Peri Kehidupan 14 Manusia Suci

Peri Kehidupan 14 Manusia Suci0%

Peri Kehidupan 14 Manusia Suci pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Rasulullah & Ahlulbait

Peri Kehidupan 14 Manusia Suci

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Penerjemah Ansariyan
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 14037
Download: 9084

Komentar:

Peri Kehidupan 14 Manusia Suci
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 17 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 14037 / Download: 9084
Ukuran Ukuran Ukuran
Peri Kehidupan 14 Manusia Suci

Peri Kehidupan 14 Manusia Suci

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Manusia Suci Ketujuh

Imam Kelima

Imam Muhammad al-Baqir As

Manusia Suci Ketujuh

Imam Kelima

Imam Muhammad al-Baqir As

Nama : Muhammad

Gelar : al-Baqir

Panggilan : Abu Ja'far

Nama Ayah : 'Ali Zain al-'Abidin

Nama Ibu : Fatimah binti al-Hasan, dikenal sebagai Ummu 'Abdillah

Wiladah : Madinah, Selasa, 1 Rajab 57 H.

Syahadah : Syahid pada usia 57 tahun, di Madinah, Ahad, 7 Dzulhijjah 114 H; diracun oleh Hisyam bin Abdul Malik

Haram : Jannatul Baqi, Madinah

Imam Muhammad al-Baqir adalah Imam Kelima. Panggilannya adalah Abu Ja'far dan ia terkenal dengan gelar "al-Bâqir". Ibunya adalah putri Imam Hasan. Oleh karena itu, ia merupakan satu-satunya Imam yang berhubungan dengan Hadrat Fatimah az-Zahra dari pihak ayah dan pihak ibu.

Imam Muhammad al-Baqir dibesarkan dalam pangkuan datuknya Imam Husain, selama tiga tahun. Selama tiga puluh tiga tahun di bawah pengawasan kasih ayahandanya Imam 'Ali Zainal 'Abidin.

Imam Suci ini turut serta dalam tragedi Karbala, saat tragis pembunuhan berdarah datuknya Imam Husain dan para sahabatnya. Dia juga menderita dengan ayahandanya dan wanita-wanita Ahlulbait Nabi As yang mendapatkan perlakuan kejam dan penawanan di tangan kekuatan lasykar setan di bawah komando Yazid bin Mu'awiyah. Setelah tragedi Karbala, Imam melalui masa hidupnya dengan damai di Madinah, beribadah kepada Allah dan menuntun orang-orang ke jalan yang benar.

Kejatuhan Dinasti Bani Umayyah bermula sejak masa pemerintahan Yazid bin Mu'awiyah, yang telah membantai Imam Husain. Yazid sendiri telah sepenuhnya menyadari akibat-akibat buruk dari perbuatannya bahkan sejak masa pemerintahannya yang singkat. Putranya Mu'awiyah Kedua (dikenal sebagai Mu'awiyah ats-Tsani) menolak untuk menerima khilâfah, dia berkata:

Aku tidak dapat menerima mahkota yang telah dibangun dengan dasar penindasan dan kezaliman.

Ibn Hajar al-Haitami, seorang ulama Sunni yang terkenal berkata: "Imam Muhammad al-Baqir telah menyingkap rahasia-rahasia ilmu pengetahuan, hikmah dan menyibak prinsip-prinsip spiritual dan bimbingan agama. Tidak ada yang dapat mengingkari keunggulan pribadinya, ilmu yang diberikan Tuhan kepadanya, hikmah Ilahiyahnya dan kewajiban serta baktinya dalam menyebarkan ilmu. Dia merupakan seorang pemimpin spiritual yang agung dan suci dan atas kemuliaan ini dia digelari dengan "al-Baqir" yang berarti "Penyingkap Tirai Ilmu". Ia adalah seorang yang pemurah, pribadi tanpa-noda, berjiwa kudus dan mulia, dia mencurahkan segala waktunya untuk tunduk kepada Allah (dan dalam menyampaikan ajaran-ajaran suci Nabi Saw dan Ahlulbaitnya As). Berada di luar kekuatan manusia untuk mengukur kedalaman ilmu pengetahuan dan bimbingan yang ditinggalkan oleh Imam di hati kaum Mukmin. Hadis-hadis tentang takwa, zuhud, ilmu, hikmah, dan amal serta tunduk taslim kepada Allah Swt sedemikian banyaknya sehingga buku ini tidak memadai untuk menceritakan keutamaannya." (as-Sawâiqul Muhriqah, hal. 120).

Imam Baqir berupaya untuk mengumpulkan hadis-hadis dan ajaran-ajaran Nabi Saw dan Ahlulbaitnya dalam bentuk buku-buku. Murid-muridnya menkompilasi buku-buku tersebut dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan seni di bawah perintah dan bimbingannya.

Dalam kepribadian yang suci dan Ilahi, Imam Muhammad Baqir As merupakan sebuah contoh dari Rasulullah Saw dan datuknya, 'Ali bin Abi Thalib. Pelajaran-pelajarannya menciptakan sensasi ruhani di antara kaum Muslimin. Dia tidak hanya ramah kepada musuh-musuhnya tapi juga ia terkadang menasihatkan mereka ke jalan yang benar. Dia mendesak kepada orang-orang untuk menjalani hidup mereka dengan hasil keringat sendiri dan kerja keras.

Imam Baqir As sangat menaruh perhatian terhadap majelis yang memperingati syahadah Imam Husain As. Kumait bin Zaid al-Asadi, salah seorang pujangga masyhur dan tersohor kala itu, biasa membacakan elegi (kidung sedih) untuk Imam Husain pada majlis-majlis duka. Majlis-majlis seperti ini juga sangat dianjurkan oleh Imam Ja'far Shadiq dan Imam 'Ali Ridha', Imam Keenam dan Kedelapan.

Imam Muhammad Baqir melanjutkan ajaran-ajarannya dengan damai hingga tahun 114 H. Pada tanggal 7 Dzulhijjah ketika ia berusia lima puluh tujuh tahun, Hisyam bin 'Abdul Malik bin Marwan, penguasa selanjutnya, mensyahidkannya dengan meracuninya. Upacara shalat jenazah Imam Baqir dilaksanakan oleh putranya Imam Shadiq, Imam Keenam, dan jasadnya dikebumikan di Jannatul Baqi Madinah.

Allamah Tabataba'i menulis:

Imam Muhammad Baqir (kata baqir bermakna orang yang memotong dan menyingkap, gelar yang diberikan oleh Nabi Saw kepadanya) merupakan putra Imam Keempat dan lahir pada tahun 65 H/ 675 M. Ia hadir pada masa Tragedi Karbala terjadi. Kala itu, Imam Baqir berusia empat tahun.

Setelah ayahnya, melalui perintah Ilahi dan keputusan para Imam yang pergi sebelumnya, ia menjadi Imam. Pada tahun 114 H/732 M ia syahid, menurut sumber-sumber Syiah, ia diracun oleh Ibrahim bin Walid bin Abdillah, kemenakan Hisyam, Khalifah Bani Umayyah.

