Bab VII : KHALIFAH UMAR IBNUL KHATTAB R.A.
Di samping ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, Umar Ibnul Khattab r.a. terkenal sebagai
orang yang bertabiat keras, tegas, terus terang dan jujur. Sama halnya seperti Abu Bakar Ash
Shiddiq r.a., sejak memeluk Islam ia menyerahkan seluruh hidupnya untuk kepentingan Islam
dan muslimin. Baginya tak ada kepentingan yang lebih tinggi dan harus dilaksanakan selain
perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kekuatan fisik dan mentalnya, ketegasan sikap dan keadilannya, ditambah lagi dengan
keberaniannya bertindak, membuatnya menjadi seorang tokoh dan pemimpin yang sangat
dihormati dan disegani, baik oleh lawan maupun kawan. Sesuai dengan tauladan yang diberikan
Rasul Allah s.a.w., ia hidup sederhana dan sangat besar perhatiannya kepada kaum sengsara,
terutama mereka yang diperlakukan secara tidak adil oleh orang lain.
Bila Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. menjadi Khalifah melalui pemilihan kaum muslimin, maka Umar
Ibnul Khattab r.a. dibai'at sebagai Khalifah berdasarkan pencalonan yang diajukan oleh Abu
Bakar r.a. beberapa saat sebelum wafat. Masa kekhalifahan Umar Ibnul Khattab r.a.
berlangsung selama kurang lebih 10 tahun.
Sukses dan Tantangan
Di bawah pemerintahannya wilayah kaum muslimin bertambah luas dengan kecepatan luar
biasa. Seluruh Persia jatuh ke tangan kaum muslimin. Sedangkan daerah-daerah kekuasaan
Byzantium, seluruh daerah Syam dan Mesir, satu persatu bernaung di bawah bendera tauhid.
Penduduk di daerah-daerah luar Semenanjung Arabia berbondong-bondong memeluk agama
Islam. Dengan demikian lslam bukan lagi hanya dipeluk bangsa Arab saja, tetapi sudah rnenjadi
agama berbagai bangsa.
Sukses gilang-gemilang yang tercapai tak dapat dipisahkan dari peranan Khalifah Umar Ibnul
Khattab r.a. sebagai pemimpin. Ia banyak mengambil prakarsa dalam mengatur administrasi
pemerintahan sesuai dengan tuntutan keadaan yang sudah berkembang. Demikian pula di
bidang hukum. Dengan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, dan dengan
memanfaatkan ilmu-ilmu yang dimiliki para sahabat Nabi Muhammad s.a.w., khususnya Imam
Ali r.a., sebagai Khalifah ia berhasil menfatwakan bermacam-macam jenis hukum pidana dan
perdata, disamping hukum-hukum yang bersangkutan dengan pelaksanaan peribadatan.
Tetapi bersamaan dengan datangnya berbagai sukses, sekarang kaum rnuslimin sendiri mulai
dihadapkan kepada kehidupan baru yang penuh dengan tantangan-tantangan. Dengan adanya
wilayah Islam yang bertambah luas, dengan banyaknya daerah-daerah subur yang kini menjadi
daerah kaum muslimin, serta dengan kekayaan yang ditinggalkan oleh bekas-bekas penguasa
lama (Byzantium dan Persia), kaum muslimin Arab mulai berkenalan dengan kenikmatan hidup
keduniawian.
Hanya mata orang yang teguh iman sajalah yang tidak silau melihat istana-istana indah, kotakota
gemerlapan, ladang-ladang subur menghijau dan emas perak intan-berlian berkilauan.
Kaum muslimin Arab sudah biasa menghadapi tantangan fisik dari musuh-musuh Islam yang
hendak mencoba menghancurkan mereka, tetapi kali ini tantangan yang harus dihadapi jauh
lebih berat, yaitu tantangan nafsu syaitan, yang tiap saat menggelitik dari kiri-kanan, mukabelakang.
