Bagian 5
Ahlulbait As
Cara terbaik untuk memperkenalkan Ahlulbait kepada umat Muslim adalah dengan menyebutkan bagaimana Al-Quran bertutur tentang mereka. Beberapa ayat dalam Al-Quran secara spesifik menyebutkan pelbagai keutamaan Ahlulbait dan kedudukan tinggi mereka dalam Islam. Tatkala menyebut Ahlulbait, maka Al-Quran menyebutkan kepada sekelompok khusus orang-orang yang tidak hanya memiliki hubungan darah dengan Nabi Saw tapi yang paling penting adalah hubungan iman dan keyakinan dengan Baginda Nabi Saw. Ayat-ayat tersebut tidak hanya menyebutkan seluruh hubungan darahnya, juga bukan sahabat atau istri-istrinya, Rasulullah Saw mendefinisikan mereka sebagai dirinya sendiri sebagaimana yang akan kita lihat berikut ini.
Ayat Tathhir
Sesungguhnya Allah ingin menyucikan kalian wahai Ahlulbait dan menyucikan kalian dari segala cela dan nista sesuci-sucinya.
(QS. Al-Ahzab [33]:33) Para ulama terkemuka Islam dan perawi hadis secara bulat sepakat bahwa Ahlulbait (keluarga Rasulullah Saw) yang disebutkan Allah dalam Al-Quran adalah berkaitan dengan putri Nabi Saw, Sayidah Fatimah Zahra As; saudara sepupunya, Ali bin Abi Thalib As; kedua putra mereka, Hasan dan Husain As.
Thabrani meriwayatkan bahwa salah seorang istri terhormat Nabi Saw, Ummu Salamah diminta oleh Nabi Saw untuk berkata kepada putrinya Sayidah Fatimah agar memanggil suaminya Ali dan kedua putra mereka, Hasan dan Husain. Tatkala mereka datang, Rasulullah Saw menutupi mereka dengan sebuah kain, meletakkan tangannya di atas kain tersebut dan berdoa, "Wahai Allah! Mereka ini adalah Keluarga Muhammad (Âli Muhammad), tunjukkanlah kemurahan-Mu dan rahmatilah keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberikan kehormatan kepada keluarga Ibrahim. Engkaulah yang patut dipuji."
Ummu Salamah berkata bahwa ia mengangkat kain tersebut untuk bergabung dengan mereka. Namun Rasulullah Saw menarik tangannya dan bersabda, "Sesungguhnya Anda berada dalam kebaikan."
Meski pada permulaan ayat ini dialamatkan kepada istri-istri Nabi Saw dan ayat tathhir ini terletak di tengah-tengah perintah Allah Swt kepada para istri Nabi Saw, namun mereka tidak termasuk dari ungkapan khusus (Ahlulbait) Allah Swt ini. Mengingat ayat-ayat sebelum dan setelahnya berkenaan dengan para istri nabi berada dalam bentuk kata ganti feminin (muannats), ayat ini bertalian dengan Ahlulbait yang dinyatakan dalam bentuk maskulin (mudzakkar) atau gender campuran. Karena itu redaksi Ahlulbait dalam ayat tathhir ini tidak dialamatkan kepada istri-istri Nabi Saw.
Namun demikian, bahkan tanpa bukti gramatikal ini pun, hubungan di antara sebagian istri Rasulullah Saw tidak selaras dan sejalan dengan semangat ayat ini yang menegaskan kesucian fisik, mental dan spiritual keluarga Rasulullah Saw.
Untuk menekankan bahwa redaksi Ahlulbait ini berkenaan dengan hanya lima orang – Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain – para perawi berkata bahwa Rasulullah Saw, ketika melintas di hadapan rumah Sayidah Fatimah menuju masjid untuk menunaikan shalat subuh, beliau selalu berhenti dan menyeru: "Al-shalat…al-shalat, wahai Ahlulbait." Sesungguhnya Allah hendak menyucikan kalian dari segala kekotoran dan nista sesuci-sucinya."
Imam Anas bin Malik menambahkan bahwa Rasulullah Saw melakukan hal ini selama enam bulan setiap harinya dalam perjalanannya menuju masjid untuk menunaikan shalat di masjid.
Ayat Mawaddah
Katakanlah, “Aku tidak meminta upah dari seruan ini kecuali kecintaan kepada keluargaku (al-qurba)."
