Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra0%

Sejarah Hidup Imam Ali ra pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Imam Ali as

Sejarah Hidup Imam Ali ra

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: H.M.H. ALHAMID ALHUSAINI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 19607
Download: 4503

Komentar:

Sejarah Hidup Imam Ali ra
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 22 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 19607 / Download: 4503
Ukuran Ukuran Ukuran
Sejarah Hidup Imam Ali ra

Sejarah Hidup Imam Ali ra

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bab IX : DELAPAN HARI TANPA KHALIFAH

Dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. tidaklah terselesaikan persoalan-persoalan

gawat yang dihadapi oleh kaum muslimin. Malahan muncul krisis politik yang sifatnya lebih gawat, yang menuntut penanggulangan secara tepat dan bijaksana. Beberapa waktu lamanya

kehidupan kaum muslimin tanpa pimpinan tertinggi dan situasi pemerintahan menjadi kosong.

Duniawi kontra Zuhud

Dalam situasi mengandung berbagai kemungkinan buruk itu, tokoh-tokoh Bani Umayyah yang

selama ini memperoleh kepercayaan penuh dari Khalifah Utsman r.a., justru tidak mengambil

tindakan apa pun juga. Marwan bin Al-Hakam dan kawan-kawannya lari meninggalkan Madinah.

Amr bin Al-Ash, pada saat-saat Khalifah Utsman r.a. dikepung kaum muslimin yang

memberontak, cepat-cepat pergi ke Palestina. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sufyan sendiri,

tidak juga mengambil inisiatif apa pun. Begitu pula Abdullah bin Abi Sarah yang sedang menjadi

penguasa daerah Mesir. Semuanya diam, seolah-olah tak pernah terjadi suatu peristiwa politik

yang besar dan gawat.

Orang bertanya-tanya: Mengapa para penguasa Bani Umayyah yang berkuasa di Mesir dan di

Syam tidak segera memberi pertolongan kepada Khalifah Utsman r.a.? Kemudian setelah

Khalifah Utsman r.a. terbunuh, mengapa mereka tak segera mengirimkan pasukan untuk

bertindak tegas terhadap kaum pemberontak dan menangkap oknum-oknum yang

merencanakan dan melaksanakan pembunuhan atas diri Khalifah itu? Kenapa mereka berpangku

tangan, padahal mereka mempunyai kekuatan cukup untuk melakukan tindakan hukum,

sebelum Khalifah yang baru di angkat?

Pertanyaan-pertanyaan serupa itu adalah wajar. Sebab, para penguasa Bani Umayyah dan

tokoh-tokohnya bukan orang-orang yang baru dilahirkan kemarin. Mereka cukup makan garam

politik, terutama pada waktu mereka dulu mengorganisasi dan memimpin orang-orang kafir

Qureiys melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Rasul Allah s.a.w. dan kaum muslimin.

Nampaknya mereka bukan tidak bertindak, tetapi ada perhitungan lain.

Pada masa itu tokoh Bani Umayyah yang paling terkemuka ialah Muawiyah bin Abi Sufyan. Akan

tetapi sejarah keislamannya tidak memungkinkan dirinya dapat dipilih sebagai Khalifah

pengganti Khalifah Utsman bin Affan r.a. Ia memeluk Islam setelah tidak ada jalan lain untuk

menyelamatkan diri dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin. Ia masuk Islam

kurang lebih dua tahun sebelum wafatnya Rasul Allah s.a.w. Sebelum itu ia sangat gencar

memerangi kaum muslimin dalam usaha memukul Islam.

Dengan kata lain, selama masih ada sahabat-sahabat Rasul Allah s.a.w. yang sejak dulu sampai

sekarang masih gigih membela kebenaran agama Allah, seperti Imam Ali r.a. dan lain-lain,

harapan bagi Muawiyah untuk dapat dibai'at sebagai Khalifah penerus Utsman r.a. tidak

mungkin dapat terlaksana.

