Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra0%

Sejarah Hidup Imam Ali ra pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Imam Ali as

Sejarah Hidup Imam Ali ra

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: H.M.H. ALHAMID ALHUSAINI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 19528
Download: 4487

Komentar:

Sejarah Hidup Imam Ali ra
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 22 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 19528 / Download: 4487
Ukuran Ukuran Ukuran
Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bab II : Lingkungan Keluarga

Pemimpin, yang riwayatnya kita bicarakan ini berasal dari lingkungan keluarga terkemuka

qabilah Qureiys, yaitu Abul Hasan Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdi

Manaf bin Qushaiy bin Kilab. Ayah Imam Ali r.a., yakni Abu Thalib, adalah saudara kandung

Abdullah bin Abdul Mutthalib, ayah Nabi Muhammad s.a.w. Jadi, Nabi Muhammad s.a.w. dan

Imam Ali r.a. sama-sama berasal dari satu tulang sulbi seorang datuk: Abdul Mutthalib bin

Hasyim. Jelasnya, baik Rasul Allah s.a.w. maupun Imam Ali r.a., dua-duanya termasuk keluarga

Bani Abdul Mutthalib. Atau jika ditarik lebih ke atas lagi, dua-duanya termasuk keluarga Bani

Hasyim. Dalam sejarah sebutan "keluarga Bani Hasyim" lebih populer dibanding dengan sebutan

"Bani Abdul Mutthalib".

Hingga akhir hayatnya, Abdul Mutthalib merupakan pimpinan tertinggi qabilah Qureiys di

Makkah. Sepeninggal Abdul Mutthalib, Abu Thalib menggantikan kedudukan ayahnya sebagai

pemimpin Qureiys dan kepala kota Makkah. Abu Thalib juga merangkap sebagai pemimpin

terkemuka Bani Hasyim.

Abdul Mutthalib mempunyai 10 orang putera. Tiga di antaranya ialah Abbas, Abu Thalib dan

Abdullah. Nabi Muhammad s.a.w., manusia termulia di dunia, adalah putera Abdullah bin Abdul

Mutthalib. Ia menjadi mundzir (juru ingat) bagi segenap

ummat manusia. Sedang Imam Ali r.a., seorang pemimpin kaum muslimin yang tiada taranya, adalah putera Abu Thalib bin Abdul Mutthalib. Ia jadi penuntun kaum muslimin sedunia.

Imam Ali r.a. mempunyai 3 orang saudara lelaki, yaitu Ja'far, 'Aqil dan Thalib. Di suatu medan

pertempuran di Tabuk, Ja'far gugur sebagai pahlawan dalam perjuangan membela Nabi

Muhammad s.a.w. dan Islam. 'Aqil dikurniai usia panjang hingga sempat mengalami zaman

kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan. Sedang Thalib, anak sulung Abu Thalib, wafat mendahului

saudara-saudaranya.

Ibunda

Nama lengkap ibunda Imam Ali r.a. ialah Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin

Qushaiy bin Kilab. Fatimah binti Asad adalah seorang puteri dari Bani Hasyim yang pertama

bersuamikan seorang berasal dari Bani Hasyim juga. Ia termasuk yang paling dini memeluk

agama Islam, serta memberikan dukungan kepada da'wah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad

s.a.w. Beliau sangat menghargai dan menghormati Fatimah binti Asad, bahkan memanggilnya

dengan sebutan "Bunda" dan dipandang sebagai ibu kandung beliau sendiri.

Pada waktu Fatimah binti Asad wafat, Nabi Muhammad s.a.w. bersembahyang untuk

jenazahnya. Di saat pemakamannya, Nabi Muhammad s.a.w. turun sendiri ke liang lahad dan

setelah jenazahnya diselimuti dengan baju beliau, beliau berbaring sejenak di samping

jenazahnya.

Mengetahui hal itu, beberapa orang sahabat sambil keheran-heranan bertanya: "Ya Rasul Allah,

kami tidak pernah melihat anda berbuat seperti itu terhadap orang lain!"

