Bab II : Lingkungan Keluarga
Pemimpin, yang riwayatnya kita bicarakan ini berasal dari lingkungan keluarga terkemuka
qabilah Qureiys, yaitu Abul Hasan Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdi
Manaf bin Qushaiy bin Kilab. Ayah Imam Ali r.a., yakni Abu Thalib, adalah saudara kandung
Abdullah bin Abdul Mutthalib, ayah Nabi Muhammad s.a.w. Jadi, Nabi Muhammad s.a.w. dan
Imam Ali r.a. sama-sama berasal dari satu tulang sulbi seorang datuk: Abdul Mutthalib bin
Hasyim. Jelasnya, baik Rasul Allah s.a.w. maupun Imam Ali r.a., dua-duanya termasuk keluarga
Bani Abdul Mutthalib. Atau jika ditarik lebih ke atas lagi, dua-duanya termasuk keluarga Bani
Hasyim. Dalam sejarah sebutan "keluarga Bani Hasyim" lebih populer dibanding dengan sebutan
"Bani Abdul Mutthalib".
Hingga akhir hayatnya, Abdul Mutthalib merupakan pimpinan tertinggi qabilah Qureiys di
Makkah. Sepeninggal Abdul Mutthalib, Abu Thalib menggantikan kedudukan ayahnya sebagai
pemimpin Qureiys dan kepala kota Makkah. Abu Thalib juga merangkap sebagai pemimpin
terkemuka Bani Hasyim.
Abdul Mutthalib mempunyai 10 orang putera. Tiga di antaranya ialah Abbas, Abu Thalib dan
Abdullah. Nabi Muhammad s.a.w., manusia termulia di dunia, adalah putera Abdullah bin Abdul
Mutthalib. Ia menjadi mundzir (juru ingat) bagi segenap
ummat manusia. Sedang Imam Ali r.a., seorang pemimpin kaum muslimin yang tiada taranya, adalah putera Abu Thalib bin Abdul Mutthalib. Ia jadi penuntun kaum muslimin sedunia.
Imam Ali r.a. mempunyai 3 orang saudara lelaki, yaitu Ja'far, 'Aqil dan Thalib. Di suatu medan
pertempuran di Tabuk, Ja'far gugur sebagai pahlawan dalam perjuangan membela Nabi
Muhammad s.a.w. dan Islam. 'Aqil dikurniai usia panjang hingga sempat mengalami zaman
kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan. Sedang Thalib, anak sulung Abu Thalib, wafat mendahului
saudara-saudaranya.
Ibunda
Nama lengkap ibunda Imam Ali r.a. ialah Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin
Qushaiy bin Kilab. Fatimah binti Asad adalah seorang puteri dari Bani Hasyim yang pertama
bersuamikan seorang berasal dari Bani Hasyim juga. Ia termasuk yang paling dini memeluk
agama Islam, serta memberikan dukungan kepada da'wah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
s.a.w. Beliau sangat menghargai dan menghormati Fatimah binti Asad, bahkan memanggilnya
dengan sebutan "Bunda" dan dipandang sebagai ibu kandung beliau sendiri.
Pada waktu Fatimah binti Asad wafat, Nabi Muhammad s.a.w. bersembahyang untuk
jenazahnya. Di saat pemakamannya, Nabi Muhammad s.a.w. turun sendiri ke liang lahad dan
setelah jenazahnya diselimuti dengan baju beliau, beliau berbaring sejenak di samping
jenazahnya.
Mengetahui hal itu, beberapa orang sahabat sambil keheran-heranan bertanya: "Ya Rasul Allah,
kami tidak pernah melihat anda berbuat seperti itu terhadap orang lain!"
"Tak seorangpun sesudah Abu Thalib yang kupatuhi selain dia", jawab Nabi Muhammad s.a.w.
dengan segera. "Kuselimutkan bajuku, agar kepadanya diberi pakaian indah di dalam sorga, Aku
berbaring di sampingnya, agar ia terhindar dari jepitan dan tekanan kubur."
