Qur'an dan Tekanan Jiwa

Qur'an dan Tekanan Jiwa0%

Qur'an dan Tekanan Jiwa pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Al Qur'an Al Karim

Qur'an dan Tekanan Jiwa

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Sayid Ishaq Husaini Khushari
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 10691
Download: 4170

Komentar:

Qur'an dan Tekanan Jiwa
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 10691 / Download: 4170
Ukuran Ukuran Ukuran
Qur'an dan Tekanan Jiwa

Qur'an dan Tekanan Jiwa

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bab 3: Faktor-faktor Tekanan Jiwa

Faktor-Faktor Tekanan Jiwa

Kehidupan manusia selalu diisi dengan peristiwa-peristiwa manis dan pahit. Aktifitas yang berkepanjangan, suara bising, polusi udara, bahaya-bahaya yang hampir menimpa, keributan dalam rumah tangga, pergulatan sosial dan politik, adalah bagian dari faktor-faktor tekanan jiwa. Fase kecemasan dalam stres dapat dimulai dari faktor-faktor eksternal maupun internal, atau gabungan dari keduanya. Faktor-faktor stres mungkin bersumber dari lingkungan, seperti polusi suara, atau dari keadaan sosial, seperti padatnya populasi, atau mungkin juga dari diri sendiri, seperti kenangan-kenangan buruk dan harapan yang tak tepat. Sebagian dari permasalahan-permasalahan pribadi yang dapat menimbulkan stres pada seseorang adalah:

1. Kacaunya keseimbangan hayati badan

Istilah “keseimbangan hayati” pada mulanya dipergunakan dalam ilmu fisika, kimia dan fisiologi, lalu lambat laun juga sering dipakai dalam ilmu psikologi dan sosiologi. Setiap makhluk hidup, meski bagian terkecil seperti sel-sel hewan dan tumbuhan, berada pada jalur keseimbangan hayati, dan keseimbangan hayati itulah yang mewujudkan keseimbangan yang baik pada insting kehidupan, pertumbuhan dan kematian.

Secara ringkasnya dapat dikatakan bahwa aksi asasi “aku” adalah menjaga keseimbangan antara dua keteraturan hayati manusia: keteraturan fisiologis dan keteraturan psikis, yang mana keduanya menyatu pada kesatuan yang disebut kepribadian. Oleh karena itu, “aku” selalu berada di bawah tekanan dan dorongan naluri, kebutuhan-kebutuhan fisikal, dan desakan-desakan yang timbul dari faktor lingkungan, dan itu semua menyebabkan ketertekanan jiwa.[215]

Pada mulanya, Walter Cannon pada tahun 1932 mencetuskan teori keseimbangan ini dan semenjak itu marak dibahas. Ia menyebut “stabilitas internal” sebagai “keseimbangan hayati”, karena keseimbangan hayati bersifat melawan segala abnormalitas organisme yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal dan internal; dengan penjelasan lain, keseimbangan hayati bertugas untuk memberikan bantuan pada organisme untuk tetap stabil di hadapan tekanan-tekanan. Selye dan rekan-rekannya pernah menjelaskan bagaimana terjadinya kekacauan dalam keseimbangan hayati kemudian reaksi-reaksi psikis muncul akibat kondisi yang menekan.[216] Kondisi-kondisi yang mana keseimbangan hayati akan mengalami kekacauan di dalamnya diantaranya adalah:

A. Kelelahan

Kekacauan keseimbangan hayati yang muncul akibat faktor-faktor ringan seperti kelelahan atau faktor-faktor yang lebih berat seperti stres melahirkan dan penyakit, dapat menimbulkan stres. Banyak dilakukan penelitian biologis untuk mengetahui perbedaan antara kelelahan dan kelemahan. Rasa lelah biasanya tersembunyi di sela-sela aktifitas lalu lambat laun menimbulkan efek-efeknya yang membahayakan. Sebagian orang dalam kondisi tertentu ingin mengerjakan berbagai macam pekerjaan dalam waktu yang singkat. Hasil dari kondisi seperti ini adalah amarah dan emosi.

Jalan keluar yang paling mendasar adalah apa yang dijelaskan oleh salah seorang komedian yang bernama Pierlac:

“Jika di hari-hari libur kita tidak bekerja, maka kita tidak akan merasa kelelahan.”[217]

Kelelahan dalam pandangan Al Qur’an

Dalam Al Qur’an, Allah swt. mengisyarahkan ketenangan malam dengan berfirman:

“Dialah yang telah menjadikan malam bagi kalian sebagai pakaian yang nyaman dan tidur sebagai penenang.”[218]

Ayat di atas, dan juga ayat-ayat yang serupa,[219] menunjukkan bahwa Allah set. menciptakan malam agar umat manusia dapat beristirahat di dalamnya setelah seharian bekerja keras dan kelelahan. Rasa lelah adalah sebab terbesar yang mendorong manusia untuk beristirahat dan tidur sehingga tubuhnya dapat memperbaharui energi dan kekuatan dan bangun kembali dengan penuh semangat dan kebugaran untuk menjalankan aktifitas keseharian. Pada peristiwa perang Badar, saat ketakutan menyelimuti Muslimin, Allah swt. melenyapkan ketakutan tersebut dengan perantara tidur:

“(Ingatlah) saat Allah menjadikan kalian mengantuk sebagai sesuatu penentraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dari hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kakimu.”[220]

Tentang ketenangan yang didapat di malam hari, Al Qur’an menjelaskan:

“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”[221]

Jadi siang dan malam diciptakan untuk aktifitas dan istirahat. Dalam ajaran kita, kita disarankan untuk tidur sebentar di pertengahan siang (tidur qailulah) dan dilarang tidur di antara terbitnya fajar dan menyingsingnya matahari.[222]

Dalam Islam kita dilarang untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di luar kemampuan tubuh dan jiwa kita, karena tubuh dan jiwa saling terikat dan memberikan dampak satu sama lain. Imam Ali as. berkata:

“Sesungguhnya hati ini dapat bosan sebagaimana tubuh dapat lelah.”[223]

Oleh karena itu para Imam kita menyarankan agar kita hanya melakukan ibadah-ibadah wajib saja jika kita sedang lelah,[224] kita segarkan hati kita dengan ilmu dan hikmah,[225] dan setelah hati kita ceria kembali, barulah kita mengerjakan ibadah-ibadah mustahab (sunah).

Berdasarkan hal ini, Islam tidak mewajibkan puasa kepada orang-orang yang sakit dan lemah fisiknya.[226] Sesuai dengan ajaran Al Qur’an, jika berpuasa dapat membahayakan seseorang, maka orang tersebut tidak boleh berpuasa dan haram hukumnya. Kewajiban jika menyebabkan seseorang tertekan dan kesusahan, maka kewajiban itu akan gugur.[227] Dalam ayat 206 surah Al Baqarah kita membaca:

“Allah tidak memberikan beban (tugas dan kewajiban) kepada hamba-Nya di luar kemampuannya.”

Alasannya jelas sekali, karena tujuan dari tugas dan kewajiban bukanlah membuat manusia menjadi susah dan repot:

“Tuhan menginginkan kemudahan bagi kalian, dan Ia tidak menginginkan kesusahan untuk kalian.”[228]

Oleh karena itu Islam mengharamkan kerahiban, bepergian tanpa tujuan dan diam tanpa maksud tertentu.[229]

Seorang Muslim harus berusaha sedemikian rupa agar ada keseimbangan ruhani dan jasmani dalam aktifitas-aktifitas sehariannya supaya tidak kelelahan. Menurut Imam Ali as., seyogyanya seseorang membagi waktu sehari semalamnya menjadi tiga bagian: bagian pertama khusus untuk beribadah kepada Allah swt., bagian kedua untuk mencari nafkah halal, dan ketiga untuk beristirahat serta menikmati yang halal. Beliau berkata:

“Tidak benar seorang yang berakal kecuali melangkah pada tiga hal: membenahi urusan kehidupan, membenahi urusan akherat, dan menikmati kenikmatan-kenikmatan yang tidak haram.”[230]

Al Qur’an, sebagaimana ia melarang kita untuk shalat dalam keadaan mabuk,[231] ia juga menyebut orang-orang yang shalat dengan penuh kemalasan sebagai orang munafik.[232] Dapat dipastikan terdapat ikatan kuat antara tubuh dan jiwa, serta pikiran dan perbuatan; jika hubungan keduanya tidak selaras, sangat besar kemungkinannya timbul gangguan kejiwaan.

B. Pesimisme dalam kesehatan

Pesimisme adalah fenomena batin yang berkenaan dengan pandangan pribadi seseorang serta kemampuan berprilakunya.[233] Karena pesimisme berbeda dengan penyakit, maka mungkin sekali pesimisme dialami oleh orang yang benar-benar sehat (secara fisik).[234] Di era moderen ini, meskipun dalam dunia kedokteran terjadi perkembangan dan kemajuan yang amat pesat, meskipun umur manusia dapat diperkirakan bisa mencapai 74 tahun yang mana sebelumnya harapan untuk hidup bagi manusia hanya sampai usia 47 tahun, namun rasa percaya diri manusia akan kesehatannya merosot turun. Jika dibandingkan oleh orang-orang yang hidup enam puluh tahun yang lalu, kebanyakan orang di era ini memiliki pesimisme terhadap kesehatan dirinya sendiri. Hal ini padahal pada enam puluh tahun terakhir antibiotik telah dikenali.[235]

Ilmu kedokteran telah mengembangkan berbagai jalan penyembuhan bagi kebanyakan besar penyakit, dari penyakit-penyakit yang gawat hingga penyakit yang sederhana, namun meskipun begitu perasan pesimis pada setiap orang kian bertambah tinggi. Mungkin alasannya adalah rendahnya tingkat kemampuan setiap orang untuk melawan penyakit dan tingginya tingkat standard kesehatan, pengetahuan yang lebih banyak akan jenis-jenis penyakit atau panjangnya umur.[236]

Mengira sakit: orang yang menyangka dan menganggap dirinya sakit, meskipun mereka sehat, mereka benar-benar merasakan penyakit itu, namun kebanyakan penyakit-penyakit tersebut bersifat psikis. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa para pasien yang tanpa merasakan sakit pada anggota badan tertentu namun ia menunjukkan tanda-tanda rasa sakitnya, sangat lebih tertekan daripada para pasien yang penyakit-penyakitnya jelas bagi mereka.[237]

Mengenai pesimisme dalam kesehatan ini dapat dikatakan: dalam Islam terdapat satu jalan yang dapat menjauhkan setiap orang dari tekanan-tekanan jiwa, jalan tersebut adalah yakin bahwa apa-apa yang tidak ditakdirkan oleh Allah swt. untuk kita tidak akan pernah sampai kepada kita (kita tidak akan mendapatkannya) dan sehendakna orang-orang beriman bertawakal kepada-Nya.[238] Karena ketika diyakini bahwa selain sebab-sebab materi ada hal-hal ghaib yang dapat menentukan takdir manusia, maka api harapan dalam hati orang-orang yang beriman tetap menyala. Imam Zainul Abidin as. dalam doanya yang terkenal, Doa Abu Hamzah Tsumali, berdoa kepada Tuhannya:

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu akan suatu keyakinan yang benar agar aku mengerti bahwa tidak ada yang akan menimpaku kecuali apa-apa yang telah Engkau takdirkan.”

