Meretas jalan Islam Muhamadi

Meretas jalan Islam Muhamadi0%

Meretas jalan Islam Muhamadi pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Rasulullah & Ahlulbait

Meretas jalan Islam Muhamadi

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Sayid Moustafa Al-Qazwini
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 9691
Download: 3641

Komentar:

Meretas jalan Islam Muhamadi
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 23 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 9691 / Download: 3641
Ukuran Ukuran Ukuran
Meretas jalan Islam Muhamadi

Meretas jalan Islam Muhamadi

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Meretas jalan Islam Muhamadi

 


Sayid Moustafa Al-Qazwini

Kata Pengantar

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar [39]:18)

Mazhab Syiah dan Sunni adalah mazhab yang membentuk dua sayap umat Islam. Kedua mazhab ini boleh jadi menjadi kendaraan umat untuk melesak terbang dan menunaikan tujuan-tujuan mulianya. Sebagaimana ungkapan salah seorang ulama, mereka yang berupaya untuk menimbulkan perpecahan di antara Sunni dan Syiah adalah bukan Syiah juga bukan Sunni.

Buku ini ditulis bertitik tolak dari premis ini. Buku ini seyogyanya mengklarifikasi beberapa pertanyaan dan penyidikan umum tentang konsep pemikiran dan pengamalan yang dipraktikkan dalam Mazhab Syiah. Mazhab Syiah dan Sunni berbeda secara utama dalam masalah ushul (prinsip) dan lebih banyak memiliki persamaan ketimbang perbedaan. Seluruh mazhab dalam Islam harus dihormati lantaran mazhab-mazhab tersebut memiliki saham dalam memandu manusia menuju jalan keselamatan.

Lantaran minimnya informasi, mazhab Syiah Imamiyah masih tetap menjadi misteri bagi kebanyakan kaum Muslimin. Sebagian kaum Muslimin telah mendapatkan ketenangan dalam menemukan kebenaran Syiah dari sumber-sumber yang dapat dipercaya. Namun demikian, musuh-musuh Islam telah menemukan jalan yang terbaik untuk menodai Islam dan mengacaukan kedamaian yang terjalin dalam tubuh kaum Muslimin. Musuh-musuh Islam ini senantiasa berusaha menyulut perpecahan dan sektarianisme di kalangan umat.

Karena itu, banyak sekali rumor negatif dan dibuat-buat tanpa dasar yang digunakan sebagaimana yang terdapat dalam buku-buku autentik Mazhab Syiah. Rumor-rumor ini memiliki dua sumber: Kebencian terhadap Islam yang terpendam dalam diri orang yang mendirikannya dan kebodohan orang-orang yang meyakini dan mendakwahkannya.

Buku yang hadir di hadapan Anda ini adalah seruan untuk mempersatukan kaum Muslimin lantaran persatuan bersumber dari sebuah pemahaman dari konsep pemikiran yang diyakini oleh masing-masing mazhab, bukan dengan merahasiakannya.

Sementara mayoritas ulama Syiah dan bahkan rata-rata orang umum memiliki banyak buku yang disusun oleh mazhab-mazhab lainnya dalam perpustakaan-perpustakan mereka. Sebagian kaum Muslimin lainnya meluangkan waktunya untuk membaca sumber-sumber orisinil pemikiran Syiah.

Penulis telah berusaha menghadirkan dalam buku ini isu-isu yang paling kontroversial yang membedakan Syiah dengan cara sederhana dan mudah dipahami oleh seluruh kalangan, khususnya generasi muda yang hidup di negara-negara Barat.

Untuk membuat buku ini dapat dibaca dan dipahami dengan mudah oleh para pembaca, apa pun mazhabnya, penulis kebanyakan bersandar pada Kitab Suci Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw yang dinukil dalam kitab-kitab hadis. Penulis berusaha seakurat dan seilmiah mungkin dalam menyuguhkan apa yang dinukil dalam sumber-sumber yang umumnya diterima oleh kalangan Muslimin. Penulis sebutkan aspirasi kebanyakan kaum Muslimin untuk melihat umat Islam bagaimana yang ditegaskan oleh Al-Quran,“Sesungguhnya (seluruh para nabi dan pengikut mereka) ini adalah umat kamu yang satu (dan pengikut satu misi dan tujuan); dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya [21]:92)

