Bab IX : DELAPAN HARI TANPA KHALIFAH
Dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. tidaklah terselesaikan persoalan-persoalan
gawat yang dihadapi oleh kaum muslimin. Malahan muncul krisis politik yang sifatnya lebih gawat, yang menuntut penanggulangan secara tepat dan bijaksana. Beberapa waktu lamanya
kehidupan kaum muslimin tanpa pimpinan tertinggi dan situasi pemerintahan menjadi kosong.
Duniawi kontra Zuhud
Dalam situasi mengandung berbagai kemungkinan buruk itu, tokoh-tokoh Bani Umayyah yang
selama ini memperoleh kepercayaan penuh dari Khalifah Utsman r.a., justru tidak mengambil
tindakan apa pun juga. Marwan bin Al-Hakam dan kawan-kawannya lari meninggalkan Madinah.
Amr bin Al-Ash, pada saat-saat Khalifah Utsman r.a. dikepung kaum muslimin yang
memberontak, cepat-cepat pergi ke Palestina. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sufyan sendiri,
tidak juga mengambil inisiatif apa pun. Begitu pula Abdullah bin Abi Sarah yang sedang menjadi
penguasa daerah Mesir. Semuanya diam, seolah-olah tak pernah terjadi suatu peristiwa politik
yang besar dan gawat.
Orang bertanya-tanya: Mengapa para penguasa Bani Umayyah yang berkuasa di Mesir dan di
Syam tidak segera memberi pertolongan kepada Khalifah Utsman r.a.? Kemudian setelah
Khalifah Utsman r.a. terbunuh, mengapa mereka tak segera mengirimkan pasukan untuk
bertindak tegas terhadap kaum pemberontak dan menangkap oknum-oknum yang
merencanakan dan melaksanakan pembunuhan atas diri Khalifah itu? Kenapa mereka berpangku
tangan, padahal mereka mempunyai kekuatan cukup untuk melakukan tindakan hukum,
sebelum Khalifah yang baru di angkat?
Pertanyaan-pertanyaan serupa itu adalah wajar. Sebab, para penguasa Bani Umayyah dan
tokoh-tokohnya bukan orang-orang yang baru dilahirkan kemarin. Mereka cukup makan garam
politik, terutama pada waktu mereka dulu mengorganisasi dan memimpin orang-orang kafir
Qureiys melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Rasul Allah s.a.w. dan kaum muslimin.
Nampaknya mereka bukan tidak bertindak, tetapi ada perhitungan lain.
Pada masa itu tokoh Bani Umayyah yang paling terkemuka ialah Muawiyah bin Abi Sufyan. Akan
tetapi sejarah keislamannya tidak memungkinkan dirinya dapat dipilih sebagai Khalifah
pengganti Khalifah Utsman bin Affan r.a. Ia memeluk Islam setelah tidak ada jalan lain untuk
menyelamatkan diri dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin. Ia masuk Islam
kurang lebih dua tahun sebelum wafatnya Rasul Allah s.a.w. Sebelum itu ia sangat gencar
memerangi kaum muslimin dalam usaha memukul Islam.
Dengan kata lain, selama masih ada sahabat-sahabat Rasul Allah s.a.w. yang sejak dulu sampai
sekarang masih gigih membela kebenaran agama Allah, seperti Imam Ali r.a. dan lain-lain,
harapan bagi Muawiyah untuk dapat dibai'at sebagai Khalifah penerus Utsman r.a. tidak
mungkin dapat terlaksana.
Usaha merebut atau mewarisi kekhalifahan Utsman r.a. lebih dipersulit lagi oleh dua
kenyataan:
1. Khalifah Utsman r.a. wafat akibat terjadinya konflik politik yang gawat dengan rakyatnya
sendiri.
2. Ia wafat meninggalkan warisan situasi pemerintahan yang sudah tidak disukai oleh kaum
muslimin.