Usaha merebut atau mewarisi kekhalifahan Utsman r.a. lebih dipersulit lagi oleh dua

kenyataan:

1. Khalifah Utsman r.a. wafat akibat terjadinya konflik politik yang gawat dengan rakyatnya

sendiri.

2. Ia wafat meninggalkan warisan situasi pemerintahan yang sudah tidak disukai oleh kaum

muslimin.

Konflik politik dan warisan situasi yang tidak menguntung kan orang-orang, Bani Umayyah itu

perlu "dibenahi" lebih dulu untuk dapat meraih kedudukan sebagai pengganti Khalifah Utsman

r.a.

Muawiyah harus dapat menciptakan situasi baru, di mana konflik politik yang sedang panas itu

bisa dialihkan kepada sasaran baru. Untuk ini harus pula dicari "kambing hitam" yang "tepat".

Dalam hal ini ialah orang yang mempunyai kemungkinan paling besar akan dibai'at oleh kaum

muslimin sebagai Khalifah. Imam Ali r.a. merupakan seorang tokoh yang paling banyak mempunyai syarat untuk dibai'at. Ia bukan hanya anggota Ahlu-Bait Rasul Allah s.a.w.,

melainkan juga ia seorang genial, ilmuwan dan pahlawan perang.

Sudah sejak dulu, tokoh-tokoh Bani Umayyah selain Utsman r.a. memandang Imam Ali r.a.

dengan perasaan benci dan murka. Mereka tidak bisa melupakan betapa banyaknya korban kafir

Qureiys, termasuk sanak famili mereka, yang mati di ujung pedang Imam Ali r.a. dalam

pertempuran-pertempuran antara kaum musyrikin dan kaum muslimin di masa lalu.

Mereka juga tahu, bahwa di masa Khalifah Utsman r.a. masih hidup, Imam Ali r.a. satu-satunya

orang yang selalu mengingatkan Khalifah tentang besarnva bahaya yang akan timbul akibat

permainan para pembantunya yang terdiri dari orang-orang Bani Umayyah. Imam Ali r.a.

jugalah yang selalu menasehati Khalifah Utsman r.a. supaya mencegah berlarut-larutnya

pacuan memperebutkan harta kekayaan secara tidak sah, yang sedang terjadi di kalangan

sementara lapisan ummat lslam. Bahkan Imam Ali r.a. jugalah yang bila perlu melancarkan

kritik-kritik secara terbuka dan jujur terhadap kebijaksanaan Khalifah Utsman r.a.

Tokoh-tokoh Bani Umayyah tahu benar, bahwa Imam Ali r.a. adalah juru bicara yang paling

mustahak mewakili jeritan sebagian besar kaum muslimin, yang ingin dipulihkan kembali

suasana kehidupan seperti yang pernah terjadi pada zaman hidupnya Rasul Allah s.a.w.

Golongan Bani Umayyah memandang Imam Ali r.a. sebagai penghambat dan selalu menjadi

perintang bagi mereka dalam usaha meraih kedudukan dan keuntungan-keuntungan materil.

Seandainya Khalifah Utsman r.a. sebelum wafatnya berwasyiat supaya Imam Ali r.a. dibai'at

sebagai Khalifah penggantinya, golongan Bani Umayyah sudah pasti tidak akan

melaksanakannya.

Pertentangan antara Muawiyah dan pendukung-pendukungnya dengan Imam Ali r.a. dan

pendukung-pendukungnya, pada hakekatnya bukanlah pertentangan antar-golongan, melainkan

pertentangan antara kehidupan yang terangsang oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi dengan

kehidupan zuhud. Hal ini akan terbukti kebenarannya pada babak-babak terakhir dari proses

pertentangan antara keduabelah fihak.

Mencari Calon Pengganti

Dalam situasi tidak menentu, kaum pemberontak dan penduduk Madinah berpendapat, bahwa

hanya salah seorang di antara 5 orang sahabat dekat Rasul Allah s.a.w. yang patut dibai'at

sebagai Khalifah pengganti. Mereka itu ialah yang dulu bersama-sama Utsman bin Affan r.a.

pernah dicalonkan oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. sebelum wafatnya. Namun dari yang 5

orang itu, hanya 4 orang saja yang masih hidup. Abdurrahman bin A'uf sudah tiada.

