Qur'an dan Tekanan Jiwa

Qur'an dan Tekanan Jiwa0%

Qur'an dan Tekanan Jiwa pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Al Qur'an Al Karim

Qur'an dan Tekanan Jiwa

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Sayid Ishaq Husaini Khushari
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 10687
Download: 4170

Komentar:

Qur'an dan Tekanan Jiwa
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 10687 / Download: 4170
Ukuran Ukuran Ukuran
Qur'an dan Tekanan Jiwa

Qur'an dan Tekanan Jiwa

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Quran dan Tekanan Jiwa

Sayid Ishaq Husaini Khushari

pengantaar

Masa kita ini adalah masa runtuhnya batasan dan kacaunya fikiran. Pemikiran-pemikiran moderen bergemuruh saling tarik ulur dan bertentangan atara satu dan sama lain hingga seluruhnya menghadapi sanggahan dan dihadapi pula dengan keraguan serta kepincangan fikiran. Fenomena inilah yang melahirkan diskusi-diskusi penting secara seputar pemikiran dunia sebagaimana yang dapat kita saksikan. Adapun kita yang beridiri di atas puncak pemikiran agama dan budaya yang paling kokoh ini, sungguh memerlukan renungan yang lebih dalam untuk menyelami memori sejarah kita guna menyingkap sisi-sisi tersembunyi tradisi dan titik-titik kelahiran setiap pergerakan masa kini lalu menyaksikannya dengan penuh kejelasan. Melewati jalan penuh tikungan yang ada di hadapan kita tidaklah mudah. Tak ayal hanya peran para cendikia yang faham seluk beluk dimensi manusia yang akan melahirkan norma-norma muda dan membukakan jendela-jendela menuju pandangan yang benar.

Kita tak sepatutnya selalu diam sebagai penonton gencarnya arus gerakan dunia dan menganggap diri kita sebagai penggalan terpisah jauh dari gejolak ombak besar ini. Betapa banyak pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan di benak para pemuda kita yang bagaikan duri menusuk jiwa; yang satu-satunya jalan untuk menyingkirkannya adalah mengkaji dan meneliti titik permasalahan dengan segenap upaya. Tak ada orang yang menatap mentari namun tak yakin bahwa ufuk itu terang dan luas. Kita sedang berdiri di puncak cadas kokoh yang tak pernah tergoyahkan sekalipun oleh amarah topan-topan dahsyat. Hari ini berbagai usaha tulus namun pintar telah dikerahkan oleh para pemikir dan cendikiawan kita; usaha yang menawarkan jalan keluar terbaru dan terbaik untuk masa kini. Mereka lah yang membukakan pintu wawasan kita lebih dari sebelumnya dan selalu begitu seterusnya.

Kanun e Andishe e Javan, adalah tunas muda yang terus berusaha gigih mengabdi dan bekerja memenuhi kekosongan-kekosongan serta mengencangkan kekenduran dalam setiap serat dan benang pemikiran. Usaha yang lebih kami tekankan adalah kajian dan penelitian mendalam seputar wacana umum dan pengetahuan dalam berbagai bidang.

Buku ini merupakan sebuah karya yang mejadikan sudut pandang Al Qur’an sebagai acuan dalam membicarakan masalah-masalah seputar tekanan mental dan cara-cara mengatasinya. Kami patut berterimakasih kepada Hujjatul Islam Sayid Ishaq Husaini Kuhsari atas karya emasnya. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pecinta makrifat dan intelektual.

pendahuluan

Segala puji bagi Tuhan semesta alam, shalawat serta salam bagi junjungan kita Rasulullah saw. beserta keluarga mulianya dan semoga Allah selalu menjauhkan rahmat-Nya dari para musuh mereka hingga tibanya hari yang dijanjikan.

Keberadaan Al Qur’an sebagai kitab langit yang kekal dan mukjizat serta pembukti kebenaran nabi Muhammad saw. yang menjadikannya sebagai pegangan dan rujukan Muslimin serta para pencari kebenaran di setiap masa. Keantikannya membangkitkan selera para mufasir dalam menggoreskan penanya, meniti setiap kalimat dan ayatnya, menjabarkan keindahan dan keagungannya, baik dari sisi sastra, falsafah, irfan dan keilmiahannya. Dengan berkembangnya ilmu moderen, khususnya dalam bidang humaniora, keajaiban Al Qur’an semakin terasa dan terciptalah tema-tema penelitian baru mengenainya.