Konflik politik dan warisan situasi yang tidak menguntung kan orang-orang, Bani Umayyah itu
perlu "dibenahi" lebih dulu untuk dapat meraih kedudukan sebagai pengganti Khalifah Utsman
r.a.
Muawiyah harus dapat menciptakan situasi baru, di mana konflik politik yang sedang panas itu
bisa dialihkan kepada sasaran baru. Untuk ini harus pula dicari "kambing hitam" yang "tepat".
Dalam hal ini ialah orang yang mempunyai kemungkinan paling besar akan dibai'at oleh kaum
muslimin sebagai Khalifah. Imam Ali r.a. merupakan seorang tokoh yang paling banyak mempunyai syarat untuk dibai'at. Ia bukan hanya anggota Ahlu-Bait Rasul Allah s.a.w.,
melainkan juga ia seorang genial, ilmuwan dan pahlawan perang.
Sudah sejak dulu, tokoh-tokoh Bani Umayyah selain Utsman r.a. memandang Imam Ali r.a.
dengan perasaan benci dan murka. Mereka tidak bisa melupakan betapa banyaknya korban kafir
Qureiys, termasuk sanak famili mereka, yang mati di ujung pedang Imam Ali r.a. dalam
pertempuran-pertempuran antara kaum musyrikin dan kaum muslimin di masa lalu.
Mereka juga tahu, bahwa di masa Khalifah Utsman r.a. masih hidup, Imam Ali r.a. satu-satunya
orang yang selalu mengingatkan Khalifah tentang besarnva bahaya yang akan timbul akibat
permainan para pembantunya yang terdiri dari orang-orang Bani Umayyah. Imam Ali r.a.
jugalah yang selalu menasehati Khalifah Utsman r.a. supaya mencegah berlarut-larutnya
pacuan memperebutkan harta kekayaan secara tidak sah, yang sedang terjadi di kalangan
sementara lapisan ummat lslam. Bahkan Imam Ali r.a. jugalah yang bila perlu melancarkan
kritik-kritik secara terbuka dan jujur terhadap kebijaksanaan Khalifah Utsman r.a.
Tokoh-tokoh Bani Umayyah tahu benar, bahwa Imam Ali r.a. adalah juru bicara yang paling
mustahak mewakili jeritan sebagian besar kaum muslimin, yang ingin dipulihkan kembali
suasana kehidupan seperti yang pernah terjadi pada zaman hidupnya Rasul Allah s.a.w.
Golongan Bani Umayyah memandang Imam Ali r.a. sebagai penghambat dan selalu menjadi
perintang bagi mereka dalam usaha meraih kedudukan dan keuntungan-keuntungan materil.
Seandainya Khalifah Utsman r.a. sebelum wafatnya berwasyiat supaya Imam Ali r.a. dibai'at
sebagai Khalifah penggantinya, golongan Bani Umayyah sudah pasti tidak akan
melaksanakannya.
Pertentangan antara Muawiyah dan pendukung-pendukungnya dengan Imam Ali r.a. dan
pendukung-pendukungnya, pada hakekatnya bukanlah pertentangan antar-golongan, melainkan
pertentangan antara kehidupan yang terangsang oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi dengan
kehidupan zuhud. Hal ini akan terbukti kebenarannya pada babak-babak terakhir dari proses
pertentangan antara keduabelah fihak.
Mencari Calon Pengganti
Dalam situasi tidak menentu, kaum pemberontak dan penduduk Madinah berpendapat, bahwa
hanya salah seorang di antara 5 orang sahabat dekat Rasul Allah s.a.w. yang patut dibai'at
sebagai Khalifah pengganti. Mereka itu ialah yang dulu bersama-sama Utsman bin Affan r.a.
pernah dicalonkan oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. sebelum wafatnya. Namun dari yang 5
orang itu, hanya 4 orang saja yang masih hidup. Abdurrahman bin A'uf sudah tiada.
