Bab IV : PERANAN KEPAHLAWANAN
Masih ada sementara penulis sejarah yang dengan berbagai dalih dan alasan mengatakan,
bahwa Imam Ali r.a. bukan orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebagai alasan dikatakan, bahwa hukum belum berlaku baginya, karena ketika ia memeluk
Islam usianya masih sangat muda, malahan dikatakan "masih kanak-kanak".
Alasan seperti itu tampak sekali dicari-cari. Sebab, seorang remaja yang berusia 13 tahun,
bukan seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah mampu berfikir membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk. Usia 13 tahun pada umumnya bisa dipandang sebagai tahap permulaan masa
akil baligh. Dalam usia akil baligh itu orang sudah dapat menerima penjelasan-penjelasan dan
keterangan-keterangan tentang sesuatu dengan baik. Fikiran dan perasaannya pun sudah
berada dalam tingkatan aktif, dapat membedakan mana hal-hal yang menyenangkan atau
menyedihkan, mana yang mengagumkan dan mana yang memuakkan, mana yang masuk akal
dan mana yang tidak.
Seperti diketahui, sejak Imam Ali r.a. berusia 6 tahun langsung diasuh, dibimbing dan dididik
oleh Nabi Muhammad s.a.w. Menurut sistem pendidikan modern, tingkat usia 6 tahun itu justru
yang paling tepat bagi seseorang anak memasuki sekolah dasar, yang akan berlangsung selama
6 tahun. Dari usia 6 tahun sampai 12 tahun dapatlah dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. telah
mendapat "pendidikan dasar" dari seorang guru yang paling bijaksana.
Selama periode "pendidikkan dasar" itu, Imam Ali r.a. telah dipersiapkan oleh gurunya untuk
menyongsong datangnya masa pancaroba yang akan menjadi ciri perobahan zaman. Ketika
Imam Ali r.a. menginjak usia 13 tahun, terjadilah bi'tsah Muhammad sebagai Nabi dan Rasul,
yang akan menjungkir-balikkan masa jahiliyah dan menggantinya dengan kecerahan masa
hidayah. Masa "pendidikkan dasar" dan persiapan yang sangat tepat waktunya itulah, yang
kemudian mewarnai sikap hidup dan kepribadian Imam Ali r.a. sebagai orang yang teguh
imannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketika berlangsung blokade ekonomi dan pemboikotan sosial yang dilancarkan orang-orang kafir
Qureiys terhadap semua keluarga Bani Hasyim, Imam Ali r.a. ikut langsung menghayati
kesengsaraan dan penderitaan yang menjadi akibatnya. Dengan mengikuti bimbingan serta
tauladan Rasul Allah s.a.w. beserta Sitti Khadijah r.a., dengan tangguh, tabah dan sabar, Imam
Ali r.a. ikut berjuang mempertahankan dan membela da'wah Islam.
Tidak hanya itu saja. Selama hampir empat tahun terkepung dalam Syi'ib, Imam Ali r.a.
memperoleh kesempatan yang luar biasa besarnya untuk menerima pendidikan tauhid dan ilmuilmu
Ilahiyah, langsung dari Rasul Allah s.a.w. Satu kesempatan yang tidak pernah didapat oleh
orang mukmin manapun. Dalam keadaan materiil serba kurang, Imam Ali r.a. yang masih
remaja itu fikirannya terbuka seterang-terangnya guna menerima hidayah llahi, dan dengan
tuntunan Rasul Allah s.a.w. ia dapat mengenal hakekat kebenaran Allah 'Azza wa Jalla.
Tentang kedinian Imam Ali r.a. beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w.
sendiri pernah menegaskannya. Penegasan itu disaksikan oleh para sahabat dekat dan
terkemuka, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Khattab r.a. dan Abu Ubaidah r.a. Hal
itu tercantum dalam Kitab "Kanzul Ummal", jilid VI, hlm. 393. Riwayatnya berasal dari Ibnu
Abbas.
Umar Ibnul Khattab berkata: "....Aku, Abu Bakar dan Abu Ubaidah bersama beberapa orang
sahabat Nabi lainnya pernah datang ke rumah Ummu Salmah. Setiba disana aku melihat Ali bin
Abi Thalib sedang berdiri di pintu. Kami katakan kepadanya, bahwa kami hendak bertemu
dengan Rasul Allah s.a.w. Ia menjawab, sebentar lagi beliau akan keluar. Waktu beliau keluar,
kami segera berdiri. Kami lihat beliau bertopang pada Ali bin Abi Thalib dan menepuk-nepuk
bahunya sambil berucap: "Engkau unggul dan akan tetap unggul, orang pertama yang beriman,
seorang mukmin yang paling banyak mengetahui hari-hari Allah (hari-hari turunnya nikmat dan
cobaan), paling setia menepati janji, paling adil dalam bertugas melakukan pembagian
ghanimah, paling bercinta-kasih kepada rakyat, dan paling banyak menderita."
Membela Kebenaran
Di samping perjuangannya di bidang aqidah, ilmu dan pemikiran, Imam Ali r.a. juga terkenal
sebagai seorang muda yang memiliki kesanggupan berkorban yang luar biasa besarnya. Ia
mempunyai susunan jasmani yang sempurna dan tenaga yang sangat kuat. Sudah tentu, itu saja
belum menjadi jaminan bagi seseorang untuk siap mempertaruhkan nyawanya membela
kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Imannya yang teguh laksana gunung raksasa dan kesetiaannya
yang penuh kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah yang menjadi pendorong utama.
Imam Ali r.a. tidak pernah menghitung-hitung resiko dalam perjuangan suci menegakkan Islam.
Dengan jasmani yang tegap dan kuat, serta iman yang kokoh dan mantap, Imam Ali r.a. benarbenar
mempunyai syarat fisik-materiil dan mental-spiritual untuk menghadapi tahap-tahap
perjuangan yang serba berat.
Di saat-saat Islam dan kaum muslimin berada dalam situasi yang kritis dan gawat, Imam Ali r.a.
selalu tampil memainkan peranan menentukan. Selama hidup ia tak pernah mengalami hidup
santai. Sejak muda remaja sampai akhir hayatnya, ia keluar masuk dari kesulitan ke kesulitan
lain, dan dari pengorbanan ke pengorbanan yang lain. Namun demikian ia tak pernah menyesali
nasib, bahkan dengan semangat pengabdian yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya, ia
senantiasa siap menghadapi segala tantangan. Satu-satunya pamrih yang menjadi pemikirannya
siang dan malam hanya ingin memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kesenangan hidup
duniawi baginya bukan apa-apa dibanding dengan kenikmatan ukhrawi yang telah dijanjikan
Allah s.w.t. bagi hamba-hamba-Nya yang berani hidup di atas kebenaran dan keadilan.
berkali-kali imannya yang teguh diuji oleh Rasul Allah s.a.w. Tiap kali diuji, tiap kali itu juga
lulus dengan meraih nilai yang amat tinggi. Ujian pertama yang maha berat ialah yang terjadi
pada saat Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya berhijrah ke Madinah.
Seperti diketahui, di satu malam yang gelap-gulita, komplotan kafir Qureiys mengepung
kediaman Rasul Allah s.a.w. dengan tujuan hendak membunuh beliau, bilamana beliau
meninggalkan rumah. Dalam peristiwa ini Imam Ali r.a. memainkan peranan besar: Ia diminta
oleh Rasul Allah s.a.w. supaya tidur di atas pembaringan beliau menutup tubuhnya dengan selimut beliau guna mengelabui mata orang-orang Qureiys. Tanpa tawar-menawar Imam Ali r.a.
menyanggupinya. Ia menangis bukan mencemaskan nyawanya sendiri, melainkan karena ia
khawatir atas keselamatan Rasul Allah s.a.w. yang saat itu berkemas-kemas hendak hijrah
meninggalkan kampung halaman.
Melihat Imam Ali menangis, maka Rasul Allah bertanya: "Apa sebab engkau menangis, Apakah
engkau takut mati?".
Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Tidak, ya Rasul Allah! Demi Allah yang mengutusmu
membawa kebenaran! Aku sangat khawatir terhadap diri anda. Apakah anda akan selamat, ya
R,asul Allah?"
"Ya," jawab Nabi Muhammad s.a.w. dengan tidak ragu-ragu.
Mendengar kata-kata yang pasti dari Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. terus berkata: "Baiklah,
aku patuh dan kutaati perintah anda. Aku rela menebus keselamatan anda dengan nyawaku, ya
Rasul Allah!"
Imam Ali r.a. segera menghampiri pembaringan Rasul Allah s.a.w. Kemudian berselunjur
mengenakan selimut beliau untuk menutupi tubuhnya. Saat itu orang-orang kafir Qureiys sudah
mulai berdatangan di sekitar rumah Rasul Allah s.a.w. dan mengepungnya dari segala jurusan.
