Bab VI : KHALIFAH ABU BAKAR ASH SHIDDIQ
Di saat kaum muslimin sedang resah mendengar berita tentang wafatnya Rasul Allah s.a.w.,
sejumlah kaum Anshar menyelenggarakan pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah untuk
memperbincangkan masalah penerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. Ikut serta bersama
mereka seorang tokoh Anshar, Sa'ad bin Ubadah.
Di dalam bukunya yang berjudul As Saqifah, Abu Bakar Ahmad bin Abdul Azis Al-Jauhary
mengetengahkan riwayat tentang terjadinya peristiwa penting di Saqifah (tempat pertemuan)
Bani Sa'idah. Antara lain dikemukakan, bahwa tokoh terkemuka Anshar, Sa'ad bin 'Ubadah,
dalam keadaan menderita sakit lumpuh sengaja digotong untuk menghadiri pertemuan
tersebut.
Karena tidak sanggup berbicara dengan suara keras, ia minta kepada anaknya, Qeis bin Sa'ad,
supaya meneruskan kata-katanya yang ditujukan kepada semua hadirin. Dengan suara lantang
Qeis meneruskan kata-kata ayahnya:
"Kalian termasuk orang yang paling dini memeluk agama Islam, dan Islam tidak hanya dimiliki
oleh satu qabilah Arab. Sesungguhnya ketika masih berada di Makkah, selama 13 tahun di
tengah-tengah kaumnya, Rasul Allah mengajak mereka supaya menyembah Allah Maha Pemurah
dan meninggalkan berhala-berhala. Tetapi hanya sedikit saja dari mereka itu yang beriman
kepada beliau. Demi Allah mereka tidak sanggup melindungi Rasul Allah s.a.w. Mereka tidak
mampu memperkokoh agama Allah Tidak mampu membela beliau dari serangan musuhmusuhnya.
"Kemudian Allah melimpahkan keutamaan yang terbaik kepada kalian dan mengaruniakan
kemuliaan kepada kalian, serta mengistimewakan kalian pada agama-Nya. Allah telah
melimpahkan nikmat kepada kalian berupa iman kepada-Nya, dan kesanggupan berjuang
melawan musuh-musuh-Nya. Kalian adalah orang-orang yang paling teguh dalam menghadapi
siapa pun juga yang menentang Rasul Allah s.a.w. Kalian juga merupakan orang-orang yang
lebih ditakuti oleh musuh-musuh beliau, sampai akhirnya mereka tunduk kepada pimpinan
Allah, suka atau tidak suka.
"Dan orang-orang yang jauh pun akhirnya bersedia tunduk kepada pimpinan Islam, sampai tiba
saatnya Allah menepati janji-Nya kepada Nabi kalian, yaitu tunduknya semua orang Arab di
bawah pedang kalian. Kemudian Allah memanggil pulang Nabi Muhammad s.a.w. keharibaan-
Nya dalam keadaan beliau puas dan ridho terhadap kalian. Karena itu pegang teguhlah
kepemimpinan di tangan kalian. Kalian adalah orang-orang yang paling berhak dan paling
afdhal untuk memegang urusan itu!"
Kata-kata Sa'ad bin 'Ubadah itu disambut hangat oleh pemuka-pemuka Anshar yang hadir
memenuhi Saqifah Bani Sa'idah. Apa yang dikemukakan oleh tokoh terkemuka kaum Anshar itu
memperoleh dukungan mutlak. "Kami tidak akan menyimpang dari perintahmu!" teriak mereka
hampir serentak. Engkau kami angkat untuk memegang kepemimpinan itu, karena kami merasa
puas terhadapmu dan demi kebaikan kaum muslimin, kami rela!"
Setelah menyatakan dukungan kepada Sa'ad bin 'Ubadah hadirin menyampaikan pendapatpendapat
tentang kemungkinan apa yang bakal terjadi. Ada yang mengatakan, sikap apakah
yang harus diambil jika kaum Muhajirin berpendirian, bahwa mereka itulah yang berhak atas
kepemimpinan ummat? Sebab mereka itu pasti akan mengatakan: Kami inilah sahabat Rasul
Allah dan lebih dini memeluk Islam. Mereka tentu juga akan menyatakan diri sebagai kerabat
Nabi dan pelindung beliau. Mereka pasti akan menggugat: atas dasar apakah kalian menentang
kami memegang kepemimpinan sepeninggal Rasul Allah? Bagaimana kalau timbul problema
seperti itu?
Pertanyaan itu kemudian dijawab sendiri oleh sebagian hadirin: "Kalau timbul pertanyaanpertanyaan
seperti itu kita bisa mengemukakan usul kompromi kepada mereka, dengan
menyarankan: Dari kami seorang pemimpin dari kalian seorang pemimpin. Kalau mereka bangga
dan merasa turut berhijrah, kami pun dapat membanggakan diri karena kami inilah yang
melindungi dan membela Rasul Allah s.a.w. Kami juga sama seperti mereka. Sama-sama
bernaung di bawah Kitab Allah. Jika mereka mau menghitung-hitung jasa, kami pun dapat
menghitung-hitung jasa yang sama. Apa yang menjadi pendapat kami ini bukan untuk
mengungkit-ungkit mereka. Karenanya lebih baik kami mempunyai pemimpin sendiri dan
mereka pun mempunyai pemimpin sendiri!"