Tragedi pembunuhan Khalifah Utsman r.a. sangat menggoncangkan dan memilukan Sa'ad bin
Abi Waqqash. Karena sebelum itu, Khalifah Umar r.a. juga mati terbunuh, sungguhpun
pembunuhnya bukan seorang muslim (tetapi majusi) dan terjadinya bukan akibat konflik politik
di antara sesama kaum muslimin. Oleh karena itu Sa'ad bin Abi Waqqash mengambil keputusan
untuk menjauhkan diri sama sekali dari kegiatan politik kenegaraan dan kemasyarakatan. Ia
tidak mau melibatkan diri atau dilibatkan dalam proses pembai'atan seorang Khalifah baru.
Dengan demikian dari 4 orang sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang masih hidup, kini hanya
tinggal 3 orang saja yang dapat dicalonkan.
Jalan mennuju terbai'atnya Khalifah ke 4 ternyata tidak selicin seperti yang diperkirakan orang.
Dalam proses permulaan saja sudah menghadapi kesukaran berat. Karena ketiga orang calon
tersebut sudah tidak ada yang bersedia dibai'at sebagai Khalifah. Usaha pendekatan yang
dilakukan oleh kaum muslimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a. sukar diterima
oleh tiga orang sahabat Rasul Allah s.a.w. itu. Kemacetan berlangsung selama 8 hari.
Sedangkan kaum muslimin, baik yang tinggal di kota Madinah maupun yang di daerah-daerah,
cemas-cemas gelisah menantikan adanya pimpinan yang baru.
Tragedi pembunuhan kejam terhadap Khalifah Utsman r.a., dikuasainya ibukota oleh kaum
pemberontak, macetnya pemilihan Khalifah baru, semuanya merupakan kerawanan yang amat
berbahaya. Pasukan-pasukan muslimin yang sedang bertugas di luar daerah dengan gelisah
menunggu adanya instruksi-instruksi baru. Jika krisis itu berlarut-larut, mereka sangat khawatir
kalau-kalau musuh Islam akan memanfaatkan krisis kepemimpinan itu sebagai peluang yang
baik untuk melancarkan serangan-serangan.
Di Mesir, seorang Kepala Daerah yang tidak disukai oleh penduduk dan dituntut
pemberhentiannya (Abdullah bin Abi Sarah) masih tetap berkuasa. bersama dengan itu, seorang
Kepala Daerah yang terkenal cakap dan erat hubungannya dengan Khalifah Utsman r.a., yakni
Muawiyah, hanya sibuk dalam kegiatan meningkatkan kedudukannya.
Kaum pemberontak menyadari, tanpa kerjasama dan bantuan aktif kaum Muhajirin dan Anshar,
mereka tidak akan berhasil menentukan pengganti Khalifah Utsman r.a. Setelah mengadakan
pembahasan secara mendalam tentang situasi gawat yang akan timbul akibat tidak adanya
pemerintahan pusat, dan dengan dukungan kaum Muhajirin dan Anshar, para sahabat Rasul
Allah s.a.w., sepakat untuk secepat mungkin mengadakan pemilihan seorang calon, yang akan
dibai'at sebagai Khalifah baru. Calon itu ialah Imam Ali r.a.
Imam Ali r.a. di Bai`at
Menurut penuturan Abu Mihnaf, sebagaimana tercantum dalam Syarh Nahjil Balaghah, jilid IV,
halaman 8, dikatakan, bahwa ketika itu kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di masjid Rasul
Allah s.a.w. Dengan harap-harap cemas mereka menunggu berita tentang siapa yang akan
menjadi Khalifah baru. Masjid yang menurut ukuran masa itu sudah cukup besar, penuh sesak
dibanjiri orang. Di antara tokoh-tokoh muslimin yang menonjol tampak hadir Ammar bin Yasir,
Abul Haitsam bin At Thaihan, Malik bin 'Ijlan dan Abu Ayub bin Yazid. Mereka bulat
berpendapat, bahwa hanya Ali bin Abi Thalib r.a. lah tokoh yang paling mustahak dibai'at.