Selama masa Imâmah Imam Kelima, setiap hari pemberontakan dan peperangan di berbagai penjuru dunia Islam terjadi, sebagai hasil dari kezaliman Bani Umayyah. Terlebih, pertikaian yang terjadi di kalangan keluarga Bani Umayyah sendiri menyebabkan Khalifah sibuk dan pada tingkatan tertentu meninggalkan Ahlulbait Nabi As sendiri tanpa kontrol, di mana Imam Keempat merupakan perwujudan dari kesibukan ini yang telah menarik perhatian banyak kaum Muslimin terhadap Imam. Faktor-faktor ini memungkinkan orang-orang dan khususnya Syiah bertambah banyak jumlahnya di Madinah dan mereka hadir dalam pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh Imam Kelima. Kesempatan untuk menyebarkan ajaran Hak tentang Islam dan ilmu Ahlulbait Nabi Saw, yang tidak pernah hadir sebelumnya bagi para Imam sebelumnya, kini hadir di hadapan Imam Kelima. Bukti dari kenyataan ini terhitung dari hadis dan riwayat yang tak terbilang banyaknya dari Imam Kelima dan ulama-ulama cemerlang Syiah yang terlatih di bawah bimbingan Imam Kelima dalam berbagai disiplin ilmu. Nama-nama ulama ini terdapat dalam buku-buku biografi orang-orang terkenal dalam Islam. (Shite Islam).

Mutiara Hadis Imam Baqir As:

Kesempurnaan adalah keunggulan dalam memahami agama, ketabahan dalam kesusahan dan pengaturan dalam urusan-urusan hidup dengan cara yang benar.

Seorang alim yang mengambil manfaat dari ilmunya adalah lebih baik dari tujuh puluh ahli ibadah (abid).

Tidak mengenal Allah orang yang bermaksiat kepada-Nya.

Manusia Suci Kedelapan

Imam Keenam

Imam Ja'far as-Shadiq As

Manusia Suci Kedelapan

Imam Keenam

Imam Ja'far as-Shadiq As

Nama : Ja'far

Gelar : as-Shadiq

Panggilan : Abu 'Abdillah

Nama Ayah : Muhammad Baqir

Nama Ibu : Ummu Farwah

Wiladah : Madinah, Senin, 17 Rabiul Awwal 83 H.

Syahadah : Syahid pada usia 65 tahun, di Madinah, Senin, 25 Syawal 148 H; diracun oleh Mansur Dawaniqi, Khalifah Abbasiyah.

Haram : Jannatul Baqi, Madinah

Imam Ja'far Shadiq adalah Imam Keenam dalam hierarki dua belas Imam Maksum. Panggilannya adalah Abu Abdillah dan gelarnya yang masyhur adalah as-Shadiq, al-Fadil dan at-Tahir. Imam Shadiq adalah putra Imam Baqir, Imam Kelima, dan ibunya adalah putri dari Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar.

Imam Ja'far Shadiq dibesarkan oleh datuknya, Imam Zainal Abidin di Madinah selama dua belas tahun dan dilanjutkan oleh lindungan kasih ayahandanya Imam Muhammad Baqir selama sembilan belas tahun.

Imâmah:

Setelah syahadah ayahandanya pada tahun 114 H, Imam Ja'far Shadiq menjadi Imam Keenam menggantikan ayahandanya, dan misi suci Islam dan bimbingan ruhani dilimpahkan ke atas pundaknya dari Rasulullah Saw melalui suksesi para Imam sebelumnya.

Keadaan Politik

Masa Imâmah Imam Shadiq bertepatan dengan masa-masa revolusi dan bersejarah dalam sejarah Islam yang menyaksikan kejatuhan Dinasti Bani Umayyah dan kebangkitan Dinasti Bani Abbasiyah. Perang saudara dan gejolak politik menyebabkan terjadinya perombakan secara cepat dalam pemerintahan. Dengan demikian, Imam Shadiq menyaksikan raja-raja rezim yang berkuasa mulai dari Abdul Malik hingga penguasa Dinasti Bani Umayyah, Marwan al-Himar. Ia masih hidup hingga masa Abul Abbas as-Saffah dan Mansur dari Dinasti Bani Abbasiyah. Karena perebutan kekuasan politik antara dua kelompok, Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah maka gerakan Imam menjadi tidak terkontrol untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan misi-misinya dalam menyampaikan Islam dan menyebarkan ajaran-ajaran Rasulullah Saw.

Pada masa-masa terakhir kekuasan Bani Umayyah, Dinasti mereka berada di ambang kejatuhan. Keadaan kacau-balau dan pemerintahan yang tak-terurus terjadi di seluruh negara-negara Islam. Bani Abbasiyah memanfaatkan kesempatan emas dari ketidakstabilan politik ini. Mereka mengklaim diri mereka sebagai "Penuntut Balas Bani Hasyim". Mereka berprentensi dengan dalih menuntut balas terhadap Bani Umayyah karena telah menumpahkan darah Imam Husain As.

Orang-orang awam yang sudah muak dan kesal dengan kekejaman Bani Umayyah dan secara diam-diam merindukan Ahlulbait Nabi Saw untuk berkuasa. Mereka menyadari bahwa jika kepemimpinan dikuasai oleh Ahlulbait, yang merupakan pewaris sah, wibawa Islam akan bertambah dan misi Nabi Saw yang asli dapat disebarkan. Bagaimanapun, sekelompok Bani Abbasiyah dengan diam-diam mengadakan kampanye untuk merebut kekuasaan dari tangan Bani Umayyah dengan dalih bahwa mereka merebutnya untuk diserahkan kepada Bani Hasyim. Sebenarnya, mereka sedang berkomplot untuk kepentingan mereka sendiri. Kemudian, orang-orang awam ini terkecoh dengan membantu mereka dan ketika Bani Abbasiyah berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah, mereka berbalik menentang Ahlulbait.

Keadaan Agama

Kejatuhan Bani Umayyah dan kebangkitan Bani Abbasiyah telah membentuk dua plot utama dalam drama sejarah Islam. Masa-masa kacau dan revolusioner ini terjadi ketika ajaran-ajaran moral Islam telah ditinggalkan dan ajaran-ajaran Nabi Saw dilupakan, sebuah keadaan anarki yang merajalela. Di tengah-tengah keadaan kacau seperti ini, Imam Ja'far Shadiq tampil ibarat mercusuar yang menyebarkan cahaya untuk menerangi samudra kegelapan dan gelimang dosa di sekelilingnya. Dunia cenderung terhadap pesona dan keutamaannya. Abu Salamah Khallal juga menawarkan mahkota khalifah kepadanya.

Akan tetapi, Imam melanjutkan tradisi temurun dari moyangnya menolak dengan tegas tawaran ini, dan lebih memilih untuk menyibukkan dirinya dengan penyebaran ilmu dan khidmat terhadap Islam.