Dengan keyakinan yang seperti ini, manusia akan mencapai tingkat kesesuaian diri; dalam diri seorang manusia akan muncul rasa pasrah dan kerelaan dan dengan demikian terwujudlah keseimbangan emosional. Orang-orag yang beriman juga mengakui bahwa selain dengan bertawakal dan mengingat Allah swt. hati tidak akan bisa menjadi tenang[239] dan barang siapa melupakan Allah, maka hidupnya akan terasa sempit dan susah.[240]

C. Stres melahirkan[241]

Kelahiran buah hati adalah kenangan besar yang paling membekas di hati setiap wanita; kenangan yang dipenuhi dengan begitu dahsyat tekanan jiwa dan emosi. Pada mulanya seorang wanita merasakan kebahagiaan dan kegembiraan, lalu muncul rasa takut dan kekhawatiran, ketakutan akan apa yang mungkin menimpanya di kemudian hari. Bagi sebagian ibu, terdengarnya tangisan seorang bayi yang lemah begitu menghkawatirkan. Terkadang seorang ibu secara tidak jelas merasa takut dan malu. Stres yang muncul di saat melahirkan ini terkadang sampai membuat sang ibu terdorong untuk membunuh bayinya. Bagi sebagian orang itu, setelah dilaluinya masa-masa pengasingan dan kebingungan yang lama, menjalani masa kehamilan yang disertai rasa takut dan malu.[242] Al Qur’an begini mengisahkan rasa sakit yang diderita oleh Sayidah Maryam as. saat melahirkan putranya:

“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggurkan buah yang masak kepadamu, maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang maha pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.”[243]

Kesedihan Sayidah Maryam as. lebih dikarenakan tuduhan-tuduhan masyarakat yang tidak berjiwa sehat. Mengenai sebab kesedihan Sayidah Maryam as., Imam Shadiq as. berkata:

“Karena ia (Maryam as.) tidak melihat satu orangpun di antara kaumnya yang memiliki jiwa mulia yang dapat menyelamatkannya dari tuduhan dan fitnah.”[244]

Imam Ali as. menjelaskan bahwa Sayidah Maryam as. memakan buah kurma untuk memulihkan kesehatan tubuhnya:

“Tidak ada makanan yang lebih baik dari kurma untuk dimakan oleh seorang ibu yang sedang mengandung. Karena Allah swt. berfirman kepadanya: “Goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu…”[245]

Ada pula riwayat dari beliau yang menukil dari perkataan Rasulullah saw. mirip dengan riwayat sebelumnya, begitu pula Allamah Thabathabai dalam Al Mizan menerangkan bahwa di kalangan Ahlu Sunnah juga banyak riwayat serupa dan banyak lagi riwayat-riwayat di kalangan syiah mengenai masalah ini dan silsilah periwayatannya sampai pada Imam Baqir as.

Oleh karena itu, kenyataan stres melahirkan yang dialami Sayidah Maryam as. memang ada, begitu pula tekanan jiwa yang disebabkan tuduhan-tuduhan kaumnya.

D. Penyakit kronis

Penyakit, dari segi parahnya dan lamanya diderita, berada pada urutan pertama di antara faktor-faktor tekanan jiwa.[246] Kecacatan dan tekanan jiwa dapat menyebabkan tekanan jiwa dalam kadar yang tinggi dan bahkan dapat mengalahkan kesabaran orang yang paling sabar sekalipun.

Para penderita penyakit kronis tentu berusaha sekuat tenaganya dan menghabiskan waktu dan upaya agar dapat hidup seperti orang sehat biasa. Namun gangguan yang diakibatkan penyakit mereka tak jarang membuat diri mereka tersingkirkan dan terasing dari aktifitas sosial dan hubungannya dengan kerabat-kerabatnya pun juga terganggu, dan bahkan sampai-sampai mereka sama sekali tidak bisa berhubungan dengan orang lain. Dalam kondisi ini, biasanya sebagian dari anggota keluarga semakin dekat dengan penderita dan sebagian yang lain merasa keberadaan penderita adalah sumber kesusahan yang memberatkan bagi keluarga.[247]

Contoh penyakit kronis yang dikisahkan dalam Al Qur’an adalah penyakit yang diderita oleh nabi Ayub as. Dalam buku ini kita akan membahas sepenggal dari kisah tersebut yang sekiranya berhubungan dengan pembahasan kali ini. Oleh karena itu kita hanya akan membahas tekanan-tekanan jiwa yang disebabkan penyakit nabi Ayub as. terhadap dirinya, keluarganya, istri dan kerabatnya serta bagaimana dampaknya bagi hubungan beliau dengan sesamanya. Beliau adalah seorang nabi keturunan nabi Ibrahim as.[248] Kisahnya yang diceritakan dalam Al Qur’an adalah sebagai berikut:

“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-Nya: “Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan.” (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuh untuk mandi dan untuk minum. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).”[249]

Imam Ja’far Shadiq as. menjelaskan sebab kesengsaraan nabi Ayyub as. dan berkata:

“Nabi Ayub as. mengalami kesengsaraan seperti itu bukanlah karena ia telah mengkufuri nikmat, bahkan karena ia telah mensyukuri nikmat Allah. Karena sebelumnya syaitan berkata keada Allah swt.: “Engkau melihat Ayyub sebagai hamba yang selalu bersyukur karena Engkau telah memberikan banyak nikmat kepadanya. Jika Engkau mencabut nikmat-nikmat-Mu darinya, maka pasti akan terbukti bahwa ia bukanlah hamba yang bersyukur.” Lalu untuk membuktikan kepada syaitan bahwa nabi Ayub as. benar-benar hamba yang bersyukur, Ia mencabut nikmat-nikmat-Nya. Ia mencabut nikmat anak-anak darinya, dan ia tetap bersyukur. Lalu Ia mencobanya dengan sakit selama bertahun-tahun, sakit parah yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya tidur di ranjangnya, namun kesabarannya tak pernah berkurang. Kemudian syaitan dengan bentuk rahib mendatangi rahib-rahib bani Israil dan bersama-sama mereka mendatangi nabi Ayub as. Mereka berkata kepadanya: “Dosa apa yang telah engkau lakukan sehingga engkau mendapat bala seperti ini?” Nabi Ayub as. berkata: “Demi Allah aku tidak berbuat dosa; aku selalu berada dalam keadaan taat kepada-Nya dan saat aku makan selalu ada anak-anak yatim dan orang miskin yang makan bersamaku.” Nabi Ayub as. juga bersabar akan tuduhan-tuduhan. Kemudian Allah swt. mengembalikan nikmat-nikmat-Nya kepadanya dan penyakit-penyakitnya disembuhkan dengan perantara sebuah mata air. Lalu supaya tidak melanggar janjinya dan sekaligus istrinya tidak tersakiti, Allah memeberikan jalan dengan cara mempergunakan seikat rumput dan biji-biji gandum.”

Dari kisah nabi Ayub di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa penyakit kronis terkadang membawakan keterasingan dari masyarakat, terkadang juga cela dan hinaan sesama, dan bahkan kebencian orang yang terdekat sekalipun. Satu-satunya jalan mengatasi penyakit kronis adalah bersabar. Karena betapa penyakit-penyakit berat yang diderita oleh hamba yang beriman merupakan bentuk kasih sayang dan ujian dari Allah swt.[250] Berdasarkan yang diriwatkan dari Imam Shadiq as., para nabi lebih banyak merasakan kesusahan dalam hidup dari pada manusia-manusia biasa, lalu kemudian para pengikutnya juga mendapatkan ujian-ujian yang kadarnya sedikit di bawah para nabi sesuai dengan karakter dan kepribadian mereka.[251] Lebih dari itu, kita pun tahu bahwa kesembuhan hanya dari Allah swt. Oleh karena itu kesabaran perlu ditampakkan, siapa tahu kesembuhan nabi Ayub as. juga akan kita dapatkan nantinya.

2. Peranan sistim kelembagaan

Di era ini, bekerja di sebuah perusahaan, lembaga, organisasi dan lain sebagainya adalah perkara yang begitu penting sekali dan menyangkut dengan kehidupan jutaan orang. Setiap lembaga, diakrenakan esensinya, adalah ancaman kebebasan, kemerdekaan dan identitas setiap pribadi, karena tidak ikut serta dalam proses pemberian keputusan, hilangnya hubungan dengan sesama, berbagai batasan-batasan kelembagaan, kesewena-wenaan kekuasaan, tertutupnya ruang lembaga, sistim control, tiadanya pengertian para pengurus akan hak-hak, dan seterusna sangat berpotensi menyebabkan tekanan jiwa dan stres.[252] Beberapa faktor yang paling penting dalam lembaga dan organisasi dalam menimbulkan tekanan jiwa adalah:

A. Suasana bekerja

Lingkungan tempat bekerja, seperti bagaimana dekorasi ruangan, dan juga faktor-faktor fisikal seperti suara yang bising, asap, hawa panas, dan lain sebagainya, dapat menimbulkan stres pada pekerja. Para karyawan yang bekerja sebagai sekuriti atau satpam penjaga, empat kali lebih kerap mengalami tekanan jiwa daripada yang lainnya karena keterasingan mereka dari kelompok lainnya. Kerja berlebihan dan menganggap suatu pekerjaan sebagai pekerjaan yang susah, juga faktor penyebab tekanan jiwa. Buruknya kualitas kerja juga satu lagi faktor stres, yang biasanya dikarenakan pekerjaan yang itu-itu saja dan tidak menarik. Bahaya yang mungkin menimpa nyawa saat bekerja, seperti para polisi, para pemadam kebakaran, para tentara, dan lain sebagainya, juga menimbulkan tekanan kejiwaan. Ketika seseorang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya, maka pasti ia akan mengalami ketegangan, stress, ketidakpuasan, dan penyakit-penyakit fisik.[253]

B. Kedudukan dan jabatan kerja

Masalah-masalah psikologi yang timbul dikarenakan jabatan kerja di antaranya adalah:

1. Pertentangan dan ketidak jelasan peran dalam mengemban tugas: ketidak jelasan peran bagi seseorang dapat terjadi ketika deskripsi kerjanya tidak menentu, ketika target-target yang harus dikejar juga tidak pasti. Perkara ini akan berujung pada perasaan kecewa dan tidak mementingkan atau menghormati diri sendiri.[254]

2. Tingkat tanggung jawab: memiliki kedudukan yang harus bertanggung jawab atas anak buah secara berlebihan, dapat menimbulkan tekanan jiwa. Oleh karena itu stres berkaitan dengan tingkat tanggung jawab dan umur.[255]

3. Tekanan dalam hubungan: tekanan dalam hubungan ini adalah salah satu bentuk tekanan yang berkenaan dengan bagaimana seseorang memiliki hubungan pekerjaan dengan rekan-rekannya. Dalam hal ini, tekanan-tekanan para pemimpin lebih kompleks, karena tidak seimbangnya antara kekuatan yang dibayangkan dengan kekuatan yang sebenarnya, kehilangan kedudukan, usaha beraksi namun para karyawan menolak, adalah termasuk faktor-faktor tekanan jiwa; yang jelas para karyawan yang lain juga terjerumus ke lubang stress karena factor-faktor lain seperti persaingan.[256]

C. Naiknya kedudukan

Perpindahan kedudukan dan jabatan sosial dengan cepat dari tempat semula menuju tempat yang lebih tinggi juga dapat dikategorikan sebagai factor penting tekanan jiwa.[257] Berkenaan dengan faktor-faktor tekanan jiwa yang berkaitan dengan lembaga atau organisasi ini, tidak ditemukan ayat-ayat Al Qur’an yang tepat; namun mengenai suasana bekerja, kedudukan sosial, masalah-masalah di atas dapat dibahas dalam satu tema “Tekanan Tanggung Jawab dan Tugas”. Kita akan membahas pembahasan tersebut pada bagian “Keyakinan-Keyakinan Agama”.

3. Krisis kekeluargaan

Keluarga sebagai sebuah kesatuan yang mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, adalah faktor utama kestabilan sosial dan sumber perlindungan emosional terpenting dalam situasi-situasi yang penuh dengan tekanan jiwa. Ketika krisis kekeluargaan menjadi ganti dari peran perlindungan tersebut, setiap anggota keluarga dapat dipastikan akan mengalami tekanan jiwa yang lebih memprihatinkan. Berdasarkan penelitian, 76 persen para penderita penyakit jantung, adalah korban krisis kekeluargaan dan dari sepuluh peristiwa tingkat pertama penimbul tekanan jiwa, ketujuh darinya merupakan hasil dari krisis kekeluargaan, seperti kematian istri, perceraian, perpisahan antara istri dengan suami, perdebatan keluarga, gangguan dari orang-orang dekat, permasalahan seksual, lari dari rumah, dan lain sebagainya. Permasalahan-permasalahan berat yang muncul dari krisis kekeluargaan ini memungkinkan seseorang menderita penyakit-penyakit. 75 persen para penderita kanker, dua tahun sebelum diketahuinya penyakit tersebut, telah kehilangan salah satu anggota keluarganya.

Berdasarkan statistik, kebanyakan pasangan suami istri yang telah hidup bersama selama 20 tahun, lalu salah satu di antara mereka mati, maka 15 bulan kemudian pasangannya tidak keluar dari dua kemungkinan: juga mati atau menderita penyakit serius.

