• Mulai
  • Sebelumnya
  • 24 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 7708 / Download: 3095
Ukuran Ukuran Ukuran
Dialog Antar Iman

Dialog Antar Iman

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Dialog Ke-8

Keadilan Ilahi

Wilson: Saya tahu bahwa al-Qur'an sangat jelas berkisah ihwal sifat-sifat tertentu Tuhan seperti, Mahapengasih, Mahabijaksana, Mahapemurah, Baqa, Pencipta semesta, Esa tanpa sekutu, mitra atau anak. Tapi saya ingin tahu apakah "Adil" merupakan salah satu sifat Tuhan. Sebab saya diberitahu oleh beberapa orang Muslim bahwa ia merupakan salah satu sifat Tuhan, dan beberapa Muslim lainnya berkata tidak.

Chirri: Tiada agama yang logis yang dapat menanggung pengingkaran atau keraguan terhadap keadilan Tuhan dan kemahabijakan-Nya. Mengingkari keadilan-Nya adalah sama dengan merongrong konsep keagamaan secara keseluruhan. Tidak ada satu keyakinan agama, bahkan keyakinan terhadap keberadaan Wujud Suprim, akan berguna bagi kita tanpa keyakinan terhadap keadilan-Nya.

Seorang penguasa tiran boleh jadi memberi ganjaran kepada pelaku kejahatan dan menghukum orang yang berbuat kebaikan. Jika seseorang menaatinya, ia tidak mesti menjamin kepuasan baginya. Jika seseorang membangkang titahnya, hal itu tidak mesti menjadikannya orang yang dibenci. Terlebih, kita meyakini pesan-pesan langit dan utusan-utusan Tuhan karena kita pikir bahwa Dia adalah adil untuk berkata kepada para hamba-Nya apa yang diinginkan-Nya. Namun Tuhan yang tidak adil boleh jadi tidak berkata apa pun kepada kita atau boleh jadi Dia berkata sesuatu yang sebenarnya Dia tidak ingin katakan. Dengan demikian, seluruh doktrin kenabian akan sia-sia.

Pengingkaran terhadap keadilan Tuhan juga akan bermuara kepada pengingkaran akhirat, lantaran hari akhirat merupakan dunia yang mengimplementasikan keadilan dengan memberi ganjaran kepada orang-orang yang berbuat kebaikan dan mengazab orang-orang yang berbuat jahat.

Singkatnya, konsep keadilan Tuhan, bagi kami, merupakan masalah yang penting sebagaimana pentingnya konsep keberadaan Tuhan dan Keesaan-Nya; dan pengingkaran atasnya sedemikian merusak agama sebagaimana pengingkaran terhadap keberadaan Tuhan dan ke-Esa-an-Nya; Oleh karena itu, konsep keadilan Tuhan harus dipandang sebagai fondasi agama dimana tanpanya tidak ada agama yang dapat dibangun secara rasional.

Islam secara keseluruhan sejalan dan selaras dengan cara berpikir logis dan benar seperti ini. Kitab Suci al-Qur'an menyatakan keadilan Tuhan sedemikian tegasnya sebagaimana ia menyatakan ke-Esa-an Tuhan dan keberadaan-Nya. Dalam banyak ayat al-Qur'an, perbuatan tiran dicela dan dikutuk. Sementara itu, banyak ayat lainnya, Tuhan dijelaskan sebagai adil, dan bahwa Dia tidak ingin melakukan kezaliman kepada para hamba-Nya, atau tidak akan menyia-nyiakan perbuatan setiap pelakunya, atau bahwa Dia tidak ingin menyebabkan orang kehilangan sebiji atom kebaikan yang ia lakukan.

"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Qs. Ali Imran [3]:18)

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (Qs. al-Zalzalah [99]:7-8)

Wilson: Ucapan Anda tentang keadilan Tuhan merupakan ucapan yang paling rasional yang pernah saya dengar. Pada kenyataannya, pentingnya doktrin keagamaan ini tidak dapat dibesar-besarkan karena konsep ketuhanan tanpa keadilan-Nya tidak akan berguna bagi kita. Kita tidak dapat mempercayai juga jika ada agama yang rela terhadap tuhan yang zalim. Agama Yahudi dan Kristen memiliki pandangan yang sama dengan Islam dalam hal ini, dan tidak ada seorang Kristian atau Yahudi yang meragukan keadilan Tuhan. Doktrin keadilan Tuhan, dengan demikian, dalam pandangan Kristen dan Yahudi adalah sama dalam pandangan Islam, dan saya tidak melihat perbedaan antara tiga keyakinan ini dalam masalah tersebut.

Chirri: Perbedaan Islam dan keyakinan yang lain bukan tentang konsep keadilan Tuhan itu sendiri, namun tentang konsep yang bersumber dari konsep ini. Islam tidak menganut doktrin apa pun yang bertentangan dengan doktrin Keadilan Ilahi. Islam mendakwahkan dan mengukuhkan setiap doktrin yang boleh jadi bersumber dari konsep keadilan Tuhan.

Wilson: Dapatkah Anda menyebutkan beberapa contoh dari doktrin yang bersumber dari keadilan Tuhan?

Chirri: Saya akan menyebutkan tiga prinsip yang bersumber dari doktrin keadilan Ilahi:

1. Tuhan tidak meminta manusia sebagai makhluk-Nya untuk melakukan apa yang mereka tidak dapat melakukannya. Kita dapat menjumpai poin ini dalam al-Qur'an: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Qs. al-Baqarah [2]:286)

Apa yang berada di luar kekuasaanmu merupakan hal yang mustahil bagimu untuk melakukannya. Tuhan Yang Mahadadil tidak meminta yang mustahil.