"Tak seorangpun sesudah Abu Thalib yang kupatuhi selain dia", jawab Nabi Muhammad s.a.w.

dengan segera. "Kuselimutkan bajuku, agar kepadanya diberi pakaian indah di dalam sorga, Aku

berbaring di sampingnya, agar ia terhindar dari jepitan dan tekanan kubur."

Ayahanda

Ayahanda Imam Ali r.a. adalah seorang pemimpin Qureisy. Ia sangat terpandang, dicintai,

dihormati dan disegani oleh penduduk Makkah. Beliau dihormati bukan semata-mata karena

kedudukannya, tetapi lebih-lebih karena budi pekertinya yang luhur, jiwanya yang besar,

kepribadiannya yang tinggi dan tindakannya yang senantiasa adil. Satu pribadi yang

mengungguli semua orang pada zamannya. Baik dalam soal kesanggupannya, kemantapannya

maupun dalam kegigihannya membela sesuatu yang diyakininya benar.

Tentang kesanggupan, kemantapan dan kegigihan Abu ThalIib dapat disaksikan dari

penampilan-penampilan beliau menghadapi orang-orang kafir Qureiys. Dengan kekuatan sendiri

ia memikul beban membela Nabi Muhammad s.a.w. dari tantangantantangan dan perlawanan

orang-orang Qureiys. Satu beban yang tak pernah dipikul oleh paman-paman serta keluarga

atau kerabat Nabi Muhammad s.a.w. yang lain. Penilaian yang semacam itu terhadap Abu

Thalib, diterima bulat oleh para sejarawan dari segala mazhab.

Abu Thalib adalah orang yang teguh berdiri membentengi Nabi Muhammad s.a.w. dari segala

bentuk rongrongan komplotan kafir Qureiys. Abu Thalib berbuat demikian didorong oleh

pandangannya yang luas, penglihatan hati dan fikirannya yang tajam, tekad serta semangatnya

yang tak terpatahkan.

Hal ini tercermin pula ketika untuk pertama kalinya Abu Thalib melihat puteranya, Imam Ali

r.a., secara diam-diam bersembahyang di belakang Rasul Allah s.a.w. Diamatinya putera yang

masih muda belia itu telah menjadi pengikut Nabi Muhammad s.a.w. Diperhatikan pula

puteranya itu tidak gelisah bersembahyang meskipun dilihat ayahnya.

Malahan Imam Ali r.a. setelah mengetahui ayahnya melihat ia bersembahyang di belakang Rasul

Allah, segera menghadap kepadanya, kemudian berkata: "Ayah, aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku mempercayai dan membenarkan agama yang dibawa olehnya dan aku

bertekad hendak mengikuti jejaknya!"

Mendengar pernyataan puteranya yang terus terang tanpa dibikin-bikin, Abu Thalib berkata:

"Sudah pasti ia mengajakmu ke arah kebajikan, oleh karena itu tetaplah engkau bersama dia!"

Lain kali Abu Thalib melihat puteranya sedang berdiri di sebelah kanan Nabi Muhammad s.a.w.

yang siap menunaikan sembahyang. Dari kejauhan Abu Thalib melihat puteranya yang seorang

lagi yaitu Ja'far. Ja'far segera dipanggil, kemudian diperintahkan: "Bergabunglah engkau

menjadi sayap putera pamanmu di sebelah kiri, dan bersembahyanglah bersama dia!"

Abu Thalib seorang pemimpin yang mempunyai kebijaksanaan tinggi. Ia tidak bersitegang leher

mempertahankan kebekuan zaman dan tidak menghalang-halangi hadirnya masa mendatang

yang lebih cemerlang. Kebijaksanaan yang tinggi itu tercermin benar dari wasiyat yang

diucapkannya pada detik-detik menjelang ajalnya, ditujukan kepada orang-orang Qureiys:

"…Wahai orang-orang Qureiys. Kuwasiatkan agar kalian senantiasa mengagungkan rumah itu

(Ka'bah). Sebab di sanalah tempat keridhoan Tuhan dan sekaligus juga merupakan tiang

penghidupan… Eratkanlah hubungan silaturrahmi, janganlah sekali-kali kalian putuskan.

Jauhilah perbuatan dzalim… Betapa banyaknya sudah generasi-generasi terdahulu hancur

binasa karena dzalim...!