(QS. Al-Syura [42]:23) Al-Qurba yang dimaksud di sini adalah Ahlulbait.
Tatkala menjelaskan ayat ini, Fakhruddin Razi berkata, "Tanpa ragu bahwa tiada seorang pun yang dekat kepada Rasulullah Saw melebihi Fatimah, Ali, Hasan dan Husain. Hal ini merupakan kenyataan yang dikenal dalam mata rantai periwayatan dan hal itu adalah "Alif-lam". Karena itu, "Al" atau "Ahl" hanya terkait dengan keluarga langsung Nabi Saw yaitu Sayidah Fatimah, Ali, Hasan dan Husain. Beberapa orang berdalih bahwa Hasan dan Husain bukan merupakan putra Rasulullah Saw karena keduanya adalah putra Imam Ali dan bersambung garis keturunannya kepada Rasulullah Saw melalui bunda mereka, Sayidah Fatimah al-Zahra As.
Diriwayatkan bahwa Khalifah Abbasiyah, Harun Rasyid, bertanya kepada Imam Ketujuh Ahlulbait, Imam Musa bin Ja'far, bagaimana mungkin ia menyandarkan dirinya kepada Rasulullah Saw sementara ia adalah putra Ali dan Fatimah yang melahirkannya. Bagaimana mungkin ia memandang dirinya sebagai putra Rasulullah Saw? Imam Musa kemudian membacakan ayat berikut ini berkenaan dengan Nabi Ibrahim yang menyatakan, Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya„qub kepada Ibrahim. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunan Nuh, yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun.Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, dan (begitu juga) Zakaria, Yahya, Isa, dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh.
(QS. Al-An'am [6]:84-85)
Lalu Imam Musa bertanya kepada Harun Rasyid tentang siapa ayah Isa. Harun menjawab bahwa ia tidak memiliki ayah. Imam berkata, "Lalu engkau lihat bagaimana Allah menghubungkannya dengan Ibrahim melalui ibunya dan Allah melakukan hal yang sama bagi kami, menghubungkan kami kepada Rasulullah Saw melalui bunda kami Sayidah Fatimah al-Zahra."
Dalam banyak kejadian, Rasulullah Saw mengekspresikan kecintaan dan kasihnya kepada Fatimah, seperti ketika beliau berkata, "Fatimah adalah dariku. Sukanya adalah sukaku dan dukanya adalah dukaku."
Ayat Mubâhalah
Barangsiapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya),“Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan dirimu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta
(QS. Ali Imran [3]:61)
Tonggak peristiwa ini dalam sejarah Islam telah diriwayatkan oleh sejarawan, perawi dan penafsir Al-Quran. Peristiwa ini merupakan sebuah peristiwa yang mengungkapkan status tinggi Ahlulbait As. Riwayat-riwayat menyebutkan bahwa satu rombongan Kristen dari Najran datang ke kota Madinah untuk berjumpa dengan Rasulullah Saw guna membahas masalah kenabiannya dan agama baru yang dibawanya.
Rasulullah Saw menetapkan bahwa Isa adalah putra Maryam – seorang manusia, nabi dan seorang hamba Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran – dan memandangnya sebagai putra Tuhan adalah penghinaan karena Allah Swt adalah suci dari karakter-karakter manusia. Setelah mendiskusikan poin-poin ini dengan mantap dan meyakinkan, tatkala Nabi Saw mendapatkan mereka masih bersikeras untuk mempertahankan kepalsuan keyakinan dan kebiasaan mereka yaitu menuhankan Nabi Isa As – Allah Swt mewahyukan ayat ini yang merupakan tantangan besar kepada delegasi Kristen tersebut untuk berdoa dan meminta Allah Swt melaknat kelompok yang bersikeras kepada kepalsuan dan kebohongan.
Esok paginya, pada 24 Dzulhijjah, sesuai dengan titah Allah Swt, Rasulullah Saw tiba di tempat yang telah dijanjikan membawa Husain dalam gendongannya dan menuntun Hasan dengan tangannya, diikuti oleh putri kinasihnya, Fatimah Zahra, dan di belakangnya menantu dan sepupunya Ali bin Abi Thalib membawa panji Islam.
