Hawa Nafsu

Hawa Nafsu0%

Hawa Nafsu pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Shohib Aziz Zuhri
Kategori: Akhlak

Hawa Nafsu

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Shohib Aziz Zuhri
Kategori: Pengunjung: 16066
Download: 11133

Komentar:

Hawa Nafsu
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 16066 / Download: 11133
Ukuran Ukuran Ukuran
Hawa Nafsu

Hawa Nafsu

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

BAGIAN KETIGA

Telaah Kritis Bala Tentara Akal dan Kejahilan

Seusai memaparkan beberapa nash keislaman yang me muat riwayat-riwayat tentara akal dan kejahilan, patut bagi kita untuk berhenti sejenak menelaah dan merenungkan kan dungannya. Karena memang hal itu layak dan seharusnya diperhatikan. Berikut ini ada beberapa butir yang perlu dire nungkan.

1. Pertama-tama, nash-nash ini berbicara dengan bahasa isyarah (simbolik) yang akrab digunakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Bahasa ini, pada galibnya, ditemukan dalam nash- nash yang menjelaskan penciptaan manusia dan alam semesta. Dalam rangka memahaminya dengan baik, diperlukan dzaug (cita-rasa) terhadap ruh setiap kalimat yang ada dalam nash itu. Jangan sekali-kali kita terpaku pada arti harfiah kalimat-kali mat tersebut.

2. Beralih pada nash itu sendiri. Pada nash yang pertama dan kedua kita menemukan bahwa akal dan kejahilan sama- sama melaksanakan perintah "berpaling". Namun, pada perintah "menghadap", akal saja yang melakukannya sementara kejahilan membangkang.

Sebagaimana yang saya fahami dari dua nash tersebut, kejahilan yang dimaksud adalah hawa nafsu. Pandangan itu dupat dibuktikan dengan dua qarînah (alasan semantis); pertama, posisinya yang dilawankan dengan akal; kedua, kata-perkata yang terdapat dalam daftar bala-tentara hawa nafsu.

Menurut hemat saya - wallahu a’lam bis-shawâb - bahwa perintah berpaling itu bersifat takwînî (ihwal penciptaan/kos mik) seperti dalam firman Allah: "... dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya me ngatakan “Jadilah”. Lalu jadilah ia". Q.S. Al-Baqarah 117.

Perintah takwînî ini berlaku buat akal, hawa nafsu bah kan seluruh jagad raya. Tak satupun yang tidak menunaikan dan menyamhut perintahn-Nya ini. Allah berfirman: "Sesung guhnya perkataan Kami terhadap seauatu apabila Kami meng hendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”, ma ka jadilah ia." Q.S. Al-Nahl 40.

Dan firman Allah SWT: "Maha suci Dia. Apabila Dia telah rnenetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia." Q.S. Maryam 35.

Syahwat, sebagaimana akal beserta bala-tentaranya, juga melaksanakan perintah takwînî itu.

Akan tetapi, dengan mencermati konteks perintah pertama Ilahi yang vis-a-vis perintah menghadap, kita dapat menyimpulkan hahwa perintah kedua itu bersifat tasyrî'iy (ihwal Syariat). Disini kita dapat memahami mengapa akal menaatinya, sedang kejahilan (Baca: hawa nafsu) menentangnya.

3. Adalah juga menarik untuk disimak dalam kedua nash tersebut bahwa akal diciptakan dari mâddah (bahan/materi) yang berbeda dengan nafsu dan syahwat.

Dalam riwayat pertama disebutkan bahwa akal tergolong makhluk ruhâny yang telah diciptakan Allah dan diletakkan di sisi kanan Arsy. Sementara Allah menciptakan kejahilan atau hawa nafsu dari laut asin yang gelap-gulita.

Pada kajian yang terbatas ini, saya tidak bisa memberikan batasan yang jelas tentang mâddah awwaliyyah (bahan-dasar) bagi akal dan hawa nafsu. Ilmu tentangnya hanya ada pada orang yang tnendapat anugrah khusus dari Allah dan mereka yang ahli ta'wil al-ahâdîts (penjelasan makna batin).

Meskipun demikian, dari kedua nash itu, dapat dipahami dengan jelas bahwa bahan akal berasal dari kesadaran, pemahaman dan idrâk (pengetahuan kognitif); yang merupakan pancaran Nur Ilahi. Bahan hawa nafsu sama sekali tidak bersentuhan dengan kesadaran dan idrâk.

Hawa-nafsu adalah tumpukan zhulmânî (kegelapan) tuntutan dan obsesi. Nur kesadaran dan idrâk tidak bisa menem-busnya. Di lain pihak, akal adalah tumpukan fakultas kesa-daran dan idrâk. Allah menjadikan keduanya sebagai dua poros sentral kepribadian manusia.

4. Dalam kedua nash tersebut dinyatakan bahwa Allah mengagungkan akal karena ketaatannya dalam menunaikan perintah berpaling dan menghadap. Sementara, Allah mengutuk kejahilan karena menentang perintah-Nya. Adapun yang dimaksud kutukan (laknat) di sini ialah pengusiran dan kejauhan dari rahmat Allah SWT. Nash tersebut seakan-akan menegaskan bahwa kepribadian manusia memiliki dua aspek dasar; yang satu mendekatkannya kepada Allah dan lainnya menjauhkannya dari-Nya. Kedua aspek tersebut adalah akal dan hawa nafsu. Keduanya saling berusaha menyeret manusia ke dua arah yang diametral. Allah telah menjadikan keduanya demikian; akal mendorong manusia menuju Allah dan hawa nafsu mengajak manusia menentang-Nya.

5. Disebutkan bahwa ketika Allah memberikan 75 karakter sebagai bala-bantuan bagi akal. Hawa nafsu (kejahilan) menuntut kepada Allah untukdiberi bala-bantuan dengan jumlah yang sama. Di kala itu, Allah menegaskan pada kejahilan; "Jika setelah itu kau bermaksiat padaku, sungguh Aku akan mengeluarkanmu bersama tentammu dari rahmat-Ku".

Untuk sekedar mengingatkan kembali para pembaca, kedua nash tersebut berbicara dengan menggunakan bahasa simbolik. Ini berarti bahwa dialog antara Allah-akal atau Allah-kejahilan tidaklah bersifat hakiki.

Kedua nash tersebut mengisyaratkan posisi dan nilai hawa nafsu menurut pandangan keislaman. Pada saat nash-nash itu menjelaskan tugas hawa nafsu menjauhkan manusia dari Allah dan tugas akal sebaliknya, ia juga menyiratkan bahwa bila hawa nafsu tidak menyeret manusia kepada kemaksiatan, maka ia tetap berada dalam lingkaran rahmat Allah SWT. Sebaliknya, ia akan diusir keluar dari lingkaran rahmat Allah SWT bila menyeret manusia kepada kemaksiatan.

Kalau demikian halnya, Islam tidak selalu menganggap hawa nafsu sebagai azab dan siksa bagi manusia. Dengan kata lain, ia adalah rahmat selagi tidak memalingkan manusia dari ketaatan kepada Allah. Namun, apabila ia sudah mulai menyeret manusia kepada kemaksiatan, ia berubah menjadi azab dan siksa bagi kehidupan manusia.

Jadi, berbeda dengan beberapa teori yang dinisbatkan kepada agama yang selalu mendiskreditkan hawa nafsu, naluri dan syahwat.

Islam menetapkan sebuah prinsip yang sangat penting dalam menyikapi hawa nafsu dan bala-tentaranya di hamparan rahmat Allah.

Islam tidak menganggap bahwa mengikuti ajakan hawa nafsu adalah suatu yang selalu akan membawa aib dan mesti dihindari. Mengikuti tuntutan hawa nafsu itu tidak bermasalah selagi ia tidak mengeluarkan manusia dari ketaatan kepada kemaksiatan.

Bahkan Islam menegaskan bahwa memenuhi tuntutan syahwat yang terkontrol secara situasional dan kondisional adalah tangga menuju kesempurnaan hidup manusia.

6. Kedua nash itu mensinyalir dua sisi akal.

Pertama, sisi kesadaran dan idrâk.