Maksud lain dari penulisan buku ini adalah untuk membangun sebuah kekuatan, kerekatan, kerja sama yang terjalin di kalangan Muslimin di seantero dunia. Dan, apabila umat ini mau dihormati dan dijunjung tinggi, umat ini harus bersatu. Kaum Muslimin harus saling memahami dan menerima posisi dan prinsip-prinsip yang dianut. Jalan yang terbaik untuk mengenyahkan segala kesalahpahaman dan miskonsepsi di antara mazhab-mazhab ini adalah melalui jalan konstruktif, tulus dan dialog objektif. Jika Al-Quran mengajak para pengikut agama-agama tauhid (Yahudi, Kristen dan Islam) untuk berdialog dengan cara yang beradab, seperti yang ditegaskan dalam surah, Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang teguh) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”( QS. Ali Imran [3]: 64)]) maka tentu saja mazhab-mazhab Islam dapat mendiskusikan secara berjamaah dan kolektif segala ikhtilaf mereka dengan bersandar kepada Al-Quran dan hadis-hadis sahih Nabi Saw. Tiada yang dapat menafikan bahwa terdapat perbedaan dan ikhtilaf dalam fikih. Perbedaan dan ikhtilaf ini seyogianya tidak mencegah para pengikutnya untuk mengenal dan menghormati pendapat masing-masing, lantaran para imam mazhab menerima ilmu dari satu sumber, Nabi Saw dan puncaknya dari Allah Swt.

Allah Swt menciptakan umat manusia dengan bekal sebuah rasul batin dan seorang rasul lahir. Keduanya, rasul batin yang merupakan akal atau pemikiran manusia, dan rasul lahir, yang merupakan wahyu Ilahi, mengajak mereka untuk melatih daya intelektual mereka guna memperoleh kebenaran dan tidak menjadikan tradisi, budaya, kebiasaan keluarga sebagai keyakinan yang suci. Seruan ini dialamatkan kepada para pengikut seluruh mazhab Islam. Seluruh Muslimin harus meriset dan mengkaji sejarah mereka dan tidak terikat oleh kebiasaan dan tradisi moyang mereka yang boleh jadi tidak bersandar di atas landasan yang solid, karena Al-Quran mengutuk taklid buta kepada nenek-moyang: Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab,“Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maidah [5]:104)dan, Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah”, mereka menjawab, “(Tidak)! Tetapi, kami hanya mengikuti apa yang telah kami temukan dari (perbuatan-perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang mereka itu tidak memahami suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk? (QS. Al-Baqarah [2]:170)

Penulis meminta kepada seluruh pembaca untuk menelaah buku ini secara obyektif, dengan pikiran terbuka dan tanpa bias-bias sektarian, dan menyambut seluruh kritikan, saran dan masukan dari para pembaca budiman.

Saya memohon kepada Allah untuk memberikan taufik dan cahaya dalam pencarian dan penulusuran kita mencari kebenaran. Semoga Allah membuka mata hati dan pikiran kita, dan semoga Allah membimbing kita dan mengucurkan rahmat-Nya yang luas kepada kita, karena Dia Maha Pemberi karunia kepada segala sesuatu,“Karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran [3]:8) Penulis memohon kepada Allah atas rahmat, kasih dan berkah-Nya dalam usaha yang kecil ini dan meminta doa dari para pembaca supaya kita semua tetap menjadi hamba yang bertakwa dalam agama Allah Swt.[]

Sayid Moustafa Al-Qazwini

Orange County, California

Ihwal Buku

Buku Meretas Jalan Islam Muhammadi ini mencoba menjembatani kesenjangan informasi di antara mazhab-mazhab Islam dengan menjelaskan miskonsepsi umum tentang Syiah dan menerangkan konsep dan praktik-praktik spesifik mazhab Syiah. Isu-isu yang diangkat dalam buku ini umumnya terkait dengan pembahasan Al-Quran dan Sunnah sebagaimana yang dinukil dalam kitab-kitab hadis. Tujuan utama penulisan buku ini adalah untuk memotivasi persatuan sejati Islam melalui dialog dan pemahaman atas pelbagai perbedaan ideologi dan keyakinan yang hadir pada tubuh umat Islam hari ini.

Ihwal Pengarang

Sayid Moustafa Al-Qazwini lahir di Karbala, Irak. Ia merupakan alumnus Hauzah Ilmiah Qum, Iran, kemudian hijrah ke Amerika Serikat. Selanjutnya, ia mendirikan The Islamic Educational Center of Orange County, di California, Amerika Serikat.