Berdasarkan penelitian lainnya, keluarga-keluarga yang salah satu di antara suami atau istri mengalami stres, ada masalah dalam berbicara dan menjawab, karena orang yang stress tidak mampu menarik perlindungan emosional prang lain.[258] Beberapa krisis kekeluargaan yang memiliki pengaruh besar menimbulkan tekanan jiwa adalah:

A. Perceraian

Perceraian, berada di urutan kedua setelah “kematian istri” di antara urutan faktor-faktor pemicu stress. Penelitian membuktikan bahwa dalam keluarga jika terdapat tekanan kejiwaan maka kemungkinan munculnya penyakit bertambah besar dan semakin krisis itu besar semakin besar pula kemungkinan tersebut. Dalam suatu pengamatan terbukti bahwa 76 persen korban serangan jantung, sebelum kejadian, mengalami krisis kekeluargaan dalam hidupnya.[259]

Dalam pandangan Islam, sebagaimana pernikahan adalah indah dan menyenangkan,[260] perceraian dan perpecahan keluarga adalah keburukan yang paling buruk. Dalam riwayat-riwayat nabawi disebutkan:

“Tidak ada sesuatu yang lebih tercela di mata Allah swt. dari dirobohkannya sebuah rumah di lingkungan masyarakat Muslim karena perceraian.”[261]

“Perceraian menggoncangkan singgasana Tuhan.”[262]

“Perceraian adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah swt. namun Ia juga sangat membencinya.”[263]

Dampak-dampak buruk perceraian yang tidak dapat dihindari diantaranya adalah:

1. Gangguan-gangguan emosional: tak diragukan bahwa perceraian dan perpecahan keluarga yang sebelumnya hidup bersama-sama selama bertahun-tahun, membuat perasaan dan hati mereka tersayat, mereka berpandangan negatif untuk menikah lagi, mereka akan mudah berburuk sangka pada pasangannya, dan betapa banyak di antara mereka yang enggan untuk menikah lagi.

2. Permasalahan-permasalahan sosial: jarang sekali perempuan janda yang mendapatkan keberuntungan untuk menikah lagi dengan jalan yang baik, apa lagi para duda, lebih parah lagi, apa lagi jika mereka telah memiliki anak; oleh karena itu mereka pasrah pada keadaan apa saja, seperti pernikahan yang tidak mereka inginkan, dan hidup menderita hingga akhir hayat.

3. Permasalahan-permasalahan pada anak-anak: yang paling menyedihkan diantara segalanya adalah kesusahan yang dialami anak-anak, karena hidup tanpa ayah atau tanpa ibu kandung adalah derita jiwa yang sangat berat, tidak ada yang bisa menggantikan kasih sayang mereka, dan meskipun ada ayah atau ibu kandung yang baik hati, namun orang-orang seperti itu jarang sekali. Oleh karena itu anak-anak orang tua yang telah cerai lebih besar mengalami kerugian disbanding yang lain dan betapa banyak anak-anak yang sedemikian rupa menjadi pribadi-pribadi berbahaya dan jahat di kalangan masyarakat, menjadi pendendam, pengacau, yang benci dengan masyarakat.[264]

Begitu seriusnya masalah perceraian, agar tidak terjadi perceraian, Allah swt. menyerukan perdamaian di antara sepasang suami istri jika mereka bermasalah.[265] Kemudian langkah berikutnya jika seandainya terjadi perceraian, Al Qur’an menekankan tetap terjaganya kehormatan keluarga dan masa ‘iddah (masa seorang istri yang telah cerai sebelum menikah dengan orang lain—pent).[266] Di masa ‘iddah ini para istri tinggal di satu tempat tinggal suaminya dan ruju’ secara amali mereka adalah cukup. Pada tahapan ketiga, mantan suami berkewajiban untuk menafkahi perempuan mantan istrinya jika ia sedang menyusui;[267] tak diragukan berlalunya masa akan menyelasaikan berbagai perkara. Dan terakhir, jika terjadi perceraian sampai tiga kali, Islam meberikan jalan untuk mereka agar dapat bersama kembali dengan perantara sang muhallil; dan muhallil tidak diizinkan untuk menjadikan para wanita sebagai kesenangan yang dapat dipermainkan mereka.[268]

B. Kematian istri atau suami

Kematian istri termasuk krisis kekeluargaan yang berada di tingkatan tertinggi di antara faktor-faktor pemacu stres. Hal ini dikarenakan kaitannya secara langsung dengan perasaan seorang istri atau suami. Dari sisi lain, karena suami dan istri adalah pasangan untuk satu sama lain yang saling memenuhi kebutuhan seksual.[269]

Sorang peneliti yang bernama Loushan menyatakan bahwa 75 persen para penderita kanker, pada dua tahun sebelum penyakit tersebut tersingkap, mereka pernah kehilangan salah seorang anggota keluarganya.

Pentingnya kebersamaan dalam sebuah keluarga akan sangat terasa sekali setelah berjalan selama bertahun-tahun lamanya lalu salah satu di antara mereka ada yang mati. Setelah itu, hanya ada dua kemungkinan bagi pasangan (suami atau istri) yang ditinggal pergi: mati menyusul, atau menderita penyakit yang serius.[270]

Dalam sejarah Islam, salah satu contoh peristiwa “ditinggal oleh istri” adalah peristiwa yang terjadi pada Imam Ali as. saat ditinggal istri tercintanya Sayidah Fathimah Azzahra. Di pusara istrinya, beliau berkata dalam hati kepada Rasulullah saw.:

“Wahai Rasulullah, kesabaranku telah goyah karena berpisah dari putri suci dan pilihanmu. Aku kehilangan dayaku… Kesedihan selalu menyelimutiku dan di malam-malamku daku selalu terjaga.”[271]

Contoh lain peristiwa kepergian istri adalah kisah Rubab putri Umru’alqais, istri Sayidus Syuhada dan ibu Sayidah Sukainah dan Ali Ashgar. Ia hadir di Karbala, bersama para tawanan digiring menuju Syam dan setelah kembali ke Madinah, ia selama satu tahun berdukacita untuk suaminya dan tidak pernah mau untuk berada di bawah bayangan yang menghalanginya dari terik matahari, ia tidak menerima lamaran para pembesar Quraisy, dan akhirnya di akhir tahun itu juga ia meninggal dunia.[272]

C. Kematian buah hati

Kematian buah hati adalah peristiwa yang amat sangat menyedihkan dalam hidup, karena orang tua dengan mata kepalanya melihat karunia terbesar dalam hidupnya pergi meninggalkan mereka. Kebanyakan orang secara umum menaruh harapan pada anak-anak mereka dan dengan kepergian mereka harapan-harapan tersebut sirna. Jika yang mati adalah anak bayi, seorang ibu yang paling merasakan kesendirian. Juga jika seorang ibu tidak melahirkan bayi yang sehat, begitu merasa bersalah, berdosa dan sangat berpandangan negatif terhadap dirinya sendiri.

50 hingga 70 persen keluarga yang anak-anaknya mati karena terserang kanker, mengalami kehancuran dalam rumah tangga dan tak jarang yang berakhir pada perceraian. Mungkin alasan mereka bercerai karena salah satu cara mengungkapkan kesedihan bagi mereka adalah perceraian. Kebanyakan para lelaki berbeda dengan perempuan; kaum lelaki lebih cenderung untuk tidak begitu menampakkan kesedihannya, yang kemudian ditanggapi istri mereka sebagai rasa ketidakpedulian dan sikap dingin sang ayah terhadap anaknya.[273] Dalam Al Qur’an, ada kisah butanya nabi Ya’qub as. dikarenakan perpisahan dengan anaknya:

“Ia merintih: “Duhai Yusufku…” Dan matanya memutih karena kesedihannya yang berkepanjangan. Namun ia tetap sabar dan memendam amarahnya.”[274]

Yang dapat dipahami dari ayat di atas adalah, pada waktu itu nabi Ya’qub as. masih belum mengalami kebutaan. Namun lambat laun karena ia sering menangis ia kehilangan pengelihatannya.[275]

Dalamnya luka yang ditimbulkan dari kematian anak dapat kita sadari dengan melihat bahwa nabi Ya’qub meskipun tidak ditinggal mati oleh anaknya ia sampai buta, apa lagi jika anaknya sampai mati. Karena pada saat itu beliau tidak kehilangan harapan dan memerintahkan anak-anaknya:

“Wahai putra-putraku, pergilah mencari Yusuf dan saudaranya dan janganlah kalian berputus asa akan rahmat Allah.”[276]

Contoh lainnya adalah kesedihan nabi Adam as. saat putranya yang bernama Habil meninggal.[277]

Begitu juga dengan tangisan kesedihan Rasulullah saw. atas kepergian anaknya yang bernama Ibrahim. Beliau berkata:

“Mata ini menangis dan hati ini terluka. Namun kami tidak berkata apa-apa yang tidak disukai Allah. Kami sungguh bersedih karenamu, wahai Ibrahim.”

“Jika bukan karena kami percaya bahwa kematian itu pasti akan tiba, janji Tuhan itu pasti akan ditepati, dan jika bukan karena jalan yang pasti, maka kesedihan kami lebih dari ini.”

Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada beliau: “Bukankah engkau melarang kami agar tidak menangis?”

Rasulullah saw. menjawab:

“Apa yang aku larang adalah, bersedih dengan cara yang bodoh, mencakar-cakar muka, berteriak-teriak; tapi ini adalah tangisan kasih sayang dan orang yang tidak ada kasih sayang di hatinya tidak akan disikapi dengan penuh kasih sayang.”[278]

D.Kematian orang tua

Kematian orang tua dapat mempengaruhi kejiwaan dan pembentukan karakter seseorang. Anak-anak kecil dan remaja, sepeninggal orang tua mereka, mau tidak mau menghadapi berbagai pengalaman emosional. Pada tahun ketiga sepeninggal orang tua, mereka cenderung bersifat agresif dan pada tahun-tahun berikutnya kebergantungan mereka kepada ibunya bertambah. Mereka mencela diri mereka sendiri karena telah kehilangan ayah dan ibu dan ketakutan bagaimana menjaga diri sendiri.[279] Para pakar psikologi klinikal mengingatkan, bahwa dalam kebanyakan kasus, anak-anak lebih menderita saat ditinggal ibunya mati daripada ditinggal ayahnya.

Allah swt. berfirman kepada Rasulullah saw.:

“Bukankah Allah swt. mendapatimu dalam keadaan yatim lalu memberimu perlindungan?”[280]

Engkau masih berada di perut saat ayahmu Abdullah meninggal dunia; engkau waktu itu berusia enam tahun saat ibumu meninggal; saat itu umurmu delapan tahun dan Abdul Muthalib, kakekmu meninggal lalu pamanmu Abu Thalib menjadikanmu anak asuhnya lalu melindungimu dan membesarkanmu. Lalu jika begitu, maka,

“Dan adapaun anak yatim, janganlah engkau hinakan dia.”[281]

Taqhar berasal dari kata qahr yang berarti mengalahkan beriringan dengan penghinaan. Ayat ini membuktikan bahwa selain masalah sandang dan pangan, anak-anak yatim harus lebih diperhatikan perasaan mereka. Seakan-akan Allah swt. berkata kepada nabi-Nya: “Engkau sendiri adalah orang yatim dan pernah merasakan susahnya menjadi anak yatim, kini dengan tulus dan sepenuh hati rawatlah anak-anak yatim dan penuhilah jiwa mereka yang haus kasih sayang dengan cinta dan kasihmu.

Dalam ayat yang lain, disebutkan kalimat yadu’ul yatim[282] yang artinya merendahkan dan menghinakan anak yatim, yang merupakan sifat utama orang-orang yang mengingkari hari pembalasan. Kata yadu’ berasal dari da’ yang berarti menolak dengan sangat dan disertai kekerasan. Al Qur’an juga melarang kita untuk tidak memuliakan anak-anak yatim dan menyebutnya sebagai perangai yang buruk lagi tercela.[283] Tanpa diragukan, penghormatan tidak ditujukan untuk kenyangnya perut, namun dimaksudkan untuk menggantikan kasih sayang yang telah hilang dari mereka.

