Dialog Ke-9
Freewill atau Determinisme?
Wilson: Terdapat satu isu penting yang terdapat dalam konsep Keadilan Ilahi, dan hal ini merupakan masalah kontroversial dalam filsafat sekaligus dalam bidang agama; yaitu, kebebasan manusia. Para filosof dan juga para ulama berbeda dalam menghadapi permasalahan ini. Beberapa dari mereka mendakwahkan kebebasan manusia, dan bahwa apa saja yang ia lakukan, ia kerjakan berdasarkan kepada kebebasan yang dimilikinya; beberapa dari mereka mengingkari kebebasan ini, dan berpikir bahwa apa yang kelihatannya sebuah aksi bebas atau non-aksi adalah telah diatur atau sebuah hasil dari sebab tertentu atau dari mata rantai sebab-sebab.
Saya telah membaca literatur Islam yang mengatakan bahwa Islam mendakwahkan predestinasi, dan bahwa seluruh pekerjaan manusia telah ditentukan oleh Tuhan, dan bahwa manusia tidak dapat merubah jalur yang ia ambil. Saya juga membaca, sebuah pandangan Islami yang berbeda dan mengingkari konsep predestinasi (keterpaksaan) atau jabariyah dalam aksi dan non-aksi manusia. Kini, saya ingin mendiskusikan dengan Anda permasalahan ini dan mencari tahu apa yang sebenarnya Islam ajarkan dalam masalah yang penting ini.
Chirri: Untuk mendefinisikan subjek pembahasan kita, perlu kiranya kita memperjelas bahwa diskusi yang kita lakukan tidak termasuk kondisi-kondisi tertentu yang tidak disebabkan oleh kehendak manusia sendiri, seperti jatuh sakit, menderita kebutaan, dan kematian. Dalam wilayah ini tidak adanya kebebasan manusia nampak dengan jelas. Tidak ada yang dapat mengklaim bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menghadapi kondisi semacam itu, karena hal ini tidak datang lantaran manusia memilihnya demikian. Diskusi kita hanya termasuk pada wilayah pekerjaan dan perbuatan manusia dimana manusia sepertinya bertindak atas pilihan dan kehendaknya sendiri. Di sini ikhtilaf lama masih menyala dan membagi orang-orang ke dalam dua kelompok: kelompok yang menganjurkan dan mendakwahkan kebebasan, dan kelompok yang mempropagandakan predestinasi, determinisme atau jabariyah.
Islam, sebagaimana Anda tahu, mengabarkan kepada kita bahwa Tuhan telah mewahyukan perintah-perintah tertentu; bahwa Dia akan mengganjari mereka yang menaati perintah-perintah-Nya; dan bahwa Dia akan mengazab mereka yang tidak menjalankan perintah-perintah-Nya. Agama yang mendakwahkan masalah ini dapat menjadi konsisten hanya bilamana ia menganjurkan kebebasan manusia, kalau tidak, agama semacam ini mengingkari konsep keadilan Tuhan.
Agama yang mendakwahkan keduanya baik keadilan Tuhan dan predestinasi (jabariyah) akan secara jelas bertentangan dengan dirinya sendiri tatkala disebutkan bahwa Tuhan akan mengganjari hambanya yang taat dan mengazab yang membangkang. Ketika aksi atau non-aksi manusia diatur sebelumnya oleh Tuhan, manusia tidak akan mampu mengubah jalur hidupnya. Ia tidak akan mampu melakukan sesuatu tatkala ia telah ditakdirkan untuk melakukan sesuatu yang lain. Manusia akan seperti sebuah mesin. Sebuah mesin tidak mampu, dengan sendirinya, mengubah jalur hidupnya, dan akan menjadi konyol ketika dikatakan bahwa sebuah mesin tunduk patuh terhadap sebuah perintah tertentu, kemudian mendapat ganjaran atau mendapat hajaran.