Kedua, sisi efektifitas dan kinerja.

Semakin banyak bala-tentara yang datang membantu, semakin efektiflah kerja akal. Sebaliknya, semakin berkurang bala-tentara yang terwujud, semakin mengendur pulalah militansi akal dalam mengendalikan syahwat dan hawa nafsu.

Mengutip redaksi di atas: "Tidak akan sempurna karakter-karakterlbala-tentara akal kecuali pada seorang nabi, washi atau Mukmin teruji. Adapun selain mereka selalu tidak sempurna”. Namun, bila secara bertahap akal menyempurnakan diri dengan melepas diri dari tentara kejahilan, maka, saat itu, ia berada setingkat dengan para nabi dan washi.

Tak syak lagi, bahwa sempurnanya sisi eksekutif akal mencerminkan sempurnanya sisi pandangan, bashîrah dan kesadarannya. Dengan demikian, asimilasi ini berlangsung melalui tiga tahap:

Pertama, manusia menyempurnakan karakter dan tentara akal.

Kedua, maka sempurnalah kemampuan akal dalam melaksanakan tugasnya melawan hawa nafsu.

Ketiga, ini berarti sempurnanya bashîrah, kesadaran dan idrâk akal. Pada saat itulah, manusia akan berada setingkat dengan para Nabi dan washî sebagaimanayangtelah dijelaskan dalam nash tersebut.

Nash tersebut berusaha membentuk suatu landasan-dasar dan kerangka-kerja yang baik bagi sistem pendidikan dan etika manusia menurut konsep keislaman.

Sesungguhnya, akal adalah komposisi dari bashîrah dan kemampuan eksekutif. Lemahnya bashîrah muncul dari mengendurnya kemampuan eksekutifnya. Adapun lemahnya kemampuan eksekutifnya berasal dari berkurangnya bantuan dari tentara akal. Apabila manusia menyempurnakan jiwanya dengan karakter-karakter ini maka kepribadiannya pun akan menjadi sempurna dari sisi bashîrah dan pelaksanaannya atau sisi praktisnya sekaligus.

7. Nash-nash di atas membagi perilaku manusia dalam dua kategori yang berbeda; takwa dan fujûr (kenistaan). Takwa didefinisikan sebagai mengikuti dan menjadikan akal sebagai hakim atas prilaku manusia. Sedangkan fujûr didefinisikan sebagai mengikuti dan menjadikan hawa nafsu beserta seluruh tentaranya sebagai hakim atas prilakunya.

Gerak manusia menuju Allah selalu melewati dua aras:

A. Melepas diri dari tentara kejahilan dan hegemoni hawa nafsu.

B. Memasuki daerah kekuasaan tentara akal dan menjadikan akal sebagai hakim atas prilaku manusia.

8. Terdapat 75 pasang bentuk prilaku manusia. Masing-masing darinya tersusun menjadi dua medan yang tarik-menarik dalam jiwa seorang. Salah-satunya bersifat 'aqlânî (rasional) dan yang lain bersifat syahwânî (berasal dari syahwat). Medan pertama berisi bala-tentara akal dan yang kedua berisi bala-tentara kejahilan.

9. Analisa tentang kedua kelompok prilaku manusia itu, menunjukkan pada kita bahwa Allah SWT telah menjadikan kekuatan yang setara pada masing-masing pihak. Hal itu, supaya manusia tidak semata-mata -secara fatalistik - menjadi sandera hawa nafsu.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kesempurnaan pertumbuhan jiwa manusia dan tingkah-lakunya menuntut keberadaaan hawa nafsu. Maka dari itu, Allah mesti membuat akal resisten terhadap serbuan hawa nafsu sehingga tercipta kekuatan yang berimbang dalam jiwa manusia.

10. Seratus lima puluh (150) tentara itu bersifat esensial pada jiwa manusia. Semua kelakuan manusia, baik maupun buruk, mempunyai akar yang dalam pada jiwa. Hal ini telah dijelaskan Al-Quran; "Maka diilhamkan padanya kejahatannya dan ketakwaannya."

Dengan perkataan lain, keduannya muncul secara intrinsik dan tidak berasal dari faktor-faktor luar.

11. Prajurit-prajurit akal dapat dikelompokkan dalam dua bagian: kelompok muhaffizat (faktor-faktor pendorong/insentif) dan dhawâbith (faktor-faktor pengekang/pengontrol).

Faktor-faktor pendorong bertugas "membangkitkan" jiwa. Seperti keimanan, makrifat, rahmat dan kejujuran. Sedangkan faktor-faktor pengontrol bertugas melakukan tindak preventif dan represif (mengekang). Seperti 'iffah, mawas-diri, sabar, qanâ’ah dan malu. Gabungan dari keduanya akan bisa membangun, menjaga, dan sekaligusjuga menopang peran akal dalam meluruskan kepribadian manusia.

Berikut ini kita akan menguraikan pandangan global di atas:

Akal manusia mempunyai dua macam aktifitas utama:

Pertama, menggerakkan manusia untuk merealisasikan tujuan-tujuan kesempurnaan dan kedewasaan manusiawi.

Kedua, mencegah manusia dari segala bentuk ketergelinciran ke dalam jurang yang membahayakan. Untuk lebih jelasnya, saya sebutkan contoh-contoh berikut ini:

Manusia mengalami penyempurnaan dengan bergerak menuju Allah SWT Akal bertugas mengintensifkan iman, dzikrullah, ibadah dan cinta kepada Allah. Gerak manusia dari ego menuju Allah ini merupakan gerak yang paling fundamental dalam kehidupan manusia.

Begitu pula manusia akan menjadi sempurna dengan geraknya meleburkan diri bersama Mukminin dan para pemimpin mereka. Inilah yang diistilahkan Islam dengan al-walâ`. Walâ` adalah proses fusi individu ke dalam masyarakat Muslim melalui gotong-royong, solidaritas, silaturahmi dan saling mencintai sesama. Ini adalah gerakan pelumeran ego dan individu ke dalam masyarakat. Gerakan semacam ini juga sangat fundamental bagi manusia. Inilah contoh aktifitas akal.

Dalam perjalanannya itu, manusia selalu menghadapi risiko ketergelinciran. Boleh jadi manusia membanting setir tujuannya untuk bergerak dari ego menuju Allah, dari Allah menuju ego kembali. Karena, mungkin, menumpuknya maksiat, kesalahan dan ketundukannya kepada ajakan syahwat dan hawa-nasfu.

Kadang manusia juga tersendat dalam upayanya meleburkan individualitasnya ke dalam umat. Bahkan, dia berbalik dari berintegrasi dengan umat kepada egoisme; temperamental, penuh prasangka, terlalu sensitif' dan posesii'. Jadi, akal memainkan perannya yang efektif dan menentukan dalam mengawasi dua dinamika perjalanan manusia:

1. Dari ego menuju Allah dan dari individualitas menuju umat.

2. Menolong manusia untuk tidak terseret ajakan hawa nafsu dan tergelincir bersamanya ke arah yang berlawanan; dari Allah menuju ke ego dan altruisme menuju egoisme.

Hanya saja, akal, secara herdiri sendiri, tidak akan mampu menyelesaikan dua perjalanan raksasa ini. Oleh karena itu, akal meminta bantuan beberapa karakter yang bisa menopangnya dalam menempuh dualisme perjalanan ini.

Karakter-karakter ini pun terbagi dalam dua kelompok:

Pertama, karakter-karakter yang mendorong dinamika manusia dari egoisme menuju Allah dan gerak yang dibutuhkan manusia dari individualisme menuju Walâ` kepada Mukminin. Sedang sekelompok karakter lain memberi bantuan manusia untuk mengendalikan dan menghaclapi tekanan huwa nafsu.

Adalah kecenderungan fitri kepada Allah, cinta Ilahi, zikir, dan ibadahlah yang menyongsong gerak laju manusia menuju Allah. Begitu pula kecenderungan hidup bermasyarakat (homo socius), rasa cinta ada kasih-sayang terhadap sesama adalah motor utama bagi terwujudnya suatu masyarakat. Karakter-karakter ini merupakan bagian yang memotivasi dan "melicinkan jalan" bagi akal agar dapat membangun prilaku rasional manusia.