"Inilah awal kelemahan," Ujar Sa'ad bin 'Ubadah sambil menarik nafas, setelah mendengar usul
kompromi dari kaumnya.
Nyata sekali pertemuan itu mengarah kepada keputusan yang hendak mengangkat Sa'ad bin
'Ubadah sebagai pemimpin kaum muslimin, yang bertugas meneruskan kepemimpinan Rasul
Allah s.a.w. Kesimpulan seperti itu segera terdengar oleh Umar Ibnul Khattab r.a. Konon yang menyampaikan berita tentang hal itu kepada Umar r.a. ialah seorang yang bernama Ma'an bin
'Addiy. Ketika itu Umar r.a. sedang berada di rumah Rasul Allah s.a.w.
Pada mulanya Umar r.a. menolak ajakan Ma'an bin Adiy untuk menyingkir sebentar dari orang
banyak yang sedang berkerumun di sekitar rumah Rasul Allah s.a.w. Tetapi karena Ma'an terus
mendesak, akhirnya Umar r.a. menuruti ajakannya. Kepada Umar Ibnul Khattab r.a. Ma'an
memberitahukan segala yang sedang terjadi di Saqifah Bani Sa'idah. Dengan penuh kegelisahan
dan kekhawatiran Ma'an menyampaikan informasi kepada Umar r.a. Akhirnya ia bertanya:
"Coba, bagaimana pendapat anda?"
Tanpa menunggu jawaban Umar r.a. yang sedang berfikir itu, Ma'an berkata lebih lanjut:
"Sampaikan saja berita ini kepada saudara-saudara kita kaum Muhajirin. Sebaiknya kalian pilih
sendiri siapa yang akan diangkat menjadi pemimpin kalian. Kulihat sekarang pintu fitnah sudah
ternganga. Semoga Allah akan segera menutupnya."
Umar r.a. sendiri ternyata tidak dapat menyembunyikan keresahan fikirannya mendengar berita
itu. Ia belum tahu apa yang harus diperbuat. Oleh karena itu ia segera menjumpai Abu Bakar
Ash Shiddiq r.a. yang sedang turut membantu membenahi persiapan pemakaman jenazah Rasul
Allah s.a.w. Menanggapi ajakan Umar r.a Abu Bakar r.a. menjawab: "Aku sedang sibuk. Rasul
Allah belum lagi dimakamkan. Aku hendak kauajak kemana?"
Umar r.a. terus mendesak, dan sambil menarik tangan Abu Bakar r.a. ia berkata: "Tidak boleh
tidak, engkau harus ikut. Insyaa Allah kita akan segera kembali!" Abu Bakar r.a tidak dapat
mengelak dan menuruti ajakan Umar r.a.
Abu Bakar r.a. & Umar r.a. ke Saqifah
Sambil berjalan Umar Ibnul Khattab r.a. menceritakan semua yang didengar tentang pertemuan
yang sedang berlangsung di Saqifah Bani Sa'idah. Abu Bakar r.a. merasa cemas dengan
terjadinya perkembangan mendadak, di saat orang sedang sibuk mempersiapkan pemakaman
jenazah Rasul Allah s.a.w. Dua orang itu kemudian mengambil keputusan untuk bersama-sama
berangkat menuju Saqifah Bani Sa'idah.
Setibanya di Naqifah, mereka lihat tempat itu penuh sesak dengan orang-orang Anshar. Di
tengah-tengah mereka terlentang tokoh terkemuka mereka, Sa'ad bin 'Ubadah, yang sedang
sakit. Setelah mengucapkan salam dan masuk ke dalam Saqifah, Umar r.a.
yang terkenal bertabiat keras itu ingin cepat-cepat berbicara. Abu Bakar r.a. yang sudah
mengenal tabiat Umar r.a, segera mencegah: "Boleh kau bicara panjang lebar nanti. Dengarkan
dulu apa yang akan kukatakan. Sesudah aku, bicaralah sesukamu, ujar Abu Bakar r.a. Umar r.a.
diam, tak jadi bicara.
Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dengan penampilannya yang tenang dan berwibawa mulai berbicara.
Setelah mengucapkan salam, syahadat dan shalawat, dengan semangat keakraban ia berkata
dengan tegas dan lemah lembut.
"...Allah Maha Terpuji telah mengutus Muhammad membawakan hidayat dan agama yang
benar. Beliau berseru kepada ummat manusia supaya memeluk agama Islam. Kemudian Allah
membukakan hati dan fikiran kita untuk menyambut baik dan menerima seruan beliau. Kita
semua, kaum Muhajirin dan Anshar, adalah orang-orang yang pertama memeluk agama Islam.
Barulah kemudian orang-orang lain mengikuti jejak kita.
"Kami orang-orang Qureiys adalah kerabat Rasul Allah s.a.w. Kami adalah orang-orang Arab dari
keturunan yang tidak berat sebelah.
"Kalian (kaum Anshar) adalah para pembela kebenaran Allah. Kalian sekutu kami dalam agama
dan selalu bersama kami dalam berbuat kebajikan. Kalian merupakan orang-orang yang paling kami cintai dan kami hormati. Kalian merupakan orang-orang yang paling rela menerima takdir
Allah, dan bersedia menerima apa yang telah dilimpahkan kepada saudara-saudara kalian kaum
Muhajirin. Juga kalian adalah orang-orang yang paling sanggup membuang rasa iri-hati terhadap
mereka. Kalian orang-orang yang sangat berkesan di hati mereka, terutama di kala mereka
dalam keadaan menderita. Kalian juga merupakan orang-orang yang berhak menjaga agar Islam
tidak sampai mengalami kerusakan."