Ajaran-ajaran Imam Ja'far As

Kecakapan Imam Ja'far dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan diakui oleh seluruh dunia Islam, yang menarik pelajar-pelajar dari berbagai penjuru, dekat dan jauh, datang kepadanya sehingga murid-murid Imam Ja'far mencapai sekitar empat ribu. Para 'ulama dan fuqaha dalam bidang hukum banyak menukil hadis-hadis dari Imam Ja'far Shadiq. Murid-muridnya mengadakan kompilasi ratusan kitab dalam berbagai disiplin ilmu dan sastra. Selain ilmu fiqh, hadis, tafsir, dan sebagainya, Imam juga mengajarkan matematika dan kimia kepada beberapa orang muridnya. Jabir bin Hayyan Tusi, seorang ilmuwan matematika ternama, merupakan salah seorang murid Imam yang dapat mengambil manfaat dari ilmu dan bimbingan Imam dan mampu menulis empat ratus kitab dalam subjek yang beragam.

Kenyataan ini adalah sebuah fakta sejarah yang tidak dapat diingkari kebenarannya sehingga seluruh ulama-ulama besar Islam berhutang budi atas kehadiran Ahlulbait yang merupakan mata-air ilmu dan pelajaran.

Allamah Sibli menulis dalam kitabnya, Sirâtun 'Nu'man: "Abu Hanifah beberapa lama hadir (menuntut ilmu, penj.) di hadapan Imam Ja'far Shadiq, mendapatkan penelitian berharga darinya dalam bidang ilmu fiqh dan hadis. Kedua mazhab – Sunni dan Syiah – meyakini bahwa sumber ilmu Abu Hanifah kebanyakan bersumber dari pergaulannya bersama Imam Ja'far Shadiq."

Imam mempersembahkan seluruh hidupnya semata untuk menyebarkan ajaran agama dan mendakwahkan ajaran-ajaran Nabi Saw dan tidak pernah bermaksud untuk berkuasa. Karena keluasan ilmunya dan kebaikan ajarannya, orang-orang berkumpul di sekelilingnya, memberikan penghormatan dan perhatian kepadanya. Karena takut popularitas Imam Ja'far semakin luas, hasud dan dengki menguasai diri penguasa Abbasiyah Mansur Dawaniqi sehingga memutuskan untuk mengenyahkannya.

Allamah Tabataba'i menulis:

Imam Ja'far bin Muhammad, putra Imam Kelima, lahir pada tahun 83 H/ 702 M. Ia syahid pada tahun 148 H/ 765 M. Menurut sumber-sumber Syiah, diracun melalui intrik Khalifah Abbasiyah Mansur. Setelah syahadah ayahnya, Imam Ja'far menjabat Imam melalui perintah Allah Swt dan keputusan para Imam sebelumnya.

Selama masa Imâmah Imam Keenam, kesempatan dan iklim yang lebih bersahabat datang kepadanya untuk lebih leluasa menyebarkan ajaran-ajaran agama. Kesempatan ini muncul sebagai akibat pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Islam, khususnya bangkitnya Muswaddah yang menggoyang khalifah Bani Umayyah, perang berdarah terjadi yang akhirnya menuntun kepada kejatuhan dan pengasingan Bani Umayyah. Kesempatan emas ini juga adalah hasil dari pembukaan lahan yang dilakukan oleh Imam Kelima yang telah dipersiapkan sebelumnya selama masa imâmahnya yang mencakup dua puluh tahun melalui tabligh ajaran-ajaran asli Islam dan ilmu Ahlulbait Nabi As.

Imam Shadiq mengambil kesempatan emas ini untuk mendakwahkan ilmu agama hingga akhir masa Imâmahnya, seiring dengan masa-masa akhir kekuasaan Bani Umayyah dan awal kemunculan Bani Abbasiyah. Imam mengajar banyak ulama dalam berbagai bidang disiplin ilmu dan ilmu periwayatan, seperti Zurarah bin A'yan, Muhammad bin Muslim, Mu'minut Taq, Hisyam bin Hakam, Aban bin Taghlib, Hisyam bin Salim, Huraiz, Hisyam Kalbi an-Nassabah dan Jabir bin Hayyan (Ahli Kimia). Bahkan beberapa ulama Sunni ternama seperti: Sufyan ats-Tsauri, Abu Hanifah, pendiri Mazhab Fiqh Hanafi, al-Qadi as-Sukuni, al-Qadi Abul Bakhtari, dan yang lainnya, mendapatkan kehormatan untuk menjadi murid-murid Imam Ja'far. Disebutkan bahwa kelas-kelas dan tahapan-tahapan instruksinya menghasilkan ribuan ulama hadis dan ilmu-ilmu lainnya. Jumlah hadis-hadis yang bersumber dari Imam Kelima dan Keenam lebih banyak dibandingkan dengan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Saw dan para Imam yang lain.

Akan tetapi, pada akhir hayatnya, Imam dikenai pencekalan secara ketat oleh Khalifah Abbasiyah, Mansur, yang memerintahkan seperti penyiksaan dan pembunuhan berdarah dingin terhadap keturunan Nabi Saw yang merupakan penganut Syiah sehingga perbuatannya melebihi kekejaman dan kebiadaban Bani Umayyah. Atas perintah Mansur, mereka ditangkap secara berkelompok, beberapa dilemparkan ke penjara gelap dan pengap kemudian disiksa hingga mati, sementara yang lainnya dipancung atau dikubur hidup-hidup di bawah tanah atau di antara dinding-dinding bangunan, dan dinding dibangun di atas mereka.

Hisyam, Khalifah Umayyah, memerintahkan agar Imam Keenam ditangkap dan dibawa ke Damaskus. Kemudian, Imam ditangkap oleh Saffah, Khalifah Abbasiyah, dan dibawa ke Irak. Akhirnya, Mansur menangkap Imam dan membawanya ke Samarra di mana Imam disekap, diperlakukan secara kasar dan beberapa kali berusaha untuk membunuh Imam. Kemudian, Imam diperbolehkan untuk kembali ke Madinah di mana Imam menghabiskan sisa-sisa umurnya dalam persembunyian, hingga ia diracun dan syahid melalui intrik licik Mansur.

Setelah mendengar syahadah Imam, Mansur menulis surat kepada gubernur Madinah yang memerintahkan sang gubernur untuk pergi melayat ke rumah Imam dengan dalih menyampaikan ucapan bela-sungkawa kepada keluarganya, untuk mencari wasiat Imam dan membacakannya. Siapa pun yang dipilih oleh Imam sebagai pewaris dan penggantinya harus dipancung di tempat. Tentu saja, maksud Mansur ini adalah untuk mengakhiri seluruh masalah Imâmah dan hasrat-hasrat Syiah. Ketika gubernur Madinah mengikuti perintah Makmun, untuk membaca wasiat terakhir, dia melihat bahwa Imam, alih-alih memilih satu orang, ia telah memilih empat orang sebagai pelaksana wasiat terakhirnya; khalifah sendiri, gubernur Madinah, 'Abdullah Aftah, putra sulung Imam, dan Musa, putra bungsu Imam. Dengan cara seperti ini, siasat licik Mansur dapat dipatahkan. (Shiite Islam)

Syahadah

Pada tanggal 25 Syawal 148 H. Imam syahid karena diracun oleh Gubernur Madinah atas perintah Mansur. Shalat jenazah dilakukan oleh putra Imam, Musa Kazhim, Imam Ketujuh, dan jasadnya dikebumikan di pemakaman Jannatul Baqi Madinah.