2. Tuhan hanya menuntut tanggung jawab setiap orang dari perbuatan yang ia lakukan di bawah kontrolnya. Tidak ada orang yang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain, bahkan jika mereka itu merupakan sahabat atau kerabat, dan termasuk perbuatan yang dilakukan di luar kontrol. Poin ini dapat dijumpai dalam al-Qur'an:

"Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." (Qs. al-An'am [6]:164)

3. Jika hal ini benar adanya, umat manusia tidak dapat dibebankan perbuatan yang dilakukan Adam dan Hawa. Ketika berkata bahwa seluruh umat manusia dibebankan dengan warisan dari perbuatan tak terpuji Adam dan Hawa artinya bahwa ribuan umat manusia berbagi dengan Adam dan Hawa tanggung jawab atas perbuatan mereka, dan bahwa mereka mendapatkan kutukan dari Tuhan atas kesalahan yang terjadi sebelum kelahiran generasi dari mereka. Hal ini, tentu saja, tidak sejalan dengan keadilan Tuhan.

Mahkamah manusia tidak mengutuk seorang anak atas perbuatan dosa yang dilakukan oleh ayahnya. Bagaimana kita dapat menerima keadilan Tuhan yang menempatkan kesalahan yang dibuat oleh orang tua kepada anak-anak mereka atau cucu-cucu mereka?

Oleh karena itu, Islam dengan tegas menolak doktrin dosa asal, dan memandang setiap umat manusia suci pada saat kelahirannya dan bebas dari segala macam dosa. Sebenarnya, Islam menawarkan bayi manusia sebagai contoh sempurna dari wujud suci dan tanpa dosa. Setiap manusia, menurut ajaran Islam, lahir suci dan bebas dari segala bentuk dosa dan tetap berlanjut suci hingga ia melakukan dosa sebagai seorang dewasa.

Dengan melakukan dosa pada usia dewasa, manusia kehilangan kesuciannya, namun ia dapat meraih kembali kesucian tersebut melalui tobat yang tulus. Tatkala seseorang secara tulus merubah sikapnya dan dengan ikhlas berniat untuk tidak mengulang lagi perbuatan dosanya, dan sebenar-benarnya bersumpah untuk menaati titah Tuhan, Tuhan Yang Mahapengasih akan mengampuni dan menghapus dosa yang telah ia lakukan.

Wilson: Biarkan saya melantur sejenak: Adam dan Hawa merupakan orang-orang seperti adanya kita. Mari kita berasumsi bahwa mereka bertobat dengan tulus setelah mereka berbuat kesalahan. Apakah hal itu tidak berarti bahwa kesalahan mereka dihapus?

Chirri: Jika Anda berasumsi bahwa Adam telah bertobat setelah ia melakukan perbuatan yang tidak layak ia lakukan, Anda benar. Anda juga tidak keliru jika Anda meyakini bahwa Adam telah mendapatkan ampunan dari Tuhan atas tobat yang ia lakukan. Kitab Suci al-Qur'an mengatakan kepada kita bahwa Tuhan Yang Mahakuasa menerima tobat Adam, dan dengan demikian, perbuatan Adam dimaafkan: "…Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (Qs. al-Baqarah [2]:37)

Wilson: Jika Adam dimaafkan, mengapa ia diusir dari firdaus?

Chirri: Tergelincirnya Adam dari surga tidak mesti berarti sebuah hukuman bagi sebuah dosa. Boleh jadi bermakna hasil dari perubahan statusnya. Pada permulaan, Adam memiliki nilai untuk berkomunikasi dengan Tuhan kapan saja, dan pada masa-masa seperti ini adalah kebahagian dan surga baginya. Dengan bertindak yang tidak patut, ia menjadi rawan untuk tergelincir lagi; artinya, ia telah kehilangan imunitas (kekebalan) dari perbuatan yang tidak patut. Dengan menjadi tidak imun, ia tidak lagi berada pada posisi tinggi yang membuat ia dapat berkomunikasi dengan Tuhannya setiap waktu. Kini ia dapat melakukan hal itu pada masa ia telah bersuci. Kesuciannya, tentu saja, tidak bersifat permanen seperti sebelum ia tergelincir, lantaran ia boleh jadi tergelincir lagi.

Wilson: Perjanjian Lama mengabarkan kepada kita bahwa dosa Adam adalah memakan dari sebuah pohon, dan bahwa pohon itu merupakan pohon ilmu pengetahuan yang dititahkan Tuhan kepadanya untuk ia hindari. Bagaimana versi Qur'an dalam masalah ini?

Chirri: Kitab Suci al-Qur'an menyatakan bahwa ada sebuah pohon yang dilarang menyentuhnya dan bahwa kesalahan Adam adalah memakan buah dari pohon tersebut. Namun al-Qur'an tidak spesifik dalam pohon jenis apa yang ia makan. Dengan mengetahui spirit logis Islam, saya yakin bahwa pohon itu bukan pohon ilmu pengetahuan lantaran pengetahuan diperoleh dari belajar dan pengalaman, dan ia tidak tumbuh di atas pohon. Boleh jadi tidak ada yang signifikan yang menempel pada pohon itu atau jenisnya secara keseluruhan. Masalah signifikan yang dapat menjadi larangan itu sendiri adalah titah Tuhan untuk menguji keinginan hamba-Nya Adam dan Hawa. Terlebih, Tuhan, menurut al-Qur'an, cinta kepada pengetahuan; bagaimana mungki Dia melarangnya?

Wilson: Mari kita kembali kepada topik utama pembahasan kita.

Kini saya yakin bahwa Islam berdiri di atas landasan yang kokoh dalam mendakwahkan kesucian umat manusia dan bahwa ajarannya dalam bidang ini sangat benar dan konsisten. Islam, sejauh ini, menganut prinsip keadilan Tuhan dan menjunjung tinggi prinsip tanggun jawab individu yang tidak dapat dilepaskan dari keadilan Tuhan.

