Mizan Keadilan Tuhan

Mizan Keadilan Tuhan0%

Mizan Keadilan Tuhan pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Ushuludin

Mizan Keadilan Tuhan

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Sayyid Sa‘id Akhtar Rizvi
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 7254
Download: 4475

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 9 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 7254 / Download: 4475
Ukuran Ukuran Ukuran
Mizan Keadilan Tuhan

Mizan Keadilan Tuhan

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bagian Ke-5

Pengetahuan Tuhan

Pada silsilah pembahasan Mizan Keadilan Tuhan, kali ini kita memasuki tahapan pembahasan ilmu ghaib, lauh mahfuz, lauh mawh wa itsbat dan konsep bada’ yang merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya. Karena masalah Keadilan Tuhan erat kaitannya dengan pengetahuan Tuhan, di sini kita, sesuai dengan tuntutan pembahasan, akan mendiskusikan sepintas tentang ilmu ghaib, definisi dan ayat-ayat yang berkaitan dengannya.

Tentu saja, banyak di antara kita yang meramalkan ratusan perkara yang terjadi di masa mendatang. Kita mengetahui perkembangan waktu; kita mengetahui hari, waktu dan bilamana terjadinya gerhana bulan dan matahari. Peramal cuaca meramalkan turunnya hujan, badai, halilintar, dan banyak lagi prakiraan cuaca dan musim. Dengan melihat fitur seorang manusia, sebagian kita bahkan dapat berkata dengan beberapa derajat keyakinan ihwal karakter dan tabiat orang tersebut. Para dokter dan ahli fisika dapat dengan mudah memprediksikan peluang hidup-matinya para pasien mereka. Anda dapat jumpai contoh yang banyak dalam kehidupan Anda sehari-hari. Namun apakah semua ini dapat disebut sebagai ilmu ghaib? Apakah peramal cuaca mengetahui ilmu ghaib? Jawabannya adalah tidak. Karena semua ramalan dan nubuat cuaca, meramal fitur manusia ini bersandar kepada observasi hukum-hukum alam. Dengan observasi dan deduksi yang tajam, kita berada pada posisi untuk mengetahui segala hal di masa mendatang. Pengetahuan tentang masa mendatang ini berdasarkan kepada deduksi dan obvervasi hukum-hukum fisika

Ilmu Ghaib

Kata al-Ghaib bermakna “non-kasat mata atau “sesuatu yang tersembunyi.” Ilmu ghaib bermakna ilmu terhadap segala sesuatu yang tidak kasat mata saat ini, seperti kejadian-kejadian pada masa mendatang. Pengetahuan semacam ini merupakan sepenuhnya hak prerogatif Tuhan. Tiada seorang pun yang tahu tentang perkara ghaib kecuali Allah Swt.

Ilmu ghaib yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai satu-satunya hak prerogatif Allah, adalah ilmu tentang hal-hal non-kasat mata dan pelbagai peristiwa di masa mendatang yang tidak bersandar kepada deduksi dan obvservasi hukum-hukum fisika. Ilmu ghaib merupakan jenis ilmu yang disinggung al-Qur’an pada ayat berikut ini:

“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib dan Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka Dia menetapkan para penjaga (malaikat) di hadapan dan di belakangnya.” (Qs. Al-Jin [72]:26-27)

Ayat ini dan ayat-ayat serupa disebutkan secara jelas bahwa ilmu tentang hal-hal yang ghaib dan kejadian masa depan, tidak bersandar kepada observasi hokum-hukum fisika atau deduksi, hanya ada pada Tuhan. Dan Dia, dengan hikmah dan kebijaksanan-Nya, memilih para utusannya, nabi-nabi dan para imam untuk Dia kabarkan pengetahuan semacam itu. Ringkasnya, tiada seorang pun yang mengetahui hal-hal yang ghaib atau pelbagai kejadian masa depan (tanpa tanda-tanda yang ada atau deduksi) kecuali Allah. Dan Allah, dengan kemurahan-Nya, mewartakan pengetahuan tersebut kepada siapa saja yang Dia ridhai dan pilih, boleh jadi mereka adalah para malaikat, para rasul dan para imam.

Dalam riwayat para Imam Ahlulbait As, telah dijelaskan bahwa Allah hanya sekali waktu mengabarkan nama-namanya yang Agung (ismu a’zham) kepada ‘Asif bin Barkhiya (perdana menteri Nabi Sulaiman); dan dengan sebagian pengetahuan itu ia mampu membawa singgasana Ratu Balqis, ratu kerajaan Saba, dari ibukotanya ke Yerusalem dengan satu kedipan mata.[22]

Namun Allah telah memberikan kepada Nabi Saw seluruh pengetahuan yang diberikan kepada para nabi semenjak Adam, sebagaimana pengetahuan yang diberikan kepada seluruh malaikat; dan kemudian pengetahuan bertambah secara konstan. Dan Nabi Saw, sesuai dengan titah Ilahi, mengajarkan ilmu tersebut kepada ‘Ali As; dan ilmu tersebut diteruskan kepada imam yang menggantikannya dan seterusnya hingga kepada Imam al-Mahdi As.[23] Atas hal ini jelas mengapa mereka disebut sebagai “Para Penjaga Khazanah Ilmu Tuhan.”[24]

“Lauh mahfuz” dan “Lauh mahw wa itsbât”

Lauh bermakna “lempengan, kepingan, lembaran kayu atau batu yang digunakan untuk menulis sesuatu di atasnya.” Secara metaforis, lauh digunakan untuk “pengetahuan”, karena pengetahuan biasanya didapatkan dari sesuatu yang tertulis. Mahfuz bermakna terjaga. Sesuatu yang tidak dapat diakses dan dipahami oleh orang-orang yang tidak memiliki otoritas; terlindungi secara ketat. Oleh karena itu, “lauh mahfuz” berkmakna pengetahuan yang tidak dapat diakses dan dipahami oleh orang lain; pengetahuan yang secara ketat terlindungi.

Mahw bermakna hapus; menghapus atau menghilangkan sesuatu. Itsbat berarti penegasan atau pengukuhan; menulis. Dengan demikian “lauh mahw wa itsbat” berkmana pengetehuan yang dapat dihapus dan ditambah; pengetahuan yang dapat berubah dari masa ke masa.

Kini Anda telah mengetahui makna literal “lauh mahfuz” dan “lauh mahw wa itsbat,” kini mari kita bahas apa yang dimaksud dari kedua terma ini dalam Islam.

