Meretas jalan Islam Muhamadi

Meretas jalan Islam Muhamadi0%

Meretas jalan Islam Muhamadi pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Rasulullah & Ahlulbait

Meretas jalan Islam Muhamadi

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Sayid Moustafa Al-Qazwini
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 9690
Download: 3641

Komentar:

Meretas jalan Islam Muhamadi
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 23 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 9690 / Download: 3641
Ukuran Ukuran Ukuran
Meretas jalan Islam Muhamadi

Meretas jalan Islam Muhamadi

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bagian 7

Syafaat

Masalah syafaat merupakan salah satu masalah kontroversial dalam Islam. Mazhab Syiah dan sebagian mazhab Sunni menerima konsep syafaat dan sebagian lainnya menolaknya. Bagi mazhab yang menolak konsep syafaat beranggapan bahwa barangsiapa yang meyakini konsep ini, maka ia bukan seorang Muslim. Al-Quran menyampaikan masalah ini dalam tiga pendekatan. Pertama, ayat-ayat yang menafikan syafaat, seperti pada surah al-Baqarah ayat 123 dan ayat 254. Kemudian, ayat-ayat yang menyatakan bahwa syafaat secara eksklusif berada pada wilayah kodrati Tuhan – bahwa Dia dan hanya Dia yang memiliki kuasa untuk melakukan syafaat sebagaimana hal ini dinyatakan pada surah al-An'am [6] ayat 70 dan surah Ali Imran [3] ayat 44.

Bagian ketiga adalah ayat-ayat yang mengkhususkan dua kategori pertama dan memberikan pandangan utuh terhadap syafaat dalam Islam. Ayat-ayat ini menyebutkan bahwa syafaat semata hak Allah Swt, namun Dia menghendaki, kapapun Dia hendaki, melebarkan syafaat ini kepada orang-orang tertentu dalam penciptaan-Nya.

“Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya." (QS. Yunus [10]:3)

“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. (QS. Al-Baqarah [2]:255)

“Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pengasih telah memberi izin kepadanya dan meridai perkataannya. (QS. Al-Baqarah [2]:109)

“[Dan] mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. (QS. Al-Anbiya [21]:28)

“Mereka tidak berhak mendapat syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih. (QS. Maryam [19]:87)

“Dan tidaklah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah Dia izinkan memperoleh syafaat itu. (QS. Saba [34]:23)

Sesuai dengan ayat-ayat ini, terdapat orang-orang tertentu yang menerima izin dari Allah – seperti para nabi, imam dan wali – akan memberikan syafaat dan menolong orang-orang dengan izin Allah Swt. Tanpa izin-Nya tiada syafaat pun yang akan diterima.

Bahkan pada masa hidup, para nabi memiliki kemampuan dalam memberikan syafaat bagi orang-orang bertaubat dan mencari pengampunan dan ingin kembali ke jalan Allah:

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Nisa [4]:64)

“Mereka berkata, “Hai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” Ya„qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yusuf [12]:97-98)

Rasulullah Muhammad Saw juga menyebutkan syafaatnya:

"Aku akan memberikan syafaat pada hari Kiamat pada siapa saja yang memiliki iman dalam hatinya."[52]

"Setiap nabi sebelumku meminta kepada Allah untuk dianugerahkan sesuatu dan aku menyimpan permintaan hingga Hari Kiamat untuk memberikan syafaat kepada umatku."[53]

"Syafaatku bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar (al-kabair) kecuali dosa syirik dan kezaliman.[54]

"Terdapat lima hal yang memberikan syafaat: Al-Quran, kerabat terdekat, amanah, nabi kalian dan keluarga nabimu."[55]

Syafaat bukanlah bermakna meminta kepada Nabi Saw atau para Imam Maksum untuk melindungi atau menolak bala atau mendatangkan kebahagiaan dan kesuksesan melainkan memohon kepada Allah Swt melalui perantara orang-orang yang dekat kepada-Nya, seperti para nabi dan para imam.

Sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Quran, hanya mereka yang dijanjikan dan diizinkan Allah Swt yang dapat memberikan syafaat dan menolong orang-orang di hari Kiamat. Syafaat adalah bagi orang-orang yang tulus niatnya dan lurus imannya dalam kehidupan, yang tidak membangkang perintah Allah Swt juga tidak menantang wilayah-Nya dan juga tidak mengabaikan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban keagamaannya. Catatan amal kebaikan akan membantu mereka untuk menerima syafaat dari para nabi, imam dan orang-orang beriman di hari Kiamat.

Imam Ja'far Shadiq As, Imam Keenam Ahlulbait, pada detik-detik terakhir menjelang syahidnya, memanggil seluruh kerabat dan sahabatnya. Beliau bersabda, Sesungguhnya syafaat kami tidak meliputi orang-orang yang melalaikan shalat.[56]

Meminta Pertolongan Nabi Saw dan para Imam Maksum

Meminta pertolongan Nabi Saw dan para Imam Maksum As (juga disebut sebagai istighatsah al-nabi wa al-aimmah) dimaknai secara majazi bukan literal. Al-Quran mengajarkan orang-orang untuk beribadah dan mencari pertolongan pada Allah Swt (Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in). Bagaimanapun, meminta pertolongan dalam bentuk kiasan juga dibolehkan sebagaimana yang dicontohkan dalam Al-Quran. Misalnya, dalam kisah Nabi Musa As:―Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. (QS. Al-Qashash [28]:15).

Para perawi hadis meriwayatkan sebuah doa dari Nabi Saw yang bermula, "Allahumma! Aku menghadap kepada-Mu dengan perantara nabi-Mu nabi yang pengasih…(Allahumma inni atawajjahu ilaika bi nabiyyika nabiyyurahma). Kemudian disebutkan, "Wahai Muhammad! Aku menghadap kepada Allah dengan perantaramu (kiranya) engkau menyelesaikan kesulitan-kesulitanku."[57]

Demikian juga, diriwayatkan bahwa kaki Abdullah bin Umar bin Khaththab lumpuh dan tidak lagi dapat membawanya. Setelah diberitahu tentang siapa orang yang paling dekat dengannya, ia berkata, "Wa Muhammadah! Kakinya sembuh dan bekerja seperti sedia kala.[58] Al-Quran mengajarkan kepada kita untuk mencari pertolongan melalui shalat dan sabar.[59] Sabar di sini bermakna puasa dan shalat adalah sarana-sarana yang membimbing hamba akhirnya sampai kepada Allah. Dengan demikian, meminta pertolongan kepada Nabi Saw atau Imam Ali As adalah bersifat kiasan karena hal itu disepakati oleh semua orang bahwa Allah Swt adalah media pertolongan, sokongan dan bantuan.

Sebagian kaum Muslimin menyebut bahwa meminta pertolongan kepada Nabi Saw atau para Imam As merupakan perbuatan syirik. Mereka berdalih bahwa seseorang tidak boleh meminta pertolongan kepada siapapun. Namun jika seseorang menghadapi sebuah persoalan dalam hidup, tidakkah logis dan diterima apabila orang ini meminta pertolongan keapda orang terdekatnya? Jika seseorang yang hampir tenggelam meminta pertolongan, apakah permintaannya kepada orang lain selain Allah akan menjadikannya sebagai musyrik?

Dengan alasan yang sama, memohon pertolongan kepada Nabi Saw atau para Imam Maksum bukanlah tergolong perbuatan syirik. Dalih bahwa mereka tidak dapat dimintai pertolongan karena mereka telah mati juga tidak dapat diterima. Pasalnya, Al-Quran menolak anggapan bahwa orang-orang yang syahid itu adalah orang-orang mati. (QS. Ali Imran [3]:169; Al-Baqarah [2]:154)

Jika seorang Muslim biasa syahid di jalan Allah dipandang hidup, lantas bagaimana mungkin Nabi Saw dan Ahlubaitnya, yang bukan hanya para syuhada namun juga kedudukannya melampaui seluruh manusia, dapat dipandang mati?