Ayahanda
Ayahanda Imam Ali r.a. adalah seorang pemimpin Qureisy. Ia sangat terpandang, dicintai,
dihormati dan disegani oleh penduduk Makkah. Beliau dihormati bukan semata-mata karena
kedudukannya, tetapi lebih-lebih karena budi pekertinya yang luhur, jiwanya yang besar,
kepribadiannya yang tinggi dan tindakannya yang senantiasa adil. Satu pribadi yang
mengungguli semua orang pada zamannya. Baik dalam soal kesanggupannya, kemantapannya
maupun dalam kegigihannya membela sesuatu yang diyakininya benar.
Tentang kesanggupan, kemantapan dan kegigihan Abu ThalIib dapat disaksikan dari
penampilan-penampilan beliau menghadapi orang-orang kafir Qureiys. Dengan kekuatan sendiri
ia memikul beban membela Nabi Muhammad s.a.w. dari tantangantantangan dan perlawanan
orang-orang Qureiys. Satu beban yang tak pernah dipikul oleh paman-paman serta keluarga
atau kerabat Nabi Muhammad s.a.w. yang lain. Penilaian yang semacam itu terhadap Abu
Thalib, diterima bulat oleh para sejarawan dari segala mazhab.
Abu Thalib adalah orang yang teguh berdiri membentengi Nabi Muhammad s.a.w. dari segala
bentuk rongrongan komplotan kafir Qureiys. Abu Thalib berbuat demikian didorong oleh
pandangannya yang luas, penglihatan hati dan fikirannya yang tajam, tekad serta semangatnya
yang tak terpatahkan.
Hal ini tercermin pula ketika untuk pertama kalinya Abu Thalib melihat puteranya, Imam Ali
r.a., secara diam-diam bersembahyang di belakang Rasul Allah s.a.w. Diamatinya putera yang
masih muda belia itu telah menjadi pengikut Nabi Muhammad s.a.w. Diperhatikan pula
puteranya itu tidak gelisah bersembahyang meskipun dilihat ayahnya.
Malahan Imam Ali r.a. setelah mengetahui ayahnya melihat ia bersembahyang di belakang Rasul
Allah, segera menghadap kepadanya, kemudian berkata: "Ayah, aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku mempercayai dan membenarkan agama yang dibawa olehnya dan aku
bertekad hendak mengikuti jejaknya!"
Mendengar pernyataan puteranya yang terus terang tanpa dibikin-bikin, Abu Thalib berkata:
"Sudah pasti ia mengajakmu ke arah kebajikan, oleh karena itu tetaplah engkau bersama dia!"
Lain kali Abu Thalib melihat puteranya sedang berdiri di sebelah kanan Nabi Muhammad s.a.w.
yang siap menunaikan sembahyang. Dari kejauhan Abu Thalib melihat puteranya yang seorang
lagi yaitu Ja'far. Ja'far segera dipanggil, kemudian diperintahkan: "Bergabunglah engkau
menjadi sayap putera pamanmu di sebelah kiri, dan bersembahyanglah bersama dia!"
Abu Thalib seorang pemimpin yang mempunyai kebijaksanaan tinggi. Ia tidak bersitegang leher
mempertahankan kebekuan zaman dan tidak menghalang-halangi hadirnya masa mendatang
yang lebih cemerlang. Kebijaksanaan yang tinggi itu tercermin benar dari wasiyat yang
diucapkannya pada detik-detik menjelang ajalnya, ditujukan kepada orang-orang Qureiys:
"…Wahai orang-orang Qureiys. Kuwasiatkan agar kalian senantiasa mengagungkan rumah itu
(Ka'bah). Sebab di sanalah tempat keridhoan Tuhan dan sekaligus juga merupakan tiang
penghidupan… Eratkanlah hubungan silaturrahmi, janganlah sekali-kali kalian putuskan.
Jauhilah perbuatan dzalim… Betapa banyaknya sudah generasi-generasi terdahulu hancur
binasa karena dzalim...!
"Wahai orang-orang Qureiys. Sambutlah dengan baik orang yang mengajak ke jalan yang benar,
dan berikanlah pertolongan kepada setiap orang yang membutuhkan... Sebab dua perbuatan
terpuji itu merupakan kemuliaan bagi seseorang, selagi ia masih hidup dan sesudah mati…
Hendaknya kalian selalu berkata benar dan setia menunaikan amanat…!