Sejak lama para pecinta dan bahkan para ahli psikologi, karena ketertarikan khusus yang mereka miliki, melirik Al Qur’an dan tertarik padanya hingga mereka sampai mampu membuka satu persatu pintu makrifat Ilahi dan menemukan hikmah-hikmah agung di dalamnya; mereka menemukan banyak hal baru dalam Al Qur’an yang dapat memecahkan permasalahan-permasalahan psikologi dan juga menjadi penawar bagi penderitaan-penderitaan turunan manusia. Inilah yang dikemukakan buku yang ada di hadapan anda; mengenalkan cara-cara yang bersumber dari Al Qura’an dalam mengatasi dan menyembuhkan derita-derita kejiwaan (tekanan jiwa). Semoga karya kecil ini mendapatkan keridhaan Ilahi dan dapat membantu para pecinta Al Qur’an untuk memahami kalam-Nya lebih dalam lagi.

1. Gangguan jiwa, sobat karib manusia

Depresi dan tekanan jiwa adalah gangguan yang seringkali dihadapi dan diderita oleh kebanyakan orang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat, 26/9 persen kaum adam dan 12/5 persen kaum hawa mengalami tekanan jiwa dalam hidupnya; juga kira-kira 3 persen masyarakat kedua benua tersebut pernah mengalami ketakutan yang berlebihan. Para pakar Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa ada sekitar tiga ratus juta orang di dunia ini, yakni enam persen masyarakat dunia, sedang menderita penyakit jiwa dengan berbagai tingkatannya. Telah terbukti bahwa 15 hingga 25 persen pasien yang berkonsultasi positif menderita penyakit jiwa atau mengalami masalah psikis yang serius; 25 persen dari mereka selain mengidap gangguan kejiwaan juga mengalami gangguan fisik. Jadi sekitar 40 hingga 50 persen dari mereka memiliki gangguan jiwa yang serius. Stres dan depresi adalah gangguan yang paling sering ditemui. Hal ini menuntut Badan Kesehatan Dunia membentuk departemen khusus yang disebut dengan Pelayanan Kesehatan Jiwa. Pada tahun 1961 tercipta gerakan besar para dokter psikologi sosial di Amerika yang sering disebut dengan Revolusi Besar Ketiga.[1]

Di Iran juga telah dilakukan riset dan terbukti bahwa 45 hingga 50 persen pasien yang datang ke dokter positif menderita gangguan jiwa.[2]

Menurut Badan Kesehatan Dunia, dari segi tingkatan penyakit jiwa, negara-negara seperti Inggris, Finlandia, Skotlandia dan Irlandia berada di posisi teratas. Di Amerika sekitar tiga persen budget negara dialokasikan untuk menangani gangguan kejiwaan.[3] 12 persen cuti pengobatan dikarenakan penyakit-penyakit gangguan organ jantung koroner dan dalam setahun 5 juta pak obat penenang dan 160.000 ton aspirin dikonsumsi.[4] Laporan tahun 1986 Kementrian Kesehatan dan Pengobatan Inggris menunjukkan bahwa sekitar 22/8 juta hari energi kerja dihabiskan hanya untuk menangani maslaah-masalah gangguan kejiwaan. Para pakar kesehatan menyatakan bahwa kurang lebih 80 persen penyakit yang diderita oleh manusia di zaman ini dimulai dengan tekanan mental.

Pada tahun 1969, Aiyken menyingkap adanya gangguan mental pada 71 persen para pilot angkatan udara. Di tahun 1980, Alkow dan Borowski menekankan bahwa para pilot militer yang hidup jauh dari fenomena kehidupan emosional paling kerap berada dalam ancaman kecelakaan. Riset membuktikan bahwa 45 persen kecelakaan udara disebabkan oleh kesalahan para pilot dikarenakan beberapa faktor seperti: kelelahan, lingkungan kerja, kerja berlebihan dan problem kekeluargaan.[5]

Penelitian para dokter gigi di Amerika pada tahun 1970 – 1980 membuktikan bahwa para dokter yang mengalami depresi beresiko terkena penyakit jantung, pernafasan dan bahkan bunuh diri. Faktor-faktor tersebut lah yang membuat mereka mudah terserang berbagai penyakit membahayakan. Juga berdasarkan penelitian ini, lingkungan kerja para perawat rumah sakit yang penat (seperti selalu berhubungan dengan darah, air seni, muntah, dan lainnya) dan penuh dengan suasana kesedihan serta penderitaan, berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tak terduga berhubungan para pasien, merupakan salah satu sebab utama mereka mengalami stres dan depresi.[6]

Penelitian Stora (1985) menunjukkan bahwa 46 persen para manajer perusahaan di Perancis menderita gangguan kejiwaan karena sering berhadapan dengan pesaing mereka. 43/15 persen di antara mereka mengkonsumsi minuman-minuman beralkohol guna meredakan depresi yang dialami; 17/4 persen mengandalkan obat tidur; dan 14/5 persen menjadikan obat penenang sebagai jalan keluarnya.