Melihat bahwa Nabi Saw datang hanya ditemani oleh keluarga terdekatnya, pendeta Kristen tersebut yakin bahwa Nabi Saw adalah benar; kalau tidak, ia tidak akan pernah berani membawa orang-orang yang dicintainya bersamanya. Delegasi Kristen mundur dari mubâhalah ini dan memutuskan untuk kembali ke Najran.
Kendati terdapat beberapa orang wanita dari keluarga Nabi Saw pada saat itu, seluruh penafsir, perawi dan sejarawan sepakat bahwa redaksi ayat Al-Quran, "wanita kami" hanya berkenaan dengan Sayidah Fatimah Zahra As, "anak-anak kami" terkait dengan Hasan dan Husain As dan "diri kami" bersangkutan dengan Nabi Saw dan Imam Ali As.
Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyâf-nya, menuturkan peristiwa ini sebagai berikut.
"Tatkala ayat ini diwahyukan (diturunkan), Rasulullah Saw meminta kepada pendeta-pendeta Kristen tersebut ber-mubahalah untuk mengundang laknat Tuhan atas orang-orang yang berdusta. Orang-orang Kristen tersebut berdiskusi sesama mereka pada malam harinya yang pemimpin mereka, Abdul Masih, menyatakan pendapatnya sebagai berikut. Ia berkata, "Wahai orang-orang Kristen! Ketahuilah bahwa Muhammad adalah seorang nabi utusan Allah yang membawa pesan terakhir dari Tuhan kalian. Demi Tuhan! Tiada satu bangsa pun yang berani menantang seorang nabi untuk ber-mubahalah kecuali mereka celaka. Mereka tidak hanya akan binasa, namun anak-anak mereka juga akan tertimpa kutukan."
Setelah menyampaikan pandangannya – bahwa lebih baik berkompromi dengan Rasulullah Saw ketimbang menantang kebenaran yang ia bawa dan binasa – Abdul Masih menasihatkan kelompoknya untuk menghentikan permusuhan dan bertahan pada agama mereka dengan menyerahkan kepada Nabi Saw beberapa syarat. "Jadi, apabila kalian bersikeras (untuk berkonfrontasi), maka kita semua akan binasa. Namun jika kalian, untuk menjaga iman kalian, menolak (untuk berkonfrontasi) dan bertahan sebagaimana adanya kalian, maka buatlah perdamaian dengan orang ini (Rasulullah Saw) dan kembalilah ke negeri kalian."
Hari berikutnya, Rasulullah Saw, membawa Husain dalam gendongannya, menuntun Hasan dengan tangannya, diikuti oleh putrinya Sayidah Fatimah dan di belakangnya Ali bin Abi Thalib, memasuki tempat yang disepakati dan beliau terdengar berkata kepada keluarganya, "Ketika aku berdoa kepada Allah, doa kedua dari doa ini.
Pendeta Najran, tatkala melihat Nabi Saw dan Ahlulbaitnya, berkata kepada kaum Kristian, "Wahai kaum Kristen! Saya menyaksikan wajahnya yang apabila Tuhan menghendaki, demi mereka, Dia akan menggerakkan gunung untuk mereka. Jangan kalian terima tantangan mereka untuk ber-mubâhalah, lantaran apabila kalian melakukannya, kalian semua akan binasa dan tiada lagi akan tersisa orang-orang Kristen di muka bumi hingga hari Kiamat."
Mendengarkan nasihat ini, kaum Kristen berkata kepada Rasulullah Saw, ―Wahai Abul Qasim! Kami putuskan untuk tidak ber-mubâhalah dengan Anda! Tetaplah Anda dengan agama Anda, dan kami akan tetap dengan agama kami." Rasulullah Saw berkata kepada mereka, "Jika kalian menolak untuk ber-mubâhalah, maka berserah dirilah kepada Allah, dan kalian akan menerima apa yang diterima kaum Muslimin dan menyumbangkan apa yang disumbangkan kaum Muslimin.
Delegasi Kristen berkata bahwa mereka tidak ingin berperang dengan kaum Muslimin, mereka mengusulkan sebuah fakta perjanjian untuk berdamai. Rasulullah Saw menerima usulan tersebut.
