1. Gangguan jiwa, sobat karib manusia
Depresi dan tekanan jiwa adalah gangguan yang seringkali dihadapi dan diderita oleh kebanyakan orang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat, 26/9 persen kaum adam dan 12/5 persen kaum hawa mengalami tekanan jiwa dalam hidupnya; juga kira-kira 3 persen masyarakat kedua benua tersebut pernah mengalami ketakutan yang berlebihan. Para pakar Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa ada sekitar tiga ratus juta orang di dunia ini, yakni enam persen masyarakat dunia, sedang menderita penyakit jiwa dengan berbagai tingkatannya. Telah terbukti bahwa 15 hingga 25 persen pasien yang berkonsultasi positif menderita penyakit jiwa atau mengalami masalah psikis yang serius; 25 persen dari mereka selain mengidap gangguan kejiwaan juga mengalami gangguan fisik. Jadi sekitar 40 hingga 50 persen dari mereka memiliki gangguan jiwa yang serius. Stres dan depresi adalah gangguan yang paling sering ditemui. Hal ini menuntut Badan Kesehatan Dunia membentuk departemen khusus yang disebut dengan Pelayanan Kesehatan Jiwa. Pada tahun 1961 tercipta gerakan besar para dokter psikologi sosial di Amerika yang sering disebut dengan Revolusi Besar Ketiga.
Di Iran juga telah dilakukan riset dan terbukti bahwa 45 hingga 50 persen pasien yang datang ke dokter positif menderita gangguan jiwa.
Menurut Badan Kesehatan Dunia, dari segi tingkatan penyakit jiwa, negara-negara seperti Inggris, Finlandia, Skotlandia dan Irlandia berada di posisi teratas. Di Amerika sekitar tiga persen budget negara dialokasikan untuk menangani gangguan kejiwaan.
12 persen cuti pengobatan dikarenakan penyakit-penyakit gangguan organ jantung koroner dan dalam setahun 5 juta pak obat penenang dan 160.000 ton aspirin dikonsumsi.
Laporan tahun 1986 Kementrian Kesehatan dan Pengobatan Inggris menunjukkan bahwa sekitar 22/8 juta hari energi kerja dihabiskan hanya untuk menangani maslaah-masalah gangguan kejiwaan. Para pakar kesehatan menyatakan bahwa kurang lebih 80 persen penyakit yang diderita oleh manusia di zaman ini dimulai dengan tekanan mental.
Pada tahun 1969, Aiyken menyingkap adanya gangguan mental pada 71 persen para pilot angkatan udara. Di tahun 1980, Alkow dan Borowski menekankan bahwa para pilot militer yang hidup jauh dari fenomena kehidupan emosional paling kerap berada dalam ancaman kecelakaan. Riset membuktikan bahwa 45 persen kecelakaan udara disebabkan oleh kesalahan para pilot dikarenakan beberapa faktor seperti: kelelahan, lingkungan kerja, kerja berlebihan dan problem kekeluargaan.
Penelitian para dokter gigi di Amerika pada tahun 1970 – 1980 membuktikan bahwa para dokter yang mengalami depresi beresiko terkena penyakit jantung, pernafasan dan bahkan bunuh diri. Faktor-faktor tersebut lah yang membuat mereka mudah terserang berbagai penyakit membahayakan. Juga berdasarkan penelitian ini, lingkungan kerja para perawat rumah sakit yang penat (seperti selalu berhubungan dengan darah, air seni, muntah, dan lainnya) dan penuh dengan suasana kesedihan serta penderitaan, berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tak terduga berhubungan para pasien, merupakan salah satu sebab utama mereka mengalami stres dan depresi.
Penelitian Stora (1985) menunjukkan bahwa 46 persen para manajer perusahaan di Perancis menderita gangguan kejiwaan karena sering berhadapan dengan pesaing mereka. 43/15 persen di antara mereka mengkonsumsi minuman-minuman beralkohol guna meredakan depresi yang dialami; 17/4 persen mengandalkan obat tidur; dan 14/5 persen menjadikan obat penenang sebagai jalan keluarnya.