Kita tahu bahwa pengetahuan Tuhan tidak akan pernah keliru. Dengan kata lain, tiada yang berubah dalam pengetahuan Tuhan. Atas alasan ini Tuhan menyebut ilmu-Nya sebagai “lauh mahfuz”. Redaksi ini menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan karena ilmu-Nya tidak pernah berubah. Ia senantiasa benar dan tidak perlu dihapus atau ditambah atau diganti.

“Ummu ‘l-kitab” merupakan nama lain yang digunakan untuk ilmu Tuhan. “Ummul Kitab” bermakna “buku dasar”, “induk segala buku.” Pengetahuan Tuhan disebut sebagai “buku dasar” artinya ilmu dasar; atau “induk segala buku.” Yang bermakna sumber pengetahuan lantarna hanya pengetahuan-Nya yang dapat disebut sebagai “pengetehuan yang sebenarnya.”

“Lauh mahw wa itsbat” merupakan nama yang diberikan Tuhan untuk ilmu para malaikat, para nabi dan para imam. Ilmu mereka, meski merupakan ilmu yang sempurna dan lengkap bagi seluruh umat manusia, namun ia masih kalah sempurna dibandingkan dengan ilmu Tuhan.

Nama-nama yang disebutkan di atas adalah bersumber dari ayat al-Qur’an, “Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh).” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:39)

Ummul Kitab ini disebut sebagai “lauh mahfuz” pada ayat, “Bahkan yang mereka didustakan itu ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfûzh.” (Qs. Al-Buruj [85]:21-22)

Karena pengetahuan para malaikat, para nabi dan para imam secara konstan disempurnakan, dilengkapi, oleh karena itu pengetahuan mereka disebut “lembaran yang dihapus dan ditulisi” Lauh mahw wa itsbat.”[25]

Tentang lauh wa itsbat ini akan disuguhkan pada bagian berikut ini.

Konsep Bada’; Bada’ dalam al-Qur’an

Konsep bada’ ini tampak dari banyak kisah dalam al-Qur’an yang menceriterakan bahwa Allah terkadang, dengan kasih dan kebijaksanaan-Nya, menyingkapkan sebagian dari rencana masa depan-Nya kepada para malaikat dan para nabi. Mereka diwartakan ihwal rencana Tuhan berkaitan dengan tingkatan tertentu, dan pengetahuan dari episode selanjutnya tidak diwahyukan kepada mereka. Sebelum menjelaskan teori ini lebih jauh, kami akan menyinggung ayat-ayat al-Qur’an sebagai contoh:

1. Kaum Nabi Yunus:

Pertama-tama kisah kaum Nabi Yunus. Allah Swt berfirman tentang kaum Yunus:

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat baginya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (Qs. Yunus [10]:98)

Kenyataan ini menggambarkan bahwa kaum Nabi Yunus telah menolaknya; dan hanya terdapat dua orang yang beriman kepadanya; salah satu dari mereka adalah orang yang bertakwa namun tidak disertai dengan pengetahuan, dan orang yang kedua adalah orang yang bertakwa lagi berilmu. Tatkala Nabi Yunus berdoa kepada Allah untuk menurunkan azab dan siksa kepada kaumnya atas kekafiran mereka, Allah menjanjikan hari tertentu azab tersebut diturunkan. Nabi Yunus beserta sahabat setianya meninggalkan kaumnya. Namun orang alim tersebut tinggal bersama kaumnya dan mencoba untuk memberikan peringatan kepada kaumnya. Ia berkata kepada mereka bahwa masih ada waktu untuk bertobat dari kekufuran, dan beriman kepada Allah dan nabi-Nya, Yunus dan kemudian berdoa kepada Allah untuk menjauhkan bencana tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan, anak-anak dipisahkan dari ibunya dan gembala dari induknya; setiap orang berpuasa, dan mereka semuanya keluar dari desa tersebut; mereka menangis, berdoa, bersujud kepada Allah dan memohon ampunan-Nya serta berdoa supaya Allah menjauhkan petaka tersebut. Langit dibalut dengan awan-awan hitam, siang menjadi malam, petir dan kilat menyambar-nyambar di angkasa. Nampak azab Tuhan akan menghapus seluruh umat Nabi Yunus. Untungnya mereka telah bertobat sebelum melihat azab; dan dengan demikian Tuhan, berkatkerahiman-Nya mengampuni mereka, dan karena doa, tangis dan jeritan mereka berlanjut, secara perlahan langit berubah menjadi cerah, mendung berlalu dan seluruhnya selamat.

Mereka menantikan Nabi Yunus kembali sehingga mereka dapat menjadi pengikutnya. Pada hari berikutnya, Nabi Yunus kembali dengan harapan melihat kota telah binasa. Namun, ia melihat seorang pengembala bergerak menuju ke gembalanya. Ia pikir Tuhan tidak memenuhi janji-Nya, lalu ia memutuskan untuk tidak masuk ke desa tersebut.

Di sini kita tidak akan menyebutkan seluruh bagian dari peristiwa tersebut. Apa yang kita ingin tunjukkan di sini bahwa Allah mengetahui sebelumnya bahwa kaum Nabi Yunus akan bertobat, menerima kebenaran dan beriman kepada Nabi Yunus dan Tuhannya; dan kemudian mereka terselamatkan. Namun Allah tidak mewahyukan seluruh peristiwa kepada Nabi Yunus. Nabi Yunus dikabarkan bahwa bencana akan menimpa kaumnya. Secara natural, ia berpikir bahwa bencana tersebut akan melenyapkan seluruh umatnya. Karena ia tidak diberitahu, ia tidak mengetahui bahwa sebelum datangnya bencana, umatnya akan bertobat dan mereka seluruhnya akan selamat. Jelas bahwa Allah mengabarkan kepada Yunus akan kejadian tersebut hingga tingkatan tertentu tanpa memberitahukannya kesimpulan dari kejadian tersebut.

Mengapa hal ini terjadi? Karena jika Nabi Yunus mengetahui bahwa bencana akan datang dan kemudian pergi, nasihat dan peringatannya tidak akan ada nilainya yang berisikan kekuatan ikhlas yang dapat melembutkan hati umatnya. Jika sahabat alim Nabi Yunus mengetahui bahwa bencana akan mendatangi mereka maka ia akan angkat kaki dari kota tersebut, ia tidak dapat memberikan peringatan kepada mereka sedemikian tulus dan kata-katanya tidak akan didengarkan. Adalah karena Allah, dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya, menghendaki mereka mendengarkan hikmah, Dia tidak mewahyukan seluruh kejadian masa depan kepada Yunus. Bukan karena Allah berkata dusta kepadanya atau tidak memenuhi janji-Nya. Dia tidak mengabarkan kepada Yunus bahwa umatnya akan binasa dengan peristiwa tersebut. Janji tetap dipenuhi. Tapi bukan janji untuk melenyapkan kaum. Bukan janji dari Allah – meski seluruh orang berpikir bahwa kaum akan dimusnahkan.