Dengan perlindungan Allah s.w.t. dan sambil membaca ayat 9 Surah Yaa Sin, beliau keluar
tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang mengepung dan mengintai. Orang-orang Qureiys
itu menduga, bahwa orang yang sedang berbaring dan berselimut itu pasti Nabi Muhammad
s.a.w. Mereka yang mengepung itu mewakili suku-suku qabilah Qureiys yang telah bersepakat
hendak membunuh Nabi Muhammad s.a.w. dengan pedang secara serentak. Dengan cara
demikian itu, tidak mungkin Bani Hasyim dapat menuntut balas.
Imam Ali r.a. mengerti benar kemungkinan apa yang akan diperbuat orang-orang kafir Qureiys
terhadap dirinya karena ia tidur di pembaringan Rasul Allah s.a.w. Hal itu sama sekali tidak
membuatnya sedih atau takut. Dengan kesabaran yang luar biasa, ia berserah diri pada Allah
s.w.t. Ia yakin, bahwa Dia-lah yang menentukan segala-galanya.
Menjelang subuh, Imam Ali r.a. bangun. Gerombolan Qureiys terus menyerbu ke dalam rumah.
Dengan suara membentak mereka bertanya: "Mana Muhammad? Mana Muhammad?"
"Aku tak tahu di mana Muhammad berada!" jawab Imam Ali r.a. dengan tenang.
Gerombolan Qureiys itu segera mencari-cari ke sudut-sudut rumah. Usaha mereka sia-sia
belaka. Gerombolan itu kecewa benar. Di dalam hati mereka bertanya-tanya: "Kemana ia
pergi?" Dalam suasana gaduh Imam Ali r.a. bertanya: "Apa maksud kalian?"
"Mana, Muhammad? Mana Muhammad?" mereka mengulang-ulang pertanyaan semula.
"Apakah kalian mengangkatku menjadi pengawasnya?" ujar Imam Ali r.a. dengan nada
memperolok-olok. "Bukankah kalian sendiri berniat mengeluarkannya dari negeri ini? sekarang
ia sudah keluar meninggalkan kalian!"
Ucapan Imam Ali r.a. sungguh-sungguh menggambarkan ketabahan dan keberanian hatinya.
Cahaya pedang terhunus yang berkilauan, samasekali tidak dihiraukan, bahkan orang-orang
Qureiys yang kalap itu dicemoohkan. Seandainya ada seorang saja dari gerombolan itu
mengayunkan pedang ke arah Imam Ali r.a., entahlah apa yang terjadi. Tetapi Allah tidak
menghendaki hal itu.
Keesokan harinya, Imam Ali r.a. berkemas-kemas mempersiapkan segala sesuatu untuk berangkat membawa beberapa orang wanita Bani Hasyim, terutama Sitti Fatimah r.a.,
menyusul perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dalam hijrahnya ke Madinah.
Seperti telah diterangkan di muka, rombongan Imam Ali r.a. berangkat secara terang-terangan
di siang hari. Setibanya di Dhajnan ia membuka babak konfrontasi bersenjata antara kaum
muslimin dan kaum musyrikin.
Imam Ali r.a. yang ketika itu berusia 26 tahun, merupakan orang pertama yang menghunus
pedang untuk mematahkan agresi bersenjata orang-orang kafir Qureiys. Terbelahnya tubuh
Jenah menjadi dua dan larinya 7 orang pasukan berkuda Qureiys yang semula mengejar
rombongan, merupakan tonggak sejarah yang menandai akan datangnya masa cerah bagi kaum
muslimin dan masa suram bagi kaum musyrikin.
Bab IV-1 : Perang Badr
Perang Badr merupakan perang pertama yang terpaksa diarungi oleh kaum muslimin
menghadapi musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Perang ini merupakan demonstrasi
pertama dari ketangguhan kaum muslimin melawan serangan kaum musyrikin Qureiys. Untuk
pertama kalinya panji perang Rasul Allah s.a.w. berkibar di medan laga. Dan yang diberi
kepercayaan memegang panji yang melambangkan tekad perjuangan menegakkan agama Allah
s.w.t. itu, ialah Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Tanpa pengalaman perang sama sekali dan dengan kekuatan pasukan yang hanya sepertiga
kekuatan musuh, pasukan muslimin dengan kebulatan iman yang teguh berhasil menancapkan
tonggak sejarah yang sangat menentukan perkembangan Islam lebih lanjut. Perlengkapan dan
persenjataan kaum muslimin waktu itu boleh dibilang nol. Pasukan berkuda dan penunggang
unta, yaitu pasukan yang dipandang paling ampuh dan "modern" pada masa itu, praktis tidak
dipunyai oleh kaum muslimin. Demikian langkanya kuda dan unta dibanding dengan jumlah
pasukan yang ada, sampai-sampai seekor unta dikendarai oleh dua hingga empat orang secara
bergantian. Hanya ada seekor kuda yang tersedia, yaitu yang dikendarai oleh Al Miqdad bin Al
Aswad Al Kindiy. Itulah kekuatan "kavaleri" Rasul Allah s.a.w. di dalam perang Badr.
Dalam perang Badr itu pasukan muslimin tidak sedikit yang menerjang musuh hanya dengan
senjata-senjata tajam yang sangat sederhana. Sedangkan musuh yang dilawan mempunyai
persenjataan lengkap dengan kuda-kuda tunggang dan unta-unta. Tetapi sebenarnya kaum
muslimin mempunyai senjata yang lebih ampuh dibanding dengan lawannya, yaitu
kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. dan kepercayaan kuat bahwa Allah pasti akan memberikan
pertolongan-Nya. Allahu Akbar.
Perang Badr sebenarnya terjadi di luar rencana. Pada mulanya kaum muslimin di bawah
pimpinan Rasul Allah s.a.w. bermaksud hendak mencegat kafilah Abu Sufyan bin Harb yang
telah meninggalkan Makkah berangkat menuju negeri Syam, dan akan kembali ke Makkah lewat
sebuah tempat bernama 'Usyaira. Di tempat itulah kaum muslimin siap menghadang, tetapi
ternyata kafilah Abu Sufyan sudah lolos lebih dulu.
Ketika peperangan mulai berkobar, Imam Ali bersama Hamzah bin Abdul Mutthalib dan
beberapa orang lainnya, berada di barisan terdepan. Pada tangan Imam Ali r.a. berkibar panji
perang Rasul Allah s.a.w. Ia terjun ke medan laga menerjang pasukan musuh yang jauh lebih
besar dan kuat. Dalam perang ini untuk pertama kalinya kalimat "Allahu Akbar" berkumandang
membajakan tekad pasukan muslimin.
Saat itu terdengar suara musuh menantang: "Hai Muhammad suruhlah orang-orang yang
berwibawa dari asal Qureiys supaya tampil!"
Mendengar tantangan itu, laksana singa lapar Imam Ali r.a. meloncat maju ke depan mendekati
suara yang menantang-nantang. Terjadilah perang tanding (duel) antara Imam Ali r.a. dengan
Al Walid bin Utbah, saudara Hindun isteri Abu Sufyan. Dalam pertempuran yang seru itu, AlWalid mati di ujung pedang Imam Ali r.a.
Dalam perang Badr ini 70 orang pasukan kafir Qureiys mati terbunuh, dan hampir separonya
mati di ujung pedang Imam Ali r.a. Kecuali itu lebih dari 70 orang pemuka Qureiys berhasil
ditawan dan digiring ke Madinah. Perang Badr yang berakhir dengan kemenangan kaum
muslimin itu merupakan fajar pagi yang menandai pesatnya kemajuan agama Allah s.w.t.
Bab IV-2 : Perang Uhud
Dalam peperangan yang kedua ini, Rasul Allah s.a.w. menyerahkan panji kaum muhajirin
kepada Imam Ali r.a. Sedangkan panji kum Anshar diserahkan kepada salah seorang di antara
mereka sendiri. Peperangan Uhud terkenal dalam sejarah sebagai peperangan yang amat
gawat. 700 pasukan muslimin harus berhadapan dengan 3.000 pasukan kafir Qureiys yang
dipersiapkan dengan perbekalan dan persenjataan serba lengkap. Kecuali itu diperkuat pula
dengan pasukan wanita di bawah pimpinan Hindun binti 'Utbah, isteri Abu Sufyan bin Harb,
guna memberikan dorongan moril, agar orang-orang kafir Qureiys jangan sampai lari
meninggalkan medan tempur.