Bagian 1

Siapakah Syiah Itu?

Imam Kelima Mazhab Ahlulbait, Imam Muhammad Baqir As pernah berkata kepada salah seorang muridnya yang bernama Jabir, ―Apakah memadai bagi seseorang untuk mengklaim dirinya sebagai Syiah (pengikut) dengan mengaku cinta kepada kami, Ahlulbait? Tidak! Demi Allah, bukan seorang pengikut kami kecuali ia takwa kepada Allah Swt dan menaati-Nya. Para pengikut kami, wahai Jabir, hanya dikenal dengan kerendahan hati mereka, ketakwaan, kejujuran, banyak memuji Allah, menjalankan puasa dan menunaikan shalat, berbuat baik kepada kedua orang tua, perhatian kepada kaum miskin, orang-orang yang membutuhkan dan anak-anak yatim yang tinggal di sekitarnya, berbicara yang benar (haq), membaca Al-Quran, menahan lisannya kecuali untuk berkata-kata baik, serta sifat amanah terhadap seluruh kerabat dalam segala urusan."[1]

Syiah bermakna ―sekelompok pengikut‖ (golongan). Istilah ini disebutkan dalam Al-Quran berkali-kali terkait dengan para pengikut para nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim dan Musa As. “Yang seorang dari golongannya (Bani Isra‟il) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fira„un). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya.” (QS. Al-Qashash [28]: 15)

Dewasa ini, Syiah bermakna para pengikut sebuah mazhab Islam yang ajarannya bersandar pada ajaran-ajaran Nabi Saw dan Ahlulbaitnya As dan juga acapkali disebut sebagai Mazhab Ahlulbait. Ketika tiada mazhab yang telah ada pada masa Nabi Saw, Rasulullah Saw sendiri telah menggunakan istilah ini untuk menyebut sekelompok tertentu sebagai Syi‟ah „Ali (pengikut Ali).

Beberapa hadis berikut ini bersumber dari Nabi Saw yang menggunakan terma “Syiah „Ali.”

―Perumpamaan Ali adalah ibarat sebuah pohon, aku adalah akarnya, Ali adalah cabangnya, Hasan dan Husain adalah buahnya, dan syiah adalah dedaunannya.[2]

"Kami sedang berkumpul dengan Baginda Rasulullah Saw ketika Ali bin Abi Thalib As datang. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya telah datang saudaraku kepada kalian.‘ Lantas beliau meletakkan tangannya di Ka‘bah dan berkata ―Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, orang ini dan Syiahnya adalah orang-orang beruntung di Hari Kiamat.[3] (Dinukil dari Jabir bin 'Abdillah Al-Anshari)

―Baginda Nabi Saw sedang bersamaku ketika putrinya Hadhrat Fatimah datang menyampaikan salam bersama suaminya Ali. Rasulullah Saw mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Bergembiralah wahai ‗Ali. Engkau dan Syiahmu berada dalam surga.[4] (Dinukil dari Ummu Salamah, istri Rasulullah Saw).

Dan, kembali, Rasulullah Saw berkata kepada Imam Ali As, ―Engkau dan Syiahmu berada dalam surga.[5]

Sebagaimana yang ditunjukkan dari riwayat-riwayat ini, Rasulullah Saw sendiri yang menjadi pelopor penggunaan istilah Syiah semasa hidupnya. Setelah beliau wafat, mereka yang setia dan loyal kepada Imam Ali As juga dikenal sebagai Syiah. Selama abad kedua Hijriah (dua abad setelah hijrahnya Nabi Saw dari kota Mekkah ke kota Madinah – kejadian yang menandai permulaan penanggalan Islam), para khalifah Abbasiyah secara resmi melindungi empat mazhab Sunni yang dipopulerkan secara antusias oleh para pemimpin mereka. Adapun Syiah, setelah pembunuhan Imam Ali, mereka mengikuti kepemimpinan putranya Imam Hasan As, dan selepasnya adalah Imam Husain As dan sembilan imam setelahnya yang merupakan keturunan dari Imam Husain As. Mereka mengikuti para imam tersebut karena bersandar kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw yang disampaikan berulang-ulang secara tegas dan eksplisit pada banyak peristiwa bahwa Nabi Saw akan digantikan oleh dua belas imam selepasnya dan kesemuanya berasal dari bangsa Quraisy.[6]