Memohon pertolongan kepada Nabi Saw dan Ahlubaitnya tidak mengingkari kenyataan bahwa Allah Swt merupakan sumber pertolongan dan keselamatan di dunia ini. Namun, lantaran orang-orang ini merupakan orang-orang yang paling dekat kepada Allah Swt, dan karena mereka memiliki kedudukan spesial di sisi-Nya, memohon pertolongan kepada mereka bermakna memohon pertolongan kepada Allah melalui orang-orang yang Dia cintai. []

Bagian 8

Imam Mahdi As

Seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa pada akhir masa, Imam Mahdi As akan muncul kembali untuk menyebarkan keadilan di muka bumi setelah didominasi oleh kezaliman, kerusakan dan tirani. Namun, perbedaan di antara mazhab terkait dengan siapa gerangan dia dan apakah ia sudah lahir atau belum lahir. Para ulama besar menegaskan bahwa Imam Mahdi akan datang dan merupakan salah seorang anggota dari Ahlulbait Nabi Saw.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Rasulullah Saw, "Bagaimana perasaan kalian tatkala Isa Putra Maryam turun di antara kalian dan pemimpin (imam) dari kalangan kalian?"[60]

Imam Muslim meriwayatkan dari Rasulullah Saw, "Seorang khalifah akan muncul pada akhir zaman umatku." Tirmidzi dan Abu Daud dalam mengomentari hadis ini berkata bahwa khalifah yang dimaksud adalah Imam Mahdi.[61]

Abu Daud meriwayatkan dari Rasulullah Saw, ―Jika tidak tersisa dari akhir zaman kecuali sehari, maka Allah Swt akan memperpanjang hari tersebut hingga Dia mengutus seorang dari keturunanku yang namanya seperti namaku yang akan mengisi dunia dengan keadilan dan kesetaraan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan penindasan."[62]

Ibnu Majah menukil dari Rasulullah Saw, "Kami adalah Ahlulbait yang dengannya Allah Swt telah memilih akhirat ketimbang dunia ini." Ahlulbaitku setelahku akan menghadapi kesulitan-kesulitan, penderitaan-penderitaan dan penyiksaan di muka bumi hingga orang-orang akan muncul dari Timur, pembawa-pembawa panji-panji hitam. Mereka akan menuntut hak, namun tuntutan mereka diingkari. Lalu mereka berperang dan muncul sebagai pemenang. Mereka akan diberikan apa yang mereka tuntut namun tidak akan menerimanya hingga mereka menyerahkan hak tersebut kepada seseorang dari Ahlulbaitku yang akan mengisi bumi dengan keadilan setelah dijejali dengan penindasan."[63]

Ibnu Majah juga menukil dari Rasulullah Saw, "Mahdi adalah dari kami, Ahlulbait. Mahdi berasal dari keturunan Fatimah."[64]

Tirmidzi meriwayatkan dari Rasulullah Saw, "Seseorang dari Ahlulbait yang namanya seperti namaku sesungguhnya akan memerintah dunia, dan jika tidak tersisa hari sebelum akhir zaman kecuali sehari maka Allah Swt akan memperpanjang hari tersebut hingga ia memerintah."[65]

Menurut Mazhab Syiah, Imam Muhammad bin Hasan Al-Mahdi As lahir pada tahun 255 Hijriah (869 M) tepatnya pada 15 Sya'ban di kota Samarra, bagian Utara Irak. Ayahnya adalah Imam Hasan Askari As, yang garis keturunannya dapat ditelusuri hingga Imam Ali bin Abi Thalib As, dan ibunya bernama Nargis.