Mutiara Hadis Imam Shadiq As

Barang siapa yang memiliki lima sifat utama di bawah ini maka dia adalah orang yang terpilih. Pertama, seseorang yang merasa senang ketika melakukan kebaikan. Kedua, orang yang menyesali ketika melakukan perbuatan buruk. Ketiga, orang yang bersyukur ketika menerima anugerah dari Allah Swt. Keempat, orang yang sabar menjalani ujian dari Allah Swt. Kelima, orang yang memaafkan ketika dizalimi. Orang yang dekat kepada Allah Swt; memaafkan orang yang menyalahkannya, bersikap pemurah kepada orang yang mencampakkannya, berbuat baik kepada kerabat yang tidak mengamalkan hak-hak kekerabatannya.

Seorang Mukmin sejati tidak melewati batas-batas normal ketika dia dalam keadan marah; tidak melakukan kezaliman demi kepentingan seseorang; tidak mengambil sesuatu melebihi jatahnya, meskipun dia memiliki kekuasaan.[]

Manusia Suci Kesembilan

Imam Ketujuh

Imam Musa al-Kazhim As

Manusia Suci Kesembilan

Imam Ketujuh

Imam Musa al-Kazhim As

Nama : Musa

Gelar : al-Kazhim

Panggilan : Abu Ibrahim

Nama Ayah : Ja'far Shadiq

Nama Ibu : Hamidah al-Barbariyah

Wiladah : di Abwa (sebuah tempat antara Mekkah dan Madinah) pada hari Ahad, 7 Safar 128 H.

Syahadah : Syahid pada usia 55 tahun, di Baghdad, 25 Rajab 183 H; akibat diracun oleh Harun ar Rasyid.

Haram : Kazhimiyyah, Baghdad.

Imam Musa Kazhim adalah Imam Ketujuh dari para Imam Maksum. Panggilannya adalah Abul Hasan dan gelarnya yang populer adalah al-Kazhim. Imam Musa al-Kazhim dalam urusan ibadah dan takwa tiada taranya sehingga ia juga digelari dengan "Abdus Salih" (Hamba Allah yang Saleh). Sikap pemurah merupakan persamaan kata dengan namanya dan tidak satu pun pengemis yang menyampaikan hajat kepadanya yang pulang dari pintunya dengan tangan kosong. Bahkan setelah ia tidak ada, ia masih tetap berkewajiban dan bersikap pemurah kepada para pengikutnya yang datang berziarah ke haramnya dengan menunaikan shalat yang secara khusus dianugerahkan oleh Allah Swt. Dengan demikian, salah satu tambahan gelarnya adalah "Babu'l Hawaij" (Gerbang Pemenuh Hajat).

Orang Tua

Imam Musa Kazhim adalah putra dari Imam Ja'far Shadiq, Imam Keenam. Nama ibundanya adalah Hamidah, seorang putri terpandang dari Negeri Barbary.

Masa Kecil

Imam Musa Kazhim melewati dua puluh tahun masa hidupnya di bawah bimbingan kasih ayahandanya. Kegeniusan dan keutamaan yang dimilikinya dipadu dengan bimbingan dan pendidikan yang tercerahkan dari Imam Ja'far Shadiq, menunjukkan pribadi cerlang di masa datang. Dia sangat menguasai ilmu tauhid sejak masa kecilnya.

Allamah Majlisi meriwayatkan bahwa suatu waktu Abu Hanifah kebetulan mampir mendatangi kediaman Imam Ja'far Shadiq untuk menanyakan masalah-masalah agama (masail). Imam Ja'far sedang tidur dan Abu Hanifah tetap menunggu di luar hingga Imam bangun. Sementara itu, Imam Musa Kazhim, yang ketika itu berusia lima tahun keluar dari rumah. Abu Hanifah, setelah menyampaikan salam kepadnya, bertanya:

"Yabna Rasulullah! (wahai putra Rasulullah) Apa pendapatmu tentang amalan-amalan seseorang? Apakah dia melakukannya sendiri atau Allah Swt yang membuat mereka melakukannya?"

"Wahai Abu Hanifah!", jawab bocah lima tahun tersebut, seperti nada kakek-kakeknya, "Perbuatan manusia dibatasi oleh tiga kemungkinan. Pertama, bahwa Allah sendiri yang membuat mereka melakukan perbuatan itu sementara manusia tidak ada daya dan upaya. Kedua, bahwa keduanya antara Allah dan manusia masing-masing memiliki saham atas perbuatan tersebut. Ketiga, manusia sendiri yang melakukannya. Kini, jika asumsi pertama benar, nampaknya akan terbukti ketidakadilan Tuhan dalam menghukum makhluknya atas dosa yang dia tidak lakukan. Dan jika asumsi kedua benar, maka Tuhan menjadi zalim jika Dia menghukum hambanya atas kejahatan yang dilakukannya bersama. Akan tetapi kedua asumsi ini tidak dapat dikenakan kepada Tuhan. Oleh karena itu, kini tinggal asumsi yang ketiga bahwa manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas perbuatan yang dia lakukan."

Imâmah

Imam Ja'far Shadiq menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 25 Syawal 148 H., dan secara resmi sejak saat itu, Imam Musa Kazhim menjadi Imam Ketujuh menggantikan ayahnya. Periode Imâmah Imam Musa Kazhim berlangsung selama tiga puluh lima tahun. Pada masa-masa awal Imâmah-nya, Imam Musa Kazhim dapat menjalankan kewajibannya dalam menyampaikan ajaran-ajaran Nabi Saw. Namun, tidak lama berselang, ia menjadi korban dari raja yang berkuasa dan sebagian besar hidup ia dihabiskan di dalam penjara.

Keadaan Politik

Imam Musa Kazhim hidup di dalam masa-masa paling krusial di bawah regim zalim Bani Abbasiyah yang menandai kezaliman dan kekejaman pemerintahannya. Imam semasa dengan Mansur Dawaniqi, Mahdi, Harun ar-Rasyid. Mansur dan Harun ar-Rasyid merupakan raja-raja yang zalim yang membunuh banyak keturunan Nabi Saw. Ribuan syuhada ini dikubur hidup-hidup di dalam sebuah bangunan atau ditempatkan di dalam penjara gelap selama masa hidup mereka. Kedua khalifah ini tidak mengenal belas-kasih atau rasa keadilan dan mereka membunuh dan menyiksa manusia untuk mendapatkan kesenangan. Kedua khalifah ini senang melihat orang menderita.