Tantangan berat itulah yang mau tidak mau harus ditanggulangi oleh Khalifah Umar Ibnul
Khattab r.a. Berkat ketegasan sikap, kejujuran dan keadilannya, dan dengan dukungan para
sahabat Rasul Allah s.a.w. yang tetap patuh pada tauladan beliau, Khalifah Umar r.a. berhasil
menekan dan membatasi sekecil-kecilnya penyelewengan yang dilakukan oleh sementara tokoh
kaum muslimin. Pintu-pintu korupsi ditutup sedemikian rapat dan kuatnya. Tindakan tegas dan
keras, cepat pula diambil terhadap oknum-oknum yang bertindak tidak jujur terhadap
kekayaan negara. Sudah tentu ia memperoleh dukungan yang kuat dari semua kaum muslimin
yang jujur, sedangkan oknum-oknum yang berusaha keras memperkaya diri sendiri, keluarga
dan golongannya, pasti melawan dan memusuhinya.
Selama berada di bawah pemerintahan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a., musuh-musuh kaum
muslimin memang tidak dapat berkutik. Namun bahaya latent yang berupa rayuan kesenangan
hidup duniawi, tetap tumbuh dari sela-sela ketatnya pengawasan Khalifah.
Dalam menghadapi tantangan yang sangat berat itu, Khalifah Umar r.a. tidak sedikit menerima
bantuan dari Imam Ali r.a. Dalam masa yang penuh dengan tantangan mental dan spiritual itu,
Imam Ali r.a. menunjukkan perhatiannya yang dalam.
Dengan segenap kemampuan dan kekuatannya, Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. bersama para
sahabat-sahabat Rasul Allah s.a.w., berusaha keras mengendalikan situasi yang hampir
meluncur ke arah negatif.
Umar r.a. sering berkeliling tanpa diketahui orang untuk mengetahui kehidupan rakyat,
terutama mereka yang hidup sengsara. Dengan pundaknya sendiri, ia memikul gandum yang
hendak diberikan sebagai bantuan kepada seorang janda yang sedang ditangisi oleh anakanaknya
yang kelaparan.
Jika Umar r.a. mengeluarkan peraturan baru, anggota-anggota keluarganya justru yang
dikumpulkannya lebih dulu. Ia minta supaya semua anggota keluarganya menjadi contoh dalam
melaksanakan peraturan baru itu. Apabila di antara mereka ada yang melakukan pelanggaran,
maka hukuman yang dijatuhkan kepada mereka pasti lebih berat daripada kalau pelanggaran
itu dilakukan oleh orang lain.
Dengan kekhalifahannya. itu, Umar Ibnul Khattab r.a. telah menanamkan kesan yang sangat
mendalam di kalangan kaum muslimin. Ia dikenang sebagai seorang pemimpin yang patut
dicontoh dalam mengembangkan keadilan. Ia sanggup dan rela menempuh cara hidup yang tak
ada bedanya dengan cara hidup rakyat jelata. Waktu terjadi paceklik berat, sehingga rakyat
hanya makan roti kering, ia menolak diberi samin oleh seorang yang tidak tega melihatnya
makan roti tanpa disertai apa-apa. Ketika itu ia mengatakan: "Kalau rakyat hanya bisa makan
roti kering saja, aku yang bertanggung jawab atas nasib mereka pun harus berbuat seperti itu
juga."
Memanggil calon pengganti
Kepemimpinan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. atas ummat Islam benar-benar memberikan
ciri khusus kepada pertumbuhan Islam. Sumbangan yang diberikan bagi kemantapan hidup
kenegaraan dan kemasyarakatan ummat, sungguh tidak kecil.
Umar Ibnul Khattab r.a. wafat, setelah menderita sakit parah akibat luka-luka tikaman senjata
tajam yang dilakukan secara gelap oleh seorang majusi bernama Abu Lu'lu-ah. Dalam keadaan
kritis di atas pembaringan pemimpin ummat Islam ini masih sempat meletakkan dasar prosedur
bagi pemilihan Khalifah penggantinya. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas kesinambungan
kepemimpinan ummat Islam masih tetap merisaukan hatinya, walaupun maut sudah berada di
ambang kehidupannya.