Tatkala kaum Kristian mendakwahkan doktrin dosa asal, mereka sebenarnya menkonstruksi dasar sebuah doktrin lainnya, yaitu: doktrin penebusan. Umat manusia, mereka katakan, adalah berdosa dan terkutuk karena dosa asal. Dengan kata lain, dengan mewarisi dosa Adam dan Hawa, kami bernoda dosa; oleh karena itu, dosa-dosa kita perlu ditebus. Seseorang harus membayar dosa kita. Isa membayarnya dengan disalib. Dengan demikian, Isa menjadi penebus dan penyelamat umat manusia.

Dengan mengingkari dosa asal, doktrin penebusan tersisa tanpa dasar dan fondasi. Anda telah berbicara tentang permasalahan ini, dan kini telah menjadi terang bahwa doktrin penebusan merupakan salah satu prinsip yang tidak sesuai dan sejalan dengan konsep keadilan Tuhan.

Chirri: Seluruh doktrin dosa asal adalah, sejauh yang kita diskusikan, secara keseluruhan bertentangan dengan doktrin keadilan Tuhan. Bahkan bila kita melupakan inkonsistensinya dengan keadilan Tuhan, kita tidak dapat menerima bahwa Sang Mahaadil membuat seseorang, seorang yang tak berdosa, Isa, membayar dosa seluruh umat manusia. Lagi, bagaimana kita dapat mencuci sebuah dosa kecil, seperti dengan memakan setiap apel, melalui dosa yang paling keji, pembunuhan seorang manusia suci, seperti Isa. Dosa boleh jadi dicuci oleh sebuah perbuatan baik, bukan dengan pembunuhan. Terlebih, bagaimana kita dapat menerima bahwa Tuhan, Sang Mahabijaksana, akan menuntut darah utusan-Nya sebagai harga sebuah pengampunan?

Dialog Ke-9

Freewill atau Determinisme?

Wilson: Terdapat satu isu penting yang terdapat dalam konsep Keadilan Ilahi, dan hal ini merupakan masalah kontroversial dalam filsafat sekaligus dalam bidang agama; yaitu, kebebasan manusia. Para filosof dan juga para ulama berbeda dalam menghadapi permasalahan ini. Beberapa dari mereka mendakwahkan kebebasan manusia, dan bahwa apa saja yang ia lakukan, ia kerjakan berdasarkan kepada kebebasan yang dimilikinya; beberapa dari mereka mengingkari kebebasan ini, dan berpikir bahwa apa yang kelihatannya sebuah aksi bebas atau non-aksi adalah telah diatur atau sebuah hasil dari sebab tertentu atau dari mata rantai sebab-sebab.

Saya telah membaca literatur Islam yang mengatakan bahwa Islam mendakwahkan predestinasi, dan bahwa seluruh pekerjaan manusia telah ditentukan oleh Tuhan, dan bahwa manusia tidak dapat merubah jalur yang ia ambil. Saya juga membaca, sebuah pandangan Islami yang berbeda dan mengingkari konsep predestinasi (keterpaksaan) atau jabariyah dalam aksi dan non-aksi manusia. Kini, saya ingin mendiskusikan dengan Anda permasalahan ini dan mencari tahu apa yang sebenarnya Islam ajarkan dalam masalah yang penting ini.

Chirri: Untuk mendefinisikan subjek pembahasan kita, perlu kiranya kita memperjelas bahwa diskusi yang kita lakukan tidak termasuk kondisi-kondisi tertentu yang tidak disebabkan oleh kehendak manusia sendiri, seperti jatuh sakit, menderita kebutaan, dan kematian. Dalam wilayah ini tidak adanya kebebasan manusia nampak dengan jelas. Tidak ada yang dapat mengklaim bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menghadapi kondisi semacam itu, karena hal ini tidak datang lantaran manusia memilihnya demikian. Diskusi kita hanya termasuk pada wilayah pekerjaan dan perbuatan manusia dimana manusia sepertinya bertindak atas pilihan dan kehendaknya sendiri. Di sini ikhtilaf lama masih menyala dan membagi orang-orang ke dalam dua kelompok: kelompok yang menganjurkan dan mendakwahkan kebebasan, dan kelompok yang mempropagandakan predestinasi, determinisme atau jabariyah.

Islam, sebagaimana Anda tahu, mengabarkan kepada kita bahwa Tuhan telah mewahyukan perintah-perintah tertentu; bahwa Dia akan mengganjari mereka yang menaati perintah-perintah-Nya; dan bahwa Dia akan mengazab mereka yang tidak menjalankan perintah-perintah-Nya. Agama yang mendakwahkan masalah ini dapat menjadi konsisten hanya bilamana ia menganjurkan kebebasan manusia, kalau tidak, agama semacam ini mengingkari konsep keadilan Tuhan.

Agama yang mendakwahkan keduanya baik keadilan Tuhan dan predestinasi (jabariyah) akan secara jelas bertentangan dengan dirinya sendiri tatkala disebutkan bahwa Tuhan akan mengganjari hambanya yang taat dan mengazab yang membangkang. Ketika aksi atau non-aksi manusia diatur sebelumnya oleh Tuhan, manusia tidak akan mampu mengubah jalur hidupnya. Ia tidak akan mampu melakukan sesuatu tatkala ia telah ditakdirkan untuk melakukan sesuatu yang lain. Manusia akan seperti sebuah mesin. Sebuah mesin tidak mampu, dengan sendirinya, mengubah jalur hidupnya, dan akan menjadi konyol ketika dikatakan bahwa sebuah mesin tunduk patuh terhadap sebuah perintah tertentu, kemudian mendapat ganjaran atau mendapat hajaran.