"Kuwasiatkan kepada kalian supaya berlaku baik terhadap Muhammad. Sebab ia orang yang
paling terpercaya di kalangan Qureiys dan tidak pernah berdusta…!
"Apa yang kuwasiatkan kepada kalian, semuanya telah terhimpun padanya. Kepada kita ia
datang membawa missi yang sebenarnya dapat diterima oleh hati-sanubari, tetapi diingkari
dengan ujung lidah, hanya karena takut akan tidak disukai orang lain. Demi Allah, aku seakanakan
dapat melihat bahwa orang-orang Arab lapisan bawah, orang-orang yang hidup terluntalunta,
dan orang-orang yang lemah tidak berdaya, sudah siap menyambut baik seruannya,
membenarkan tutur-katanya, dan menjunjung tinggi missi yang di bawanya. Bersama mereka
itulah Muhammad mengarungi ancaman gelombang maut!
"Namun aku juga seolah-olah sudah melihat, bahwa orang-orang Arab akan dengan tulus hati
mengikhlaskan kecintaan mereka dan mempercayakan kepemimpinan kepadanya."
"Demi Allah, barang siapa yang mengikuti jejak langkahnya, ia pasti akan menemukan jalan
yang benar. Dan barang siapa yang mengikuti petunjuk serta bimbingannya, ia pasti selamat!"
"Seandainya aku masih mempunyai sisa umur, semua rong-rongan yang mengganggu dia, pasti
akan kuhentikan dan kucegah, dan ia pasti akan kuhindarkan dari tiap marabahaya yang akan
menirnpanya…"
Wasiat yang gamblang itu tidak memerlukan ulasan lagi. Dari wasiyat yang diucapkan sesaat
sebelum ajalnya datang, orang dapat mengambil kesimpulan sendiri, siapa sebenarnya Abu
Thalib itu, bagaimana sikapnya terhadap Nabi Muhammad s.a.w. dan sejauh mana pandangan
dan fikirannya terhadap Islam.
Sikap, pandangan dan fikiran yang sangat positif itulah yang memberi kesanggupan kepadanya
untuk mencurahkan seluruh hidupnya melindungi pembawa da'wah yang mengajak manusia ke jalan yang benar.
Abu Thalib bukan hanya mengenal kebenaran Nabi Muhammad s.a.w., tetapi juga mengenal
pribadi beliau dengan baik. Ia paman beliau, pengasuh dan pemelihara beliau sejak kanakkanak
sampai dewasa. Dalam waktu yang amat panjang, Abu Thalib menyaksikan sendiri
bagaimana praktek kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. sehari-hari. Abu Thalib rindu sekali ingin
melihat hakekat kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Hatinya pedih dan kesal
menyaksikan kaumnya menyia-nyiakan akal fikiran dan hidup mereka di depan tumpukan batu,
yang dianggapnya sebagai sesembahan dan tuhan-tuhan.
Dengan tangguh Abu Thalib menghadapi tantangan-tantangan kafir Qureiys serta menggagalkan
rencana-rencana jahat yang mereka tujukan terhadap Rasul Allah s.a.w. Ketika orang-orang
kafir Qureiys sudah merasa putus asa dan tidak sanggup lagi membendung da'wah risalah Nabi
Muhammad s.a.w., dan tidak berdaya lagi menggertak Abu Thalib supaya menghentikan
perlindungan dan pembelaannya kepada Rasul Allah s.a.w., maka tokoh-tokoh mereka
mengambil keputusan: melancarkan blokade dan pemboikotan total terhadap semua orang Bani
Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib.
Blokade dan pemboikotan total yang demikian itu adalah cara-cara yang di cela oleh tradisi dan
moral bangsa Arab sendiri. Tetapi bagi kaum kafir Qureiys, itu bukan soal. Yang penting, tujuan
harus tercapai. Segala cara atau jalan mereka halalkan demi tujuan.
