Bab I : Masa Asuhan
Dengan membaca buku-buku riwayat atau sejarah, kita akan mengenal tokok-tokoh pembela
kebenaran dan keadilan: yang lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi, tanpa pamrih dan bersedia mengorbankan diri untuk membela keyakinan yang dirasa
benar dan adil.
Juga dengan membaca buku-buku riwayat atau sejarah, kita akan mengenal orang-orang yang
senantiasa memusuhi kebenaran dan keadilan, yang lebih mementingkan kepentingan pribadi
daripada kepentingan umum dan hanya memikirkan keuntungan saja tanpa memperdulikan
halal atau haramnya sesuatu.
Dua macam sifat atau watak seperti di atas, tidak mungkin mendadak lahir setelah dewasa
saja. Sifat tersebut lahir melalui proses. Hal ini juga berlaku bagi Imam Ali r.a.
Untuk mengetahui bagaimana proses Imam Ali bin Abi Thalib r.a. menjadi seorang pahlawan
Islam yang tangguh, hingga dijadikan suri-tauladan oleh para pejuang Islam, marilah kita ikuti
sejak kelahirannya, masa kanak-kanaknya, masa remajanya dan kemudian setelah dewasa.
Putera Ka'bah
Telah menjadi keyakinan orang yang beragama, bahwa manusia dapat merencanakan sesuatu
dan berusaha mewujudkan rencananya. Akan tetapi apakah rencana tersebut akan tercapai
atau gagal, manusia yang merencanakan tadi tak dapat menentukannya. Penentuan terakhir di
tangan Allah s.w.t.
Banyak orang yang ingin agar isterinya dapat melahirkan putera atau puteri di tempat tertentu
dan disaksikan oleh keluarga yang lengkap. Apakah keinginan atau rencana orangtua itu akan
tercapai, Allah s.w.t. yang menentukan.
Bagaimana halnya dengan kelahiran Imam Ali r.a.? Di mana beliau dilahirkan? Di rumah Abu
Thalib atau di tempat lain?
Tentang tempat kelahiran Imam Ali r.a., A1 Hakim dalam buku "Al Mustadrak", jilid III, halaman
483, antara lain mengemukakan: Ketika itu hari Jum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi
Muhammad s.a.w. mendapat risalah. Seorang wanita, meskipun perutnya nampak besar sekali,
bersama suaminya melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah. Wanita yang bernama Fatimah itu
tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Ketika rasa sakitnya bertambah, segera diberitahukan
kepada suaminya, Abu Thalib. Mendengar keluhan itu, Abu Thalib segera menggandeng
isterinya masuk ke dalam Ka'bah. Menurut perkiraan, isterinya kelelahan. Diharapkan dengan
beristirahat sebentar rasa sakitnya akan berkurang.
Kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut Fatimah bertambah sakit.
Fatimah yang sudah berkali-kali melahirkan, telah mengerti isyarat apa yang sedang
dialaminya. Sebagai seorang wanita yang shaleh, ia tidak mengungkapkan isyarat itu kepada
suaminya. Dia khawatir jika suaminya tahu, tentu maksud suaminya menyelesaikan tawaf akan
terganggu. Ia tidak ingin berbuat demikian. Suaminya tetap dianjurkan menyelesaikan
tawafnya.
Dalam keheningan dan keredupan Baitullah, rumah Allah, Fatimah merasa perutnya bertambah
mulas. Disaat itu yang teringat di hati Fatimah ialah bahwa rasa sakitnya akan berkurang
dengan datangnya pertolongan Allah. Fatimah segera mengangkat tangan, yang sebelumnya
memegang perut untuk menahan rasa sakit dan dengan suara sayu tersengal-sengal berucap:
"Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku bernaung kepada-Mu, kepada utusan-utusan-Mu dan Kitab-kitab
yang datang dari-Mu. Aku percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini. Maka
demi pendiri rumah ini dan demi jabang bayi yang ada di dalam perutku, aku mohon kepada-Mu
untuk dimudahkan kelahirannya".