Di sisi lain, terdapat sejumlah karakter yang digunakan untuk mengontrol prilaku rasional manusia.

Rasa rnalu, sebagai contoh, bisa mengontrol brutalitas.

Hilm (kebijakan intelektual) mencegah amarah yang berlebihan.

‘Iffah bisa mencambuk manusia untuk tidak bertingkah-laku seksual yang keluar dari syariat.

Qanâ’ah dapat menyelamatkan manusia dari sikap rakus dan lain-lain.

Karakter-karakter pengontrol ini kita sebut juga dengan nama 'isham (bentuk jamak dari 'ishmah [penjagaan]). Semua itu bertugas mencegah manusia dari kehancuran. Seandainya penjagaan-penjagaan itu tiada, niscaya akal sendirian tidak akan bisa menunaikan tugasnya dalam mengendalikan hawa nafsu.

Dalam penjagaan ini berlaku juga prinsip kembang-kempis. Prinsip ini mengikuti pola hukum dan sebab-akibat tertentu yang akan lebih saya jelaskan sebentar lagi, Insya-Allah.

12. Karakter-karakter ini harus selalu di bahwa naungan akal dan agama. Bila tidak, mereka berubah menjadi anasir yang membahayakan dan faktor yang negatif. Seperti, belas-kasih; kelompok faktor pembangkit derajat manusia, ketika terlepas dari akal dan agama ia bisa berubah menjadi faktor yang sangat berbahaya. Sebagaimana bila belas-kasih ditujukan kepada kalangan orang-orang zalim yang jelas-jelas dilarang oleh akal dan agama.

Allah SWT berfirman: "Janganlah kamu berbelas-kasih kepadanya (orang zalim)."

Begitu pula infak. Bila ia telah menyeleweng dari akal dan agama akan berubah menjadi faktor destruktif.

Allah berfirman: "... dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal". Q.S. Al-Isrâ` 28.

13. Bala-tentara kejahilan tidak akan kuasa memaksa irâdah manusia betapa pun kuatnya. la tidak akan mampu merampas kehendak bebas manusia. Keputusan akhir tetap ada di tangan manusia dan pada puncak kekuasaannya.

Bala-tentara kejahilan hanya bisa menekan irâdah manusia. la juga bisa menggerakkan irâdah manusia tanpa dapat mencabutnya atau mencabut kemandiriannya dalam memutuskan perkara. Begitupun juga, tidak bisa dipungkiri bahwa irâdah manusia bisa terpengaruh oleh bala-tentara akal ataupun kejahilan.

14. Salah-satu barometer kembang-kempis atau pasang-surut bala-tentara akal adalah baik-tidaknya pendidikan akhlak. Karena, pendidikan akhlak dan takwa akan memicu bala-tentara akal, di samping melemahkan dan memperkecil gerak syahwat dan hawa nafsu dalam jiwa.

Sebaliknya juga benar. Pemenuhan segala tuntutan syahwat dan hawa nafsu serta sikap apatis terhadap faktor ketakwaan dan pendidikan akhlak bisa lebih mengefektifkan dan mengefesienkan syahwat atau hawa nafsu dan memperlemah peran bala-tentara akal. Karena itu, dalam nash-nash keislaman terdapat perintah agar selalu waspada terhadap pemenuhan tuntutan hawa nafsu, biar halal sekalipun. Itu semua semata-mata demi menjaga supaya manusia tidak terseret hedonisme.

Rasulullah SAWW telah menjelaskannya dalam sebuah hadis: "Barangsiapa memakan makanan rnenuruti nafsunya, Allah tidak akan melihatnya sampai ia selesai atau meninggalkannya".1

Sesungguhnya, mengumbar selera makan artinya memakan apapun yang disukainya. Kalau ada orang yang mengumbar selera makannya pada yang halal, maka tidak jauh kemungkinan dia "terdesak" dan memakan yang haram. Ten-tunya, orang ini -sebagaimana dalam riwayat itu- tidak akan banyak dicurahi rahmat dan "Allah tidak akan melihatnya."

Ada beberapa latihan untuk melunakkan dan mengempiskan syahwat dan hawa-nahsu. Ibrahim Al-Khawas berkata: "Obat hati ada lima perkara :

1. Membaca Al-Quran.

2. Mengosongkan perut.

3. Bangun di malarn hari (untuk ibadah)

4. Tadharru' (rnerendahkan diri kepada Allah) di tengah malam.

5. Bergaul dengan orang-orang saleh."2

Ada seorang saleh yang mengatakan: "Allah menciptakan hati sebagai ternpat berzikir. Kemudian ternpat itu berubah menjadi sarang syahwat. Dan syahwat yang bersarang dalam hati tidak akan keluar (lepas) kecuali dengan rasa-takut yang mencekam dan rindu yang mencemaskan kepada Allah."3

Tentang permasalahan di atas Imam Ali as berkata dalam khutbahnya yang populer ketika beliau menyifati muttaqin: "Ahli takwa adalah orang yang telah menghidupkan akalnya dan mematikan nafsunya sarnpai luluh keangkuhannya dan lembut kekerasannya. Baginya ternpat yang nyaman dan berkilauan."4

Maksud dari keangkuhan yang diluluhkan dan kekerasan yang dilembutkan ialah hawa nafsu.

Peran tarbiyyah (pendidikan) dan tazkiyyah (penyucian-diri) dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ali ialah melembutkan kekerasan dan meluluhkan keangkuhan perangai hawa nafsu dan bala-tentaranya yang menurut hitungan nash berjumlah 75 karakter. Untuk menghadapi hal tersebut telah dipersiapkan pula 75 bala bantuan bagi akal.

15. Sempurnanya tentara akal ini bisa menyebabkan aktifnya kekuasaan total terhadap hawa nafsu, syahwat dan insting.

Imam Ali as berkata: "Akal yang sempurna akan menaklukkan tabiat jelek manusia".5

Pada saat yang sama, manusia menjadi kuat dan kokoh. Berbeda dengan anggapan mayoritas orang. Mereka memahami arti kekuatan dan keperkasaan hanya dikala syahwat mendominasi manusia.

Sedangkan Islam memandang kekuatan dan keperkasaan adalah dalam pendominasian terhadap hawa nafsu, bukan sebaliknya.

Rasullullah SAW bersabda: "Yang disebut perkasa bukan orang yang rnengalahkan orang lain, narnun orang yang mampu mengalahkan hawa nafsunya."6

Rasulullah SAWW bersabda pula: "Perkasa bukan dia yang kuat dalam bergulat, namun dia yang bisa menguasai nafsunya saat sedang rnarah."7

Rasulullah SAWW bersabda juga: "Orang yang paling berani adalah yang (berani) menaklukkan hawa nafsunya."8

Berbagai Buah Akal yang Sempurna

Ketika akal menyempurnakan kekuasaan dan menancapkan cengkramannya atas hawa nafsu; menyerpurnakan peran dan misinya membimbing manusia, ketika itu akal akan menjadi sumber berkah, taufik dan landasan perubahan kehidupan manusia. Berikut ini saya paparkan sebagian hasil dan buah akal yang bagi kehidupan manusia menurut nash-nash keislaman.

A. Sikap Istiqâmah

Imam Ali as berujar: "Buah akal adalah Istikamah."9

Imam Ali as berkata: "Buah akal adalah bersatu-padu dengan kebenaran."10

B. Membenci Dunia

Imam Ali as berkata: "Buah akal ialah membenci dunia dan mengekang hawa nafsu."11

C. Penguasaan atas Hawa Nafsu

Imam Ali as bertutur: "Bila akal telah sempurna, maka hawa nafsu akan berkurang."12

Dari Imam Ali as: "Akal yang sempurna sanggup rnenaklukkan tabiat yang jelek."13

D. Baik Budi Pekerti dan Prilakunya

Imam Ali a.s berkata: "Orang yang sempurna akalnya adalah orang yang baik amal perbuatannya."14

"Penjagaan-penjagaan"

Setelah kajian kritis pelbagai nash keislaman tentang bala-tentara akal, kini kita kembali pada kajian tentang cara-cara terapi hawa nafsu.