Tragedi pembunuhan Khalifah Utsman r.a. sangat menggoncangkan dan memilukan Sa'ad bin

Abi Waqqash. Karena sebelum itu, Khalifah Umar r.a. juga mati terbunuh, sungguhpun

pembunuhnya bukan seorang muslim (tetapi majusi) dan terjadinya bukan akibat konflik politik

di antara sesama kaum muslimin. Oleh karena itu Sa'ad bin Abi Waqqash mengambil keputusan

untuk menjauhkan diri sama sekali dari kegiatan politik kenegaraan dan kemasyarakatan. Ia

tidak mau melibatkan diri atau dilibatkan dalam proses pembai'atan seorang Khalifah baru.

Dengan demikian dari 4 orang sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang masih hidup, kini hanya

tinggal 3 orang saja yang dapat dicalonkan.

Jalan mennuju terbai'atnya Khalifah ke 4 ternyata tidak selicin seperti yang diperkirakan orang.

Dalam proses permulaan saja sudah menghadapi kesukaran berat. Karena ketiga orang calon

tersebut sudah tidak ada yang bersedia dibai'at sebagai Khalifah. Usaha pendekatan yang

dilakukan oleh kaum muslimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a. sukar diterima

oleh tiga orang sahabat Rasul Allah s.a.w. itu. Kemacetan berlangsung selama 8 hari.

Sedangkan kaum muslimin, baik yang tinggal di kota Madinah maupun yang di daerah-daerah,

cemas-cemas gelisah menantikan adanya pimpinan yang baru.

Tragedi pembunuhan kejam terhadap Khalifah Utsman r.a., dikuasainya ibukota oleh kaum

pemberontak, macetnya pemilihan Khalifah baru, semuanya merupakan kerawanan yang amat

berbahaya. Pasukan-pasukan muslimin yang sedang bertugas di luar daerah dengan gelisah

menunggu adanya instruksi-instruksi baru. Jika krisis itu berlarut-larut, mereka sangat khawatir

kalau-kalau musuh Islam akan memanfaatkan krisis kepemimpinan itu sebagai peluang yang

baik untuk melancarkan serangan-serangan.

Di Mesir, seorang Kepala Daerah yang tidak disukai oleh penduduk dan dituntut

pemberhentiannya (Abdullah bin Abi Sarah) masih tetap berkuasa. bersama dengan itu, seorang

Kepala Daerah yang terkenal cakap dan erat hubungannya dengan Khalifah Utsman r.a., yakni

Muawiyah, hanya sibuk dalam kegiatan meningkatkan kedudukannya.

Kaum pemberontak menyadari, tanpa kerjasama dan bantuan aktif kaum Muhajirin dan Anshar,

mereka tidak akan berhasil menentukan pengganti Khalifah Utsman r.a. Setelah mengadakan

pembahasan secara mendalam tentang situasi gawat yang akan timbul akibat tidak adanya

pemerintahan pusat, dan dengan dukungan kaum Muhajirin dan Anshar, para sahabat Rasul

Allah s.a.w., sepakat untuk secepat mungkin mengadakan pemilihan seorang calon, yang akan

dibai'at sebagai Khalifah baru. Calon itu ialah Imam Ali r.a.

Imam Ali r.a. di Bai`at

Menurut penuturan Abu Mihnaf, sebagaimana tercantum dalam Syarh Nahjil Balaghah, jilid IV,

halaman 8, dikatakan, bahwa ketika itu kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di masjid Rasul

Allah s.a.w. Dengan harap-harap cemas mereka menunggu berita tentang siapa yang akan

menjadi Khalifah baru. Masjid yang menurut ukuran masa itu sudah cukup besar, penuh sesak

dibanjiri orang. Di antara tokoh-tokoh muslimin yang menonjol tampak hadir Ammar bin Yasir,

Abul Haitsam bin At Thaihan, Malik bin 'Ijlan dan Abu Ayub bin Yazid. Mereka bulat

berpendapat, bahwa hanya Ali bin Abi Thalib r.a. lah tokoh yang paling mustahak dibai'at.