Beberapa saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan selamat. Bayi ini adalah putra keempat
dari Fatimah. Sepanjang ingatan orang, inilah untuk pertama kali seorang wanita
melahirkan puteranya dalam Ka'bah. Kelahiran bayi ini hanya disaksikan oleh ayah bundanya
saja.
Kejadian yang luar biasa ini, beritanya segera tersiar ke berbagai penjuru. Berbondongbondonglah
mereka, terutama keluarga Bani Hasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi
yang baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad s.a.w. Bayi ini saudara misan
beliau sendiri. Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian bersama ayah-ibunya pulang ke
rumah Abu Thalib.
Meskipun bayi ini merupakan putera keempat, namun oleh ayahnya dipandang sebagai kurnia
besar yang dilimpahkan Allah s.w.t. kepada keluarganya. Kegembiraan Abu Thalib ini tercermin
dari perintah yang segera dikeluarkan untuk menyelenggarakan pesta walimah. Guna
memeriahkan pesta itu, beberapa ekor ternak dipotong. Pemuka-pemuka Qureiys diundang
mengunjungi pesta itu, sebagai penghormatan atas kelahiran puteranya. Pada kesempatan
itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian nama "Ali" kepada puteranya yang baru lahir. "Ali"
berarti "luhur".
Nama dan Gelarnya
Sesungguhnya, sebelum berlangsung pesta walimah, di mana Abu Thalib mengumumkan nama
"Ali" bagi puteranya yang keempat itu, Fatimah telah memberi nama "Haidarah", yang berarti
"Singa". Satu nama yang diambil persamaannya dari nama Asad, nama datuknya dari pihak ibu,
yang juga berarti "Singa".
Sementara orang mengatakan, bahwa yang memberi nama "Haidarah" ialah orang-orang
Qureiys. Tetapi sejarah membuktikan, bahwa nama "Haidarah" itu sesungguhnya pemberian
ibunya sendiri.
Bukti sejarah ini dapat diketahui dari peristiwa perang-tanding, seorang lawan seorang, antara
Imam Ali r.a. melawan Marhaban. Dalam perang-tanding itu Marhaban mengagul-agulkan diri
dengan bait syairnya: "Aku inilah yang diberi nama Marhaban oleh ibuku!" Imam Ali r.a. segera
menukas dan melanjutkan bait syair itu dengan kata-katanya: "Aku inilah yang diberi nama
Haidarah oleh ibuku!"
Hanya saja nama yang diberikan ibunya menjadi tenggelam sesudah pengumuman ayahnya
dalam pesta walimah, yaitu "Ali". Ia lebih terkenal dengan nama Ali bin Abi Thalib.
Ketika di bawah asuhan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. pernah diberi julukan "Abu Turab",
yang artinya "Si Tanah". Pemberian julukan itu erat kaitannya dengan peristiwa ditemuinya
Imam Ali r.a. di satu hari sedang tidur berbaring di atas tanah. Yang menemuinya Nabi
Muhammad s.a.w. sendiri. Beliau menghampirinya dan duduk dekat kepalanya sambil
mengusap-usap punggungnya guna membuang debu-tanah. Kemudian Nabi Muhammad s.a.w.
membangunkannya seraya berkata: "Duduklah, engkau hai Abu Turab!"
Nama Abu Turab ini paling disukai oleh Imam Ali r.a. Ia sangat bangga bila dipanggil dengan
nama itu. Menurut Al Bashri, nama Abu Turab ini di kemudian hari oleh orang-orang Bani
Umayyah dijadikan bahan ejekan guna merendahkan martabat Khalifah Imam Ali r.a. Mereka
mengatakan, bahwa pemberian nama Abu Turab" oleh Rasul Allah s.a.w. merupakan bukti
tentang kekurangan dan kelemahan fitrahnya.
Disamping nama-nama tersebut di atas, Imam Ali r.a. juga terkenal dengan panggilan Abul
Hasan. Ini terjadi, setelah kelahiran putera beliau, Al Hasan. Selain dari nama-nama tersebut di
atas; Imam Ali r.a. banyak sekali mendapat gelar dan yang paling populer hingga sekarang ialah
"Imam".