Pada pembahasan yang telah lewat kita telah mengetahui babwa akal sendirian tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengatasi dan membendung hawa nafsu. Sekiranya akal bertarung sendirian melawan hawa nafsu yang kuat itu, niscaya ia selalu berada pada pihak yang kalah. Karenanya, Allah meletakkan bala-tentara yang bisa diandalkan untuk membantu akal menghadapi bala-tentara hawa nafsu. Jumlah keduanya berimbang. Keduanya memiliki matlamat dan tuntutan yang berbeda secara kontradiktif.

Bala-tentara itulah yang di sini kita sebut dengan penjagaan atau al-'isham. Akal selalu meminta bantuan padanya untuk membendung dan mengendalikan kebrutalan hawa nafsu. Atas dasar itu, konsentrasi berbagai penjagaan ini di antara bala-tentara akal yang lain merupakan metode pendidikan yang jitu -juga Islami- dalam terapi hawa nafsu.

Berbagai penjagaan itu sangatlah penting sehagai tindakun preventif dari gempuran-gempuran syahwat dan hawa nafsu yang menyeret manusia ke jurang kemaksiatan.

Seandainya penjagaan serupa tidak ada, maka sudah barang tentu akal saja tidak bakalan mampu mengekang nafsu dan mengendalikan syawat.

Penjagaan ini selalu mengalami kembang-kempis. Dalam keadaan kembang atau optimal, mereka mampu membentengi manusia dari segala bentuk kesalahan dan kemaksiatan. Namun, ketika "stamina"nya mengempis, syahwat akan menjadi-jadi dan mencampuri sembarang urusan manusia.

Optimasi penjagaan ini terjadi dengan ketakwaan, sedang minimasinya disebabkan perbuatan zalim dan dosa. Perbuatan-perbuatan itu mengikis benteng tumpuan manusia untuk menyelamatkan dirinya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Doa Kumail:

"Ya Allah, ampunilah dosa-dasaku yang meruntuhkan penjagaan."

Hubungan antara takwa dan penjagaan bersifat timbal-balik atau mutual. Maksudnya, takwa berpengaruh dalam membantu penjagaan dan penjagaan berpengaruh dalam menopang takwa.

Hubungan antara dosa dan penjagaan pun bersifat mutual. Dosa mempengaruhi minimalisasi dan keruntuhan penjagaan. Sedangkan surut dan runtuhnya penjagaan berakibat pada penguasaan syahwat dan hawa nafsu atas jiwa manusia.

Penjagaan ini bersifat intrinsik. la telah berkelindan dalam fitrah manusia. Allah meletakkannya untuk menopang akal dalam menjalankan berbagai tugas penting yang dititahkan.

Sebagian sosiolog meyakini bahwa penjagaan ini berasal dari luar; masyarakat. Penjagaan itu tidak bersifat aprior (qobli), tetapi, ia bersifat aposterior (ba'di) atau yang diperolehnya di tengah-tengah masyarakat yang ia hidup di dalamnya. Oleh karena itu, intensitasnya berbeda-beda dari lingkungan yang satu ke lingkungan yang lainnya. Dengan perkataan lain, ia berkembang dalam lingkungan masyarakat yang konservatif, sementara akan mengempis dalam masyarakat yang liberal. Bahkan, ada masyarakat yang mencapai tingkat dekadensi moral sedemikian rupa yang bisa meniadakan penjagaan jiwa itu secara total.

Pendapat di atas mendapat kritik yang tajam sehingga sulit untuk dipertahankan.

Fenomena psikologis yang timbul dari fitrah akan sangat berpengaruh secara sosial. Tidak ada jalan untuk mengisolir fenomena psikologis dari selainnya (baca: fenomena sosial). Sungguh salah besar jika kita menganggap bahwa fenomena psikologis berbeda daripada fenomena sosial disebabkan tidak terjadinya interaksi sosial dalam berbagai fenomena psikologis.

Ipso facto, fenomena psikologis seseorang tidak dapat dipandang secara terpisah dari pergumulan sosialnya. Baik dari sisi negatif maupun positif.

Perbedaannya adalah bahwa fenomena psikologis bersifat universal dan mencakup seluruh masyarakat di sepanjang sejarah peradaban manusia dalam tingkatan yang berbeda-beda. Sementara, fenomena sosial terjadi dalam kurun waktu tertentu dan di lingkungan geografis tertentu pula.

Untuk memperjelas masalah di atas, berikut ini akan saya berikan contoh. Iman kepada Allah, misalnya, merupakan fenomena psiologis yang muncul dari fitrah. Sebaliknya, atheisme adalah fenomena penyimpangan sosial yang memberontak terhadap petunjuk fitrah.

Kedua fenomena ini, sama-sama terdapat dalam sejarah manusia dan tampak di punggung planet ini. Meski demikian, keimanan merupakan keadaan yang berlaku di sepanjang sejarah peradaban manusia dan tak ada jeda bagi keadaan ini. Hatta para peyembah berhala, matahari dan bulan mengekspresikan keadaan ini, meskipun secara salah.

Sementara atheisme tidak memiliki akar semendasar itu dalam sejarah peradaban manusia. Selang beberapa lama atheisme tidak hadir secara kuat dan resmi sebagai suatu tampilan yang berlogika, berbudaya dan berfilsafat.

Keimanan kepada Allah merupakan fenomena dan keadaan yang universal dan merata di muka bumi. Sementara atheisme bagaikan gelembung-gelembung air yang sesekali muncul di sana sini secara lemah kemudian pecah. Gelembung terakhir dan terkuatnya yang unjuk gigi di pentas sejarah politik, peradaban dan pemikiran manusia adalah Marxisme. la mampu mencuat keluar sebagai suatu eksistensi politik internasional yang sensasional, tapi tak lama waktu berlalu gelembung itu pun akhirnya pecah sama-sekali. Berbedajauh dengan keadaan iman kepada Allah. Maka siapa yang tidak membedakan antara fenomena iman kepada Allah dan atheisme pasti membodohi dirinya sendiri.

Kita kembali kepada kajian tentang penjagaan. Baru saja kita telah disibukkan mengkaji kedalaman (baca: kefitriaan) penjagaan. Kita lupa mengkaji sistem penjagaan dan perannya dalam kehidupan manusia atau sistem pendidikan Islami dalam memfungsikan penjagaan guna menandingi hawa nafsu.

Selanjutnya, saya akan mengemukakan uraian yang lebih panjang tentang penjagaan. Beberapa waktu lalu, saya telah menulis kajian tentang penjagaan. Karenanya, alangkah baik nya kalau saya nukil kembali beberapa paragrafnya yang berhubungan dengan pembahasan ini.

Sesungguhnya, dominasi hawa nafsu atas manusia mempunyai pengaruh yang kuat. Dominasi ini mempunyai peran destruktif' yang luar biasa pada kehidupan manusia. Selama manusia tidak berdaya mengekang, membatasi dan menetralisir hawa nafsu, dia tidak akan terlepas dari upaya destruktifnya. Kalau demikian, mesti ada suatu metode pendidikan yang sempurna untuk menghadapi dominasi hawa nafsu dan efek-efeknya yang destruktrif dalam kehidupan manusia. Baik dari segi individual ataupun sosial.

Metode apakah itu? Orientasi pendidikan yang bagaimanakah yang memungkinkan manusia menguasai hawa nafsu dan syahwatnya?

Metode pertama ialah monastisisme atau kehidupan kebiaraan (rahbaniyyah). Monastisisme mempunyai dua tujuan.

Pertama, menon-aktifkan syahwat yang ada dalam jiwa manusia.

Kedua, mengisolasi diri dari fitnah (rangsangan dan godaan) hidup. Pandangan ini sangat populer dan memiliki akar yang dalam di sepanjang sejarah.

Pandangan ini, secara garis besar, meyakini bahwa masalah utama manusia terletak pada pergesekan antara hawa nafsu dan fitnah. Maka dari itu, keselamatan manusia bias dicapai dengan menjauhkan hawa nafsu dari fitnah dan kemewahan dunia dan dengan mengekang total syahwat dan berbagai naluri manusia lainnya.