Diantara mereka yang paling gigih berjuang agar Imam Ali r.a. dibai'at ialah Ammar bin Yasir.

Dalam mengutarakan usulnya, pertama-tama Ammar mengemukakan rasa syukur karena kaum

Muhajirin tidak terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman r.a.

Kepada kaum Anshar, Ammar menyatakan, jika kaum Anshar hendak mengkesampingkan

kepentingan mereka sendiri, maka yang paling baik ialah membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai

Khalifah. Ali bin Abi Thalib, kata Ammar, mempunyai keutamaan dan ia pun orang yang paling

dini memeluk Islam.

Kepada kaum Muhajirin, Ammar mengatakan: kalian sudah mengenal betul siapa Ali bin Abi

Thalib. Oleh karena itu aku tak perlu menguraikan kelebihan-kelebihannya lebih panjang lebar

lagi. Kita tidak melihat ada orang lain yang lebih tepat dan lebih baik untuk diserahi tugas itu!

Usul Ammar secara spontan disambut hangat dan didukung oleh yang hadir. Malahan kaum

Muhajirin mengatakan: "Bagi kami, ia memang satu-satunya orang yang paling afdhal!"

Setelah tercapai kata sepakat, semua yang hadir berdiri serentak, kemudian berangkat

bersama-sama ke rumah Imam Ali r.a. Di depan rumahnya mereka beramai-ramai minta dan

mendesak agar Imam Ali r.a. keluar. Setelah Imam Ali r.a. keluar, semua orang berteriak agar

ia bersedia mengulurkan tangan sebagai tanda persetujuan dibai'at menjadi Amirul Mukminin.

Pada mulanya Imam Ali r.a. menolak dibai'at sebagai Khalifah. Dengan terus terang ia

menyatakan : "Aku lebih baik menjadi wazir yang membantu daripada menjadi seorang Amir

yang berkuasa. Siapa pun yang kalian bai'at sebagai Khalifah, akan kuterima dengan rela.

Ingatlah, kita akan menghadapi banyak hal yang menggoncangkan hati dan fikiran."

Jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu tak dapat diterima sebagai alasan oleh banyak kaum

muslimin yang waktu itu datang berkerumun di rumahnya. Mereka tetap mendesak atau

setengah memaksa, supaya Imam Ali r.a. bersedia dibai'at oleh mereka sebagai Khalifah.

Dengan mantap mereka menegaskan pendirian: "Tidak ada orang lain yang dapat menegakkan

pemerintahan dan hukum-hukum Islam selain anda. Kami khawatir terhadap ummat Islam, jika

kekhalifahan jatuh ketangan orang lain…"

Beberapa saat lamanya terjadi saling-tolak dan saling tukar pendapat antara Imam Ali r.a.

dengan mereka. Para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan para pemuka kaum Muhajirin dan

Anshar mengemukakan alasannya masing-masing tentang apa sebabnya mereka mempercayakan

kepemimpinan tertinggi kepada Imam Ali r.a. Betapapun kuat dan benarnya alasan yang

mereka ajukan Imam Ali r.a. tetap menyadari, jika ia menerima pembai'atan mereka pasti akan

menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan gawat.

Baru setelah Imam Ali r.a. yakin benar, bahwa kaum muslimin memang sangat menginginkan

pimpinannya, dengan perasaaan berat ia menyatakan kesediaannya untuk menerima

pembai'atan mereka. Satu-satunya alasan yang mendorong Imam Ali r.a. bersedia dibai'at, ialah

demi kejayaan Islam, keutuhan persatuan dan kepentingan kaum muslimin. Rasa tanggung

jawabnya yang besar atas terpeliharanya nilai-nilai peninggalan Rasul Allah s.a.w.,

membuatnya siap menerima tanggung jawab berat di atas pundaknya. Sungguh pun demikian,

ia tidak pernah lengah, bahwa situasi yang ditinggalkan oleh Khalifah Utsman r.a. benar-benar

merupakan tantangan besar yang harus ditanggulangi.

