Bagian 3
Imamah
Perbedaan utama antara dua mazhab Ahlulbait dan mazhab-mazhab lainnya dalam Islam berkisar pada pada isu tentang imamah, atau suksesi awal Nabi Muhammad Saw. Mazhab Ahlulbait meyakini bahwa kedudukan imamah merupakan sebuah kedudukan ilahi artinya bahwa imam atau khalifah harus ditunjuk dan disebutkan oleh Allah Swt secara langsung, lantaran kedudukan ini memiliki signifikansi yang sama dengan kedudukan nubuwwah. Orang-orang diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti imam yang khusus setelah Nabi Muhammad Saw.
Mazhab lainnya berpandangan bahwa imamah ditentukan oleh syura (pemilihan) dan bahwa metode ini digunakan untuk menentukan pengganti (khalifah) bagi Nabi Saw. Namun, mazhab Syiah memandang bahwa konsep syura tidak benar-benar dipraktikkan. Ibnu Qutaibah menegaskan bahwa khalifah pertama dinominasikan oleh dua orang;
Ibnu Katsir mengatakan bahwa ia telah membatasi pencalonan khalifah pada Umar bin Khaththab dan Abu Ubadah bin Al-Jarrah, keduanya diturunkan dan dinominasikan, nominasi yang dinomorduakankan oleh Ma‘adz, Usaid, Bashir dan Zaid bin Tsabit.
Thabari meriwayatkan bahwa kaum Anshar menolak memberikan baiat di Saqifah (tempat berlangsungnya suksesi) dan mengumumkan bahwa mereka akan [ada yang terputus].
Khalifah Pertama dalam kitab-kitab sejarah tercatat berkata dalam pelantikannya: ―Ayyuhannas! Aku telah kalian pilih sementara aku bukanlah yang terbaik di antara kalian.
Sejarawan Ibnu Abil Hadid Al-Mu‘tazili menukil bahwa Khalifah Kedua mengakui perannya dalam mendramatisasi Saqifah ketika ia kemudian mendeklarasikan bahwa baiat kepada Khalifah Pertama merupakan sebuah kesalahan (faltah). Akan tetapi, Allah telah menghindarkan kaum Muslimin dari bencana besar.
Konsep syura juga tidak diimplementasikan ketika Khalifah Kedua menjabat sebagai khalifah karena Khalifah Pertama menunjuknya sebelum wafatnya.
Demikian juga konsep syura ini tidak ditunaikan ketika Khalifah Ketiga menduduki tahta khilafah karena ia dipilih secara nominal oleh lima orang tetapi intinya oleh satu orang, yaitu Khalifah Kedua, yang juga menunjuk dua gubernur untuk tetap berkuasa setelah wafatnya: Sa‘ad bin Abi Waqqash dan Abu Musa Asy‘ari.
Bukti Al-Quran bahwa Allah yang Mengangkat Imam
Banyak ayat Al-Quran menunjukkan kenyataan bahwa, sepanjang sejarah, Allah Swt sendiri yang memiliki hak untuk mengangkat seorang imam atau seorang khalifah bagi umat manusia.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” Tuhan berfirman,“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
(QS. Al-Baqarah [2]:30).
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”
(QS. Shad [38]:26).
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.”
(QS. Al-Baqarah [2]:124).
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
(QS. As-Sajdah [32]:24).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa tidak seorang pun yang memiliki hak untuk memangku jabatan kepemimpinan atau imamah. Satu-satunya orang yang memiliki hak untuk memangku jabatan imamah adalah orang yang Allah uji dan telah lulus dari ujian Allah.
Al-Quran – khusus pada surah Al-Baqarah (2):124 – menekankan secara tegas bahwa orang-orang zalim terlarang untuk memangku kepemimpinan atas orang-orang beriman. Dan juga, apakah sejarah menunjukkan bahwa perintah ini telah ditunaikan? Berapa banyak khalifah dan sultan pada masa Bani Umayah dan Abbasiyah merupakan khalifah dan sultan yang zalim, tidak mempraktikkan ajaran Islam, kendati mereka merupakan pemimpin kaum Muslimin?
Suksesi – khilafah atau imamah – dinisbahkan hanya kepada Allah kapan saja hal ini disebutkan dalam Al-Quran. Dalam Mazhab Ahlulbait, khilafah tidak hanya berarti kekuasaan temporal dan otoritas politik atas manusia, namun lebih penting dari semua itu. Otoritas ini harus berasal dari Allah karena Allah mengatributkan pemerintahan dan pengadilan hanya kepada diri-Nya. Delapan kategori dalam ayat-ayat Al-Quran menisbahkan aspek yang beragam dari pemerintahan Ilahiah:
Ayat-ayat tentang Kerajaan
Katakanlah, “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Ali Imran [3]:26).
Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja dan penguasa manusia. Sembahan manusia.”
(QS. An-Nas [114]:1-3).
Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).
(QS. Al-Maidah [5]:18)
Ayat-ayat tentang Pemerintahan (Hukumah)
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang hak (dari yang batil) dan Dialah sebaik-baik pemisah (antara yang hak dan yang batil).