Blokade kafir Qureiys itu ternyata lebih mendorong orang-orang Bani Hasyim dan Bani Abdul
Mutthalib untuk bertambah cenderung dan berfihak kepada Abu Thalib. Orang-orang Bani
Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib berhimpun dalam sebuah Syi'ib (lembah di antara dua bukit).
Dengan semangat baja mereka hadapi kepungan ketat serta pemboikotan total di bidang
ekonomi dan sosial. Selama lebih kurang 3 tahun mereka menahan penderitaan dan kelaparan.
Mereka sampai terpaksa menelan dedaunan sekedar untuk mengganjel perut yang lapar.
Selama masa yang penuh derita dan sengsara itu, Abu Thalib tetap tegak berdiri laksana gunung
raksasa yang kokoh-kuat, tak tergoyahkan oleh gelombang badai dan tiupan angin ribut.
Dengan tegas Abu Thalib menolak setiap kompromi dan tawar-menawar yang diajukan oleh
orang-orang kafir Qureiys. Penolakkannya itu diucapkan dengan bait-bait syair. Inilah di antara
syair-syair tersebut :
"Sadarlah kalian, sadarlah,
sebelum banyak liang digali orang,
dan orang-orang tak bersalah diperlakukan sewenang-wenang.
Janganlah kalian ikuti perintah orang jahat tiada berakhlaq
untuk memutuskan tali persahabatan
dan persaudaraan dengan kita.
Demi Tuhan Penguasa Ka'bah,
Kami tak akan menyerahkan Muhammad ke dalam marabahaya
yang dirajut orang-orana penentang zaman,
sebelum terbedakan mana leher kami dan mana leher kalian,
dan sebelum tangan berjatuhan ditebas pedang mengkilat tajam!"
Ya… benarlah. Jika Abu Thalib sudah mempercayai suatu kebenaran, kepercayaannya itu benar benar
keras dan mantap. Sekeras dan semantap kepercayaan yang diwariskan kepada putera
bungsunya, Imam Ali r.a., bahkan sampai kepada anak cucu keturunan Imam Ali r.a.!
Abu Thalib bergerak membela Nabi Muhammad s.a.w. bukan disebabkan karena beliau putera
saudaranya sendiri. Abu Thalib menyingsingkan lengan baju, karena Nabi Muhammad s.a.w.
seorang yang menyerukan kebenaran dan mengajak manusia ke arah kebajikan! Ia membela kebenaran dan bukan membela kekerabatan. Ia menentang dan melawan saudaranya sendiri,
Abu Lahab, karena ia tahu, Abu Lahab berada di atas kebatilan.
Tentang betapa adil dan jujurnya Abu Thalib dapat pula disaksikan dari peristiwa berikut. Pada
suatu hari Rasul Allah s.a.w. memberitahukan kepada Abu Thalib, bahwa naskah pemboikotan
yang ditempelkan oleh orang-orang kafir Qureiys pada dinding Ka'bah sudah hancur di makan
rayap, sehingga tak ada lagi bagian yang tinggal selain yang bertuliskan: "Dengan Nama Allah."
Setelah mendengar keterangan Rasul Allah s.a.w., Abu Thalib segera mendatangi sejumlah
tokoh Qureiys. Kepada tokoh-tokoh kafir Qureiys itu, Abu Thalib berkata dengan lantang: "Hai
orang-orang Qureiys, putera saudaraku telah memberitahu kepadaku, bahwa naskah
pemboikotan yang kalian tulis dan kalian gantungkan pada Ka'bah, sekarang sudah hancur.
Tengoklah naskah kalian itu! Kalau benar terjadi seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad,
hentikanlah pemboikotan kalian terhadap kami. Tetapi jika Muhammad ternyata berdusta, ia
akan kuserahkan kepada kalian!"
Abu Thalib mengatakan semuanya itu hanya berdasarkan kepercayaan yang penuh kepada Nabi
Muhammad s.a.w. Ia sendiri belum pernah melihat bagaimana keadaan naskah yang tergantung
pada dinding Ka'bah.