Metodologi ini cukup populer dalam sejarah pemikiran umat manusia. Pandangan ini dan berbagai wajah barunya, berakar pada ajaran Kristen ortodoks.

Islam benar-benar menolak metode ini. Bahkan menganggap pengisolasian, pemusnahan dan pengekangan bukan saja tidak akan bisa menyelesaikan masalah manusia, bahkan bisa mengakibatkan anomali dan menyalahi sunnatullah pada hakikat manusia.

Alquran menolak pandangan ini dalam ayat-ayat berikut ini.

"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiop (memasuki) mesjid, makan dan minurnlah, danjanganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allak tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." Q.S. Al-A'râf:31. "Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?

"Katakanlah:"Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demiklanlah Kami menjelaskan aya-ayat itu bagi orang-orangyang mengetahui." Q.S. Al-A'râf:32.

"Katakanlah:"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa ada alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) rnengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." Q.S. Al-A'râf:33.

Bagian awal ayat ini mengajak manusia menikmati kebaikan-kebaikan duniawi tanpa israf (sikap ekstrem), yaitu pada ayat:

"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan".

Pada bagian keduanya, ia mengecam sikap orang-orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dari kebaikan-kebaikan dunia, yaitu dalam ayat:

"Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang menghararnkan) rizki yang baik?"

Kemudian ayat itu menyebutkan bahwa dunia dan bermacam-macam kelezatan di dalamnya adalah milik orang Muk-min, dan orang musyrik pun ikut menikmatinya. Adapun di akhirat kelak, kelezatan murni milik orang Mukmin dan musyrik tidak akan mendapatkannya sama sekali. Sebagaimana tertera dalam ayat:

Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat",

Lalu ayat tersebut menjelaskan, Allah SWT hanya mengharamkan segala bentuk kekejian di dalam dunia. Baik yang ditampakkan maupun yang disembunyikan. Allah juga melarang perbuatan dosa dan kezaliman serta permusuhan.

Oleh karena itu, Islam menolak anjuran pemutusan hubungan dengan dunia. la menyuruh kaum Muslim bersenang-senang menikmati pesona dunia. Islam mencemooh perbuatan orang-orang yang memutuskan hubungan dengan dunia dan yang mengharamkan keindahan-keindahannya yang telah dihalalkan oleh Allah.

Sebagian dari kenikmatan dunia ada yang dijadikan Allah sebagai fitnah buat hamba-Nya. Walau demikian, Dia tidak menyuruh kita mengisolir diri dan menjauhi dunia. Allah hanya menyuruh kita untuk menjauhi segala bentuk fawâhisy (kekejian) dan agar waspadauntuk tidak melanggar hukum-hukum-Nya.

Suatu ketika Imam Ali as mendengar seorang berdoa: "Ya Allah, aku herlindung pada-Mu dari fitnah." Lalu Imam Ali menegurnya: "Aku perhatikan kamu hendak berlindung dari harta dan anakmu! Allah berfirman: 'Anak dan harta bendarnu semata-mata adalah fttnah." Seharusnya kamu berdoa: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah-fitnah yang menyesatkan."15

Amiril Mukminin Ali as berkata: "Janganlah ada di antara kalian yang mengatakan: "Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari fitnah". Jelas tak ada seorang pun di antara kalian yang tidak terkena fitnah. Jika kamu ingin berlindung, maka berlindunglah dari fitnah-fitnah yang menyesatkan.

Allah berfirman:" Ketahuilah sesungguhnya harta-hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah fitnah...(Q.S. Al-anfâl 28)."

Bila begitu, bagaimana Islam menstabilkan dan mengatur hawa nafsu? Sesungguhnya, Islam telah meletakkan jalan dan metode pendidikan yang baru dalam mengatur hawa nafsu. Metode itu disebut dengan penjagaan yang sudah ada dalam prilaku manusia. la menyerupai insulator dalam elektronika.

Anda telah mengerti bagaimana mungkin manusia dapat menggunakan api dan listrik dengan memakai insulator tanpa takut akan bahayanya?

Begitu pula manusia dapat berurusan dengan fitnah dan rangsangan atau tipu-dayanya melalui penjagaan ini tanpa sedikitpun harus takut akan bahayanya.

Salah besar bila kita mengajak manusia untuk tidak menggunakan api atau listrik karena kedua benda tersebut bisa membakar atau menimbulkan kobaran api. Namun, perlu diperhatikan, bahwa hubungan kita dengan api atau listrik mesti dengan insulator yang bisa menjaga manusia dari bahaya keduanya.

Begitu pula, tidak dibenarkan kita mengajak manusia untuk menjauhi fitnah padahal di antara fitnah itu terdapat harta benda dan anak-anak. Akan tetapi, manusia harus menjaga dirinya dalam berurusan dengan fitnah ini melalui penjagaan. Bilamana penjagaan ini telah sempurna dalam kehidupan individual dan sosial manusia, maka ia akan memainkan peran yang penting dalam melembutkan, menyeimbangkan, menahan dan menundukkan berbagai naluri manusia di hadapan pemiliknya.

Penjagaan memungkinkan manusia "menguasai hawa nafsu dan syahwatnya" sebagaimanayang telah disebut dalam pelbagai nash keislaman. Ungkapan di atas sangat bernilai tinggi.

Jelasnya demikian, bahwa di antara manusia ada yang bisa menguasai hawa nafsu dan syahwatnya, dan ada yang dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwatnya. Oleh sebab itu, Islam tidak melarang seorang menyelami dunia asalkan dia tahan dan bisa menguasai hawa nafsunya. Inilah tolok-ukur pembeda antara hawa nafsu dan petunjuk.

Imam Ash-Shadiq as berkata: "Barangsiapa bisa menguasai nafsunya dalam keadaan marah, takut dan senangnya, maka Allah mengharamkanjasadnya masuk neraka."16

Dalam hadis yang lain disebutkan: "Barangsiapa bisa menguasai nafsunya dalam keadaan hasrat, takut, senang atau keadaan marahnya, maka Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka."17

Tiga Kategori Penjagaan

Pertama, penjagaan yang telah dianugrahkan Allah pada lubuk fitrah secara takwînî. Pendidikan akan mengintensifkannya. Rasa malu, 'iffah dan belas-kasih, untuk menyebutkan beberapa. Penjagaan macam ini akan menutupi, melunakkan dan menseimbangkan naluri. Naluri seksual, misalnya, yang ada pada manusia dan binatang. Pada binatang, naluri ini bersifat "telanjang". Sedang pada manusia naluri itu selalu dibungkus dengan rasa malu dan 'iffah. Oleh karenanya, banyak hal yang tidak dilakukan oleh manusia dilakukan oleh binatang. Hal ini bukan karena adanya kelemahan naluri manusia tapi semata-mata ia dijaga oleh rasa "malu dan iffah" yang bisa melunakkan, menyeimbangkan dan mencegah "keliaran" naluri seksual.

Demikian pula belas-kasih. la memainkan peran yang besar dalam melunakkan dan menyeiinbangkan naluri amarah. Dalam hal ini manusia dan binatang sama. Bedanya, pada binatang ia terbuka dan bebas, sedangkan pada manusia ia terbungkus dalam belas-kasih.

Kedua, penjagaan yang perlu dicari dan dipraktikkan oleh manusia itu sendiri. Dalam konteks ini, pendidikan mempunyai peran yang vital untuk mengkokohkannya dalam kehidupan seorang.

Zikir, salat, puasa, dan takwa, misalnya masuk dalam kategori ini. Salat bisa menjaga seorang dari perbuatan keji dan munkar. Zikir menolak rayuan setan. Dan puasa adalah perisai manusia dari siksa neraka dan takwa merupakan baju yang menutupi dan menjaga manusia dari bencana dosa dan nista serta beragam kesalahan lainnya.

Allah SWT berfirman:"... Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik"... Q.S. Al-A'râf:26.

Ketiga, penjagaan yang telah dianugrahkan Allah untuk kepentingan kehidupan sosial manusia. Seperti jamaah atau kelompok mukminin dan kehidupan berkeluarga. Jamaah mukminin akan menjaga seorang dari kehancuran dan keruntuhan. Sedang kehidupan berkeluarga menjaga kehormatan suami-istri.