Menghilangkan kebebasan manusia, seluruh tatanan konsep agama akan runtuh dan rusak. Pada kenyataannya, jika kita mengingkari kebebasan manusia, maka tidak akan perlu pewahyuan dari langit. Pengutusan para nabi yang mengajar dan membimbing umat manusia akan menjadi sia-sia. Tatkala seseorang ditakdirkan untuk menjadi seorang atheis, ia tidak akan menjadi seorang yang beriman, dan tidak akan ada seorang nabi yang mampu mengubah hatinya. Seorang ditakdirkan menjadi jahat tidak akan menjadi warga yang baik, terlepas dari ajaran apapun yang ia terima.

Kebebasan manusia, pada kenyataannya, menjadi dasar seluruh konsep agama, dan Islam secara jelas menganjurkan kebebasan manusia.

Wilson: Dari diskusi kita yang sebelumnya, saya tahu bahwa Islam menganjurkan dengan kuat doktrin Keadilan Tuhan. Oleh karena itu, Islam, diharapkan mendakwahkan kebebasan manusia dan menentang gagasan predistinasi atau apa yang disebut dalam filsafat sebagai "Determinisme." Saya ingin tahu apakah al-Qur'an menunjukkan kebebasan manusia secara jelas.

Chirri: Kitab Suci al-Qur'an telah mengindikasikan, lebih dari satu cara, bahwa manusia merupakan seorang pelaku yang merdeka dan bebas. Indikasi al-Qur'an itu menjelaskan bahwa manusia mampu merubah kondisi dan keadaan hidupnya, "Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (Qs. ar-Ra'ad [13]:11)

Jika manusia ditakdirkan untuk mengambil satu jalur tertentu, ia tidak akan mampu merubah jalur tersebut. Apa saja yang ia lakukan atau hindari akan dilakukan atau dihindari, tidak melalui pilihan, tapi melalui paksaan.

Kitab Suci al-Qur'an, juga mendeklarasikan bahwa Tuhan tidak meminta manusia untuk melakukan sesuatu yang mustahil, juga tidak meletakkan sesuatu yang sukar bagi hamba-Nya, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Qs. al-Baqarah [2]:286)

Sebagai contoh, jika manusia ditakdirkan untuk berdoa atau melakukan pembunuhan dan Tuhan berkata kepadanya untuk tidak membunuh atau berdoa, Dia akan meletakkan kesulitan besar kepadanya, dan Dia akan memintanya untuk melakukan sesuatu yang mustahil baginya. Dia tidak akan memintanya untuk melakukan apa yang ia mampu lakukan karena ia telah ditakdirkan untuk, sebelum ia lahir, membunuh dan bukan untuk shalat. Kemudian, ia tidak mampu mematuhi perintah Tuhan. Kenyataannya bahwa ia diperintahkan untuk shalat dan dilarang untuk membunuh, hal ini menunjukkan bahwa Tuhan memandang manusia hamba-Nya sebagai makhluk yang bebas, dan bahwa apa saja yang diperintahkan atau tidak atasnya adalah berada dalam kemampuannya.

Kitab Suci al-Qur'an juga, menunjukkan kebebasan manusia dengan menyebut dan menekankan tanggung jawab setiap individu atas apa yang ia lakukan:

"Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka." (Qs. az-Zumar [39]:41)

"(Yaitu) bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (Qs. an-Najm [53]:38)

"Katakanlah: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (al- Qur'an) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri." (Qs. Yunus [10]:39)

Konsep tanggung jawab individu menunjukkan secara jelas bahwa individu merupakan pelaku bebas. Kalau tidak, ia tidak memikul tanggung jawab atas segala sesuatu yang boleh jadi dihasilkan olehnya. Tanggung jawab adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan.

Wilson: Ayat-ayat yang Anda nukil dari Kitab Suci al-Qur'an menunjukkan bahwa manusia dianugerahi kebebasan yang memadai yang membuat ia dapat memikul tanggung jawab dan pantas untuk mendapatkan ganjaran atau azab atas perbuatannya. Bagaimanapun, terdapat beberapa ayat yang dinukil dari al-Qur'an yang menunjukkan predestinasi. Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa perbuatan manusia dikontrol oleh Tuhan. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:

"Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Qs. al-Insan [76]:29-30)

"Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki." (Qs. al-A'raf [7]:155)

Ayat-ayat ini berseberangan dengan ayat-ayat yang Anda nukil. Hal ini membuat bingung dan menciptakan dilema.

Chirri: Bagi seorang Muslim, Kitab Suci al-Qur'an merupakan kitab wahyu. Ia mengandung kebenaran, dan seluruh kandungan al-Qur'an haruslah benar. Sebuah kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran yang lain. Apa saja yang nampak kontradiksi namun pada hakikatnya tidaklah demikian. Hal itu hanya secara lahir tampak kontradiktif.

Tatkala dua bagian ayat-ayat kelihatannya bertentangan dengan yang lain, mereka harus diperlakukan dengan sebuah perlakuan khusus. Tatkala salah satu dari dua bagian itu memiliki indikasi yang lebih jelas dari indikasi bagian yang lain dalam masalah yang sama, bagian yang memiliki indikasi yang lebih jelas harus diikuti. Kelompok lain harus diinterpretasikan dengan sebuah jalan yang tidak berseberangan dengan yang pertama. Perlakuan ini nampaknya perlu dilakukan tatakala bagian yang lebih jelas adalah lebih sesuai dengan sisi logis dari masalah tersebut. Dan beginilah perkara dari dua permasalahan yang disebutkan di atas.