Untuk menghadapi kaum musyrikin yang sudah memusatkan kekuatan di Uhud, pasukan
muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. menuju ke tempat itu, dengan memotong jalan
sedemikian rupa, sehingga gunung Uhud berada di belakang mereka. Kemudian Rasul Allah
s.a.w. mulai mengatur barisan. 50 orang pasukan pemanah ditempatkan pada sebuah lembah di
antara dua bukit. Kepada mereka diperintahkan supaya menjaga pasukan yang ada di belakang
mereka. Ditekankan jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan bagaimanapun
juga. Sebab hanya dengan senjata panah sajalah serbuan pasukan berkuda musuh dari belakang
dapat ditahan.
Perang Uhud mulai berkobar dengan tampilnya Imam Ali r.a. ke depan melayani tantangan
Thalhah bin Abi Thalhah yang berkoar menantang-nantang: "Siapakah yang akan maju berduel?"
Seperti api disiram minyak semangat Imam Ali r.a. membara. Dengan ayunan langkah tegap dan
tenang, serta sambil mengeretakkan gigi, ia maju dengan pedang terhunus. Baru saja Thalhah
bin Abi Thalhah menggerakan tangan hendak mengayun pedang, secepat kilat pedang Imam Ali
r.a. "Dzul Fikar" menyambarnya hingga terbelah dua. Betapa bangga Rasul Allah s.a.w.
menyaksikan ketangkasan putera pamannya itu. Ketika itu kaum muslimin yang menyaksikan
kesigapan Imam Ali r.a., mengumandangkan takbir berulang-ulang.
Dengan tewasnya Thalhah bin Ahi Thalhah, pertarungan sengit berkecamuk antara dua pasukan.
Sekarang Abu Dujanah tampil dengan memakai pita maut di kepala dan pedang terhunus di
tangan kanan yang baru saja diserahkan oleh Rasul Allah s.a.w. kepadanya. Ia seorang yang
sangat berani. Laksana harimau keluar dari semak belukar ia maju menyerang musuh dan
membunuh siapa saja dari kaum musyrikin yang berani mendekatinya. Bersama Abu Dujanah,
Imam Ali r.a. mengobrak-abrik barisan musuh.
Dalam pertempuran ini Hamzah bin Abdul Mutthalib tidak kalah semangat dibanding dengan
putera saudaranya sendiri, Imam Ali r.a., dan Abu Dujanah. Hamzah demikian lincah dan
tangkas melabrak pasukan musyrikin dan menewaskan tiap orang yang berani mendekat. Ia
terkenal sebagai pahlawan besar dalam menghadapi musuh. Sama seperti dalam perang Badr,
dalam perang Uhud ini Hamzah benar-benar menjadi singa dan merupakan pedang Allah yang
sangat ampuh. Banyak musuh yang mati di ujung pedangnya.
Dalam pertempuran antara 700 pasukan muslimin melawan 3000 pastikan musyrikin itu, kita
saksikan kejantanan trio Imam Ali r.a., Hamzah dan Abu Dujanah. Mereka merupakan tauladan
dan wujud dari kekuatan moril yang sangat tinggi. Suatu kekuatan yang membuat pasukan
Qureiys menderita kehancuran mental, mundur dan surut.
Tiap panji mereka lepas dari tangan pemegangnya dan diganti oleh pemegang panji yang lain, tiap kali itu juga dipangkas habis oleh tiga sejoli pahlawan Islam itu. Thalhah bin Abi Thalhah
kepalanya dibelah dua oleh Imam Ali r.a. Utsman bin Abi Thalhah dipotong gembungnya oleh
Hamzah, Abu Saad lolos dari ujung pedang Abu Dujanah dan berusaha merebut panji musyrikin
Qureiys yang sudah dirobek-robek oleh Abu Dujanah, tetapi keburu dipisahkan kepalanya dari
batang tubuhnya oleh Imam Ali r.a. Sembilan orang pemegang panji musyrikin Qureiys tewas
berturut-turut di ujung pedang Imam Ali r.a., Hamzah dan Abu Dujanah.
Mental pasukan Qureiys sudah patah sama sekali. Pasukan wanita mereka lari terbirit-birit.
Berhala-berhala yang mereka bawa untuk dimintai restu dalam peperangan, sekarang sudah
jatuh terpelanting dari punggung unta. Dalam keadaan masing-masing lari untuk
menyelamatkan diri, semua perbekalan yang mereka bawa dari Makkah ditinggalkan dan
senjata-senjata di buang di kiri-kanan jalan.
Alangkah banyaknya barang-barang itu. Hal ini membuat pasukan muslimin lengah dan lupa
daratan. Fikiran mereka sudah teralih kepada kekayaan duniawi. Pasukan pemanah yang di
wanti-wanti supaya jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan bagaimanapun
juga, sekarang mulai mengarahkan pandangan-mata kepada teman-teman yang sedang sibuk
mengangkuti barang-barang rampasan. Melihat barang-barang sedemikian banyaknya, mereka
tak dapat lagi menahan air liur. Bahkan khawatir kalau-kalau tak akan mendapat bagian!
Sebagian besar pasukan pemanah itu turun meninggalkan lereng gunung untuk ikut ambil
bagian dalam kesibukan mengumpulkan barang-barang peninggalan musuh. Pesan Rasul Allah
s.a.w. mereka lupakan. Apalagi yang harus dikerjakan, tokh peperangan sudah kita menangkan?
Begitulah fikir mereka. Pada saat itulah Khalid bin Al Walid, seorang komandan pasukan
berkuda Qureiys, mengambil kesempatan untuk menyerbu dari belakang kaum muslimin yang
sedang memperebutkan barang rampasan.
Khalid bin Al Walid melancarkan serangan sengit. Bencana berbalik menimpa kaum muslimin.
Setelah melihat situasi berubah, orang-orang kafir Qureiys yang lari kembali lagi dan melakukan
serangan dahsyat, hingga pasukan muslimin terpaksa melemparkan barang-barang dan senjata
rampasan yang baru dikumpulkan. Mau tidak mau kaum muslimin sekarang harus menghunus
pedang guna menangkis.
Sayang seribu sayang. Mereka hanya berjuang untuk menyelamatkan diri dari ancaman maut.
Iman mereka menjadi kendor, barisan tercerai-berai, terpisah dari pimpinan Rasul Allah s.a.w.
Keadaan mereka sudah sedemikian kacau dirangsek oleh serangan musuh, sehingga tak aneh
kalau sampai terjadi pedang seorang muslim tanpa disengaja mengenai saudaranya sendiri.
Di saat-saat yang genting seperti itu, Imam Ali r.a. dan para sahabat lainnya segera melindungi
Rasul Allah s.a.w. Dengan segenap kekuatan yang ada mereka menangkis tiap serangan yang
datang, guna menyelamatkan Rasul Allah s.a.w. Semua sudah bertekad hendak mati syahid,
lebih-lebih setelah melihat Rasul Allah s.a.w. terkena lemparan batu besar yang dicampakkan
oleh 'Utbah bin Abi Waqqash. Akibat lemparan batu itu geraham Rasul Allah s.a.w. patah,
wajahnya pecah-pecah, bibirnya luka parah, dan dua buah kepingan rantai topi besi yang
melindungi wajah beliau menembus pipinya.
Setelah dapat menguasai diri kembali, Rasul Allah s.a.w. berjalan perlahan-lahan dikelilingi
oleh sejumlah sahabat. Tiba-tiba beliau terperosok ke dalam sebuah liang yang sengaja digali
oleh Abu 'Amir untuk menjebak pasukan muslimin. Imam Ali r.a. bersama beberapa orang
sahabat lainnya cepat-cepat mengangkat beliau. Kemudian dibawa naik ke gunung Uhud untuk
diselamatkan dari pengejaran musuh. Di celah-celah bukit, Imam Ali r.a. mengambil air untuk
membasuh wajah Rasul Allah s.a.w. dan menyirami kepala beliau. Dua buah kepingan rantai
besi yang menancap dan menembus pipi beliau dicabut oleh Abu Ubaidah bin Al Jarrah dengan
giginya, sampai dua buah gigi-serinya tanggal.
Kaum musyrikin Quxeiys dengan kemenangan itu merasa sudah sungguh-sungguh berhasil
menebus kekalahan dalam perang Badr. Seperti yang dikatakan oleh Abu Sufyan: "Yang
sekarang ini untuk menebus peristiwa perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan!"
Akan tetapi isterinya yang bernama Hindun binti 'Utbah belum merasa cukup dengan
kemenangan itu. Dan belum puas kalau hanya mendengar berita tentang tewasnya Hamzah bin
Abdul Mutthalib, yang telah membunuh seorang saudaranya dalam perang Badr. Bersama
beberapa orang wanita lain ia mencari-cari mayat kaum muslimin. Mereka memotongi telinga
dan hidung mayat-mayat itu dan dijadikan barang mainan. Tidak itu saja, mayat Hamzah
dibedah perutnya, dikeluarkan jantungnya (hatinya), lalu dikunyah-kunyah, tetapi ia tak
sampai dapat menelannya. Demikian kejam dan sadisnya Hindun itu, yang kemudian ditiru oleh
teman-temannya, bahkan tidak sedikit pula orang lelaki musyrikin Qureiys meniru sadisme
Hindun.