Ayat Shalawat
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya
. (QS. Al-Ahzab [33]:56)
Selama menunaikan lima shalat wajib, selama menyatakan syahadat (testimony), mereka yang menunaikan shalatnya harus menyampaikan salam dan shalawat kepada Nabi Saw dan Ahlulbaitnya – sebuah terminologi yang terkhusus untuk Ali, Fatimah, Hasan, Husain beserta keturunannya yang suci. Penekanan atas keluarga Rasulullah Saw dalam shalawat merupakan indikasi lain atas peran sentral mereka setelah Nabi Muhammad Saw. Dengan meminta orang-orang beriman untuk memuji mereka, Allah Swt mengingatkan kaum Muslimin bahwa Dia telah memilih Ahlulbait untuk menjalankan peran sebagai pemimpin kaum Muslimin. Salah satu penafsir Al-Quran terkemuka, Fakhruddin Razi, menukil jawaban Rasulullah Saw tatkala ditanya oleh beberapa orang sahabat tentang bagaimana menyampakan shalawat kepadanya. Beliau berkata, "Katakanlah, Ya Allah, sampaikan salam dan shalawat kepada Muhammad sebagaimana Engkau menyampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Dan curahkan rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau curahkan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya pujian hanya untuk-Mu."
Fakhrurrazi mengomentari bahwa jika Allah Swt dan para malaikat-Nya mengirimkan shalawat kepada Nabi Saw, lantas apa gunanya shalawat yang kita kirimkan? Ia menjawab pertanyaan retorisnya sendiri dengan berkata bahwa kita mengirim shalawat kepada Nabi Saw bukan karena beliau membutuhkannya karena beliau sendiri telah memiliki shalawat dan salam dari Allah Swt. Beliau bahkan tidak meminta shalawat dan salam dari para malaikat. Manakala kita mengirim shalawat kepadanya artinya kita mengirimkannya untuk memuji Allah dan juga menyampaikan rasa syukur kita kepada Allah Swt sehingga Dia mengasihi dan mengganjari perbuatan kita. Karena itu, Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang mengirimkan shalawat satu kali kepadaku, Allah akan mengirimkan sepuluh kali shalawat baginya."
Ayat lain dalam Al-Quran menegaskan ajaran yang sama tatkala Allah Swt menyampaikan shalawat-Nya kepada keluarga Nabi Saw (Ahlulbait) dengan berfirman, "Salam padamu wahai Keluarga Yasin."
Menurut sebagian penafsir Al-Quran, Yasin adalah salah satu nama Rasulullah Saw, sebagaimana disebutkan pada surah Yasin, ketika dialamatkan kepadanya: "Yasin, wal Quran al-hakim. Innnaka laminal mursalin."
Ayat Ith'âm
Surah Al-Insan (76) dalam Al-Quran diturunkan untuk menghormati perbuatan suci yang dipraktikkan oleh Ahlulbait As. Allah Swt menggelari surah ini sebagai "al-Insan" untuk menarik perhatian manusia keindahan perbuatan manusia di muka bumi dan berfirman kepada mereka bahwa mereka tidak boleh bersikap mementingkah diri sendiri atau serakah namun memerintahkan mereka untuk peduli dan menjadi orang berpikir yang menghabiskan waktu mereka untuk memikirkan keadaan orang lain di sekeliling mereka. Permulaan surah ini ini dimulai dengan: Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum berbentuk sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur (dan) Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan (yang lurus) kepadanya; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir."
Perkenalan ini merupakan persiapan bagi kita untuk mengenal pengorbanan besar keluarga Nabi (Ahlulbait), Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan pelayan mereka, Fidhdhah yang dijelaskan pada ayat-ayat berikutnya, 5-13.
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang telah dicampur dengan air kafur (yang semerbak mewangi), yang berasal dari mata air (di dalam surga) yang darinya hamba-hamba Allah minum, (dan) mereka dapat mengalirkannya dari manapun mereka kehendaki. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Mereka hanya berkata), “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih darimu. Sesungguhnya Kami takut kepada Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” Maka (karena keyakinan dan amal itu) Allah memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan surga dan pakaian sutra kepada mereka karena kesabaran mereka, di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, sedang mereka tidak merasakan (teriknya) matahari dan tidak pula rasa dingin yang menyengat.