Diantara mereka yang paling gigih berjuang agar Imam Ali r.a. dibai'at ialah Ammar bin Yasir.
Dalam mengutarakan usulnya, pertama-tama Ammar mengemukakan rasa syukur karena kaum
Muhajirin tidak terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman r.a.
Kepada kaum Anshar, Ammar menyatakan, jika kaum Anshar hendak mengkesampingkan
kepentingan mereka sendiri, maka yang paling baik ialah membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai
Khalifah. Ali bin Abi Thalib, kata Ammar, mempunyai keutamaan dan ia pun orang yang paling
dini memeluk Islam.
Kepada kaum Muhajirin, Ammar mengatakan: kalian sudah mengenal betul siapa Ali bin Abi
Thalib. Oleh karena itu aku tak perlu menguraikan kelebihan-kelebihannya lebih panjang lebar
lagi. Kita tidak melihat ada orang lain yang lebih tepat dan lebih baik untuk diserahi tugas itu!
Usul Ammar secara spontan disambut hangat dan didukung oleh yang hadir. Malahan kaum
Muhajirin mengatakan: "Bagi kami, ia memang satu-satunya orang yang paling afdhal!"
Setelah tercapai kata sepakat, semua yang hadir berdiri serentak, kemudian berangkat
bersama-sama ke rumah Imam Ali r.a. Di depan rumahnya mereka beramai-ramai minta dan
mendesak agar Imam Ali r.a. keluar. Setelah Imam Ali r.a. keluar, semua orang berteriak agar
ia bersedia mengulurkan tangan sebagai tanda persetujuan dibai'at menjadi Amirul Mukminin.
Pada mulanya Imam Ali r.a. menolak dibai'at sebagai Khalifah. Dengan terus terang ia
menyatakan : "Aku lebih baik menjadi wazir yang membantu daripada menjadi seorang Amir
yang berkuasa. Siapa pun yang kalian bai'at sebagai Khalifah, akan kuterima dengan rela.
Ingatlah, kita akan menghadapi banyak hal yang menggoncangkan hati dan fikiran."
Jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu tak dapat diterima sebagai alasan oleh banyak kaum
muslimin yang waktu itu datang berkerumun di rumahnya. Mereka tetap mendesak atau
setengah memaksa, supaya Imam Ali r.a. bersedia dibai'at oleh mereka sebagai Khalifah.
Dengan mantap mereka menegaskan pendirian: "Tidak ada orang lain yang dapat menegakkan
pemerintahan dan hukum-hukum Islam selain anda. Kami khawatir terhadap ummat Islam, jika
kekhalifahan jatuh ketangan orang lain…"
Beberapa saat lamanya terjadi saling-tolak dan saling tukar pendapat antara Imam Ali r.a.
dengan mereka. Para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan para pemuka kaum Muhajirin dan
Anshar mengemukakan alasannya masing-masing tentang apa sebabnya mereka mempercayakan
kepemimpinan tertinggi kepada Imam Ali r.a. Betapapun kuat dan benarnya alasan yang
mereka ajukan Imam Ali r.a. tetap menyadari, jika ia menerima pembai'atan mereka pasti akan
menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan gawat.
Baru setelah Imam Ali r.a. yakin benar, bahwa kaum muslimin memang sangat menginginkan
pimpinannya, dengan perasaaan berat ia menyatakan kesediaannya untuk menerima
pembai'atan mereka. Satu-satunya alasan yang mendorong Imam Ali r.a. bersedia dibai'at, ialah
demi kejayaan Islam, keutuhan persatuan dan kepentingan kaum muslimin. Rasa tanggung
jawabnya yang besar atas terpeliharanya nilai-nilai peninggalan Rasul Allah s.a.w.,
membuatnya siap menerima tanggung jawab berat di atas pundaknya. Sungguh pun demikian,
ia tidak pernah lengah, bahwa situasi yang ditinggalkan oleh Khalifah Utsman r.a. benar-benar
merupakan tantangan besar yang harus ditanggulangi.