Dengan demikian, tekanan mental dapat dijuluki dengan sobat karib manusia di era moderen ini. Setiap hari semakin menambah jumlah kerugian bagi manusia baik dari sisi ekonomi, sosial dan individu.[7] Oleh karenanya pembahasan mengenai masalah ini (tekanan mental), apa lagi menurut kacamata Al Qur’an yang merupakan resep terampuh bagi jutaan umat Islam, tak kalah pentingnya dengan pembahasan-pembahasan lainnya.

2. Pemula bahasan

Agama Islam dalam sepanjang abad telah menarik lebih dari jutaan manusia pada dirinya. Mereka berasal dari berbagai bangsa dan seluruh penjuru dunia. Islam merubah pola hidup mereka dan menanamkan tujuan termulia untuk mereka tempuh. Islam menegaskan aturan-aturannya baik untuk kehidupan bermasyarakat ataupun individu mereka. Tak diragukan, sebuah agama yang berkriteria seperti ini pasti memiliki prinsip-prinsip psikologi yang khas; dan semua itu tercermin dalam wujud keberadaan para tokoh besar Muslim yang terkenal di berbagai bidang keilmuan dan ditulisnya bermacam-macam kitab seputar kajian Ilmun Nafs (Ilmu Jiwa), akhlak dan irfan. Pada masa itu (masa awal penyebaran Islam—pent.) bangsa Eropa menganggap orang gila adalah orang yang terasuki arwah jahat, dan untuk mengusirnya mereka menyiksa tubuh orang gila tersebut dengan berbagai siksaan. Namun para tabib Muslim menyebut orang gila sebagai orang sakit; karena mereka bersandar pada apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Rasulullah saw. Anas meriwayatkan:

Pada suatu hari, lewat seorang lelaki di depan Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Salah satu sahabat berkata: “Lelaki ini adalah orang gila.” Namun Rasulullah saw. menyanggahnya: “Dia bukan orang gila, dia hanya orang sakit. Orang gila adalah orang yang terus menerus berbuat dosa.”[8]

Para tabib Muslim mulanya belajar dari ajaran Abuqrat dan Jalinus, namun pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, setelah diterjemahkannya buku-buku, mereka mendahului keunggulan ilmu kedokteran Yunani. Semenjak itu ilmuan Muslim mepersembahkan karya-karya berharganya untuk Islam, karya-karya yang tetap dibanggakan hingga abad ke-17 Masehi yang mana menjadi bahan ajaran di universitas-universitas Eropa. Berikut ini adalan beberapa diantara karya-karya tersebut:

Ali ibn Rabban Tabari (192 – 247 H.)

Ilmuan muslim ternama yang pernah menulis Firdausul Hikmah dalam tujuh jilid dan 36 bab. Ia menerangkan berbagai permasalahan-permasalahan penting dunia kedokteran dalam tulisannya itu.

Abu Bakar Muhammad ibn Zakariya Razi (113 – 251 H.)

Tibbun Nufus atau dalam bahasa parsinya Teb e Ruhani karya Razi, dikenal sebagai buku kedokteran terkuno dalam bidang psikologi (psikiatri). Razi berpendapat bahwa jiwa dan raga ada keterikatan yang amat erat; oleh karenanya setiap tabib jasmani harus menjadi tabib ruhani pula bagi pasiennya. Ia terkenal di zamannya dengan metode terapinya dalam menyembuhkan rheumatism yang diderita Amir Manshur Samani dengan cara mengosongkan gejolak emosi dan amarah.[9]

Ali ibn Abbas Majusi Ahvazi (318 – 384 H.)

Kitab Kamilus Shina’ati Thibbiyah dan kitab Al Mulki adalah karya Ibnu Abbas. Pada makalah kelima kitab keduanya, ia berbicara tentang penyakit jiwa secara terperinci. Ibnu Abbas adalah penganut Zoroaster, namun ia hidup dan tumbuh di lingkungan dan budaya Islam.