Dari sangat kejinya perbuatan mereka itu, sampai pemimpin mereka, yakni suaminya Hindun,
yaitu Abu Sufyan tidak mau bertanggung-jawab dan berusaha mencuci-tangan. Meskipun Abu
Sufyan telah mencuci-tangan, namun kekotoran dirinya tak dapat disembunyikan. Inilah katakata
Abu Sufyan: "Mayat-mayat kalian mengalami penganiayaan. Aku sungguh tidak senang,
tetapi juga tidak benci. Aku tidak memerintahkan, tetapi juga tidak melarang."
Perang Uhud benar-benar memberi pelajaran berharga kepada kaum muslimin. Daya tarik
keduniaan hampir saja menghancurkan kaum muslimin yang masih pada awal pertumbuhannya.
Bab IV-3 : Perang Ahzab (Kandhaq)
Perang ini menjadi abadi dan masyhur dalam sejarah Islam, antara lain karena diikuti dengan
turunnya firman Allah s.w.t. sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an (Surah Al-Ahzab). Untuk
pertama kalinya dalam usia yang masih muda, kaum muslimin di Madinah dikepung oleh kurang
lebih 10.000 orang pasukan musyrikin, yang terdiri dari berbagai suku dan qabilah. Pasukan itu
diperkuat lagi oleh kaum Yahudi Banu Quraidhah, yang mengkhianati perjanjian perdamaian
dengan Rasul Allah s.a.w. Mereka ini bergabung dengan pasukan musyrikin Qureiys yang
membeludak dari Makkah guna mengepung kota Madinah.
Peperangan tersebut dinamakan juga perang Khandaq (Parit), karena untuk menanggulangi
penyerbuan kaum musyrikin Qureiys atas usul dan prakarsa Salman Al Farisi, dengan
persetujuan Rasul Allah s.a.w., kaum muslimin menggali parit-parit yang cukup lebar dan
dalam di sekitar pinggiran kota Madinah
Di perang Khandaq ini keampuhan dan ketangkasan Imam Ali r.a. juga teruji dalam perang
tanding melawan seorang pendekar Qureiys yang terkenal ulung, yaitu 'Amr bin Abdu Wudd
Al'Amiri. 'Amr seorang prajurit berkuda yang gesit dan lincah bermain pedang atau tombak.
Dengan congkak dan sombong 'Amr bin Abdu Wudd berani maju ke depan menyeberangi parit
pertahanan kaum muslimin, lewat bagian yang agak dangkal dan sempit. Sambil membanggakan
kebolehannya mengendalikan kuda, ia berteriak menantang: "Hai . Apakah tak seorang pun
yang berani keluar untuk bertanding?"
Tantangan dari seorang jagoan yang garang itu tidak ditanggapi oleh pasukan muslimin. Kaum
muslimin banyak yang mengenal siapa 'Amr bin Abdu Wudd itu dan betapa tenar namanya
sebagai pendekar yang mahir berperang tanding.
Setelah melihat kenyataan tak ada seorang pun yang menanggapi tantangan 'Amr, Imam Ali r.a.
tidak tahan lagi menahan perasaan geramnya. Ia segera berdiri dan berkata kepada Rasul Allah
s.a.w.: "Ya Rasul Allah, biarlah saya yang menandingi dia!"
Rasul Allah s.a.w. yang mengetahui benar ' Amr itu seorang pendekar yang kenyang makan
"garam" perang tanding, beranggapan, bahwa 'Amr bukanlah tandingan bagi saudara misannya
yang baru berusia kurang dari 30 tahun. Karena itu maka beliau menyahut: "Duduk sajalah engkau, dia adalah 'Amr!"
Karena tidak ada juga jawaban dari fihak muslimin, maka 'Amr yang beringas itu berkoar lagi:
"Mana itu sorga yang akan kalian masuki bila kalian mati terbunuh, hah?!"
Ejekan itu terasa seperti sembilu yang sangat mengiris-iris hati kaum muslimin, tetapi mereka
tetap diam. Dengan darah muda yang mendidih laksana lahar yang menyembur dari kepundan,
Imam Ali r.a. tidak dapat lagi menahan gejolak hatinya mendengar penghinaan yang sangat
menyakitkan itu. Ia mendesak lagi kepada Rasul Allah s.a.w.: "Biarlah saya yang
menghadapinya; ya Rasul Allah!"
Tetapi Rasul Allah s.a.w. kembali memerintahkan supaya Imam Ali r.a. duduk dan tenang,
sebab yang akan dihadapinya bukan sembarang orang. Dengan perasaan yang sudah terbakar
dan dengan nada gemas, Imam Ali r.a. berusaha meyakinkan Rasul Allah s.a.w. bahwa ia
sanggup melawan dedengkot kaum musyrikin itu: "Biar 'Amr sekalipun ya Rasul Allah!"
Mengingat tekad Imam Ali r.a. yang begitu bulat, dan mengingat pula perlu membangkitkan
keberanian kaum muslimin, akhirnya Rasul Allah s.a.w. memberi izin dan restu kepada Imam
Ali r.a. untuk tampil ke depan. Imam Ali r.a. dengan hangat menyambut persetujuan dan idzin
Rasul Allah s.a.w. Ia segera meloncat ke depan menyongsong tantangan seorang lawan yang
bukan sembarangan. Dengan mengenakan baju besi dan menghunus pedangnya yang tersohor
dengan nama "Dzul Fiqar", Imam Ali r.a. maju dengan ayunan langkah yang tegap dan diiringi
doa Rasul Allah s.a.w.: "Ya Allah, dia adalah saudaraku dan putera pamanku. Janganlah
Kaubiarkan aku seorang diri tanpa dia. Sesungguhnya Engkau tempat aku berserah diri yang
sebaik-baiknya."
Setelah berhadap-hadapan dengan 'Amr, tanpa perasaan gentar sedikit pun Imam Ali r.a.
bertanya kepada 'Amr: "Hai 'Amr, bukankah engkau pernah berjanji, bahwa engkau akan
menerima ajakan seorang dari Qureiys untuk menempuh salah satu di antara dua jalan hidup?"
"Ya!" jawab 'Amr dengan singkat dan angkuh.
"Engkau kuajak. ke jalan Allah dan Rasul-Nya, ke jalan Islam", kata Imam Ali r.a. melanjutkan.
Kata-kata Imam Ali r.a. ini diucapkan dengan suara lantang yang memecahkan kesunyian garis
pertempuran. Hampir semua mata dua pasukan yang siap tempur tertuju kepada dua sosok
tubuh yang sedang berhadap-hadapan.
'Amr bin Abdu Wudd yang sudah cukup usia, garang dan banyak pengalaman menghadapi perang
tanding kini bertatap muka dengan seorang anak muda yang berdiri tegak di hadapannya.
Pemuda pemberani, jantan dan perkasa, berbaju besi dengan pedang terhunus di tangan.
Sungguh anggun kelihatannya. Konfrontasi antara dua orang itu melambangkan konfrontasi dari
dua kekuatan yang berlawanan. Kekuatan lama yang sudah lapuk dan kekuatan baru yang
sedang tumbuh, yaitu kekuatan jahiliyah dan kekuatan lslam.
Mendengar pertanyaan yang bernada desakan itu, dengan cepat 'Amr menyahut: "Aku tidak
membutuhkan itu!"
"Kalau begitu, mari kita mulai bertanding!" tantang Imam Ali r.a. sambil siaga menghadapi
gerakan 'Amr. Akan tetapi tantangan Imam Ali r.a. yang serius itu diremehkan saja oleh 'Amr:
"Aku tak suka menumpahkan darahmu. Ayahmu kan teman karibku!"
Tanpa memperdulikan ucapan 'Amr, Imam Ali r.a. dengan perasaan tak sabar lagi berucap:
"Tetapi, demi Allah, aku justru ingin membunuhmu!"
Ucapan seorang muda yang dianggap ketus oleh 'Amr itu, ternyata membangkitkan amarah dan meluapkan emosinya. Cepat saja darah perang yang mengalir dalam tubuh 'Amr mendidih.
Naluri keprajuritannya secara cepat menyentakkan gerak refleksi dan langsung seketika itu
juga Imam Ali r.a. diserang. Demikian gesit dan tangkasnya 'Amr mengayunkan pedang dengan
dorongan tenaga yang luar biasa. Tetapi Imam Ali r.a. tidak kalah tinggi nalurinya dan gerak
refleksinya.