Di bawah Naungan Wahyu
Ketika Imam Ali r.a. menginjak usia 6 tahun, Makkah dan sekitarnya dilanda paceklik hebat.
Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Bagi mereka yang berkeluarga
besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali.
Pada masa paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. telah berumah tangga dengan Sitti Khadijah
binti Khuwalid r.a. Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan
mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah
keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan
penghidupannya.
Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. menyadari betapa beratnya beban yang
dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera
mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya.
Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau,
adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas
mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih baik. Dengan tujuan untuk meringankan beban
Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan
betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Kemudian, dalam
bentuk pertanyaan, Nabi Muhammad s.a.w berkata: "Bagaimana paman, kalau kita sekarang ini
meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah seorang anaknya. Aku pun
akan mengambil seorang."
Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi Muhammad s.a.w. Setetah melalui
perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja'far bin Abi Thalib
diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Sejak itu Imam Ali r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan isteri beliau, Sitti Khadijah binti
Khuwailid r.a. Bagi Imam Ali r.a. sendiri lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupakan
lingkungan asing. Sebab Nabi Muhammad sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di
tengah-tengah keluarga Abu Thalib. Malahan yang menikahkan Nabi Muhammad s.a.w. dengan
Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a., juga Abu Thalib.
Bagi Nabi Muhammad s.a.w., Imam Ali r.a. bukan hanya sekedar saudara misan, malahan dalam
pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang putera lelaki
beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal. Betapa besar kasih sayang yang beliau curahkan
kepada putera pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan
Abu Thalib kepada beliau. Bahkan pada waktu dekat menjelang bi'tsah, Nabi Muhammad s.a.w.
sering mengajak Imam Ali r.a. menyepi di gua Hira, yang terletak dekat kota Mekkah. Ada
kalanya Imam Ali r.a. diajak mendaki bukit-bukit sekeliling Makkah guna menikmati keindahan
dan kebesaran ciptaan Allah s.w.t.
Sejak usia muda Imam Ali r.a. sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu
Illahi, sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa.
Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasul Allah s.a.w. dalam
kehidupannya.
Sungguh merupakan saat yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Imam Ali r.a.
dengan berada di dalam lingkungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam
kehidupan Imam Ali r.a. adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad s.a.w.
menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Imam Ali r.a. mendapat kesempatan yang paling
baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang
dipersiapkan Allah s.w.t. untuk mendapat tugas sejarah yang maha penting itu.
Imam Ali r.a. menyaksikan dari dekat saudara misannya melaksanakan ibadah kepada Allah
s.w.t dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan kepercayaan orang-orang Makkah
ketika itu. Imam Ali r.a. menyaksikan juga betapa saudara misannya menjauhi kehidupan
jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum khamar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata
kepala sendiri Imam Ali r.a. menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan fikiran Nabi
Muhammad s.a.w.
Semua warisan yang telah diterima Imam Ali r.a. dari para orangtuanya, kini berkembang
mekar di hadapan seorang maha guru yang cakap dan bijaksana, yaitu putera pamannya
sendiri. Manusia terbesar di dunia itulah yang menghubungkan diri Imam Ali r.a. dengan Allah
s.w.t.
Masa Kanak-kanak
Tentang usia Imam Ali r.a. ketika Rasul Allah s.a.w. mulai melakukan da'wah risalah, terdapat
riwayat yang berlainan. Sebagian riwayat mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. pada waktu itu
masih berusia 10 tahun. Sementara ahli sejarah lain mengatakan, Imam Ali r.a. ketika itu telah
berusia 13 tahun. Yang terakhir ini antara lain ditegaskan oleh Syeikh Abul Qasyim Al Balakhiy.
Masalah usia Imam Ali r.a. ini banyak dipersoalkan oleh penulis sejarah, karena ada kaitannya
dengan penilaian: apakah Imam Ali memeluk agama Islam di masa kanak-kanak ataukah setelah
akil baligh. Tampaknya riwayat yang lebih kuat mengatakan bahwa Imam Ali r.a. telah berusia
13 tahun pada waktu Rasul Allah s.a.w. memulai da'wahnya.