Kisah ini menunjukkan secara jelas bahwa Tuhan, karena hikmah dan kebijaksanaan-Nya, menahan pengetahuan ihwal adegan berikutnya dari Nabi Yunus. Yunus mengetahui seluruh rencana tersebut setelah rencana tersebut terlaksana dan berlaku.

2. Pengorbanan Nabi Ismail

Sekarang mari kita beralih kepada contoh lainnya. Nabi Ibrahim ditunjukkan dalam mimpinya bahwa ia menyembelih putranya atas perintah Tuhan. Karena hal itu berupa mimpi, ia harus telah melihat bagaimana ia membunuh Ismail. Ia harus telah melihat dirinya mengikat tangan dan kaki putranya, menutup matanya dan meletakkan pisau di leher putranya dan kemudian menekannya. Secara natural, dengan melihat mimpi ini, ia berpikir ia diperintahkan untuk membunuh putra satu-satunya, Ismail, dengan cara demikian. Oleh karena itu, ia membajakan hatinya untuk mengorbankan putra semata wayangnya.

Sang putra mendengar hal ini dan menyiapkan dirinya untuk dikorbankan demi ketaatannya kepada titah Allah. Bapak dan anak rela mengorbankan segalanya di jalan Allah. Nabi Ibrahim mengikat tangan dan kaki putra semata wayangnya dan memposisikannya dalam kondisi sujud; ia menutup matanya dan meletakkan pisau di atas leher sang anak lalu memotongnya. Setelah menyingkirkan tutup matanya, ia melihat Ismail tersenyum dan seekor domba telah terpenggal menggantikannya.

Nabi Ibrahim berpikir bahwa ia telah gagal dalam ujian tersbut. Namun ia telah melakukan apa yang dilakukannya dalam mimpi. Tentu saja, Allah Swt tidak mewartakan kepadanya hingga adegan terakhir. Karena sekiranya Ibrahim tahu bahwa Ismail akan diselamatkan atau Ismail tahu bahwa ia akan selamat, maka ujian tersebut tidak akan memiliki nilai dan arti sama sekali; tidak akan ada kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan kerelaannya mengorbankan segalanya di jalan Allah. Tuhan menunjukkan kepada Ibrahim dalam mimpinya hingga tingkatan tertentu; tidak mengabarkannya seluruh episode tersebut hingga akhir. Karena mereka tidak mengetahui hasil akhirnya. Ibrahim dan Ismail mampu menunjukkan, bagaimana relanya mereka memenuhi titah Allah bahkan pada tingkatan mengorbankan jiwa dan jiwa orang yang paling dikasihinya semata-mata demi Allah.

Jika mereka mengetahui hasil cerita tersebut semenjak permulaan, maka ujian tersebut tidak akan memiliki makna sama sekali.

3. Taurat diberikan kepada Nabi Musa

Contoh ketiga ini berkaitan dengan Nabi Musa dan pewahyuan Taurat. Nabi Musa diperintahkan untuk pergi ke Gunung Sinai, berpuasa selama tiga puluh hari dalam rangka persiapan untuk menerima lembaran-lembaran Taurat. Pada hari ketiga puluh, ia membersihkan giginya (bersiwak) dan pergi ke Gunung Sinai. Di sana ia ditanya oleh Tuhan mengapa ia membersihkan giginya. Ia menjelaskan bahwa lantaran ia hendak pergi ke sebuah tempat suci, ia pikir pantas dan layak baginya untuk berdandan dan merapikan diri. Tuhan berfirman kepadanya bahwa aroma mulut seorang yang berpuasa lebih semerbak baunya di hadapan Allah daripada bau Kesturi. Dan kemudian ia diperintahkan untuk kembali ke tempat tinggalnya dan berpuasa sepuluh hari lagi lalu pergi Gunung Sinai tanpa bersiwak. Kemudian pada hari keempat puluh ia diberikan Taurat.

Allah mengetahui sebelumnya bahwa Musa akan datang setelah ia bersiwak dan akan diperintahkan untuk berpuasa sepuluh hari lagi. Namun tidak Musa juga tidak Bani Israel yang diberitahu masalah ini; juga tidak Musa diberitahu sebelumnya bahwa ia adalah seorang pembangkang karena bersiwak pada hari ketiga puluh.

Ketika Allah merujuk kepada pengetahuan-Nya, Dia menjelaskan seluruh episode empat puluh hari tersebut bersama-sama:

“Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat sesudah) empat puluh malam, kemudian kamu menjadikan anak lembu (sebagai sembahanmu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:51)

Dan berkenaan dengan pengetahuan Musa, Dia berfirman tiga puluh hari dan sepuluh hari secara terpisah:

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhan-nya empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya, Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku dan perbaikilah mereka, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (Qs. Al-A’raf 7:142)

Alasan tidak memberikan informasi lebih lanjut adalah kelakuan Bani Israel yang karena penundaan sepuluh harinya, meninggalkan ibadah kepada Allah dan beralih menyembah berhala. Kisah ini diilustrasikan dengan indah dalam al-Qur’an berikut ini:“Allah berfirman, “Sesungguhnya kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.” Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Musa berkata, “Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Apakah waktu perpisahanku denganmu terasa lama bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu sehingga kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?” Mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, lalu kami melemparkannya.” Dan demikian Samiri mempengaruhi. Kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Maka mereka berkata (kepada sesamanya), “Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa.” (Qs. Thaha [20]:85-88)

Coba bayangkan, seluruh komunitas yang terdiri dari ribuan sahabat nabi ulul azm, di tengah hadirnya khalifah dan penggantinya, Harun, beralih dari mengikuti agama yang benar menjadi penyembah berhala, hanya karena penundaan Musa selama beberapa hari! Ujian ini akan gagal sekiranya Allah mewartakan kepada Musa bahwa ia harus tinggal selama empat puluh hari; atau jika ia diberitahu sebelumnya untuk tidak bersiwak pada hari ketiga puluh.

Apa yang Dimaksud dengan Bada’

Ketiga contoh yang diambil dari al-Qur’an ini adalah memadai untuk menunjukkan bahwa Allah mengutarakan rencananya kepada para malaikat, nabi atau imam hanya hingga tataran yang bermanfaat bagi umat manusia atau yang diperlukan untuk membuat ujian yang diberikan memiliki nilai dan arti. Ketika tiba masanya malaikat, nabi dan imam memikirkan bahwa rencana mendekati akhir, sebuah cerita baru mengembangkan rencana tersebut atau membawanya hingga tak segera berakhir. Episode baru ini disebut sebagai bada’ yang dalam bahasa Arab bermakna “tampil.”