Abu Bakar Rabi’ ibn Ahmad Akhwaini Bukhari (wafat pada 373 H.)

Ia adalah penulis Hidayatul Muta’allimin fil Thibb. Sebagaimana yang disebutkan dalam Char Maqale e Aruzhi, Bukhari terkenal kemampuan terapinya dalam penyembuhan Malikholia dan karena itu ia dijuluki sebagai “tabibnya orang-orang gila”. Dalam beberapa fasal bukunya ia khusus berbicara tentang penyakit-penyakit jiwa.

Abu Ali Sina / Ibnu Sina (370 – 427 H.)

Ibnu Sina telah menulis 16 judul kitab kedokteran. Makalah pertama kitab Syifa miliknya dikhususkan untuk pembahasan kejiwaan. Beberapa karyanya yang lain diantaranya ialah:

1. Kitab Daf’ul Ghammi wal Hammi;

2. Kitab Al Huzn wa Asbabuhu;

3. Kitab An Nabdh;

4. Kitab Al Qanun fil Thibb.

Bu Ali (sebutan lain bagi Ibnu Sina) juga menyadari efek penyakit terhadap kejiwaan dan begitupula efek kejiwaan terhadap penyakit, oleh karena itu ia khusus berbicara tentang emosi pada sebagian pasal dalam kitabnya An Nabdh dan dalam kitab Al Qanun pada bab cinta/ketertarikan ia berbicara khusus seputar penyakit-penyakit jiwa.

Sayid Isma’il Jarjani (351 – 434 H.)

Zakhire e Khwarazmshahi dan Al Aghradhul Thibbiyah yang merupakan ikhtisar Zakhire, merupakan karya besar Jarjani. Kitab Zakhire adalah kitap terlengkap pada milenium akhir.

Khajah Nashiruddin Thusi (597 – 672 H.)

Khajah Nashir dalam kitabnya yang berjudul Akhlak Nashiri, dalam pembahasan Hikmat Ilmi, berbicara seputar permasalahan-permasalahan psikologi.

Antara agama dan ilmu kejiwaan

Mengenai bagaimana hubungan antara agama dan psikologi, di sini kita bisa membagi aliran pemikiran yang ada menjadi tiga kelompok:

1. Kelompok tradisional sederhana; kelompok ini memiliki keyakinan tertentu akan ke-mistis-an suatu benda dan mereka meyakini khurafat, sihir dan semacamnya.

2. Kelompok atau aliran yang bersandar pada prinsip-prinsip falsafi, seperti Buda dan Kofusius; mereka melihat kesehatan seorang manusia melalui sudut pandang penyucian jiwa, kesesuaian diri dalam ikatan kehidupan sosial dan penerimaan derita.

3. Kelompok bertiga yang bertauhid, meyakini hari pembalasan dan kenabian, khususnya agama Islam; mereka berkeyakinan bahwa kesehatan jiwa dan raga seorang manusia bergantung pada tiga hal mendasar di bawah ini:

a. Pandangan dunia yang logis dan jelas;

b. Kekhilafahan Ilahi adalah predikat manusia;

c. Kembali kepada Tuhan dan membenahi prilaku;

d. Menentang khurafat batil;

e. Menentang keputus-asaan dan nihilisme.

Oleh karena itu aliran-aliran bertauhid, terutama Islam, dikenal dengan perhatiaannya terhadap penanganan masalah-masalah kejiwaan umat manusia serta memberikan solusi terbaik untuk ketenangan ruhani.[10] Kenyataan ini pun juga diakui oleh pakar-pakar psikologi seperti:

1. William James, bapak ilmu psikologi berkata:

“Jika kita ingin menyimpulkan ajaran-ajaran agama di dunia ini, tidak ada satu kalimat kesimpulan yang lebih baik dari: “Tak ada satu pun di dunia ini yang tidak berguna dan sia-sia; meskipun dunia dan seluruh isinya seakan berbicara sebaliknya.”