Demikian Abu Bakar r.a. menurut catatan Ibnu Abil Hadid, yang diketengahkannya dalam buku
Syarh Nahjil Balaghah, jilid VI, halaman 5 - 12.
Orang-orang Anshar kemudian menyambut: "Demi Allah kami sama sekali tidak merasa iri hati
terhadap kebajikan yang di limpahkan Allah kepada kalian (kaum Muhajirin). Tidak ada orang
yang lebih kami cintai dan kami sukai selain kalian. Jika kalian sekarang hendak mengangkat
seorang pemimpin dari kalangan kalian sendiri, kami rela dan akan kami bai'at. Tetapi dengan
syarat, apa bila ia sudah tiada lagi --karena meninggal dunia atau lainnya-- tiba giliran kami
untuk memilih dan mengangkat seorang pemimpin dari kalangan kami, kaum Anshar. Bila ia
sudah tiada lagi, tibalah kembali giliran kalian untuk mengangkat seorang pemimpin dari kaum
Muhajirin. Demikianlah seterusnya selama ummat ini masih ada.
"Itu merupakan cara yang paling kena untuk memelihara keadilan di kalangan ummat
Muhammad. Dengan demikian setiap orang Anshar akan menjaga diri jangan sampai
menyeleweng sehingga akan ditangkap oleh orang Qureiys. Sebaliknya orang Qureiys pun akan
menjaga diri untuk tidak sampai menyeleweng agar jangan sampai ditangkap oleh orang
Anshar."
Mendengar pendapat orang Anshar itu, Abu Bakar r.a. tampil lagi berbicara: "Pada waktu Rasul
Allah s.a.w. datang membawa risalah, orang-orang Arab bersikeras untuk tidak meninggalkan
agama nenek-moyang mereka. Mereka membangkang dan memusuhi beliau. Kemudian Allah
mentakdirkan kaum Muhajirin menjadi orang-orang yang terdahulu membenarkan risalah dan
beriman kepada beliau. Mereka tolong-menolong dalam membantu Rasul Allah dan bersama
beliau dengan tabah menghadapi gangguan-gangguan hebat yang dilancarkan oleh kaumnya
sendiri.
"Mereka tetap tangguh menghadapi musuh yang tidak sedikit jumlahnya. Mereka adalah
manusia-manusia pertama di permukaan bumi ini yang bersembah sujud kepada Allah.
Merekapun orang-orang pertama yang beriman kepada Rasul Allah. Mereka adalah orang-orang
kepercayaan dan sanak famili beliau. Mereka lebih berhak memegang kepemimpinan
sepeninggal beliau. Dalam hal itu tidak akan ada orang yang menentang kecuali orang yang
dzalim."
"Sesudah kaum Muhajirin, tak ada orang yang mempunyai kelebihan dan kedinian memeluk
Islam selain kalian. Oleh karena itu patutlah kalau kami ini menjadi pemimpin-pemimpin dan
kalian menjadi pembantu-pembantu kami. Dalam musyawarah kami tidak akan
mengistimewakan orang lain kecuali kalian, dan kami tidak akan mengambil tindakan tanpa
kalian."
Mendengar penjelasan Abu Bakar r.a. tersebut, seorang Anshar bernama Hubab bin Al Mundzir
bersitegang-leher. Ia berseru kepada kaumnya: Hai Orang-orang Anshar! Pegang teguhlah apa
yang ada di tangan kalian. Mereka itu (kaum Muhajirin) bukan lain hanyalah orang-orang yang
berada di bawah perlindungan kalian. Orang-orang Anshar tidak akan bersedia menjalankan
sesuatu, selain perintah yang kalian keluarkan sendiri. Kalianlah yang melindungi dan membela
Rasul Allah s.a.w. Kepada kalian mereka berhijrah. Kalian adalah tuan rumah lslam dan Iman.
Demi Allah, Allah tidak disembah secara terang-terangan selain di tengah-tengah kalian dan di
negeri kalian. Shalat pun belum pernah diadakan secara berjama'ah selain di masjid-masjid
kalian. Iman pun tidak dikenal orang di negeri Arab selain melalui pedang-pedang kalian. Oleh karena itu peganglah teguh-teguh kepemimpinan kalian. Jika mereka menolak, biarlah dari kita
seorang pemimpin dan dari mereka seorang pemimpin!"
Sekarang tibalah saatnya Umar Ibnul Khattab r.a. berbicara. Dengan nada keras tertahan-tahan
ia berkata: "Alangkah jauhnya fikiran itu. Dua bilah pedang tak mungkin berada dalam satu
sarung! Orang-orang Arab tak mungkin rela menerima pimpinan kalian. Sebab, Nabi mereka
bukan berasal dari kalian. Orang-orang Arab tidak akan menolak jika kepemimpinan diserahkan
kepada golongan Qureiys. Sebab, baik kenabian maupun kekuasaan berasal dari mereka.