Camkan hal ini baik-baik, kita boleh jadi dapat memahami dua kelompok tersebut dan mengintepretasi yang pertama dengan sebuah jalan yang tidak akan berseberangan dengan yang terakhir. Kita boleh memahami dari dua ayat pertama pada kelompok kedua bahwa kemampuan manusia untuk memilih adalah bersumber dari Tuhan. Manusia boleh jadi memilih jalur tertentu, namun kemampuannya untuk memilih adalah anugerah Tuhan. Tuhan mampu menghilangkan darinya kebebasan ini dan turut campur dengan kehendak-Nya. Namun Tuhan tidak biasanya melakukan hal tersebut.

Dua ayat kedua, juga dapat diinterpretasikan dengan sebuah jalan yang tidak berseberangan dengan kebebasan manusia: Tuhan boleh jadi menuntun seseorang kepada jalan yang benar, dan Dia boleh jadi meninggalkan yang lain pada jalan yang salah. Namun kita tidak dapat mengharap dari Tuhan untuk menganugerahkan tuntunan kepada seseorang dan meninggalkan yang lain dalam kesalahan berdasarkan pada sistem acak.

Dia boleh jadi menolong seseorang dengan menganugerahkan untuk mencoba menemukan kebenaran dan keinginan untuk mengikutinya. Dia boleh jadi meninggalkan seseorang dalam kesalahan tatkala orang itu tidak ingin menerima kebenaran. Dengan penafsiran ini, tidak akan ada dilema. Bagian pertama dari ayat-ayat itu akan tetap demikian adanya tanpa pertentangan, yang menunnjukkan secara jelas kebebasan manusia.

Wilson: Tuhan merupakan Pencipta seluruh semesta, seluruh segmen dan kejadiannya. Tidak ada kejadian apa pun di luar penciptaan-Nya. Keinginan manusia merupakan salah satu kejadian yang berlaku di dunia ini. Manusia, dengan demikian, tidak memiliki kebebasan.

Chirri: Apabila hal ini benar adanya, kita harus menisbahkan kepada Tuhan seluruh kezaliman, tirani dan kejahatan yang dilakukan manusia. Namun tidak seorang pun orang yang beriman kepada Tuhan akan mengatributkan seluruh kejahatan dan dosa kita kepada Tuhan.

Yang benar adalah bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dengan kekuatan untuk memilih, dan hal ini berarti bahwa Dia menganugerahkan kepadanya sebuah kebebasan. Tuhan dapat mengarahkan kehendak manusia dan membuat ia memilih jalur tertentu jika Dia menghendaki, namun tidak ada dalam kehidupan kita yang mengindikasikan bahwa Tuhan biasanya turut campur dalam keinginan kita. Lantaran Dia menganugerahkan kepada kita kekuasaan untuk memilih tanpa interfensi dari-Nya. Hal ini bermakna bahwa Dia mengharapkan kita untuk menggunakan kekuasaan kita untuk memilih dan memiliki pilihan sendiri.

Wilson. Tuhan mengetahui masa depan kita sebagaimana Dia mengetahui masa kini dan masa lalu kita. Dia mengetahui apa yang akan saya lakukan di masa datang seperti Dia mengetahui apa yang saya lakukan sekarang. Dia mengetahui sebelum kita lahir jalan apa yang akan kita ambil setelah kelahiran kita dan di masa mendatang. Lantaran segala sesuatu diketahui oleh-Nya, perbuatan kita haruslah telah ditentukan sebelum kita berbuat atau bertindak.

Kita tidak akan dapat mengambil sebuah jalan baru yang tidak diketahui oleh Tuhan, juga kita tidak akan keliru mengambil jalan yang telah diketahui sebelumnya oleh Tuhan. Kekeliruan kita untuk mengambil jalan yang Dia ketahui, akan bermakna kekeliruan dalam pengetahuan-Nya. Pengetahuan Tuhan tidak pernah salah dan keliru.

Chirri: Pengetahuan kita terhadap kejadian-kejadian tertentu tidak menentukan kejadian-kejadian tersebut, juga tidak karena pengetahuan kita peristiwa itu terjadi. Saya tahu, misalnya, bahwa seluruh pekerja pada sebuah pabrik khusus menyantap makan siang mereka pada siang hari. Hal ini tidak berarti bahwa pengetahuankulah yang menyebabkan mereka menyantap makan siang mereka pada saat itu. Tuhan, tanpa sangsi, mengetahui masa depan kita, tapi hal ini tidak harus berarti bahwa seluruh perbuatan kita di masa depan disebabkan oleh pengetahuan-Nya. Seluruh perbuatan yang kita kerjakan masing-masing memiliki sebabnya sendiri-sendiri, dan faktor utamanya adalah kehendak manusia yang menghendaki terlaksananya sebuah tindakan atau perbuatan.

Di samping itu, Tuhan mengetahui bahwa saya akan melakukan suatu perbuatan tertentu didorong oleh kehendak bebasku sendiri. Lantaran pengetahuan Tuhan tidak keliru, perbuatanku harus merupakan sebuah perbuatan bebas yang disebabkan oleh kehendak bebasku. Jika perbuatanku merupakan sebuah produk dari keterpaksaan (bukan kebebasan), pengetahuan Tuhan akan keliru. Pengetahuan Tuhan tidak pernah keliru; oleh karena itu, saya tidak akan keliru dalam membuat keputusanku sendiri, melalui kehendak bebas yang aku miliki.

Wilson: Diskusi ini telah membuat seluruh permasalahan menjadi jelas. Poin yang Anda sebutkan terakhir merupakan poin yang sangat penting. Pada kenyataannya, argumen terakhir yang saya ajukan adalah keliru karena mencampur aduk antara pengetahuan terhadap sebuah perisitwa dan sebabnya, namun setiap kejadian biasanya memiliki sebabnya sendiri. Kita tahu bahwa Tuhan mengetahui seluruh perbuatan kita yang merupakan produk dari kehendak bebas. Dan karena Tuhan telah memberikan kepada kita kekuasaan untuk memilih, kehendak kita haruslah merupakan sebuah produk bebas dari kekuasaan tersebut. Pengetahuan Tuhan tidak pernah keliru. Oleh karena itu, kita tidak akan pernah keliru untuk mendapatkan seluruh perbuatan kita sebagai produk dari kehendak bebas yang kita miliki.