'Amr yang sejak semula meremehkan lawan, ternyata sia-sia belaka dalam mengerahkan segala
kekuatan ototnya untuk menebas leher Imam Ali r.a. Kesempatan yang meleset itu
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Imam Ali r.a. Ia mengelak, menangkis dan menyerang dalam
gerak beruntun secara kilat. Pada saat 'Amr kehilangan keseimbangan badan, Pedang Dzul Fiqar
yang diayun kuat-kuat oleh Imam Ali r.a. menyambar bahu kanan 'Amr sampai terbelah dua.
Pendekar kebanggaan Qureiys itu jatuh dari atas kuda menggelepar di tanah mandi darah dan
debu.
Perang tanding berlangsung demikian cepat dan selesai jauh lebih cepat dari yang diperkirakan
orang. Pada mulanya banyak yang menduga bahwa Imam Ali r.a. yang "masih hijau" itu akan
"dibelah dua" oleh pedang 'Amr. Oleh karena itu ketika jagoan Qureiys itu tersungkur tidak
bangkit kembali, banyak orang dari kedua pasukan terkesima. Hampir saja mereka, tidak
mempercayai apa yang sudah terjadi. Baru setelah Imam Ali r.a. menyerukan takbir, kaum
muslimin menyambutnya dengan mengumandangkan kebesaran Allah: Allaahu Akbar ...Allaahu
Akbar.... !
Tanpa perasaan sombong dan tinggi hati Imam Ali r.a. kemudian menuju ke tempat Rasul Allah
s.a.w. Dengan perasaan haru dan syukur ke hadirat Allah s.w.t., Rasul Allah s.a.w.
mengeluarkan pernyataan singkat: "Perang tanding yang dilaksanakan oleh Ali bin Abi Thalib
melawan 'Amr bin Abdu Wudd itu merupakan perbuatan paling mulia yang dilakukan umatku
sampai hari kiyamat."
Akan tetapi terbunuhnya jagoan Qureiys belum menyelesaikan jalannya perang Khandaq.
Namun terbunuhnya tokoh Qureiys itu menimbulkan kegoncangan yang hebat di kalangan
pasukan penyerbu. Semangat pasukan penyerbu makin merosot, setelah harapan mereka untuk
dapat menerobos parit makin tipis.
Dalam keadaan seperti itu terjadilah angin ribut dan hujan deras diiringi suara petir sambar-menyambar.
Kemah-kemah dan perkakas-perkakas masak kaum musyrikin beterbangan dilanda
angin kencang. Kubu pertahanan mereka menjadi porak poranda dan banyak sekali diantara
mereka yang tak tahan menghadapi tekanan udara dingin.
Di tengah-tengah hembusan angin puyuh seribut itu, Abu Sufyan yang dalam perang Khandaq ini
bertindak selaku rimpinan pasukan penyerbu, berkata kepada anak buahnya: "Saudara-saudara,
kita tak perlu lama lagi tinggal di tempat ini. Banyak kuda dan unta kita yang sudah binasa.
Bani Quraidah sudah tak menepati janjinya lagi dengan kita. Bahkan kita mendengar hal-hal
dari mereka yang tidak menyenangkan hati. Tambah lagi kita menghadapi angin kencang begini
ributnya. Maka itu lebih baik kita pulang saja. Aku sendiri akan berangkat pulang!"
Di tengah-tengah angin puyuh yang begitu kencangnya, Abu Sufyan dan rombongan secara
bergelombang meninggalkan tempat dan kembali ke Makkah. Keesokan harinya sudah tak ada
lagi seorang Qureiys atau Yahudi yang masih tinggal. Semuanya sudah jauh meninggalkan parit.
Rasul Allah bersama kaum muslimin lainnya dengan tenang kembali ke tempat kediaman
masing-masing. Semuanya memanjatkan syukur sedalam-dalamnya kepada Allah s.w.t. yang
telah menghindarkan mereka dari marabahaya.
Perjanjian Hudaibiyah
Beberapa waktu sesudah perang Ahzab (Khandaq), Rasul Allah s.a.w. berangkat membawa
kaum muslimin kurang lebih 1500 orang. Beliau berangkat ke Makkah bukan dengan maksud untuk berperang, melainkan untuk menunaikan ibadah haji. Tak ada sebilah pedang yang
terhunus.
Berita tentang keberangkatan Rasul Allah s.a.w. ini sampai juga kepada kaum Qureiys.
Mendengar berita itu kaum Qureiys segera membikin persiapan. Mereka khawatir kalau-kalau
keberangkatan Rasul Allah s.a.w. itu hanya merupakan tipu muslihat untuk menyerbu Makkah.
Khalid bin Al Walid dan pasukannya menghadang kaum muslimin di tempat beberapa mil
jauhnya di luar kota Makkah.
Rasul Allah s.a.w. setelah mendengar berita gerak-gerik pasukan Qureiys itu tetap melanjutkan
perjalanan. Untuk menghindari konflik senjata beliau dengan sejumlah sahabat menempuh
jalan lain, meskipun jalan itu agak sulit dilewati. Akhirnya beliau tiba di sebuah tempat
bernama Hudaibiyah.
Mengetahui perkembangan baru yang ditempuh oleh rombongan Rasul Allah s.a.w. Khalid bin
A1 Walid dan pasukannya segera kembali ke Makkah untuk mempertahankan kota. Ketika itu
semua orang Qureiys sudah dihinggapi kegelisahan dan khawatir menghadapi kaum muslimin.
Walaupun begitu mereka tetap bertekad hendak mencegah masuknya rombongan Rasul Allah
s.a.w. dengan cara apa saja.
Selang beberapa hari, fihak Qureiys mengirim utusan kepada Nabi Muhammad s.a.w. guna
mengetahui benar-benar apa yang sesungguhnya menjadi maksud kedatangan beliau dan
rombongan. Setelah melakukan dialog seperlunya, perutusan itupun kembali. Mereka percaya,
bahwa kedatangan kaum muslimin benar-benar hendak menunaikan ibadah haji. Sewaktu hal
itu dilaporkan, kaum musyrikin Qureiys tak mempercayainya. Malahan perutusan itu dituduh
berkhianat hendak membantu Rasul Allah s.a.w.
Kaum musyrikin mengirim utusan lagi dipimpin seorang gembong terkemuka. Hasilnya sama
saja dengan perutusan yang pertama: Kaum musyrikin Qureiys masih tak percaya. Kini dikirim
utusan seorang saja, yaitu 'Urwah bin Mas'ud Ats Tsaqafiy. Sekembalinya dari perundingan
dengan Nabi Muhammad s.a.w., 'Urwah mengemukakan kepada kaum musyrikin Qureiys, bahwa
"Rasul Allah s.a.w. menawarkan satu rencana yang baik, oleh sebab itu terimalah!"
Sejalan dengan itu Rasul Allah sendiri kemudian mengirim seorang utusan, yaitu Kharrasiy Al
Khuza'iy guna menemui orang Qureiys. Musyrikin Qureiys tidak mau menerima utusan itu.
Bahkan unta kendaraannya dibantai dan hampir saja ia dibunuh, kalau tidak dicegah oleh salah
seorang gembong Qureiys.
Rasul Allah s.a.w. berusaha terus. Kali ini yang dikirim Utsman bin Affan r.a. Ia baru masuk
Makkah setelah ada jaminan dari anak pamannya, Aban bin Sa'id Al Ash. Dalam pertemuannya
dengan orang-orang Qureiys, Utsman bin Affan menjelaskan maksud kedatangan Rasul Allah
s.a.w. dan rombongan tidak lain hanya ingin menunaikan ibadah haji.
Kaum musyrikin Qureiys memang kepala batu. Utsman bin Affan mereka tahan selama 3 hari. Di
kalangan kaum muslimin terdengar desas-desus bahwa Utsman bin Affan telah mati dibunuh.
Untuk menghadapi kemungkinan Utsman bin Affan r.a. benar-benar dibunuh oleh orang-orang
Qureiys, Nabi Muhammad berseru kepada para sahabatnya supaya menyatakan janji setia
(bai'at) guna melancarkan serangan menuntut bela melawan penghianatan Qureiys. Kaum
muslimin berlomba-lomba menyambut seruan beliau. Mereka siap memanggul senjata untuk
berperang melawan Qureiys.
Janji setia kaum muslimin kepada Rasul Allah s.a.w. yang bersejarah itu dilakukan oleh mereka
di bawah sebatang pohon. Peristiwa itu dikenal dengan nama "Bai'atur Ridhwan" (janji setia
yang diridhoi Allah). Satu peristiwa yang dipuji Allah s.w.t., seperti yang termuat dalam S. Al
Fath:l8 (A1 Qur'an).
