Alternatif Kedua : Jalan Kedua Yang Mungkin Ditempuh Rasul
Rasulullah merencanakan beberapa langkah dan terobosan demi masa depan dan pengembangan dakwah setelah wafatnya dengan bersikap positif dan tanggap terhadap prospek misinya, yaitu dengan menciptakan sistem negara dan pemerintahan atas dasar syura (musyawarah) yang diperankan oleh generasi Muhajirin dan Anshar. Kedua kelompok revolusioner tersebut dijadikan sebagai tulang punggung pemerintahan dan bertindak selaku motor dakwah dan pembangunan dakwah itu sendiri dalam setiap proses perkembangannya.
Untuk lebih jelasnya, kita bawakan beberapa alasan dalam keterangan sebagai berikut:
Seandainya Nabi menaruh perhatian dan bersikap tanggap terhadap masa depan dakwah dengan berlandaskan konsep pemerintahan syura setelah wafatnya dan menjadikan syura sebagai dinding pelindung proyek pembinaan dakwah itu semuanya benar, maka semestinya Rasul menggalakkan upaya pengkaderan secara intensif tentang konsep syura dengan segala batas-batas dan garis-garisnya sekaligus mengesahkannya sebagai sistem tunggal yang dibenarkan dan sangat luhur dalam Islam sebab masyarakat pada saat itu merupakan masyarakat yang sejak berabad-abad hidup di bawah pengaruh Sukuisme, rasialis dan tidak mengenal sama sekali sistem permusyawaratan. Mereka telah tumbuh mekar di bawah pengaruh Qabilisme yang memprioritaskan faktor kekuatan fisik, kekayaan dan faktor warisan leluhur.
Dengan mudah kita dapat menyadari bahwa Nabi belum pernah terbukti dalam sejarah hidupnya telah mengadakan operasi penataran sistem syura secara lengkap dengan segala batas-batas dan kerangkanya, sebab kalau memang beliau melakukan hal itu, maka itu pasti tercermin dalam sabda-sabda dan prilaku dan pola pikir masyarakat atau sedikitnya terpantui pada tingkah laku dan cara berfikir generasi senior Muhajirin dan Anshar selaku pengawal Revolusi elite, tegas dan bertanggung jawab menerapkan sistem tersebut sebagai sistem negara yang konon dicetuskan dan disahkan oleh Nabi sebagai pemerintahan. Namun itu semua tidak terbukti dalam kenyataan hidupnya serta tidak terkesan dalam hadis dan sabda-sabda beliau. Hadis-hadis Nabi tidak pernah berbicara dan menerangkan secara lengkap dan serius tentang sistem syura, di samping itu secara keseluruhan tindakan Muhajirin dan Anshar tidak memberi kesan bahwa mereka memahami seluk-beluk sistem syura yang mereka katakan dan elu-elukan. Masyarakat sahabat saat itu terbagi menjadi dua partai yang saling bertentangan :
- Golongan yang berkiblat kepada Ahlul Bayt a.s. (Keluarga Rasul).
- Golongan yang dipelopori oleh beberapa tokoh sahabat yang turut menghadiri Sidang Darurat Saqifah.
Prinsip dan garis pemikiran golongan pertama ialah berpegang teguh pada konsep wishayah dan imamah, memprioritaskan faktor kerabat sebagai salah satu dasar (karena bukanlah sistem utama dalam Islam dan kenegaraan.
Prinsip dan garis pemikiran golongan kedua ialah bersikeras bahwa syura adalah sistem pemerintahan Islam setelah Nabi meninggal dunia, tapi pola pikir dan tingkah laku serta semua kebijaksanaan politik golongan berkuasa ini tidak senada dengan syura yang mereka dengungkan sebagai sistem tunggal dalam pembentukkan suatu pemerintahan dalam Islam. Terbukti bahwa mereka sendiri tidak konsekuen dengan prinsip syura tersebut sekaligus kurang konsisten dengan sumpah setia Saqifah, baik pada masa hidup Nabi maupun setelah beliau wafat. Abu Bakar pada detik-detik terakhir dari sisa hidupnya di atas pembaringan menunjuk rekannya, Umar bin Khatab sebagai penggantinya memangku jabatan kekhalifahan dalam selembar surat Kenegaraan yang ditulis oleh Utsman bin Affan (selaku Sekretaris Negara). Demikianlah maksud dari pada isi surat itu:
"Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Berikut ini Abu Bakar selaku Pengganti Rasulullah berpesan kepada para mukminin dan muslimin. Salam sejahtera bagi kalian. Saya haturkan puji syukur ke Hadirat Allah demi kalian semua.