Imam Musa selamat dari kezaliman Mansur, karena asyik dengan proyeknya membangun kota Baghdad sehingga tidak memiliki waktu untuk mengusik Imam. Pada tahun 157 H kota Baghdad selesai dibangun. Selesainya pembangunan kota ini disusul oleh kematian pembangunnya. Setelah Mansur, putranya al-Mahdi naik tahta. Selama beberapa tahun al-Mahdi ini bersikap acuh-tak-acuh terhadap Imam. Pada tahun 164 H, dia datang ke Madinah dan mendengar tentang ketenaran figur Imam Musa. Dia tidak dapat menahan rasa iri dan dengki melihat keadaan ini. Ketenaran Imam ini membuat rasa benci kakeknya terhadap Ahlulbait menyala kembali. Dia berencana ingin membawa Imam ke Baghdad bersamanya dan memenjarakan ia di sana. Akan tetapi, setelah setahun, dia menyadari kekeliruannya kemudian dia melepaskan Imam dari penjara. Pada tahun 170 H., raja yang paling kejam dan bengis, Harun ar-Rasyid muncul sebagai raja Dinasti Abbasiyah. Pada masanya, Imam melalui sebagian besar masa hidupnya di dalam penjara hingga ia diracun.

Keunggulan Akhlak

Berkenaan dengan keunggulan akhlak, Ibnu Hajar al-Haitami berkata: "Karena kesabaran dan ketabahannya sehingga Imam Musa Kazhim digelari dengan al-Kazhim (orang yang menahan amarah). Dia adalah penjelmaan kebaikan dan sikap pengasih. Dia menghabiskan malamnya dengan beribadah kepada Allah Swt dan siangnya dengan berpuasa. Dia senantiasa memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya."

Kebaikan dan sikap pengasihnya terhadap orang-orang membuat dia melindungi, menolong orang-orang miskin dan orang-orang yang dirundung kesusahan di Madinah dan menyediakan mereka uang, makanan, pakaian dan keperluan-keperluan sehari-hari secara sembunyi-sembunyi. Keadaan ini terus berlanjut, namun mereka tidak tahu siapa yang memberikan semua itu hingga setelah Imam tiada.

Prestasi Ilmu Pengetahuan

Keadaan dan waktu tidak memberikan izin kepada Imam untuk membangun lembaga-lembaga guna menyebarkan ilmu agama kepada para pengikutnya sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya, Imam Ja'far Shadiq dan datuknya, Imam Baqir. Imam Musa tidak pernah diizinkan untuk menyampaikan khutbah kepada khalayak. Ia melaksanakan misi tabligh dan bimbingannya kepada khalayak secara diam-diam.

Syahadah

Pada tahun 179 H, Harun ar-Rasyid mengunjungi Madinah. Rasa dengki dan benci terhadap Ahlulbait membara dalam hatinya ketika dia melihat pengaruh besar dan popularitas Imam di tengah-tengah masyarakat Madinah. Dia memenjarakan Imam dan menyekapnya di Baghdad selama empat tahun. Pada tanggal 25 Rajab 183, Imam syahid akibat racun yang diletakkan oleh orang suruhan Harun ar-Rasyid pada makanannya. Bahkan jasadnya tak terhindar dari penghinaan dan dibawa keluar dari penjara dan ditinggal di Jembatan Baghdad. Namun, para pengikutnya, mengatur dan mengebumikan jenazahnya di Kazhimiyah Irak.

Mutiara Hadis Imam Musa Kazhim

Tidak ada sedekah yang paling utama selain membantu orang yang lemah.

Jangan pernah menyerah untuk belajar sesuatu yang tidak memberikan kepadamu kerugian, dan jangan pernah melalaikan untuk belajar []

Manusia Suci Kesepuluh

Imam Kedelapan

Imam Ali ar-Ridha As

Manusia Suci Kesepuluh

Imam Kedelapan

Imam Ali ar-Ridha As

Nama : 'Ali

Gelar : ar-Ridha'

Panggilan : Abul Hasan

Nama Ayah : Musa al-Kazhim

Nama Ibu : Ummul Banin Najmah

Wiladah : Madinah, Kamis, 11 Dzulhijjah 148 H.

Syahadah : Syahid pada usia 55 tahun pada hari Selasa, 17 Safar 203 H akibat diracun oleh Ma'mun, Khalifah Abbasiyah

Haram : Masyhad, Iran

Imam 'Ali Ridha dibesarkan oleh ayahandanya selama tiga puluh lima tahun. Kecerdasan dan kejeniusannya dalam bidang agama yang dipadu dengan pendidikan dan gemblengan yang didapatkan dari ayahnya membuat dia unggul dalam kepemimpinan spiritual. Imam Ridha adalah sebuah teladan hidup sifat ketakwaan Nabi Saw dan sikap pengasih Imam 'Ali bin Abi Thalib.

Suksesi

Imam Musa Kazhim sangat sadar akan rencana busuk pemerintahan Abbasiyah terhadap masalah Imâmah. Oleh karena itu, selama masa hidupnya, ia mendeklarasikan di hadapan seratus tujuh puluh satu tokoh-tokoh agama terkemuka bahwa penggantinya kelak adalah Imam Ridha dan meminta anak-anak dan keluarganya untuk tunduk kepada Imam Ridha dan merujuk kepadanya dalam seluruh masalah. Imam Musa juga meninggalkan sebauh dokumen tertulis yang mengumumkan penggantinya adalah Imam Ridha yang ditandatangani dan disahkan oleh tidak kurang dari enam belas orang ternama. Langkah-langkah perlu ini diambil oleh Imam Musa sebagai langkah antisipatif guna menghindari kekacauan yang bisa saja timbul setelah kesyahidan ia.

Imâmah

Imam Musa Kazhim diracun ketika ia masih berada dalam penjara dan pada tanggal 25 Rajab 183 meraih syahadah. Pada hari yang sama, Imam Ridha diumumkan sebagai Imam Kedelapan dalam dunia Islam. Imam Ridha memiliki tugas berat di hadapannya yaitu menyelesaikan masalah penafsiran al-Qur'an; khususnya di dalam kondisi yang mengitari Imam Ridha ketika itu adalah di masa pemerintahan Harun ar-Rasyid. Banyak orang-orang beriman dipenjarakan dan mereka yang bebas dan tidak dapat dipenjara dihadapkan pada kekejaman dan kebiadaban. Imam Ridha, tentu saja, menanamkan pengaruhnya pada masanya dengan membawa misi Nabi Agung dengan cara damai meskipun pada masa-masa kacau, dan karena usahanya, ajaran Nabi Saw dapat tersebar dengan baik.

Imam Ridha mewarisi sifat-sifat utama baik dari segi kejeniusan dan kelembutan hati moyangnya. Dia adalah orang jenius dan menguasai beberapa bahasa. Ibnu Atsir al-Jazari menulis dengan baik bahwa Imam Ridha tanpa sangsi adalah seorang guru terbesar, wali dan alim pada abad kedua Hijriah.