"Itulah alasan kami," kata Umar r.a. selanjutnya, "yang sangat jelas bagi orang-orang yang tidak
sependapat dengan kami. Dan itu pulalah alasan yang sangat gamblang bagi orang-orang yang
menentang pendapat kami. Tidak akan ada orang yang menentang pendapat kami mengenai
kepemimpinan Muhammad dan ahli warisnya. Tidak akan ada orang yang dapat membantah
bahwa kami ini adalah orang-orang kepercayaan dan sanak famili beliau. Hanyalah orang-orang
yang hendak menghidupkan kebatilan sajalah yang mau berbuat dosa, atau mereka sajalah
orang-orang yang celaka!"
Hubab bin Al-Mundzir berdiri lagi seraya berteriak: "Hai orang-orang Anshar, jangan kalian
dengarkan perkataan orang itu dan rekan-rekannya! Mereka akan merampas hak kalian. Jika
mereka tetap menolak apa yang telah kalian katakan, keluarkanlah mereka itu dari negeri
kalian, dan peganglah sendiri kepemimpinan atas kaum muslimin. Kalian adalah orang-orang
yang paling tepat untuk urusan itu. Hanya pedang kalian sajalah yang sanggup menyelesaikan
persoalan ini dan dapat menundukkan orang-orang yang tak mau tunduk. Biasanya pendapatku
sering berhasil menyelesaikan persoalan rumit seperti ini. Aku mempunyai cukup pengalaman
dan pengetahuan tentang asal mula terjadinya persoalan seperti ini. Demi Allah, jika masih ada
orang yang membantah apa yang kukatakan, akan kuhancurkan batang hidungnya dengan
pedang ini!" Hubab berkata demikian, sambil menghunus pedang dari sarungnya.
Abu Bakar r.a. di Bai'at
Ibnu Abil Hadid dalam bukunya mengemukakan lebih lanjut tentang peristiwa debat di Saqifah
Bani Sa'idah itu sebagai berikut:
"Pada waktu Basyir bin Sa'ad Al-Khazrajiy melihat orang Anshar hendak bersepakat mengangkat
Sa'ad bin 'Ubadah sebagai Amirul Mukminin, ia segera berdiri. Basyir sendiri adalah orang dari
qabilah Khazraj. Ia merasa tidak setuju jika Sa'ad bin Ubadah terpilih sebagai Khalifah.
Berkatalah Basyir: "Hai orang-orang Anshar! Walaupun kita ini termasuk orang-orang yang dini
memeluk agama Islam, tetapi perjuangan menegakkan agama tidak bertujuan selain untuk
memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kita tidak boleh membuat orang banyak berteletele,
dan kita tidak ingin keridhoan Allah dan Rasul-Nya diganti dengan urusan duniawi.
Muhammad Rasul Allah s.a.w. adalah orang dari Qureiys dan kaumnya tentu lebih berhak
mewarisi kepemimpinannya. Demi Allah, Allah s.w.t. tidak memperlihatkan alasan kepadaku
untuk menentang mereka memegang kepemimpinan ummat. Bertaqwalah kalian kepada Allah.
Janganlah kalian menentang atau membelakangkan mereka!"
Mendengar suara orang Anshar memberi dukungan kepada kaum Muhajirin, Abu Bakar r.a.
berkata lagi: "Inilah Umar dan Abu Ubaidah! Bai'atlah salah seorang, mana yang kalian sukai!"
Tetapi dua orang yang ditunjuk oleh Abu Bakar r.a. menyahut dengan tegas: "Demi Allah, kami
berdua tidak bersedia memegang kepemimpinan mendahuluimu. Engkaulah orang yang paling
afdhal di kalangan kaum Muhajirin. Engkaulah yang mendampingi Rasul Allah di dalam gua, dan
engkau jugalah yang mewakili beliau mengimami shalat-shalat jama'ah selama beliau sakit.
Shalat adalah sendi agama yang paling utama. Ulurkanlah tanganmu, engkau kubai'at."
Tanpa berbicara lagi, Abu Bakar r.a. segera mengulurkan tangan dan kedua orang itu -- yakni
Umar r.a. dan Abu Ubaidah-- segera menyambut tangan Abu Bakar r.a. sebagai tanda membai'at. Kemudian menyusul Basyir bin Sa'ad mengikuti jejak Umar r.a. dan Aba Ubaidah.
Pada saat itu Hubab bin Al-Mundzir berkata kepada Basyir: "Hai Basyir, engkau memecah belah!
Engkau berbuat seperti itu hanya didorong oleh rasa iri hati terhadap anak pamanmu," yakni
Sa'ad bin 'Ubadah.
Begitu melihat ada seorang pemimpin qabilah Khazraj membai'at Abu Bakar r.a., seorang
terkemuka dari qabilah Aus, bernama Usaid bin Udhair, segera pula berdiri dan turut
menyatakan bai'atnya kepada Abu Bakar r.a. Dengan langkah Usaid ini, maka semua orang dari
qabilah Aus akhirnya menyatakan bai'atnya masing-masing kepada Abu Bakar r.a. dan Sa'ad bin
Ubadah terbaring tak mereka hiraukan.