Dengan demikian, tekanan mental dapat dijuluki dengan sobat karib manusia di era moderen ini. Setiap hari semakin menambah jumlah kerugian bagi manusia baik dari sisi ekonomi, sosial dan individu.
Oleh karenanya pembahasan mengenai masalah ini (tekanan mental), apa lagi menurut kacamata Al Qur’an yang merupakan resep terampuh bagi jutaan umat Islam, tak kalah pentingnya dengan pembahasan-pembahasan lainnya.
2. Pemula bahasan
Agama Islam dalam sepanjang abad telah menarik lebih dari jutaan manusia pada dirinya. Mereka berasal dari berbagai bangsa dan seluruh penjuru dunia. Islam merubah pola hidup mereka dan menanamkan tujuan termulia untuk mereka tempuh. Islam menegaskan aturan-aturannya baik untuk kehidupan bermasyarakat ataupun individu mereka. Tak diragukan, sebuah agama yang berkriteria seperti ini pasti memiliki prinsip-prinsip psikologi yang khas; dan semua itu tercermin dalam wujud keberadaan para tokoh besar Muslim yang terkenal di berbagai bidang keilmuan dan ditulisnya bermacam-macam kitab seputar kajian Ilmun Nafs (Ilmu Jiwa), akhlak dan irfan. Pada masa itu (masa awal penyebaran Islam—pent.) bangsa Eropa menganggap orang gila adalah orang yang terasuki arwah jahat, dan untuk mengusirnya mereka menyiksa tubuh orang gila tersebut dengan berbagai siksaan. Namun para tabib Muslim menyebut orang gila sebagai orang sakit; karena mereka bersandar pada apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Rasulullah saw. Anas meriwayatkan:
Pada suatu hari, lewat seorang lelaki di depan Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Salah satu sahabat berkata: “Lelaki ini adalah orang gila.” Namun Rasulullah saw. menyanggahnya: “Dia bukan orang gila, dia hanya orang sakit. Orang gila adalah orang yang terus menerus berbuat dosa.”
Para tabib Muslim mulanya belajar dari ajaran Abuqrat dan Jalinus, namun pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, setelah diterjemahkannya buku-buku, mereka mendahului keunggulan ilmu kedokteran Yunani. Semenjak itu ilmuan Muslim mepersembahkan karya-karya berharganya untuk Islam, karya-karya yang tetap dibanggakan hingga abad ke-17 Masehi yang mana menjadi bahan ajaran di universitas-universitas Eropa. Berikut ini adalan beberapa diantara karya-karya tersebut:
Ali ibn Rabban Tabari (192 – 247 H.)
Ilmuan muslim ternama yang pernah menulis Firdausul Hikmah dalam tujuh jilid dan 36 bab. Ia menerangkan berbagai permasalahan-permasalahan penting dunia kedokteran dalam tulisannya itu.
Abu Bakar Muhammad ibn Zakariya Razi (113 – 251 H.)
Tibbun Nufus atau dalam bahasa parsinya Teb e Ruhani karya Razi, dikenal sebagai buku kedokteran terkuno dalam bidang psikologi (psikiatri). Razi berpendapat bahwa jiwa dan raga ada keterikatan yang amat erat; oleh karenanya setiap tabib jasmani harus menjadi tabib ruhani pula bagi pasiennya. Ia terkenal di zamannya dengan metode terapinya dalam menyembuhkan rheumatism yang diderita Amir Manshur Samani dengan cara mengosongkan gejolak emosi dan amarah.
Ali ibn Abbas Majusi Ahvazi (318 – 384 H.)