Suatu waktu, dalam perjalanannya menuju Khurasan, ketika Imam dibawa dengan paksa oleh pengawal-pengawal Ma'mun dari Madinah, ia tiba di Naisabur. Banyak orang-orang berkumpul disekelilingnya dan jalan-jalan penuh-sesak ketika mereka hendak berjumpa dan melihat Imam Agung ini. Abu Dzar'ah ar-Razi dan Muhammad bin Aslam at-Tusi, dua ulama besar pada masa itu, berjalan keluar dari kerumunan massa dan meminta Imam untuk berhenti di situ sejenak sehingga orang-orang Mukmin dapat mendengarkan sepatah-kata dari lisan suci Sang Imam. Imam mengabulkan permintaan tersebut dan dalam kesempatan singkat tersebut Imam menyampaikan kepada khalayak di tempat itu tentang tafsir sesungguhnya dari kalimat Laa Ilâha Illallah. Dengan menukil kalimah Allah, ia melanjutkan bahwa kalimah ini adalah benteng Allah dan barang siapa yang memasuki benteng Allah maka dia aman dari murka Allah.

Ia berhenti sejenak dan melanjutkan bahwa ada beberapa syarat-syarat untuk memasuki benteng ini dan syarat utama adalah ikhlas dan tunduk-pasrah (taslim) kepada Imam Zaman ketika itu; dan dengan fasih dan jelas ia menjelaskan kepada masyarakat bahwa setiap bentuk penolakan kepada Nabi Saw dan Ahlulbaitnya As akan menariknya jauh dari benteng tersebut. Satu-satunya jalan untuk mencapai keRidhaan Allah Swt adalah mematuhi Nabi Saw dan Ahlulbaitnya dan inilah satu-satunya jalan untuk meraih keselamatan dan keabadian.

Peristiwa yang disebutkan di atas menjelaskan secara terang popularitas Imam Ridha As, cinta, kesetiaan dan penghormatan kaum Muslimin kepada Imam mereka. Raja al-Ma'mun sadar akan kenyataan ini sehingga dia berpikir bahwa dia tidak akan selamat sepanjang dia tidak menyatakan kesetiaan kepada Pemimpin Besar dan mata-matanya menjelaskan kepadanya bahwa masyarakat Iran memiliki kesetiaan dan kecintaan tulus kepada Sang Imam dan Ma'mun hanya dapat menguasai mereka jika berpura-pura menghormati dan menaruh simpati kepada Imam Ridha. Ma'mun adalah orang yang sangat licik. Ia membuat rencana mengundang Imam Ridha dan menawarkan kepadanya kursi mahkota. Imam Ridha dipanggil melalui panggilan resmi kerajaan dan dipaksa – dalam keadaan seperti itu, untuk meninggalkan Madinah – di mana Imam hidup dengan damai dan tentram – dan menghadirkan dirinya di istana Ma'mun.

Setibanya di Madinah, Ma'mun menunjukkan sikap ramah dan penghormatan, lalu berkata kepada Imam: "Aku ingin mengundurkan diri dari khilâfah dan melimpahkannya kepadamu." Namun Imam Ridha menolak tawaran Ma'mun ini. Kemudian Ma'mun mengulangi tawarannya ini dalam sebuah surat yang berisikan: "Jika anda menolak apa yang aku tawarkan kepada anda, maka anda harus menerima warisan setelahku." Namun sekali lagi, Imam Ridha menolak tawaran ini dengan tegas. Ma'mun memanggilnya lagi. Imam berdua bersama al-Fadl bin Sahl, orang yang merangkap dua jabatan (militer dan sipil). Tidak ada orang lain lagi dalam pertemuan mereka. Ma'mun berkata kepada Imam Ridha, "Aku pikir bahwa sepatutnya aku menanamkan otoritas atas kaum Muslimin di atas pundak anda dan melepaskan diriku dari tanggung-jawab dengan menyerahkannya kepada anda. Ketika Imam menolak lagi tawaran ini, Ma'mun berkata kepadanya seakan-akan mengancam Imam atas penolakannya. Dalam pidatonya, dia berkata, "Umar bin Khattab membuat syura untuk memilih khalifah. Di antara mereka terdapat datukmu, Amirul Mukminin, 'Ali bin Abi Thalib. Umar mensyaratkan bahwa siapa yang menentang keputusan syura harus dibunuh. Jadi, tidak ada jalan lain kecuali menerima apa yang aku tawarkan kepada anda. Aku akan mengabaikan penolakanmu."

Dalam jawabannya, Imam Ridha berkata: "Aku akan setuju dengan apa yang engkau tawarkan kepadaku, dengan syarat bahwa aku tidak memerintah, tidak memberikan komando, tidak membuat keputusan-keputusan hukum, tidak menjadi hakim, tidak menunjuk, tidak memecat, tidak mengganti apa yang kini sudah ada." Ma'mun menerima semua syarat yang diajukan oleh Imam Ridha.

Pada hari ketika Ma'mun diperintahkan untuk menyampaikan bai'at kepada Imam Ridha, salah seorang sahabat Imam Ridha yang hadir kala itu, menceritakan: "Pada hari itu, aku berada di depannya. Dia melihatku sementara aku merasa gembira atas apa yang telah terjadi. Dia memberikan tanda kepadaku untuk mendekat. Aku datang mendekat kepadanya dan dia berkata bahwa tidak ada seorang pun yang boleh mendengar, "Jangan engkau taruh masalah ini di hatimu dan jangan bergembira tentang tawaran ini. Karena hal ini tidak akan tercapai."

Mengutip Allamah Sibil dari kitabya al-Ma'mun, kami memahami utuh bagaimana Ma'mun memutuskan menawarkan kepemimpinannya kepada Imam Ridha."

"Imam Ridha adalah Imam Kedelapan dan Ma'mun terpaksa harus menerima keadaan Imam sebagai seorang yang memiliki wibawa dan kehormatan karena ketakwaan, hikmah, ilmu, tawadu', santun dan kepribadian Imam. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menominasikan Imam sebagai pewaris mahkota. Pada awal-awal tahun 200 H, Ma'mun mengundang keluarga Abbasiyah. Tiga puluh tiga ribu Abbasiyah memenuhi undangan tersebut dan dilayani bagai seorang tamu raja. Selama mereka tinggal di pusat kota, Ma'mun dengan leluasa dapat mengawasi dan memperhatikan kemampuan mereka, akhirnya dia sampai pada kesimpulan bahwa tidak seorang pun dari Dinasti Abbasiyah yang memiliki kelayakan untuk menggantikannya. Dia meminta bai'at kepada Imam Ridha dari orang-orang dalam pertemuan ini dan mengumumkan bahwa jubah raja akan semakin hijau di masa-masa mendatang, warna yang memiliki keunikan karena dikenakan oleh Imam. Keputusan kerajaan diumumkan bahwa Imam Ridha akan menggantikan Ma'mun.

Bahkan setelah deklarasi suksesi ketika kesempatan bagi Imam untuk hidup secara mewah, ia sedikit pun tidak mengindahkan kesenangan-kesenangan material dan membaktikan dirinya sepenuhnya untuk menyebarkan konsepsi sebenarnya ajaran-ajaran Nabi Saw dan al-Qur'an. Imam menghabiskan hampir seluruh waktunya dengan beribadah kepada Tuhan dan berkhidmat kepada khalayak.