Dalam saat yang gawat itulah ia meminta pendapat para penasehatnya yang dalam catatan
sejarah terkenal dengan sebutan "Ahlu Syuro", tentang siapa yang layak menduduki atau
memegang pimpinan tertinggi ummat Islam.
Umar Ibnul Khattab r.a. memang terkenal sebagai tokoh besar yang memiliki jiwa kerakyatan.
Sehingga ketika di antara penasehatnya ada yang mengusulkan supaya Abdullah bin Umar,
putera sulungnya, ditetapkan sebagai Khalifah pengganti, dengan cepat Umar r.a menolak. Ia
mengatakan: "Tak seorang pun dari dua orang anak lelakiku yang bakal meneruskan tugas itu.
Cukuplah sudah apa yang sudah dibebankan kepadaku. Cukup Umar saja yang menanggung
resiko. Tidak. Aku tidak sanggup lagi memikul tugas itu, baik hidup ataupun mati!" Demikian
kata Umar r.a. dengan suara berpacu mengejar tarikan nafas yang berat.
Sehabis mengucapkan kata-kata seperti di atas, Umar r.a. lalu mengungkapkan, bahwa sebelum
wafat, Rasul Allah s.a.w. telah merestui 6 orang sahabat dari kalangan Qureiys. Yaitu Ali bin Abi Thalib, 'Utsman bin Affan, Thalhah bin 'Ubaidillah, Zubair bin Al 'Awwam, Sa'ad bin Abi
Waqqash dan Abdurrahman bin 'Auf. "Aku berpendapat", kata Umar r.a. lebih jauh, "sebaiknya
kuserahkan kepada mereka sendiri supaya berunding, siapa di antara mereka yang akan dipilih."
Kemudian seperti berkata kepada diri sendiri, ia berucap: "Jika aku menunjuk siapa orangnya
yang akan menggantikan aku, hal seperti itu pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari
aku, yakni Abu Bakar Ash Shiddiq. Kalau aku tidak menunjuk siapa pun, hal itu pun pernah
dilakukan oleh orang yang lebih afdhal daripada diriku, yakni Nabi Muhammad s.a.w."
Tanpa menunggu tanggapan orang yang ada disekitarnya, Khalifah Umar r.a. kemudian
memerintahkan supaya ke-enam orang (Ahlu Syuro) tersebut di atas segera dipanggil.
Kondisi fisik Khalifah Umar r.a. yang terbaring tak berdaya itu, tampak bertambah gawat pada
saat keenam orang yang dipanggil itu tiba. Ketika ia melihat ke-enam orang itu sudah penuh
harap menantikan apa yang bakal diamanatkan, dengan sisa-sisa
tenaganya Khalifah Umar r.a. berusaha memperlihatkan ketenangan. Tiba-tiba ia melontarkan
suatu pertanyaan yang sukar dijawab oleh enam orang sahabatnya. "Apakah kalian ingin
menggantikan aku setelah aku meninggal?"
Tentu saja pertanyaan yang dilontarkan secara tiba-tiba dan sukar dijawab itu sangat
mengejutkan semua yang hadir. Mula-mula mereka diam, tertegun. Dan ketika Khalifah Umar
r.a. menatap wajah mereka satu persatu, masing-masing menunduk tercekam berbagai
perasaan. Di satu fihak tentunya mereka itu sangat sedih melihat pemimpin mereka dalam
kondisi fisik yang begitu merosot. Tetapi di fihak lain, mereka bingung tidak tahu kemana arah
pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang yang arif dan bijaksana itu. Karena tak ada yang
menjawab, Khalifah Umar r.a. mengulangi lagi pertanyaannya.