Para penafsir Al-Quran sepakat (ijma) bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang Ahlulbait dan kedudukan mereka pada puncak ketakwaan. Di samping itu, ayat-ayat ini juga memperkenalkan Ahlulbait sebagai model bagi kemanusiaan. Kemanusiaan akan terbimbing dengan baik dengan berbagai keteladanan mereka. Kejadian yang membuat turunnya ayat ini bermula tatkala Hasan dan Husain jatuh sakit, dan Hadhrat Fatimah Zahra bertanya kepada ayahandanya ihwal apa yang harus dilakukan. Rasulullah Saw menasihati mereka untuk bernazar bahwa jika Allah Swt memberikan kesembuhan kepada mereka, maka seluruh keluarga akan menunaikan puasa selama tiga hari. Hasan dan Husain sembuh dari sakit dan puasa pun mulai ditunaikan. Pada waktu itu, mereka tidak memiliki sesuatu apa pun untuk dimakan. Maka itu, Imam Ali As pergi menemui seorang Yahudi Khaibar bernama Simon dan meminjam tiga takaran gandum. Sang istri, Sayidah Fatimah menurunkan satu takaran gandum ke dalam adonan tepung dan membuatnya menjadi lima lembar roti untuk masing-masing dari mereka. Baginda Ali, Hadhrat Fatimah, kedua putra mereka beserta pembantu mereka, Fidhdhah, berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Pada hari pertama, pada waktu berbuka puasa, seorang miskin datang mengetuk pintu untuk meminta makanan. Mereka mengambil makanan yang tadinya mereka ingin santap – masing-masing lembaran roti – dan menyerahkan kepada orang miskin tadi. Pada hari kedua, tatkala mereka ingin berbuka, seorang yatim datang mengetuk pintu rumah. Dan mereka kembali menyerahkan seluruh makanan yang siap santap itu kepadanya. Sekali lagi, pada hari ketiga, sewaktu ingin berbuka puasa, seorang tawanan perang (yang telah ditangkap dalam membela Islam dan tinggal di Madinah) datang ke kediaman mereka dan meminta makanan; mereka mengambil seluruh lima lembar roti tersebut dan menyerahkan kepada orang itu. Mereka berbuka puasa selama tiga hari hanya dengan air.
Pada saat itu, Rasulullah Saw datang dan melihat putrinya Hadhrat Fatimah Zahra dan kedua putranya, Hasan dan Husain tampak pucat dan terlalu lemah untuk berkata-kata. Beliau melihat mereka badan mereka gemetaran karena lapar. Hadhrat Fatimah sendiri duduk dengan mata cekung di atas sajadahnya. Tatkala Rasulullah Saw bertanya gerangan apa sebabnya, Jibril datang kepada Rasulullah Saw dengan membawa surah al-Insan (76) dan bersabda, ―Wahai Muhammad! Allah Swt memberikan ucapan selamat atas pengorbanan keluargamu."
Ayat-ayat ini tidak hanya menerjemahkan kepemurahan dan keteguhan Ahlulbait tapi juga mengungkapkan kepasrahan dan penyerahan diri secara total keluarga Rasulullah Saw, kesucian dan kekudusan pribadi mereka.
Ayat Wilâyah:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
(QS. Al-Nisa [4]:59)
Ayat ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, berkenaan dengan wilayah Imam Ali bin Abi Thalib As dan sebagai ikutannya adalah Ahlulbait yang lainnya.
Rasulullah Saw bersabda tentang ulil amri (yang memiliki wilayah atas kalian), Mereka adalah khalifahku dan para pemimpin kaum Muslimin selepasku. Yang pertama dari mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan dan Husain, kemudian Ali bin Husain, lalu Muhammad bin Ali yang dikenal sebagai Al-Baqir, kemudian Ja'far bin Muhammad Al-Shadiq, kemudian Musa bin Ja'far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang menyandang namaku – Muhammad. Dia yang akan menjadi hujjah Allah di muka bumi.
Hadis Tsaqalain
Rasulullah Saw bersabda, ―Boleh jadi saya akan segera dipanggil dan saya akan memenuhi panggilan itu. Oleh itu, saya tinggalkan setelahku dua pusaka berat (sangat berharga dan penting): Kitabullah (Al-Quran), yang merupakan tali yang terentang dari langit hingga bumi, dan Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah Swt telah mengabarkan kepadaku bahwa kedua pusaka ini tidak akan pernah berpisah antara satu dengan yang lain hingga keduanya menjumpaiku di Telaga Kautsar. Karena itu, berhati-hatilah bagaimana kalian memperlakukan keduanya selepasku."