"Wahai orang-orang Qureiys. Sambutlah dengan baik orang yang mengajak ke jalan yang benar,

dan berikanlah pertolongan kepada setiap orang yang membutuhkan... Sebab dua perbuatan

terpuji itu merupakan kemuliaan bagi seseorang, selagi ia masih hidup dan sesudah mati…

Hendaknya kalian selalu berkata benar dan setia menunaikan amanat…!

"Kuwasiatkan kepada kalian supaya berlaku baik terhadap Muhammad. Sebab ia orang yang

paling terpercaya di kalangan Qureiys dan tidak pernah berdusta…!

"Apa yang kuwasiatkan kepada kalian, semuanya telah terhimpun padanya. Kepada kita ia

datang membawa missi yang sebenarnya dapat diterima oleh hati-sanubari, tetapi diingkari

dengan ujung lidah, hanya karena takut akan tidak disukai orang lain. Demi Allah, aku seakanakan

dapat melihat bahwa orang-orang Arab lapisan bawah, orang-orang yang hidup terluntalunta,

dan orang-orang yang lemah tidak berdaya, sudah siap menyambut baik seruannya,

membenarkan tutur-katanya, dan menjunjung tinggi missi yang di bawanya. Bersama mereka

itulah Muhammad mengarungi ancaman gelombang maut!

"Namun aku juga seolah-olah sudah melihat, bahwa orang-orang Arab akan dengan tulus hati

mengikhlaskan kecintaan mereka dan mempercayakan kepemimpinan kepadanya."

"Demi Allah, barang siapa yang mengikuti jejak langkahnya, ia pasti akan menemukan jalan

yang benar. Dan barang siapa yang mengikuti petunjuk serta bimbingannya, ia pasti selamat!"

"Seandainya aku masih mempunyai sisa umur, semua rong-rongan yang mengganggu dia, pasti

akan kuhentikan dan kucegah, dan ia pasti akan kuhindarkan dari tiap marabahaya yang akan

menirnpanya…"

Wasiat yang gamblang itu tidak memerlukan ulasan lagi. Dari wasiyat yang diucapkan sesaat

sebelum ajalnya datang, orang dapat mengambil kesimpulan sendiri, siapa sebenarnya Abu

Thalib itu, bagaimana sikapnya terhadap Nabi Muhammad s.a.w. dan sejauh mana pandangan

dan fikirannya terhadap Islam.

Sikap, pandangan dan fikiran yang sangat positif itulah yang memberi kesanggupan kepadanya

untuk mencurahkan seluruh hidupnya melindungi pembawa da'wah yang mengajak manusia ke jalan yang benar.

Abu Thalib bukan hanya mengenal kebenaran Nabi Muhammad s.a.w., tetapi juga mengenal

pribadi beliau dengan baik. Ia paman beliau, pengasuh dan pemelihara beliau sejak kanakkanak

sampai dewasa. Dalam waktu yang amat panjang, Abu Thalib menyaksikan sendiri

bagaimana praktek kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. sehari-hari. Abu Thalib rindu sekali ingin

melihat hakekat kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Hatinya pedih dan kesal

menyaksikan kaumnya menyia-nyiakan akal fikiran dan hidup mereka di depan tumpukan batu,

yang dianggapnya sebagai sesembahan dan tuhan-tuhan.

Dengan tangguh Abu Thalib menghadapi tantangan-tantangan kafir Qureiys serta menggagalkan

rencana-rencana jahat yang mereka tujukan terhadap Rasul Allah s.a.w. Ketika orang-orang

kafir Qureiys sudah merasa putus asa dan tidak sanggup lagi membendung da'wah risalah Nabi

Muhammad s.a.w., dan tidak berdaya lagi menggertak Abu Thalib supaya menghentikan

perlindungan dan pembelaannya kepada Rasul Allah s.a.w., maka tokoh-tokoh mereka

mengambil keputusan: melancarkan blokade dan pemboikotan total terhadap semua orang Bani

Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib.