Sampai hari-hari selanjutnya, Sa'ad bin 'Ubadah tetap tidak mau menyatakan bai'at kepada Abu
Bakar r.a. Hal itu sangat menimbulkan kemarahan Umar Ibnul Khattab r.a. Umar r.a. berusaha
hendak menekan Sa'ad, tetapi banyak orang mencegahnya. Mereka memperingatkan Umar r.a.
bahwa usahanya akan sia-sia belaka. Bagaimana pun juga Sa'ad tidak akan mau menyatakan
bai'atnya. Walau sampai mati dibunuh sekalipun. Ia seorang yang mempunyai pendirian keras
dan bersikap teguh. Kata mereka kepada Umar r.a.: "Kalau sampai Sa'ad mati terbunuh,
anggota-anggota keluarganya tidak akan tinggal diam sebelum semuanya mati terbunuh atau
gugur. Dan kalau sampai mereka mati terbunuh, maka semua orang Khazraj tidak akan
berpangku tangan sebelum mereka semua mati terbunuh. Dan kalau sampai orang Khazraj
diperangi, maka semua orang Aus akan bangkit ikut berperang bersama-sama orang Khazraj."
Pendapat Imam Ali r.a.
Ketika berlangsung proses pembai'atan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sebagai Khalifah untuk
meneruskan kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. atas ummat Islam, Imam Ali r.a. tidak ikut
terlibat di dalamnya. Ia masih sibuk mempersiapkan pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w.
Hampir tidak ada ungkapan sejarah yang mengemukakan bagaimana sikap Imam Ali r.a. pada
waktu mendengar berita tentang terbai'atnya Abu Bakar r.a. secara mendadak sebagai
Khalifah. Tetapi isteri Imam Ali r.a., puteri Rasul Allah s.a.w. yang selalu bersikap terus terang,
sukar menerima kenyataan terbai'atnya Abu Bakar r.a. sebagai Khalifah. Sitti Fatimah Azzahra
r.a. berpendirian, bahwa yang patut memikul tugas sebagai Khalifah dan penerus
kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. hanyalah suaminya.
Pendirian Sitti Fatimah r.a. didasarkan pada kenyataan bahwa Imam Ali r.a. adalah satu-satunya
kerabat terdekat beliau. Bahwa seorang anggota ahlul-bait Rasul Allah s.a.w. lebih
berhak ketimbang orang lain untuk menduduki jabatan Khalifah. Selain itu Imam Ali r.a. juga
sangat dekat hubungannya dengan Rasul Allah s.a.w., baik dilihat dari sudut hubungan
kekeluargaan maupun dari sudut prestasi besar yang telah diperbuat dalam perjuangan
menegakkan agama Allah. Demikian pula ilmu pengetahuannya yang sangat kaya berkat ajaran
dan pendidikan yang diberikan langsung oleh Rasul Allah s.a.w. kepadanya. Itu merupakan
syarat-syarat terpenting bagi seseorang untuk dapat di bai'at sebagai penerus kepemimpinan
Rasul Allah s.a.w. atas ummatnya.
Dengan gigih Sitti Fatimah r.a. memperjuangkan keyakinan dan pendiriannya itu. Pada suatu
malam dengan menunggang unta ia mendatangi sejumlah kaum Anshar yang telah membai'at
Abu Bakar r.a. guna menuntut hak suaminya. Kaum Anshar yang didatanginya itu menanggapi
tuntutan Sitti Fatimah r.a. dengan mengatakan: "Wahai puteri Rasul Allah s.a.w., pembai'atan
Abu Bakar sudah terjadi. Kami telah memberikan suara kepadanya. Kalau saja ia (Imam Ali r.a.)
datang kepada kami sebelum terjadi pembai'atan itu, pasti kami tidak akan memilih orang
lain."
Imam Ali r.a: sendiri dalam menanggapi pembai'atan Abu Bakar r.a. hanya mengatakan:
"Patutkah aku meninggalkan Rasul Allah s.a.w. sebelum jenazah beliau selesai dimakamkan…, hanya untuk mendapat kekuasaan?"
Pembicaraan dan perdebatan mengenai masalah kekhilafan banyak dilakukan orang, termasuk
antara Imam Ali r.a. dan orang-orang Bani Hasyim di satu fihak, dengan Abu Bakar r.a. dan
Umar r.a. di lain fihak. Semuanya itu tidak mengubah keadaan yang sudah terjadi. Sebagai
akibatnya hubungan antara Sitti Fatimah r.a. dan Abu Bakar r.a. tidak lagi pernah berlangsung
secara baik.
Sebagai orang yang merasa dirinya mustahak memangku jabatan khalifah, Imam Ali r.a. tidak
meyakini tepatnya pembai'atan yang diberikan oleh kaum Muhajirin dan Anshar kepada Abu
Bakar r.a. Selama 6 bulan ia mengasingkan diri dan menekuni ilmu-ilmu agama yang
diterimanya dari Rasul Allah s.a.w.
Dalam masa 6 bulan ini muncullah berbagai macam peristiwa berbahaya yang mengancam
kelestarian dan kesentosaan ummat.