Hadis ini setidaknya dideklarasikan pada lima kesempatan – pertama pada pidato Hajjatul Wida, kedua di Ghadir Khum, ketiga setelah Nabi Saw meninggalkan kota Thaif dekat Mekkah, keempat di atas mimbar di Madinah, dan kelima – sebelum beliau wafat – di bilik beliau yang dipenuhi oleh para sahabat.
Mengingat sangat pentingnya peranan Al-Quran, mengapa Nabi Saw menisbatkan Ahlulbait As dengan Al-Quran dan menempatkannya sebagai pusaka penting setelah Al-Quran? Jawabannya adalah bahwa Ahlulbait As merupakan yang terbaik dalam menjelaskan makna dan penafsiran yang sebenarnya dari Al-Quran. Al-Quran, sebagaimana ia menyebutkan dirinya sendiri, mengandung ayat-ayat jelas (muhkam) dan tidak jelas (mutasyabihat). Dengan demikian, penafsiran dari ayat-ayat mutasyabihat ini harus dilakukan oleh Nabi Saw sendiri, sebagaimana beliau lakukan untuk Ahlulbaitnya. Di samping itu, karena kedekatan mereka kepada Rasulullah Saw, mereka memiliki pengetahuan yang tidak tertandingi terhadap sunnah Rasulullah Saw.
Riwayat yang sama dari Rasulullah Saw tentang Ahlulbaitnya, "Permisalan Ahlulbaitku adalah laksana bahtera Nuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang menolak menaikinya niscaya akan karam."
"Sebagaimana bintang-gemintang melindungi manusia dari kesesatan dalam perjalanan, demikian juga Ahlulbaitku. Mereka adalah penjaga terhadap pelbagai hal-hal ikhtilaf dalam agama."
"Pengakuan terhadap keluarga Muhammad bermakna keselamatan dari api neraka. Kecintaan terhadap keluarga Muhammad merupakan tiket untuk melintasi jembatan shirath; ketaatan kepada keluarga Muhammad adalah pelindung dari kemurkaan Tuhan."
Bagian 6
Kemaksuman
Mazhab Syiah meyakini bahwa seluruh nabi Allah semenjak Adam hingga Muhammad, demikian juga dua belas khalifah Rasulullah Saw dan putrinya Sayidah Fatimah Zahra As, adalah orang-orang maksum sepanjang perjalanan hidup mereka dan tidak pernah melakukan jenis dosa apa pun yang bisa mengundang kemurkaan Allah. Jalan yang paling terang untuk melihat permasalahan ini adalah menimbang bahwa orang-orang ini merupakan teladan-teladan yang diutus kepada manusia untuk diikuti, dan apabila mereka melakukan kesalahan, maka orang-orang berkewajiban untuk mengikuti mereka bahkan tatkala mereka melakukan kesalahan. Jika demikian halnya, maka para nabi dan rasul ini akan menjadi orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
Kemaksuman bermakna perlindungan. Dalam terminologi Islam, ia bermakna anugerah spiritual yang diberikan Allah Swt kepada seseorang sehingga ia mampu menjauhkan dirinya dari dosa-dosa dengan kehendak dan pilihannya sendiri. Kekuatan kemaksuman atau keterjagaan dari perbuatan dosa tidak membuat seseorang tidak mampu melakukan dosa-dosa namun ia terjaga dari perbuatan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan dengan kekuasaan dan kebebasan yang dimilikinya. Kemaksuman sangat penting bagi para nabi dan rasul karena tugas mereka bukan hanya menyampaikan kitab-kitab suci Allah tetapi juga untuk memimpin dan membimbing manusia menuju jalan yang benar. Karena itu, mereka harus menjadi panutan dan teladan sempurna bagi umat manusia.
Baik Al-Quran dan kearifan umum menggambarkan hal ini bahwa: Al-Quran menyebutkan redaksi "ishmah" (kemaksuman) sebanyak tiga belas kali. Allah Swt berfirman kepada Iblis:Bahwa sesungguhnya engkau tidak akan dapat menguasai hamba-hamba-Ku, kecuali orang-orang sesat yang mengikutmu."