Bersama ini, saya dengan resmi telah menunjuk rekan saya yang bernama Umar putra Khatab sebagai pemimpin. Maka harapan dan himbauan saya ialah semoga hendaknya kalian mendengar dan mematuhinya. Sekian".
Setelah penulisan itu selesai, Abdurrahman bin Auf masuk dan begitu ia mendengar berita penunjukkan telah dilaksanakan ia langsung protes sambil berkata kepada Abu Bakar:
Hai Khalifah! Bagaimana Anda ini sebenarnya?
Abu Bakar menjawab dengan nada bertanya:
Kenapa kalian semua memprotes penunjukkan itu dan menambah berat bebanku lalu masing-masing menuntut jabatan itu (Tarikh Al-Ya'qubi juz 2 hal. 126-27).
Pengangkatan yang dilakukan Abu Bakar dan sikap protes Abdurrahman bin Auf ini membuktikan bahwa sang Khalifah sendiri tidak memahami secara mendalam tentang logika sistem syura, juga menunjukkan bahwa ia sendiri tidak merasa berhak menunjuk atau mengangkat seseorang sebagai pemimpin secara absolut di antara sekian banyak sahabat lainnya. Sang Khalifah tidak mempunyai pemahaman bahwa pengangkatan demikian semestinya secara otomatis menuntut konsekuensi dan loyalitas masyarakat muslim agar taat dan mematuhinya tidak perlu sampai Abu Bakar menghimbau rakyat agar mematuhi pemimpin baru mereka. Surat pengangkatan resmi yang dikeluarkan Abu Bakar itu bukan hanya sekedar usul atau buah pendapat biasa, namun surat tersebut bernada perintah dan ketetapan yang bersifat absolut dan tak dapat diralat atau diganggu-gugat.
Terbukti, Umar juga merasa berhak mengangkat secara individu seorang pengganti dengan cara menunjuk enam rekannya sebagai calon-calon tetap dan terbatas dan orang-orang yang diluar enam anggota calon itu hanya berhak mendengar, menonton dan puas dengan hasil saja. Suara orang ketujuh di situ tidak akan digubris.
Pengangkatan versi Umar ini jelas tidak berdasarkan syura yang pada dasarnya mengutamakan faktor pengambilan suara terbanyak. Penunjukkan yang dilakukan Umar tidak terlalu berbeda dengan gaya penunjukkan Abu Bakar kepadanya pada masa akhir hidupnya di atas ranjang. Kedua-duanya tidak konsekuen pada nilai dan tuntutan permusyawaratan yang ideal, yang mana sebelumnya selalu mereka gunakan sebagai alat dan alasan dalam berkampanye pada sidang Saqifah. Ketika ditawari jabatan kekuasaan oleh masyarakat Umar pernah bergumam: Aku harus jadi pemimpin sekali pun Muhajirin menolak.
Para Muhajirin tak kalah gertak sambil berteriak lantang : "Kami adalah orang-orang diantara sekian banyak muslimin yang pertama kali memeluk Islam kemudian jejak kami ditiru oleh orang-orang lain. Kami juga kerabat Rasul dan golongan ningrat Arab!"
Dan ketika kelompok Anshar mengajukan usul pemerintahan kwalisi dengan dua pemimpin yang bergantian dalam jangka masa jabatan tertentu dari pihak Muhajirin dan Anshar, Abu Bakar segera menolak seraya berkata:
Tatkala Rasulullah diutus, saat itu kebanyakan masyarakat Arab merasa berat sekali untuk mencampakkan ajaran nenek moyang mereka. Sedangkan kami saat itu (Muhajirin maksudnya) dipilih oleh Allah dan diistimewakan dari pada seluruh orang karena kami berani membenarkan semua ajaran yang dibawa dan disebarkannya. Kami adalah orang-orang dekat dan kerabat beliau sekaligus orang-orang yang berhak dan pantas memegang kekuasaan setelah wafatnya darlpada selain kami. Dan yang berani membantah atau memprotes atau merebut maka mereka adalah orang-orang yang zalimi.