Demi untuk memelihara kesentosaan Islam dan menjaga keutuhan ummat dari bahaya
perpecahan, akhirnya Imam Ali r.a. secara ikhlas menyatakan kesediaan mengadakan kerjasama
dengan khalifah Abu Bakar r.a. Terutama mengenai hal-hal yang olehnya dipandang
menjadi kepentingan Islam dan kaum muslimin. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu tercermin
dengan jelas sekali dalam sepucuk suratnya yang antara lain:
"Aku tetap berpangku-tangan sampai saat aku melihat banyak orang-orang yang meninggalkan
Islam dan kembali kepada agama mereka semula. Mereka berseru untuk menghapuskan agama
Muhammad s.a.w. Aku khawatir, jika tidak membela Islam dan pemeluknya, akan kusaksikan
terjadinya perpecahan dan kehancuran. Bagiku hal itu merupakan bencana yang lebih besar
dibanding dengan hilangnya kekuasaan. Kekuasaan yang ada di tangan kalian, tidak lain
hanyalah suatu kenikmatan sementara dan hanya selama beberapa waktu saja. Apa yang sudah
ada pada kalian akan lenyap seperti lenyapnya bayangan fatamorgana atau seperti lenyapnya
awan. Oleh karena itu, aku bangkit menghadagi kejadian itu, sampai semua kebatilan tersingkir
musnah, dan sampai agama berada dalam suasana tenteram…"
Sejak saat itu suara Imam Ali r.a. berkumandang kembali di tengah-tengah kaum muslimin,
terutama pada saat-saat ia dimintai pendapat-pendapat oleh Khalifah Abu Bakar r.a.
Kesempatan-kesempatan semacam itu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memberi pengarahan
kepada kehidupan Islam dan kaum muslimin, agar jangan sampai menyimpang dari ketentuanketentuan
Allah dan Rasul-Nya, baik di bidang legislatif (tasyri'iyyah), eksekutif (tanfidziyyah),
maupun judikatif (qadha'iyyah).
Dialog Abu Bakar r.a. dengan Abbas r.a.
Dalam buku Syarh Nahjil Balaghah, jilid I, halaman 97-100. Ibnu Abil Hadid mengetengahkan
suatu keterangan tentang situasi pada saat terbai'atnya Abu Bakar r.a. sebagai Khalifah.
Keterangan itu dikutipnya dari penuturan Al-Barra' bin Azib, seorang yang sangat besar
simpatinya kepada Bani Hasyim.
"Aku adalah orang yang tetap mencintai Bani Hasyim," kata Al-Barra' bin Azib. "Pada waktu
Rasul Allah s.a.w. mangkat, aku sangat khawatir kalau-kalau orang Qureiys sudah punya
rencana hendak menjauhkan orang-orang Bani Hasyim dari masalah itu, yakni masalah
kekhalifahan. Aku bingung sekali, seperti bingungnya seorang ibu yang kehilangan anak kecil.
Padahal waktu itu aku masih sedih disebabkan oleh wafatnya Rasul Allah s.a.w. Aku ragu-ragu
menemui orang-orang Bani Hasyim, yang ketika itu sedang berkumpul di kamar Rasul Allah
s.a.w. Wajah mereka kuamat-amati dengan penuh perhatian. Demikian juga air muka orangorang
Qureiys."
"Demikian itulah keadaanku ketika aku melihat Abu Bakar dan Umar tidak berada di tempat itu.
Sementara itu ada orang mengatakan bahwa sejumlah orang sedang berkumpul di Saqifah Bani
Sa'idah. Orang lain lagi mengatakan bahwa Abu Bakar telah dibai'at sebagai Khalifah."
"Tak lama kemudian kulihat Abu Bakar bersama-sama Umar Ibnul Khattab, Abu Ubaidah bin Al-
Jarrah dan sejumlah orang lainnya. Mereka itu tampaknya habis menghadiri pertemuan yang
baru saja diadakan di Saqifah Bani Sa'idah. Kulihat juga hampir semua orang yang berpapasan
dengan mereka ditarik; dihadapkan dan dipegangkan tangannya kepada tangan Abu Bakar
sebagai tanda pernyataan bai'at. Saat itu hatiku benar-benar terasa berat.
"Kemudian malam harinya kulihat Al-Miqdad, Salman, Abu Dzar, Ubadah bin Shamit, Abul
Haitsam bin At Taihan, Hudzaifah dan 'Ammar bin Yasir. Mereka ini ingin supaya diadakan
musyawarah kembali di kalangan kaum Muhajirin. Berita tentang hal ini kemudian didengar
oleh Abu Bakar dan Umar."
"Berangkatlah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah dan Al-Mughirah untuk menjumpai Abbas bin
Abdul Mutthalib di rumahnya, Setelah mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah s.w.t., Abu
Bakar berkata kepada Abbas:"Allah telah berkenan mengutus Muhammad s.a.w. sebagai Nabi
kepada kalian. Allah pun telah mengaruniakan rahmat-Nya kepada ummat dengan adanya Rasul
Allah di tengah-tengah mereka, sampai Dia menetapkan sendiri apa yang menjadi kehendak-
Nya."
"Rasul Allah s.a.w. meninggalkan ummatnya supaya mereka menyelesaikan sendiri siapa yang
akan diangkat sebagai waliy (pemimpin) mereka. Kemudian kaum muslimin memilih diriku
untuk melaksanakan tugas memelihara dan menjaga kepentingan-kepentingan mereka. Pilihan
mereka itu kuterima dan aku akan bertindak sebagai waliy mereka. Dengan pertolongan Allah
dan bimbingan-Nya, aku tidak akan merasa khawatir, lemah, bingung ataupun takut. Bagiku tak
ada taufiq dan pertolongan selain dari Allah. Hanya kepada Allah sajalah aku bertawakkal,
kepada-Nya jualah aku akan kembali."