(QS. Al-Hijr [15]:42). Dalam menjawab firman Allah Swt ini, Iblis menjawab,“Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya " kecuali hamba-hamba-Mu yang disucikan (dari dosa) di antara mereka.” (yakni, para rasul dan para imam)
(QS. [38]:82)
Terdapat beberapa ayat dalam Al-Quran yang boleh jadi menandaskan bahwa beberapa orang nabi (seperti Adam, Musa, Yunus melakukan dosa. Terkait dengan Adam As, ia tidak mematuhi perintah wajib Allah Swt; perintah yang tidak ditunaikannya adalah perintah yang bersifat anjuran, bukan perintah yang bersifat harus dan wajib ditunaikan. Karena itu, menurut terminologi teknis Islam, ia tidak melakukan dosa.Dan sebelum ini sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Adam, tapi ia lupa (akan janji itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.
(QS. Thaha [20]:115) Kesalahan Adam adalah ia tidak memiliki kemauan yang kuat, namun ia tidak melanggar perintah Allah Swt karena perintah tersebut adalah bersifat anjuran (advirsory) bukan kewajiban (obligatory). Sebagai hasil dari perbuatannya ini, ia kehilangan keistimewaan dan kenikmatan yang dianugerahkan kepadanya di dalam surga. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalam surga dan tidak akan telanjang.Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.”"
(QS. Thaha [20]:118-119)
Ketika berbicara tentang ketidaktaatan Nabi Adam, Al-Quran tidak memaknai ketidaktaatan itu secara literal. Hal itu bermakna bahwa tidak diharapkan dari seorang seperti Nabi Adam yang merupakan seorang pemimpin bagi umat manusia untuk melanggar titah Allah Swt. Karena itu, tindakan yang dilakukan oleh Nabi Adam ini secara kiasan diartikan sebagai dosa dalam Al-Quran.
Terkait dengan Nabi Musa As, Al-Quran bertutur kata tentangnya,"Dan (menurut keyakinan mereka) aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku."
(QS. Al-Syu‘araa [26]:14)
Tudingan ini datang tatkala ia mendorong seorang pria dan secara tidak sengaja membunuhnya. Kala itu, Nabi Musa As mencoba membela salah seorang dari sukunya dan tatkala ia mendorong orang dari kaum Fir'aun, kebetulan orang yang didorong itu adalah orang yang sangat lemah sehingga terjatuh dan mati seketika. Nabi Musa As tidak bermaksud untuk membunuhnya, namun ia melarikan diri dari tempat kejadian lantaran ia tidak ingin tertawan Fir'aun dan pasukannya yang mencarinya.
Ketika Nabi Musa As berbicara tentang "tuduhan kejahatan" yang dilontarkan terhadapnya, ia mengulang tuduhan-tuduhan Fir'aun yang masyarakat tidak meyakini tuduhan-tuduhan tersebut ada benarnya.
Kasus Nabi Yunus juga kurang lebih sama dengan kasus Nabi Musa As. Al-Quran menyatakan, Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi (dari tengah-tengah kaumnya) dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya). Maka (setelah berada di dalam perut ikan hiu) ia menyeru di dalam kegelapan yang gulita,“Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.”
(QS. Al-Anbiya [21]:87) Dalam hal ini, Nabi Yunus bermaksud bahwa ia melakukan kesalahan pada dirinya sendiri, tetapi melakukan kesalahan pada diri sendiri bukanlah sebuah dosa atau sebuah kesalahan. Ia telah melakukan "kesalahan pada dirinya" karena tidak bersabar dengan para pengikutnya dan meninggalkan mereka ketika mereka bersikukuh menolak seruan untuk menyembah Allah Swt dan mengolok-oloknya hingga ia meninggalkan kaumnya untuk menghadapi nasibnya sendiri.
Sebagian besar ayat-ayat Al-Quran yang boleh jadi menyinggung perbuatan dosa yang dilakukan Nabi Muhammad Saw maka hal itu terkait dengan urusan penafsiran Al-Quran. Tidak semua ayat Al-Quran yang dimaksud dapat dipahami secara harfiah dan literal. Makna yang dalam kebanyakan tertimbun dari bentuk lahir ayat-ayat ini. Hal ini dinyatakan dalam Al-Quran, Dialah yang menurunkan al-Kitab (Al-Quran) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihât.Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah Dan orang-orang yang mendalam ilmunya (rasikhun fi al-Ilm) berkata. (Nabi Saw dan Ahlulbaitnya)
(QS. Ali Imran [3]:7)
Terlebih, karakter dan penghormatan umum yang disandarkan kepada Nabi Saw menunjukkan bahwa tanpa ragu ia bukanlah salah seorang pendosa atau orang yang melakukan kesalahan.