Setelah itu barulah Zubair bin Al-'Awwam menanggapi. Ia menjawab: "Anda telah menduduki
jabatan itu dan telah melaksanakan kewajiban dengan baik. Dalam qabilah Qureiys sebenarnya
kami ini menempati kedudukan yang tidak lebih rendah dibanding dengan anda. Sedangkan dari
segi keislaman dan hubungan kekerabatan dengan Rasul Allah s.a.w., kami pun tidak berada di
bawah anda. Lalu, apa yang menghalangi kami untuk memikul tugas itu?"
Tampaknya kata-kata yang ketus itu dilontarkan Zubair karena menyadari bahwa tokoh yang
berbaring di hadapannya itu sudah dalam keadaan sangat gawat. Hal itu dapat kita ketahui dari
komentar sejarah yang dikemukakan oleh seorang penulis terkenal, Syeikh Abu Utsman Al
Jahidz. Ia mengatakan: "Jika Zubair tahu bahwa Khalifah Umar r.a. akan segera wafat di depan
matanya, pasti ia tidak akan melontarkan kata-kata seperti itu, dan bahkan tidak akan berani
mengucapkan sepatah kata pun."
Kata-kata Zubair bin Al 'Awwam itu tidak langsung ditanggapi oleh Khalifah Umar r.a. Seakanakan
kata-kata itu tak pernah didengarnya. Dengan tersendat-sendat Khalifah Umar r.a.
melanjutkan perkataannya: "Bisakah kuajukan kepada kalian penilaianku tentang diri kalian?"
Kembali Zubair menukas dengan nada sinis: "Katakan saja. Tokh kalau kami minta supaya kami
dibiarkan, anda akan tetap tidak membiarkan kami!"
Penilaian
Kata-kata Zubair ini tampaknya sangat menyakitkan telinga Khalifah Umar r.a. yang sabar itu.
Sambil memandang tajam ke arah Zubair, Umar r.a. berkata: "Tentang dirimu, Zubair…, kau itu
adalah orang yang lancang mulut, kasar dan tidak mempunyai pendirian tetap. Yang kausukai
hanyalah hal-hal yang menyenangkan dirimu sendiri, dan engkau membenci apa saja yang tidak
kausukai. Pada suatu ketika engkau benar-benar seorang manusia, tetapi pada ketika yang lain
engkau adalah syaitan! Bisa jadi kalau kekhalifahan kuserahkan kepadamu, pada suatu ketika
engkau akan menampar muka orang hanya gara-gara gandum segantang."
Khalifah Umar menghentikan perkataannya sebentar, seolaholah mengambil nafas untuk
mengumpulkan kekuatan dan mengendalikan emosinya. Kemudian ia meneruskan: "Tahukah
engkau, jika kekuasaan kuserahkan kepadamu? Lalu siapa yang akan melindungi orang-orang
pada saat engkau sedang menjadi syaitan? Yaitu pada saat engkau sedang dirangsang
kemarahan?"
Tanpa menunggu jawaban Zubair, Khalifah Umar r.a. menoleh kearah Thalhah bin Ubaidillah,
yang segera menundukkan kepala setelah melihat sorot mata pemimpin yang berwibawa itu.
Bukan rahasia lagi di kalangan kaum muslimin pada masa itu, bahwa sudah beberapa waktu
lamanya Khalifah Umar r.a. memendam rasa jengkel terhadap tokoh yang satu ini. Peristiwanya
bermula pada waktu Khalifah Abu Bakar r.a. masih hidup. Ketika itu Thalhah mengucapkan
suatu kata kepada Abu Bakar r.a yang sangat tidak mengenakkan perasaan Umar Ibnul Khattab
r.a
Setelah memandang Thalhah sejenak, Khalifah Umar r.a. bertanya: "Sebaiknya aku bicara atau
diam saja?"
"Bicaralah!" sahut Thalhah dengan nada acuh tak acuh. "Tokh anda tidak akan berkata baik
mengenai diriku!"