Kitab Kamilus Shina’ati Thibbiyah dan kitab Al Mulki adalah karya Ibnu Abbas. Pada makalah kelima kitab keduanya, ia berbicara tentang penyakit jiwa secara terperinci. Ibnu Abbas adalah penganut Zoroaster, namun ia hidup dan tumbuh di lingkungan dan budaya Islam.
Abu Bakar Rabi’ ibn Ahmad Akhwaini Bukhari (wafat pada 373 H.)
Ia adalah penulis Hidayatul Muta’allimin fil Thibb. Sebagaimana yang disebutkan dalam Char Maqale e Aruzhi, Bukhari terkenal kemampuan terapinya dalam penyembuhan Malikholia dan karena itu ia dijuluki sebagai “tabibnya orang-orang gila”. Dalam beberapa fasal bukunya ia khusus berbicara tentang penyakit-penyakit jiwa.
Abu Ali Sina / Ibnu Sina (370 – 427 H.)
Ibnu Sina telah menulis 16 judul kitab kedokteran. Makalah pertama kitab Syifa miliknya dikhususkan untuk pembahasan kejiwaan. Beberapa karyanya yang lain diantaranya ialah:
1. Kitab Daf’ul Ghammi wal Hammi;
2. Kitab Al Huzn wa Asbabuhu;
3. Kitab An Nabdh;
4. Kitab Al Qanun fil Thibb.
Bu Ali (sebutan lain bagi Ibnu Sina) juga menyadari efek penyakit terhadap kejiwaan dan begitupula efek kejiwaan terhadap penyakit, oleh karena itu ia khusus berbicara tentang emosi pada sebagian pasal dalam kitabnya An Nabdh dan dalam kitab Al Qanun pada bab cinta/ketertarikan ia berbicara khusus seputar penyakit-penyakit jiwa.
Sayid Isma’il Jarjani (351 – 434 H.)
Zakhire e Khwarazmshahi dan Al Aghradhul Thibbiyah yang merupakan ikhtisar Zakhire, merupakan karya besar Jarjani. Kitab Zakhire adalah kitap terlengkap pada milenium akhir.
Khajah Nashiruddin Thusi (597 – 672 H.)
Khajah Nashir dalam kitabnya yang berjudul Akhlak Nashiri, dalam pembahasan Hikmat Ilmi, berbicara seputar permasalahan-permasalahan psikologi.
Antara agama dan ilmu kejiwaan
Mengenai bagaimana hubungan antara agama dan psikologi, di sini kita bisa membagi aliran pemikiran yang ada menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok tradisional sederhana; kelompok ini memiliki keyakinan tertentu akan ke-mistis-an suatu benda dan mereka meyakini khurafat, sihir dan semacamnya.
2. Kelompok atau aliran yang bersandar pada prinsip-prinsip falsafi, seperti Buda dan Kofusius; mereka melihat kesehatan seorang manusia melalui sudut pandang penyucian jiwa, kesesuaian diri dalam ikatan kehidupan sosial dan penerimaan derita.
3. Kelompok bertiga yang bertauhid, meyakini hari pembalasan dan kenabian, khususnya agama Islam; mereka berkeyakinan bahwa kesehatan jiwa dan raga seorang manusia bergantung pada tiga hal mendasar di bawah ini:
a. Pandangan dunia yang logis dan jelas;
b. Kekhilafahan Ilahi adalah predikat manusia;
c. Kembali kepada Tuhan dan membenahi prilaku;
d. Menentang khurafat batil;
e. Menentang keputus-asaan dan nihilisme.
Oleh karena itu aliran-aliran bertauhid, terutama Islam, dikenal dengan perhatiaannya terhadap penanganan masalah-masalah kejiwaan umat manusia serta memberikan solusi terbaik untuk ketenangan ruhani.