Hidup di bawah naungan agama memiliki dua kriteria menonjol: penuh dengan aktifitas serta kesibukan, dan kegembiraan serta ketenangan jiwa. Agama lah yang menentang khurafat dan kesia-siaan. Agama lah yang memerangi ketidak-relaan terhadap takdir dan suratan. Memang sebagian dari agama-agama menganggap alam dunia sebagai medan kesengsaraan, tapi ajaran ini bertujuan pada pensucian jiwa yang berujung pada suatu keajaiban: harapan dan kebahagiaan.”[11]

2. Carl Jung berkata:

“Dari setiap pasien yang pernah saya hadapi, tidak ada satupun di antara mereka yang problem utamanya bukan karena mengabaikan pandangan religius terhadap dunia (pandangan dunia religius—pent.). Dengan penuh kemantapan dapat dikatakan bahwa mereka sakit karena mereka tidak memiliki apa yang ditawarkan oleh agama-agama kepada para penganutnya. Nyatanya tidak ada satupun di antara mereka yang mendapatkan kesembuhan sebelum berlutut di hadapan agama.[12]

Seseorang yang memiliki pandangan religius terhadap dunia memiliki satu permata berharga; yakni sesuatu yang merupakan sumber keindahan dan kebahagiaan hidup baginya; ia memandang manusia dan kehidupan ini dengan pandangan terbaik. Orang seperti inilah yang dapat meresakan iman dan ketentraman. Lalu bagaimanakah mereka menganggap kehidupan beragama sebagai kehidupan yang hina, mengingkari efektifitas agama dalam kehidupan dan menyebut keimanan sebagai khayalan?”[13]

3. Abraham Maslow berkata:

“Menganut agama atau berkeyakinan bahwa dunia dan penghuninya adalah satu keutuhan yang bermakna, teratur dan memuaskan, tak diragukan memiliki kaitan dengan motifasi untuk berkehidupan aman dan tentram. Di antara agama-agama, sebagaimana yang diutarakan Carl Jung, agama-agama timur lebih menonjolkan kesempurnaan budayanya daripada agama yang lain. Agama banyak memenuhi kebutuhan manusia dan mengisi kekosongan-kekosongan yang dirasakan wujudnya. Agama dapat memberikan jawaban dari soal-soal yang diutarakan; ia memperjelas permasalahan, memberikan arahan dan menghadiahkan ketenangan, kekuatan serta harapan bagi manusia.”[14]

4. Bergson berkata:

“Untuk menghadapi hantaman-hantaman penuh bahaya dalam kehidupan ini, kita memerlukan sandaran ruhani.”[15]

3. Al Qur’an, kitab kesembuhan

Keberadaan Rasulullah saw. sebagai nabi terakhir menuntut kekekalan Al Qur’an sebagai mukjizatnya agar dapat menjawab segala problematika penting yang dihadapi umat manusia di setiap zaman dan di mana saja serta memberikan pemahaman yang benar akan esensi manusia dan kehidupan sosialnya. Atas dasar ini Al Qur’an Karim tidak membatasiri risalahnya untuk masa dan tempat tertentu.

Dengan penuh berani Al Qur’an menantang siapapun untuk menyainginya; yang merupakan bukti diturunkannya dari sang Ilahi. Al Qur’an adalah kitab suci yang meskipun seluruh umat manusia bekerjasama untuk menciptakan satu surah pun, niscaya mereka tak akan berhasil.

Pada lain sisi, Al Qur’an adalah sebuah kitab langit yang aman dari sentuhan tangan-tangan jahil pemalsu; karena Allah swt. sendiri yang menjaganya. Lebih dari itu, sirah Rasulullah saw. dan tradisi para sahabat serta tabi’in dalam menghafal, membaca, menulis dan mengumpulkan Al Qur’an merupakan bukti tambahan keterjagaannya dari tahrif.

Al Qur’an adalah bukti Ilahi dan mukjizat kekal Rasulullah saw. yang dipandang semua umat Islam sepanjang sejarah sebagai kitab kehidupan, hidayah dan aturan yang harus diikuti; mereka juga bertadabbur akan ayat-ayatnya dari berbagai macam sisi. Meski jarak kita semakin jauh dengan masa diturunkannya kitab suci ini, namun semakin saja bertambah keagungan dan kedalaman batinnya; semakin bertambah hari semakin bertambah banyak kajian-kajian dan penelitian yang dilakukan terhadapnya, khususnya berkaitan dengan bidang humaniora.