Tokoh-tokoh Qureiys merasa puas dengan kesediaan Abu Thalib menyerahkan Nabi Muhammad
s.a.w., bila terbukti beliau berdusta. Mereka segera pergi menuju Ka'bah untuk menengok
naskah pemboikotan dan ternyata benar apa yang dikatakan Nabi Muhammad s.a.w. Tokohtokoh
kafir Qureiys lemas, tak berdaya dan terpaksa mengumumkan penghentian pemboikotan
pada hari itu juga. Aksi komplotan mereka berakhir dengan kegagalan.
Dari peristiwa tersebut Abu Thalib memperoleh pembuktian langsung dari Allah s.w.t. tentang
benarnya kepercayaan yang selama ini dipertahankan dan dijaganya baik-baik. Pembuktian
yang didapatnya sebagai mu'jizat Rasul Allah s.a.w. itu datang dari kekuasaan Allah dan bukan
datang dari seorang famili yang harus diikuti.
Jauh sebelum kejadian di atas, orang-orang kafir Qureiys sudah berkali-kali menghimbau Abu
Thalib baik dengan bujuk rayu, maupun dengan ancaman kekerasan. Orang-orang kafir Qureiys
pernah mengancam Abu Thalib dengan kata-kata:
"Hai Abu Thalib, engkau orang yang sudah lanjut usia, terhormat dan mempunyai kedudukan
terpandang… Kami telah berkali-kali meminta kepadamu supaya engkau melarang putera
saudaramu terus menerus berda'wah, tetapi engkau tidak mau melarangnya… Kami tidak dapat
lagi menahan kesabaran mendengar orangtua kami dicerca, tuhan-tuhan kami dicela, dan
orang-orang arif kami dijelek-jelekkan... Silakan engkau pilih… Apakah engkau bersedia
mencegah Muhammad supaya tidak terus menerus menyerang kami, atau, kamilah yang akan
bertindak memerangi dia, termasuk engkau sekaligus, sampai salah satu fihak binasa…"
Mendengar ancaman itu, Abu Thalib bukannya menjadi mundur dalam membela kebenaran Nabi
Muhammad s.a.w., malahan justru bertambah teguh pendiriannya, semakin tinggi semangatnya
dan merasa lebih mampu memberikan tamparan keras terhadap muka orang Qureiys yang sudah
semakin nekad. Melalui syairnya dengan tegas Abu Thalib menjawab:
"Aku tahu bahwa agama Muhammad, agama terbaik bagi segenap manusia. Demi Allah, hai
Muhammad, mereka tak akan dapat menyentuhmu, sebelum aku terkapar berkalang tanah."
Pada suatu hari Abu Thalib sedang duduk santai di rumah. Tiba-tiba datang Rasul Allah s.a.w.
kelihatan sedih dan kesal. Setelah duduk, Rasul Allah s.a.w. segera menyampaikan
persoalannya. Mendengar keterangan beliau, Abu Thalib segera mengerti, bahwa orang-orang
kafir Qureiys telah berhasil membujuk salah seorang yang berperangai jahat di kalangan mereka melemparkan kotoran ternak dan gumpalan darah beku ke atas kepala Rasul Allah
s.a.w. Pelemparan itu dilakukan, di saat Nabi Muhammad s.a.w. sedang sujud bermunajat ke
hadirat Allah s.w.t.
Dengan tidak menunggu waktu lagi Abu Thalib bangkit. Dengan tangan kanan membawa pedang
terhunus dan tangan kiri menggandeng Nabi Muhammad s.a.w., ia berangkat mendatangi
gerombolan Qureiys yang telah mengganggu Nabi Muhammad s.a.w. Setiba di depan
gerombolan itu, Abu Thalib berhenti sejenak. Diperhatikannya gerak-gerik gerombolan itu.
Seorang demi seorang mereka mundur. Rupanya di luar perkiraan mereka, bahwa Nabi
Muhammad s.a.w. akan datang kembali bersama pamannya.
Abu Thalib terus berteriak kepada gerombolan itu: "Demi Allah, yang Muhammad beriman
kepada-Nya. Jika ada seorang dari kalian yang berani melawan, akan kupersingkat umurnya
dengan pedang ini!"