Blokade dan pemboikotan total yang demikian itu adalah cara-cara yang di cela oleh tradisi dan

moral bangsa Arab sendiri. Tetapi bagi kaum kafir Qureiys, itu bukan soal. Yang penting, tujuan

harus tercapai. Segala cara atau jalan mereka halalkan demi tujuan.

Blokade kafir Qureiys itu ternyata lebih mendorong orang-orang Bani Hasyim dan Bani Abdul

Mutthalib untuk bertambah cenderung dan berfihak kepada Abu Thalib. Orang-orang Bani

Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib berhimpun dalam sebuah Syi'ib (lembah di antara dua bukit).

Dengan semangat baja mereka hadapi kepungan ketat serta pemboikotan total di bidang

ekonomi dan sosial. Selama lebih kurang 3 tahun mereka menahan penderitaan dan kelaparan.

Mereka sampai terpaksa menelan dedaunan sekedar untuk mengganjel perut yang lapar.

Selama masa yang penuh derita dan sengsara itu, Abu Thalib tetap tegak berdiri laksana gunung

raksasa yang kokoh-kuat, tak tergoyahkan oleh gelombang badai dan tiupan angin ribut.

Dengan tegas Abu Thalib menolak setiap kompromi dan tawar-menawar yang diajukan oleh

orang-orang kafir Qureiys. Penolakkannya itu diucapkan dengan bait-bait syair. Inilah di antara

syair-syair tersebut :

"Sadarlah kalian, sadarlah,

sebelum banyak liang digali orang,

dan orang-orang tak bersalah diperlakukan sewenang-wenang.

Janganlah kalian ikuti perintah orang jahat tiada berakhlaq

untuk memutuskan tali persahabatan

dan persaudaraan dengan kita.

Demi Tuhan Penguasa Ka'bah,

Kami tak akan menyerahkan Muhammad ke dalam marabahaya

yang dirajut orang-orana penentang zaman,

sebelum terbedakan mana leher kami dan mana leher kalian,

dan sebelum tangan berjatuhan ditebas pedang mengkilat tajam!"

Ya… benarlah. Jika Abu Thalib sudah mempercayai suatu kebenaran, kepercayaannya itu benar benar

keras dan mantap. Sekeras dan semantap kepercayaan yang diwariskan kepada putera

bungsunya, Imam Ali r.a., bahkan sampai kepada anak cucu keturunan Imam Ali r.a.!

Abu Thalib bergerak membela Nabi Muhammad s.a.w. bukan disebabkan karena beliau putera

saudaranya sendiri. Abu Thalib menyingsingkan lengan baju, karena Nabi Muhammad s.a.w.

seorang yang menyerukan kebenaran dan mengajak manusia ke arah kebajikan! Ia membela kebenaran dan bukan membela kekerabatan. Ia menentang dan melawan saudaranya sendiri,

Abu Lahab, karena ia tahu, Abu Lahab berada di atas kebatilan.

Tentang betapa adil dan jujurnya Abu Thalib dapat pula disaksikan dari peristiwa berikut. Pada

suatu hari Rasul Allah s.a.w. memberitahukan kepada Abu Thalib, bahwa naskah pemboikotan

yang ditempelkan oleh orang-orang kafir Qureiys pada dinding Ka'bah sudah hancur di makan

rayap, sehingga tak ada lagi bagian yang tinggal selain yang bertuliskan: "Dengan Nama Allah."

Setelah mendengar keterangan Rasul Allah s.a.w., Abu Thalib segera mendatangi sejumlah

tokoh Qureiys. Kepada tokoh-tokoh kafir Qureiys itu, Abu Thalib berkata dengan lantang: "Hai

orang-orang Qureiys, putera saudaraku telah memberitahu kepadaku, bahwa naskah

pemboikotan yang kalian tulis dan kalian gantungkan pada Ka'bah, sekarang sudah hancur.

Tengoklah naskah kalian itu! Kalau benar terjadi seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad,

hentikanlah pemboikotan kalian terhadap kami. Tetapi jika Muhammad ternyata berdusta, ia

akan kuserahkan kepada kalian!"

Abu Thalib mengatakan semuanya itu hanya berdasarkan kepercayaan yang penuh kepada Nabi

Muhammad s.a.w. Ia sendiri belum pernah melihat bagaimana keadaan naskah yang tergantung

pada dinding Ka'bah.