Menghilangkan kebebasan manusia, seluruh tatanan konsep agama akan runtuh dan rusak. Pada kenyataannya, jika kita mengingkari kebebasan manusia, maka tidak akan perlu pewahyuan dari langit. Pengutusan para nabi yang mengajar dan membimbing umat manusia akan menjadi sia-sia. Tatkala seseorang ditakdirkan untuk menjadi seorang atheis, ia tidak akan menjadi seorang yang beriman, dan tidak akan ada seorang nabi yang mampu mengubah hatinya. Seorang ditakdirkan menjadi jahat tidak akan menjadi warga yang baik, terlepas dari ajaran apapun yang ia terima.
Kebebasan manusia, pada kenyataannya, menjadi dasar seluruh konsep agama, dan Islam secara jelas menganjurkan kebebasan manusia.
Wilson: Dari diskusi kita yang sebelumnya, saya tahu bahwa Islam menganjurkan dengan kuat doktrin Keadilan Tuhan. Oleh karena itu, Islam, diharapkan mendakwahkan kebebasan manusia dan menentang gagasan predistinasi atau apa yang disebut dalam filsafat sebagai "Determinisme." Saya ingin tahu apakah al-Qur'an menunjukkan kebebasan manusia secara jelas.
Chirri: Kitab Suci al-Qur'an telah mengindikasikan, lebih dari satu cara, bahwa manusia merupakan seorang pelaku yang merdeka dan bebas. Indikasi al-Qur'an itu menjelaskan bahwa manusia mampu merubah kondisi dan keadaan hidupnya, "Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (Qs. ar-Ra'ad [13]:11)
Jika manusia ditakdirkan untuk mengambil satu jalur tertentu, ia tidak akan mampu merubah jalur tersebut. Apa saja yang ia lakukan atau hindari akan dilakukan atau dihindari, tidak melalui pilihan, tapi melalui paksaan.
Kitab Suci al-Qur'an, juga mendeklarasikan bahwa Tuhan tidak meminta manusia untuk melakukan sesuatu yang mustahil, juga tidak meletakkan sesuatu yang sukar bagi hamba-Nya, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Qs. al-Baqarah [2]:286)
Sebagai contoh, jika manusia ditakdirkan untuk berdoa atau melakukan pembunuhan dan Tuhan berkata kepadanya untuk tidak membunuh atau berdoa, Dia akan meletakkan kesulitan besar kepadanya, dan Dia akan memintanya untuk melakukan sesuatu yang mustahil baginya. Dia tidak akan memintanya untuk melakukan apa yang ia mampu lakukan karena ia telah ditakdirkan untuk, sebelum ia lahir, membunuh dan bukan untuk shalat. Kemudian, ia tidak mampu mematuhi perintah Tuhan. Kenyataannya bahwa ia diperintahkan untuk shalat dan dilarang untuk membunuh, hal ini menunjukkan bahwa Tuhan memandang manusia hamba-Nya sebagai makhluk yang bebas, dan bahwa apa saja yang diperintahkan atau tidak atasnya adalah berada dalam kemampuannya.
Kitab Suci al-Qur'an juga, menunjukkan kebebasan manusia dengan menyebut dan menekankan tanggung jawab setiap individu atas apa yang ia lakukan:
"Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka." (Qs. az-Zumar [39]:41)
"(Yaitu) bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (Qs. an-Najm [53]:38)
"Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (al- Qur'an) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri." (Qs. Yunus [10]:39)
Konsep tanggung jawab individu menunjukkan secara jelas bahwa individu merupakan pelaku bebas. Kalau tidak, ia tidak memikul tanggung jawab atas segala sesuatu yang boleh jadi dihasilkan olehnya. Tanggung jawab adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan.
Wilson: Ayat-ayat yang Anda nukil dari Kitab Suci al-Qur'an menunjukkan bahwa manusia dianugerahi kebebasan yang memadai yang membuat ia dapat memikul tanggung jawab dan pantas untuk mendapatkan ganjaran atau azab atas perbuatannya. Bagaimanapun, terdapat beberapa ayat yang dinukil dari al-Qur'an yang menunjukkan predestinasi. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa perbuatan manusia dikontrol oleh Tuhan. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:
"Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Qs. al-Insan [76]:29-30)
"Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki." (Qs. al-A'raf [7]:155)
Ayat-ayat ini berseberangan dengan ayat-ayat yang Anda nukil. Hal ini membuat bingung dan menciptakan dilema.