Kenyataan ini pun juga diakui oleh pakar-pakar psikologi seperti:
1. William James, bapak ilmu psikologi berkata:
“Jika kita ingin menyimpulkan ajaran-ajaran agama di dunia ini, tidak ada satu kalimat kesimpulan yang lebih baik dari: “Tak ada satu pun di dunia ini yang tidak berguna dan sia-sia; meskipun dunia dan seluruh isinya seakan berbicara sebaliknya.”
Hidup di bawah naungan agama memiliki dua kriteria menonjol: penuh dengan aktifitas serta kesibukan, dan kegembiraan serta ketenangan jiwa. Agama lah yang menentang khurafat dan kesia-siaan. Agama lah yang memerangi ketidak-relaan terhadap takdir dan suratan. Memang sebagian dari agama-agama menganggap alam dunia sebagai medan kesengsaraan, tapi ajaran ini bertujuan pada pensucian jiwa yang berujung pada suatu keajaiban: harapan dan kebahagiaan.”
2. Carl Jung berkata:
“Dari setiap pasien yang pernah saya hadapi, tidak ada satupun di antara mereka yang problem utamanya bukan karena mengabaikan pandangan religius terhadap dunia (pandangan dunia religius—pent.). Dengan penuh kemantapan dapat dikatakan bahwa mereka sakit karena mereka tidak memiliki apa yang ditawarkan oleh agama-agama kepada para penganutnya. Nyatanya tidak ada satupun di antara mereka yang mendapatkan kesembuhan sebelum berlutut di hadapan agama.
Seseorang yang memiliki pandangan religius terhadap dunia memiliki satu permata berharga; yakni sesuatu yang merupakan sumber keindahan dan kebahagiaan hidup baginya; ia memandang manusia dan kehidupan ini dengan pandangan terbaik. Orang seperti inilah yang dapat meresakan iman dan ketentraman. Lalu bagaimanakah mereka menganggap kehidupan beragama sebagai kehidupan yang hina, mengingkari efektifitas agama dalam kehidupan dan menyebut keimanan sebagai khayalan?”
3. Abraham Maslow berkata:
“Menganut agama atau berkeyakinan bahwa dunia dan penghuninya adalah satu keutuhan yang bermakna, teratur dan memuaskan, tak diragukan memiliki kaitan dengan motifasi untuk berkehidupan aman dan tentram. Di antara agama-agama, sebagaimana yang diutarakan Carl Jung, agama-agama timur lebih menonjolkan kesempurnaan budayanya daripada agama yang lain. Agama banyak memenuhi kebutuhan manusia dan mengisi kekosongan-kekosongan yang dirasakan wujudnya. Agama dapat memberikan jawaban dari soal-soal yang diutarakan; ia memperjelas permasalahan, memberikan arahan dan menghadiahkan ketenangan, kekuatan serta harapan bagi manusia.”
4. Bergson berkata:
“Untuk menghadapi hantaman-hantaman penuh bahaya dalam kehidupan ini, kita memerlukan sandaran ruhani.”
3. Al Qur’an, kitab kesembuhan
Keberadaan Rasulullah saw. sebagai nabi terakhir menuntut kekekalan Al Qur’an sebagai mukjizatnya agar dapat menjawab segala problematika penting yang dihadapi umat manusia di setiap zaman dan di mana saja serta memberikan pemahaman yang benar akan esensi manusia dan kehidupan sosialnya. Atas dasar ini Al Qur’an Karim tidak membatasiri risalahnya untuk masa dan tempat tertentu.
Dengan penuh berani Al Qur’an menantang siapapun untuk menyainginya; yang merupakan bukti diturunkannya dari sang Ilahi. Al Qur’an adalah kitab suci yang meskipun seluruh umat manusia bekerjasama untuk menciptakan satu surah pun, niscaya mereka tak akan berhasil.
Pada lain sisi, Al Qur’an adalah sebuah kitab langit yang aman dari sentuhan tangan-tangan jahil pemalsu; karena Allah swt. sendiri yang menjaganya. Lebih dari itu, sirah Rasulullah saw. dan tradisi para sahabat serta tabi’in dalam menghafal, membaca, menulis dan mengumpulkan Al Qur’an merupakan bukti tambahan keterjagaannya dari tahrif.