(QS. Al-An‘am [6]:57).
Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) adalah kepunyaan-Nya.
(QS. Al-An‘am [6]:62).
Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah.
(QS. Asy-Syura [42]:10).
Ayat-ayat tentang Pengaturan
Katakanlah, “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya berada di tangan Allah.”
(QS. Ali Imran [3]:154).
Ingatlah, menciptakan dan mengatur (alam semesta) hanyalah hak Allah. Mahaberkah (dan Kekal) Allah, Tuhan semesta alam
. (QS. Al-A‘raf [7]:54).
Tetapi sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah
(QS. Ar-Ra‘ad [13]:31).
Dan tidaklah patut laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) perempuan yang mukmin memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
(QS. Al-Ahzab [33]:36).
Ayat-ayat tentang Wilayah
Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk
. (QS. Al-Maidah [5]:55).
Para mufasir (penafsir) Al-Quran sepakat bahwa ayat khusus ini berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib As yang memberikan cincinnya kepada seorang pengemis selagi ia dalam keadaan rukuk.
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah mereka berkata,“Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
(QS. An-Nur [24]:51);Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.
(QS. An-Nisa [4]:64);―Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu penentu dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
(QS. An-Nisa [4]:65).
Ayat-ayat tentang Mengikuti Nabi
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran [3]:31); Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).(
QS. Al-A‘raf [7]:3).
Ayat tentang Pilihan Allah
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya).
(QS. Al-Qashahsh [28]:68).
Ayat-ayat tentang Hukuman Tuhan
Dan Allah menghukum dengan keadilan. Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat menghukum dengan sesuatu apa pun.
Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al-Mu‘minun [40]:20).
Contoh-contoh dari ayat Al-Quran ini menunjukkan karakteristik pemerintahan yang hanya untuk Allah Swt. Kalimat yang sering terulang dalam konteks ini adalah ―a la lahu al-'amr wal-hukm" (Bukankah urusan (perintah) dan hukum adalah milik-Nya?) juga menggambarkan poin ini. Karakter yang penting dari kepemimpinan Allah adalah wilayah dan perintah, dan Dia anugerahkan keutamaan ini kepada siapa saja yang dikehendaki. Tabiat khilafah memberikan khalifah keistimewaan untuk menjadi seorang wali atas manusia dan kewajiban bagi setiap orang untuk menaatinya. Lantaran ketaatan dan kepasrahan mutlak hanya untuk Allah, hanya Allah yang memiliki hak untuk memindahkan kekuasaan dan otoritas ini kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Allah Swt berfirman,Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisa [4]:59).
Namun, jika seseorang memangku jabatan kepemimpinan dan menjadi seorang khalifah atau imam dengan kekuatan dan intimidasi, ia tidak memiliki kelayakan untuk menjadi seorang pemimpin kaum Muslimin yang sah. Logika sehat manusia mendikte bahwa imam atau khalifah yang menggantikan Nabi Saw harus ditunjuk dan diangkat oleh Allah. Karena Allah Swt menjadikan ketaatan kepada mereka setingkat dan selevel dengan ketaatan kepada-Nya dan kepada Nabi-Nya. Dengan demikian, tiada seorang pun yang berhak untuk menjadi khalifah Rasulullah Saw.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa sebagian orang memikul jabatan kepemimpinan dan khilafah selama masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah – namun, apakah ayat tentang ketaatan ini masih berlaku dan dapat diterapkan pada mereka? Akankah kaum Muslimin harus mengikuti para pemimpin ini secara membabibuta? Akankah Allah menyeru kepada kaum Muslimin untuk mengikuti seorang pemimpin yang korup dan penindas? Dalam beberapa hadis, pembenaran dijumpai bagi penguasa semacam ini untuk berkuasa dan memerintah kepada kaum Muslimin untuk mengikuti mereka. Imam Bukhari menukil dari Nabi Saw, ―Selepaskku, akan datang para penguasa, dan kalian akan mendapatkan penguasa yang baik dan penguasa buruk. Kalian harus mendengarkan keduanya. Barangsiapa yang merusak kesatuan seluruh jamaah akan dipandang murtad.
Hadis semacam ini tidak sesuai dengan Al-Quran yang berkata,Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan"
(QS. Hud [11]:113).
Al-Quran dengan jelas menegaskan bahwa orang-orang yang beriman seyogianya tidak mendukung juga tidak cenderung kepada seorang zalim sama sekali. Tiada jalan untuk membenarkan baiat atau menguasakan seorang zalim menjadi khalifah atau
pemimpin bagi kaum Muslimin. Dengan melakukan hal tersebut akan bertentangan dengan ajaran-ajaran Al-Quran.
Surah an-Nisa [4] ayat 59 tidak hanya memerintahkan orang-orang beriman untuk menaati 'ul ul-'amr atau wali yang sah (yang merupakan para imam maksum) tapi juga menegaskan kemaksuman mereka karena tiada orang yang buruk atau pelaku maksiat yang memiliki hak dari Allah untuk memikul amanah ini.[]