Mendengarkan kebulatan tekad kaum muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. itu, kaum
musyrikin Qureiys merasa gentar. Mereka sudah mengenal betapa gigihnya kaum muslimin
berperang, seperti yang telah dibuktikan pada masa-masa yang lalu. Musyrikin Qureiys
mengirim utusan yang dipimpin oleh Suhail bin Amr. Setelah perutusan itu mengadakan
perundingan dengan Rasul Allah s.a.w., dua belah fihak sepakat untuk menanda-tangani sebuah
perjanjian gencatan senjata.
Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menuliskan nashah perjanjian
yang akan ditanda-tangani oleh kedua belah fihak. Sedangkan beliau sendiri mendiktekan
syaratsyarat yang telah disetujui bersama. Pertama-tama beliau berkata: "Tulislah: "Bismillaahi
ar-Rahman ar-Rahim . ."
Mendengar kalimat itu Suhail menukas: "Berhenti dulu. Aku tidak mengerti apa ar-Rahman ar-
Rahim" itu! Tulis saja "Dengan nama-Mu, ya Allah. ."
Tanpa menyangkal lagi Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menulis apa
yang diminta oleh Suhail. Kemudian beliau meneruskan, "Tulislah: 'Inilah perjanjian yang
diadakan oleh Muhammad Rasul Allah dengan Suhail bin 'Amr'…"
Suhail memotong "Berhenti dulu. Kalau aku percaya engkau Rasul Allah, tentu aku tidak akan
memerangimu. Tuliskan saja namamu dan nama ayahmu...!"
Rasul Allah menuruti apa yang diminta oleh Suhail. Beliau memerintahkan Imam Ali r.a. supaya
menuliskan kalimat: "Inilah perjanjian yang telah disepakati Muhammad bin Abdullah..." dst.
Kemudian dilanjutkan dengan penulisan teks syarat-syarat perjanjian yang terdiri dari empat
pokok:
1. Perjanjian gencatan senjata antara kedua belah fihak berlaku selama masa 10 tahun.
2. Jika ada orang dari fihak Qureiys memeluk Islam kemudian bergabung dengan Rasul Allah
s.a.w. tanpa seizin Qureiys, orang itu akan dikembalikan oleh Rasul Allah kepada Qureiys.
Sebaliknya jika ada orang dari fihak Rasul Allah yang murtad dan kembali ke fihak Qureiys,
orang itu oleh Qureiys tidak akan dikembalikan kepada Rasul Allah.
3. Jika ada orang Arab ingin bersekutu dengan Rasul Allah, dibolehkan. Dan apabila ada orangorang
Arab lain ingin bersekutu dengan kaum Qureiys, ia bebas berbuat demikian.
4. Rasul Allah dengan para pengikutnya harus pulang meninggalkan Makkah. Mereka berhak
untuk kembali lagi ke Makkah pada musim haji yang akan datang untuk berziarah ke Baitul
Haram, dengan syarat: mereka hanya akan tinggal di Makkah selama 3 hari, dan tidak akan
mengeluarkan pedang dari sarungnya.
Tidak lama setelah "Perjanjian Hudaibiyah" itu ditandatangani, Banu Khuza'ah segera
menyatakan bersekutu dengan Rasul Allah s.a.w. Sedangkan Banu Bakr menyatakan bersekutu
dengan fihak Qureiys.
Dengan perjanjian tersebut kaum muslimin memperoleh kesempatan leluasa untuk menyiarkan
agama Islam kepada orang-orang Arab di luar kaum musyrikin Qureiys, dan memperoleh waktu
yang cukup untuk membangun dan memperkuat negeri.
Bab IV-4 : Perang Khaibar
Walaupun Rasul Allah s.a.w. telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan musyrikin
Qureiys (Perjanjian Hudaibiyah), namun beliau berfikir, bahwa keamanan dan keselamatan
kaum muslimin belum terjamin, selama masih ada kekuatan-kekuatan anti Islam yang bercokol
di utara Madinah. Kekuatan itu ialah kaum Yahudi yang mempunyai beberapa benteng di Khaibar.
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, orang-orang Yahudi memang tidak dapat dipercaya
kejujurannya dalam melaksanakan perjanjian perdamaian. Peristiwa pengkhianatan itu telah
terjadi beberapa kali dilakukan oleh orang-orang Yahudi dari Banu Quraidah, Bani Qainuqa' dan
Bani Nadhir.
Sekarang tibalah saatnya untuk mematahkan kekuatan terakhir kaum Yahudi, yang selama ini
dirasakan sebagai duri di dalam daging. Tanpa membuang-buang waktu, Rasul Allah
mempersiapkan pasukan sebanyak 1600 orang dan 100 pasukan berkuda guna diberangkatkan ke
Khaibar. Setelah berjalan tiga hari tibalah pasukan muslimin di depan perbentengan Khaibar.
Mereka telah berada di depan benteng Natat.
Esok paginya pertempuran mati-matian mulai berkobar. 50 orang dari pasukan muslimin gugur
dan dari fihak Yahudi lebih banyak lagi, termasuk pemimpin Yahudi Khaibar, yaitu Salam bin
Misykam. Setelah Salam terbunuh pimpinan Yahudi dipegang oleh Harits bin Abi Zainab. Ia
keluar dari benteng Na'im bersama sejumlah pasukan dengan maksud hendak menggempur
kaum muslimin.
Pasukan Muslimin yang terdiri dari orang-orang Khazraj berhasil memukul mundur pasukan
Harits sampai mereka masuk ke dalam benteng. Pasukan muslimin makin memperketat
pengepungan atas beberapa benteng Khaibar. Pihak Yahudi bertahan mati-matian. Bagi
mereka, jika kali ini kalah, berarti penumpasan terakhir Bani Israil di negeri Arab.
Pengepungan itu berlangsung selama beberapa hari. Untuk melancarkan serangan, Rasul Allah
s.a.w. menyerahkan panji peperangan kepada Abu Bakar As Shiddiq r.a. Dengan tugas supaya
menyerbu dan merebut benteng Na'im. Setelah terjadi pertempuran, Abu bakar r.a. kembali
tanpa berhasil mendobrak benteng tersebut. Keesokan harinya, Rasul Allah s.a.w. menugaskan
Umar Ibnul Khattab r.a. Iapun mengalami nasib yang sama seperti Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.
Sekarang Imam Ali r.a. dipanggil oleh Rasul Allah s.a.w. seraya berkata: "Pegang panji ini dan
bawa terus sampai Allah memberikan kemenangan kepadamu!"
Imam Ali r.a. berangkat membawa panji Rasul Allah s.a.w. Setibanya dekat benteng, penghuni
benteng itu keluar serentak menghadapinya. Ketika itu juga terjadi pertempuran. Salah
seorang Yahudi berhasil memukul Imam Ali r.a. sampai perisai yang ada di tangannya terpental.
Tetapi dengan gerakan kilat Imam Ali r.a. segera menjebol salah sebuah daun pintu yang ada di
benteng dan dengan berperisaikan daun pintu itu terus menerjang dan menggempur. Akhirnya
benteng itu dapat didobrak, dan daun pintu yang dipegangnya dijadikan jembatan. Dengan
jembatan itu kaum muslimin menyeberang serentak dan menyerbu ke dalam benteng.
Kaum Yahudi bertahan mati-matian. Benteng Na'im itu baru jatuh sepenuhnya, setelah
komandan pasukan Yahudi, Harits bin Abi Zainab mati terbunuh.
Peristiwa pertempuran itu menunjukkan betapa uletnya kaum Yahudi bertahan, dan
menunjukan pula tingginya semangat juang kaum muslimin dalam perang Khaibar. Dengan
jatuhnva benteng Na'im, praktis tidak banyak lagi kesukaran bagi kaum muslimin untuk
menjebol dan mengobrak-abrik benteng-benteng Khaibar lainnya yang masih tinggal, seperti
benteng Qamus, benteng Sha'b dan lain-lain yang tidak seberapa kokoh.
Dengan jatuhnya semua benteng Yahudi di Khaibar, perasaan putus asa merayap di dalam hati
mereka, kemudian mereka minta damai. Semua harta benda yang ada di dalam perbentengan
diserahkan kepada Rasul Allah s.a.w. sebagai barang ghanimah, dengan syarat mereka
diselamatkan. Rasul Allah s.a.w. menerima usul dan menyetujui permintaan mereka itu.
Mereka dibiarkan tetap tinggal di kampung-halaman mereka, mengerjakan tanah yang kini
menjadi milik kaum muslimin. Sebagai imbalan mereka mendapat upah separuh dari hasil tanaman.
Jatuhnya Makkah
Belum sampai setahun Perjanjian Hudaibiyah berlaku, terjadi bentrokan senjata antara Bani
Khuza'ah yang bersekutu dengan Rasul Allah s.a.w. dan Banu Bakr yang bersekutu dengan fihak
Qureiys. Bentrokan itu terjadi akibat adanya seorang dari Banu Bakr yang mengejek-ejek Rasul
Allah s.a.w. di depan seorang dari Banu Khuza'ah. Oleh orang dari Banu Khuza'ah, orang dari
Banu Bakr itu dipukul. Gara-gara pemukulan itu, bergeraklah orang-orang Banu Bakr menyerang
orang-orang Banu Khuza'ah. Permusuhan lama di antara dua qabilah itu memang sudah ada.