Ia adalah imam terakhir umat manusia di muka bumi, dan dengannya garis khilafah Rasulullah Saw akan berakhir. Karena keharusan hadirnya seorang khalifah dari sisi Allah di muka bumi, ia masih, dengan kehendak Allah, hidup di dunia ini – namun tidak nampak di hadapan umum. Akan tetapi ia akan hadir kembali pada akhir zaman peradaban manusia untuk mengembalikan tatanan dan keadilan setelah dipenuhi dengan kejahatan dan ketidakadilan.

Meski gagasan tentang Imam Mahdi yang masih hidup setelah hampir sembilan belas abad adalah sesuatu yang pelik untuk diterima oleh sebagian orang, Al-Quran membeberkan beberapa contoh para nabi yang hidup bahkan lebih tua dari masa hidup Imam Mahdi. Seperti Nabi Isa dan Nabi Khidir (lihat surah 18:60-82 kisahnya dengan Nabi Musa As). Al-Quran juga menyebutkan dua contoh lain tentang orang yang mati kemudian dibangkitkan oleh Allah Swt. Contoh pertama adalah Ashabul Kahf (lihat ayat 18:25). Contoh kedua adalah kisah Uzair: "Ataukah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya? Ia berkata, “Bagaimana mungkin Allah akan menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini selama seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah (dengan berlalunya masa itu). Dan lihatlah keledaimu (yang telah hancur menjadi tulang-belulang). Kami akan menjadikanmu sebagai tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu bagimana Kami menyusunnya kembali, lalu Kami membalutnya dengan daging.” Maka, tatkala telah nyata baginya (bagaimana Allah menghidupkan segala yang telah mati), ia pun berkata,“Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]:259)

Terlebih, jika Allah mengizinkan Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa untuk mempertontonkan beberapa mukjizat, kemudian mengizinkan Imam Mahdi As untuk hidup untuk waktu yang lama, maka hal itu tidak susah bagi-Nya, karena Dia mampu melakukan segala hal.[]

Bagian 9

Taqiyyah

Taqiyyah atau praktik menyembunyikan keyakinan tatkala berada di bawah ancaman atau siksaan, disebutkan dalam Al-Quran pada tiga tempat:

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (QS. Ali Imran [3]:28)

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).” (QS. Al-Nahl [16]:106)

“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fira„un yang menyembunyikan imannya.” (QS. Al-Mukmin [40]:28)

Ketiga ayat ini dengan jelas menunjukkan bolehnya menyembunyikan keyakinan dan pendapat tatkala terancam marabahaya. Mereka yang hidup di negara-negara yang sama sekali tidak toleran dengan pengikut Ahlulbait; demokrasi tidak diterapkan dan tirani, penindasan dan pelecehan hak asasi manusia merajalela; dan orang-orang cenderung disiksa, dianiaya dan dibunuh karena keyakinan mereka, maka kewajiban mereka adalah mempraktikkan taqiyyah sebagaimana yang didawuhkan Al-Quran untuk menyelamatkan jiwa, harta, keluarga dan sahabat mereka. Taqiyyah hanya boleh dipraktikan tatkala ada rasa takut yang mencekam dari marabahaya. Jika tidak ada rasa takut dan kerugian, seperti bagi kaum Muslimin yang hidup di Amerika dan Eropa, maka taqiyyah tidak boleh dijalankan.