Tokoh-tokoh Qureiys merasa puas dengan kesediaan Abu Thalib menyerahkan Nabi Muhammad

s.a.w., bila terbukti beliau berdusta. Mereka segera pergi menuju Ka'bah untuk menengok

naskah pemboikotan dan ternyata benar apa yang dikatakan Nabi Muhammad s.a.w. Tokohtokoh

kafir Qureiys lemas, tak berdaya dan terpaksa mengumumkan penghentian pemboikotan

pada hari itu juga. Aksi komplotan mereka berakhir dengan kegagalan.

Dari peristiwa tersebut Abu Thalib memperoleh pembuktian langsung dari Allah s.w.t. tentang

benarnya kepercayaan yang selama ini dipertahankan dan dijaganya baik-baik. Pembuktian

yang didapatnya sebagai mu'jizat Rasul Allah s.a.w. itu datang dari kekuasaan Allah dan bukan

datang dari seorang famili yang harus diikuti.

Jauh sebelum kejadian di atas, orang-orang kafir Qureiys sudah berkali-kali menghimbau Abu

Thalib baik dengan bujuk rayu, maupun dengan ancaman kekerasan. Orang-orang kafir Qureiys

pernah mengancam Abu Thalib dengan kata-kata:

"Hai Abu Thalib, engkau orang yang sudah lanjut usia, terhormat dan mempunyai kedudukan

terpandang… Kami telah berkali-kali meminta kepadamu supaya engkau melarang putera

saudaramu terus menerus berda'wah, tetapi engkau tidak mau melarangnya… Kami tidak dapat

lagi menahan kesabaran mendengar orangtua kami dicerca, tuhan-tuhan kami dicela, dan

orang-orang arif kami dijelek-jelekkan... Silakan engkau pilih… Apakah engkau bersedia

mencegah Muhammad supaya tidak terus menerus menyerang kami, atau, kamilah yang akan

bertindak memerangi dia, termasuk engkau sekaligus, sampai salah satu fihak binasa…"

Mendengar ancaman itu, Abu Thalib bukannya menjadi mundur dalam membela kebenaran Nabi

Muhammad s.a.w., malahan justru bertambah teguh pendiriannya, semakin tinggi semangatnya

dan merasa lebih mampu memberikan tamparan keras terhadap muka orang Qureiys yang sudah

semakin nekad. Melalui syairnya dengan tegas Abu Thalib menjawab:

"Aku tahu bahwa agama Muhammad, agama terbaik bagi segenap manusia. Demi Allah, hai

Muhammad, mereka tak akan dapat menyentuhmu, sebelum aku terkapar berkalang tanah."

Pada suatu hari Abu Thalib sedang duduk santai di rumah. Tiba-tiba datang Rasul Allah s.a.w.

kelihatan sedih dan kesal. Setelah duduk, Rasul Allah s.a.w. segera menyampaikan

persoalannya. Mendengar keterangan beliau, Abu Thalib segera mengerti, bahwa orang-orang

kafir Qureiys telah berhasil membujuk salah seorang yang berperangai jahat di kalangan mereka melemparkan kotoran ternak dan gumpalan darah beku ke atas kepala Rasul Allah

s.a.w. Pelemparan itu dilakukan, di saat Nabi Muhammad s.a.w. sedang sujud bermunajat ke

hadirat Allah s.w.t.

Dengan tidak menunggu waktu lagi Abu Thalib bangkit. Dengan tangan kanan membawa pedang

terhunus dan tangan kiri menggandeng Nabi Muhammad s.a.w., ia berangkat mendatangi

gerombolan Qureiys yang telah mengganggu Nabi Muhammad s.a.w. Setiba di depan

gerombolan itu, Abu Thalib berhenti sejenak. Diperhatikannya gerak-gerik gerombolan itu.

Seorang demi seorang mereka mundur. Rupanya di luar perkiraan mereka, bahwa Nabi

Muhammad s.a.w. akan datang kembali bersama pamannya.

Abu Thalib terus berteriak kepada gerombolan itu: "Demi Allah, yang Muhammad beriman

kepada-Nya. Jika ada seorang dari kalian yang berani melawan, akan kupersingkat umurnya

dengan pedang ini!"