E. Mencukupi keluarga (masalah perekonomian dan penghidupan)

Di era modern ini, di samping pesatnya perkembangan populasi, tekanan dan kesusahan dalam mencari nafkah untuk penghidupan juga semakin bertambah. Ketika seorang pemberi nafkah dalam satu keluarga jatuh sakit, atau ia sedang tidak mampu menjalankan tugasnya tersebut, akan menghadapi ketidakpedulian anggota keluarga terhadap dirinya.[284]

Al Qur’an menjelaskan bahwa pada zaman jahiliyah, salah satu alasan mengapa mereka membunuh anak-anak mereka adalah permasalahan penghidupan dan nafkah:

“Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut tidak dapat menafkahi mereka. Kami yang akan memberi rizki kepada mereka dan kepada kalian semua.”[285]

Kata khifata imlaq adalah isyarah halus akan adanya bisikan syaitan yang membuat manusia takut tidak mampu membesarkan anak dan akhirnya anak tersebut dibunuh.

Di zaman ini, dengan sangat disayangkan, banyak orang tua yang takut membesarkan anaknya lalu menggurkan kandungannya dan membunuh nyawa anak tak berdosa. Yakni zaman jahiliyah tersebut kini terulang sebagai jahiliyah abad 21, yang jelas dengan makna yang lebih kompleks lagi.

4. Lingkungan

Kehidupan di era modern ini, meskipun penuh dengan kemajuan teknologi dan kesejahteraan, di satu sisi juga banyak kerugian dan kerusakan yang dapat dirasakan. Manusia di zaman ini hidup di tengah gangguan-gangguan seperti bisingnya suara kendaraan di jalanan, kereta api, pesawat, gelombang-gelombang radiasi telfon selular, polusi udara, aturan-aturan yang tidak tepat dan menjengkelkan, dan lain sebagainya. Faktor-faktor tekanan jiwa yang penting disebutkan di sini adalah:

A. Polusi suara

Suara bising bagi 56 persen warga Perancis merupakan bencana dan gangguan kelas satu. 25 milyar biaya kedokteran, 15 persen usaha kerja, 11 persen peristiwa kerja, 20 persen kasus rawat inap di rumah sakit-rumah sakit jiwa, berkenaan dengan “suara”. Di antara penyakit-penyakit yang bersangkutan dengan dunia kerja, penyakit yang disebabkan oleh “suara” berada pada urutan kedua dari atas. Bertambah pesatnya gangguan-gagguan suara baik dari radio, mobil, pesawat, apa lagi di saat mengejutkan dan secara tiba-tiba, dapat memicu stres. Suara mempengaruhi kesadaran, konsentrasi, ingatan dan prilaku.[286] Al Qur’an menjelaskan wasiat Luqman kepada anaknya:

“Rendahkanlah suaramu (dan jangan sekali-kali berteriak) karena suara yang paling buruk adalah suarah keledai.”[287]

Di antara segala macam suara, suara keledai adalah suara yang paling tidak enak didengar. Kata ankar pada wazan af’al adalah kata tafdhil dari kata munkar; yakni suara yang secara alamiah tidak disukai oleh manusia. Suara yang kencang sangat mengganggu dan menyebalkan. Oleh karena itu suara yang kencang diidentikkan dengan suara orang-orang yang bodoh. Al Qur’an menyarankan orang-orang yang beriman:

“Janganlah kalian mengangkat suara-suara kalian di atas suara nabi.”[288]

Imam Ja’far As Shadiq as. menafsirkan ayat di atas dengan bersin kencang atau berteriak ketika berbicara yang mana semua itu adalah suara yang paling tidak enak didengar (ankarul aswath). Dengan demikian ayat di atas tidak hanya menerangkan prilaku jelek, namun juga mengisyarahkan akan buruknya suara bersin yang dikencangkan atau berteriak-teriak. Yang jelas ada pengecualian dalam riwayat di atas, yaitu ketika memanggil seseorang atau membaca Al Qur’an.[289]

B. Polusi udara

Suasana kerja yang tak sehat, penuh dengan asap rokok, tidak adanya ventilasi yang baik, dapat memicu tekanan jiwa dan stres dalam bekerja, dan juga menimbulkan kepenatan dan kesesakan.[290]

C. Aturan dan peraturan

Jika aturan-aturan yang harus kita jalankan dalam hidup ini tidak fleksibel, yang mana jika menjalankan aturan itu mau tidak mau membuat manusia menjadi susah dan merasa dikekang oleh peraturan, juga merasa kreatifitas dan potensinya dibatasi oleh aturan, maka itu akan memicu stress dan membuat orang tersebut cenderung melawan peraturan.[291] Reaksi keras dalam melawan aturan menunjukkan bahwa aturan tersebut susah untuk dijalankan. Salah satu contoh aturan social yang salah adalah kebiasaan membunuh anak-anak perempuan di zaman jahiliyah sebelum kedatangan Islam yang mana Al Qur’an menjelaskan:

“Setiap kali mereka mendapatkan kabar bahwa anaknya adalah perempuan, muka mereka murung dan tidak rela; mereka pergi menyendiri dari kaumnya dan tidak tahu apakah mereka harus menerima keberadaan putri mereka disertai rasa hina, atau mengubur putri mereka hidup-hidup.”[292]

Sekelompok orang di masa itu, begitu mendengar istrinya akan melahirkan, mereka pergi dari rumahnya. Kemudian jika terdengar kabar bahwa anak mereka adalah laki-laki, mereka luar biasa gembira dan kembali ke rumahnya namun jika terdengar kabar bahwa bayinya adalah perempuan, mereka terpuruk dalam kesedihan.

Ayat-ayat Ilahi tidak menerima aturan-aturan manusia yang tidak fleksibel dan mengurung manusia pada jeruji kebatilan yang tak menambahkan apa-apa bagi manusia selain permasalahan itu sendiri, Al Qur’an menjelaskan tentang Rasulullah saw.:

“Sang nabi datang untuk mencabut aturan-aturan yang membuat manusia terbelenggu dan terjerat dalam kebatilan (yang disebabkan oleh kabodohan dan kejahilan manusia itu sendiri).”[293]

Ishr yakni ikatan atau mengikat dan mengurung sesuatu dengan paksa. Rasulullah saw. datang untuk mencabut ishr tersebut; yakni beliau datang untuk menghapuskan segala sesuatu yang menyebabkan manusia terperangkap dan terjerat dalam kebatilan.[294]

Islam, sebagaimana tersucikan dari bid’ah dan penyelewengan, juga kosong dari aturan-aturan yang mengandung kesusahan. Islam menghapuskan bid’ah-bid’ah umat Yahudi dan Nasrani.[295] Dengan dasar ini, kewajiban-kewajiban dalam Islam berdiri berdasarkan kemampuan manusia (Allah swt. tidak mewajibkan sesuatu yang melebihi batas kemampuannya).[296] Islam tidak menyukain segala bentuk kesusahan (dan agama tidak menjadikan kesusahan atas kalian). Agama Islam sama seperti ajaran suci pendahulu kita, nabi Ibrahim as.[297] yang menetapkan aturan sesuai dengan kemampuan. Karena Allah swt. mengingankan kebaikan dan kenyamanan untuk kalian, bukan kesusahan dan kepayahan kalian (Ia menginginkan kemudahan untuk kalian dan tidak menginginkan kesusahan).[298] Dengan penjelasan yang lebih luas dapat dikatakan bahwa ajaran-ajaran Islam diciptakan berdasar fitrah manusia oleh karena itu ajaran Islam itu mudah dan merupakan makanan bagi jiwa dan di saat-saat tertentu jika menjalankan aturan agama membawakan kesusahan bagi seorang hamba, maka Islam menggugurkan kewajiban itu dengan sendirinya, seperti tidak diwajibkannya berpuasa bagi orang yang sakit.[299]

D. Migrasi (perubahan lingkungan dan budaya)

Berpisah dari kampung halaman dan pindah ke lingkungan dan masyarakat baru yang berbeda budaya, bagi seseorang merupakan kondisi yang membawakan tekanan jiwa. Seseorang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan mudah jika ia tinggal bersama orang-orang yang sebangsa dengannya. Berdasarkan laporan penelitian sejak tahun 1977 hingga 1982, 51 orang yang kurang lebih berusia 33 tahun, kehilangan identitas dirinya dan selera budaya, dan bahkan ada yang meninggal dunia dalam keadaan tidur, karena mengalami tekanan jiwa yang bersumber dari migrasi dan perpindahan tempat.[300]

Al Quran begitu mementingkan keterikatan seseorang dengan kampung halamannya (wathan) sampai-sampai menjadikannya sebagai motivasi untuk berjihad. Islam membenarkan jihad yang salah satu alasannya adalah terusirnya suatu kaum dari tanah air dan tempat tinggalnya.[301]

Akan tetapi keterikatan diri pada tempat tinggal dan tanah air tidak bole membuat seorang Muslim rela dilemahkan dan dihinakan di dalamnya.[302] Al Qur’an juga memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman yang berhijrah meninggalkan tempat tinggalnya demi terjaganya agamanya dengan balasan duniawi (kemudahan urusan dan keluasan) dan juga ukhrawi.[303] Dasar dan landasan utama hijrah atau migrasi ke tempat lain, adalah terjaganya ajaran dan agama. Adapun menjaga diri, membebaskan diri dari kehinaan dan mencari keluasan, adalah alasan kedua.

Dalam Al Qur’an juga diceritakan tentang berhijrahnya sekelompok pemuda untuk menjaga agamanya dan berlindung di dalam goa.[304] Sebuah surah diturunkan kepada kita dengan nama Al Kahf khusus bercerita tentang mereka.

5. Politik

Salah satu faktor yang sepanjang sejarah selalu membuahkan stress bagi umat manusia adalah permasalahan-permasalahan politik. Haus dan lapar kekuasaan yang dirasakan oleh pemimpin-pemimpin politik yang tak dapat dikenyangkan sampai-sampai membuat manusia tidak dapat bernafas dan menjadi sebab merjalelanya kerusakan dan kemunkaran. Perang urat syaraf dan militer, krisis politik dan perekonomian, adalah kekacauan yang disebabkan sekelompok orang yang haus kekuasaan. Beberapa faktor pemacu stres di dunia politik yang dapat kita sebutkan di sini adalah:

A. Para ahli politik

Lapar dan haus kekuasaan tidak dapat dikenyangkan dan dipuaskan, dan orang-orang yang melangkahkan kakinya di jalan ini pasti merasakan tekanan jiwa, ketaktenangan, susah tidur, yang disebabkan oleh arus politik yang mengiming-imingi kekuasaan sekaligus menghantui akan kehancuran. Menurut penjelasan Stora, seorang politikus adalah lahan tumbuh suburnya serangan-serangan stres; malapetaka yang tidak dapat dihindari oleh siapapun yang berada di medan ini. Salah satu cara meredakan tekanan jiwa yang dialami oleh politikus adalah mencapai pos kekuasaan, namun seorang politikus tidak bisa menjadikan haus kekuasaannya sebagai alasan untuk menggapai kesehatan jiwa.[305]

Secara terpisah-pisah, Al Qur’an menjelaskan kisah para pemimpin zalim sebagai pemimpin politik yang tidak pernah kenyang kekuasaan dan memulai kerusakannya di muka bumi dengan menggantung orang-orang tak berdosa, menciptakan perpecahan di antara umat, menghinakan Bani Israil, dan lain sebagainya. Mereka membunuh kaum lelaki dari Bani Israil dan membiarkan kaum perempuan hidup untuk berkhidmat kepada mereka.[306] Al Qur’an menukil perkataan Ratu Balqis tentang bagaimana ia memandang para raja di waktu itu:

“Sesungguhnya para raja jika mereka memasuki suatu kota, mereka berbuat kerusakan di dalamnya dan menjadikan orang-orang yang dimuliakan di kota itu sebagai orang yang dihinakan.”[307]

Namun perlu diingatkan di sini bahwa tidak selamanya politik itu keji dan buruk, sebagaimana Ratu Balqis yang tunduk di hadapan nabi Sulaiman as. dan menyesali masa lalunya.[308]