Setelah itu Abu Thalib dengan tangannya sendiri membersihkan tubuh Nabi Muhammd s.a.w.
dari kotoran ternak dan darah. Semua kotoran itu dikumpulkan, digenggam, lalu dilemparkan
ke wajah orang-orang Qureiys yang sedang siap hendak lari. Di hadapan Abu Thalib kelihatan
sekali kekerdilan gerombolan itu.
Dalam membela dan melindungi Rasul Allah s.a.w. dari marabahaya keteguhan Abu Thalib
dapat diandalkan benar. Keteguhannya itu tercermin juga dari syair-syair yang diucapkannya
sendiri:
Janganlah kalian sulut api pengobar perang,
Yang akibat-pahitnya akan ditelan semua orang!
Demi Allah, Muhammad tak nanti 'kan kuserahkan
Kepada tangan pencetus bencana mengerikan.
Kenalkah kalian siapa Hasyim,
Ksatria yang pernah berpesan,
Agar kami berani berperang dengan semangat jantan?
Kami bukan pejuang-pejuang yang jemu perang,
Tak'kan kami sesali yang gugur di medan juang!
Kubela Rasul, utusan Penguasa Maha Kuasa,
Pembawa amanat berkilauan laksana kilat bercahaya,
Kubela dan kulindungi utusan Tuhan Ilahi,
Karena ia manusia kesayanganku sendiri,
Kulindungi ia dari serangan musuh-musuhnya,
Laksana gadis kulindungi dari gangguan pria!
Hai Abu Ya'la,
Teguh dan sabarlah dalam agama Muhammad,
Nyatakan dirimu terang-terangan sebagai muslim yang mantap,
Bulatkan tekad mendampingi pembawa kebenaran Tuhan,
Betapa riang hatiku mendengar engkau beriman,
Janganlah engkau menjadi kafir tidak bertuhan,
Jadikan dirimu pembela Rasul dan pembela Tuhan,
Tunjukkan agamamu di mata Qureiys terang-terangan,
Katakanlah: Muhammad Saw bukan si tukang sihir!
Datukanda
Pada waktu jemaah haji berjubel tiap tahun di sekitar sumur Zamzam, tentu mereka teringat
kepada nama seorang terhormat yang dikagumi rakyatnya. Nama seorang yang dengan tangan
dan keringat sendiri menggali sumur itu hingga airnya memancar, setelah sekian abad lamanya
tertutup. Sumur Zamzam tak dapat dipisahkan dari nama Abdul Mutthalib.
Pada satu malam, di kala Abdul Mutthalib sedang tidur, jiwanya yang putih bersih menyongsong
suara orang berseru: "Galilah Thaibah!" Abdul Mutthalib terjaga. Ia tak mengerti takwil
mimpinya. Pada malam berikutnya orang yang bersuara itu muncul kembali dalam mimpi.
"Galilah barrah!".
Abdul Mutthalib terbangun. Ia masih tak dapat memahami apa yang harus dilakukan. Pada
malam ketiga, sekali lagi ia mendengar suara itu di dalam mimpi: "Galilah Zamzam!" Abdul
Mutthalib bertanya: "Apakah arti Zamzam?" orang yang berseru itu menjelaskan: "Ia tidak
kunjung kering dan tak berkurang airnya, sanggup memberi minum kepada jemaah haji betapa
pun besar jumlahnya!" Kemudian ditunjukkan tempatnya.
Pagi-pagi buta, dengan disertai puteranya, Al Harits, ia berangkat menuju letak sumur yang
ditunjuk dalam mimpi. Bersama puteranya ia bekerja menggali. Tak lama kemudian memancar
air dari sumber yang abadi. Sebenarnya tempat itu dahulunya merupakan sumur. Hanya dalam
kurun waktu yang panjang telah tertimbun oleh batu-batu besar dan pasir. Dahulu kala sumur
itu merupakan kurnia Allah s.w.t. kepada Nabi Isma'il a.s. bersama bundanya.
Abdul Mutthalib atau Syaibah (nama aslinya) adalah seorang yang mempunyai type cemerlang.