Keputusan Imam Ali r.a. untuk bersedia dibai'at sebagai Amirul Mukminin disambut dengan

perasaan lega dan gembira oleh sebagian besar kaum muslimin.

Kepada mereka Imam Ali r.a. meminta supaya pembai'atan dilakukan di masjid agar dapat

disaksikan oleh umum. Kemudian Imam Ali r.a. juga memperingatkan, jika sampai ada seorang

saja yang menyatakan terus terang tidak menyukai dirinya, maka ia tidak akan bersedia

dibai'at. Mereka dapat menyetujui permintaan Imam Ali r.a., lalu ramai-ramai pergi menuju

masjid.

Setibanya di Masjid, ternyata orang pertama yang menyatakan bai'atnya ialah Thalhah bin

Ubaidillah. Menyaksikan kesigapan Thalhah itu, seorang bernama Qubaisah bin Dzuaib Al Asadiy

menanggapi: "Aku Khawatir, jangan-jangan pembai'atan Thalhah itu tidak sempurna!" Ia

mengucapkan tanggapannya itu karena tangan Thalhah memang lumpuh sebelah. Orang lain

membiarkan komentar itu lewat begitu saja.

Zubair bin Al-'Awwam segera mengikuti jejak Thalhah menyatakan bai'at kepada Imam Ali r.a.

Sesudah itu barulah kaum Muhajirin dan Anshar menyatakan bai'atnya masing-masing. Yang

tidak ikut menyatakan bai'at ialah Muhammad bin Maslamah, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin

Salam, Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Saad bin Abi Waqqash, dan Ka'ab bin Malik.

Tata cara pembai'atan dilakukan menurut prosedur sebagaimana yang lazim berlaku atas diri

Khalifah-khalifah sebelumnya. Sesuai dengan tradisi pada masa itu, sesaat setelah dibai'at

Amirul Mukminin Imam Ali r.a. menyampaikan amanatnya yang pertama. Antara lain

mengatakan:

"Sebenarnya aku ini adalah seorang yang sama saja seperti kalian. Tidak ada perbedaan dengan

kalian dalam masalah hak dan kewajiban. Hendaknya kalian menyadari, bahwa ujian telah

datang dari Allah s.w.t. Berbagai cobaan dan fitnah telah datang mendekati kita seperti

datangnya malam yang gelap-gulita. Tidak ada seorang pun yang sanggup mengelak dan

menahan datangnya cobaan dan fitnah itu, kecuali mereka yang sabar dan berpandangan jauh.

Semoga Allah memberikan bantuan dan perlindungan.

"Hati-hatilah kalian sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepada kalian, dan

berhentilah pada apa yang menjadi larangan-Nya. Dalam hal itu janganlah kalian bertindak

tergesa-gesa, sebelum kalian menerima penjelasan yang akan kuberikan.

"Ketahuilah bahwa Allah s.w.t. di atas 'Arsy-Nya Maha Mengetahui, bahwa sebenarnya aku ini

tidak merasa senang dengan kedudukan yang kalian berikan kepadaku. Sebab aku pernah

mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berkata: "Setiap waliy (penguasa atau pimpinan)

sesudahku, yang diserahi pimpinan atas kaum muslimin, pada hari kiyamat kelak akan

diberdirikan pada ujung jembatan dan para Malaikat akan membawa lembaran riwayat

hidupnya. Jika waliy itu seorang yang adil, Allah akan menyelamatkannya karena keadilannya.