Dengan demikian, Syiah merupakan mazhab yang mengikuti Kitab Suci Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw yang disampaikan oleh Ahlulbaitnya yang ditunjuk sendiri oleh Rasulullah Saw. Pascawafatnya Rasulullah Saw, Syiah mengikut dua belas imam yang ditetapkan berdasarkan wahyu sebagai para khalifah Nabi Saw, sebagaimana akan disajikan pada bagian-bagian selanjutnya.[]

Bagian 2

Lima Mazhab

Mazhab-mazhab merupakan jalan-jalan bagi umat untuk mengikuti Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Nampaknya, mazhab-mazhab ini terbangun setelah wafatnya Rasulullah Saw dan, pada kenyataannya, belum terbentuk hingga masa khalifah Bani Umayah. Istilah umum Ahl al-Sunnah wal-Jama'ah, misalnya, menjadi popular pada abad ketiga Hijriah. Pada tahun 250 H, keempat mazhab Sunni dipopulerkan dan dilindungi oleh Khalifah Abbasiyah. Mazhab Syiah, di sisi lain, tetap tumbuh dan berkembang pasca Imam Ali melalui putra-putranya yang berhubungan satu dengan yang lain melalui mata rantai periwayatan dan pengetahuan. Nabi Saw dan para imam yang dilantik dalam mazhab Syiah dibentengi oleh Allah Swt dari segala dosa, maksiat dan sifat lupa.

Dewasa ini, lima mazhab Islam yang diterima hampir mayoritas kaum Muslimin ini adalah Mazhab Ja‘fari terdiri dari 23 %; Mazhab Hanafi terdiri dari 31 %; Mazhab Maliki terdiri dari 25 %; Mazhab Syafi‘i 16 %; Hanbali 4 %. Dan sisanya adalah prosentase kecil yang mengikuti mazhab minoritas seperti Zaidi dan Ismaili.[7]

Mazhab Ja'fari

Mazhab Ja‘fari dipimpin oleh Imam Ja‘far bin Muhammad Al-Shadiq As yang hidup dari tahun 83 H hingga tahun 148 H. Beliau lahir dan wafat di kota penuh cahaya Madinah dan merupakan Imam Keenam dari dua belas imam yang ditetapkan dalam mazhab Ahlulbait. Meski fikih dikembangkan oleh Rasulullah Saw dan para khalifahnya (para imam), fikih yang dikembangkan oleh Syiah tidak memiliki peluang untuk ditawarkan kepada umat lantaran tekanan politik yang diderita oleh Ahlulbait di bawah para penguasa selama beberapa abad. Mereka menolak mengakui legitimasi para khalifah Bani Umayah dan Bani Abbasiyah dan pemerintahannya, karena itu para Imam Ahlulbait dan pengikutnya didera dengan siksaan dan pelecehan di tangan para khalifah. Ketika pemerintahan Bani Umayah melemah, Imam Ja'far bin Muhammad Al-Sadiq As mendapatkan kesempatan emas untuk memformulasikan dan menyebarkan sunnah Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya As. Pada saat itu, empat ribu ulama, penafsir Al-Quran, sejarawan, para filosof menghadiri dan mengikuti pelajaran yang disampaikannya di kota suci Madinah. Dengan demikian, Imam Shadiq mampu menyampaikan ajaran autentik Al-Quran dan Rasulullah Saw serta mengkristalisasikan keduanya menjadi apa yang dikenal sebagai Fikih Ja‘fari. Ajarannya dikumpulkan dalam 400 usul (fondasi) yang ditulis oleh para muridnya termasuk hadis, filsafat Islam, teologi, tafsir Al-Quran, sastra dan akhlak.

Setelah beberapa lama, tiga ulama ulung mengkategorikan 400 usul ini dalam empat buku yang merupakan sumber utama hadis dalam mazhab Syiah: al-Kâfi oleh Kulaini (w. 329 H), Man La Yahdhuruh al-Faqih oleh Saduq (w. 381 H), dan al-Tahdzib dan al-Istibshâr oleh Thusi (w. 460 H). Ketiga ulama ulung ini juga dikenal sebagai ―Trio Muhammad‖ lantaran nama mereka semuanya adalah ―Muhammad.‖

Meski keempat kitab ini merupakan sumber utama hadis Syiah, namun para penyusunnya tidak memberikan label ―shahih‖ pada kitab-kitab mereka. Kendati mereka melakukan yang terbaik untuk mengumpulkan hanya hadis-hadis autentik, jika sebuah hadis tertentu terbukti bertentangan dengan Al-Quran, maka hadis tersebut tidak dapat dipandang sebagai sahih dan valid. Hadis, menurut Mazhab Ja‘fari, diterima selama Al-Quran memverifikasi dan membenarkannya, lantaran Al-Quran merupakan satu-satunya sebagai sumber petunjuk.