Pada waktu Nabi Muhammad s.a.w. menerima tugas da'wah Ilahiyah, Imam Ali r.a.
menyambutnya tanpa bimbang dan ragu. Hal itu dimungkinkan karena lama sebelumnya ia
telah langsung hidup di bawah naungan Rasul Allah s.a.w. Bila ada hal yang ketika itu tidak
mudah difahami Imam Ali r.a. hanyalah mengenai cara-cara pelaksanaan risalah dan beban
tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai orang beriman.
Pada waktu Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya melakukan da'wah secara
terbuka dan terang-terangan, Imam Ali r.a. ikut ambil bagian sebagai pembantu. Imam Ali r.a.
antara lain menyampaikan seruan-seruan Rasul Allah s.a.w. kepada sejumlah orang tertentu di
kalangan anggota-anggota keluarganya.
Tentang hal yang terakhir ini, ibnu Hisyam dalam riwayatnya mengemukakan, bahwa Imam Ali
r.a. pernah mengatakan dengan jelas, bahwa Rasul Allah s.a.w. secara rahasia memberi tahu
kepada siapa saja yang mau menerima dari kalangan anggota-anggota keluarga dan familinya,
mengenai nikmat kenabian yang dilimpahkan Allah kepada beliau dan kepada umat manusia
melalui beliau.
Untuk itu Rasul Allah s.a.w. menyampaikan da'wahnya lebih dahulu kepada anggota-anggota
keluarga yang paling dekat, yaitu isterinya sendiri Sitti Khadijah r.a. dan saudara misan
asuhannya, Imam Ali r.a. Setelah kepada dua orang itu, barulah kepada Zaid bin Haritsah,
putera angkatnya.
Imam Ali r.a. sendiri sebagai orang yang paling dini melakukan tugas da'wah membantu Rasul
Allah s.a.w. pernah menerangkan, bahwa pada masa itu tidak ada satu rumah pun yang
menghimpun anggota-anggota keluarga dalam agama Islam, selain rumah-tangga Rasul Allah
s.a.w. dan Khadijah r.a. "Dan akulah orang ketiga dalam rumah itu. Aku menyaksikan langsung
cahaya wahyu dan risalah serta mencium semerbaknya bau kenabian" demikian kata Imam Ali
r.a.
Ali bin Al Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Imam Ali r.a., melalui sebuah riwayat
memberitahukan kapan datuknya mulai memeluk agama Islam. Ia mengatakan: "Ia beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya tiga tahun lebih dulu sebelum orang lain."
Masa Remaja
Dari sejarah hidupnya, sejak usia kanak-kanak langsung menerima asuhan Rasul Allah s.a.w.,
tidak ada keraguan lagi, bahwa Imam Ali r.a. merupakan orang yang paling dini menerima
hidayah Ilahi, paling dulu beriman dan bersujud kepada-Nya. Para peneliti buku-buku riwayat
akan menemukan kenyataan tersebut dan dapat mengetahuinya dengan jelas.
Dalam masa remaja, Imam Ali r.a. sudah aktif membantu da'wah Rasul Allah s.a.w. Menurut
Abdullah bin Abbas, Imam Ali r.a. sendiri pernah menceritakan tentang hal itu sebagai berikut:
"Setelah turun ayat 214 Surah Asy Syura (perintah Allah kepada Rasul-Nya supaya
memperingatkan kaum kerabat yang terdekat), beliau memanggil aku. Kemudian berkata: "Hai
Ali, Allah telah memerintahkan supaya aku memberi peringatan kepada kaum kerabatku yang
terdekat. Aku merasa agak sedih, sebab aku tahu, jika aku berseru kepada mereka
melaksanakan perintah itu, aku akan mengalami sesuatu yang tidak kusukai. Oleh karena itu
aku diam saja sampai datanglah Jibril yang berkata kepadaku, "Hai Muhammad, jika engkau
tidak berbuat seperti yang diperintahkan kepadamu, Tuhan akan menjatuhkan adzab
kepadamu." Oleh karena itu, hai Ali, buatlah makanan. Masaklah paha kambing dan sediakan
untuk kita susu sewadah besar. Setelah itu kumpulkan keluarga Bani Abdul Mutthalib. Mereka
hendak kuajak bicara dan akan kusampaikan apa yang diperintahkan Allah kepadaku."