Ketika kita menisbahkan doktrin kebebasan manusia, kita akan konsisten dan terjaga dari kontradiksi. Doktrin keadilan Tuhan tidak dapat dipertemukan dengan doktrin keterpaksaan. Kita tidak dapat berkata bahwa perbuatan manusia dipaksa oleh Tuhan, kecuali kita mengingkari keadilan Ilahi. Karena kita tidak ingin mengingkari doktrin keadilan Tuhan, juga tidak mau menerima kontradiksi, kita harus menegasikan, secara bulat, doktrin keterpakasaan (predestinasi).

Dialog Ke-10

Selayang Pandang Sejarah Kenabian

Wilson: Sejarah agama-agama tauhid menunjukkan bahwa seluruh nabi mereka berasal dari ras Semitik dan kebanyakan dari mereka merupakan keturunan Nabi Ibrahim, baik dari keturunan Nabi Ishak atau putra-putri Ismail. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah keistimewaan yang dengannya Bani Israil dan Bani Ismail unggul dari keseluruhan manusia. Namun hal yang sukar dipercaya untuk diyakini bahwa Tuhan menghadirkan pesan langit hanya kepada dua komunitas ini. Tuhan merupakan Tuhan seluruh bangsa dan pesan-Nya harus diwahyukan kepada seluruh bangsa juga. Jika sejarah agama benar adanya, harus terdapat beberapa alasan kenapa kenabian hanya dibatasi kepada dua komunitas ini saja.

Chirri: Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa pemahaman manusia, pada masa-masa awal, tidak mampu mengangkat isu-isu metafisis, atau menerima ide-ide universal dan tinggi. Adapun interaksi manusia, masing-masing individu terbatas hanya kepada kecintaan terhadap keluarga dan kekerabatan. Seluruh suku yang lain, adalah asing dan kafir baginya. Konsep kebangsaan dan kemanusiaan jarang terlintas dalam benaknya.

Namun demikian, beberapa orang yang berbakat hidup di kalangan manusia pada saat itu, mampu memahami matlab-matlab yang mendalam, dapat mencerap apa yang berada di atas indra, siap untuk menerima tanggung jawab dalam membimbing dan mengajar manusia kala itu. Dengan mengetahui kapasitas luar biasa mereka, Tuhan Mahakasih mewahyukan kepada mereka kebenaran dan membebankan kepada mereka tugas yang paling berat, membimbing umat manusia.

Orang-orang ini dipilih atas asas kepatutan mereka, bukan lantaran hubungan mereka kepada ras atau komunitas tertentu. Sebagaimana diharapkan, orang-orang ini berhadapan dengan kesulitan dan kesukaran yang tak teratasi. Orang-orang tidak siap mengikuti atau menerima ajaran mereka, dan kebanyakan dari mereka seperti Nabi Nuh hanya memperoleh sejumlah kecil pengikut, atau seperti Nabi Ibrahim, yang hampir sepanjang hidupnya sebagai seorang nabi tanpa seorang pun pengikut.

Karena masyarakat menolak untuk berubah, dituntut seorang nabi seperti Ibrahim menjamin keberlangsungan agamanya melalui anak-anaknya, Ismail dan Ishak, yang dengan penuh iman mengikuti keyakinan ayah mereka dan menyampaikannya kepada anak-anak mereka. Ajaran agama berlanjut tersebar hampir sepanjang garis kesukuan. Abad dan kurun berlalu, keyakinan tidak memperoleh para pengikut dari luar, juga tidak diyakini oleh seluruh keturunan Ibrahim.

Tujuan Ilahi, bagaimanapun, tidak membatasi iman dalam konteks kesukuan atau batasan negara. TuhanMahakasih dan Mahasayang bertujuan untuk menyebarkan iman di seantero penjuru dunia dan menunjukkan kepada seluruh manusia jalan lurus. Tuhan Yang Mahakuasa mengurus alam semesta melalui jalur-jalur natural dan wajar. Seluruh kejadian di dunia berlaku menurut hukum sebab dan akibat. Dia menjaga iman yang diwahyukan dan memeliharanya untuk tetap hidup, meski pada titik perhentian, melalui sebuah komunitas kecil, yang diberkati dengan mewarisi iman tersebut dari ayah sucinya. Dia yang menyebabkan iman itu tetap menyala dan menyebar tatkala komunitas itu tumbuh berkembang dan memperoleh kekuasaan yang memadai untuk penyebarannya dan menjaganya untuk tetap ada dan hidup, meskipun hanya terbatas, melalui suatu masyarakat kecil, yang mendapat berkah warisan dari kekudusan iman sang ayah. Dia menyebabkan iman itu membakar dan menyebar ketika masyarakat itu tumbuh dan memperoleh kekuasaan yang memadai untuk mengemban tugas besar dalam penyebaran keimanan.

Masyarakat kecil itu diperuntukkan untuk bertumbuh melalui dua garis keturunan, melalui Bani Ismail dan Bani Israil. Mereka berdua diberkati dan kedua-duanya diuji dan dibebankan tugas yang besar untuk memelihara dan menyebarkan iman, kendati ujian tersebut tidak berlangsung bersamaan. Meskipun [demikian] Ismail adalah putra yang pertama Ibrahim dan memperoleh suatu warisan dalam bentuk iman dan saudaranya Ishak juga mendapat berkah seperti itu, dan Allah menangguhkan ujian dari keturunan-keturunan Ismail selama berabad-abad. Ia sedang menyiapkan mereka untuk melanjutkan misi dimana misi tersebut telah dimulai melalui keturunan-keturunan Ishak.