Surah al-Nahl ayat 106 di atas secara khusus menggambarkan masalah ini. Ayat ini diturunkan untuk membolehkan sebagian sahabat Nabi Saw di Mekkah untuk mengekspresikan kekufuran mereka dengan lisannya dan menyembunyikan iman mereka dalam hati tatkala disiksa dan didera oleh Abu Sufyan. Bahkan, sahabat Rasulullah Saw sekaliber Ammar bin Yasir, menyatakan kekufuran tatkala orang-orang kafir menyiksanya di Mekkah. Orang-orang datang kepada Rasulullah Saw dan mengeluhkan bahwa Ammar telah menjadi seorang kafir. Rasulullah Saw menjawab, "Tidak. Sesungguhnya sekujur tubuh Ammar dipenuhi oleh iman." Kemudian beliau bersabda kepada Ammar bahwa jika orang-orang musyrik itu menyiksanya lagi, maka ia harus mengingkari keyakinannya di hadapan umum. Kisah ini juga disebutkan pada kitab-kitab tafsir terkait dengan ayat yang bersangkutan.

Orang yang pertama mempraktikan taqiyyah dalam Islam adalah Nabi Saw sendiri tatkala beliau menjalankan misinya secara sembunyi-sembunyi pada masa awal-awal kedatangan Islam. Selama tiga tahun,[66] misinya sangat rahasia, dan untuk melindungi pesan dan gagasan-gagasan yang beliau bawa, Nabi saw tidak mengungkapkannya kepada kaum Quraisy hingga Allah memerintahkannya untuk berdakwah secara terbuka: ―Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr [15]:94)

Kemudian Nabi Saw mulai menyeru masyarakat kepada Islam dan berdakwah secara terbuka setelah periode taqiyyah. Terlebih, sejarah menunjukkan bahwa banyak emimpin mazhab melakukan taqiyyah pada pelbagai kesempatan, seperti Imam Abu Hanifah, tatkala ia memberikan fatwa untuk meninggalkan shalat dan berbuka puasa di bulan Ramadhan bagi seseorang yang dipaksa. Demikian juga, Imam Malik dipaksa untuk menjalankan diplomasi tingkat tinggi dengan Dinasti Umayah dan Abbasiyah, ia menggunakan ayat 28 surah Ali Imran sebagai pembenaran.

Imam Syafi‘i juga mempraktikkan taqiyyah dalam fatwanya terkait dengan seorang yang bersumpah palsu atas nama Allah karena dipaksa bahwa ia tidak perlu menyerahkan kafarat.[67]

Imam Ghazali meriwayatkan bahwa wajib melindungi darah kaum Muslimin dan berdusta adalah wajib untuk melindungi tumpahnya darah seorang Muslim.[68]

Sebagian orang menyebutkan bahwa orang yang menjalankan taqiyyah adalah orang munafik. Namun, definisi munafik adalah menunjukkan iman selagi menyembunyikan kekufuran, sementara taqiyyah menunjukkan persetujuan padahal dalam hatinya ketidaksetujuan untuk melindungi diri, keluarga, harta dan agama.[]

Bagian 10

Melihat Allah (Ru'yat Allah)

Mazhab Syiah secara mutlak mengingkari bahwa Allah dapat dilihat. Alasannya adalah Tuhan tidak memiliki bentuk atau raga. Namun, mazhab dalam Islam lainnya menerima beberapa hadis yang tidak hanya mengklaim bahwa Allah Swt memiliki bagian-bagian fisik namun juga Dia dapat dilihat pada hari Kiamat persis sebagaimana objek atau benda yang terlihat di hadapan mata. Mereka juga mengklaim bahwa Allah mendiami ruang dan berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dasar argumentasi ini adalah hadis dan tidak bertitik-tolak dari Al-Quran. Sebagian dari riwayat tersebut adalah sebagai berikut:

"Tuhan kami, sebelum menciptakan ciptaan-Nya, tidak ada sesuatu apa pun bersama-Nya; di bawahnya adalah udara; di atasnya adalah udara kemudian Dia mencipta arasy-Nya di atas air."[69]

Pada hari Kiamat, akan dikatakan kepada Neraka, "Apakah engkau telah penuh?‖ Ia berkata, "Apakah masih ada lagi? Kemudian Allah Swt meletakkan kaki-Nya di dalamnya, kemudian neraka berkata, "Sekarang aku telah penuh."[70]