"Aku mengenalmu sejak jari-jarimu luka pada waktu perang Uhud," kata Khalifah Umar r.a.
kepada Thalhah. "Dan aku juga mengenal kecongkakan yang pernah muncul pada dirimu. Rasul
Allah wafat dalam keadaan beliau tidak senang kepadamu. Itu akibat kata-kata yang
kauucapkan ketika ayat Al-Hijab turun."
Menurut catatan yang dibuat oleh Syeikh Abu Utsman Al Jahidz, perkataan Thalhah yang
dimaksud ialah ucapan kepada salah seorang sahabat. Kata-kata Thalhah itu akhirnya sampai
juga ke telinga Rasul Allah s.a.w.: "Apa arti larangan itu baginya (yakni bagi Rasul Allah s.a.w.)
sekarang ini? Dia bakal mati. Lalu kita bakal menikahi permpuan-perempuan itu!"
Habis berbicara tentang pribadi Thalhah, Khalifah Umar r.a. melihat kepada Sa'ad bin Abi
Waqqash. Kepadanya Umar r.a. berkata: "Engkau seorang yang mempunyai banyak kuda
perang. Dengan kuda-kuda itu engkau telah berjuang dan berperang. Banyak sekali senjata
yang kau miliki, busur dan anak panahnya. Tetapi qabilah Zuhrah (asal Saad), kurang tepat
untuk memangku jabatan Khalifah dan memimpin urusan kaum muslimin."
Tibalah sekarang giliran Khalifah Umar r.a. menilai pribadi Abdurrahman bin 'Auf, yang rupanya
sudah siap mendengarkan penilaiannya. "Jika separoh kaum muslimin imannya ditimbang
dengan imanmu," kata Khalifah Umar r.a., "maka imanmulah yang lebih berat. Tetapi
kekhalifahan tidak tepat kalau dipegang oleh seorang yang lemah seperti engkau. Qabilah
Zuhrah (asal Abdurrahman bin 'Auf juga) kurang kena untuk urusan itu."
Abdurrahman tidak sepatah kata pun menanggapi penilaian Khalifah Umar r.a. atas dirinya. Ia
membiarkan Khalifah berbicara lebih lanjut mengenai diri Iman Ali r.a. "Ya Allah, alangkah
tepat dan baiknya kalau anda tidak suka bergurau!" kata Khalifah Umar r.a. dengan nada suara
yang agak meninggi. Kemudian dengan suara merendah dikatakan: "Seandainya anda nanti yang
akan memimpin ummat, anda pasti akan membawa mereka menuju kebenaran yang terang
benderang."
Imam Ali r.a. tampak terjengah dan tersipu-sipu mendengar ucapan orang yang sangat
dikaguminya. Juga ia tidak memberikan tanggapan terhadap penilaian yang positif atas dirinya.
Khalifah Umar r.a. akhirnya dengan serius menoleh kearah Utsman bin Affan r.a. Tangannya
sudah makin melemah dan tenaganya sudah sangat berkurang. Tetapi ia memaksakan diri untuk
menilai orang keenam yang ada di hadapannya itu. "Aku merasa seakan-akan orang Qureiys telah mempercayakan kekhalifahan kepada anda," kata Khalifah dengan suara lembut, "karena
besarnya rasa kecintaan mereka kepada anda."
Wajah Khalifah Umar r.a. mendadak kelihatan sendu, seolah-olah sedang menahan perasaan
getir yang menyelinap ke dalam kalbu. "Tetapi aku melihat nantinya anda akan mengangkat
orang-orang Bani Umayyah dan Bani Mu'aith di atas orangorang lain. Kepada mereka anda akan
menghamburkan harta ghanimah yang tidak sedikit." Suara Khalifah meninggi pula: "Akhirnya
akan ada segerombolan 'serigala' Arab datang menghampiri anda, lalu mereka akan membantai
anda di atas pembaringan."