Dengan memulai generasi Ishak, Tuhan Yang Mahakuasa mengikat perjanjian dengannya. Dari Perjanjian Lama kita membaca: "Tentang Ismael, Aku telah mendengarkan permintaanmu; ia akan Kuberkati, Kubuat beranak cucu dan sangat banyak; ia akan memperanakkan dua belas raja, dan Aku akan membuatnya menjadi bangsa yang besar. (Kejadian 17:20)

Wilson: Sesuai dengan ucapan Anda, tujuan Ilahi bukan bermaksud untuk membatasi keimanan kepada seseorang atau dua komunitas atau bangsa tetapi untuk menyebarkan keimanan yang benar ke seluruh penjuru dunia dan memperkenalkan ajaran-ajaran Tuhan kepada seluruh bangsa. Namun, hal ini bukan menjadi persoalan. Perjanjian Lama secara berulang menyebut bangsa Israil sebagai bangsa pilihan Tuhan. Ia menyebut bangsa lain sebagai kafir (bukan bangsa Yahudi). Hal ini menunjukkan bahwa Bani Israil mendapatkan perhatian utama dari risalah langit ini.

Chirri: Dengan perjanjian yang dirajut antara Tuhan dan Ishak, Bani Israil seharusnya memeluk dan mengikut dengan tulus perintah dan titah Tuhan dan menuntun seluruh bangsa di dunia ke jalan Tuhan. Namun Bani Israil tidak memenuhi harapan ini. Hanya sebagian kecil yang mengikuti ajaran langit dan kelompok minoritas itu tidak mampu menerima keimanan sebagai sesuatu yang universal atau manusiawi. Sebagai hasilnya, nabi-nabi Bani Israil yang datang berikutnya berbicara kepada umat mereka berdasarkan kepada pemahaman dan pengetahuan mereka. Dalam keadaan ini, keimanan diberi warna sifat kesukuan atau kebangsaan; Tuhan adalah Tuhannya Bani Israil, dan Bani Israil merupakan bangsa pilihan-Nya. Para nabi telah berusaha untuk membuat masyarakat Yahudi memeluk keimanan mereka secara tulus. Perhatian seluruh nabi Bani Israil berpusat pada umat Yahudi, tidak ada umat lain yang menjadi perhatian mereka. Bahkan Isa, sesuai dengan Mathius, memiliki sikap yang sama:

“Maka datanglah seorang perempuan Kanaan dari daerah itu dan berseru: Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan sangat menderita. Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawabnya. Lalu murid-murid-Nya datang dan meminta kepada-Nya: Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak. Jawab Yesus: Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. Tetapi perempuan itu mendekat dan menyembah Dia sambil berkata: Tuhan, tolonglah aku. Tetapi Yesus menjawab: Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (Matius 15:22-26)

Wilson: Kitab Injil mengatakan bahwa Tuhan telah memerintahkan Ibrahim untuk memperingatkan, istrinya, dan membuang Ismail di sahara Paran, dimana di tempat itu tidak tersedia makanan dan minuman. Perintah ini tidak hanya kelihatan kejam, tapi juga menyiratkan bahwa Tuhan tidak memiliki tujuan apa pun untuk Ismail dan keturunannya.

Chirri: Persiapan yang dilakukan untuk Ismail telah dimulai semenjak Tuhan menasihati hamba utama-Nya Ibrahim untuk memperingatkan istrinya, Sarah, dengan membawa Ismail dan ibunya Hajar pergi ke dataran kering Paran. Para pembaca Perjanjian Lama mesti merasa takjub akan hikmah nasihat sedemikian itu yang nampaknya secara lahir kejam dan tak berbelas kasih. Namun tatkala kita merenungi apa yang ditimbulkan dari peristiwa yang terjadi dalam sejarah ini, kita boleh jadi mengerti hikmah dan kebijaksanaan tersebut.

Tugas untuk menyebarkan sebuah agama yang benar merupakan tugas mentransformasi karakter-karakter individual dan merubah kehidupan seluruh bangsa. Hal yang pertama dihadapi oleh tugas ini adalah sebuah ketidaksepakatan antara guru sebuah ideologi baru dan orang-orang yang ia coba untuk pengaruhi. Usaha semacam ini biasanya menjumpai perlawanan dan resistensi, dan merupakan hal yang wajar bahwa resistensi dapat menuntun kepada sebuah konflik bersenjata. Dalam kasus seperti ini, kebebasan untuk meyakini, mendakwahkan dan mengamalkan terancam, dan dapat diselamatkan dan dilindungi hanya ketika ideologi baru ini siap menerima tantangan dan menghadapi kekerasan dengan kekerasan. Misi ini, kemudian, memerlukan seorang pemimpin Ilahi yang didukung oleh masyarakat yang memiliki kekuatan, keprawiraan dan ketakwaan yang siap melakukan pengorbanan tanpa ragu-ragu.

Dari seluruh bangsa dan umat di Timur-Tengah, bangsa Arab, selama beberapa abad, telah teruji dan oleh karena itu, memenuhi kualifikasi untuk menunaikan tugas tersebut. Semenanjung Arab tetap tidak dapat ditembus untuk ditaklukkan dan dijajah oleh kekuatan asing. Orang Arab menikmati sebuah kebebasan yang jarang diperiksa oleh penguasa. Ia menjadi percaya diri (self-confident), siap melindungi dirinya dan kebebasannya dengan kekuatannya sendiri dan mencetuskan keinginannya dengan perbuatan. Sebuah bangsa atau umat yang terdiri orang-orang semacam ini memenuhi syarat untuk menunaikan sebuah misi besar; dan ketika mereka diilhami oleh seorang pemimpin langit, ia akan mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik.