Allah swt. Menyebut Al Qur’an sebagai kesembuhan:

“Dan kami menurunkan dalam Al Qur’an, yang merupakan kesembuhan bagi hati dan rahmat bagi penghuni alam semesta.”[16]

Digunakannya kata syifa (kesembuhan) menunjukkan bahwa manusia selain mengalami derita-derita jasmani, mereka juga dapat mengalami derita ruhani, dan Al Qur’an adalah penyembuhnya. Penjelasan tentang keberadaan Al Qur’an sebagai kesembuhan dapat diberikan melalui dua poin di bawah ini:

Lingkup penyembuhan Al Qur’an

Al Qur’an adalah obat dan kesembuhan bagi bermacam sifat yang tak normatif namun tidak dianggap non normatif dalam khasanah ilmu psikologi. Dengan penjelasan lain, mungkin saja dari segi psikologis seseorang dianggap normal, namun ternyata dalam kamus Al Qur’an ia termasuk orang yang sakit; penyakit jiwa yang tak nampak di alam ini namun efeknya akan dirasakan di alam lain; karena alam dunia adalah ladang untuk akherat, dan keterikatan antara alam dunia dan akherat bagaikan keterikatan alam janin dengan alam dunia. Dalam tafsir Ayasyi, Mas’adah bin Shadaqah meriwayatkan dari Imam Shadiq as.:

“Mempelajari Al Qur’an adalah cara untuk mendapatkan kesembuhan ruhani.”[17]

Rasulullah saw. juga pernah bersabda:

“Al Qur’an adalah hidangan Tuhan; sesuai dengan kemampuan kalian, nikmatilah hidangan ini.”[18]

Al Qur’an merupakan hidangan yang tak seorang pun bangkit dari hidangan itu dengan tangan kosong. Sekejap saja seseorang menatap tulisannya, ia sudah mendapatkan keuntungan besar; karena disebutkan bahwa menatap mushaf adalah ibadah.[19] Apalagi jika kita membacanya, dan lebih lagi jika kita memahami artinya; keuntungan yang kita dapat lebih banyak lagi. Imam Ali as. memerintahkan kita untuk membaca Al Qur’an; yang dengan membacanya derajat kita akan dinaikkan:

“Bacalah, dan naiklah (ke derajat yang lebih tinggi).”[20]

Imam Ali as. juga pernah menerangkan seperti apakah kesembuhan yang ditawarkan Al Qur’an; ia berkata:

“Nabi Muhammad saw. adalah seorang tabib berjalan; dimanapun ia berada ia akan mengobati luka umatnya. Ia selalu mempersiapkan alat-alat pengobatannya dan membawanya bersamanya sehingga saat ia memerlukannya, ia dapat menggunakannya. Ia selalu mencari setiap orang yang menderita, hamba yang lupa dan kebingungan, untuk mengobati hati yang buta, telinga yang tak mendengar dan mulut yang tak berbicara.”[21]

Rasulullah saw. pernah berkata kepada seorang tabib:

“Sesungguhnya Allah swt. adalah tabib (yang hakiki). Sedangkan engkau, bersikaplah yang baik terhadap orang yang sakit (pasien).”[22]

Ketentraman dan ketenangan jiwa dalam Al Qur’an

Al Qur’an sangat mementingkan ketentraman serta ketenangan jiwa dan sering kali menyebut hal itu di antara ayat-ayatnya. Ada baikknya jika kita memberikan beberapa contoh di bawah ini:

1. Rumah pertama yang dibangun di muka bumi untuk ibadah adalah Ka’bah dan setiap orang yang datang ke rumah itu pasti akan mendapatkan ketenangan.[23] Karena Allah swt. memang menjadikannya sebagai tempat perlindungan dan tempat yang aman.[24] Pembangun rumah itu pun, nabi Ibrahim as.[25] , memohon kepada Allah swt. untuk menjadikan Makkah sebagai kota yang penuh berkah dan ketentraman.[26] Ibadah Haji yang dilakukan setiap tahun juga merrupakan simbol ketentraman dan persatuan umat Islam. Tidak hanya manusia saja yang merasakan ketentraman di sana, hewan-hewan pun juga merasakannya.