Selanjutnya, di bawah ini saya memberikan dua contoh penjagaan yang telah dianugrahkan oleh Allah pada jiwa manusia atau bersifat intrinsik padanya. Yaitu al-khauf (rasa takut) dan al-hayâ` (rasa malu).

Takut kepada Allah

Takut kepada Allah adalah salah satu penjagaan terpenting yang telah diletakkan Allah padajiwa manusia. Hal ini telah dijelaskan di kedua hadis akal dan kejahilan di atas yang termuat dalam bagian "bala tentara akal". Takut merupakan f'aktor terbesar untuk mencegah hawa nafsu. Takut juga mempunyai peran besar dalam membendung dan menahan hawa nafsu.

Allah SWT berfirman: "Dan adapun omng-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”. Q.S. Al-Nâzi’ât:40.

Dalam ayat ini digambarkan dengan jelas tentang keterpautan dan hubungan yang berlaku antara takut kepada Allah dan menahan diri dari mengikuti keinginan hawa nafsu.

Imam Ash-Shadiq as pernah berkata: "Barangsiapa yang meyakini bahwa Allah melihat dirinya, mendengar apa yang diucapkannya, mengetahui apa yang dilakukannya, baik yang bagus maupun yang yang jelek, kemudian dia rnenjauhi perbuatan jelek, yang demikian ini adalah orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.".18

Imam Ali as berkata: "Takut merupakan penahan nafsu dari kelakuan dosa dan yang menghalanginya berbuat kemaksiatan."19

Takut menghalangi manusia berbuat maksiat. la membatasinya pada yang halal agar manusia tidak terperosok di lembah yang haram. Takut juga mencegah manusia melakukan segala kemaksiatan dan hal-hal yang diharamkan.

Rasululah SAWW bersabda: "Ada tujuh golongan yang bakal mendapat naungan Allah di hari yang tak ada naungan (kiamat) kecuali naungan-Nya. (Golongan tersebut) ialah:

1. Imam yang adil.

2. Pemuda yang hidup tumbuh dengan ibadah kepada Allah SWT.

3. Orang yang hatinya selalu cenderung pada masjid.

4. Dua orang yang saling mencintai demi Allah, baik di kala berkumpul maupun di waktu berpisah.

5. Seorang yang mengeluarkan sedekah kemudian menyembunyikan (amalnya) sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya.

6. Seorang yang berzikir kepada Allah di kala sendirian lalu kedua matanya sembab (bercucuran air mata).

7. Dan seorangyang diajak rnesum oleh wanita cantik dan berkedudukan lalu orang lelaki itu mengatakan aku takut kepada Allah SWT".20

Makhâfatullah (takut kepada Allah) mencegah manusia dari pengaruh syahwat terkuat, yaitu syahwat seksual.

Imam Ali as berkata: "Sungguh mengherankan orang yang takut kepada siksaan tapi tidak berupaya menjauhinya dan orang yang mengharapkan pahala tapi tidak pernah taubat dan berbuat baik."21

Imam Al-Baqir as berkata: "Tiada takut seperti takut yang dapat mencegah dan tiada harapan seperti harapan yang dapat menolong."22

Jadi, takut mencegah manusia dari terseret melakukan keinginan syahwat dan yang menahan manusia dari perbuatan yang berbau dosa.

Imam Ali as berkata: "Sebaik-baik penghalang dari perbuatan maksiat adalah takut."23

Takut adalah Keamanan

Sungguh mengherankan, al-khauf yang sepadan maknanya dengan al-qalaq (kegelisahan atau keresahan), dalam pandangan Islam bisa mempunyai arti al-amân (ketentraman). Karena takut menghalangi manusia berbuat maksiat, maka, pada hakikatnya, ia menghalangi manusia dari kehancuran dan keterjerumusan; kemaksiatan. Hukum-hukum Allah SWT ada lah tameng yang menjaga manusia dari kehancuran.

Singkat kata, takut, pada gilirannya, akan membawa ketenangan dalam kehidupan manusia, berbeda dengan pandangan yang dangkal tentangnya.

Dalam riwayat-riwayat berikut ini Anda akan menemukan pengertian di atas. Imam Ali as berkata: "Takut akan membawa rasa aman."24

Imam Ali as berkata: "Buah takut adalah rasa aman. "25

Dari Imam Ali as juga: "Takutlah kepada Tuhanmu dan berharaplah pada Rahmat-Nya, maka Dia akan menyelarnatkanmu dari apa yang kamu takuti dan Dia akan meniberimu apa saja yang kamu harapkan."26

Imam Ali as juga berkata: "Tidak layak bagi orang yang berakal berdiam dalam ketakutan bila ada jalan yang masih memungkinkan untuk rnendapatkan keselamatan."27

Takut yang dimaksud dalam nash-nash tersebut ialah keselamatan dari siksaan Allah. Sedangkan keselamatan yang disebut dalam nash tersebut ialah takut dari siksaan Allah. Takut dan selamat ialah salah satu arti yang saling berhubungan. Dan ini adalah satu di antara kekhasan kultur keislaman.

Kesimpulannya, takut (kepada Allah) di dunia berarti selamat (dari siksa) di akhirat dan 'selamat' di dunia berarti takut di akhirat.

Imam Ali as mengambil pengertian keislaman ini dari sumber kenabian yang tidak bakalan kering. Dalam sebuah hadis, Nabi bersabda:

"Allah SWT berfirman: "Demi Keagungan-Ku dan Keperkasaan-Ku, sungguh Aku tidak akan mengumpulkan dua takut dan dua keselamatan pada hamba-Ku. Bilamana dia "merasa aman," dari-Ku di dunia, Aku jadikan dia takut di hari kiarnat. Sebaliknya, bilamana dia takut pada-Ku di dunia akan Aku selarnatkan dia di hari kiamat."28

Beberapa Kisah Tentang Peran Takut dalam Mengendalikan Hawa Nafsu

Berikut ini saya akan sebutkan beberapa kisah tentang tindak penyelamatan yang dilakukan rasa takut terhadap jiwa manusia dari keterjerumusan di jurang kemaksiatan dan syahwat. Kisah-kisah ini telah disebutkan dalam beberapa riwayat berikut ini:

Diceritakan kepadaku oleh Usman bin Zufar Al-Taimy, dia berkata, Abu Umar Yahya bin Amir Al-Taimy bercerita demikian kepadaku:

"Seorang lelaki desa sedang menunaikan haji. Pada suatu malam, mendadak dia melihat seorang wanita cantik yang terurai rambutnya di dekat sungai. Lelaki itu segera memalingkan wajahnya.

Namun perempuan itu berkata: "Kemarilah! Mengapa Anda berpaling dariku?”

Lelaki itu menjawab: "Sungguh aku takut kepada Allah Pemilik alam semesta”.

Kemudian wanita itu mengenakan kerudungnya seraya berkata: "Kamu ketakutan? Kalau demikian, yang pantas takut bersamamu adalah orang yang ingin mengajakmu bermaksiat bersama-sama."

Kemudian wanita itu pergi. Akupun mengikutinya dari belakang. Dia masuk ke salah satu perkampungan orang Arab Badui.

Esok harinya, aku menemui salah seorang dari mereka dan menceritakan perihal wanita yang kujumpai dan kejadian yang kualami. Aku ceritakan mulai raut wajahnya sampai cara bertutur katanya

 Kemudian salah seorang dari mereka berseru: "Demi Allah, dia adalah putriku”. Aku berkata: "Kau mau menikahkannya."

"Tentu saja kepada yang sesuai (kufu') ", sergahnya. Aku berkata:

"Aku dari suku Taimullah.

"Bolehlah. Persesuaian yang terhormat." katanya.

Aku tidak beranjak sebelum menikahinya. Akhirnya akupun menikahinya. Kemudian aku berkata: "Persiapkan dia sampai aku selesai menunaikan haji."