Di sini kita tidak perlu menegaskan bahwa tampilan atau klarifikasi ini tidak berhubungan dengan Allah yang mengetahui segala sesuatunya semenjak azal. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan makhluk-Nya yang kemudian mengetahui akhir dari rencana Tuhan yang tidak mereka ketahui sebelumnya.

Dan juga atas alasan ini pengetahuan para malaikat, nabi dan imam disebut sebagai lauh mahw wa itsbat (lembaran penghapusan dan penulisan), sementara pengetahuan Tuhan disebut sebagai lauh mahfuz (lembaran yang terlindungi) yang posisinya berada di atas perubahan dan penggantian.

Manfaat Bada’

Terdapat banyak alasan untuk pewahyuan parsial ini. Beberapa alasan tersebut dapat disebutkan di sini. (pada tiga kisah al-Qur’an yang disebutkan di atas, Anda dapat memperoleh pengetahuan tentang dua kegunaan bada’.)

1. Bada’ membantu para hamba Allah untuk membuang keyakinan salah mereka dan kembali ke jalan yang benar, sebagaimana hal ini terjadi pada kasus umat Nabi Yunus As.

2. Bada’ membantu manusia dalam ujian individual dan kolektif, sebagaimana hal ini dapat dijumpai pada kasus Nabi Ibrahim dan Ismail As, dan Bani Israel.

3. Karena para malaikat tidak pernah yakin atas rencana dari kejadian yang dikabarkan kepada mereka sebagai rencana final, mereka senantiasa mencari bimbingan dari Allah. Dengan demikian mereka tidak pernah merasa independen dari bimbingan dan perintah-perintah Allah.

4. Demikian juga, para nabi dan imam tidak pernah berpikir bahwa mereka telah mengetahui segala sesuatu yang harus diketahui. Nabi Muhammad Saw diajarkan untuk senantiasa berdoa:“Tuhanku! Tambahkan bagiku ilmu.” (Qs. Thaha [20]:114) Imam Zainul Abidin As berkata, “Sekiranya tidak ada sebuah ayat dalam al-Qur’an, aku dapat menyebutkan seluruh peristiwa hingga hari Kiamat.” Ketika ditanya, “Ayat yang mana?” Ia membaca:“Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki.” ( (Qs. Ar-Ra’ad 13:39).[26] Ayat ini telah dijelaskan pada awal-awal pembahasan ini. Harus disebutkan di sini bahwa banyak kali Allah mengabarkan para malaikat, nabi dan imam tentang kejadian di masa datang, mewartakan kepada mereka dengan jelas bahwa warta itu merupakan kata pamungkas. Dalam kasus semacam ini tidak terdapat perubahan dari rencana tersebut dan tiada penghapusan dan penambahan.

5. Manusia tidak pernah tahu apa yang akan berlaku pada mereka di masa mendatang. Oleh karena itu mereka akan senantiasa memohon pertolongan dan kemurahan Allah. Hal ini akan memberi manfaat bagi mereka dalam kehidupan dunia ini atau akhirat kelak.

Bagian Ke-6

Nasib dan Takdir Manusia

Hak-hak Prerogatif Tuhan

Telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa terdapat beberapa aspek dalam kehidupan kita yang berada di luar kekuasaan dan kehendak kita. Sebuah contoh proses perawatan dan penyembuhan dari sakit; dan ditunjukkan bahwa ketika kita menjalani proses perawatan, proses perwatan tersebut berada dalam kekuasaan kita, namun untuk mendapat kesembuhan hal itu tidak berada dalam wilayah perbuatan kita.

Semenjak lahir hingga wafat, terdapat ratusan kondisi yang berada di luar kekuatan kita, yang berada di bawah kendali mutlak Allah Swt. Seorang manusia lahir dengan sehat dan dalam lingkungan keluarga yang terdidik; yang lain dalam keluarga badui yang berperadaban primitif. Secara natural, manusia yang pertama lebih memiliki kesempatan untuk menikmati kesejahteraan dan perkembangan intelektual ketimbang manusia yang kedua. Seorang manusia yang sehat dan kuat; yang lainnya sakit secara kronis. Seseorang lahir dengan buta, yang lainnya dengan mata yang sehat. Secara natural, seseorang dapat lebih banyak bekerja ketimbang yang lain. Seorang manusia yang hidup hingga delapan puluh tahun, manusia lainnya meninggal selagi berusia muda. Yang pertama memiliki waktu yang cukup untuk memenuhi rencana-rencananya, sementara yang kedua tidak diberikan waktu bahkan untuk merumuskan segala rencana.

Contoh-contoh ini dan banyak lagi contoh lainnya dari kehidupan kita adalah berada di luar kendali dan kontrol manusia. Masalah ini sepenuhnya berpulang pada “takdir Ilahi” yang disebut sebagai qada’ (nasib) dan qadar (ketentuan Ilahi).

Mengapa Allah memilih sebuah kondisi kehidupan tertentu bagi seorang manusia? Hal ini merupakan teka-teki yang tak terjawab.

Banyak orang yang mencoba untuk menemukan jawaban atas teka-teki ini. Namun semuanya tanpa hasil. Tiada satu pun teori yang mampu memecahkan masalah ini walau sebagian. Ketika segalanya telah disebutkan dan dilakukan, satu-satunya jawab yang tersedia yang terdapat dalam al-Qur’an:“Dia tidak layak dipertanyakan tentang apa yang diperbuat-Nya (lantaran seluruh perbuatan-Nya sejalan dengan hikmah), dan perbuatan merekalah yang layak dipertanyakan.” (Qs. Al-Anbiya [21]:23) Mungkin atas alasan ini Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As berkata tentang qadar Tuhan “Ia sedalam samudera; janganlah engkau menyelam di dalamnya.”[27]

Namun, kita dapat yakin bahwa apa saja yang ditentukan adalah karena beberapa alasan yang baik. Apa yang menjadi dasar penegasan ini? Mari kita lihat pada hal-hal yang kita mengerti, seperti sistem yang berlaku di jagad raya, koordinasi di antara pelbagai kekuatan tabiat, sistem biologis kita dan pengaturan yang telah dibuat di muka bumi ini sehingga kita dapat hidup aman sentosa. Kesemua hal ini meyakinkan kita bahwa Sang Pencipta tidak melakukan sesuatu tanpa alasan yang baik. Setelah manifestasi hikmah dan pengetahuan-Nya ini, jika kita menjumpai beberapa aspek dalam hidup kita yang tidak mampu kita pahami, tidak begitu pelik untuk menduga bahwa hal-hal seperti ini juga mesti memiliki alasan-alasan yang benar.

Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya baik untuk menyegarkan ingatan kita melalui artikel sebelumnya ihwal Tuhan Tidak Melakukan Perbuatan Tanpa Tujuan. Di sini kita tidak berada pada posisi untuk mengetahui setiap alasan atau tujuan dari segala sesuatu di muka bumi ini; bahwa Allah melakukan apa saja yang paling bermanfaat untuk kemaslahatan umat manusia; bahwa jika kita diberitahu tujuan-tujuan atau alasan-alasan atas aspek-aspek ini dalam kehidupan kita, kita akan mengakui bahwa aspek-aspek tersebut sangatlah patut dan tepat untuk diadakan.

Ukuran Takdir

Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar [54]: 49) Jadi, sesuai dengan ukuran dan rencan-Nya sendiri Allah menciptakan segala sesuati. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, kita dibenarkan untuk meyakini bahwa ada alasan yang baik untuk setiap aspek dari kehidupan invidual seseorany yang direncanakan oleh Allah, meski orang tersebut boleh jadi tidak memahaminya sendiri.

Mari kita perhatikan sebuah jam tangan. Beberapa bagian dari jam tangan terbuat dari emas, yang lainnya dari baja; yang lainnya dari kaca atau yakut. Pada jam tangan terdapat sebuah lempengan yang datar; seperti panah; pegas; poros; dan beragam jentera yang kesemuanya ini berbeda ukurannya. Muka arloji berwarna putih, angkanya berwarna hitam, jarum pendeknya berwarna merah dan jarum panjangnya berwarna hitam. Angka-angka yang terdapat pada jam mulai dari angka satu hingga angka dua belas. Pendeknya, terdapat beragam jenis, warna, bentuk untuk membuat sebuah jam tangan bekerja.

Dapatkah jam tangan ini bekerja jika seluruh komponennya bentuk, ukuran dan desainnya sama dan satu? Dapatkah jarum pendeknya mengeluh untuk mencari pembenaran mengapa ia diwarnai hitam sementara jarum panjang dicoraki merah? Dapatkah angka 1 mengeluh mengapa ia tidak diberi angka 12? Dan jika seluruh angka-angka tersebut diletakkan pada satu tempat dan posisi yang sama, dapatkah orang-orang mengetahui waktu dari jam tersebut?

Jika sebuah jam tangan kecil tidak dapat bekerja tanpa adanya ragam jenis bagian, apakah ada alasan yang rasional untuk meyakini bahwa umat manusia dapat melangsungkan hidupnya tanpa adanya perbedaan jenis orang-orang dari sisi warna kulit, pandangan, kapasitas dan kemampuan?

Dan mari kita lihat kondisi yang menuntut bahwa tidak seharusnya ada penyakit, kecacatan, kesenjangan financial di antara manusia; orang-orang harus setara memiliki kekuatan, intelegensi dan kekayaan.

Kini mari kita lihat apa yang dapat diprediksikan di masa datang dari kondisi semacam ini. Kondisi dimana tiada seorang pun yang bergantung kepada orang lain. Tiada seorang pun yang akan melakukan pekerjaan, karena mereka telah beranggapan bahwa setiap orang akan mendapatkan uang yang banyak sebagaimana yang lainnya. Lalu mengapa orang harus bekerja ketika kesehatan, usia-hidup, kekayaan dan status sosial telah dijamin? Dunia akan tetap pada kondisi ketikan Adam datang ke muka bumi ini untuk pertama kalinya. Tidak akan ada perbaikan, kemajuan dan bahkan pakian yang terbuat dari kayu sekalipun untuk menutupi tubuh manusia! Dunia akan seperti menyuap anak kecil yang tidak melakukan apa pun untuk memenuhi kebutuhannya. Harus diingat bukan atas tujuan ini kita diciptakan. Kita diciptakan untuk sebuah tujuan yang sangat tinggi, bukan sekedar makan, minum dan melahirkan keturunan.

Jika harus ada ujian, ia akan terbatas pada beberapa kesulitan saja. Dan kesulitan itu berbeda dari orang ke orang. Ujian yang dihadapi oleh setiap orang berbeda satu dengan yang lain. Dan karena keragaman ujian inilah kita jumpai ragam problem dan masalah dalam kehidupan kita.

Lalu dimana Kesetaraan dan Keadilan?

Pertanyaan: Jika apa yang Anda katakan ada benarnya, maka hal itu berarti bahwa tidak terdapat kesetaraan antara satu orang dengan yang lainnya. Dimana kesetaraan yang dibangga-banggakan Islam itu?

Jawaban: Apa yang kami maksud dengan “kesetaraan” tidak bermakna bahwa seluruh manusia setara dari sudut pandang kesehatan dan kekuatan; juga tidak berarti bahwa mereka semua setara dan seukuranya tingkat intelegensinya; juga tidak bermakna bahwa antara pria dan wanita secara fisik dan fungsi biologis setara. Apa yang kami maksud dengan “kesetaraan” adalah kesetaraan di hadapan hukum. Kaya dan miskin, kuat dan lemah, seluruhnya setara di hadapan agama; seluruh strata dan lapisan masyarakat harus mengikuti aturan yang sama dan seluruhnya ditata dengan kode etik, hukum sipil dan criminal yang sama. Tiada yang tinggi juga tiada yang rendah, tiada yang diunggulkan atau direndahkan di hadapan hukum. Dengan kata lain bahwa setiap orang dalam Islam dapat menerima penghormatan dan kedudukan yang tinggi tanpa perbedaan asal-usul, warna kulit atau suku. Kriteria penghormata dalam Islam bukan kekayaan juga bukan kekuatan, bukan kelahiran juga bukan warna kulit. Satu-satunya kriteria adalah “karakter takwa.” Allah Swt berfirman:“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (Qs. Al-Hujurat 49:13)

Pertanyaan: Tapi dimana keadilan Tuhan ketika Dia menganugerahkan seseorang mata yang sehat dan pada saat yang sama menjadikan seseorang tuna netra?