2. Dalam salah satu ayatnya, Al Qur’an menyebutkan “ketentraman” setelah disebutkannya nikmat kenyang yang diberikan kepada manusia.[27] Disebutkan pula bahwa salah satu nikmat yang paling besar di masa kedatangan Imam Mahdi as. nanti adalah ketentraman.[28]

3. Rasulullah menyebut ketentraman, ketenangan,[29] kegembiraan dan keceriaan sebagai ciri-ciri para penghuni surga.[30]

4. Al Qur’an menjelaskan bahwa jika manusia ingin mendapatkan ketenangan dan ketentraman, hendaknya ia bersandar dan bertawakal kepada Tuhan.[31]

Dalam buku ini, agar kita dapat benar-benar mendapatkan pemahaman lebih dalam akan Al Qur’an, setelah kita meneliti sumber-sumber tekanan jiwa, setiap ayat Al Qur’an akan diteliti dan dikaji sebanyak empat kali, lalu sesuai dengan sumber-sumber tafsir kia akan memilih ayat-ayat yang kejelasannya lebih dari yang lain.

Susunan buku ini

Buku ini disusun berdasarkan urutan tanda-tanda, sebab-sebab dan penyembuhan tekanan jiwa. Pada bab pertama kita akan menjelaskan tanda-tanda tekanan jiwa; pada bab kedua dan ketiga kita akan membahas sebab-sebab terwujudnya tekanan jiwa, dan pada bab keempat kita khusus membahas cara-cara penyembuhannya. Demikian susunan buku ini:

Bab 1: Mengenal Pertanda Tekanan Jiwa

Bab 2: Antara Kebutuhan dan Tekanan Jiwa

Bab 3: Faktor-Faktor Tekanan Jiwa

Bab 4: Cara-Cara Menghadapi Tekanan Jiwa

BAb 1 : Mengenal Pertanda Tekanan Jiwa

Sekilas sejarah

Sejak dahulu kala, manusia berhadapan dengan berbagai penyakit karena faktor-faktor lingkungan hidupnya. Namun pada permulaan abad ini banyak bermunculan berbagai pendapat mengenai relasi antara faktor-faktor lingkungan dengan penyakit.

Saat Freud mendirikan aliran psikoanalisis-nya, sebagian psikoanalis banyak yang menerima dasar pemikiran tentang penyakit psikosomatik[32] dan secara resmi American Psychiatric Association (APA)[33] yang meletakkan istilah psychosomatic atau psychophysiologic Disease. Pada tahun 1913, karl Jasper dalam bukunya General Psychopathology, mengutarakan pendapat tentang keterikatan antara reaksi dan aksiden; menurutnya reaksi adalah respon emosional atas aksiden. Kira-kira pada masa itu juga Adolf Myer mengutarakan sebuah gagasannya tentang adanya relasi erat antara reaktor lingkungan dengan penyakit. Alexander, pimpinan Institut Psykoanalis Chicago, setelah menerima “tujuh penyakit psikosomatik” berkata:

“Menganalisa keadaan jantung seorang pasien, meski sedetil apapun, jika tanpa penyelidikan psikologikal terhadap pasien tersebut, sama sekali tak berarti.”[34]

Maraknya isu tentang stres serta perkembangan makanya ini yang membuat doktor Hans Selye terdorong melakukan penelitian-penelitiannya mengenai stres. Ia mengemukakan teori GAS (General Adaptation Syndrome), yaitu teori tentang reaksi tubuh manusia terhadap stres; bahwa stres selalu menimbulkan reaksi yang sama, tapi berbeda tahapnya (sesuai dengan stressor yang dihadapi dan personalitas individu) lalu organisme menyesuaikan dirinya dengan keadaan baru. Penyesuaian diri ini merupakan unsur penting dalam kehidupan yang bertujuan utama untuk menjaga keseimbangan dasar. Ia pada tahun 1950 memperluas arti stres dengan menjelaskan adanya tiga fase stres: fase kecemasan[35] , perlawanan[36] dan tahap keletihan[37] .

Walter Cannon, seorang ahli fisiologi Amerika, pada tahun 1932 mengembangkan konsep homeostasis dan melakukan analisa sistematik tentang fenomena penyesuaian diri yang mana sangat penting sekali bagi keberlangsungan hidup; membuka sesi pembahasan baru mengenai stres. Pada tahun 1934, seorang ilmuan Perancis yang bernama Reilly menyebut proses-proses reaksi non spesifik dengan sebutan “Sindrom Stimulasi” yang mana memiliki kemiripan dengan penjelasan Selye sebelumnya.

Sejak tahun 1900, Wolf telah melakukan banyak penelitian seputar stres yang muncul karena peristiwa-peristiwa environmental. Penelitiannya membuat ia berpandangan bahwa peristiwa-peristiwa pendorong stres, jika diterima oleh seseorang yang menganggapnya seperti itu, akan menimbulkan reaksi-reaksi pertahanan fisiologis; yang mana jika reaksi-reaksi tersebut tidak muncul secara berlebihan, atau tidak muncul secara teratur, akan menyebabkan gangguan-gangguan fisiologis.