Keputusan Imam Ali r.a. untuk bersedia dibai'at sebagai Amirul Mukminin disambut dengan
perasaan lega dan gembira oleh sebagian besar kaum muslimin.
Kepada mereka Imam Ali r.a. meminta supaya pembai'atan dilakukan di masjid agar dapat
disaksikan oleh umum. Kemudian Imam Ali r.a. juga memperingatkan, jika sampai ada seorang
saja yang menyatakan terus terang tidak menyukai dirinya, maka ia tidak akan bersedia
dibai'at. Mereka dapat menyetujui permintaan Imam Ali r.a., lalu ramai-ramai pergi menuju
masjid.
Setibanya di Masjid, ternyata orang pertama yang menyatakan bai'atnya ialah Thalhah bin
Ubaidillah. Menyaksikan kesigapan Thalhah itu, seorang bernama Qubaisah bin Dzuaib Al Asadiy
menanggapi: "Aku Khawatir, jangan-jangan pembai'atan Thalhah itu tidak sempurna!" Ia
mengucapkan tanggapannya itu karena tangan Thalhah memang lumpuh sebelah. Orang lain
membiarkan komentar itu lewat begitu saja.
Zubair bin Al-'Awwam segera mengikuti jejak Thalhah menyatakan bai'at kepada Imam Ali r.a.
Sesudah itu barulah kaum Muhajirin dan Anshar menyatakan bai'atnya masing-masing. Yang
tidak ikut menyatakan bai'at ialah Muhammad bin Maslamah, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin
Salam, Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Saad bin Abi Waqqash, dan Ka'ab bin Malik.
Tata cara pembai'atan dilakukan menurut prosedur sebagaimana yang lazim berlaku atas diri
Khalifah-khalifah sebelumnya. Sesuai dengan tradisi pada masa itu, sesaat setelah dibai'at
Amirul Mukminin Imam Ali r.a. menyampaikan amanatnya yang pertama. Antara lain
mengatakan:
"Sebenarnya aku ini adalah seorang yang sama saja seperti kalian. Tidak ada perbedaan dengan
kalian dalam masalah hak dan kewajiban. Hendaknya kalian menyadari, bahwa ujian telah
datang dari Allah s.w.t. Berbagai cobaan dan fitnah telah datang mendekati kita seperti
datangnya malam yang gelap-gulita. Tidak ada seorang pun yang sanggup mengelak dan
menahan datangnya cobaan dan fitnah itu, kecuali mereka yang sabar dan berpandangan jauh.
Semoga Allah memberikan bantuan dan perlindungan.
"Hati-hatilah kalian sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepada kalian, dan
berhentilah pada apa yang menjadi larangan-Nya. Dalam hal itu janganlah kalian bertindak
tergesa-gesa, sebelum kalian menerima penjelasan yang akan kuberikan.
"Ketahuilah bahwa Allah s.w.t. di atas 'Arsy-Nya Maha Mengetahui, bahwa sebenarnya aku ini
tidak merasa senang dengan kedudukan yang kalian berikan kepadaku. Sebab aku pernah
mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berkata: "Setiap waliy (penguasa atau pimpinan)
sesudahku, yang diserahi pimpinan atas kaum muslimin, pada hari kiyamat kelak akan
diberdirikan pada ujung jembatan dan para Malaikat akan membawa lembaran riwayat
hidupnya. Jika waliy itu seorang yang adil, Allah akan menyelamatkannya karena keadilannya.