Al Qur’an adalah bukti Ilahi dan mukjizat kekal Rasulullah saw. yang dipandang semua umat Islam sepanjang sejarah sebagai kitab kehidupan, hidayah dan aturan yang harus diikuti; mereka juga bertadabbur akan ayat-ayatnya dari berbagai macam sisi. Meski jarak kita semakin jauh dengan masa diturunkannya kitab suci ini, namun semakin saja bertambah keagungan dan kedalaman batinnya; semakin bertambah hari semakin bertambah banyak kajian-kajian dan penelitian yang dilakukan terhadapnya, khususnya berkaitan dengan bidang humaniora.
Allah swt. Menyebut Al Qur’an sebagai kesembuhan:
“Dan kami menurunkan dalam Al Qur’an, yang merupakan kesembuhan bagi hati dan rahmat bagi penghuni alam semesta.”
Digunakannya kata syifa (kesembuhan) menunjukkan bahwa manusia selain mengalami derita-derita jasmani, mereka juga dapat mengalami derita ruhani, dan Al Qur’an adalah penyembuhnya. Penjelasan tentang keberadaan Al Qur’an sebagai kesembuhan dapat diberikan melalui dua poin di bawah ini:
Lingkup penyembuhan Al Qur’an
Al Qur’an adalah obat dan kesembuhan bagi bermacam sifat yang tak normatif namun tidak dianggap non normatif dalam khasanah ilmu psikologi. Dengan penjelasan lain, mungkin saja dari segi psikologis seseorang dianggap normal, namun ternyata dalam kamus Al Qur’an ia termasuk orang yang sakit; penyakit jiwa yang tak nampak di alam ini namun efeknya akan dirasakan di alam lain; karena alam dunia adalah ladang untuk akherat, dan keterikatan antara alam dunia dan akherat bagaikan keterikatan alam janin dengan alam dunia. Dalam tafsir Ayasyi, Mas’adah bin Shadaqah meriwayatkan dari Imam Shadiq as.:
“Mempelajari Al Qur’an adalah cara untuk mendapatkan kesembuhan ruhani.”
Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
“Al Qur’an adalah hidangan Tuhan; sesuai dengan kemampuan kalian, nikmatilah hidangan ini.”
Al Qur’an merupakan hidangan yang tak seorang pun bangkit dari hidangan itu dengan tangan kosong. Sekejap saja seseorang menatap tulisannya, ia sudah mendapatkan keuntungan besar; karena disebutkan bahwa menatap mushaf adalah ibadah.
Apalagi jika kita membacanya, dan lebih lagi jika kita memahami artinya; keuntungan yang kita dapat lebih banyak lagi. Imam Ali as. memerintahkan kita untuk membaca Al Qur’an; yang dengan membacanya derajat kita akan dinaikkan:
“Bacalah, dan naiklah (ke derajat yang lebih tinggi).”
Imam Ali as. juga pernah menerangkan seperti apakah kesembuhan yang ditawarkan Al Qur’an; ia berkata:
“Nabi Muhammad saw. adalah seorang tabib berjalan; dimanapun ia berada ia akan mengobati luka umatnya. Ia selalu mempersiapkan alat-alat pengobatannya dan membawanya bersamanya sehingga saat ia memerlukannya, ia dapat menggunakannya. Ia selalu mencari setiap orang yang menderita, hamba yang lupa dan kebingungan, untuk mengobati hati yang buta, telinga yang tak mendengar dan mulut yang tak berbicara.”
Rasulullah saw. pernah berkata kepada seorang tabib:
“Sesungguhnya Allah swt. adalah tabib (yang hakiki). Sedangkan engkau, bersikaplah yang baik terhadap orang yang sakit (pasien).”