Setelah itu Abu Thalib dengan tangannya sendiri membersihkan tubuh Nabi Muhammd s.a.w.

dari kotoran ternak dan darah. Semua kotoran itu dikumpulkan, digenggam, lalu dilemparkan

ke wajah orang-orang Qureiys yang sedang siap hendak lari. Di hadapan Abu Thalib kelihatan

sekali kekerdilan gerombolan itu.

Dalam membela dan melindungi Rasul Allah s.a.w. dari marabahaya keteguhan Abu Thalib

dapat diandalkan benar. Keteguhannya itu tercermin juga dari syair-syair yang diucapkannya

sendiri:

Janganlah kalian sulut api pengobar perang,

Yang akibat-pahitnya akan ditelan semua orang!

Demi Allah, Muhammad tak nanti 'kan kuserahkan

Kepada tangan pencetus bencana mengerikan.

Kenalkah kalian siapa Hasyim,

Ksatria yang pernah berpesan,

Agar kami berani berperang dengan semangat jantan?

Kami bukan pejuang-pejuang yang jemu perang,

Tak'kan kami sesali yang gugur di medan juang!

Kubela Rasul, utusan Penguasa Maha Kuasa,

Pembawa amanat berkilauan laksana kilat bercahaya,

Kubela dan kulindungi utusan Tuhan Ilahi,

Karena ia manusia kesayanganku sendiri,

Kulindungi ia dari serangan musuh-musuhnya,

Laksana gadis kulindungi dari gangguan pria!

Hai Abu Ya'la,

Teguh dan sabarlah dalam agama Muhammad,

Nyatakan dirimu terang-terangan sebagai muslim yang mantap,

Bulatkan tekad mendampingi pembawa kebenaran Tuhan,

Betapa riang hatiku mendengar engkau beriman,

Janganlah engkau menjadi kafir tidak bertuhan,

Jadikan dirimu pembela Rasul dan pembela Tuhan,

Tunjukkan agamamu di mata Qureiys terang-terangan,

Katakanlah: Muhammad Saw bukan si tukang sihir!

Datukanda

Pada waktu jemaah haji berjubel tiap tahun di sekitar sumur Zamzam, tentu mereka teringat

kepada nama seorang terhormat yang dikagumi rakyatnya. Nama seorang yang dengan tangan

dan keringat sendiri menggali sumur itu hingga airnya memancar, setelah sekian abad lamanya

tertutup. Sumur Zamzam tak dapat dipisahkan dari nama Abdul Mutthalib.

Pada satu malam, di kala Abdul Mutthalib sedang tidur, jiwanya yang putih bersih menyongsong

suara orang berseru: "Galilah Thaibah!" Abdul Mutthalib terjaga. Ia tak mengerti takwil

mimpinya. Pada malam berikutnya orang yang bersuara itu muncul kembali dalam mimpi.

"Galilah barrah!".

Abdul Mutthalib terbangun. Ia masih tak dapat memahami apa yang harus dilakukan. Pada

malam ketiga, sekali lagi ia mendengar suara itu di dalam mimpi: "Galilah Zamzam!" Abdul

Mutthalib bertanya: "Apakah arti Zamzam?" orang yang berseru itu menjelaskan: "Ia tidak

kunjung kering dan tak berkurang airnya, sanggup memberi minum kepada jemaah haji betapa

pun besar jumlahnya!" Kemudian ditunjukkan tempatnya.

Pagi-pagi buta, dengan disertai puteranya, Al Harits, ia berangkat menuju letak sumur yang

ditunjuk dalam mimpi. Bersama puteranya ia bekerja menggali. Tak lama kemudian memancar

air dari sumber yang abadi. Sebenarnya tempat itu dahulunya merupakan sumur. Hanya dalam

kurun waktu yang panjang telah tertimbun oleh batu-batu besar dan pasir. Dahulu kala sumur

itu merupakan kurnia Allah s.w.t. kepada Nabi Isma'il a.s. bersama bundanya.

Abdul Mutthalib atau Syaibah (nama aslinya) adalah seorang yang mempunyai type cemerlang.