Dengan memanfaatkan kesempatan yang ada dengan kedudukannya yang tinggi di kerajaan, Imam mengadakan majalis (pertemuan-pertemuan) mengenang syuhada Karbala. Majalis ini pertama kali diadakan pada masa Imam Muhammad Baqir dan Imam Ja'far Shadiq, akan tetapi Imam Ridha memberikan majalis ini dengan kekuatan baru dengan memotivasi para penyair yang menulis syair-syair indah yang menggambarkan sisi moral dari tragedi ini dan penderitaan Imam Husain dan para sahabatnya.

Ma'mun sangat takut dengan bertambahnya popularitas Imam dan kenyataan bahwa dia telah menunjuk Imam sebagai pewaris mahkota hanya ingin memenuhi ambisi dan berencana jahat serta memanfaatkan Imam untuk mewujudkan rencana kejinya. Tapi Imam menolak untuk memberikan jaminan kepada rencana-rencana Ma'mun yang bertentangan dengan ajaran Islam itu. Dengan demikian, Ma'mun sangat kecewa kepada Imam dan memutuskan untuk memeriksa popularitas Imam yang sedang naik daun dan menyatakan satu-satunya jalan untuk selamat adalah kembali kepada tradisi lama, membunuh Imam. Untuk melakukan hal ini, tentu sangat pelik dan sukar bagi Ma'mun. Maka dia memilih jalan halus dengan mengundang Imam makan malam, dan memberikan anggur beracun kepada Imam. Imam syahid pada tanggal 17 Safar 203 H. Ia dikebumikan di Tus (Masyhad) dan Haram Agung Imam bercerita baik tentang kepribadian agung yang dimiliki oleh Imam. Jutaan kaum Muslimin berziarah ke Haram Imam setiap tahun untuk menyatakan hormat kepada Sang Imam.

Mutiara Hadis Imam Ridha As

Melakukan tujuh hal tanpa melakukan tujuh hal yang lainnya adalah termasuk perbuatan sia-sia; Meminta ampun kepada Allah secara lisan tidak disertai dengan penyesalan di dalam hati; meminta bantuan Allah tanpa berusaha; membuat sebuah keputusan tanpa melakukan perbuatan; meminta kepada Allah Firdaus tanpa menjalani cobaan dan ujian yang berat; meminta untuk dibebaskan dari Jahannam tanpa mencegah hawa nafsu; mengingat Allah tanpa melakukan persiapan untuk berjumpa dengan-Nya.[]

Manusia Suci Kesebelas

Imam Kesembilan

Imam Muhammad al-Jawad As

Manusia Suci Kesebelas

Imam Kesembilan

Imam Muhammad al-Jawad As

Nama : Muhammad

Gelar : Al-Jawad atau at-Taqi

Panggilan : Abu Ja'far

Nama Ayah : 'Ali ar-Ridha

Nama Ib : Sabikah (atau Khaizuran)

Wiladah : Madinah, Jumat, 10 Rajab 195 H.

Syahadah : Syahid pada usia 25 tahun, di Kazhimiyyah pada hari Rabu, tanggal 29 Dzulhijjah 220 H, akibat diracun oleh Mu'tasim, Khalifah Abbasiyah.

Haram : Kazhimiyyah, Baghdad.

Imam Jawad adalah Imam Kesembilan dari para Imam dalam hierarki Imâmah Syiah Itsna Asyariyyah. Panggilannya adalah Abu Ja'far dan gelarnya yang masyhur adalah al-Jawad atau at-Taqi. Sejak Imam Muhammad Baqir, Imam Kelima juga biasa disebut sebagai Abu Ja'far, para sejarawan menyebut Imam Jawad sebagai Abu Ja'far Kedua.

Masa Kecil

Imam Muhammad Jawad dibesarkan oleh ayahandanya Imam Ridha selama empat tahun. Di bawah keadaan yang memaksa, Imam Ridha harus hijrah dari Madinah ke Khurasan (Iran), meninggalkan putranya yang masih muda. Imam sangat sadar, pribadi khianat penguasa dan yakin bahwa dia tidak akan kembali lagi ke Madinah. Sehingga sebelum keberangkatannya dari Madinah, Imam Ridha mengumumkan putranya Imam Muhammad Jawad sebagai penggantinya, dan mengajarkan khazanah ilmunya tentang tauhid dan irfan.

Imâmah

Imam 'Ali ar-Ridha diracun pada tanggal 17 Safar 203 H. dan dengan resmi pada tanggal yang sama Imam Jawad ditugaskan oleh Allah untuk memikul tanggung-jawab Imâmah di pundaknya. Pada usia delapan tahun tidak ada perubahan lahiriyah pada diri Imam yang menunjukkan bahwa Imam telah mencapai tingkatan ilmu yang tinggi dan prestasi-prestasi amaliyah. Akan tetapi, setelah beberapa hari, dia dikenal tidak hanya berdebat dengan ulama-ulama pada masanya tentang masalah-masalah fiqh, hadis, tafsir, dan Imam mengalahkan mereka, tetapi juga mengungkapkan pujian dan pengakuan mereka terhadap ilmu dan superioritasnya. Sejak saat itu, dunia menyadari bahwa Imam memiliki ilmu Ilahiyah dan bahwa ilmu ladun tersebut tidak dicapai oleh Imam secara alamiah, tetapi merupakan anugerah dari Allah.

Keunggulan dan Prestasi Pengetahuan

Rentang waktu perjalanan hidup Imam Jawad lebih singkat dibandingkan dengan para pendahulunya. Demikian juga bagi para penggantinya. Ia menjadi Imam pada usia delapan tahun dan diracun pada usia dua puluh lima tahun; akan tetapi prestasi pengetahuannya cukup banyak dan dia menerima penghormatan dan penghargaan yang tinggi.

Imam Jawad merupakan simbol sifat santun Nabi Saw dan kejeniusan Imam 'Ali.

Sifat-sifat yang diwarisi terdiri dari keprawiraan, kegagahan, sikap pengasih, pelajaran, sifat pemaaf dan toleran. Tabiat dan karakter yang paling cemerlang adalah menunjukkan sikap ramah-tamah dan sopan-santun kepada semua tanpa diskriminasi, membantu orang-orang miskin; mengamalkan sikap adil pada setiap keadaan, menjalani hidup sederhana, membantu anak-anak yatim, orang-orang susah dan tuna wisma; mengajarkan kepada mereka yang tertarik kepada pencapaian ilmu dan membimbing masyarakat kepada jalan yang benar.