Mazhab Hanafi

Imam Mazhab Hanafi adalah Imam Nu'man bin Tsabit (Abu Hanifah) yang hidup semenjak 80 H hingga 150 H. Imam Abu Hanifa terlahir dari seorang ayah ‗ajam (non-Arab), besar di Kufah dan meninggal di Baghdad. Mazhab ini berkembang pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah tatkala salah seorang murid Abu Hanifa, menjadi ketua mahkamah dan hakim agung yang membuat mazhab ini berkembang, khususnya pada masa pemerintahan Mahdi, Hadi dan Rasyid. Tiada seorang yang paling dekat kepada khalifah Harun Rasyid melebihi kedekatan Abu Yusuf Al-Qadi (murid Abu Hanifah). Namun, Khalifah Manshur juga bekerja keras untuk menyokong dan mengkonsolidasikan mazhab Abu Hanifah dan menyebarkan mazhabnya dalam menghadapi popularitas Imam Ja'far Shadiq As. Imam Abu Hanifah belajar di bawah bimbingan Imam Ja'far Shadiq As selama dua tahun.[8] Imam Abu Hanifah berkata tentang Ja'far bin Muhammad, "Saya tidak melihat orang yang lebih alim dan cendekia melebihi Ja'far bin Muhammad, dan sesungguhnya ia merupakan orang yang paling alim dan pandainya umat.[9]

Mazhab Maliki

Mazhab Maliki dipimpin oleh Imam Malik bin Anas Al-Asbahi yang hidup pada masa 93 H hingga 179 H. Ia lahir di kota suci Madinah. Popularitasnya tersebar di seluruh Hijaz sebanding dengan popularitas seterunya, Imam Abu Hanifah, lantaran Imam Malik merupakan imam mazhab hadis sementara Abu Hanifah adalah imam mazhab rakyu (pendapat pribadi). Kebanyakan pemerintahan Muslim adalah pendukung Imam Abu Hanifah. Imam Malik bergabung dengan 'Alawiyyin, keturunan Imam Ali, dan menerima pengetahuan dari Imam Ja'far Shadiq As. Namun, setelah itu, ia tidak lagi konsisten mengikuti ajaran Imam Shadiq As. Di satu sisi ia tertindas: setelah menerima murka pemerintah, ia diseret di jalan-jalan dengan pakaiannya dan dicemeti. Pada tahun 148 H, nasibnya berubah, dan memperoleh popularitas dan kekuasaan. Bani Abbasiyah mencoba menetapkan dia sebagai rujukan bagi umat dalam memberikan fatwa dan hukum fikih. Khalifah Abbasiyah, Mansur, memintanya menulis Al-Muwaththâ', kitab fikih yang mengandung prinsip-prinsip Mazhab Maliki. Lebih jauh, selama musim haji, juru bicara resmi pemerintahan memproklamirkan bahwa tiada yang berhak memberikan fatwa kecuali Imam Malik. Khalifah Abbasiyah, Harun Rasyid duduk di lantai untuk mendengarkan pelajarannya, dan khalifah secara umum sedemikian memujinya sehingga tiada satu pun kitab di muka bumi ini – selain Al-Quran – yang melebih autentisitas kitab Imam Malik. Ibnu Hazm Al-Andalusi berkata bahwa dua mazhab tersebar berkat pemerintah dan sultan: "Mazhab Hanafi, karena Abu Yusuf Al-Qadi hanya mengangkat hakim-hakim Hanafi, dan Mazhab Maliki, karena seorang murid Imam Malik, Yahya bin Yahya, merupakan orang yang sangat dihormati di istana dan tiada seorang hakim pun yang diangkat di Andalusia tanpa konsultasi dan nasihat darinya.

Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi'i didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi'i yang hidup semenjak tahun 150 H hingga 198 H. Imam Syafi'i lahir di Hijaz, dan mazhabnya muncul di Mesir. Pada masa Dinasti Fatimiyah, orang-orang Mesir kebanyakan adalah pengikut Ahlulbait, dan ajaran-ajaran Ahlulbait diajarkan di Universitas Al-Azhar. Hingga Shalahuddin Ayyubi datang dan angkat senjata memerangi Mazhab Ahlulbait. Ia melarang ajaran tersebut diajarkan di Al-Azhar dan menggantikannya dengan mazhab-mazhab lainnya, termasuk Imam Syafi'i, yang dibunuh di Mesir pada tahun 198 H.

Mazhab Hanbali

Imam Mazhab Hanbali adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang hidup pada tahun 164 H hingga 241 H. Ia lahir dan wafat di Baghdad. Ia hanya dapat memperoleh kemasyhuran di Najd (sebuah daerah di semenanjung Arab) lantaran gagasan-gagasan yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri Wahabi. Mazhab Hanbali berkembang di Najd berkat ajaran-ajaran Ahmad bin Abdul Halim Al-Dimisyqi ibn Taymiyah (661 H - 728 H.) dan muridnya Ibnu Al-Qayyim Al-Jawziyyah.

Dengan melakukan studi sejarah mazhab-mazhab, meneliti alasan-alasan kelahirannya, dan penyebarannya menunjukkan bahwa pemerintah banyak berperan dalam memunculkan dan menyebarkan mazhab-mazhab ini. Bantuan pemerintah dalam bentuk bantuan fisikal dan finansial: mendirikan mazhab, mensponsori penerbitan kitab-kitab fikih, menerima dan menyokong mazhab-mazhab resmi, serta memberikan kebebasan kepada para pendiri dan ulama dari mazhab-mazhab "resmi" ini. Tren ini terjadi hampir di setiap agama di dunia. Misalnya, Anda dapat membandingkan tren ini dalam Islam dengan kelahiran Gereja Anglikan tahun 1534 M oleh raja Inggris, Henry VIII, yang membuat gereja ini menjadi tradisi resmi keagamaan kerajaan, kemudian menyumbangkan kepada gereja ini 55 juta pengikut.

Sejarah menunjukkan bahwa Mazhab Ahlulbait mengalami penganiayaan, penindasan, dan diskriminasi di tangan para khalifah Umayah dan Abbasiyah. Kendati dengan semua penindasan ini, sesuai dengan kehendak Allah, Mazhab Ahlulbait mencapai klimaksnya pada masa Khalifah Ma'mun, dan Syiah mencapai tingkatan sedemikian berdaulat sehingga Ma'mun sendiri terpaksa harus menunjukkan simpatinya terhadap 'Alawiyyun, keturunan Imam Ali As, demikian juga kecenderungan terhadap Syiah sedemikian tinggi sehingga ia mengundang Imam Ali bin Musa Al-Ridha As, Imam Kedelapan Mazhab Ahlulbait, untuk menjadi wali ahd (penggantinya) – sebuah posisi yang tinggi yang kemudian ditolak oleh Imam Ridha As.[]

Bagian 3

Imamah

Perbedaan utama antara dua mazhab Ahlulbait dan mazhab-mazhab lainnya dalam Islam berkisar pada pada isu tentang imamah, atau suksesi awal Nabi Muhammad Saw. Mazhab Ahlulbait meyakini bahwa kedudukan imamah merupakan sebuah kedudukan ilahi artinya bahwa imam atau khalifah harus ditunjuk dan disebutkan oleh Allah Swt secara langsung, lantaran kedudukan ini memiliki signifikansi yang sama dengan kedudukan nubuwwah. Orang-orang diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti imam yang khusus setelah Nabi Muhammad Saw.