B. Antara penguasa dan yang rela dikuasai

Salah satu faktor yang menimbulkan stres dan kesensitifan dalam kehidupan bermasyarakat, adalah perasaan tidak adil yang disebabkan oleh hubungan antara penguasa dan yang dikuasai. Memainkan kekuatan dengan sewena-wena adalah salah satu bentuk rasa cinta diri dan membuat seseorang yang ingin memuja dirinya membebankan masalah-masalah yang tidak dapat diterima kepada orang lain. Selye pernah bertanya kepada seorang laksamana diktator: “Apakah anda mempunyai sakit maag?” Laksamana menjawab: “Tidak, namun aku yang membuat orang lain menderita sakit maag.”[309] Memang salah satu penyakit bebuyutan para penguasa adalah memainkan kekuasaan dengan berlebihan dan sewena-wena dan umat manusia di sepanjang sejarah selalu mengalami derita karenanya. Al Qur’an menyebut orang-orang seperti itu dengan sebutan aimmatun nar (para pemimpin neraka).[310] Al Qur’an menjelaskan bahwa tujuan utama para penguasa zalim dalam kekuasaannya adalah mempengaruhi kaum yang dikuasainya agar patuh dan tunduk di hadapan mereka.[311] Oleh karena itu, mereka merusak ladang perkebunan, membantai keturunan,[312] membunuh kaum lelaki dan memperbudak kaum wanita.[313] Dalam ajaran Islam, sifat haus kekuasaan adalah sifat yang tercela, begitu juga sifat rela dikuasai.[314] Syi’ar Islam adalah la ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah swt.). Atas dasar itu, menyembah dan tunduk selain di hadapan Allah swt.—dengan segala bentuknya—adalah diharamkan dan balasannya adalah hukuman yang paling berat.[315] Dalam Islam segala bentuk kesombongan di muka bumi telah diharamkan:

“Dan janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan rasa angkuh dan sombong.”[316]

Dalam ayat lainnya kita membaca:

“Janganlah kalian palingkan wajah kalian dari orang lain dengan penuh rasa sombong.”[317]

C. Perang urat syaraf dan tersebarnya isu-isu

Propaganda-propaganda dan tersebarnya film-film yang berbau propaganda juga termasuk faktor pemacu stres dan tekanan jiwa. Di masa lalu salah satu cara menyebarkan isu-isu dan menciptakan ketakutan pada suatu kaum adalah dengan menciptakan perang urat syaraf. Biasanya hal-hal itu berbau hinaan; sebagai contoh, orang-orang musyrik menyebut iman terhadap ajaran-ajaran Ilahi sebagai sifat orang yang bodoh[318] atau mereka berbicara tentang kemalangan dan ketidak-mujuran yang disebabkan oleh keberadaan para nabi.[319] Al Qur’an bercerita tentang al murjifun (orang-orang yang menyebarkan berita bohong):

“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar. Dalam keadaan terlakna. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh sehebat-hebatnya. Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.”[320]

Rajf dari segi bahasa berarti getaran dan rasa takut yang sangat.[321] Dalam ayat di atas, orang-orang yang disebut murjifun itu diancam dengan kematian, karena dengan menyebarkan berita-berita bohong mereka telah menebarkan rasa takut dan kegelisahan dan ketidak amanan di tengah-tengah masyarakat. Lebih dari itu, membunuh murjifun adalah sunah Ilahi. Rasulullah saw. dan orang-orang yang beriman mau tidak mau harus menggunakan cara ini, karena mereka para penebar berita bohong adalah pelaku perang urat syaraf, yang dikarenakan tersembunyinya para pelaku dan tersebarnya isu bohong tersebut melalu teman-teman sendiri, sungguh berdampak sekali dalam menghancurkan pertahanan masyarakat dan membiarkan mereka beraksi seperti itu sama dengan membiarkan malapetaka terjadi.[322]

D. Krisis ekonomi dan politik

Pemenuhan kebutuhan hidup dan jaminan akan masa depan merupakan kebutuhan manusia yang berada di tingkatan pertama. Tidak diragukan upaya banyak orang dalam mendapatkan pekerjaan di instansi-instansi pemerintahan dan kesabaran mereka dengan pengasilan yang sedikit bertujuan agar hidup mereka di hari tua terjamin.[323]

Bagi mereka, krisis politik dan perekonomian yang dapat mengacaukan keamanan atau kelancaran kerja dan masa depan mereka, adalah pemicu stres yang luar biasa.

Dalam kisah nabi Musa as. disebutkan bahwa pada suatu hari beliau berada di kota Tursan dan sedang menunggu suatu kejadian. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki yang kemarin harinya telah meminta tolong padanya sedang berteriak dan meminta tolong. Nabi Musa as. berkata:

“Kamu benar-benar orang yang sesat!”

Ketika ia bersengketa dengan seseorang yang merupakan musuh keduanya, ia berkata:

“Hai Musa, sebagaimana engkau kemarin telah membunuh seseorang, hari ini engkau ingin membunuhku? Apakah engkau ingin menjadi orang yang lalim?”

Lalu seseorang datang dari arah yang jauh (di antara orang-orang Fir’aun) bergegas kepada nabi Musa as. dan berkata:

“Wahai Musa, mereka sedang berkumpul membicarakan rencana mereka untuk membunuhmu. Segera pergi tinggalkan kota ini! Aku benar-benar menginginkan kebaikan untukmu. Nabi Musa as. dalam keadaan takut dan setiap saat menunggu terjadinya suatu kejadian, pergi meninggalkan kota.”[324]

Dalam kisah ini digambarkan secara jelas krisis politik yang mengancam nabi Musa as. saat itu.

Contoh dari krisis ekonomi juga digambarkan di akhir kisah: nabi Musa as. berada di kota Madyan, sendirian dan tanpa perlindungan. Ia berlindung di bawah bayangan sebuah pohon dan berdoa kepada Allah swt.:

“Ya Allah, sungguh aku benar-benar membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan”[325]

Contoh yang lebih jelas lagi yang dapat menggambarkan krisis perekonomian dan tekanan jiwa yang ditimbulkan karenanya adalah kisah bepergiannya saudara-saudara nabi Yusuf di musip paceklik untuk mendapatkan bahan pangan. Dalam Al Qur’an kita membacanya begini: mereka masuk dan menemui Yusuf seraya berkata:

“Wahai orang yang mulia, kami dan keluarga kami sedang kesulitan karena musim paceklik ini dan kami membawa beberapa barang dagangan yang tidak terlalu bernilai. Namun kami berlindung dan pasrah pada kemuliaan dan kedermawaanmu dan kami mengharap engkau memenuhi kebutuhan kami. Kasihanilah kami dan berbaik hatilah. Karena Allah akan memberikan balasan yang baik pada orang-orang yang suka memberi.”

Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa saudara-saudara nabi Yusuf as. saat itu membawa sebuah surat yang ditulis oleh ayah mereka, nabi Ya’qub as., yang isinya adalah pujian akan kemuliaan dan keadilan kerjaan Mesir dan aduan akan kesusahan yang sedang menimpa mereka sekaligus rasa sedih karena kehilangan kedua anaknya, Yusuf dan Benyamin; oleh karena itu nabi Ya’qub as. memohon dibebaskannya Benyamin. Dalam surat tersebut nabi Ya’qub as. berkata: “Kami adalah keluarga yang tidak pernah mencuri atau melakukan hal-hal yang seperti itu.” Nabi Yusuf as. menangis begitu melihat tulisan tangan ayahnya. Saudara-saudara Yusuf merasa heran dan berkata dalam hati: “Jangan-jangan dia adalah Yusuf.” Lalu mereka bertanya: “Apakah engkau adalah Yusuf?”

Contoh lainnya adalah kebiasaan orang-orang Arab zaman jahiliyah dalam membunuh anak-anak mereka karena takut akan kefakiran. Allah swt. berfirman:

“Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian, Kami yang akan memberi rizki pada mereka dan juga kepada kalian.”[326]

Tekanan jiwa apa yang lebih hebat dari membunuh buah hati sendiri karena takut akan kefakiran atau menjual anak-anak sendiri hanya untuk mendapatkan sesuap makanan?

6. Kepribadian

Jenis kepribadian seseorang juga memiliki peranan dalam stres. Karena setiap orang akan menghadapi tekanan jiwa yang dialaminya sesuai dengan karakternya masing-masing. Dalam Al Qur’an disebutkan:

“Katakanlah bahwa tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya (prilaku dan kepribadiannya).”[327]

Kejiwaan seseorang dan kebiasaan-kebiasaan yang memiliki membuat setiap orang terikat pada suatu koridor yang disebut syakilah. Imam Ja’far Shadiq as. menafsirkan syakilah sebagai niat seseorang[328] yang menggambarkan kejiwaan dan kepribadian orang tersebut. Beberapa faktor pemacu stres yang berkaitan dengan karakter dan kepribadian seseorang adalah:

A. Pribadi tipe A dan tipe B

Pada sebagian orang, tipe kepribadian jenis A, yakni penyakit suka terburu-buru, dapat memacu stres dan tekanan jiwa. Dua orang ahli jantung yang bernama Friedman dan Rey Rezman, pada tahun 1974, berhasil menjelaskan adanya keterikatan antara tipe kepribadian seseorang dengan penyakit kejiwaan yang diakibatkan stres. Berdasarkan penelitian-penelitian mereka, orang-orang berusia 39 hingga 49 tahun yang memiliki kepribadian tipe A enam kali lipat lebih rentan terserang penyakit daripada mereka yang memilki pribadi tipe B. Kriteria-kriteria orang memiliki pribadi tipe A adalah:

1. Merasa waktu yang dimilikinya sangat sedikit: dengan tergesa-gesa berusaha sekuat tenanga untuk mengerjakan banyak pekerjaan dalam waktu yang amat singkat.

2. Agresif dan mudah marah: mereka sangat kompetitif, tidak pernah tenang, dan sangat menikmati aktifitas-aktifitas yang menyibukkan mereka. Api kemarahan dan emosi mereka mudah berkobar hanya dikarenakan masalah kecil.

3. Sibuk dengan dua pekerjaan atau lebih dalam satu waktu secara tidak tepat.

4. Mengejar tujuan tanpa perencanaan dan program yang benar: memutuskan segala sesuatu tidak berdasarkan perhitungan dan mudah menyatakan batas akhir waktu kerja tanpa melihat situasi dan kondisi.

Adapun pribadi tipe B, adalah kebalikan dari tipe A. Mereka selalu tenang dan jarang tergesa-gesa. Memiliki kecenderungan bersaing yang lebih rendah. Mereka lebih memahami nilai dan harga diri sendiri, melakukan segala pekerjaannya dengan perhitungan, perencanaan dan program yang benar.[329]

Akhir-akhirn ini banyak peneliti yang berkeyakinan bahwa orang yang hanya sekedar memiliki pribadi tipe A tanpa memiliki faktor-faktor buruk yang lain tidak akan menyebabkan permasalahan apa-apa.[330]

Al Qur’an memuji orang-orang yang bergegas melakukan amal baik dengan segera dan menyebut sifat tersebut sebagai sifat orang-orang yang saleh dan suci.[331] Dalam agama Islam, persaingan yang sehat adalah sifat mulia dan berharga dan menyebut as sabiqun (orang-orang yang terdahulu) dari Muhajirin dan Anshar yang termasuk al awwalun (lebih awal masuk Islam)[332] dengan sebutan muqarrabin (orang-orang yang dekat).[333] Persaingan dapat dikatakan sehat ketika syarat-syaratnya terpenuhi, dan jika tidak, persaingan seperti itu akan membawakan tekanan jiwa dan stress yang tak dapat dihindari. Sebagian dari syarat-syarat tersebut adalah:

1. Kesiapan

Buah dapat dipetik jika sudah saatnya. Kalau buah dipetik sebelum atau setelah waktu yang seharusnya, pasti akan menghasilkan kerugian. Realita ini harus difahami dan diterapkan pada segenap aspek kehidupan kita. Rasulullah saw. menerangkan aturan-aturan Allah kepada umatnya secara bertahap dan beliau selalu memperhatikan saat-saat yang tepat untuk menjalankan setiap misi dalam risalahnya. Ahlul Bait as. juga menasehati para pengikutnya untuk selalu memperhatikan prinsip yang banar dalam mengajarkan ajaran-ajaran agama kepada anak-anak mereka agar anak-anak tersebut menjadi terbiasa. Imam Shadiq as. berkata:

“Saat anak-anak kami berusia 7 tahun, kami memerintahkan mereka untuk berpuasa, namun saat tengah siang tiba, ketika mereka terlihat kelaparan dan kehausan, kami mempersilahkan mereka untuk berbuka.”[334]

2. Teratur dan memilih jalan keluar yang terbaik

Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan individu maupun bersama, pasti ada jalan keluar dan penyelesaiannya. Mengenai masalah ini Al Qur’an menyebutkan:

“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya.”[335]

Imam Muhammad Al Baqir as. berkata mengenai penafsiran ayat ini:

“Tidak baik dalam setiap pekerjaan jika kalian masuk pada selain pintunya. Jalan yang benar harus dilewati dalam segala hal.”[336]

Oleh karena itu, dalam setiap permasalahan kita harus mengambil keputusan dan jalan keluar yang terbaik, bukan sembarangan, karena kalau tidak yang terjadi hanyala semakin runyamnya permasalahan. Untuk menemukan jalan yang terbaik dan benar, kita harus meningkatkan kemahiran dan keahlian.