"Tetapi, belum lama berselang aku mendengar ada orang yang menentang dan mengucapkan
kata-kata yang berlainan dari yang telah dinyatakan oleh kaum muslimin pada umumnya. Orang
itu hendak menjadikan kalian sebagai tempat berlindung dan benteng. Sekarang terserahlah
kepada kalian, apakah kalian hendak mengambil sikap seperti yang telah diambil oleh orang
banyak, ataukah hendak mengubah sikap mereka dari apa yang sudah menjadi kehendak
mereka."
"Kami datang kepada anda, karena kami ingin agar kalian ambil bagian dalam masalah itu. Kami
tahu bahwa anda adalah paman Rasul Allah s.a.w. Demikian juga semua kaum muslimin
mengetahui kedudukan anda dan keluarga anda di sisi Rasul Allah s.a.w. Oleh karena itu
mereka pasti bersedia meluruskan persoalan bersama-sama anda. Terserahlah kalian, orangorang
Bani Hasyim, sebab Rasul Allah dari kami dan dari kalian juga."
Menurut Al-Barra', sampai di situ Umar Ibnul Khattab menukas perkataan Abu Bakar r.a. dengan
cara-caranya sendiri yang keras. Kemudian Umar r.a berkata kepada Abbas: "Kami datang
bukan kerena butuh kepada kalian, tetapi kami tidak suka ada orang-orang muslimin dari kalian
yang turut menentang. Sebab dengan cara demikian kalian akan lebih banyak menumpuk kayu
bakar di atas pundak kaum muslimin. Lihatlah nanti apa yang akan kalian saksikan bersamasama
kaum muslimin."
Menanggapi ucapan Abu Bakar r.a. serta Umar r.a. tadi, menurut catatan Al-Barra', waktu itu
Abbas menjawab:
"…Sebagaimana anda katakan tadi, benarlah bahwa Allah telah mengutus Muhammad s.a.w.
sebagai Nabi dan sebagai pemimpin kaum msulimin. Dengan itu Allah telah melimpahkan
karunia kepada ummat Muhammad sampai Allah menetapkan sendiri apa yang menjadi kehendak-Nya. Rasul Allah s.a.w. telah meninggalkan ummatnya supaya mereka menyelesaikan
sendiri urusan mereka dan memilih sendiri siapa yang akan diangkat menjadi pemimpin
mereka.Mereka tetap berada di dalam kebenaran dan telah menjauhkan diri dari bujukan hawa
nafsu.
"Jika atas nama Rasul Allah s.a.w. anda minta kepadaku supaya aku turut ambil bagian,
sebenarnya hak kami sudah anda ambil lebih dulu. Tetapi jika anda mengatas-namakan kaum
muslimin, kami ini pun sebenarnya adalah bagian dari mereka."
"Dalam persoalan kalian itu, kami tidak mengemukakan hal yang berlebih-lebihan. Kami tidak
mencari pemecahan melalui jalan tengah dan tidak pula hendak menambah ruwetnya
persoalan. Jika sekiranya persoalan itu sudah menjadi kewajiban anda terhadap kaum
muslimin, kewajiban itu tidak ada artinya jika kami tidak menyukainya."
"Alangkah jauhnya apa yang telah anda katakan tadi, bahwa di antara kaum muslimin ada yang
menentang, di samping ada lain-lainnya lagi yang condong kepada anda. Apa yang anda katakan
kepada kami, kalau hal itu memang benar sudah menjadi hak anda kemudian hak itu hendak
anda berikan kepada kami, sebaiknya hal itu janganlah anda lakukan. Tetapi jika memang
menjadi hak kaum muslimin, anda tidak mempunyai wewenang untuk menetapkan sendiri.
Namun jika hal itu menjadi hak kami,
kami tidak rela menyerahkan sebagian pun kepada anda. Apa yang kami katakan itu sama sekali
bukan berarti bahwa kami ingin menyingkirkan anda dari urusan kekhalifahan yang sudah anda
terima. Kami katakan hal itu semata-mata karena tiap hujjah memerlukan penjelasan."
"Adapun ucapan anda yang mengatakan 'Rasul Allah dari kami dan dari kalian juga', maka beliau
sesungguhnya berasal dari sebuah pohon dan kami adalah cabang-cabangnya, sedangkan kalian
adalah tetangga-tetangganya."
"Mengenai yang anda katakan, hai Umar, tampaknya anda khawatir terhadap apa yang akan
diperbuat oleh orang banyak terhadap kami. Sebenarnya itulah yang sejak semula hendak
kalian katakan kepada kami. Tetapi hanya kepada Allah sajalah kami mohon pertolongan."
Kekhalifahan Abu Bakar r.a.
Masa kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. kurang lebih hanya dua tahun. Dalam waktu yang
singkat itu terjadi beberapa kali krisis yang mengancam kehidupan Islam dan
perkembangannya. Perpecahan dari dalam, maupun rongrongan dari luar cukup gawat. Di
utara, pasukan Byzantium (Romawi Timur) yang menguasai wilayah Syam melancarkan berbagai
macam provokasi yang serius, guna menghancurkan kaum muslimin Arab, yang baru saja
kehilangan pemimpin agungnya.
Dekat menjelang wafatnya, Rasul Allah s.a.w. merencanakan sebuah pasukan ekspedisi untuk
melawan bahaya dari utara itu, dengan mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglima. Tetapi
belum sempat pasukan itu berangkat ke medan juang, Rasul Allah wafat.