Jawab: Anda telah diberitahu sebelumnya bahwa kita di dunia ini untuk menjalankan ujian. Sang penguji adalah Allah Swt. Merupakan hak prerogatifnya untuk memutuskan orang yang mana yang harus diuji. Keadilan sebenarnya terletak pada bahwa sang penguji tidak membebankan seseorang sebuah ujian yang berada di luar kemampuannya sendiri. Allah Swt tidak memberikan sayap kepada kita untuk dapat terbang; dan dengan demikian, tidak meminta kita untuk terbang di udara seperti unggas yang dapat terbang. Di sinilah keadilan. Jika Dia meminta kita untuk terbang seperti burung (tanpa memberikan kita saya), maka permintaan ini tentu merupakan permintaan yang tidak adil. Namun dapatkah kita mengklaim bahwa lantaran Dia tidak memberikan saya kepada kita (sementara burung memilikiknya) Tuhan telah berbuat salah kepada kita? Tidak. Hal ini merupakan hak prerogatif Tuhan untuk memutuskan siapa yang harus diuji. Dan merupakan keadilan dan rahmat-Nya sehingga Dia tidak menuntut dari seseorang lebih dari kemampuannya. Jika Dia menciptakan manusia tanpa tangan, Dia pada saat yang sama mengecualikan orang tersebut dari jihad, wudu dan tayammum. Jika orang seperti ini diminta untuk angkat senjata pergi ke medan tempur tanpa tangan, maka kita memiliki hak untuk komplain dan protes. Tapi sepanjang yang berkaitan dengan tanggung jawab seorang manusia disesuaikan dengan kemampuannya, tiada yang dapat berkata bahwa Tuhan telah berlaku tidak adil.

Kita dapat menyimpulkan topik dengan beberapa poin berikut ini:

1. Dunia ini tidak akan dapat bekerja jika seluruh manusia memiliki kekuatan, kemampuan dan usia hidup yang sama.

2. Dunia yang dapat bekerja menuntu orang-orang dengan kemampuan, kekuatan dan kecakapan yang berbeda.

3. Seluruh manusia sama di hadapan agama dan hukum-hukum agama.

4. Setiap orang bertanggung jawab sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dan inilah yang satu-satunya dituntut oleh keadilan.

Imam Ja’far Shadiq As ditanya tentang qada dan qadar. Beliau bersabda: “Tatkala Allah Swt mengumpulkan para hamba-Nya pada hari Kiamat, Dia akan bertanya kepada mereka ihwal yang diamanahkan kepada mereka ketaatan kita terhadap syariah yang berada dalam kekuasaan kita; namun Dia tidak akan menanyakan tentang hal yang telah ditakdirkan bagi mereka, yaitu kondisi-kondisi yang berada di luar kendali dan kekuasaan kita.[28]

Tadbir dan Takdir

Telah disebutkan pada bagian kedua bahwa kendati kekuasaan dan kesempatan untuk melakukan perbuatan diberikan oleh Allah Swt, tanggung jawab seutuhnya terletak di pundak kita karena bebas memilih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tersebut dengan kebebasan dan ikhtiar yang kita miliki. Dengan demikian, meski alat dan media perbuatan kita disediakan oleh Allah Swt, pilihan terakhir berada di tangan kita.

Menarik untuk diperhatikan bahwa pada tataran tertentu dalam masalah ukuran takdir, kebalikannya adalah benar. Artinya selagi pendahuluan-pendahuluan disiapkan oleh manusia, keputusan final berada di tangan Allah Swt. (perhatikan redaksi “pada bilangan tertentu”). Redaksi ini digunakan karena keputusan Allah tidak selamanya bergantung kepada perbuatan-perbuatan kita. Dalam konteks ini, perbuatan dan perencanaan kita dikenal sebagai tadbir, dan keputusan Allah Swt dikenal sebagai takdir.

Di sini kami akan berikan satu contoh sederhana, jika kita ingin menuai hasil tanaman, kita harus membajak tanah, menebar benih dan menyalurkan air ke tanaman-tanaman, menyiang rerumputan dan tetap mengawasi tanaman tersebut.

Masih, setelah melakukan seluruh pekerjaan penting tersebut, kita tidak dapat yakin bahwa kita dapat menunai tanaman. Badai, kebakaran atau sengatan kilat dapat menggagalkan proses produksi tanaman tersebut; kelompok geng bersenjata boleh jadi datang menyerang dan menjarah; keadaan-keadaan yang boleh jadi memaksa kita untuk menjual kebun itu sebelum masa panen tiba, demikian seterusnya.

Dengan demikian meski tingkat pendahuluan dipersiapkan oleh kita, namun hasil akhirnya berada di tangan Allah Swt.

Dua masalah yang menarik para pembaca setiap harinya dan berada langsung di bawah kendali Allah Swt adalah masalah mati dan hidup, dan jalan-jalan untuk mencari penghidupan. Pada bagian berikut ini, beberapa poin akan disinggung dalam dua subjek tersebut.

Masalah hidup dan mati

Allah Swt berfirman:"Dia-lah Yang menciptakanmu dari tanah, sesudah itu Dia menentukan ajal (masa hidup tertentu supaya kamu dapat menggapai kesempurnaan ciptaanmu), dan ajal yang pasti hanya ada pada sisi-Nya (dan hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya). Kemudian (dengan ini semua) kamu (musyrikin) masih ragu-ragu (tentang keesaan dan kekuatan-Nya)."( Qs. Al-An’am 6:2) dalam ayat yang lain disebutkan:“Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfûzh). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Qs. Fathir [35]:11)

Kedua ayat ini, dan terkhusus yang belakangan, menunjukkan bahwa jarak hidup seseorang adalah cenderung panjang atau pendek mengikut kehendak Tuhan. Dan ayat pertama berbicara “ajal” dan “ajal yang ditentukan” yang berada di tangan Allah Swt. Apa maksud dari kedua redaksi ini?

Gagasan ini dapat mudah dipahami dalam sorotan dua kepingan sebelumnya (lihat bag. Empat). Misalnya, Allah memutuskan bahwa Zaid akan hidup hingga seratus tahun; namun jika ia berlaku buruk terhadap kerabatnya, jarak usia hidupnya akan berkurang, katakanlah, selama 30 tahun dan ia akan meninggal pada usia 70 tahun. Perintah ini akan diturunkan kepada malaikat pencabut nyawa.

Malaikat maut tidak mengetahui bagaimana Zaid berlaku terhadap keluarga dan kerabatnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat mengetahui apakah Zaid akan hidup 100 tahun atau meninggal dunia pada usia 70 tahun.

Kini anggaplah Zaid berlaku buruk terhadap keluarganya. Pada akhir usia 70 tahun, malaikat maut harus mendapatkan panduan dari Allah Swt tentangnya. Allah berfirman kepadanya untuk menghapus usia 100 tahun, dan menggantikannya dengan usia 70 tahun. Dan Zaid pun meninggal dunia. (lihat, al-Majlisi, Biharu 'l-Anwar, jil. 4, hal.121)

Dengan demikian pengetahuan atau informasi malaikat maut secara konstan senantiasa terupdate. Hal ini ditunjukkan pada panjang atau pendeknya usia seseorang. Dan hal ini merupakan pengetahuan malaikat maut yang disebut sebagai “ajal” dalam ayat yang pertama. Namun bagaimana dengan pengetahuan Tuhan? Allah mengetahui sebelumnya bahwa Zaid akan meninggal dunia pada usia 70 tahun. Tiada perubahan dalam pengetahuan dan ilmu Tuhan. Usia hidup seseorang secara actual hanya diketahui oleh Tuhan; dan usia hidup yang disebutkan pada ayat pertama merupakan sebuah “ajal yang telah ditentukan.”