Jika waliy itu seorang yang dzalim, jembatan itu akan goncang, lemah dan kemudian lenyaplah

kekuatannya. Akhirnya orang itu akan jatuh ke dalam api neraka…"

Demikianlah tutur Abu Mihnaf yang uraian riwayatnya tidak berbeda jauh dari versi sejarah

yang ditulis oleh beberapa penulis lain. Lebih jauh Abu Mihnaf mengatakan, bahwa orang-orang

yang tidak ikut serta menyatakan bai'at, diminta oleh Imam Ali r.a. supaya menemuinya secara

langsung pada lain kesempatan.

Pada suatu hari ketika Abdullah bin Umar diminta pernyataan bai'atnya, ia menolak. Ia baru

bersedia membai'at Imam Ali r.a., kalau semua orang sudah menyatakan bai'atnya. Melihat

sikap Abdullah yang sedemikian itu, Al Asytar, seorang sahabat setia Imam Ali r.a. dan terkenal

sebagai pahlawan perang, tidak dapat menahan kemarahannya. Kepada Imam Ali r.a., Al-Asytar

berkata: "Ya Amiral Mukminin, pedangku sudah lama menganggur. Biar kupenggal saja

lehernya!"

"Aku tidak ingin ia menyatakan bai'at secara terpaksa," ujar Imam Ali r.a. dengan tenang

menanggapi ucapan Al-Asytar. "Biarkanlah!"

Setelah Abdullah, datanglah Sa'ad bin Abi Waqqash atas panggilan Imam Ali r.a. Ketika diminta

pernyataan bai'atnya, ia menjawab supaya dirinya jangan diganggu dulu. "Kalau sudah tidak ada

orang lain kecuali aku sendiri, barulah aku akan membai'at anda."

Mendengar keterangan Sa'ad itu, Imam Ali r.a. berkata kepada seorang sahabatnya: "Sa'ad bin

Abi Waqqash memang tidak berdusta. Biarkan saja dia!" Imam Ali r.a. kemudian

memperbolehkan Sa'ad meninggalkan tempat.

Waktu tiba giliran Usamah bin Zaid, ia mengatakan: "Aku ini kan maula anda. Aku sama sekali

tidak mempunyai persoalan atau niat hendak menentang anda. Pada saat semua orang sudah

menjadi tenang kembali aku pasti akan menyatakan bai'at kepada anda."

Usamah lalu diperbolehkan meninggalkan tempat. Tampaknya Usamah bin Zaid merupakan

orang terakhir yang dipanggil untuk menyatakan bai'at. Sebab, setelah itu tidak ada orang lain

lagi yang dipanggil untuk diminta bai'atnya.

Delapan hari sepeninggal Khalifah Utsman bin Affan r.a., kini kaum muslimin telah mempunyai

Khalifah baru. Menurut catatan sejarah, jangka waktu 8 hari itu merupakan waktu terpanjang

dalam usaha penetapan seorang Khalifah. Satu keadaan yang cukup menggambarkan betapa

resahnya fikiran kaum muslimin pada saat itu. Delapan hari lamanya kaum muslimin hidup

tanpa pimpinan.

Kota Madinah yang sejak masa hidupnya Rasul Allah s.a.w. menjadi pusat kepemimpinan agama

dan pemerintahan, selama delapan hari itu berada dalam keadaan serba tak menentu. Tidak

ada kemantapan dan tidak ada ketertiban hukum. Kaum pembangkang yang datang dari luar

Madinah, banyak yang berusaha mengadakan kegiatan pengacauan di kota tersebut. Beberapa

kelompok kaum Muhajirin dan Anshar mengalami berbagai hambatan dalam menentukan sikap.

Sedangkan pemuka-pemuka Bani Umayyah, secara diam-diam mulai "mengkambing-hitamkan"

Imam Ali r.a. Mereka melancarkan tuduhan, bahwa Imam Ali r.a. lah yang "membunuh Utsman"

atau "melindungi kaum pemberontak". Dengan tuduhan itu mereka mengharap Imam Ali r.a.

akan ditinggalkan oleh para pendukungnya dan dengan demikian ia bisa terguling dari

kedudukannya sebagai Amirul Mukminin.