Bab III : Rumah Tangga Serasi
Lahirnya Sitti Fatimah Azzahra r.a. merupakan rahmat yang dilimpahkan llahi kepada Nabi
Muhammad s.a.w. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan yang suci. Ia laksana benih yang
akan menumbuhkan pohon besar pelanjut keturunan Rasul Allah s.a.w. Ia satu-satunya yang
menjadi sumber keturunan paling mulia yang dikenal umat Islam di seluruh dunia. Sitti Fatimah
Azzahra r.a. dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20 Jumadil Akhir, kurang lebih lima tahun
sebelum bi'tsah.
Sitti Fatimah Azzahra r.a. tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah
kancah pertarungan sengit antara Islam dan Jahiliyah, di kala sedang gencar-gencarnya
perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Dalam keadaan masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. sudah harus mengalami
penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Ia berkenalan dengan pahit getirnya
perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah
bundanya hidup menderita di dalam Syi'ib, akibat pemboikotan orang-orang kafir Qureiys
terhadap keluarga Bani Hasyim.
Setelah bebas dari penderitaan jasmaniah selama di Syi'ib, datang pula pukulan batin atas diri
Sitti Fatimah Azzahra r.a., berupa wafatnya bunda tercinta, Sitti Khadijah r.a. Kabut sedih
selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih
sayang ibu.
Puteri Kesayangan
Rasul Allah s.a.w. sangat mencintai puterinya ini. Sitti Fatimah Azzahra r.a. adalah puteri
bungsu yang paling disayang dan dikasihani junjungan kita Rasul Allah s.a.w. Nabi Muhammad
s.a.w. merasa tak ada seorang pun di dunia yang paling berkenan di hati beliau dan yang paling
dekat disisinya selain puteri bungsunya itu.
Demikian besar rasa cinta Rasul Allah s.a.w. kepada puteri bungsunya itu dibuktikan dengan
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut hadits tersebut Rasul Allah s.a.w. berkata
kepada Imam Ali r.a. demikian:
"Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku dan buah
hatiku. Barang siapa menyusahkan dia, ia menyusahkan aku dan siapa yang menyenangkan dia,
ia menyenangkan aku…"
Pernyataan beliau itu bukan sekedar cetusan emosi, melainkan suatu penegasan bagi umatnya,
bahwa puteri beliau itu merupakan lambang keagungan abadi yang ditinggalkan di tengah
ummatnya.
Di kala masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. menyaksikan sendiri cobaan yang dialami
oleh ayah-bundanya, baik berupa gangguan-gangguan, maupun penganiayaan-penganiayaan
yang dilakukan orang-orang kafir Qureiys. Ia hidup di udara Makkah yang penuh dengan debu
perlawanan orang-orang kafir terhadap keluarga Nubuwaah, keluarga yang menjadi pusat iman,
hidayah dan keutamaan. Ia menyaksikan ketangguhan dan ketegasan orang-orang mukminin
dalam perjuangan gagah berani menanggulangi komplotan-komplotan Qureiys. Suasana perjuangan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa Sitti Fatimah Azzahra r.a. dan
memainkan peranan penting dalam pembentukan pribadinya, serta mempersiapkan kekuatan
mental guna menghadapi kesukaran-kesukaran di masa depan.
Setelah ibunya wafat, Sitti Fatimah Azzahra r.a. hidup bersama ayahandanya. Satu-satunya
orang yang paling dicintai. Ialah yang meringankan penderitaan Rasul Allah s.a.w. tatkala
ditinggal wafat isteri beliau, Sitti Khadijah. Pada satu hari Sitti Fatimah Azzahra r.a.
menyaksikan ayahnya pulang dengan kepala dan tubuh penuh pasir, yang baru saja dilemparkan
oleh orang-orang Qureys, di saat ayahandanya itu sedang sujud. Dengan hati remuk-redam
laksana disayat sembilu, Sitti Fatimah r.a. segera membersihkan kepala dan tubuh
ayahandanya. Kemudian diambilnya air guna mencucinya. Ia menangis tersedu-sedu
menyaksikan kekejaman orang-orang Qureisy terhadap ayahnya.