Pertanyaan: Mengapa Allah tidak memutuskan usia secara tetap bagi seluruh umat manusia?

Jawab: Sepanjang berurusan dengan manusia, Allah Swt telah mengatur segalanya untuk satu tujuan: untuk membantunya mencapai keutamaan, kesempurnaan dan menjadi seorang hamba yang bertakwa kepada Allah Swt. Persis atas alasan ini telah diwartakan kepadanya bahwa usia hidupnya dapat dipengaruhi oleh perubatan-perbuatannya. Tatkala seorang manusia tahu bahwa, misalnya, dengan berbuat baik dan bersikap pemurah kepada keluarganya, ia akan hidup lebih lama di dunia ini (dan bahwa ganjaran yang segera ini berbeda dengan ganjaran yang akan ia dapatkan di akhirat kelak) secara natural ia akan mencoba untuk berbuat baik kepada keluarga dan kerabatnya. Dan kemudian akan menjadi hamba yang bertakwa kepada Allah Swt.

Rezki dan Pencarian Hidup:

Berusaha secara keras untuk mencari nafkah adalah berada dalam wilayah aktifitas-aktifitas kita, hasil akhirnya berada di luar kekuasaan kita. Kita lihat banyak orang berusaha keras semenjak fajar menyingsing hingga tenggelamnya matahari untuk mencari penghidupan namun mereka melewati kehidupannya secara tetap dalam keadaan miskin dan membutuhkan.

Mengapa demikian? Allah Swt berfirman:“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.” (Qs. Al-Ra’ad 13:26)

Sama dengan apa yang kami sebutkan tentang usia hidup manusia, rezki juga dapat digolongkan dalam dua bagian: Misalnya, Allah Swt memberitahu para malaikat – bahwa jika Zaid berusaha keras ia akan mendapatkan Rp. 10.000, namun jika ia bermalas-malasan dan tidak berusaha keras ia akan memperoleh Rp. 5.000,- Allah Swt tahu apakah Zaid akan berusaha atau tidak; Dia mengetahui bahwa apakah pada akhirnya ia akan memperoleh Rp. 10.000,- atau Rp. 5.000,-. Namun Zaid sendiri tidak tahu demikian juga para malaikat yang bertugas membagikan rezeki, tidak mengetahui hasil akhir dari penghasilan Zaid. Tujuan untuk menjaga setiap orang dalam ketidaktahuan ini adalah karena ketidaktahuan ini manusia akan senantiasa berusaha keras untuk bekerja bertungkus lumus untuk memperoleh pendapatan yang banyak; ia juga akan mencoba sebanyak harapannya, karena ia tidak tahu apakah ia telah mencapai tingkatan akhir dari rezekinya atau tidak. Ia tidak tahu apakah dimana kehidupan lebih baik bagiyna tersimpan. Ia akan tetap aktif dan penuh ambisi, secara tetap mencari kehidupan yang lebih baik.

Sesuai dengan ayat al-Qur’an dan karya-karya ulama, saya telah sampai pada kesimpulan bahwa Allah Swt telah menetapkan sebuah batasan maksimum untuk kehidupan setiap orang. Setakat apa pun ia berusaha, ia tidak akan mampu melewati batasan maksimum tersebut. Karena batasan maksimum tersembunyi di hadapan mata kita dan, pada kenyataannya, bahkan di hadapan para malaikat, kita tidak dapat atau setidaknya tidak duduk berpangku tangan tanpa ada usaha untuk perbaikan kondisi keseharian kita.

Juga, telah diletakkan kepada kita sebuah pilihan apakah kita ingin mencapai tujuan tersebut dengan cara legal atau melalui cara ilegal. Jika kita mentaati perintah-perintah Allah dan ajaran-ajaran agama, kita akan mencapai batasan yang diidamkan, dan pada saat yang sama, akan memperoleh rahmat Allah Swt di hari Kiamat. Jika kita memilih jalan illegal, boleh jadi kita mendapatkan rezeki tersebut; namun jatah rezeki halal kita akan dikurangi sedemikian banyak dan dengan memilih jalan yang salah, kita akan membuat diri kita patut untuk mendapatkan hukuman Allah Swt di hari Kiamat.[29]

Harus diingat bahwa dalam Islam sebuah hal yang halal akan menjadi tidak halal jika diperoleh dengan jalan-jalan haram. Dalam Islam, tujuan tidak menghalalkan cara. Tidak dapat diingkari bahwa jalan-jalan halal terkadang tampak lambat, dan dengan demikian orang-orang yang ingin lekas kaya pada akhirnya memilih jalan yang haram. Namun taktik demikian tidak banyak menghasilkan manfaat. Kisah berikut ini akan menjelaskan secara terang poin yang dimaksud:

Imam ‘Ali As berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat. Ia meminta kepada seseorang untuk berdiri menjaga kudanya. Ketika ia keluar, ia mempunyai dua Dirham di tangannya untuk ia berikan kepda orang tersebut sebagai ganjaran untuknya. Namun orang tersebut tidak kelihatan di tempat itu. Imam ‘Ali mendekat kepada kuda dan mendapatkan tali kekang kuda tersebut telah hilang. Ia memberikan dua Dirham tersebut kepada orang lain untuk membeli tali kekang yang lain. Orang tersebut pergi ke pasar. Ia melihat seseorang menjual sebuah tali kendali dan membeli darinya seharga dua Dirham. Ketika Imam ‘Ali melihat tali kendali tersebut, ia mengenali tali tersebut. Tali kekang tersebut adalah kepunyaannya yang telah dicuri. Tali kekang itu telah dicuri oleh orang yang diminta menjaga kuda tersebut. Imam ‘Ali bermaksud untuk memberikan penjaga itu dua Dirham yang sama sebagai ganjaran yang menjadi sah dan halal baginya. Namun ketidaksabaran ini telah membuatnya menjadi seorang pencuri dan tidak mendapatkan apa-apa selain dua Dirham yang sama. Kerisauannya tidak mengangkat upahnya sama sekali dan membuatnya menjadi seorang penjahat.