Mazhab lainnya berpandangan bahwa imamah ditentukan oleh syura (pemilihan) dan bahwa metode ini digunakan untuk menentukan pengganti (khalifah) bagi Nabi Saw. Namun, mazhab Syiah memandang bahwa konsep syura tidak benar-benar dipraktikkan. Ibnu Qutaibah menegaskan bahwa khalifah pertama dinominasikan oleh dua orang;[10] Ibnu Katsir mengatakan bahwa ia telah membatasi pencalonan khalifah pada Umar bin Khaththab dan Abu Ubadah bin Al-Jarrah, keduanya diturunkan dan dinominasikan, nominasi yang dinomorduakankan oleh Ma‘adz, Usaid, Bashir dan Zaid bin Tsabit.[11] Thabari meriwayatkan bahwa kaum Anshar menolak memberikan baiat di Saqifah (tempat berlangsungnya suksesi) dan mengumumkan bahwa mereka akan [ada yang terputus].[12] Khalifah Pertama dalam kitab-kitab sejarah tercatat berkata dalam pelantikannya: ―Ayyuhannas! Aku telah kalian pilih sementara aku bukanlah yang terbaik di antara kalian.[13] Sejarawan Ibnu Abil Hadid Al-Mu‘tazili menukil bahwa Khalifah Kedua mengakui perannya dalam mendramatisasi Saqifah ketika ia kemudian mendeklarasikan bahwa baiat kepada Khalifah Pertama merupakan sebuah kesalahan (faltah). Akan tetapi, Allah telah menghindarkan kaum Muslimin dari bencana besar.[14] Konsep syura juga tidak diimplementasikan ketika Khalifah Kedua menjabat sebagai khalifah karena Khalifah Pertama menunjuknya sebelum wafatnya.

Demikian juga konsep syura ini tidak ditunaikan ketika Khalifah Ketiga menduduki tahta khilafah karena ia dipilih secara nominal oleh lima orang tetapi intinya oleh satu orang, yaitu Khalifah Kedua, yang juga menunjuk dua gubernur untuk tetap berkuasa setelah wafatnya: Sa‘ad bin Abi Waqqash dan Abu Musa Asy‘ari.[15]

Bukti Al-Quran bahwa Allah yang Mengangkat Imam

Banyak ayat Al-Quran menunjukkan kenyataan bahwa, sepanjang sejarah, Allah Swt sendiri yang memiliki hak untuk mengangkat seorang imam atau seorang khalifah bagi umat manusia.

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” Tuhan berfirman,“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]:30).

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shad [38]:26).

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:124).

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah [32]:24).

Ayat-ayat ini menegaskan bahwa tidak seorang pun yang memiliki hak untuk memangku jabatan kepemimpinan atau imamah. Satu-satunya orang yang memiliki hak untuk memangku jabatan imamah adalah orang yang Allah uji dan telah lulus dari ujian Allah.

Al-Quran – khusus pada surah Al-Baqarah (2):124 – menekankan secara tegas bahwa orang-orang zalim terlarang untuk memangku kepemimpinan atas orang-orang beriman. Dan juga, apakah sejarah menunjukkan bahwa perintah ini telah ditunaikan? Berapa banyak khalifah dan sultan pada masa Bani Umayah dan Abbasiyah merupakan khalifah dan sultan yang zalim, tidak mempraktikkan ajaran Islam, kendati mereka merupakan pemimpin kaum Muslimin?

Suksesi – khilafah atau imamah – dinisbahkan hanya kepada Allah kapan saja hal ini disebutkan dalam Al-Quran. Dalam Mazhab Ahlulbait, khilafah tidak hanya berarti kekuasaan temporal dan otoritas politik atas manusia, namun lebih penting dari semua itu. Otoritas ini harus berasal dari Allah karena Allah mengatributkan pemerintahan dan pengadilan hanya kepada diri-Nya. Delapan kategori dalam ayat-ayat Al-Quran menisbahkan aspek yang beragam dari pemerintahan Ilahiah:

Ayat-ayat tentang Kerajaan

Katakanlah, “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran [3]:26).

Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja dan penguasa manusia. Sembahan manusia.” (QS. An-Nas [114]:1-3).

Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu). (QS. Al-Maidah [5]:18)

Ayat-ayat tentang Pemerintahan (Hukumah)

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang hak (dari yang batil) dan Dialah sebaik-baik pemisah (antara yang hak dan yang batil). (QS. Al-An‘am [6]:57).

Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) adalah kepunyaan-Nya. (QS. Al-An‘am [6]:62).

Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah. (QS. Asy-Syura [42]:10).

Ayat-ayat tentang Pengaturan

Katakanlah, “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya berada di tangan Allah.” (QS. Ali Imran [3]:154).

Ingatlah, menciptakan dan mengatur (alam semesta) hanyalah hak Allah. Mahaberkah (dan Kekal) Allah, Tuhan semesta alam . (QS. Al-A‘raf [7]:54).