Dalam serangan itu, Banu Bakr dibantu langsung oleh musyrikin Qureiys, hingga jatuh korban
tidak sedikit di kalangan Banu Khuza'ah.
Untuk menanggulangi serangan Banu Bakr yang mendapat bantuan Qureiys, Banu Khuza'ah
minta bantuan Rasul Allah s.a.w. Beliau menyatakan kesediaannya untuk membantu Banu
Khuza'ah.
Mendengar ketegasan sikap Rasul Allah s.a.w. yang akan membantu Banu Khuza'ah, orang-orang
Qureiys di Makkah cemas dan takut. Mereka mengirim Abu Sufyan ke Madinah untuk menghadap
Rasul Allah s.a.w. Tujuan Abu Sufyan ialah untuk memperbaiki keadaan dan mengokohkan
perjanjian Hudaibiyah.
Waktu Abu Sufyan menyampaikan permintaan untuk memperkokoh dan memperpanjang waktu
berlaku perjanjian, Rasul Allah s.a.w. menolak. Abu Sufyan belum putus harapan. Ia menemui
Abu Bakar r.a., kemudian Umar r.a. Dua-duanya juga menolak untuk membantu Abu Sufyan.
Abu Sufyan mencoba membujuk anak perempuannya sendiri, yang sudah menjadi isteri Nabi
Muhammad s.a.w. Baru saja Abu Sufyan masuk dan belum sempat duduk, tikar segera digulung
oleh Ummu Habibah, sambil berkata: "Ini tikar kepunyaan Rasul Allah. Ayah tidak boleh duduk
di atasnya, sebab ayah orang musyrik dan kotor…"
Abu Sufyan belum putus asa. Dicobanya menemui Sitti Fatimah r.a., isteri Imam Ali r.a. Sitti
Fatimah r.a. juga menolak untuk membantu Abu Sufyan. Persoalan datangnya Abu Sufyan itu
disampaikan Sitti Fatimah r.a. kepada suaminya. Waktu bertemu dengan Abu Sufyan, Imam Ali
r.a. berkata: "Mengenai persoalan itu Rasul Allah sudah mengambil pendirian tegas. Kami tidak
dapat mengajaknya berbicara tentang itu..."
Sekarang habislah harapan Abu Sufyan. Ia pulang ke Makkah dengan tangan kosong.
Di Madinah, Rasul Allah s.a.w. mempersiapkan kaum muslimin untuk siaga menghadapi
peperangan. Setelah semua persiapan selesai, beliau berangkat memimpin pasukan muslimin
berkekuatan 10.000 orang. Setibanya dekat Makkah kaum muslimin diperintahkan supaya setiap
orang menyalakan obor, sehingga waktu malam di tengah gurun pasir terang benderang seperti
siang.
Pada malam itu juga Abu Sufyan bersama sejumlah orang Qureiys berangkat ke luar kota
Makkah untuk mencari informasi tentang keadaan kaum muslimin. Sejak beberapa waktu yang
lalu ia tidak mendengarnya lagi, karena Rasul Allah s.a.w. dan para sahabatnya benar-benar
merahasiakan rencana keberangkatan, agar jangan sampai diketahui oleh Qureiys sebelum tiba
di Makkah.
Melihat ribuan obor menyala-nyala dari kejauhan, Abu Sufyan ketakutan. Ia berniat hendak
kembali masuk kota sambil mempercakapkan ribuan obor dengan teman-temannya. Mereka
sama sekali tidak mengerti maksudnya.
Pada malam hari itu juga Abbas bin Abdul Mutthalib keluar dari pemusatan pasukan muslimin
mencari orang-orang dari kaum musyrikin Qureiys, untuk diberi tahu tentang kedatangan kaum muslimin dengan kekuatan yang besar. Dengan cara itu Abbas bermaksud hendak menekan
kaum musyrikin Qureiys supaya menyerah sebelum kaum muslimin masuk ke dalam kota
Makkah.
Waktu itu dari kejauhan Abbas mendengar sayup-sayup suara Abu Sufyan sedang bercakapcakap
dengan teman-temannya tentang obor yang ribuan jumlahnya. Ia mengenal baik suara
Abu Sufyan. Dengan teriakan keras sekali Abbas memanggil-manggil: "Hai Abu Handhalah !"
Terdengar suara Abu Sufyan menyahut dengan teriakan bertanya: "Abu Fadhl…?"
"Ya," jawab Abbas.
"Demi ayah dan ibuku...., ada kabar apa? Tanya Abu Sufyan yang tampak agak terkejut
bercampur takut.
"Inilah Rasul Allah datang membawa pasukan yang tak mungkin dapat kalian hadapi!" Jawab
Abbas menakut-nakuti Abu Sufyan.
"Lantas apa yang kau perintahkan kepadaku ...?" Abu Sufyan bertanya untuk mencari tahu apa
yang diinginkan kaum muslimin. "Ayolah turut naik untaku!" teriak Abbas menghimbau.
Terdorong oleh ketakutannya, tanpa banyak berfikir lagi Abu Sufyan segera mendekati Abbas,
lalu naik ke atas unta, duduk di belakang Abbas. Setibanya di depan Rasul Allah s.a.w., Abbas
minta supaya beliau memberi jaminan keselamatan Abu Sufyan. Nabi Muhammad menjawab:
"Pergilah. Dia kujamin keselamatannya sampai datang lagi besok pagi!"
Pagi-pagi Abbas datang rnembawa Abu Sufyan menghadap Rasul Allah. Kepada Abu Sufyan
beliau bertanya setengah menegor dengan tandas: "Celakalah engkau, hai Abu Sufyan! Apakah
belum juga engkau mengerti bahwa tidak ada tuhan selain Allah!"
"Demi ayah-ibuku", jawab Abu Sufyan. " Itu samasekali tidak ada dalam fikiranku!"
Mendengar jawaban seperti itu Abbas membentak Abu Sufyan: "Celaka sekali engkau! Ucapkan
syahadat sebelum lehermu dipenggal!"
Melihat sikap Abbas sekeras itu barulah Abu Sufyan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia
mengucapkan dua kalimat syahadat pada saat kaum musyrikin Qureiys tidak berdaya lagi
melawan kaum muslimin. Ucapan yang keluar dari hati yang tidak tulus.
Meskipun begitu Rasul Allah s.a.w. tetap bijaksana. Beliau memerintahkan Abbas pergi
membawa Abu Sufyan, dan ditahan di sebuah lembah yang akan dilalui pasukan muslimin dalam
gerakan memasuki kota Makkah.
Gelombang demi gelombang, kelompok demi kelompok pasukan muslimin bergerak masuk ke
Makkah. Dengan suara gemuruh mereka mengumandangkan takbir, bertahlil dan bersyukur ke
hadirat Allah Tabaraka wa Ta'ala. Waktu Abu Sufyan melihat pasukan yang langsung dipimpin
Nabi Muhammad s.a.w. lewat, yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, ia bertanya kepada
Abbas tentang kelompok itu. Abbas menjelaskan: "Itu kelompok pasukan Rasul Allah..... Itulah
beliau, Rasul Allah s.a.w… dan itulah mereka kaum Muhajirin dan Anshar…!"
"Hai Abu Fadl", kata Abu Sufyan yang nampak kagum terhadap kelompok pasukan itu, "putera
saudaramu sudah menjadi raja yang hebat sekali!"
"Itu kenabian ....bukan kerajaan!" bentak Abbas menjelaskan.
"Oh . ya", sahut Abu Sufyan.
Pada saat itu ada dua orang dari kaum musyrikin Qureiys, Hakim bin Hizam dan Badil bin
Warqa, datang menjumpai Rasul Allah s.a.w. untuk menyatakan diri masuk Islam. Kemudian
mengucapkan dua kalimat syahadat di depan beliau.
Pada saat mulai masuk kota Makkah, Rasul Allah s.a.w. mengeluarkan pernyataan yang berisi
jaminan keselamatan bagi kaum Qureiys. Antara lain dikatakan: "Barang siapa masuk ke rumah
Abu Sufyan (terletak di bagian atas kota Makkah), ia terjamin keselamatannya! Barang siapa
masuk ke rumah Hakim bin Hizam (terletak di bagian bawah kota Makkah), ia terjamin
keselamatannya. Barang siapa menutup pintu rumahnya dan tidak mengangkat senjata, ia
terjamin keselamatannya…!"