AI-Khabbab bin Al-Mudzir dalam pesannya kepada kubu Anshar telah berkata:
"Bersatulah! Orang-orang lain sedang menganiaya dan hendak merampas hak kalian. Jika mereka tetap bersikeras untuk menolak, maka kita akan menuntuk dua pemimpin dari pihak kita dan pihak mereka."
Sikap Al-Khabbab tidak mendapatkan respon dan tanggapan positif dan gagasannya langsung ditolak mentah-mentah oleh Umar dengan ucapannya:
"Tidak mungkin satu negara dikendalikan oleh dua pemimpin ibarat dua pedang dalam satu sarung. Siapa yang berani merebut kepemimpinan Muhammad dari tangan ahli-ahli warisnya, sedangkan kami adalah orang-orang terdekat dan kerabatnya, orang yang masih berniat merebut adalah orang-orang yang siap musnah dan celaka"
Cara penunjukan yang dilakukan oleh Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua, kemudian sikap pasif masyarakat terhadap cara tersebut dan pada pikir generasi Anshar dan Muhajirin berikut ungkapan-ungkapan dan strategi yang digunakan Muhajirin dalam upaya memonopoli kekuasaan dan wewenang terbatas bagi kalangan mereka sendiri sekaligus langkah-langkah Muhajirin sendiri dalam mendiskriditkan Anshar dan tidak mengikutsertakan mereka dalam pesta kekuasaan lalu faktor propaganda dan luapan-luapan sentimentil berbau kesukuan dan kesombongan yang dikampanyekan dan disuarakan di Gedung Pertemuan Tertutup Saqifah Bani Sa'idah, seperti luapan sombong yang menyerukan: Kami semua adalah masyarakat elite dan ningrat bangsa Arab dan kami adalah kerabat Rasulullah! juga kesediaan dan kebulatan tekad kedua belah pihak; Anshar dan Muhajirin dan penyesalan Abu Bakar yang telah memenangkan kompetisi khilafah pada detik-detik terakhir dari masa hidupnya bahwa sangat menyesal sekali "Mengapa dulu tak pernah kutanyakan pada beliau mengenai siapa yang sebenarnya berhak dan pantas mengaku jabatan khalifah" Itu semua membuktikan dengan jelas bahwa generasi Muhajirin dan Anshar termasuk pribadi-pribadi yang berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan belum memiliki gambaran yang luas dan pengetahuan yang mendasar tentang konsep dan seluk beluk syura secara sistematis. Bagaimana mungkin kita beranggapan bahwa Rasulullah telah menggalakkan penataran syura secara konsepsional dan bahwa beliau telah mempersiapkan dengan matang generasi Muhajirin dan Anshar untuk mengendalikan pemerintahan dan mengemban tugas penyebaran missi dalam konteks sistem syura, sedangkan kita sendiri belum pernah menemukan realita daripada sistem tersebut dalam sepak terjang dan corak berfikir masyarakat Islam waktu itu.
Kita juga tidak beranggapan bahwa Rasul telah menggariskan konsep syura secara sempurna dalam batas hukum dan pemahamannya. Juga tidak terbukti beliau mengkader dan mengajarkannya secara sistematis dan sempuma kepada masyarakat muslimin.
Dan semua yang telah dilaksanakan Nabi dalam segala aspek kehidupannya telah menunjukkan kepada kita bahwa beliau belum pernah memaparkan syura sebagai konsep dan sistem yang baru kepada masyarakat, sebab tidak mungkin konsep itu lenyap begitu saja dalam realitanya bila memang benar-benar telah dihidangkan sebagai konsep yang harus diterapkan dan dijadikan sebagai cara untuk membentuk pemerintahan baru.
Kenyataan tersebut dapat kita lihat dengan jelas melalui keterangan sebagai berikut:
1. Sistem pemerintahan syura adalah sistem yang serba baru dan mengejutkan bagi lingkungan dan kondisi muslimin pada awal kebangkitan Islam. Jika Rasul hendak membangun sistem baru, maka konsekuensinya adalah semestinya menyodorkannya secara mendalam. Dan hingga saat ini belum terbukti Rasul mengajarkannya kepada masyarakat dengan konsep syura tersebut.