Sukar ditemukan bandingannya. Keharuman namanya menjadi buah bibir orang di segenap

penjuru gurun sahara Semenanjung Arabia. Karena banyak pekerjaan terpuji yang

dilakukannya, sehingga ia disebut dengan nama panggilan "Syaibatul Hamd". Bahkan banyak

yang menyebutnya sebagai "Pemberi makan manusia di dataran dan pengumpan margasatwa di

pegunungan!"

Abdul Mutthalib seorang yang memiliki kebijaksanaan yang luas dan iman yang dalam. Hal ini

tercermin dengan jelas, tatkala Abrahah datang ke Makkah membawa pasukan yang luar biasa

besarnya guna menghancurkan Ka'bah. Setelah Abdul Mutthalib mengetahui bahwa kaumnya

tidak sanggup menghadapi pasukan penyerbu, maka diperintahkan supaya masing-masing pergi

mengungsi ke daerah-daerah pegunungan. Tinggalkan kota Makkah sebagai kota kosong. Anak

dan isteri serta hak miliknya masing-masing supaya dibawa. Mengenai keselamatan Ka'bah

diserahkan kepada Pemilik rumah suci itu.

Pada suatu hari, Abdul Mutthalib pergi menemui Abrahah. Ketika Abdul Mutthalib ditanya oleh

Abrahah tentang maksud kedatangannya, Abdul Mutthalib dengan tegas menjawab: "Aku datang

kepada tuan untuk meminta kembali unta-untaku yang tuan ambil."

Abrahah menyatakan keheranannya karena Abdul Mutthalib sebagai penguasa Makkah tidak

memikirkan Ka'bah yang akan dihancurkannya itu, tetapi hanya memikirkan unta-untanya saja.

Guna menghilangkan keheranan Raja Yaman itu, Abdul Mutthalib dengan jelas mengatakan,

bahwa unta-unta yang kalian ambil adalah milikku, sedang Ka'bah yang hendak dihancurkan itu

mempunyai pemiliknya sendiri yang akan melindungi keselamatannya.

Itulah pendirian seorang yang benar-benar berketuhanan. Seorang yang hidup di tengah-tengah

gelombang penyembahan berhala. Jiwa dan hati nuraninya dikuasai sepenuhnya oleh perasaan

halus yang tersembunyi, yang mengakui dengan haqqul yakin, bahwa di sana terdapat Tuhan

Yang Maha Mulia, Maha Agung dan Maha Kuasa.

Kemurnian iman Abdul Mutthalib tampak jelas sekali. Walaupun ia tahu, bahwa di sekitar

Ka'bah bercokol 300 buah lebih berhala, tidak kepada sebuah berhala pun ia meminta

pertolongan guna menyelamatkan Ka'bah. Ia tidak meminta kepada si Hubal, tidak kepada Laat

dan tidak pula kepada si Uzza! Meskipun tidak ada jarak pemisah antara berhala-berhala itu

dengan Ka'bah, Abdul Mutthalib sama sekali tidak sudi meminta sesuatu kepada patung

sembahan jahiliyah itu!

Tidak lain ia hanya memohon kepada Allah, tunduk dan khusuk kepada-Nya, serta hanya mau

berlindung kepada Yang Maha Agung dan Maha Tinggi, sesuai dengan isyarat yang diberikan oleh

perasaan halus yang tersembunyi di dalam hati nuraninya: "Ya Tuhan, tiap orang

mempertahankan rumahnya, oleh karena itu pertahankanlah Rumah-Mu!" Alangkah sederhana

dan mantapnya doa seperti itu.

Doa Abdul Mutthalib ternyata bukan seperti melempar batu ke lubuk. Pukulan yang mematikan

dialami oleh balatentara Abrahah. Dengan suatu "pasukan" yang paling lemah berupa burungburung

Ababil, Allah s.w.t. menghancurkan mereka. Burung-burung menyebarkan maut di

kalangan balatentara Abrahah. Bangkai mereka bergelimpangan menjadi cerita sejarah.

Sifat pasrah diri Abdul Mutthalib kepada Allah seperti di atas seakan-akan kekanak-kanakan.