Kesedihan hati puterinya itu dirasakan benar oleh Nabi Muhammad s.a.w. Guna menguatkan
hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya, maka Nabi Muhammad s.a.w., sambil membelaibelai
kepala puteri bungsunya itu, berkata: "Jangan menangis..., Allah melindungi ayahmu dan
akan memenangkannya dari musuh-musuh agama dan risalah-Nya"
Dengan tutur kata penuh semangat itu, Rasul Allah s.a.w. menanamkan daya-juang tinggi ke
dalam jiwa Sitti Fatimah r.a., dan sekaligus mengisinya dengan kesabaran, ketabahan serta
kepercayaan akan kemenangan akhir. Meskipun orang-orang sesat dan durhaka seperti kafir
Qureiys itu senantiasa mengganggu dan melakukan penganiayaan-penganiayaan, namun Nabi
Muhammad s:a.w. tetap melaksanakan tugas risalahnya.
Pada ketika lain lagi, Sitti Fatimah r.a. menyaksikan ayahandanya pulang dengan tubuh penuh
dengan kotoran kulit janin unta yang baru dilahirkan. Yang melemparkan kotoran atau najis ke
punggung Rasul Allah s.a.w. itu Uqbah bin Mu'aith, Ubaiy bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf.
Melihat ayahandanya berlumuran najis, Sitti Fatimah r.a. segera membersihkannya dengan air
sambil menangis.
Nabi Muhammad rupanya menganggap perbuatan ketiga kafir Qureiys ini sudah keterlaluan.
Karena itulah maka pada waktu itu beliau memanjatkan doa kehadirat Allah s.w.t.: "Ya Allah
celakakanlah orang-orang Qureiys itu. Ya Allah, binasakanlah 'Uqbah bin Mu'aith. Ya Allah
binasakanlah Ubay bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf"
Masih banyak lagi pelajaran yang diperoleh Sitti Fatimah dari penderitaan ayahandanya dalam
perjuangan menegakkan kebenaran Allah. Semuanya itu menjadi bekal hidup baginya untuk
menghadapi masa mendatang yang berat dan penuh cobaan. Kehidupan yang serba berat dan
keras di kemudian hari memang memerlukan mental gemblengan.
Hijrah ke Madinah
Tepat pada saat orang-orang kafir Qureiys selesai mempersiapkan komplotan terror untuk
membunuh Rasul Allah s.a.w., Madinah telah siap menerima kedatangan beliau. Nabi
Muhammad meninggalkan kota Makkah secara diam-diam di tengah kegelapan malam. Beliau
bersama Abu Bakar Ash Shiddiq meninggalkan kampung halaman, keluarga tercinta dan sanak
famili. Beliau berhijrah, seperti dahulu pernah juga dilakukan Nabi Ibrahim as. dan Musa a.s.
Di antara orang-orang yang ditinggalkan Nabi Muhammad s.a.w. termasuk puteri kesayangan
beliau, Sitti Fatimah r.a. dan putera paman beliau yang diasuh dengan kasih sayang sejak kecil,
yaitu Imam Ali r.a. yang selama ini menjadi pembantu terpercaya beliau.
Imam Ali r.a. sengaja ditinggalkan oleh Nabi Muhammad untuk melaksanakan tugas khusus:
berbaring di tempat tidur beliau, guna mengelabui mata komplotan Qureiys yang siap hendak
membunuh beliau. Sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan tugas tersebut, ia dipesan oleh Nabi
Muhammad s.a.w. agar barang-barang amanat yang ada pada beliau dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Setelah itu bersama semua anggota keluarga Rasul Allah s.a.w.,
segera menyusul berhijrah.
Imam Ali r.a. membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah
bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Rasul Allah s.a.w. terdiri dari
keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali r.a. Di dalam rombongan Imam Ali r.a.
ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Imam Ali r.a.), Fatimah binti
Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu
Waqid Al Laitsiy, ikut bergabung dalam rombongan.
Rombongan Imam Ali r.a. berangkat dalam keadaan terburu-buru. Perjalanan ini tidak
dilakukan secara diam-diam. Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang dikendarai
para wanita, agar jangan terkejar oleh orang-orang kafir Qureiys. Mengetahui hal itu, Imam Ali
r.a. segera memperingatkan Abu Waqid, supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua
penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan terik
matahari.