2. Syura sebagai konsep yang peka dan prinsipil tidak cukup hanya dibeberkan dengan begitu saja. Sebab jika hanya demikian halnya, mungkin saja syura itu pernah dipaparkan tidak secara sempurna dan men-detail tanpa batas-batas yang jelas dan perincian yang sempurna tentang kriteria-kretria calon khalitah yang akan dipilih, dan syarat serta tolok ukur pemilihan; apakah pemilihan tersebut berdasarkan pada jumlah dan kwantitas ataukah berdasarkan mutu kepandaian dan kriteria-kriteria lainnya yang dapat dijadikan gambaran dan batas-batas konsep-konsep tersebut sehingga dapat dengan mudah diterapkan dan direalisasikan begitu Rasulullah wafat.
a. Pada hakekatnya syura itu dapat dikategorikan sebagai tindakan masyarakat yang bertujuan membangun pemerintahan yang berdasarkan pada sistem permusyawaratan dan berusaha bertindak menentukan nasib sendiri. Ini merupakan tanggung-jawab bersama setiap orang yang tergolong sebagai anggota tetap Sidang permusyawaratan. Dan ini berarti jika konsep dan sistem negara semacam ini sah dan dibenarkan Syari'at, maka tugas para sahabat dan masyarakat pada saat itu meyakini bahwa konsep tersebut sebagai sistem pemerintahan dan segera dijalankan tepat pada saat Rasul menghembuskan nafas harumnya yangterakhir. Dan perlu diketahui, pemilihan demikian tidak terbatas bagi beberapa gelintir orang saja (sebagaimana yang terjadi dalam sidang terbatas (Saqifah), sebab masyarakat semuanya harus dilikutsertakan dan setiap muslim memiliki hak suara. Usul mereka sangat penting dan dibutuhkan sekali demi suksesnya pemilihan umum, dan sebaliknya masyarakat harus merasa berkepentingan dan bertanggungjawab mensukseskannya.
Atribut-atribut di atas telah menjabarkan bahwa jika Nabi telah dengan resmi memprakarsai syura sebagai konsep dan cara yang sebenarnya bagi pembentukan sebuah pemerintahan baru setelah beliau, maka semestinya beliau - selaku pemimpin dan pembina masyarakat yang arif dan bijaksana - memaparkan konsep tersebut dengan mendetail dan bukan hanya membeberkannya, bahkan harus mempersiapkan dan memupuk mental dan jiwa yang kokoh serta menutupi setiap lubang, celah dan menatar mereka sedemikian rapih dan sempurna dalam aspek; segi kuantitas dan kualitas serta mutu pemahamannya. Tidak mungkin konsep penting itu hilang dan cair begitu saja di tengah-tengah masyarakat sejak pemimpin mulia mereka meninggal dunia.
Mungkin juga bisa dianggap bahwa Nabi pernah menyodorkan konsep syura secara wajar dan sesuai dengan bentuk dan kadar yang dibutuhkan oleh kondisi, kualitas dan kuantitas, sehingga masyarakat muslim dapat mencerna dan menjangkaunya, hanya saja faktor-faktor politik secara tiba-tiba telah menutupi kenyataan yang sebenarnya. Faktor-faktor tersebut telah memaksa masyarakat untuk menyimpan dan merahasiakan apa yang mereka dengar dari Nabi tentang konsep syura serta hukum dan perinciannya.
Tapi anggapan semacam ini tidak praktis, sebab faktor tersebut bagaimanapun kandungannya tidak berkaitan secara langsung dengan muslimin kelas bawah yang terdiri dari lapisan masyarakat sahabat yang tidak diberi bagian dan peran dalam percaturan serta kejadian-kejadian politik yang timbul pada hari-hari setelah Nabi wafat dan tidak ikut menghadiri sidang darurat Saqifah atau tidak berperan dalam sidang tersebut. Sikap mereka adalah sikap penonton yang tenang dan menerima apa yang ada. Perlu dicamkan baik-baik bahwa mereka adalah kelompok masyarakat mayoritas.