Doa dan Takdir Ilahi

Kini Anda tahu bahwa pengetahuan yang diberikan kepada malaikat sering kondisional. Misalnya, mereka dikatakan oleh Allah bahwa “Jika Zaid melakukan pekerjaan ini, ia akan bahagia; dan jika ia memilih pekerjaan itu ia akan merugi. Jika ia pergi ke dokter A, segera ia akan sembuh dari penyakitnya; namun jika ia pergi ke dokter B penyakitnya akan bertambah.” Salah satu syarat yang paling penting untuk mencapai kebahagiaan, kesuksesan dan kesejahteraan adalah doa. Jika Zaid berdoa kepada Allah Swt dan meminta pertolongan-Nya, kesulitan yang ia dihadapinya akan terangkat. Jika ia tidak meminta pertolongan kepada Allah Swt, ia akan dibiarkan menderita. Dengan demikian Allah Swt berfirman:“Katakanlah (Wahai Nabi) Sekiranya kalau bukan karena doamu kepada-Nya, Tuhanku tidak akan memperdulikanmu.” (Qs. Al-Furqan [25]:77)

Sebagian orang memahami secara keliru tentang doa. Mereka berpikir bahwa lantaran Allah mengetahui apa yang baik buat kita, tiada perlunya lagi untuk meminta pertolongan atau bantuan-Nya; tiada perlunya kita berdoa. Mereka berkata bahwa Allah mengetahui apa yang terbaik bagi Zaid dan Dia telah memutuskan berapa banyak yang ia peroleh atau misalnya, apakah ia akan sembuh dari penyakitnya atau tidak. Oleh karena itu, apa perlunya berdoa? Apa tujuan doa itu?

Orang-orang seperti ini tidak memperhatikan bahwa boleh jadi Allah telah membuat pendapatan atau kesehatan Zaid bergantung pada doanya. Boleh jadi Dia menitahkan para malaikatnya untuk menambah pendapatan Zaid jika ia berdoa kepada Allah Swt supaya pendapatannya meningkat! Boleh jadi syarat yang diperlukan untuk kesembuhannya dari penyakit yang diderita adalah jalan perawatan tertentu berupa doa yang tulus kepada Allah Swt. telah disebutkan dalam beberapa hadis bahwa salah satu yang berpengaruh dalam kehidupan manusia adalah doa. Hal lain yang penting adalah usaha dan kerjanya. Kita seharusnya tidak pernah menimalkan pengaruh dan pentingnya doa, atau pengaruh dan pentingnya kerja keras.

Tentu saja, jika seseorang mencapai usia atau penghidupan maksimal, atau jika, misalnya, penyakitnya “diputuskan” tetap berlanjut, tiada jumlah doa atau usaha atau perawatan yang dapat berguna baginya. Namun, poin yang harus diingat adalah bahwa tiada seorang yang tahu apa “yang diputuskan” berkenaan dengan usianya, penghidupan atau kesehatannya. Oleh karena itu, kita harus berusaha sekeras mungkin untuk memperbaiki kondisi dan keadaan kita.

Tawakkal dan Takdir Ilahi

Di samping doa, tawakkal juga merupakan amalan yang sangat dianjurkan dan dipuji. Tawakkal bermakna “menyandarkan urusan kepada seseorang.” Allah Swt berfirman:"Dan bertawakkallah kepada Allah, dan cukuplah Allah sebagai pelindung.” (Qs. Al-Nisa [4].81)

Bagaimanapun, menyerahkan kepercayaan kepada Allah Swt tidak seharusnya menjadi sebuah dalih bagi kita untuk bersikap malas. Nabi Saw bersabda: “Tawakkal bermakna bahwa engkau harus mengikat unta dan kemudian Anda dapat disebut bahwa Anda telah bersandar kepada Allah bahwa Dia akan melindungi untamu. Engkau tidak dapat bersandar semata-mata kepada tali, karena banyak unta yang dicuri dengan tali. Namun engkau tidak boleh melalaikan tali karena dengan mengikat unta dengan tali merupakan bagian dari tawakkal. “

Inilah ruh dari tawakkal. Kita harus mencoba yang terbaik dari kita dan kemudian bersandar kepada Allah Swt bahwa Dia akan menjadikan usaha kita berhasil. Adalah dusta untuk duduk berpangku tangan dan berkata bahwa Allah Swt akan mengerjakan seluruh urusan kita. Dia berfirman dalam al-Qur’an:“Dan bahwa seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya?” (Qs. Al-Najm [53]:39)

Standar tertinggi tawakkal diperkenalkan tatkala Amirul Mukminin ‘Ali As bertanya kepada beberapa orang malas tentang siapa diri mereka. “Kami adalah orang-orang yang bersandar (bertawakkal) kepada Allah;” jawab mereka. Imam ‘Ali bertanya: “Bagaimana kalian bersandar kepada Allah” Mereka menjawab: “Kami memakan makanan ketika mendapatkan makanan dan bersabar apabila kami tak mendapatkannya.” Imam 'Ali menukas: “Iya, demikianlah tabiat seekor anjing.” Mendengar jawaban ini, mereka menjadi bingung. Lalu mereka meminta penjelasan darinya ihwal makna tawakkal yang sebenarnya. Imam ‘Ali berkata: “Ketika kita memperoleh nikmat, kita memberikannya kepada yang lain; ketika kita tidak memperolehnya, kita bersyukur kepada Allah.” Artinya kita harus berupaya keras untuk memperbaiki kondisi kita. Namun kita tidak seharusnya bersandar pada kekuatan dan ilmu kita sendiri. Kalian harus bersandar kepada Allah bahwa Dia yang akan membuat usahamu berhasil. Lalu jika engkau berusaha, coba bantu saudaramu dengan hasil dari usahamu. Dan jika engkau gagal, kalian harus bersyukur kepada Allah.

Kalian boleh jadi bertanya mengapa kalian harus bersyukur kepada Allah jika kalian tidak berhasil. Iya, kalian harus bersyukur kepada Allah karena sukses atau gagal bukan menjadi tanggung jawabmu. Kalian diharapkan untuk melakukan yang terbaik dan kalian telah melakukannya. Bersyukur kepada Allah bahwa engkau mampu menunaikan apa yang diharapkan darimu. Usahamu di sini yang berada dalam sorotan. Suskes atau gagal bukuan menjadi urusanmu. Sukses atau gagal itu berada dalam wilayah kekuasaan Tuhan. Bersandar dan bertawakkallah kepada-Nya bahwa Dia tidak akan membiarkan usahamu menemui kegagalan. Namun jika Dia, sesuai hikmah-Nya, tidak menganugerahkan kesuksesan kepadamu, bersyukurlah kepada-Nya karena engkau masih mampu menunaikan tugasmu. []