Tetapi sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah (QS. Ar-Ra‘ad [13]:31).

Dan tidaklah patut laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) perempuan yang mukmin memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33]:36).

Ayat-ayat tentang Wilayah

Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk . (QS. Al-Maidah [5]:55).

Para mufasir (penafsir) Al-Quran sepakat bahwa ayat khusus ini berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib As yang memberikan cincinnya kepada seorang pengemis selagi ia dalam keadaan rukuk.

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah mereka berkata,“Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An-Nur [24]:51);Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. (QS. An-Nisa [4]:64);―Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu penentu dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa [4]:65).

Ayat-ayat tentang Mengikuti Nabi

Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran [3]:31); Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).( QS. Al-A‘raf [7]:3).

Ayat tentang Pilihan Allah

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). (QS. Al-Qashahsh [28]:68).

Ayat-ayat tentang Hukuman Tuhan

Dan Allah menghukum dengan keadilan. Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat menghukum dengan sesuatu apa pun.

Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al-Mu‘minun [40]:20).

Contoh-contoh dari ayat Al-Quran ini menunjukkan karakteristik pemerintahan yang hanya untuk Allah Swt. Kalimat yang sering terulang dalam konteks ini adalah ―a la lahu al-'amr wal-hukm" (Bukankah urusan (perintah) dan hukum adalah milik-Nya?) juga menggambarkan poin ini. Karakter yang penting dari kepemimpinan Allah adalah wilayah dan perintah, dan Dia anugerahkan keutamaan ini kepada siapa saja yang dikehendaki. Tabiat khilafah memberikan khalifah keistimewaan untuk menjadi seorang wali atas manusia dan kewajiban bagi setiap orang untuk menaatinya. Lantaran ketaatan dan kepasrahan mutlak hanya untuk Allah, hanya Allah yang memiliki hak untuk memindahkan kekuasaan dan otoritas ini kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

Allah Swt berfirman,Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa [4]:59).

Namun, jika seseorang memangku jabatan kepemimpinan dan menjadi seorang khalifah atau imam dengan kekuatan dan intimidasi, ia tidak memiliki kelayakan untuk menjadi seorang pemimpin kaum Muslimin yang sah. Logika sehat manusia mendikte bahwa imam atau khalifah yang menggantikan Nabi Saw harus ditunjuk dan diangkat oleh Allah. Karena Allah Swt menjadikan ketaatan kepada mereka setingkat dan selevel dengan ketaatan kepada-Nya dan kepada Nabi-Nya. Dengan demikian, tiada seorang pun yang berhak untuk menjadi khalifah Rasulullah Saw.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa sebagian orang memikul jabatan kepemimpinan dan khilafah selama masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah – namun, apakah ayat tentang ketaatan ini masih berlaku dan dapat diterapkan pada mereka? Akankah kaum Muslimin harus mengikuti para pemimpin ini secara membabibuta? Akankah Allah menyeru kepada kaum Muslimin untuk mengikuti seorang pemimpin yang korup dan penindas? Dalam beberapa hadis, pembenaran dijumpai bagi penguasa semacam ini untuk berkuasa dan memerintah kepada kaum Muslimin untuk mengikuti mereka. Imam Bukhari menukil dari Nabi Saw, ―Selepaskku, akan datang para penguasa, dan kalian akan mendapatkan penguasa yang baik dan penguasa buruk. Kalian harus mendengarkan keduanya. Barangsiapa yang merusak kesatuan seluruh jamaah akan dipandang murtad.[16]

Hadis semacam ini tidak sesuai dengan Al-Quran yang berkata,Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan" (QS. Hud [11]:113).

Al-Quran dengan jelas menegaskan bahwa orang-orang yang beriman seyogianya tidak mendukung juga tidak cenderung kepada seorang zalim sama sekali. Tiada jalan untuk membenarkan baiat atau menguasakan seorang zalim menjadi khalifah atau

pemimpin bagi kaum Muslimin. Dengan melakukan hal tersebut akan bertentangan dengan ajaran-ajaran Al-Quran.

Surah an-Nisa [4] ayat 59 tidak hanya memerintahkan orang-orang beriman untuk menaati 'ul ul-'amr atau wali yang sah (yang merupakan para imam maksum) tapi juga menegaskan kemaksuman mereka karena tiada orang yang buruk atau pelaku maksiat yang memiliki hak dari Allah untuk memikul amanah ini.[]