Chirri: Bagi seorang Muslim, Kitab Suci al-Qur'an merupakan kitab wahyu. Ia mengandung kebenaran, dan seluruh kandungan al-Qur'an haruslah benar. Sebuah kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran yang lain. Apa saja yang nampak kontradiksi namun pada hakikatnya tidaklah demikian. Hal itu hanya secara lahir tampak kontradiktif.
Tatkala dua bagian ayat-ayat kelihatannya bertentangan dengan yang lain, mereka harus diperlakukan dengan sebuah perlakuan khusus. Tatkala salah satu dari dua bagian itu memiliki indikasi yang lebih jelas dari indikasi bagian yang lain dalam masalah yang sama, bagian yang memiliki indikasi yang lebih jelas harus diikuti. Kelompok lain harus diinterpretasikan dengan sebuah jalan yang tidak berseberangan dengan yang pertama. Perlakuan ini nampaknya perlu dilakukan tatakala bagian yang lebih jelas adalah lebih sesuai dengan sisi logis dari masalah tersebut. Dan beginilah perkara dari dua permasalahan yang disebutkan di atas.
Camkan hal ini baik-baik, kita boleh jadi dapat memahami dua kelompok tersebut dan mengintepretasi yang pertama dengan sebuah jalan yang tidak akan berseberangan dengan yang terakhir. Kita boleh memahami dari dua ayat pertama pada kelompok kedua bahwa kemampuan manusia untuk memilih adalah bersumber dari Tuhan. Manusia boleh jadi memilih jalur tertentu, namun kemampuannya untuk memilih adalah anugerah Tuhan. Tuhan mampu menghilangkan darinya kebebasan ini dan turut campur dengan kehendak-Nya. Namun Tuhan tidak biasanya melakukan hal tersebut.
Dua ayat kedua, juga dapat diinterpretasikan dengan sebuah jalan yang tidak berseberangan dengan kebebasan manusia: Tuhan boleh jadi menuntun seseorang kepada jalan yang benar, dan Dia boleh jadi meninggalkan yang lain pada jalan yang salah. Namun kita tidak dapat mengharap dari Tuhan untuk menganugerahkan tuntunan kepada seseorang dan meninggalkan yang lain dalam kesalahan berdasarkan pada sistem acak.
Dia boleh jadi menolong seseorang dengan menganugerahkan untuk mencoba menemukan kebenaran dan keinginan untuk mengikutinya. Dia boleh jadi meninggalkan seseorang dalam kesalahan tatkala orang itu tidak ingin menerima kebenaran. Dengan penafsiran ini, tidak akan ada dilema. Bagian pertama dari ayat-ayat itu akan tetap demikian adanya tanpa pertentangan, yang menunnjukkan secara jelas kebebasan manusia.
Wilson: Tuhan merupakan Pencipta seluruh semesta, seluruh segmen dan kejadiannya. Tidak ada kejadian apa pun di luar penciptaan-Nya. Keinginan manusia merupakan salah satu kejadian yang berlaku di dunia ini. Manusia, dengan demikian, tidak memiliki kebebasan.
Chirri: Apabila hal ini benar adanya, kita harus menisbahkan kepada Tuhan seluruh kezaliman, tirani dan kejahatan yang dilakukan manusia. Namun tidak seorang pun orang yang beriman kepada Tuhan akan mengatributkan seluruh kejahatan dan dosa kita kepada Tuhan.
Yang benar adalah bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dengan kekuatan untuk memilih, dan hal ini berarti bahwa Dia menganugerahkan kepadanya sebuah kebebasan. Tuhan dapat mengarahkan kehendak manusia dan membuat ia memilih jalur tertentu jika Dia menghendaki, namun tidak ada dalam kehidupan kita yang mengindikasikan bahwa Tuhan biasanya turut campur dalam keinginan kita. Lantaran Dia menganugerahkan kepada kita kekuasaan untuk memilih tanpa interfensi dari-Nya. Hal ini bermakna bahwa Dia mengharapkan kita untuk menggunakan kekuasaan kita untuk memilih dan memiliki pilihan sendiri.