Seandainya syura itu dipaparkan oleh Rasul sesuai dengan kerangka dan bentuk yang diharapkan, maka konsep tersebut tidak hanya didengar oleh beberapa orang dari pada sahabat tapi juga didengar dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat dan tentu terpantul secara alamiah dalam cara dan tindakan kelompok biasa dari para sahabat tepat seperti terpantui dari sabda dan hadis-hadis Rasul tentang keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib dalam cara dan tindakan para sahabat, sekalipun itu bertentangan dengan garis pemikiran dan kondisi pada saat itu. Begitu juga halnya dengan konsep syura, yang tidak terefleksi dalam cara berfikir mereka bahkan mereka sendiri saling berselisih pendapat tentang berbagai sikap politik, yang kemudlan perselisihan tersebut disusul dengan terpecahnya orang-orang yang selalu mengelu-elukan syura menjadi beberapa golongan, yang mana setiap golongan meneriakkan syura dan mengaku golongannya sebagai golongan yang konsekuen dengan nilai dan konsep tersebut. Mereka jadikan syura sebagai alibi dan senjata guna mencapai kepentingan politis masing-masing. Sekalipun demikian halnya, mereka semuanya tidak konsekuen dan setia dengan konsep yang mereka obral dan gembor-gemborkan dan mereka sendiri tidak merealisasikannya sebagai sistem dalam membentuk sebuah negara dan pemerintahan, sebagai konsep yang memang telah dicanangkan Nabi. Kenyataan ini terlihat dengan jelas dalam sikap sahabat Thalhah terhadap penunjukkan Khalifah Abu Bakar dan kekesalannya terhadap penunjukkan tersebut dengan menggunakan syura sebagai senjata untuk menolak dan memprotes aksi penunjukkan itu. Thalhah mengecam sikap dan tindakan Abu Bakar itu sebagai tindakan gegagah yang bertentangan dengan pesan dan konsep serta cara bermusyawarah yang telah digariskan oleh Rasulullah SAWW.
Jika memang benar, Nabi telah memupuk dan merubah generasi pertama Muhajirin dan Anshar menjadi penegak dan penyebar-penyebar dakwah dan sebagai generasi yang bertanggung jawab mengembangkan proyek perombakkan, maka sebagai konsekuensinya Rasul seharusnya memobilisasikan dan mempersiapkan secara matang generasi tersebut dalam intelektualitas dan loyalitas agama, sehingga dapat memegang erat-erat teori ini kemudian menerapkannya dengan penuh kesadaran dan pengetahuan yang dalam serta menjadikan pedoman-pedoman petunjuk Rasul sebagai satu-satunya penyelesaian kesulitan-kesulitan yang dapat menghambat kelancaran dan gerak lajunya program penyebaran dakwah setelahnya. Apalagi telah kita ketahui bahwa beliau sudah seringkali memberi kabar gembira akan tiba saat tumbangnya Monarki Kisra dan Kaisar. Itu semua pertanda bahwa proyek dakwah kelak setelah beliau wafat akan menghadapi kesuksesan yang gemilang dan isyarat bagi masyarakat bahwa jumlah ummat Islam akan bertambah banyak dan tanah kekuasaan mereka akan meluas dan membentang ke beberapa penjuru dunia dan pada saat -sebagai akibatnya - ummat muslim akan menghadapi dan memikul beban mengajari dan mengenalkan Islam kepada bangsa-bangsa lain yang baru memeluk agama Islam.
Kabar gembira itu adalah merupakan peringatan bahwa muslimin akan menghadapi bahaya-bahaya dan pengaruh buruk yang timbul akibat dari meluasnya tanah-tanah dan daerah kekuasaan Islam. Masyarakat juga akan mengemban tugas berat mempraktekkan hukum dan memenuhl tuntutan penerapan syari'at diatas daerah-daerah yang telah ditaklukkan dan bertugas menghimbau penduduk-penduduk daerah setempat agar mematuhi dan men-jalankannya. Kita masih beranggapan - hingga saat ini -bahwa generasi awal kebangkitan Islam Muhajirin dan Anshar adalah generasi yang terberslh dan yang paling mampu mengemban tugas menjaga proyek dakwah serta lebih loyal dan slap untuk berkorban. Tapi gambaran tentang adanya upaya memobilisasi dan pemersiapan yang matang tentang cara dan konsep yang jelas guna menjaga kelancaran dan mensukseskan program penyebaran dakwah itu tidak terlihat pada tingkah laku dan cara berpikir mereka. Dan tidak terlihat juga tentang adanya suatu operasi penataran dan indoktrinasi yang intenstf tentang konsep syura. Dan kertas sederhana ini tidak cukup untuk memuat semua pembuktian-pembuktian tersebut, terlalu banyak untuk dijelaskan.