Wolf dan Hincle pada tahun 1957 dan 1958 melakukan pengamatan terhadap peran perubahan budaya serta perkembangan sosial dan menarik kesimpulan bahwa perubahan-perubahan penting dapat membahayakan keselamatan individu; dengan dua syarat, sebagaimana yang mereka jelaskan:

1. Dampak berat perubahan terhadap seseorang

2. Kesiapan seseorang dalam menghadapi penyakit tertentu

Menurut pandangan mereka, berdampaknya suatu peristiwa tidak dapat ditentukan hanya dengan melihat peristiwa itu saja, kondisi fisiologis dan psikis seseorang juga berperan penting.[38]

Para peneliti seperti Paykel (1974) berpendapat bahwa unsur penting dalam peristiwa-peristiwa kehidupan adalah datang (seperti kelahiran, pernikahan, dan semacamnya) dan pergi (seperti kematian, perceraian, dan seterusnya).[39]

Sara San (1980) berpandangan bahwa reaksi seseoang terhadap tekanan jiwa seharusnya dinilai dari dua segi situasi dan potensi orang tersebut dalam menghadapinya. Menurutnya reaksi terbaik dalam menghadapi tekanan jiwa adalah menyelesaikannya, bukan memberontak dan menumpahkan emosi.[40]

George (1980) berkeyakinan bahwa reaksi seseorang terhadap tekanan jiwa ditentukan dengan apa yang ia miliki saat menghadapinya. Diantaranya yang terpenting seperti kondisi keuangan, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan psikis, kriteria-kriteria pribadi seperti keahlian, usia, jenis kelamin dan lain sebagainya. Lebih dari itu, kondisi kekeluargaan seperti harmonisnya rumah tangga, keakuran, hubungan yang baik, keahlian dalam menyelesaikan masalah dan perlindungan sosial juga memiliki pengaruh bagi tekanan jiwa.

Waller Stein dan Kelly (1980) menjelaskan bahwa seorang anak kecil, karena ketergantungannya kepada orang tua dan lingkungannya yang hanya terbatas pada rumah, tidak dapat memahami sebab terjadinya suatu peristiwa buruk dan dampak-dampak yang mungkin ditimbulkannya. Namun dengan bertambahnya usia, seseorang akan mendapatkan potensi serta kemampuannya dalam menilai kejadian sekitar juga bertambah; yang mana semua itu berkaitan dengan (sikap dalam menghadapi) tekanan jiwa.[41]

J. Bronson berkata:

“Pola hidup para penderita penyakit psikosomatik di dunia ini terkekang pada gambaran-gambaran kosong khayalan dan ketidaksadaran. Mereka benar-benar bermasalah dalam memahami bahwa kehidupan ini berakar pada masa lalu yang jendelanya mengarah pada masa depan.”[42]

Piaget meneliti dampak gambaran kosong khayalan-khayalan terhadap diri manusia. Ia pernah berkata mengenai pola pikir anak-anak kecil:

“Ketika anak-anak kecil bermain bersama, yang sebagian berperan sebagai polisi dan sebagian lain sebagai pencuri, mereka benar-benar hanyut dalam khayalan itu; sebagian dari mereka benar-benar yakin bahwa dirinya adalah polisi dan sebagian lainnya adalah pencuri.”

Hetherington dan rekan-rekannya (1982) setelah melakukan berbagai riset sampai pada kesimpulan bahwa semakin tinggi mutu kepribadian seseorang, semakin kecil kemungkinan ia mengalami tekanan jiwa. Semakin seseorang mampu mengendalikan dirinya, berpandangan luas dan bersabar, semakin ia mampu menangani tekanan jiwanya; ia akan lebih “bisa” berhadapan dengan berbagai macam masalah.[43]

Doyle dan kerabatnya (1988) setelah meneliti fenomena berubah-ubahnya peristiwa kehidupan entah yang baik maupun buruk, sampai pada kesimpulan bahwa efek negatif dari terjadinya peristiwa-peristiwa buruk atau menyedihkan bagi seseorang tidak dapat dipungkiri, namun tidak ada kesepakatan pendapat tentang adanya pengaruh tetap (tidak mudah sirna) pada peristiwa-peristiwa baik.[44]