Hijrah ke Irak

Untuk mengkonsolidasikan kekuatannya, Ma'mun, Khalifah Abbasiyah menyadari perlunya memenangkan simpati dan dukungan orang-orang Iran yang senantiasa bersahabat kepada Ahlulbait. Akibatnya, Ma'mun terpaksa, dari sudut pandang politik, untuk menjalinkan kontak antara suku Bani Fatimah dengan Bani Abbasiyah dan dengan demikian dia dapat memenangkan Syiah. Oleh karena itu, dia mendeklarasikan Imam Ridha sebagai pewarisnya meskipun berlawanan dengan kehendak Imam dan menikahkan saudarinya Ummu Habibah dengan Imam Ridha. Ma'mun berharap dari Imam Ridha akan memberikan dukungannya dalam urusan politik kenegaraan. Tapi ketika dia temukan bahwa Imam hanya menaruh perhatian kecil terhadap urusan politik dan bahwa kenyataan orang-orang semakin taat kepada ia, maka dia memutuskan untuk meracuni Imam. Namun, keadaan daruratlah yang membuat dia mencalonkan Imam Ridha sebagai pewarisnya dan penggantinya tetap berlanjut. Kemudian, dia berhasrat untuk menikahkan putrinya Ummu Fadl dengan Muhammad al-Jawad, putra Imam Ridha dan atas alasan ini, dia memanggil Imam dari Madinah ke Irak.

Bani Abbas tentu sangat kebingungan mengetahui niat Ma'mun yang ingin menikahkan putrinya Ummu Fadl dengan Muhammad Jawad. Sebuah utusan yang terdiri dari pembesar-pembesar Bani Abbas menantikannya untuk mempengaruhi dia agar tidak melaksanakan niatnya tersebut.

Akan tetapi Ma'mun tetap memuji keilmuan dan keunggulan Imam. Dia berkata bahwa meskipun Imam Jawad masih relatif belia, namun dia adalah pengganti ayahnya dalam segala keutamaan dan keilmuan sehingga ulama-ulama yang paling alim sekalipun tidak dapat menandinginya. Ketika Bani Abbas mengamati bahwa Ma'mun membangga-banggakan superioritas ilmu Imam Jawad, mereka memilih Yahya bin Akhtam, seorang ulama dan faqih besar kota Baghdad, untuk berdebat dengannya.

Ma'mun mengeluarkan sebuah proklamasi dan mengatur sebuah pertemuan besar untuk debat tersebut yang dihadiri oleh ribuan orang dari berbagai kerajaan tetangga. Terlepas dari kemuliaan dan derajat yang tinggi, pada pertemuan akbar tersebut, terdapat sembilan ratus kursi yang disediakan untuk para ulama dan kaum cendikiawan. Dunia takjub betapa seorang anak belia dapat bertanding dengan qadi (hakim) senior dalam ilmu-ilmu agama (qadil qudat) dan ulama-ulama besar Irak.

Imam Muhammad Jawad duduk di samping Ma'mun di atas singgasananya berhadapan dengan Yahya bin Akhtam. Yahya bin Akhtam yang pertama menyapa Imam. "Apakah anda izinkan saya untuk mengajukan pertanyaan?"

"Bertanyalah apa yang ingin anda tanyakan." Kata Imam Jawad dalam nada khas seperti para datuknya. Kemudian, Yahya bertanya kepada Imam. "Bagaimana pendapat anda tentang seorang yang asyik berburu namun dia dalam keadaan ihram."

Dengan segera, Imam menjawab: "Pertanyaan anda menyesatkan dan bersifat global. Anda seharusnya secara definitif menyebutkan apakah dia berburu dalam lingkungan Ka'bah atau di luar; apakah dia seorang yang berilmu atau seorang jahil; apakah dia seorang hamba atau seorang merdeka; apakah dia adalah seorang baligh atau masih ingusan; apakah perbuatan ini adalah yang pertama kali atau bukan; juga apakah, yang menjadi buruannya itu adalah seekor burung atau hewan yang lainnya; apakah buruannya kecil atau besar; apakah dia berburu pada siang atau malam hari; apakah pemburu menyesali perbuatannya atau tidak; apakah dia berburu terang-terangan atau tidak; apakah ihram tersebut untuk 'umrah atau haji. Kalau anda tidak menyebutkan dulu seluruh poin-poin ini, anda tidak akan mendapatkan jawaban spesifik.

Qadi Yahya terkejut mendengarkan perkataan Imam ini dan seluruh hadirin terdiam kaku, tanpa bahasa. Jawaban Imam atas pertanyaan Yahya ini membuat Ma'mun senang tiada berkesudahan. Ma'mun menyampaikan perasaan senang dan pujiannya kepada Imam Jawad, " Luar Biasa! Anda Hebat !Wahai Aba Ja'far (Ahsanta, ahsanta, yaa Aba Ja'far), ilmu dan pengetahuanmu sangat luar biasa."

Lalu Ma'mun berkata kepada Imam, "Kini giliranmu untuk mengajukan pertanyaan kepadanya, wahai Aba Ja'far?"

Kemudian, dengan segan, Yahya berkata kepada Imam, "Iya. Anda dapat bertanya kepadaku beberapa pertanyaan. Jika aku tahu, aku akan menjawabnya." Kalau tidak, aku akan meminta anda untuk menjawabnya."

Lalu, Imam bertanya kepada Yahya bin Akhtam yang tidak dapat dijawab olehnya. Akhirnya, Imam menjawab pertanyaan yang diajukannya kepada Yahya bin Akhtam.

Kemudian, Ma'mun menyampaikan kepada hadirin: "Tidakkah aku telah katakan kepada kalian bahwa Imam berasal dari keluarga yang telah dipilih oleh Allah sebagai khazanah ilmu dan pengetahuan?" Apakah masih ada orang di dunia ini yang dapat menandingi bahkan anak kecil dari keluarga ini?"

Para hadirin berseru, "Tanpa ragu, tidak ada seorang pun yang dapat setimbang dengan Muhammad bin 'Ali al-Jawad."

Pada acara yang sama, Ma'mun menikahkan putrinya Ummu Fadl kepada Imam Jawad, secara bebas membagi-bagikan sedekah dan hadiah dari miliknya sebagai tanda suka-cita.

Setahun berselang setelah pernikahan ini, Imam kembali dari Baghdad ke Madinah bersama istrinya dan di tempat itu, Imam menyampaikan Firman-firman Allah Swt.

Syahadah

Ketika Ma'mun wafat, Mu'tasimin naik singgasana menggantikannya. Mu'tasimin mendapatkan kesempatan untuk membuat Imam jera, melampiaskan kebencian dan kebengisan kepadanya. Dia memanggil Imam ke Baghdad. Imam tiba di Bahgdad pada tanggal 9 Muharram 220 H., dan Mu'tasimin meracuninya pada tahun yang sama. Imam syahid pada tanggal 29 Dzulhijjah 220 H., dan dikebumikan di samping kuburan datuknya, Imam Musa Kazhim, Imam Ketujuh, di Kazhimiyyah, daerah pinggiran kota Baghdad (Irak).

Mutiara Hadis Imam Jawad As

Percaya kepada Allah Swt merupakan harga dari segala yang berharga dan tangga untuk mencapai segala tujuan yang tertinggi.

Barang siapa yang menuruti hawa nafsunya, berarti menuruti kehendak musuhnya.

Janganlah menjadi sahabat Tuhan di tempat terbuka dan menjadi musuhnya di tempat senyap.[]