Sungguh tidaklah demikian. Pasrah diri Abdul Mutthalib bukan pasrah diri orang yang sama

sekali tak berdaya, melainkan karena keyakinan imannya, bahwa di sana ada Allah Maha Kuasa,

Tuhan yang senantiasa berada di belakang setiap gerak dan perbuatan. Abdul Mutthalib yakin,

sesuatu yang tak dapat dilaksanakan dengan kekuatan kebajikan yang ada pada manusia akan

ditentukan persoalannya oleh Dia sendiri Yang Maha Kuasa. Sungguh, suatu kepasrahan yang

sangat polos, indah dan murni.

Melalui Abdul Mutthalib Allah s.w.t. melimpahkan kemudahan dan keberkahan kepada

penduduk Makkah. Lebih dari satu kali langit dan udara Makkah sedemikian gersangnya. Tidak

setetes air hujan pun yang turun membasahi bumi. Hampir saja penduduk mati kekeringan dan

dilanda paceklik amat berat. Pada saat yang berat itu, penduduk mendatangi Abdul Mutthalib.

Abdul Mutthalib mengajak mereka berbondong-bondong menuju sebuah puncak bukit. Di

puncak bukit itulah dengan khusyu' Abdul Mutthalib berdoa: "Ya Tuhan, mereka itu adalah

hamba-hamba-Mu. Engkau mengetahui apa yang sedang menimpa kami semua. Oleh karena itu

jauhkanlah kegersangan dari kami, turunkanlah hujan membawa rahmat dan berkah,

menumbuhkan tetanaman, memberi kehidupan dan penghidupan."

Iman Abdul Mutthalib kelihatannya memang lain dari yang yang lain. Iman seorang yang hidup

di masa penyembahan berhala masih menjadi agama peribadatan di mana-mana. Namun Abdul

Mutthalib mengenal Allah melalui setiap nikmat yang terlimpah kepadanya dan dari tiap

langkah yang berhasil ditempuhnya.

Ketika ia mendengar kelahiran cucunya, Nabi Muhammad s.a.w., segera diemban dan dibawa

masuk ke dalam Ka'bah. Disana ia memanjatkan puji syukur dalam bentuk syair:

"Puji syukur bagi Allah yang mengaruniakan kepadaku,

seorang anak yang baik susunan bentuknya ini,

selagi dalam buaian ia mengungguli anak yang lain.

Ia kulindungkan pada Tuhan Maha Perkasa

sampai kusaksikan masa dewasanya."

Abdul Mutthalib ditunjukkan oleh penglihatan batinnya sendiri, sehingga dapat mengetahui

bahwa anak yang baru lahir itu akan memainkan peranan besar di kemudian hari. Oleh karena

itu ia mencintai Nabi Muhammad s.a.w. melebihi kecintaan yang diberikannya kepada

siapapun.

Tiap kali Abdul Mutthalib bertemu dengan Abu Thalib, tangan puteranya itu selalu ditarik,

kemudian dilekatkan pada tangan cucunya, Nabi Muhammad s.a.w., sambil berkata: "Hai Abu

Thalib, di kemudian hari anak ini akan mempunyai kedudukan, oleh karena itu jagalah dia baikbaik.

Jangan kaubiarkan ada sesuatu yang tidak baik menyentuhnya!"

Amanat ayahnya dipenuhi dengan baik oleh Abu Thalib. Ia jaga dan pelihara putera saudaranya

itu sebagaimana mestinya. Ia mengasuh anak itu sesuai dengan kematangan berfikirnya, ketinggian martabat keturunannya dan kebesaran sifat keutamaannya.

Abdul Mutthalib adalah datukanda Nabi Muhammd s.a.w., juga datukanda Imam Ali r.a.

Setelah keluarga besar itu ditinggal wafat oleh Abdul Mutthalib dan Abu Thalib, Imam Ali r.a.

sebagai cucu Abdul Mutthalib dan putera Abu Thalib mewarisi budi pekerti luhur dan kebesaran

jiwa yang sukar ditemukan bandingannya. Ia benar-benar mewarisi dua hal sekaligus: akhlaq

utama dan darah mulia.