Wilson. Tuhan mengetahui masa depan kita sebagaimana Dia mengetahui masa kini dan masa lalu kita. Dia mengetahui apa yang akan saya lakukan di masa datang seperti Dia mengetahui apa yang saya lakukan sekarang. Dia mengetahui sebelum kita lahir jalan apa yang akan kita ambil setelah kelahiran kita dan di masa mendatang. Lantaran segala sesuatu diketahui oleh-Nya, perbuatan kita haruslah telah ditentukan sebelum kita berbuat atau bertindak.
Kita tidak akan dapat mengambil sebuah jalan baru yang tidak diketahui oleh Tuhan, juga kita tidak akan keliru mengambil jalan yang telah diketahui sebelumnya oleh Tuhan. Kekeliruan kita untuk mengambil jalan yang Dia ketahui, akan bermakna kekeliruan dalam pengetahuan-Nya. Pengetahuan Tuhan tidak pernah salah dan keliru.
Chirri: Pengetahuan kita terhadap kejadian-kejadian tertentu tidak menentukan kejadian-kejadian tersebut, juga tidak karena pengetahuan kita peristiwa itu terjadi. Saya tahu, misalnya, bahwa seluruh pekerja pada sebuah pabrik khusus menyantap makan siang mereka pada siang hari. Hal ini tidak berarti bahwa pengetahuankulah yang menyebabkan mereka menyantap makan siang mereka pada saat itu. Tuhan, tanpa sangsi, mengetahui masa depan kita, tapi hal ini tidak harus berarti bahwa seluruh perbuatan kita di masa depan disebabkan oleh pengetahuan-Nya. Seluruh perbuatan yang kita kerjakan masing-masing memiliki sebabnya sendiri-sendiri, dan faktor utamanya adalah kehendak manusia yang menghendaki terlaksananya sebuah tindakan atau perbuatan.
Di samping itu, Tuhan mengetahui bahwa saya akan melakukan suatu perbuatan tertentu didorong oleh kehendak bebasku sendiri. Lantaran pengetahuan Tuhan tidak keliru, perbuatanku harus merupakan sebuah perbuatan bebas yang disebabkan oleh kehendak bebasku. Jika perbuatanku merupakan sebuah produk dari keterpaksaan (bukan kebebasan), pengetahuan Tuhan akan keliru. Pengetahuan Tuhan tidak pernah keliru; oleh karena itu, saya tidak akan keliru dalam membuat keputusanku sendiri, melalui kehendak bebas yang aku miliki.
Wilson: Diskusi ini telah membuat seluruh permasalahan menjadi jelas. Poin yang Anda sebutkan terakhir merupakan poin yang sangat penting. Pada kenyataannya, argumen terakhir yang saya ajukan adalah keliru karena mencampur aduk antara pengetahuan terhadap sebuah perisitwa dan sebabnya, namun setiap kejadian biasanya memiliki sebabnya sendiri. Kita tahu bahwa Tuhan mengetahui seluruh perbuatan kita yang merupakan produk dari kehendak bebas. Dan karena Tuhan telah memberikan kepada kita kekuasaan untuk memilih, kehendak kita haruslah merupakan sebuah produk bebas dari kekuasaan tersebut. Pengetahuan Tuhan tidak pernah keliru. Oleh karena itu, kita tidak akan pernah keliru untuk mendapatkan seluruh perbuatan kita sebagai produk dari kehendak bebas yang kita miliki.
Ketika kita menisbahkan doktrin kebebasan manusia, kita akan konsisten dan terjaga dari kontradiksi. Doktrin keadilan Tuhan tidak dapat dipertemukan dengan doktrin keterpaksaan. Kita tidak dapat berkata bahwa perbuatan manusia dipaksa oleh Tuhan, kecuali kita mengingkari keadilan Ilahi. Karena kita tidak ingin mengingkari doktrin keadilan Tuhan, juga tidak mau menerima kontradiksi, kita harus menegasikan, secara bulat, doktrin keterpakasaan (predestinasi).