Sukar ditemukan bandingannya. Keharuman namanya menjadi buah bibir orang di segenap
penjuru gurun sahara Semenanjung Arabia. Karena banyak pekerjaan terpuji yang
dilakukannya, sehingga ia disebut dengan nama panggilan "Syaibatul Hamd". Bahkan banyak
yang menyebutnya sebagai "Pemberi makan manusia di dataran dan pengumpan margasatwa di
pegunungan!"
Abdul Mutthalib seorang yang memiliki kebijaksanaan yang luas dan iman yang dalam. Hal ini
tercermin dengan jelas, tatkala Abrahah datang ke Makkah membawa pasukan yang luar biasa
besarnya guna menghancurkan Ka'bah. Setelah Abdul Mutthalib mengetahui bahwa kaumnya
tidak sanggup menghadapi pasukan penyerbu, maka diperintahkan supaya masing-masing pergi
mengungsi ke daerah-daerah pegunungan. Tinggalkan kota Makkah sebagai kota kosong. Anak
dan isteri serta hak miliknya masing-masing supaya dibawa. Mengenai keselamatan Ka'bah
diserahkan kepada Pemilik rumah suci itu.
Pada suatu hari, Abdul Mutthalib pergi menemui Abrahah. Ketika Abdul Mutthalib ditanya oleh
Abrahah tentang maksud kedatangannya, Abdul Mutthalib dengan tegas menjawab: "Aku datang
kepada tuan untuk meminta kembali unta-untaku yang tuan ambil."
Abrahah menyatakan keheranannya karena Abdul Mutthalib sebagai penguasa Makkah tidak
memikirkan Ka'bah yang akan dihancurkannya itu, tetapi hanya memikirkan unta-untanya saja.
Guna menghilangkan keheranan Raja Yaman itu, Abdul Mutthalib dengan jelas mengatakan,
bahwa unta-unta yang kalian ambil adalah milikku, sedang Ka'bah yang hendak dihancurkan itu
mempunyai pemiliknya sendiri yang akan melindungi keselamatannya.
Itulah pendirian seorang yang benar-benar berketuhanan. Seorang yang hidup di tengah-tengah
gelombang penyembahan berhala. Jiwa dan hati nuraninya dikuasai sepenuhnya oleh perasaan
halus yang tersembunyi, yang mengakui dengan haqqul yakin, bahwa di sana terdapat Tuhan
Yang Maha Mulia, Maha Agung dan Maha Kuasa.
Kemurnian iman Abdul Mutthalib tampak jelas sekali. Walaupun ia tahu, bahwa di sekitar
Ka'bah bercokol 300 buah lebih berhala, tidak kepada sebuah berhala pun ia meminta
pertolongan guna menyelamatkan Ka'bah. Ia tidak meminta kepada si Hubal, tidak kepada Laat
dan tidak pula kepada si Uzza! Meskipun tidak ada jarak pemisah antara berhala-berhala itu
dengan Ka'bah, Abdul Mutthalib sama sekali tidak sudi meminta sesuatu kepada patung
sembahan jahiliyah itu!
Tidak lain ia hanya memohon kepada Allah, tunduk dan khusuk kepada-Nya, serta hanya mau
berlindung kepada Yang Maha Agung dan Maha Tinggi, sesuai dengan isyarat yang diberikan oleh
perasaan halus yang tersembunyi di dalam hati nuraninya: "Ya Tuhan, tiap orang
mempertahankan rumahnya, oleh karena itu pertahankanlah Rumah-Mu!" Alangkah sederhana
dan mantapnya doa seperti itu.
Doa Abdul Mutthalib ternyata bukan seperti melempar batu ke lubuk. Pukulan yang mematikan
dialami oleh balatentara Abrahah. Dengan suatu "pasukan" yang paling lemah berupa burungburung
Ababil, Allah s.w.t. menghancurkan mereka. Burung-burung menyebarkan maut di
kalangan balatentara Abrahah. Bangkai mereka bergelimpangan menjadi cerita sejarah.
Sifat pasrah diri Abdul Mutthalib kepada Allah seperti di atas seakan-akan kekanak-kanakan.