Selesai menunaikan haji aku bawa dia ke Kufah dan sekarang dia di sampingku dengan beberapa anak laki-laki dan perempuan."29

Seorang wanita cantik hermukim di kota Makkah. Dia sudah berkeluarga.

Pada suatu hari, dia hercermin seraya sesumbar di hadapan suaminya: "Apa ada orang yang melihat wajah ini dan tidak terpesona?”

"Ada." jawab suaminya.

"Siapa?" tanyanya.

"Ubaid bin Umair." jawab si suami.

Wanita itu kemudian memohon pada suaminya untuk pergi menggoda Ubaid bin Umair.

Suaminya pun mengizinkannya.

Dengan penuh semangat, dia mendatangi majlis taklim Ubaid bin Umair dan berpura-pura sebagai penanya hukum. Dia menyendiri di sudut masjid Al-Haram.

Lalu dia dengan sengaja menyingkap wajahnya yang bagaikan bulan sabit.

Kemudian Ubaid bertanya pada wanita itu: "Wahai harnba Allah! Ada apa denganmu?

"Aku datang karena terpikat padamu. Maka penuhi hajatku", rayu wanita itu.

Ubaid menjawab: "Baik. Tapi jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu apakah kau akan menjawab dengan jujur? Kalau tidak, aku tidak akan memperhatikan urusanmu."

"Boleh. Tapi janganlah kau bertanya tentang sesuatu yang pasti akan kudustakan", pinta wanita itu.

Ubaid bertanya lagi: "Jawablah dengan jujur. Apakah kau mau sekiranya aku penuhi permintaanmu dan malaikat maut datang kepadamu?"

"Tentu tidak!", jawab si wanita. "Kau berkata benar", seru Ubaid.

"Apakah kau mau sekiranya aku memenuhi kemauanmu, kemudian kelak di liang kubur kau didudukkan untuk mempertanggung-jawabkannya?

"Sungguh tidak", jawab wanita itu. "Engkau berkata benar!", seru Ubaid.

"Apakah kamu mau aku memuaskan hasratmu, padahal kelak ketika kitab amal dibagikan kamu belum mengetahui apakah kamu akan mengambilnya dengan tangan kanan atau tangan kiri?

"Sungguh tidak", jawabnya.

"Engkau telah berkata jujur", jawab Ubaid.

"Apakah kau mau aku melayani nafsumu, padahal kau tidak bisa memastikan timbangan amalmu itu berat atau ringan?"

"Sungguh tidak!"

“Apakah kau mau aku memenuhi hajatmu, padahal kelak kau akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah?”

"Sungguh tidak".

"Kamu berkata jujur." Kemudian Ubaid melanjutkan: "Maka bertakwalah kepada Allah wahai hamba Allah. Sungguh Allah telah memberi sebagian kenikmatan padamu dengan menjadikan wajahmu elok."

Perawi berkata: "Lalu wanita itu kembali dan tersimpu di pangkuan suaminya. Lalu sang suami bertanya: "Wahai istriku, gerangan apa yang telah terjadi pada dirimu?”

Dia menjawab: "Kamu adalah penganggur dan kita juga para penganggur." Kemudian setelah itu dia tekun salat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya.

Setelah itu suaminya berkata: "Sesungguhnya, apa yang telah dilakukan Ubaid untuk merubah istriku. Sebelumnya, setiap malamnya ialah malam penganten baru. Kini dia berubah menjadi biarawati."[30]

Abu Said bin Abi Umamah meriwayatkan, ada seorang lelaki mencintai seorang perempuan. Perempuan itu pun menyambutnya dengan mesra. Maka bertemulah keduanya. Si perempuan merayunya. Lalu lelaki itu berkata: "Ajalku bukan di tanganmu dan juga ajalmu bukan di tanganku, barangkali ajal kita sudah dekat dan kita tidak ingin bertemu Allah dalam keadaan bermaksiat."

"Sungguh benar ucapmu itu", jawab si perempuan.

Maka kedua sejoli itu mengurungkan niat mereka. Mereka bertaubat dan menjadi di antaru orang-orang yang saleh”. [31]

Kharijah bin Ziyad menceritakan bahwa ada seorang lelaki dari bani Sulaimah mengkisahkan:

Aku sangat tertarik pada wanita dari suatu suku. Aku selalu membuntutinya di kala dia keluar dari masjid. Kemudian dia mengetahui perbuatanku itu. Pada suatu malam, dia berkata padaku: "Apakah kamu ada keperluan denganku?"

"Ya!", jawabku.

"Apa keperluanmu?", tanyanya.

"Kecintaanmu”, jawab si lelaki.

"Tundakan itu untuk hari kiamat." sergahnya.

Lelaki itu pun berkata: "Demi Allah sungguh wanita ini menjadikan aku menangis. Dan membuatku tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi."[32]

Syaikh Bani Abdul Qais berkata: "Aku mendengar mereka bercerita tentang seorang lelaki yang merayu perempuan. Lalu perempuan itu bertanya: "Pernahkah engkau mendengar hadis atau membaca Al-Quran. Sesungguhnya, engkau lebih tahu itu semua daripada aku."

"Kuncilah semua pintu istana ini!" teriak lelaki itu. Kemudian si perempuan itu menutup semua pintu. Setelah itu lelaki tadi mendekatinya. Tiba-tiba perempuan itu berkata: "Tinggal satu pintu yang belum aku tutup."

"Pintu apa itu?", tanya lelaki dengan penuh keheranan. "Pintu yang ada di antara kau dan Allah SWT".

Perawi berkata: maka lelaki membatalkan rencananya pada wanita tadi".33

Ibnu Jauzi berkata, telah sampai sebuah cerita padaku tentang perempuan ahli ibadah dari wilayah Bashrah yang telah membuat kasmaran seorang lelaki dari suku Muhallab. Dia adalah perempuan yang cantik. Banyak orang meminangnya. Namun dia menolaknya. Kemudian ada berita bahwa wanita itu ingin naik haji. Berita ini didengar oleh orang Muhallab itu.

Kemudian dia membeli 300 ekor onta dan mengumumkan: "Barangsiapa ingin pergi haji hendaknya menyewa pada Muhallab."

Lalu wanita itu menyewa padanya. Sesampainya di pertengahan jalan, waktu malam tiba. Orang Muhallab itupun mencoba mendekatinya seraya memberitahukan hasratnya kepadanya: "Kawinkan dirimu padaku atau kalau tidak, akan kupaksa engkau melayaniku."

"Celaka kau! takutlah kepada Allah," bentak si wanita. "Sungguh tiada pilihan lain kecuali apa yang kamu dengar dariku!" kata si lelaki itu.

"Demi Allah aku bukan penuntun onta dan aku tidak meninggalkan kampungku kecuali demimu," jawab Muhallabi. Ketika wanita itu merasa ketakutan, dia berkata lagi: "celaka kau, lihatlah apakah masih ada orang yang belum tidur?"

"Tidak, tidak ada!", jawabnya.

"Lihat lagi," kata wanita itu.

"Tidak ada. Semuanya sudah tidur," jawab Muhallabi. Kemudian wanita itu berkata: "Celakalah kamu, apakah Tuhan Pemilik alam semesta juga ikut tidur?".

Rasa Malu

Perangai kedua dari bala-tentara akal adalah malu. ia mempunyai peran yang krusial dalam membentengi manusia dan menjaganya dari kehancuran. Seringterjadi bahwa seorang terdorong untuk melakukan kemaksiatan sedangkan akal tidak mampu membendungnya. Dalam keadaan seperti itulah malu kepada Allah SWT berperan sangat genting. Karena, rasa malu kepada Allah SWT akan mencegah manusiadari kelakuan dosa.

Malu - dalam segala tingkatannya - merupakan penjagaan bagi manusia. Malu pada keluarga dan sanak keluarga mengandung tingkat tertentu dari penjagaan. Malu pada manusia biasa mengandung derajat penjagaan yang lebih tinggi. Malu pada orang yang dihormati dan dimuliakan mengandung derajat penjagaan yang lebih tinggi. Malu kepada Allah SWT mengandung derajat penjagaan yang paling tinggi lagi dalam kehidupan manusia.