3. Menghindari sikap terburu-buru

Dalam Al Qur’an disebutkan:

“Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”[337]

Manusia cenderung terberu-buru dalam menggapai segala hal yang dapat menguntungkannya. Tanpa memperhatikan efek samping dan akibat perbuatan, manusia rela menjerumuskan dirinya di lubang yang dalam.

Imam Muhammad Al Baqir as. berkata:

“Kebanyakan orang telah dicelakakan oleh sifat tergesa-gesa mereka. Jika mereka selalu tenang, niscaya mereka tidak akan celaka.”[338]

Oleh karena itu, terburu-buru bukanlah jalan yang terbaik untuk mengejar sesuatu, meskipun pelakunya benar-benar faham dan mengerti apa yang sedang dilakukannya. Adapun orang yang mengejar tujuannya dengan tenang dan cermat, meskipun nampaknya tak akan membuatnya berhasil,[339] niscaya kelak akan sampai juga pada tujuannya. Rasulullah saw. bersabda:

“Perlahan (namun pasti) adalah dari Allah swt., sedang tergesa-gesa adalah dari syaitan.”[340]

“Ketergesa-gesaan akan membawakan penyesalan.”[341]

“Terburu-buru melakukan suatu pekerjaan sebelum tiba saatnya akan membawakan kesedihan.”[342]

Di sini kita dapat menambahkan ucapan suci Imam Ja’far Shadiq as.:

“Bergegas melakukan suatu pekerjaan dengan perlahan adalah keselamatan, adapun terburu-buru adalah penyesalan.”[343]

Al Qur’an telah menceritakan kisah persaingan tak sehat Habil dan Qabil. Dalam kisah tersebut, Qabil merasa iri dengan saudaranya karena amal perbuatannya tidak diterima Allah swt., oleh karenanya ia memusuhi Habil. Qabil yang seharusnya membenahi kesalahan-kesalahan yang membuat amalnya tidak diterima, justru membunuh saudaranya sendiri. Sebelum Habil dibunuh, saat ia mendengar ancaman saudaranya, ia berkata kepada Qabil:

“Sungguh jika kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu.”[344]

Dalam peperangan, Imam Ali as. juga memerintahkan para pengikutnya untuk tidak tergesa-gesa:

“Janganlah kalian memulai memerangi dan membunuh kecuali jika mereka yang memulainya terlebih dahulu.”[345]

Contoh lain persaingan yang tidak sehat dalam Al Qur’an adalah kisah Iblis. Iblis telah beribadah kepada Allah swt. selama enam ribu tahun dan berada di barisan malaikat. Namun setelah itu derajatnya diturunkan karena rasa irinya dan ucapan kesombongannya: “Engkau telah menciptakan aku dari api sedang ia dari tanah.” Iblis seharusnya menyesali perbuatannya, justru ia semakin menjadi dan meminta Allah swt. untuk diberi kesempatan hingga akhir hari kiamat untuk menggoda umat manusia dan melencengkan mereka dari jalan yang benar sebagai balas dendam.[346]

B. Pribadi yang selalu pesimis

Orang yang selalu berpandangan negatif dan pesimis, karena ia menganggap kebanyakan orang dan kehidupan ini sebagai sesuatu yang buruk, segala tekanan hidup yang ia rasakan benar-benar terasa sangat menyiksa baginya. Saat ia berhadapan dengan kesusahan, ia berputus asa; “Jika ia ditimpa kesusahan, ia beputus asa.”[347] Allah swt. berfirman:

“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah berbuat keterlaluan pada dirinya sendiri agar tidak berputus asa akan rahmat-Ku.”[348]

Orang yang beriman tidak akan pernah berputus asa akan rahmat dan pertolongan Allah swt. saat mereka sedang ditimpa musibah dan kesulitan. Bahkan di saat-saat seperti itu iman mereka menjadi lebih kuat.[349] Adapun orang-orang yang imannya lemah, hanya karena kehilangan nikmat yang diberikan oleh Allah swt., mereka berputus asa dan mengkufuri.[350] Orang-orang kafir dan munafik ketika diuji oleh Allah swt. merasa ketakutan karena kekafiran dan kemunafikan diri mereka,[351] tanpa terkendali mereka berteriak-teriak dan saling menyalahkan satu sama lain, seakan-akan mereka tertimpa masalah sebesar gunung-gunung.

“Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka.”[352]

Sedangkan jika seseorang berbaik sangka, maka pasti hatinya akan tenang dan agamanya akan terjaga[353] serta kesedihannya akan lenyap.[354]

Imam Ali as. berkata:

“Anggaplah apa yang telah dilakukan oleh saudara seimanmu sebagai suatu yang baik kecuali sampai terbukti bahwa itu buruk.”[355]

Beliau menjelaskan alasan mengapa beliau memberikan nasehat seperti ini:

“Orang yang selalu berburuk sangka, tidak akan ada perdamaian dan ketentraman antara dia dan teman-temannya.”[356]

“Barang siapa tidak selalu berbaik sangka, niscaya akan merasa takut pada siapa saja.”[357]

Adapun mengapa orang-orang yang pesimis akan takut pada setiap orang, Imam Ali as. menjelaskan alasannya:

“Orang yang selalu berburuk sangka pada sesamanya, tidak akan memandang orang lain sebagai orang yang baik, karena pada hakikatnya ia sedang bercermin dan melihat dirinya sendiri.”[358]

Oleh karena itulah Al Qur’an menyarankan orang-orang yang beriman untuk tidak terlalu banyak mengira dan berprasangka:

“Jauhilah kebanyakan dari sangkaan-sangkaan.”[359]

C. Waswas dan keraguan

Waswas, adalah berperasaan yang macam-macam secara tidak sadar. Orang-orang yang menderita penyakit ini, mungkin saja mereka sadar akan penyakit yang sedang diderita,[360] namun mereka tidak mampu meninggalkan kebiasan buruk tersebut. Mereka terlalu berlebihan dalam memperhatikan kebersihan diri dan segala sesuatu di sekitarnya, dan selalu waspada agar tidak ada kotoran yang menempel pada badan dan pakaian mreka. Orang-orang seperti itu meskipun kelihatannya berwibawa, tenang, tidak terlalu banyak tingkah, namun pada kenyataanya tidak begitu; dalam hatinya selalu ada sesuatu yang mengganjal dan mendesak.[361]

Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa was-was berakar pada kekuatan tak terlihat yang disebut syaitan:

“Katakanlah aku berlindung pada Allah, Tuhan manusia… dari gangguan was-was syaitan Khannas, yang selalu membisikkan keraguan dan was-was pada hati manusia, dan juga (aku berlindung pada Allah) dari gangguan jin dan manusia.”[362]

Imam Ali as. berkata tentang Khannas:

“Pekerjaan mereka adalah menyamarkan antara kebenaran dan kebatilan. Mereka menguasai para wali Allah swt. dengan cara mengambil sebagian dari kebenaran dan sebagian dari kebatilan.”[363]

Berdasarkan riwayat-riwayat Islami, kita harus berlindung pada Allah swt. agar tidak menjadi orang yang was-was. Penyakit ini, jika masih belum parah, dapat dengan mudah diobati,[364] namun jika telah parah, penyakit itu akan mengganggu ketenangan penderitanya dan menciptakan semacam kegilaan pada dirinya.

Abdullah bin Sinan, mengenai seseorang yang menderita penyakit ini berkata: “Orang ini sepertinya adalah orang yang berakal.” Lalu Imam Shadiq as. berkata:

“Akal yang mana? Sedangkan ia selalu menaati syaitan.”[365]

Riwayat di atas menunjukkan bahwa orang-orang yang menderita penyakit was-was mengalami masalah dalam berfikir dan pemahaman. Oleh karena itu mereka meninggalkan hukum-hukum syariat dan membiarkan diri sendiri terjerumus dalam kesusahan.

D. Kebimbangan dan kemunafkan (memiliki dua hati)

Ketika keraguan menimpa orang yang ingin mengambil keputusan dalam perkara penting hidupnya, seperti pernikahan, pekerjaan, jurusan kuliah, hal itu dapat membuatnya tertekan dan stres. Kebimbangan dan keraguan adalah sebab berbagai macam penyakit kejiwaan dan akarnya adalah perasaan kurang dan sifat suka mengikuti.

Masalah kebimbangan ada kaitannya dengan kemunafikan (memiliki dua hati) yang mana Al Qur’an memandang masalah ini dengan dua kedua sudut pandang di atas. Kebimbangan dan kemunafikan adalah dua fenomena yang memiliki akar berbeda, meskipun keduanya kebanyakan memiliki perwujudan yang sama dan kita dapat menggunakan ayat-ayat Qur’an tentang kemunafikan dalam pembahasan ini, karena kemunafikan, memiliki dua hati dan kebimbangan penyebabnya adalah satu: tidak sampainya seseorang kepada keyakinan. Al Qur’an menjelaskan tentang orang-orang munafik:

“Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali bila hati meeka telah hancur.”[366]

Tentang orang-orang yang tak mau berperang di perang Badar, Al Qur’an menjelaskan:

“Dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguaannya.”[367]

Manusia yang memiliki dua hati seringkali menipu Tuhannya dan beribadah dengan niat ingin mendapatkan pujian orang lain dan berdasarkan kemalasan. Orang yang memiliki dua hati, memiliki penampilan dan lidah yang baik. Namun setiap saat mereka mendengar suara apa saja, mereka mengira itu membahayakn diri mereka.[368] Saat gendering perang dibunyikan, mereka begitu ketakutan seakan mereka tak mau berada di situ. Sebabnya jelas sekali, mereka tidak memiliki sandaran ruhani yang jelas dan selalu kehilangan kontrol saat menghadapi berbagai permasalahan, seakan-akan nyawa mereka sedang dicabut.[369] Orang-orang munafik selalu membenci orang yang beriman. Ketika mereka berada bersama orang-orang yang beriman, mereka menampakkan keimanannya, namun ketika mereka telah berada dalam kesendiriannya, mereka berlawanan dengan kaum mukminin. Jika orang-orang yang beriman mendapatkan kebahagiaan, mereka menggerutu di dalam hati dan jika keburukan menimpa orang-orang yang beriman, mereka bersenang hati.[370]

7. Rasa kehampaan moral

Salah satu kriteria yang dimiliki manusia dan berbeda dengan hewan-hewan adalah, ketika seorang manusia telah berbuat salah atau ketinggalan kesempatan berharga, mereka menyesal. Dalam keadaan seperti ini manusia merasakan penyesalan, dan terkadang justru membuat mereka hasud, dan terkadang pula mereka merasa pribadi mereka sedang berada dalam kehancuran. Masalah-maslah ini adalah faktor tekanan jiwa dan terkadang menjadi faktor perbuatan jahat seperti pembunuhan. Perasaan tersebut akan muncul di saat-saat seperti:

A. Mengingat hal yang tak menyenangkan (nafsul lawwamah)

Pengalaman pahit yang tersimpan di memori meski terkesan mudah dilupakan, namun pada hakikatnya terus menerus terpendam dalam hati. Masa lalu yang telah lenyap, tiba-tiba muncul seketika di saat ini. Kebanyakan orang mengira banyak sekali hal yang telah ia lupakan, padahal memori-memori itu bisa datang begitu saja dan bagaikan angina topan membuat ketenangannya hancur. Para penulis dan penyair adalah orang-orang pertama yang menyingkap masalah ini. Masa lalu yang telah tersimpan dalam ingatan bawah sadar, lama kelamaan semakin menumpuk dan secara tidak disadari akan mengarahkan pola pikir seseorang ke arah-arah tertentu.