Sungguh tidaklah demikian. Pasrah diri Abdul Mutthalib bukan pasrah diri orang yang sama
sekali tak berdaya, melainkan karena keyakinan imannya, bahwa di sana ada Allah Maha Kuasa,
Tuhan yang senantiasa berada di belakang setiap gerak dan perbuatan. Abdul Mutthalib yakin,
sesuatu yang tak dapat dilaksanakan dengan kekuatan kebajikan yang ada pada manusia akan
ditentukan persoalannya oleh Dia sendiri Yang Maha Kuasa. Sungguh, suatu kepasrahan yang
sangat polos, indah dan murni.
Melalui Abdul Mutthalib Allah s.w.t. melimpahkan kemudahan dan keberkahan kepada
penduduk Makkah. Lebih dari satu kali langit dan udara Makkah sedemikian gersangnya. Tidak
setetes air hujan pun yang turun membasahi bumi. Hampir saja penduduk mati kekeringan dan
dilanda paceklik amat berat. Pada saat yang berat itu, penduduk mendatangi Abdul Mutthalib.
Abdul Mutthalib mengajak mereka berbondong-bondong menuju sebuah puncak bukit. Di
puncak bukit itulah dengan khusyu' Abdul Mutthalib berdoa: "Ya Tuhan, mereka itu adalah
hamba-hamba-Mu. Engkau mengetahui apa yang sedang menimpa kami semua. Oleh karena itu
jauhkanlah kegersangan dari kami, turunkanlah hujan membawa rahmat dan berkah,
menumbuhkan tetanaman, memberi kehidupan dan penghidupan."
Iman Abdul Mutthalib kelihatannya memang lain dari yang yang lain. Iman seorang yang hidup
di masa penyembahan berhala masih menjadi agama peribadatan di mana-mana. Namun Abdul
Mutthalib mengenal Allah melalui setiap nikmat yang terlimpah kepadanya dan dari tiap
langkah yang berhasil ditempuhnya.
Ketika ia mendengar kelahiran cucunya, Nabi Muhammad s.a.w., segera diemban dan dibawa
masuk ke dalam Ka'bah. Disana ia memanjatkan puji syukur dalam bentuk syair:
"Puji syukur bagi Allah yang mengaruniakan kepadaku,
seorang anak yang baik susunan bentuknya ini,
selagi dalam buaian ia mengungguli anak yang lain.
Ia kulindungkan pada Tuhan Maha Perkasa
sampai kusaksikan masa dewasanya."
Abdul Mutthalib ditunjukkan oleh penglihatan batinnya sendiri, sehingga dapat mengetahui
bahwa anak yang baru lahir itu akan memainkan peranan besar di kemudian hari. Oleh karena
itu ia mencintai Nabi Muhammad s.a.w. melebihi kecintaan yang diberikannya kepada
siapapun.
Tiap kali Abdul Mutthalib bertemu dengan Abu Thalib, tangan puteranya itu selalu ditarik,
kemudian dilekatkan pada tangan cucunya, Nabi Muhammad s.a.w., sambil berkata: "Hai Abu
Thalib, di kemudian hari anak ini akan mempunyai kedudukan, oleh karena itu jagalah dia baikbaik.
Jangan kaubiarkan ada sesuatu yang tidak baik menyentuhnya!"
Amanat ayahnya dipenuhi dengan baik oleh Abu Thalib. Ia jaga dan pelihara putera saudaranya
itu sebagaimana mestinya. Ia mengasuh anak itu sesuai dengan kematangan berfikirnya, ketinggian martabat keturunannya dan kebesaran sifat keutamaannya.
Abdul Mutthalib adalah datukanda Nabi Muhammd s.a.w., juga datukanda Imam Ali r.a.
Setelah keluarga besar itu ditinggal wafat oleh Abdul Mutthalib dan Abu Thalib, Imam Ali r.a.
sebagai cucu Abdul Mutthalib dan putera Abu Thalib mewarisi budi pekerti luhur dan kebesaran
jiwa yang sukar ditemukan bandingannya. Ia benar-benar mewarisi dua hal sekaligus: akhlaq
utama dan darah mulia.