Setelah Abu Bakar r.a. menjadi Khalifah dan pemimpin ummat, amanat Rasul Allah dilanjutkan.
Pada mulanya banyak orang yang meributkan dan meragukan kemampuan Usamah, dan
pengangkatannya sebagai Panglima pasukan dipandang kurang tepat. Usamah dianggap masih
ingusan. Lebih-lebih karena pasukan Byzantium jauh lebih besar, lebih kuat persenjataannya
dan lebih banyak pengalaman. Apa lagi pasukan Romawi itu baru saja mengalahkan pasukan
Persia dan berhasil menduduki Yerusalem. Di kota suci ini, pasukan Romawi berhasil pula
merebut kembali "salib agung" kebanggaan kaum Nasrani, yang semulanya sudah jatuh ke
tangan orang-orang Persia.
Dengan dukungan sahabat-sahabat utamanya, Khalifah Abu Bakar r.a. berpegang teguh pada
amanat Rasul Allah s.a.w. Dalam usaha meyakinkan orang-orang tentang benar dan tepatnya kebijaksanaan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. memainkan peranan yang tidak kecil. Akhirnya
Usamah bin Zaid tetap diserahi pucuk pimpinan atas sebuah pasukan yang bertugas ke utara.
Pengangkatan Usamah sebagai Panglima ternyata tepat. Usamah berhasil dalam ekspedisinya
dan kembali ke Madinah membawa kemenangan gemilang.
Bahaya desintegrasi atau perpecahan dalam tubuh kaum muslimin mengancam pula
keselamatan ummat. Muncul oknum-oknum yang mengaku dirinya sebagai "nabi-nabi". Muncul
pula kaum munafik menelanjangi diri masing-masing. Beberapa Qabilah membelot secara
terang-terangan menolak wajib zakat. Selain itu ada qabilah-qabilah yang dengan serta merta
berbalik haluan meninggalkan Islam dan kembali ke agama jahiliyah. Pada waktu Rasul Allah
masih segar bubar, mereka itu ikut menjadi "muslimin". Setelah beliau wafat, mereka
memperlihatkan belangnya masing-masing. Seolah-olah kepergian beliau untuk selama-lamanya
itu dianggap sebagai pertanda berakhirnya Islam.
Demikian pula kaum Yahudi. Mereka mencoba hendak menggunakan situasi krisis sebagai
peluang untuk membangun kekuatan perlawanan balas dendam terhadap kaum muslimin.
Tidak kalah berbahayanya ialah gerak-gerik bekas tokoh-tokoh Qureiys, yang kehilangan
kedudukan setelah jatuhnya Makkah ke tangan kaum muslimin. Mereka itu giat berusaha
merebut kembali kedudukan sosial dan ekonomi yang telah lepas dari tangan. Tentang mereka
ini Khalifah Abu Bakar r.a. sendiri pernah berkata kepada para sahabat: "Hati-hatilah kalian
terhadap sekelompok orang dari kalangan 'sahabat' yang perutnya sudah mengembang, matanya
mengincar-incar dan sudah tidak bisa menyukai siapa pun juga selain diri mereka sendiri.
Awaslah kalian jika ada salah seorang dari mereka itu yang tergelincir. Janganlah kalian sampai
seperti dia. Ketahuilah, bahwa mereka akan tetap takut kepada kalian, selama kalian tetap
takut kepada Allah…"
Berkat kepemimpinan Abu Bakar r.a., serta berkat bantuan para sahabat Rasul Allah s.a.w.,
seperti Umar Ibnul Khattab r.a., Imam Ali r.a., Ubaidah bin Al-Jarrah dan lain-lain, krisis-krisis
tersebut di atas berhasil ditanggulangi dengan baik. Watak Abu Bakar r.a. yang demokratis,dan
kearifannya yang selalu meminta nasehat dan pertimbangan para tokoh terkemuka, seperti
Imam Ali r.a., merupakan, modal penting dalam tugas menyelamatkan ummat yang baru saja
kehilangan Pemimpin Agung, Nabi Muhammad s.a.w.
Dengan masa jabatan yang singkat, Khalifah Abu Bakar r.a. berhasil mengkonsolidasi persatuan
ummat, menciptakan stabilitas negara dan pemerintahan yang dipimpinnya dan menjamin
keamanan dan ketertiban di seluruh jazirah Arab.
Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. memang seorang tokoh yang lemah jasmaninya, akan tetapi ramah
dan lembut perangainya, lapang dada dan sabar.Sesungguhpun demikian, jika sudah
menghadapi masalah yang membahayakan keselamatan Islam dan kaum muslimin, ia tidak
segan-segan mengambil tindakan tegas, bahkan kekerasan ditempuhnya bila dipandang perlu.
Konon ia wafat akibat serangan penyakit demam tinggi yang datang secara tiba-tiba.
Menurut buku Abqariyyatu Abu Bakar, yang di tulis Abbas Muhammad Al 'Aqqad", sebenarnya
Abu Bakar r.a. sudah sejak lama terserang penyakit malaria. Yaitu beberapa waktu setelah
hijrah ke Madinah. Penyakit yang dideritanya itu dalam waktu relatif lama tampak sembuh,
tetapi tiba-tiba kambuh kembali dalam usianya yang sudah lanjut. Abu Bakar r.a. wafat pada
usia 63 tahun.