"Kami duduk bersama Nabi Saw tatkala beliau menyaksikan dan mengamati bulan purnama, ‘Kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian menyaksikan bulan ini, dan engkau tidak akan terluka dengan melihat-Nya."[71]

Riwayat terakhir, khususnya, menegaskan bahwa manusia akan melihat Allah dengan mata fisik mereka, terlepas bahwa manusia tersebut adalah orang baik atau orang munafik. Melihat Allah bermakna bahwa Allah harus memiliki badan fisik dan mesti mendiami ruangan fisikal; Imam Malik bin Anas dan Imam Syafii menerima pendapat ini, sedangakn Imam Ahmad bin Hambal memandang bahwa keyakinan ini merupakan dasar-dasar agama.

Dalam pandangan Mazhab Ahlulbait melihat Allah Swt adalah suatu hal yang mustahil. Hal ini didukung oleh Al-Quran dan logika. Al-Quran menyatakan dengan jelas,―Dia tidak dapat digapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat menggapai (melihat) segala penglihatan itu.” (QS. Al-An'am [6]:103)

Lebih-lebih, terdapat banyak contoh orang-orang yang meminta untuk melihat Allah Swt dan jawaban Allah Swt atas permintaan mereka: ―Dan (ingatlah) ketika kamu berkata,“Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.” Lalu karena itu halilintar menyambarmu sedang kamu menyaksikannya.” (QS. Al-Baqarah [2]:55)

“Ahli kitab meminta kepadamu (Muhammad) agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Sesungguhnya mereka pernah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, “Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata.” Maka mereka disambar petir karena kezalimannya.” (QS. Al-Nisa [4]:53)

“Dan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman.” (QS. Al-Furqan [25]:21)

“Dan tatkala Musa datang ke tempat perjanjian yang telah Kami tentukan dan Tuhan berfirman (langsung) kepadanya, Musa berkata, “Ya Tuhan-ku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah bukit itu. Jika bukit itu tetap berada di tempatnya (sebagai sediakala), niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, Dia menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali, ia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.” (Qs. Al-A'raf [7]:143)

Jika melihat Allah Swt adalah mustahil bagi para nabi dan rasul Allah, lalu bagaimana hal itu mungkin bagi orang lain, baik di dunia maupun di akhirat.

Secara logis, untuk melihat sebuah objek, maka objek tersebut harus memiliki beberapa sifat tertentu. Pertama, objek tersebut memiliki sebuah arah yang jelas, seperti berada di depan atau sebelah kiri atau kanan orang yang menyaksikannya. Kedua, harus ada jarak antara orang yang melihat dan objek yang dilihat. Melihat objek akan menjadi mustahil apabila jaraknya sangat jauh atau sangat dekat. Allah Swt bukan bendak fisik yang dapat kita tunjuk jari dan dapat dilihat, juga tidak mendiami ruang. Meski Al-Quran menyatakan:―Dan Dia-lah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya. (QS. Al-An'am [6]:61)dan, Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Nahl [16]:50) Redaksi "atas mereka" berkaitan dengan kekuasaan, kodrat dan ketinggian Tuhan di atas hamba-hamba-Nya. Bukan bermakna suatu tempat, ruang, area, tinggi atau lokasi fisik. Sifat-sifat ini tidak dapat diterapkan pada Tuhan.

Pada waktu mikraj ke langit, Nabi Saw dipanggil oleh Tuhannya dengan redaksi kalimat ini: "Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji dirimu sendiri." Sementara Nabi Yunus dipanggil Tuhannya dari kedalaman laut dengan ungkapan:―tiada Tuhan selain Engkau, Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi (dari tengah-tengah kaumnya) dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya). Maka (setelah berada di dalam perut ikan hiu) ia menyeru di dalam kegelapan yang gulita, “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. (QS. Al-Anbiya [21]:87)

Terkait dengan Nabi Yunus As, Rasulullah Saw bersabda, "Jangan meninggikan aku atasnya terkait dengan kedekatan kepada Allah Swt hanya karena aku telah mencapai arasy, sementara ia di bawah ke dalam laut, karena (Tuhan) yang dipuji adalah di atas untuk dibatasi pada ruang atau sebuah arah."

