menunjukkan kekuatan hatinya. Cerita ini sangat terkenal dan masyhur."
Oleh karena itu... Jika Ummu Kultsum yang meninggal di jaman Mu'awiyah adalah Ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib... yang mana sepeninggal 'Aun dan Muhammad menjadi istri Abdullah bin Ja'far (sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat-riwayat tersebut), maka artinya adalah Abdullah bin Ja'far menjadikan dua saudari sebagai istrinya sekaligus. Padahal itu adalah perbuatan yang diharamkan dan tidak layak kita berbicara begitu.
Oleh karena itu, Ibn Sa'ad menjelaskan dengan teliti. Ia berkata: "Ummu Kultsum adalah istri Muhammad bin Ja'far yang kemudian dinikahi oleh saudaranya, Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib, pasca meninggalnya saudarinya Zainab".
Poros kesepuluh:
Pertanyaan lain yang dapat dilontarkan di sini adalah: Setelah Ummu Kultsum meninggal dunia, siapakah yang menshalatinya?
Jawaban pertanyaan ini dapat ditemukan di riwayat-riwayat yang terkait dengannya. Namun riwayat-riwayat itu pun saling bertentangan... Bahkan riwayat-riwayat yang dinukil dari satu perawi pun juga bertentangan.
Ibn Sa'ad meriwayatkan dari Sya'bi dan Abdullah Bahiy tentang masalah ini serta anaknya Zaid, "Ia dishalati oleh Ibn Umar."
Ia juga meriwayatkan hal yang sama dari Ammar bin Abi Ammar dan Nafi' dan berkata: "Sa'id bin 'Ash yang menshalatinya."
Yang menarik sebagian ahli sejarah menukil dari Ammar bin Abi Ammar bahwa Sa'ad bin Abi Waqqash lah yang menshalati jenazahnya.
Bagaimanapun juga, siapapun yang menshalati Ummu Kultsum, hal itu membuktikan bahwa ia meninggal di jaman Mu'awiyah. Karena riwayat-riwayat itu menjelaskan bahwa Imam Hasan as dan Imam Husain as juga menshalatinya.
Adapun yang telah dicatat sejarah adalah bahwa Ummu Kultsum bersama Saudarinya Zainab hadir di peristiwa Karbala. Ketika dibawa ke Kufah sebagai tawanan, ia menyampaikan khutbah yang terkenal yang isinya dinukil di beberapa kitab terkenal.
Khutbah itu dinukil oleh Ibn Thayfur (wafat 280 H.) dalam kitab Balâghat An-Nisa'. Ibn Atsir dan selainnya juga menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka di bawah tema “Farts”, seperti An-Nihâyah, Lisân Al-'Arab dan Tâj Al-'Arus.
Mungkin karena itulah dalam riwayat Abu Dawud dari Ammar bin Abi Ammar disebutkan:
Ammar bin Abi 'Ammar berkata, "Aku ikut hadir ketika jenazah Ummu Kultsum dan anaknya dishalati. Jenazah putranya diletakkan di arah berdirinya imam jama'ah.
Lalu aku mengkritik hal itu. Namun orang-orang yang hadir di situ seperti Ibn Abbas, Abu Sa'id Khudri, Abu Qutadah dan Abu Hurairah berkata: "Perbuatan ini adalah sunah."
Ammar bin Abi Ammar mengakhiri riwayat ini tanpa menyebut nama imam yang menshalati mereka, juga tanpa menjelaskan siapakah Ummu Kultsum ini? Dan siapa anak itu?
Dan juga dalam riwayat Nasa'i dari Ammar bin Abi Ammar disebutkan:
"Aku hadir di jenazah seorang wanita dan anak lelakinya. Jenazah anak lelaki itu diletakkan di depan di arah imam shalat berdiri, dan jenazah wanita itu diletakkan di belakangnya, lalu shalat jenazah dilakukan untuk keduanya. Di antara yang hadir di sana ada Abu Sa'id, Ibn 'Abbas, Qutadah dan Abu Hurairah. Aku bertanya kepada mereka tentang hal ini. Lalu mereka menjawab: "Ini adalah sunah."."
Ammar bin Abi Ammar menukil riwayat itu namun tidak menyinggung nama imam shalat, nama kedua jenazah dan apa hubungan antara jenazah perempuan dengan anak lelaki itu.