Bila manusia mampu mengkristalkan rasa-malu kepada Allah dalam dirinya, dan menganggap Allah beserta para malaikat-Nya selalu hadir di sisinya, maka perasaan ini akan benar-benar menjaga seorang dari perbuatan dosa, maksiat dan menyelamatkannya dari perangkap syahwat dengan kadar yang sangat tinggi.

Malu pada Allah

Bagaimana mungkin seorang melanggar perintah Allah kalau dia menganggap bahwa Allah hadir di kalbunya. Merasa bahwa Allah SWT melihat dan mendengarnya. Para malaikat Allah yang telah ditugaskan-Nya tidak jauh darinya dan tiada satu masalah yang samar bagi mereka kecuali yang dirahasiakan oleh Allah.

Rasulullah SAW dalam sebuah wasiatnya pada Abu Dzar r.a. bertutur: "Wahai Abu Dzar, bersikapmalulah kepada Allah. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, aku selalu mengenakan kain penutup ketika buang hajat. Karena aku malu kepada kedua malaikat yang selalu bersamaku"34

Rasulullah SAWW bersabda: "Bersikapmalulah kepada Allah sebagaimana kamu bersikap malu terhadap tetanggamu yang baik. Karena, rasa malu akan menambah keyakinan."35

Rasulullah SAWW bersabda: "Hendaknya kalian semua bersikap malu pada dua malaikat yang selalu bersama kalian. Sama seperti kalian bersikap rnalu kepada dua orang tetangga saleh yang selalu bersama kalian di waktu siang dan malam."36

Imam Al-Kazhim as berkata tentang malu kepada Allah di tempat rahasia dan sepi demikian: "Bersikapmalulah kalian kepada Allah di tempat-tempat rahasia, sebagaimana kalian bersikap malu pada manusia di tempat-ternpat terbuka."37

Kalau demikian, malu kepada Allah SWT akan membuahkan derajat yang tinggi dari 'ishmah (keterjagaan dari dosa). Malu dapat menjaga seorang dari kehancuran. Kandungan nash di bawah ini telah berulang kali disebutkan dalam berbagai nash keislaman.

Imam Ali as berkata: "Malu akan membentengi manusia dariperbuatan jelek."38

Imam Ali as berkata: "Kadar 'iffah Anda dapat diukur dengan kadar malu Anda."39

Rasulullah SAWW bersabda: "Bersikap malulah kepada Allah secara betulan”.

Rasul ditanya: “Siapakah yang mampu bersikap malu kepada Allah secara betulan itu?”

Beliau menjawab: "orang yang bersikap malu kepada Allah secara betulan, ialah orang yang mengetahui kalau ajalnya telah ditentukan di hadapan matanya, zuhud pada dunia dan segala hiasanya, menjaga kepala dan apayang dikandungnya dan perut dengan segala isinya."40

Imam Musa bin Ja'far as berkata: "Semoga Allah rnenghormati orang yang benar-benar bersikap malu kepada Allah; menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya dan menjaga perut dan segala isinya."41

Di sela-sela kepala dan perut manusia ada sejumlah syahwat yang siap mempengaruhinya. Mata adalah jendela syahwat. Pendengaran adalah jendela lain bagi syahwat. Perut tempat syahwat. Dan zakar juga tempat syahwat. Bilamana manusia malu kepada Allah, maka rasa malunya tersebut akan menjaga kepala beserta apa yang terkandung di dalamnya dari jendela-jendela syahwat dan perut beserta apa yang tertampung berupa tempat-tempat syahwat.

Imam Ali as berujar: "Paling mulianya wara' adalah meninggalkan perbuatan di waktu sepi apa yang kamu rnalu mengerjakannya di waktu ramai."42

Keluhan Tentang Sedikitnya Malu Kepada Allah

Dalam banyak doa kita menemukan keluhan-keluhan manusia kepada Allah SWT tentang kurangnya rasa malunya kepada Allah SWT Pengaduan dan keluhan semacam ini merupakan kandungan makna doa yang terlembut. Dalam pengaduan ini, Allah SWT adalah yang menjadi Hakim. Sedang ego manusia adalah pengadu dan yang diadukan ialah hawa nafsu. Adapun isi pengadukan adalah keadaan rasa-malu seseorang. Kesimpulannya, apayangterkandungdalam gugatan tersebut adalah pengaduhan manusia tentang kurangnya atau tiadanya rasa malu dirinya kepada Allah.

Dalam doa Abu Hamzah disebutkan:

"Wahai Tuhan! Aku tidak malu kepada-Mu di saat sepi, dan tidak memperhatikan-Mu di saat ramai. Aku telah tertimpa musibah besar. Akulah orang yang lari dari Tuannya. Telah Engkau tutupi kesalahan-kesalahanku, tapi aku masih belum merasa malu. Telah melampaui batas-batas, maksiatku. Engkau hapuskan semua itu di depan matamu-Mu tapi aku tetap tidak peduli.”43

Doa di atas menunjukkan pengaduan manusia tentang dirinya, maksiat yang dilakukannya dan pelanggarannya terhadap hukum-hukum Allah.

Dalam munajat Asy-Syâkin (para pengadu kepada Al-lah), Imam Zainal Abidin as menyebutkan demikian:

"Tuhanku, aku mengadukan kepada-Mu tentang hawa nafsu yang mengajak pada kejelekan, bergegas mendatangi dosa, gemar maksiat dan sengaja mencari murka-Mu."44

CATATAN KAKI :

[1] Biharul Anwar, 70-78.

[2] Dzammul Hawâ, karya Ihnu Al-Jauzi:70.

[3] Ibid.

[4] Nahjul Balâghah, khutbah 320.

[5] Bihârul Anwâr, 78:9.

[6] Dzammul Hawâ, karya Ibnu Al-Jauzi:39.

[7] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad dan Al-Baihaqi.

[8] Biharul Anwâr, 70:76 hadis 5 dan Mustadrak Al-Wasâ`il, 2:345.

[9] Ghurarul Hikam 1:320.

[10] Ghurarul Hikam 1:320.

[11] Ghurarul Hikam 1:323.

[12] Ghurarul Hikam 1:279.

[13] Bihârul Anwâr, 9:78.

[14] Bihârul Anwâr, 9:78.

[15] Bihârul Anwâr, 93:235.

[16] Bihârul Anwâr, 78:243.

[17] Bihârul Anwâr, 71:358.

[18] Ushûlul Kâfî: 40.

[19] Mîzânul Hikmah, 3:183.

[20] Diriwayatkan Al-Bukhari dalam pembahasan masalah wajibnya melakukan shalat berjamaah bab 8, dalam bagian keharusan mengeluarkan zakat bab 18, dalam bagian Ar-Riqâq dalam kitab Al-Muharib bab 4; Diriwayatkan juga dalani Muslim kitab sahihnya bagian zakat bab 30 serta diriwayatkan dari Abu Al-Faraj dalam kitab Dzamul Hawâ:243.

[21] Bihârul Anwâr, 77:237.

[22] Bihârul Anwâr, 78:164.

[23] Mîzânul Hikmah 3:183.

[24] Mîzânul Hikmah 3:186.

[25] Ibid.

[26] Ibid.

[27] Ibid.

[28] Kanzul ‘Ummâl, karya Al-Muttaqi Al-Hindi, hadis 5878.

[29] Dzammul Hawâ, karya Ihnu Jauzi:265-266.

[30] Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi:264-265.

[31] Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi:268.

[32] Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi:268.

[33] Dzammul Hawâ, karya Ibnu Jauzi:268.

[34] Bihârul Anwâr, 77:83; Kanzul ‘Ummâl 5751.

[35] Bihârul Anwâr, 78:200.

[36] Mîzânul Hikmah, 2:568.

[37] Bihârul Anwâr, 78:309.

[38] Mîzânul Hikmah, 2:564.

[39] Bihârul Anwâr, 70:305.

[40] Bihârul Anwâr, 78:305.

[41] Bihârul Anwâr, 78:305.

[42] Ghurarul Hikam, 2:253.

[43] Doa Abu Hamzah Ats-Tsumâlî.

[44] Ash-Shahîfah Al-Sajjâdiyah, Imam Ali hin Ilusein as.