Imam Ali r.a., sebagai pemimpin rombongan, berangkat dengan semangat yang tinggi. Beliau
siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal dilakukan orang-orang kafir Qureiys terhadap
rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan mereka. Untuk itu ia siap
berlawan tiap saat.
Mendengar rombongan Imam Ali r.a. berangkat, orang-orang Qureiys sangat penasaran. Lebihlebih
karena rombongan Imam Ali r.a. berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di
siang hari. Orang-orang Qureiys menganggap bahwa keberanian Imam Ali r.a. yang semacam itu
sebagai tantangan terhadap mereka.
Orang-orang Qureiys cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda untuk
mengejar Imam Ali r.a. dan rombongan. Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup
atau mati. Delapan orang Qureiys itu, di sebuah tempat bernama Dhajnan berhasil mendekati
rombongan Imam Ali r.a.
Setelah Imam Ali r.a. mengetahui datangnya pasukan berkuda Qureiys, ia segera
memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya.
Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurunkan mereka dari
punggung unta. Seterusnya ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Qureisy dengan
pedang terhunus. Rupanya Imam Ali r.a. hendak berbicara dengan bahasa yang dimengerti oleh
mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan mereka.
Melihat Imam Ali r.a. mendekati mereka, gerombolan Qureiys itu berteriak-teriak menusuk
perasaan: "Hai penipu, apakah kaukira akan dapat menyelamatkan perempuan-perempuan itu?
Ayo, kembali! Engkau sudah tidak berayah lagi."
Imam Ali r.a. dengan tenang menanggapi teriakan-teriakan gerombolan Qureiys itu. Ia
bertanya: "Kalau aku tidak mau berbuat itu...?"
"Mau tidak mau engkau harus kembali," sahut gerombolan Qureiys dengan cepat.
Mereka lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wanita. Imam Ali r.a. menghalangi usaha
mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak memukul
Imam Ali r.a. dari atas kuda. Akan tetapi belum sempat ayunan pedangnya sampai, hantaman
pedang Imam Ali r.a. telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah menjadi dua,
sehingga pedang Imam Ali r.a. sampai menancap pada punggung kuda. Serangan-balas secepat
kilat itu sangat menggetarkan teman-teman Jenah. Sambil menggeretakkan gigi, Imam Ali r.a.
berkata: "Lepaskan orang-orang yang hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan menyembah selain Allah Yang Maha Kuasa!"
Gerombolan Qureiys mundur. Mereka meminta kepada Imam Ali r.a. untuk menyarungkan
kembali pedangnya. Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Aku hendak berangkat menyusul
saudaraku, putera pamanku, Rasul Allah. Siapa yang ingin kurobek-robek dagingnya dan
kutumpahkan darahnya, cobalah maju mendekati aku!"
Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Qureiys itu segera meninggalkan tempat. Kejadian ini
mencerminkan watak konfrontasi bersenjata yang bakal datang antara kaum muslimin melawan
agresi kafir Qureiys.
Di Dhajnan, rombongan Imam Ali r.a. beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu Aiman
(ibu Aiman). Ia menyusul anaknya yang telah berangkat lebih dahulu bersama Imam Ali r.a.
Bersama Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yang berangkat hijrah. Keesokan
harinya rombongan Imam Ali r.a. beserta rombongan Ummu Aiman melanjutkan perjalanan.
Imam Ali r.a. sudah rindu sekali ingin segera bertemu dengan Rasul Allah s.a.w.
Waktu itu Rasul Allah s.a.w. bersama Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sudah tiba dekat kota
Madinah. Untuk beberapa waktu, beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan
rombongan Imam Ali r.a. Kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, Rasul Allah s.a.w. memberitahu,
bahwa beliau tidak akan memasuki kota Madinah, sebelum putera pamannya dan puterinya
sendiri datang.
Selama dalam perjalanan itu Imam Ali r.a. tidak berkendaraan sama sekali. Ia berjalan kakitelanjang
menempuh jarak kl 450 km sehingga kakinya pecah-pecah dan membengkak.
Akhirnya tibalah semua anggota rombongan dengan selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasul
Allah s.a.w. menyambut kedatangan orang-orang yang disayanginya itu.
Ketika Nabi Muhammad s.a.w. melihat Imam Ali r.a. tidak sanggup berjalan lagi karena kakinya
membengkak, beliau merangkul dan memeluknya seraya menangis karena sangat terharu.