Al Qur’an memberikan berbagai contoh berkenaan dengan masalah ini. Dalam contoh-contoh tersebut, manusia setelah menyadari kesalahannya di masa lalu dan padamnya api amarah dan syahwatnya, menghadapi topan yang dahsyat. Salah satu contoh itu adalah penyesalan yang dirasakan Qabil yang telah membunuh Habil. Qabil tiba-tiba menyadari betapa celakanya ia saat melihat tubuh saudaranya yang tergeletak tak bernyawa lagi; “Maka ia menjadi golongan orang-orang yang menyesal.”

Kriteria nafsul lawwamah adalah penyesalan pada manusia. Al Qur’an menggambarkan keadaan tiga orang penyeleweng di perang Tabuhk seperti ini:

“Bumi yang begitu luasnya bagi mereka seperti menjadi sempit dan mereka marsakan kesesakan pada dirinya.”[371]

Dalam Al Qur’an sering disebutkan penyesalan-penyesalan umat para nabi-nabi akan keburukan mereka di masa lampau; sebagai contoh, ada baiknya jika kita merujuk kembali pada kisah nabi Yusuf as. dan saudara-saudaranya.

B. Perasaan berdosa

Dalam ilmu psikologi, maksud dari merasa berdosa adalah perasaan sakit karena kesalahan dan dosa yang padahal tidak pernah dilakukannya. Perasaan seperti ini termasuk penyakit kejiwaan yang mana Islam juga memberikan perhatian khusus padanya. Namun perlu disadari bahwa para psikolog berlebihan dalam menafsirkan fenomena ini dan mereka tidak memisahkan antara perasaan dosa yang positif dengan yang negatif.

Dalam agama Islam, seorang manusia jika merasakan dengan hatinya bahwa ia memiliki dosa yang besar dan menyesali semua itu serta berusaha untuk membayar kesalahan-kesalahannya, maka sifat seperti itu merupakan sifat yang baik. Rasulullah saw. bersabda:

“Seorang yang beriman merasa dosanya sebesar gunung yang membebani dadanya, tapi orang yang fasik merasa seakan hanya seekor nyamuk yang telah lewat dari hadapan wajahnya.”[372]

Dalam Al Qur’an, setelah berkali-kali disebutkan sumpah-sumpah, dijelaskan bahwa:

“Sumpah demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”[373]

Dalam ayat lainnya disebutkan:

“Allah memebrikan petunjuk kepada keburukan dan kebaikan.”[374]

Sebagian ahli tafsir menjelaskan:

“Maksud dari memberikan petunjuk kepada keburukan dan kebaikan adalah isyarah akan terciptanya pemahaman fitri yang telah ditanamkan dalam diri manusia yang mana dengan pemahaman itu manusia mengerti mana yang biak dan mana yang buruk. Oleh karena itu manusia selalu merasa tidak suka dan dosa akan perbuatan buruk.”[375]

C. Hasud

Sebagian dari penyakit-penyakit kejiwaan-akhlaki dalam hidup manusia memiliki peranan yang sangat mendasar. Hasud adalah salah satu dari penyakit-penyakit tersebut. Kita dapat memperhatikan sifat hasud dalam kisah nabi Ya’qub as. dan kesusahan yang menimpa keluarganya. Nabi Ya’qub as. dengan perkiraannya mengerti akan rasa hasud yang dilmiliki saudara-saudara nabi Yusuf as. Oleh karena itu ia berkata kepada anaknya: “Janganlah kau ceritakan mimpimu ini kepada saudara-saudaramu.” Diceburkannya nabi Yusuf as. kedalam sumur, dijualnya beliau dengan harga yang tak seberapa, ditawannya beliau, tinggalnya beliau di penjara, butanya nabi Ya’qub as., semua itu adalah dampak rasa hasud. Begitu juga dengan tekanan-tekanan sosial, politik dan kekeluargaan yang berakar pada rasa hasud. Contoh lain tentang hasud dalam Al Qur’an adalah rasa hasud yang dimiliki oleh Iblis terhadap nabi Adam as. lalu diturunnkannya ia dari sorga lalu ia mendapatkan laknat dari Tuhan hingga hari kiamat.[376] Oleh karena itu Al Qur’an memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berlindung kepada Allah swt. dari gangguan orang-orang yang hasud.[377]

D. Tuduhan bohong

Salah satu faktor tekanan jiwa adalah tuduhan bohong yang membuat jiwa manusia lemah karena kepribadian orang yang dituduh menjadi tercoreng. Orang-orang kafir dan munafik selalu berbuat seperti ini terhadap para nabi. Al Qur’an memerintahkan sang nabi untuk bersabar akan ulah orang-orang kafir yang suka menuduh:

“Bersabarlah atas apa yang mereka katakan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”[378]

Al Qur’an mengingatkan bahwa menuduh para nabi adalah perbuatan seluruh kaum kafir dan munafik sepanjang sejarah dan semua para nabi sejak awal telah dituduh sebagai penyihir dan orang gila.[379]

Kita dapat menyaksikan dampak tuduhan dan tekanan jiwa yang dirasakan oleh Sayidah Maryam as. saat ia melahirkan kandungannya. Saat itu ia berkata:

“Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.”[380]

Memang memhon kematian bukan perbuatan yang benar, namun di saat-saat tertentu saat suatu peristiwa buruk menimpa manusia, segala harapan dan tujuan-tujuan mulianya tersapu angin begitu saja. Sayidah Maryam as. lebih mencintai kesucian dirinya dari pada kehidupannya dan kehormatan baginya adalah segala-galanya. Oleh karena itu ia memohon kematian dari Allah swt.[381] Dengan demikian dalam ayat di atas kita dapat memahami bagaimana dampak tuduhan dan tekanan jiwa yang dihasilkan karenanya.

Ternyat fitnah dan menuduh itu adalah dosa besar yang sulit dimaafkan. Imam Shadiq as. berkata bahwa Allah swt. berfirman:

“Barang siapa menyakiti hamba-Ku yang beriman, berarti ia telah mengajak-Ku berperang dengannya.”[382]

Betapa berat dosa ini sehingga Allah swt. berfirman sedemikian rupa.

8. Rasa kehampaan spiritual

Peradaban manusia saat ini sampai pada suatu titik dimana selain terlihat kemajuan di bidang tekhnologi namun juga terlihat semakin tingginya tingkat stres pada penduduknya. Rasa kehampaan spiritual adalah salah satu faktor penting fenomena ini. Manusia di alam yang serba luas ini menderita karena tidak memiliki tujuan dan tumpuan. Di antara bentuk-bentuk rasa kehampaan spiritual ini adalah:

A. Hampanya jati diri

Berdasarkan hasil pooling yang diadakan Syura Pendidikan Amerika, 68/8 persen penduduk Amerika berpendapat bahwa menggapai falsafah kehidupan yang bermakna adalah tujuan yang paling tinggi. Berdasarkan pooling lainnya, sebanyak 78 persen mahasiswa menyatakan bahwa memahami arti hidup adalah tujuan utama mereka. Berdasarkan penelitian Universitas Idaho, 51 dari 60 mahasiswa yang nekat melakukan aksi bunuh diri, alasan mereka adalah karena mereka menganggap hidup ini tidak memilik arti apa-apa. Padahal di antara ke-51 mahasiswa tersebut ada 48 mahasiswa yang benar-benar sehat secara fisik dan aktif dalam kegiatan kuliah.[383]

Kehampaan jatidiri berakar pada beberapa masalah: manusia tidak seperti hewan yang jalan hidupnya ditunjukkan oleh insting dan nalurinya. Berbeda dengan manusia-manusia yang hidup di masa lalu, kini maunusia enggan berprilaku sesuai dengan tradisi dan nilai-nilai. Oleh karena itu, ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat, apakah mengikuti jejak langkah orang lain dan bergabung bersama kumpulan sesamanya, ataukah harus berjalan sendiri dan hanya melakukan apa-apa yang diinginkan oleh orang lain saja.[384] Al Qur’an menerangkan sifat ini kepada kita melalui kisah-kisah dan tamsil-tamsilnya tentang kaum kafir dalam berbagai ayat dan surah. Terkadang Al Qur’an mengibaratkan amal orang-orang kafir bagai abu yang beterbangan ditiup angin kencang, angin yang melenyapkan segala amal amal baik mereka sampai tidak ada yang tersisa.[385] Dalam surah An Nur amal perbuatan mereka diibaratkan sebagai fatamorgana, yang mana orang-orang yang kehausan mengiranya sebagai lautan air namun saat mereka mendekat ternyata tidak ada apa-apa.[386] Al Qur’an juga mengibaratkannya sebagai gelapnya kedalaman laut, yang dipermukaannya terdapat ombak keraguan, kebodohan dan amal buruk yang berkecamuk, lalu langit di atasnya pun tertutupi oleh awan hitam kekufuran yang pekat, sehingga saat tangannya dikedepankan, sama sekali tidak dapat terlihat.[387] Dalam surah Al Ankabut, tidak menentunya pribadi orang-orang munafik diibaratkan sebagai sarang laba-laba. Prilaku mereka tidak menghasilkan apa-apa selain kecelakaan bagi diri mereka sendiri.[388] Adapun penyelesaian dan jalan terbaik untuk keluar dari masalah ini adalah kembali pada keyakinan terhadap hari penciptaan dan hari kebangkitan. Selama problema ini belum terselesaikan, tidak akan ada yang dapat terlihat oleh mata selain fatamorgana.

Al Qur’an menganggap orang-orang munafik sebagai orang kafir. Meskipun mereka mengaku beriman, namun kebalikannya yang ada di hatinya. Karena dasar pemikiran mereka adalah keraguan, sama seperti dasar pemikiran orang-orang kafir yang kosong akan kebenaran. Dari segi kejiwaan, orang munafik sama seperti orang kafir, keduanya tidak memiliki jatidiri yang baik.

B. Merasa sendiri dan terusir

Al Qur’an menyebutkan bahwa salah satu sebab tekanan jiwa adalah keterusiran. Dampak rasa keterusiran ini nampak dengan nyata dalam kisah nabi Yusuf as. dan saudara-saudaranya. Alasan perbuatan keji mereka terhadap nabi Yusuf as. adalah kecintaan ayah mereka kepadanya.[389] Jadi, selain rasa iri dengki, mereka juga merasa terusir dari kasih sayang ayah mereka dan mengira hanya nabi Yusuf as. saja yang dicintai; oleh karena itu mereka bertekat untuk membunuh saudara sendiri.

Ketika seorang manusia merasa menginginkan seorang anak, Al Qur’an menjelaskan bahwa keinginan tersebut ada kaitannya dengan rasa kesendirian dan keterusiran. Sering kali orang yang hidupnya sederhana dan memiliki rumah yang biasa-biasa saja namun dikaruniai anak-anak yang sehat tetap merasa bahagia. Namun apabila seseorang tidak memliki anak sebagaimana yang diinginkannya, meskipun kehidupannya penuh dengan kecukupan dan kemewahan, mereka merasa ada yang kurang, bagi mereka itu adalah suatu tekanan jiwa. Oleh karena itu, dalam Al Qur’an kita membaca bahwa meskipun seorang nabi, jika ia diuji dengan tidak dikaruniai seorang anak, mereka memohon dengan sangat agar tidak mati tanpa diberi keturunan dan pewaris.