Jika waliy itu seorang yang dzalim, jembatan itu akan goncang, lemah dan kemudian lenyaplah
kekuatannya. Akhirnya orang itu akan jatuh ke dalam api neraka…"
Demikianlah tutur Abu Mihnaf yang uraian riwayatnya tidak berbeda jauh dari versi sejarah
yang ditulis oleh beberapa penulis lain. Lebih jauh Abu Mihnaf mengatakan, bahwa orang-orang
yang tidak ikut serta menyatakan bai'at, diminta oleh Imam Ali r.a. supaya menemuinya secara
langsung pada lain kesempatan.
Pada suatu hari ketika Abdullah bin Umar diminta pernyataan bai'atnya, ia menolak. Ia baru
bersedia membai'at Imam Ali r.a., kalau semua orang sudah menyatakan bai'atnya. Melihat
sikap Abdullah yang sedemikian itu, Al Asytar, seorang sahabat setia Imam Ali r.a. dan terkenal
sebagai pahlawan perang, tidak dapat menahan kemarahannya. Kepada Imam Ali r.a., Al-Asytar
berkata: "Ya Amiral Mukminin, pedangku sudah lama menganggur. Biar kupenggal saja
lehernya!"
"Aku tidak ingin ia menyatakan bai'at secara terpaksa," ujar Imam Ali r.a. dengan tenang
menanggapi ucapan Al-Asytar. "Biarkanlah!"
Setelah Abdullah, datanglah Sa'ad bin Abi Waqqash atas panggilan Imam Ali r.a. Ketika diminta
pernyataan bai'atnya, ia menjawab supaya dirinya jangan diganggu dulu. "Kalau sudah tidak ada
orang lain kecuali aku sendiri, barulah aku akan membai'at anda."
Mendengar keterangan Sa'ad itu, Imam Ali r.a. berkata kepada seorang sahabatnya: "Sa'ad bin
Abi Waqqash memang tidak berdusta. Biarkan saja dia!" Imam Ali r.a. kemudian
memperbolehkan Sa'ad meninggalkan tempat.
Waktu tiba giliran Usamah bin Zaid, ia mengatakan: "Aku ini kan maula anda. Aku sama sekali
tidak mempunyai persoalan atau niat hendak menentang anda. Pada saat semua orang sudah
menjadi tenang kembali aku pasti akan menyatakan bai'at kepada anda."
Usamah lalu diperbolehkan meninggalkan tempat. Tampaknya Usamah bin Zaid merupakan
orang terakhir yang dipanggil untuk menyatakan bai'at. Sebab, setelah itu tidak ada orang lain
lagi yang dipanggil untuk diminta bai'atnya.
Delapan hari sepeninggal Khalifah Utsman bin Affan r.a., kini kaum muslimin telah mempunyai
Khalifah baru. Menurut catatan sejarah, jangka waktu 8 hari itu merupakan waktu terpanjang
dalam usaha penetapan seorang Khalifah. Satu keadaan yang cukup menggambarkan betapa
resahnya fikiran kaum muslimin pada saat itu. Delapan hari lamanya kaum muslimin hidup
tanpa pimpinan.
Kota Madinah yang sejak masa hidupnya Rasul Allah s.a.w. menjadi pusat kepemimpinan agama
dan pemerintahan, selama delapan hari itu berada dalam keadaan serba tak menentu. Tidak
ada kemantapan dan tidak ada ketertiban hukum. Kaum pembangkang yang datang dari luar
Madinah, banyak yang berusaha mengadakan kegiatan pengacauan di kota tersebut. Beberapa
kelompok kaum Muhajirin dan Anshar mengalami berbagai hambatan dalam menentukan sikap.
Sedangkan pemuka-pemuka Bani Umayyah, secara diam-diam mulai "mengkambing-hitamkan"
Imam Ali r.a. Mereka melancarkan tuduhan, bahwa Imam Ali r.a. lah yang "membunuh Utsman"
atau "melindungi kaum pemberontak". Dengan tuduhan itu mereka mengharap Imam Ali r.a.
akan ditinggalkan oleh para pendukungnya dan dengan demikian ia bisa terguling dari
kedudukannya sebagai Amirul Mukminin.