Beliau kemudian meludah di atas telapak tangan, lalu diusapkan pada kaki Imam Ali r.a. Konon
sejak saat itu sampai wafatnya, Imam Ali r.a. tidak pernah mengeluh karena sakit kaki.
Peristiwa yang sangat mengharukan itu berkesan sekali dalam hati Rasul Allah s.a.w. dan tak
terlupakan selama-lamanya. Berhubung dengan peristiwa itu, turunlah wahyu Ilahi yang
memberi penilaian tinggi kepada kaum Muhajirin, seperti terdapat dalam Surah Ali 'Imran:195.
Ijab-Kabul Pernikahan
Sitti Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan kecantikannya pada saat
risalah yang dibawakan Nabi Muhammad s.a.w. sudah maju dengan pesat di Madinah dan
sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a. benar-benar telah menjadi remaja puteri.
Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat yang
menggantungkan harapan ingin mempersunting puteri Rasul Allah s.a.w. itu. Beberapa orang
terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran
itu, Nabi Muhammad s.a.w. mengemukakan, bahwa beliau sedang menantikan datangnya
petunjuk dari Allah s.w.t. mengenai puterinya itu.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Khatab r.a. dan Sa'ad bin Mu'adz
bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu
diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau bertanya kepada
Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: "Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu
kepada Ali bin Abi Thalib?"
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak untuk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dengan tergopoh-gopoh
dan terperanjat ia menyambutnya, kemudian bertanya: "Anda datang membawa berita apa?"
Setelah duduk beristirahat sejenak, Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan
persoalannya: "Hai Ali, engkau adalah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
serta mempunyai keutamaan lebih dibanding dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada
dirimu. Demikian pula engkau adalah kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat
terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau untuk dapat mempersunting puteri
beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya ditolak. Beliau mengemukakan, bahwa persoalan
puterinya diserahkan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi, hai Ali, apa sebab hingga sekarang
engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar
untuk dirimu sendiri? Kuharap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu untukmu."
Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. berlinang-linang. Menanggapi katakata
itu, Imam Ali r.a. berkata: "Hai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang
semulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku
memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah
karena aku tidak mempunyai apa-apa."
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yang memelas itu. Untuk membesarkan
dan menguatkan hati Imam Ali r.a., Abu Bakar r.a. berkata: "Hai Ali, janganlah engkau berkata
seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan
belaka!"
Setelah berlangsung dialog seperlunya, Abu Bakar r.a. berhasil mendorong keberanian Imam Ali
r.a. untuk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.
Beberapa waktu kemudian, Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah s.a.w. yang ketika itu
sedang berada di tempat kediaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang, Ummu
Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: "Siapakah yang mengetuk pintu?" Rasul Allah s.a.w.
menjawab: "Bangunlah dan bukakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya,
dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!"
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: "Ya,
tetapi siapakah dia itu?"
"Dia saudaraku, orang kesayanganku!" jawab Nabi Muhammad s.a.w.
Tercantum dalam banyak riwayat, bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan
pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu:
"Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu, sampai kakiku terantuk-antuk. Setelah pintu kubuka,
ternyata orang yang datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia
masuk, kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan
duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala, seolah-olah mempunyai
maksud, tetapi malu hendak mengutarakannya.
Rasul Allah mendahului berkata: "Hai Ali nampaknya engkau mempunyai suatu keperluan.
Katakanlah apa yang ada dalam fikiranmu. Apa saja yang engkau perlukan, akan kauperoleh
dariku!"
Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yang demikian itu, lahirlah keberanian Ali bin Abi
Thalib untuk berkata: "Maafkanlah, ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah
mengambil aku dari paman anda, Abu Thalib dan bibi anda, Fatimah binti Asad, di kala aku
masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.
Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda, ya Rasul
Allah, adalah tempat aku bernaung dan anda jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan
akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin berumah
tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri
anda, Fatimah. Ya Rasul Allah, apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku
dengan dia?"
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: "Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri.
Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, apakah engkau mempunyai
suatu bekal maskawin?'' .
"Demi Allah", jawab Ali bin Abi Thalib dengan terus terang, "Anda sendiri mengetahui
bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak anda ketahui. Aku tidak
mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta."