Nabi Zakariya as. memohon kepada Allah swt. agar ia tidak sendirian:

“Dan Zakariya berdoa kepada Tuhannya: “Ya Tuhanku, janganlah Kau biarkan aku sendiri, sungguh Engkau sebaik-baiknya pewaris.”[390]

Dalam ayat-ayat lainnya, saat Allah swt. mengaruniai hambanya seorang anak, Ia menyebutnya sebagai berita gembira, yang mana hal ini menunjukkan bahwa dengan dikaruniai seorang anak, kesedihan yang dirasakn oleh seorang hamba tercabut dari hatinya.[391] Contoh lainnya adalah kisah nabi Ibrahim as. dan istrinya, Sarah. Contoh lain dari rasa keterasingan dan kesendirian adalah kisah kesedihan nabi Ya’qub as. yang ditinggal oleh anaknya hingga matanya sampai buta karena banyak menangis.[392]

C. Tiadanya sandaran dan tumpuan (lemahnya iman)

Menurut Al Qur’an, salah satu penyebab tekanan jiwa adalah tidak dimilikinya sandaran dan tumpuan spiritual, karena saat seseorang melupakan Tuhannya, hidupnya di dunia pun menjadi sukar baginya:

“Dan barang siapa enggan mengingat-Ku, maka ia akan mendapatkan kehidupan yang susah.”[393]

Seseorang yang tidak memiliki sandaran jiwa, ia tidak akan menemukan rasa cukup (qana’ah) yang menjadi makanan bagi ruhnya, ia juga tidak akan mendapatkan kekuatan ruhani yang dapat menjaganya dari gejolak nafsu dan syahwatnya, dan ia tidak akan menemukan harapan yang dapat mengarahkannya ke masa depan yang baik. Orang yang telah melupakan Tuhannya, harapan-harapannya hanya terbatas pada dunia saja. Padahal dunia dan seluruh isinya yang materi ini tidak akan bisa menyirami dahaga yang dirasakan jiwa. Orang seperti ini selamanya berada dalam kefakiran spiritual dan di dalam hatinya selalu terbayang hal-hal yang tidak mungkin ia dapatkan. Mereka selalu dalam buaian angan-angan yang tak tercapai dan kekhawatiran akan sirnanya kesenangan-kesenangan yang ia miliki. Masyarakat yang hampa akan iman, setiap orang saling takut akan sesamanya, mereka tidak saling mempercayai dan segala urusan hanya bertumpu pada keuntungan-keuntungan pribadi. Al Qur’an berkata tentang orang-orang yang tidak memiliki sandaran iman dalam hatinya:

“Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.”[394]

Orang-orang yang menjadikan kebiasan jahiliahnya sebagai aturan kehidupan, bagaikan tawanan-tawanan yang dirantai dan lehernya tergantung serta kepanya tertengadah melihat ke atas sehingga tidak dapat melihat apa yang ada di samping dan sekitarnya. Dan lebih dari itu, di hadapan dan belakang mereka terdapat dinding-dinding yang tinggi. Tidak hanya berada dalam kesusahan saja, bahkan mata mereka tidak dapat melihat kubangan-kubangan yang ada di jalannya.[395] Dengan penjelasan lain, mereka tidak mendapatkan hidayah fitri dan juga tidak mendapatkan hidayah nadzari;[396] mereka tidak mendapatkan kebahagiaan di akherat, dan tidak pula mendapatkan kebahagiaan di dunia;[397] mereka tidak berhasil dalam sair afaq (perjalanan menuju ke atas) dan juga tidak berhasil dalam sair anfus (perjalanan jiwa).

D. Khurafat dan kepercayaan-kepercayaan batil

Khurafat dan adat istiadat jahiliah juga merupakan faktor terwujudnya tekanan jiwa bagi manusia. Kebiasan membunuh anak-anak perempuan di zaman jahiliyah adalah salah satu contoh yang nyata dan jelas.

Dalam Al Qur’an, begini Allah swt. menggambarkan wajah orang-orang di zaman itu saat mendengar bayi mereka yang terlahir adalah perempuan:

“Setiap kali mereka mendapatkan kabar bahwa anaknya adalah perempuan, muka mereka murung dan tidak rela; mereka pergi menyendiri dari kaumnya dan tidak tahu apakah mereka harus menerima keberadaan putri mereka disertai rasa hina, atau mengubur putri mereka hidup-hidup.”[398]

Ayat di atas menjelaskan bagaimana tekanan jiwa yang ditimbulkan oleh adat istiadat yang salah di zaman jahiliah. Orang-orang Arab jahiliah saat itu berada dalam tekanan jiwa dari segala arah: kefanatikan pada adat jahiliah dalam membunuh anak-anak perempuan, keinginan memiliki anak,, pertentangan antara kecintaan seorang ayah dan pembunuhan anak, dan lain sebagainya.

10. Keyakinan-keyakinan agama

Keyakian dan kepercayaan agama memiliki peranan penting dalam mengurangi tekanan jiwa. Sebagian dari jalan keluar permasalahan yang ditawarkan oleh kepercayaan dan keyakinan agama tersebut adalah:

A. Tekanan tanggung jawab dan kewajiban

Berdasarkan ajaran agama, manusia bertanggung jawab atas amal perbuatannya. Imam Ali as. berkata:

“Kalian semua bertanggung jawab dan akan ditanya meski tentang apa yang kalian lakukan terhadap tanah dan hewan-hewan ternak.”[399]

Namun tanggung jawab setiap orang tidaklah sama. Karena ada beberapa tanggung jawab yang berat, seperti risalah kenabian:

“Kami akan menimpakan kepadamu perkataan (tanggung jawab) yang berat.”[400]

Allamah Thabathabai dalam penafsiran ayat ini menjelaskan:

“Perkataan yang berat yang dimaksud dalam ayat itu adalah perkataan yang susah dimengerti dan diterima oleh manusia, atau suatu amal dan tugas yang berat untuk dikerjakan. Al Qur’an adalah berat dalam kedua makna di atas; beratnya Al Qur’an dari segi perkataan adalah karena ia diturunkan dari sisi Allah yang memiliki dhahir dan batin yang tidak akan dapat dimengerti kecuali oleh orang-orang yang tersucikan. Dari segi amal dan tugas, jelas sekali Al Qur’an juga berat. Betapa banyak derita, kesusahan, hijrah, peperangan dan segala kesusahan lainnya yang harus ditanggung oleh Rasulullah saw. hanya untuk menjalankan ayat-ayatnya. Jelas sekali beban seperti ini tidak mungkin bisa ditanggung oleh orang-orang munafik dan mereka yang hatinya sakit.[401] Terkadang tanggung jawab yang berat seperti ini tidak dapat ditanggung oleh seorang manusia dengan sendirinya, seperti risalah nabi Musa as. yang mana untuk menanggungnya beliau memohon kepada Allah swt. untuk menjadikan nabi Harun as. sebagai pembantunya.”[402]

Salah satu tanggung jawab dan tugas yang memicu tekanan jiwa adalah memberikan hidayah kepada umat manusia. Nabi adalah orang yang bersedia untuk meneguk cawan ujian dan kepedihan cobaan. Tugas mereka adalah tugas yang tidak dapat diemban orang biasa. Al Marhum Thabrasi dalam Majma’ul Bayan menukil sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Surah Hud adalah surah yang membuatku menjadi tua (merasa berat) karena di dalamnya ada ayat yang berbunyi: “Bersabar dan bertahanlah sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu dan orang-orang yang sabar bersamamu.”[403] Rasa tersebut berakar pada tidak sabarnya umat Rasulullah saw.

Khusus bagi orang-orang yang spesial bagi Allah swt., Ia memberikan tugas dan tanggung jawab yang berat. Nabi Ibrahim as. mencapai kedudukan tertingginya setelah melewati berbagai ujian dan cobaan. Ujian-ujian tersebut diantaranya adalah: merobohkan berhala, dibakar di dalam api, meninggalkan istri muda dan anaknya di padang tandus Makkah serta membawa anaknya, Ismail as. ke tempat penyembelihan.[404]

Contoh lainnya adalah tugas berjihad melawan kaum kafir. Al Qur’an menggambarkan keadaan Muslimin di perang Ahzab:

“Dan ingatlah ketika mereka datang pada kalian dari arah atas dan dari bawah, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan dan hati kalian naik menyesak sampai ketenggorokan dan kalian menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam prasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan hatinya dengan goncangan yang sangat.”[405]

B. Takut akan kematian

Kematian adalah fenomena pahit yang membawakan tekanan kejiwaan. Tekanan tersebut dikarenakan beberapa hal berikut ini:

1. Kebanyakan kita sejak kecil melihat kematian sebagai fenomena yang penuh dengan rasa sakit, luka, dan hancurnya tubuh. Berdasarkan kaidah classical conditioning dalam ilmu psikologi, mengingat kematian membuat seseorang membayangkan bayangan-bayangan seperti ini dan membuatnya takut serta gelisah.

2. Kematian menyebabkan perpisahan dari orang-orang yang dicintai dan luka yang tersayat karena peristiwa ini sangat sulit diobati. Oleh karena itu kematian sangat dikhawatirkan terjadi.

3. Kita keseringan menganggap kematian sebagai kesirnaan. Hal ini bertentangan dengan naluri manusia yang terdorong untuk hidup lama dan abadi. Oleh karena itu tercipta daya tolak dalam diri manusia akan kematian.[406]

Dalam pandangan Al Qur’an, kematian adalah perkara alamiah dan umum, namun kematian itu bukanlah kesirnaan. Dalam pandangan Al Qur’an dan riwayat, kematian adalah kelahiran baru dan perpindahan alam menuju alam lain.[407] Imam Sajjad as. menggambarkan kematian seperti ini:

“Kematian bagi orang yang beriman adalah menanggalkan pakaian yang telah kotor dan mengenakan pakaian baru. Namun bagi orang kafir kematian adalah menanggalkan pakaian yang mewah untuk mengenakan pakaian yang kumal dan kotor.”[408]

Di hari Asyura, Imam Husain as. berkata kepada para sahabatnya:

“Kematian hanya sebuah jemkbatan yang akan menghantarkan kalian dari kesusahan dan penderitaan (menuju taman-taman indah di sorga).”

Beliau juga menukil perkatan Rasulullah saw.:

“Dunia adalah penjara bagi orang yang beriman dan sorga bagi orang kafir. Kematian adalah jembatan bagi mereka menuju taman-taman sorga dan bagi orang kafir adalah jembatan menuju neraka.”[409]

Di hadapan kematian, manusia terbagi menjadi beberapa kelompok:

1. Orang-orang yang lari dan takut

Orang-orang yang mengingkari adanya hari kebangkitan berada pada kelompok ini. Saat kematian tiba menghampiri mereka, mata sebagian dari mereka terbuka lebar,[410] mereka baru menyadari hakikat yang sebenarnya lalu mereka memohon kepada Tuhan agar mereka dikembalikan ke dunia, barangkali ia dapat memperbaiki amal perbuatannya, namun permintaanmereka tidak dikabulkan.[411]

2. Orang-orang beriman yang memiliki amal buruk

Mereka adalah orang yang beriman namun mereka sedikit melakukan amal kebajikan dan tidak mementingkan bekal perjalanan untuk akherat mereka. Karena amal perbuatan buruk itu, mereka berhadapan dengan sakaratul maut. Al Qur’an menyebut tekanan jiwa yang disebabkan oleh rasa takut akan kematian dengan sebutan ghamaratul maut[412] dan sakaratul maut.[413] Dalam keadaan ini seorang manusia seperti orang yang sedang mabuk. Imam Shadiq as. menjelaskan sakaratul maut dalam sebuah riwayat:

“Ikatan antar ruh dan badan yang telah berlangsung dengan lama membuat manusia luar biasa kesakitan dan menderita saat ruh tersebut dicabut dari badannya.”[414]

Imam Ali as. juga pernah menggambarkan bagaimana sakaratul maut:

“Sakaratul maut menyerang mereka bersamaan dengan rasa sayang mereka karena harus meninggalkan segala yang pernah dimiliki. Anggota tubuh mereka menjadi lemah dan lemas, wajah mereka pucat. Sedikit demi sedikit kematian merenggut nyawa mereka, mereka tidak dapat menggerakan lidahnya. Meski ia berada di tengah-tengah keluarga sendiri, meski matanya melihat, telinganya mendengar, dan pikiran yang sadar, ia tidak mampu berbicara. Saat itu juga ia merenungi untuk apa sajakah ia telah menghabiskan umurnya dan bagiamana ia telah menjalani hari-harinya.”[415]

Al Qur’an menjelaskan keadaan mereka saat malaikat maut sedang mencabut nyawa:

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat…”[416]

Dan keluarganya bertanya siapakah yang bisa menyelamatkan orang sakit ini dari kematian? Sedang ia yakin kematian akan merenggutnya. Lalu bedempetan betis kiri dan kanannya karena dahsyatnya sakaratul maut dan kesedihan karena harus berpisa dari dunia.[417]

Ketika ruh telah sampai pada kerongkongan, semua orang yang ada di sekitarnya gelisah dan ketakutan dan bingung mencari jalan kesembuhan untuknya. Namun siapa kah yang dapat menyelamatkan seseorang dari maut? Pada saati itulah harapan untuk hidup menjadi sirna.

3. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh

Mereka menghadapi maut dengan penuh ketenangan (nafs muthmainnah) dan dalam keadaan rela dan diridhai (radhiyatan mardhiya)[418] menghadap ke hadirat Allah swt. Kematian orang yang beriman dan beramal saleh begitu indah, pada detik-detik itu para nabi dan imam serta wali-wali Allah swt. berziarah dan berkumpul di sekitarnya.[419]