Untuk menyebar-luaskan pernyataan itu kepada orang-orang Qureiys, Rasul Allah mengutus Abu
Sufyan dan Hakim.
Setelah itu Rasul Allah s.a.w. masuk ke dalam kota Makkah. Semua pasukan muslimin yang
datang melalui berbagai jurusan dipusatkan dalam kota, guna menghindari terjadinya konflik
senjata dengan kelompok-kelompok musyrikin. Rasul Allah s.a.w. bertekad keras untuk jangan
sampai ada setetes darah pun yang mengalir. Oleh karena itu beliau cepat-cepat
memberhentikan Sa'ad bin Ubadah dari jabatannya sebagai komandan pasukan karena diketahui
Sa'ad telah mengeluarkan pernyataan hendak menumpas orang-orang Qureiys; "Hari ini hari
pertarungan. Hari ini wanita-wanita Qureiys boleh dirampas dan diperbudak!"
Sebagai gantinya, Rasul Allah s.a.w. mengangkat Imam Ali r.a. menjadi komandan pasukan.
Setibanya dekat Ka'bah Rasul Allah s.a.w. berdiri di depan pintu sambil berseru kepada orang
orang Qureiys:
"Tiada Tuhan selain Allah tanpa sekutu apa pun juga. Dia telah memenuhi janji-Nya. Dia telah
memenangkan hamba-Nya, dan Dia sendirilah yang telah mengalahkan pasukan Ahzab.
Ketahuilah, bahwa kemuliaan keturunan dan kekayaan terletak di bawah telapak kakiku.
Demikian pula pengurusan Ka'bah dan penyediaan air untuk jema'ah haji!"
"Hai orang Qureiys", kata Nabi Muhammad s.a.w. selanjutnya, "sesungguhnya Allah hendak
menghapuskan adat jahiliyah dari kalian termasuk kebiasaan mengagung-agungkan nenekmoyang.
Semua manusia berasal dari Adam dan Adam terbuat dari tanah."
"Hai manusia, Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang wanita, kemudian
kalian Kami jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kalian.
Sesungguhnya bahwa Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal…" (S. Alhujurat: 13).
Selesai mengucapkan ayat tersebut, Rasul Allah s.a.w. bertanya: "Hai orang-orang Qureiys,
apakah yang hendak kalian katakan? Apa yang kalian duga akan kuperbuat?"
Mereka menjawab serentak: "Kami harap kebaikan akan diperbuat oleh saudara yang mulia,
putera dari saudara yang mulia."
Menanggapi jawaban mereka, Rasul Allah s.a.w. berkata lagi: "Yang kukatakan sama seperti
yang dikatakan oleh saudaraku, Yusuf a.s.: Tak ada marabahaya menimpa kalian. Semoga Allah
megampuni kalian, karena Dia adalah Maha Pengasih dan Penyayang. Pergilah, kalian semua
bebas merdeka!"
Dengan kebijaksanaan seperti itu Rasul Allah s.a.w. mengetuk hati manusia untuk berbondongbondong
memeluk agama Islam.
Kemudian Nabi Muhammad s.a.w. menghancurkan berhala-berhala, dan menghapuskan dua
buah gambar yang ada pada dinding Ka'bah dengan baju beliau sendiri. Kepada orang-orang
Qureiys yang ada di sekitar tempat itu, beliau memerintahkan supaya menghancurkan berhala
mereka masing-masing. Saat itu beliau mengucapkan sebuah ayat Al Qur'an, yang artinya:
"Bilamana kebenaran telah tiba, musnahlah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti
musnah." (S. Al Isra:81).
Dalam pekerjaan menghancurkan berhala-berhala itu, Imam Ali r.a. menyertai beliau. Ketika
melihat sebuah berhala milik Banu Khuza'ah masih terletak di atas Ka'bah, Rasul Allah s.a.w.
memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menghancurkannya. Untuk
dapat naik ke atas, Imam Ali r.a. beliau angkat. Kemudian berhala tersebut oleh Imam Ali r.a.
dijebol dan dibanting ke tanah sampai hancur berkeping-keping.
Tengah hari berbondong-bondong kaum pria dan wanita Qureiys menghadap Rasul Allah s.a.w.
untuk menyatakan diri memeluk Islam, dan berjanji akan taat dan setia kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan Rasul Allah s.a.w., berarti hancurlah sudah benteng
terkuat kaum musyrikin. Benteng yang paling keras dan paling gigih melancarkan
seranganserangan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Dengan jatuhnya Makkah, kini kota itu
telah masuk ke dalam pangkuan kaum muslimin.
Di Makkah, Rasul Ailah s.a.w. tinggal selama 15 hari untuk mengatur urusan pemerintahan
setempat. Beliau mengangkat Hubairah bin Asy Syibl sebagai kepala daerah Makkah. Sedangkan
Mu'adz bin Jabal ditugaskan mengajarkan A1 Qur'an dan hukumhukum Islam. Setelah selesai
semuanya, beliau bersama pasukan menuju ke Taif untuk menghabisi kantong terakhir
pertahanan kaum Musyrikin.
Bab IV-5 : Perang Hunain
Perang ini merupakan salah satu peperangan terbesar dan terpenting bagi kaum muslimin.
Setelah berhasil menguasai kota Makkah, pasukan muslimin yang sekarang sudah menjadi
sangat kuat, masih harus menyelesaikan tugas besar. Yaitu menghancurkan pasukan Malik bin
Auf yang terdiri dari qabilah Hawazin dan Tsaqif.
Untuk menumpas perlawanan Malik dan kawan-kawannya, Rasul Allah s.a.w. memimpin
pasukan terdiri dari 12.000 orang. 2000 diantaranya adalah orang-orang Qureiys yang baru
masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah. Pasukan ini merupakan pasukan terbesar yang
pernah dikerahkan oleh Rasul Allah s.a.w. ke medan perang. Di antara komandan-komandan
pasukan banyak yang baru saja memeluk agama lslam, termasuk Khalid bin Al-Walid.
Untuk menghadapi serangan kaum muslimin, Malik bin Auf menempatkan pasukannya pada
posisi yang sangat strategis, yaitu di lambung kiri dan kanan lembah Hunain yang merupakan
jalur lalu lintas sempit. Pada waktu pasukan Muslimin lewat lembah tersebut pasukan Malik
akan menghujani mereka dengan anak panah. Siasat itu nampak berhasil baik.
Di kala fajar mulai menyingsing, pasukan Islam yang berada di baris depan, di bawah komando
Khalid bin Al-Walid, benar-benar masuk perangkap Malik bin Auf. Dengan gencar dan tak hentihentinya
pasukan Malik menghujani pasukan muslimin dengan anak panah dan tombak. Karena
kalah posisi dan diserang secara mendadak dan besar-besaran, pasukan muslimin menjadi
kacau balau. Mereka lari terbirit-birit dan mundur tanpa teratur.
Rasul Allah s.a.w. sendiri yang waktu itu masih berada di barisan belakang tidak dapat
mencegah pasukan yang panik dan berusaha menyelamatkan diri. Jerih payah Rasul Allah s.a.w.
yang selama ini dicurahkan untuk membina pasukan muslimin, hampir saja hancur berantakan
di lembah Hunain ini. Orang-orang munafik sejenis Abu Sufyan bin Harb, yang secara resmi sudaah memeluk Islam dan bergabung dalam pasukan Rasul Allah s.a.w. bersorak-sorai
kegirangan menyaksikan pasukan muslimin kocar-kacir. Demikian juga Syaibah bin Utsman.
Pasukan Malik bergerak terus mengejar pasukan muslimin yang lari mundur dalam keadaan
kacau dan berpencar-pencar. Keadaan menjadi gawat dan mengkhawatirkan. Rasul Allah s.a.w.
merasa sukar sekali mengendalikan pasukan yang sudah kehilangan pamor sama sekali. Namun
beliau tetap tenang dan tabah mengenderai kuda baghalnya yang berwarna putih. Orang-orang
yang tetap mantap menyertai beliau antara lain terdapat Imam Ali r.a., Abbas bin Abdul
Mutthalib r.a., Abu Bakar r.a. dan Umar r.a.
Berkat kegigihan dan ketangguhan para sahabat, berkat keberanian Imam Ali r.a. dan para
sahabat lainnya dalam memukul tiap serangan yang ditujukan terhadap Rasul Allah s.a.w.,
akhirnya kaum muslimin dapat dikendalikan dan diarahkan untuk melancarkan serangan
balasan. Berangsur-angsur situasi berubah dan berbalik, sehingga kemenangan yang sangat
mengesankan akhirnya dapat diraih oleh kaum muslimin.
Dari peristiwa-peristiwa di atas dapat dilihat dengan jelas peranan kepahlawanan Imam Ali r.a.
Tiap keadaan gawat dan genting ia selalu berada di samping Rasul Allah s.a.w.