Untuk menanamkan agama Ibrahim kepada umat yang seberani dan sekuat itu dan untuk mempersiapkan bangsa tersebut untuk masa depan yang gemilang, Tuhan menasihatkan hamba-Nya Ibrahim untuk mendengarkan istrinya, Sarah, dengan mengutus putranya Ismail pergi sehingga ia dapat bermukim di tengah-tengah masyarakat Arab. Melalui perkawinan antar mereka, keturunan Ismail bersatu dan menjadi sebuah bangsa besar yang ditakdirkan untuk memikul misi besar ini di masa yang akan datang.

"Allah mendengar suara anak itu, lalu Malaikat Allah berseru dari langit kepada Hagar, kata-Nya kepadanya: Apakah yang engkau susahkan, Hagar? Janganlah takut, sebab Allah telah mendengar suara anak itu dari tempat ia terbaring. Bangunlah, angkatlah anak itu, dan bimbinglah dia, sebab Aku akan membuat dia menjadi bangsa yang besar. Lalu Allah membuka mata Hagar, sehingga ia melihat sebuah sumur; ia pergi mengisi kirbatnya dengan air, kemudian diberinya anak itu minum. Allah menyertai anak itu, sehingga ia bertambah besar; ia menetap di padang gurun dan menjadi seorang pemanah. Maka tinggallah ia di padang gurun Paran, dan ibunya mengambil seorang isteri baginya dari tanah Mesir." (Kejadian 21:17-21)

Dengan menempatkan Ismail di semenanjung Arabia , Ibrahim telah menanamkan biji keimanannya di bumi Arab. Untuk membuat benih ini tumbuh dan keimanan berlanjut, ia membangun bangunan masa depan dengan membangun Rumah Suci, Ka'bah, di tengah-tengah wilayah Arab, sebagai candi pertama Tuhan di dunia. Karena Tuhan telah mengatakan sebelumnya kepada Ibrahim dan sebagaimana yang telah diharapkan Ibrahim, Ka'bah menarik para penduduk Arab dan menjadi markaz suci di negeri itu. Kota suci Mekkah kemudian dibangun di sekelilingnya, dan kemudian setelah itu panggilan Ibrahim setiap tahunnya dipenuhi oleh sejumlah besar peziarah yang mengungjungi Rumah Suci dan beribadah kepada Tuhan di candi-Nya. Dari al-Qur'an kita membaca:

"Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir." (Qs. Hajj [22]:26-28)

Berat bagi Ibrahim meninggalkan putra pertamanya di sahara Arabia dimana di tempat itu tiada buah, tiada air, dan juga tiada kota Namun ia memiliki dua tujuan yang ingin ia capai, dan masing-masing merupakan tujuan besar yang membuat Ibrahim rela mempersembahkan pengorbanan semacam itu dan ia melakukannya dengan segala upaya dan kesungguhan. Tujuan pertama dari dua tujuan tersebut adalah segera membangun Rumah Suci dan mengangkat putranya sebagai penjaga Rumah Suci tersebut yang akan beribadah kepada Tuhan, menunaikan perkhidmatan sesuai dengan agama benar Tuhan, dan mengajarkan putranya dan masyarakat di tempat itu ajaran-ajaran yang benar. Dengan melakukan hal ini, Ibrahim tidak hanya meluaskan wilayah keimanannyan tapi juga menjamin kontinuitas keyakinannya. Sekiranya keturunan Ishak gagal dalam menunaikan tugas-tugas keagamaan yang dibebankan kepadanya, keimanan dapat berlanjut melalui anak-anak Ismail di negeri Arab. Dari al-Qur'an kita membaca, "Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur."(Qs. Ibrahim [14]:37)

Kita tidak tahu keluasan perkembangan iman Ibrahim di tanah Arab. Sejarah tidak memberitahukan kepada kita secara jelas suasana agama di bumi Arab selama masa panjang yang terbentang semenjak masa Ibrahim hingga akhir abad kelima masa Kristen. Pada abad keenam, kita dapatkan mayoritas masyarakat ketika itu adalah para penyembah berhala Arabia Namun demikian, kita jumpai, pada saat yang sama, beberapa ritual dan praktik yang hanya dapat diatributkan kepada ajaran Ibrahim. Di antara ritual tersebut adalah ziarah ke Baitullah di Mekkah dan sirkumsisi (sunat/khitan) yang dilakukan dan dipraktikan oleh seluruh kabilah Arab yang bukan beragama Kristen.

Di sepanjang ritual dan pratik ini, kita temukan sebagian kecil masyarakat Arab, beriman kepada Tuhan, beribadah kepada-Nya dan menolak menyembah berhala.

Tujuan kedua Ibrahim adalah menyiapkan putra-putra Ismail dan umat dimana mereka bersatu, untuk masa depan yang gemilang dan jauh -tatkala orang-orang yang berbahasa Arab diutamakan dan dihormati untuk mendapatkan Nabi Pamungkas di antara mereka-; ketika mereka siap menerima pesan agungnya dan menyebarkan firman Tuhan ke seantero jagad. Dari al-Qur'an kita membaca:

"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada Kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (Qs. al-Baqarah [2]:127-129)

Doa Nabi Ibrahim diterima (dan menjadi kenyataan) pada abad ketujuh. Nabi yang diramalkan datang dengan sebuah metode yang baru yang mampu menopang kebenaran, menjamin kebebasan yang dibutuhkan dan membuka jalan bagi ajaran-ajaran samawi. Metode yang menggunakan logika sebagai media utama untuk meyakinkan dan menunjukkan kekuatan di hadapan setiap orang yang mengancam kebebasan-kebebasan suci tersebut.

Pada abad ketujuh, dunia diberkati dengan kemunculan Nabi Terakhir dan Universal Muhammad Saw, yang bangkit dari Mekkah, pusat tanah Arab, menyinari Timur dan Barat.