Imam Ali As ditanya oleh salah seorang sahabatnya, Tsa'lab Yamani, apakah ia telah melihat Tuhannya. Imam Ali As menjawab, "Bagaimana mungkin aku menyembah sesuatu yang aku tidak lihat?" Ketika beliau ditanya bagaimana ia melihat-Nya, Imam Ali As menjawab, "Mata tidak mampu menggapai-Nya dengan pandangan fisik, namun hati dapat menggapai-Nya dengan hakikat-hakikat iman."[72]

Terdapat banyak hal yang tidak dapat digapai oleh manusia dan manusia tidak memiliki akses fisikal namun demikian manusia tetap meyakininya. Imam Ja'far Shadiq As suatu waktu ditanya, "Dapatkah Allah Swt dilihat pada hari Kiamat?" Jawabannya adalah: "Allah Swt sangat suci dan tinggi dari hal itu! Mata dapat menggapai sebuah benda yang berwarna dan berbentuk, namun Allah Swt adalah Pencipta warna dan bentuk."

Demikian juga, sisi-sisi Allah, seperti "tangan" atau "wajah"-Nya adalah bermakna kiasan. Tangan Allah bertaut dengan kekuasaan dan kodrat, dan wajah-Nya berkaitan dengan hal-hal yang lain.

Langkah pertama dalam masalah tauhid dan keesaan Allah Swt adalah memahami bahwa Dia Swt bukan badan dan tidak akan pernah dilihat dan bahwa Dia adalah Esa sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran,―Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Al-Syura [42]:11)[]

Bagian 11

Shalawat atas Nabi Saw

Kaum Muslimin diperintahkan al Qur-an pada surah al Ahzab (33) ayat 56 untuk menyampaikan shalawat kepada Rasulullah Saw. Nabi Saw telah menunjukkan bagaimana melakukan hal ini dan juga memerintahkan kepada para pengikutnya untuk tidak menyampaikan shalawat semata kepadanya saja namun juga shalawat kepada keluarganya. Rasulullah Saw bersabda: Jangan kirimkan aku shalawat bunting. ―Para sahabat bertanya: ―Apakah gerangan shalawat bunting itu? Rasulullah Saw menjawab: ―Ketika kalian berkata, ―Allahumma shalli ala Muhammad dan kemudian berhenti. Kalian harus berkata; ―Allahumma Shalli ‗ala Nuhammad wa Ali Muhammad.[73] ―Doa tidak akan diterima kecuali (doa tersebut disertai) dengan shalawat kepada Rasulullah Saw dan keluarganya.[74]

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Laila sebagaimana dinukil oleh Imam Bukhari:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Laila sebagaimana dinukil oleh Imam Bukhari: ―Rasulullah Saw datang kepada kami, dan kami berkata kepadanya: ―Kami telah belajar bagaimana menyerumu, bagaimana kami berdoa untukmu? Rasulullah Saw bersabda: ―Katakanlah! Alllahumma Shalli „ala Muhammad wa Ali Muhammad kama Shallaita „ala Ibrahim wa Ali Ibrahim. ―Sesungguhnya Engkau satu-satunya yang layak dipuji. Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana engkau sampaikan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya engkau yang patut di puji. Ya Karim.[75]

Tatkala mengajarkan sahabatnya shalawat ini, Rasulullah Saw secara khusus memasukkan keluarganya (Ali Muhammad). Karena itu, kaum Muslimin harus mengikuti ajaran Rasulullah Saw dan mengirimkan salam dan shalawat kepada mereka yang diperintahkan oleh Nabi Saw.[]