"Tentang pedangmu itu," kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib,
"engkau tetap membutuhkannya untuk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu
engkau juga butuh untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau
memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu aku hendak menikahkan engkau hanya
atas dasar maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai
Ali engkau wajib bergembira, sebab Allah 'Azza wajalla sebenarnya sudah lebih dahulu
menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!" Demikian versi riwayat
yang diceritakan Ummu Salmah r.a.
Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dengan disaksikan oleh
para sahabat, Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya:
"Bahwasanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar
maskawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal
itu."
"Ya, Rasul Allah, itu kuterima dengan baik", jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.
Rumah Tangga Sederhana
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. untuk diatur
penggunaannya. Dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w., Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham
kepada Ummu Salmah untuk "biaya pesta" perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan untuk
membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.
-sehelai baju kasar perempuan;
-sehelai kudung;
-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;
-sebuah balai-balai;.
-dua buah kasur, terbuat dari kain kasar Mesir (yang sebuah berisi ijuk kurma dan yang sebuah
bulu kambing);
-empat buah bantal kulit buatan Thaif (berisi daun idzkir);
-kain tabir tipis terbuat dari bulu;
-sebuah tikar buatan Hijr;
-sebuah gilingan tepung;
-sebuah ember tembaga;
-kantong kulit tempat air minum;
-sebuah mangkuk susu;
-sebuah mangkuk air;
-sebuah wadah air untuk sesuci;
-sebuah kendi berwarna hijau;
-sebuah kuali tembikar;
-beberapa lembar kulit kambing;
-sehelai 'aba-ah (semacam jubah);
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dengan itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang
sederhana dan mudah didapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke dinding
lain dipancangkan sebatang kayu untuk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk
disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah
rumah kediaman Imam Ali r.a. yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Sitti Fatimah
Azzahra r.a.
Selama satu bulan sesudah pernikahan, Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yang lama.
Imam Ali r.a. merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya
puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan ditemani oleh salah seorang
kerabatnya dari Bani Hasyim, Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka
menemui Ummu Aiman, pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman,
Imam Ali r.a. menyampaikan keinginannya.
Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yang menjadi
keinginan Imam Ali r.a. Sesudah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut, ia terus
pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.
Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah r.a., para isteri Nabi Muhammad
s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata
beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.
Suami-Isteri Yang Serasi
Sitti Fatimah r.a. dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana
itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya
kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari
kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah .diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang
ditegakkan di atas fondasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih mulia
dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba megah dan mewah.
Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Duaduanya
selalu riang dan tak pernah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari,
bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w., tetapi juga isteri
seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sanggup berkorban, seorang pemegang panji-panji
perjuangan Islam yang murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian, dirinya harus dapat
menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Sitti Khadijah
r.a.) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad s.a.w.
Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu bekerja sama dan saling bantu dalam
mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah
r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sendiri. Ia membuat roti,
menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani
dengan tenaga sendiri.
Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat.
Bahkan tidak jarang beliau bersama Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu
pekerjaan Sitti Fatimah r.a.
Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukiskan betapa beratnya kehidupan
rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebuah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w.
berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan
puterinya menangis, Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau
menghibur puterinya: "Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di
akhirat kelak"
Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti
Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau
terus bertanya: "Siapakah di antara kalian berdua yang akan kugantikan?"
"Fatimah! " Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya
menggiling tepung bersama Imam Ali r.a.
Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa beratnya penghidupan dan kehidupan
rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggupan
Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang penuh bakti kepada suami, taqwa
kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.
Ada sebuah riwayat lain yang menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah r.a. sehari-hari
mengurus kehidupan rumah-tangganya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari
Rasul Allah s.a.w. bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal
bin Rabbah, yang akan mengumandangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari.
Ketika Bilal terlambat datang, oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan ditanya apa sebabnya. Bilal
menjelaskan:
"Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggiling tepung. Al Hasan, puteranya
yang masih bayi, diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya "Manakah
yang lebih baik, aku menolong anakmu itu, ataukah aku saja yang menggiling tepung". Ia
menyahut: "Aku kasihan kepada anakku". Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling
gandum. Itulah yang membuatku datang terlambat!"
Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata: "Engkau mengasihani dia dan Allah
mengasihani dirimu!"
Hal-hal tersebut di atas adalah sekelumit gambaran tentang kehidupan suatu keluarga suci di
tengah-tengah masyarakat Islam. Kehidupan keluarga yang penuh dengan semangat gotongroyong.
Selain itu kita juga memperoleh gambaran betapa sederhananya kehidupan pemimpinpemimpin
Islam pada masa itu. Itu merupakan contoh kehidupan masyarakat yang dibangun
oleh Islam dengan prinsip ajaran keluhuran akhlaq. Itupun merupakan pencerminan kaidahkaidah
agama Islam, yang diletakkan untuk mengatur kehidupan rumah-tangga.
Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. dan Sitti Fatimah r.a., ketiganya merupakan tauladan bagi
kehidupan seorang ayah, seorang suami dan seorang isteri di dalam Islam. Hubungan antar
anggota keluarga memang seharusnya demikian erat dan serasi seperti mereka.
Tak ada tauladan hidup sederhana yang lebih indah dari tauladan yang diberikan oleh keluarga
Nubuwwah itu. Padahal jika mereka mau, lebih-lebih jika Rasul Allah s.a.w. sendiri
mengehendaki, kekayaan dan kemewahan apakah yang tidak akan dapat diperoleh beliau?
Tetapi sebagai seorang pemimpin yang harus menjadi tauladan, sebagai seorang yang
menyerukan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan serta persamaan, sebagai orang yang hidup
menolak kemewahan duniawi, beliau hanya mengehendaki supaya ajaran-ajarannya benarbenar
terpadu dengan akhlaq dan cara hidup ummatnya. Beliau mengehendaki agar tiap orang,
tiap pendidik, tiap penguasa dan tiap pemimpin bekerja untuk perbaikan masyarakat. Masingmasing
supaya mengajar, memimpin dan mendidik diri sendiri dengan akhlaq dan perilaku
utama, sebelum mengajak orang lain. Sebab akhlaq dan perilaku yang dapat dilihat dengan nyata, mempunyai pengaruh lebih besar, lebih berkesan dan lebih membekas dari pada sekedar
ucapan-ucapan dan peringatan-peringatan belaka. Dengan praktek yang nyata, ajakan yang
baik akan lebih terjamin keberhasilannya.
Sebuah riwayat lagi yang berasal dari Imam Ali r.a. sendiri mengatakan: Sitti Fatimah pernah
mengeluh karena tapak-tangannya menebal akibat terus-menerus memutar gilingan tepung. Ia
keluar hendak bertemu Rasul Allah s.a.w. Karena tidak berhasil, ia menemui Aisyah r.a.
Kepadanya diceritakan maksud kedatangannya. Ketika Rasul Allah s.a.w. datang, beliau
diberitahu oleh Aisyah r.a. tentang maksud kedatangan Fatimah yang hendak minta diusahakan
seorang pembantu rumah-tangga. Rasul Allah s.a.w. kemudian datang ke rumah kami. Waktu
itu kami sedang siap-siap hendak tidur. Kepada kami beliau berkata: "Kuberitahukan kalian
tentang sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian minta kepadaku. Sambil berbaring
ucapkanlah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada
seorang pembantu yang akan melayani kalian."
Sambutan Nabi Muhammad s.a.w. atas permintaan puterinya agar diberi pembantu, merupakan
sebuah pelajaran penting tentang rendah-hatinya seorang pemimpin di dalam masyarakat
Islam. Kepemimpinan seperti itulah yang diajarkan Rasul Allah s.a.w. dan dipraktekan dalam
kehidupan konkrit oleh keluarga Imam Ali r.a. Mereka hidup setaraf dengan lapisan rakyat yang
miskin dan menderita. Pemimpin-pemimpin seperti itulah dan yang hanya seperti itulah, yang
akan sanggup menjadi pelopor dalam melaksanakan prinsip persamaan, kesederhanaan dan
kebersihan pribadi dalam kehidupan ini.
Putera-puteri
Sitti Fatimah r.a. melahirkan dua orang putera dan dua orang puteri. Putera-puteranya
bernama Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Sedang puteri-puterinya bernama Zainab r.a. dan
Ummu Kalsum r.a. Rasul Allah s.a.w. dengan gembira sekali menyambut kelahiran cucucucunya.
Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. mempunyai kedudukan tersendiri di dalam hati beliau. Dua
orang cucunya itu beliau asuh sendiri. Kaum muslimin pada zaman hidupnya Nabi Muhammad
s.a.w. menyaksikan sendiri betapa besarnya kecintaan beliau kepada Al Hasan r.a. dan Al
Husein r.a. Beliau menganjurkan supaya orang mencintai dua "putera" beliau itu dan berpegang
teguh pada pesan itu.
Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. meninggalkan jejak yang jauh jangkauannya bagi umat Islam.
Al Husein r.a. gugur sebagai pahlawan syahid menghadapi penindasan dinasti Bani Umayyah.
Semangatnya terus berkesinambungan, melestarikan dan membangkitkan perjuangan yang
tegas dan seru di kalangan ummat Islam menghadapi kedzaliman. Semangat Al Husein r.a.
merupakan kekuatan penggerak yang luar biasa dahsyatnya sepanjang sejarah.
Puteri beliau yang bernama Zainab r.a. merupakan pahlawan wanita muslim yang sangat
cemerlang dan menonjol sekali peranannya, dalam pertempuran di Karbala membela Al Husein
r.a. Di Karbala itulah dinasti Bani Umayyah menciptakan tragedi yang menimpa A1 Husein r.a.
beserta segenap anggota keluarganya. A1 Husein r.a. gugur dan kepalanya diarak sebagai
pameran keliling Kufah sampai ke Syam.
Setelah hidup bersuami isteri selama kurang lebih 10 tahun Sitti Fatimah r.a. meninggal dunia
dalam usia 28 tahun. Sepeninggal Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. beristerikan beberapa orang
wanita lainnya lagi. Menurut catatan sejarah, hingga wafatnya Imam Ali r.a. menikah sampai 9
kali. Tentu saja menurut ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam satu periode, tidak pernah lebih 4 orang isteri.
Wanita pertama yang dinikahi Imam Ali r.a. sepeninggal Siti Fatimah r.a. ialah Umamah binti
Abil 'Ashiy. Ia anak perempuan iparnya sendiri, Zainab binti Muhammad s.a.w., kakak
perempuan Sitti Fatimah r.a. Pernikahan dengan Umamah r.a. ini mempunyai sejarah tersendiri, yaitu untuk melaksanakan pesan Sitti Fatimah r.a. kepada suaminya sebelum ia
wafat. Nampaknya pesan itu didasarkan kasih-sayang yang besar dari Umamah ra. kepada
putera-puterinya.
Setelah nikah dengan Umamah r.a., Imam Ali r.a. nikah lagi dengan Khaulah binti Ja'far bin
Qeis. Berturut-turut kemudian Laila binti Mas'ud bin Khalid, Ummul Banin binti Hazzan bin
Khalid dan Ummu Walad. Isteri Imam Ali r.a. yang keenam patut disebut secara khusus, karena
ia tidak lain adalah Asma binti Umais, sahabat terdekat Sitti Fatimah r.a. Asma inilah yang
mendampingi Sitti Fatimah r.a. dengan setia dan melayaninya dengan penuh kasih-sayang
hingga detik-detik terakhir hayatnya.
Isteri-isteri Imam Ali r.a. yang ke-7, ke-8 dan ke-9 ialah As-Shuhba, Ummu Sa'id binti 'Urwah bin
Mas'ud dan Muhayah binti Imruil Qeis. Dari 9 isteri, di luar Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a.
mempunyai banyak anak. Jumlahnya yang pasti masih menjadi perselisihan pendapat di
kalangan para penulis sejarah.
Al Mas'udiy dalam bukunya "Murujudz Dzahab" menyebut putera-puteri Imam Ali r.a. semuanya
berjumlah 25 orang. Sedangkan dalam buku "Almufid Fil Irsyad" dikatakan 27 orang anak. Ibnu
Sa'ad dalam bukunya yang terkenal, "Thabaqat", menyebutnya 31 orang anak, dengan
perincian: 14 orang anak lelaki dan 17 orang anak perempuan. Ini termasuk putera-puteri Imam
Ali r.a. dari isterinya yang pertama.