Dengan nada peringatan yang sungguh-sungguh, Khalifah Umar r.a. mengakhiri kata-katanya:
"Demi Allah, jika anda sampai melakukan apa yang kubayangkan itu, gerombolan 'srigala' itu
pasti akan berbuat seperti yang kukatakan. Dan kalau yang demikian itu benar-benar terjadi,
ingatlah kepada kata-kataku ini! Semua itu akan terjadi"
Cara Pemilihan
Berbicara tentag wasyiat Khalifah Umar r.a. menjelang wafat nya, Syeikh Abu Utsman Al Jahidz
juga mengungkapkan keterangan Mu'ammar bin Sulaiman At Taimiy, yang diperol~h dari Ibnu
Abbas. Yang tersebut belakangan ini diketahui pernah mendengar apa yang pernah dikatakan
Umar Ibnul Khattab r.a. kepada para Ahlu Syuro menjelang wafatnya: "Jika kalian saling
membantu, saling percaya dan saling menasehati, maka kupercayakan kepemimpinan ummat
kepada kalian, bahkan sampai kepada anak cucu kalian. Tetapi kalau kalian saling dengki,
saling membenci , saling menyalahkan dan saling bertentangan, kepemimpinan itu akhirnya
akan jauth ke tangan Muawiyah bin Abu Sufyan!".
Perlu diketahui, bahwa ketika Khalifah Umar r.a. masih hidup, Muawiyah bin Abu Sufyan sudah
beberapa tahun lamanya menjabat sebagai kepala daerah Syam. Ia diangkat sebagai kepala
daerah oleh Umar Ibnul Khattab r.a. Sejarah kemudian mencatat, bahwa yang diperkirakan
oleh Khalifah Umax r.a. menjelang akhir hayatnya menjadi kenyataan.
Klimaks dari penyampaian wasyiat oleh Khalifah Umar r.a. ialah memerintahkan supaya Abu
Thalhah A1 Anshariy datang menghadap. Waktu orang yang dipanggil itu sudah berada didekat
pembaringannya, berkatalah Khalifah Umar r.a. dengan tegas dan jelas, seolah-olah sedang
melepaskan sisa tenaganya yang terakhir:
"Abu Thalhah, camkan baik-baik! Kalau kalian sudah selesai memakamkan aku, panggillah 50
orang Anshar. Jangan lupa, supaya masing-masing membawa pedang. Lalu desaklah mereka (6
orang Ahlu Syuro) supaya segera menyelesaikan urusan mereka (untuk memilih siapa di antara
mereka itu yang akan ditetapkan sebagai Khalifah). Kumpulkan mereka itu dalam sebuah
rumah. Engkau bersama-sama teman-i;emanmu berjaga jaga di pintu. Biarkan mereka
bermusyawarah untuk memilih salah seorang di antara mereka.
"Jika yang Iima setuju dan ada satu yang menentang, penggallah leher orang yang menentang
itu! J'ika empat orang setuju dan ada dua yang menentang, penggallah leher dua orang itu! Jika
tiga orang setuju dan tiga orang lainnya menentang, tunggu dan lihat dulu kepada tiga orang
yang diantaranya termasuk Abdurrahman bin 'Auf. Kalian harus mendukung kesepakatan tiga
orang ini. Kalau yang tiga orang lainnya masih bersikeras menentang,penggal saja leher tiga
orang yang bersikeras itu!.
"Jika sampai tiga hari, enam orang itu belum juga mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan
urusan mereka, penggal saja leher enam orang itu semuanya. Biarlah kaum muslimin sendiri
memilih siapa yang mereka sukai untuk dijadikan pemimpin mereka !".
Dari sekelumit informasi sejarah tersebut di atas, kita mengetahui, betapa tingginya rasa
tanggung-jawab dan jiwa kerakyatan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Secara tertib dan terperinci, sampai detik-detik menjelang ajalnya, ia masih memikirkan caracara pengangkatan
seorang Khalifah yang akan mengantikannya. Sambil menahan rasa sakit akibat luka-luka
tikaman sejata tajam, ia masih sempat berusaha menyinambungkan kepemimpinan ummat
Islam sebaik-baiknya.