Riwayat yang tidak senonoh dapat ditemukan pada beberapa kitab hadis terkait dengan kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh sebagian nabi Allah. Misalnya, Imam Bukhari meriwayatkan: Umar meminta izin dari Nabi Saw untuk mengunjunginya tatkala beberapa wanita Quraisy sedang sibuk bercakap-cakap dengan Nabi Saw dan meninggikan suara mereka melebihi suara Nabi Saw. Ketika Umar meminta izin, mereka berdiri dan segera lari bersembunyi di balik tirai. Rasulullah Saw memberikan izin kepadanya sembari tersenyum. Saat itu, Umar berkata, "Ya Rasulullah! Semoga Allah membahagiakanmu sepanjang hidupmu." Kemudian Rasulullah Saw bersabda, "Aku memperhatikan (dengan takjub) wanita-wanita yang bersamaku, dan tidak lama setelah mendengar suaramu mereka segera mengenakan hijab."
Demikian pula, Imam Muslim menukil riwayat: "Abu Bakar datang menemuiku (Rasulullah Saw) dan di sampingku ada dua wanita dari kalangan wanita Anshar, dan mereka bernyanyi apa yang didendangkan oleh kaum Anshar sesama mereka pada peperangan Bua'ts. Tentu saja mereka bukan biduanita. Tatkala melihat ini, Abu Bakar berkata, "Apa! Alat setan dimainkan di kediaman Rasulullah Saw dan pada saat hari raya?" Mendengar ini, Rasulullah Saw berkata, "Abu Bakar, setiap orang punya hari raya. Dan hari ini adalah hari raya kita (Jadi, biarkan mereka memainkan alat musik itu)."
Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah Saw dilihat kencing berdiri di hadapan orang-orang.
Jelaslah, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Khalifah Pertama dan Kedua berserta orang-orang awam akan memandang bahwa hal-hal yang tidak islami tidak akan dipraktikkan Nabi Saw terang-terangan. Tidak ada seorang Muslim pun akan menerima perilaku dari seorang pemimpin kemanusiaan yang dijadikan sebagai panutan dan teladan oleh Al-Quran dan Al-Quran menitahkan kita untuk mengikutinya dari segala aspek.
Dalam kitab-kitab hadis, terdapat riwayat-riwayat yang tidak berdasar lainnya yang bertentangan dengan hikmah dan akal sehat.
Terdapat riwayat yang serupa dengan riwayat di atas berkenaan dengan nabi-nabi Allah lainnya. Sebagai contoh, Malaikat Maut datang kepada Musa dan berkata, "Penuhilah seruan Allah (bersiap-siaplah untuk mati). Musa menghajar mata Malaikat Maut dan membuatnya terjatuh. Malaikat Maut kembali kepada Allah dan berkata, "Engkau mengutusku kepada hamba-Mu yang tidak ingin mati dan ia menghajar mataku. Allah kemudian menyembuhkan matanya.
Seorang Muslim biadab yang menyerang seseorang yang menjalankan tugas kesehariannya akan disebut sebagai penganiaya dan penyerang, dia akan dihukum atas perbuatannya ini. Perbuatan tidak senonoh ini sama sekali tidak dapat diterima jika orang tersebut adalah salah seorang lima besar nabi Allah yang diutus untuk memberikan petunjuk, memberikan pencerahan dan mendidik manusia dengan teladan-teladan yang baik dan akhlak karimah. Mengapa seseorang seperti Nabi Musa menyerang Malaikat Maut yang datang kepadanya untuk membawanya lebih dekat kepada Allah Swt? Riwayat-riwayat semacam ini sama sekali tidak dapat diterima. Seorang Muslim yang bijak harus membuka matanya dalam mencermati kisah-kisah seperti ini dalam kitab-kitab hadis yang sama sekali tidak sejalan dan selaras dengan ajaran-ajaran Al-Quran .[]