Terbukti, bahwa sabda-sabda Rasul yang dibawakan oleh para sahabat tidak lebih jumlahnya dari pada beberapa hadis saja. Padahal jumlah mereka meleblhl dua belas ribu orang sebagaimana yang termaktub dan tercatat dalam buku-buku hadis dan sejarah. Padahal Nabi sempat hidup bermasyarakat bersama sekitar ribuan dari mereka dl satu tempat dan di satu masjid setiap pagi dan sore. Apakah dalam fenomena ini terlihat adanya tanda atau gejala persiapan dan pengkaderan konsep syura secara matang!?
Yang jelas adalah bahwa kebanyakan para sahabat merasa risi dan enggan memulal membuka dan mengajukan sebuah pertanyaan kepada Nabi, sampai-sampai - karena malasnya - salah satu dari mereka betah menunggu berjam-jam saat kedatangan seorang Badui yang hidup di luar kota Madinah lalu menanyakan suatu masalah kepada beliau. Sehingga dengan begini sahabat malas ini dapat mendengar jawabannya. Adalah suatu tindakan yang arogan - dalam tradisi mereka - bila seseorang menanyakan suatu tentang hukum masalah yang belum pernah mereka temukan dan terjadi!
Umar bin Khattab pernah berkata di atas mimbar:
"Demi Allah! Saya kesal terhadap orang yang menanyakan sesuatu yang belum terjadi. Tugas Nabi adalah menjelaskan hukum masalah yang sudah terjadi." (Sunan Ad-Darimi 1/50).
Abdullah bin Umar ketika ditanya sesuatu perkara yang belum pernah terjadi berkata:
"Janganlah sesekali menanyakan masalah yang belum pernah terjadi, sebab saya pernah dengar Rasulullah mengutuk sesiapa yang suka menanyakan sesuatu hal yang belum pernah dialami." (Sunan Ad-Darimi 1/50)
Ubay bin Ka'ab pernah berkata kepada seorang yang menanyakan sebuah masalah kepadanya:
"Hai anakku! Adakah masalah yang kau tanyakan padaku itu sudah terjadi?
Orang itu menjawab: Belum!.
Lalu Ubay berkata: Jika belum pernah terjadi, maka jangan tanyakan dulu sampai hal itu terjadi." (Sunan Ad-Darimi 1/56)
Pada suatu hari Umar mengaji Al Quran sampai terhenti pada ayat yang berbunyi:
"Anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun lebat dan buah-buahan serta abb (rumput-rumputan) untuk kesenangan dan untuk bmatang-binatang ternakmu."[ Q.S; 80:28-32)
Lalu ia berkelakar:
"Semua arti ayat ini saya tahu. Tapi apa arti "abb" disini? Kemudian ia berkata: "Demi Tuhan ini berarti mencari kesulitan sendiri (dengan mencari arti) sebenarnya kalimat "abb". Jika anda tidak tahu akan arti kalimat "abb" yang sebenarnya, maka tinggalkan dan ikutilah kalimat lain yang sudah anda ketahui dalam Kitab ini. Adapun kalimat yang tidak anda ketahui artinya maka serahkan saja kepada Tuhan.
Tampak sekali betapa malas dan beratnya hati mereka menanyakan masalah-masalah yang tida benar-benar berkaitan dengan mereka sehari-hari. Sikap demikianlah yang menyebabkan garis pemikiran ini akhirnya kehabisan dalil dan hukum yang jelas. Itulah sebabnya mereka membutuhkan sumber-sumber lain - di samping Sunnah Rasul dan Al Quran - seperti Qiyas, Istihsan dan lainnya, yang mana kesemuanya itu merupakan faktor dan dasar-dasar utama seorang mujtahid, yang mana hal ini sedikit banyak telah menyihir seorang untuk bertindak nekad dan ceroboh mengambil kesimpulan sebuah hukum baru.
Sikap dan cara berfikir golongan kedua ini sama sekali tidak memantulkan adanya upaya penggemblengan dan penataran yang cukup tentang konsep syura bagi generasi perintis Islam dan membuktikan dengan jelas bahwa mereka tidak tahu menahu tentang batas-batas syari'at yang dapat menangani kesulitan-kesulitan yang akan menimpa generasi pertama tersebut.