"Semua yang diperintahkan beliau kepadaku, kukerjakan segera. Kemudian anggota-anggota
keluarga Bani Abdul Muttalib kuundang supaya hadir. Jumlah mereka yang hadir kurang lebih 40
orang. Di antara mereka itu terdapat para paman Rasul Allah s.a.w., seperti Abu Thalib,
Hamzah, Abbas dan Abu Lahab. Setelah semuanya berkumpul, Rasul Allah s.a.w. memanggilku
dan memerintahkan supaya makanan segera dihidangkan. Hidangan itu kusajikan. Rasul Allah
s.a.w. mengambil sepotong daging, lalu diletakkan kembali pada tepi baki. Beliau
mempersilakan mereka mulai menikmati hidangan: 'Silakan kalian makan, Bismillah!' Mereka semua makan dan minum sekenyang-kenyangnya. Demi Allah, mereka masing-masing makan
dan minum sebanyak yang kuhidangkan."
"Ketika Rasul Allah s.a.w. hendak mulai berbicara beliau didahului oleh Abu Lahab. Abu Lahab
berkata kepada hadirin dengan sinis: "Kalian benar-benar sudah disihir oleh saudara kalian!"
"Karena ucapan Abu Lahab semua yang hadir pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya aku
diperintahkan lagi oleh Rasul Allah s.a.w. supaya mempersiapkan segala sesuatunya seperti
kemarin. Setelah semua makan minum secukupnya, Nabi Muhammad s.a.w. berkata kepada
mereka: "Hai Bani Abdul Mutthalib. Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui ada seorang
pemuda dari kalangan orang Arab, yang datang kepada kaumnya membawa sesuatu yang lebih
mulia daripada yang kubawa kepada kalian. Untuk kalian aku membawa kebajikan dunia dan
akhirat. Allah memerintahkan aku supaya mengajak kalian ke arah itu. Sekarang, siapakah di
antara kalian yang mau membantuku dalam persoalan itu dan bersedia menjadi saudaraku,
penerima wasiatku dan khalifahku?"
"Semua yang hadir bungkam. Hanya aku sendiri yang menjawab: "Aku !" Waktu itu aku seorang
yang paling muda usianya dan masih hijau. Kukatakan lagi: "Ya, Rasul Allah, akulah yang
menjadi pembantumu!" Beliau mengulangi ucapannya dan aku pun mengulangi kembali
pernyataanku. Rasul Allah s.a.w. kemudian memegang tengkukku, seraya berseru kepada
semua yang hadir: "Inilah saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku atas kalian!" Semua
yang hadir berdiri sambil tertawa terbahak-bahak. Mereka berkata hampir serentak kepada Abu
Thalib: "Hai Abu Thalib! Dia (yakni Muhammad) menyuruhmu supaya taat kepada anakmu!"
Hadits yang senada dengan apa yang dikemukakan Abdullah bin Abbas, juga diriwayatkan oleh
Abu Ja'far At Thabary dalam bukunya "At Tarikh".
Itulah sekelumit riwayat tentang seorang muda remaja yang kemudian hari bakal menjadi
pemimpin ummat Islam. Seorang pemimpin yang dihormati tidak saja oleh kaum muslimin,
tetapi juga oleh para ahludz dzimmah, yaitu kaum Nasrani dan kaum Yahudi yang bersedia
hidup damai di bawah pemerintahan Islam.
Di depan Abu Lahab, orang yang selama ini selalu mengancam-ancam dan menuntut supaya
Rasul Allah s.a.w. menghentikan da'wahnya, Imam Ali r.a. yang masih remaja itu berani
menyatakan dukungan dan bantuannya kepada Nabi Muhammad s.a.w.