Para sahabat tidak hanya malas dan enggan memulai membuka pertanyaan kepada Rasul tapi mereka juga enggan membukukan hadis-hadis beliau, yang merupakan sebagai sumber kedua setelah Al Quran. Padahal pembukuan itu adalah cara satu-satunya untuk menjaga dan melestarikan peninggalan dan hadis Rasul dari segala macam penyelewengan letak, jumlah, pengertian harafiah dan lain-lainnya dan agar tidak punah dan lenyap. AI-Harawy pernah membawakan sebuah hadis (yang mencela berbicara melalui) Yahya bin Sa'ad dari Abdullah bin Dinar, ia berkata: Para sahabat begitu juga para tabi'in tidak pemah mencatat hadis-hadis mereka tetapi mereka dapat mengutarakan secara harafiah. Bahkan Khalifah Umar - sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dalam bukunya Ath-Thabaqat - dilanda kebingungan memikirkan sikap bagaimana yang paling baik untuk menghadapi Rasul. Kebingungan tersebut menyibukkan pikiran sang Khalifah hampir selama satu bulan, kemudian ia mengumumkan keputusan resmi melarang siapapun membukukan sabda dan sunnah Nabi. Kemudian - yang merupakan sumber terpenting kedua dalam agama Islam - menjadi tak jelas nasibnya, ada yang dilupakan, ada yang dinon-fungsikan, ada yang dihapus, ada yang menjadi korban kepentingan pditik dan ada yang dirubah penafsiran, jumlah materi, letak dan perawinya. Akhirul hikayah hadis-hadis tersebut ikut wafat tertanam di kepala orang-orang yang hafal dan merahasiakannya di liang lahat setelah dia wafat.
Sebaliknya, aliran yang berorientasi kepada Ahlul Bayt a.s. serta ajarannya tetap tekun membukukan hadis-hadis dari pertama. Itulah sebabnya mengapa buku-buku riwayat golongan Syi'ah menjadi berlimpah ruah dan berjilld-jilid serta penuh dengan riwayat dan hadis-hadis yang dibawakan oleh imam-imam dari keluarga suci Rasul yang ditulis Imam Ali dengan didikte Rasul. Dalam buku-buku tersebut anda akan temukan ribuan riwayat dari Ahlul Bayt a.s. dan Sunnah-sunnah Rasulullah SAWW.
Apakah generasi yang malas menanyakan hal-hal yang mereka tidak ketahui dan enggan membukukan hadis-hadis pemimpin mereka itu pantas dan mampu memimpin dan mengemban risalah dalam segala proses perkembangannya yang amat sulit dan mengkhawatirkan. Lalu apakah logis dan pantas kita beranggapan bahwa Nabi telah meninggalkan sunnah-sunnahnya berserakan dan terbengkalai begitu saja tak tertulis, padahal kita semua tahu beliau selalu mengajarkan umatnya menjalankan sunnah-sunnah tersebut!?
Apa mungkin ini dapat dipraktekkan tanpa dibukukan? Atau jika memang benar Rasul memprakarsai konsep syura, maka semestinya beliau menggambarkan dengan jelas undang-undang dan semua masalah yang berhubungan dengan konsep tersebut dan mengatur serta menjuruskan sunnahnya sedemikan rupa, sehingga dengan mudah konsep tersebut diterapkan dan berjalan sesuai dengan metode dan strategi yang telah digariskan sehingga tak dapat disalah-gunakan dan disetir atas kehendak setiap orang.
Bukankah anggapan satu-satunya yang rasionil adalah Rasul bersikap positip-aktif terhadap prospek dan kelangsungan proyek pengembangan dakwah setelahnya dan mempersiapkan seorang kader istimewa dan berbobot.
Ali bin Abi Thallb sebagai tempat kembali dan rujukan serta pemimpin setelah beliau dan mengajarkannya dengan segala nilai serta isi sunnah beliau. Seorang tokoh muda andaian yang mana tingkat intelektualnya dan kepandaiannya - sebagaimana yang disebutkan Nabi - mengupas ilmu dalam setiap bab menjadi seribu macam ilmu.
Kejadian dan perkembangan yang terjadi setelah Nabi wafat telah membuktikan bahwa generasi yang terdiri dad kelompok Muhajirin dan Anshar tidak mempunyai pengetahuan yang luas dan pemahaman yang cukup dan dapat diandalkan dalam mengatasi problema-problema yang menganggu gerak majunya program penyebaran dakwah, sampal-sampai penaklukan dan pembebasan yang menghasilkan tanah-tanah yang sangat luas sempat membingungkan pikiran sang Khalifah tentang gambaran dan hukum yang jelas untuk menangani pembagian tanah-tanah penaklukan tersebut; apakah dibagikan antar pasukan yang ikut menaklukan atau dibagikan sama rata antar kaum Muslimin semua.