Bagian 7
Syafaat
Masalah syafaat merupakan salah satu masalah kontroversial dalam Islam. Mazhab Syiah dan sebagian mazhab Sunni menerima konsep syafaat dan sebagian lainnya menolaknya. Bagi mazhab yang menolak konsep syafaat beranggapan bahwa barangsiapa yang meyakini konsep ini, maka ia bukan seorang Muslim. Al-Quran menyampaikan masalah ini dalam tiga pendekatan. Pertama, ayat-ayat yang menafikan syafaat, seperti pada surah al-Baqarah ayat 123 dan ayat 254. Kemudian, ayat-ayat yang menyatakan bahwa syafaat secara eksklusif berada pada wilayah kodrati Tuhan – bahwa Dia dan hanya Dia yang memiliki kuasa untuk melakukan syafaat sebagaimana hal ini dinyatakan pada surah al-An'am [6] ayat 70 dan surah Ali Imran [3] ayat 44.
Bagian ketiga adalah ayat-ayat yang mengkhususkan dua kategori pertama dan memberikan pandangan utuh terhadap syafaat dalam Islam. Ayat-ayat ini menyebutkan bahwa syafaat semata hak Allah Swt, namun Dia menghendaki, kapapun Dia hendaki, melebarkan syafaat ini kepada orang-orang tertentu dalam penciptaan-Nya.
“Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya."
(QS. Yunus [10]:3)
“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.
(QS. Al-Baqarah [2]:255)
“Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pengasih telah memberi izin kepadanya dan meridai perkataannya.
(QS. Al-Baqarah [2]:109)
“[Dan] mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.
(QS. Al-Anbiya [21]:28)
“Mereka tidak berhak mendapat syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih.
(QS. Maryam [19]:87)
“Dan tidaklah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah Dia izinkan memperoleh syafaat itu.
(QS. Saba [34]:23)
Sesuai dengan ayat-ayat ini, terdapat orang-orang tertentu yang menerima izin dari Allah – seperti para nabi, imam dan wali – akan memberikan syafaat dan menolong orang-orang dengan izin Allah Swt. Tanpa izin-Nya tiada syafaat pun yang akan diterima.
Bahkan pada masa hidup, para nabi memiliki kemampuan dalam memberikan syafaat bagi orang-orang bertaubat dan mencari pengampunan dan ingin kembali ke jalan Allah:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.
(QS. Al-Nisa [4]:64)
“Mereka berkata, “Hai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” Ya„qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Yusuf [12]:97-98)
Rasulullah Muhammad Saw juga menyebutkan syafaatnya:
"Aku akan memberikan syafaat pada hari Kiamat pada siapa saja yang memiliki iman dalam hatinya."
"Setiap nabi sebelumku meminta kepada Allah untuk dianugerahkan sesuatu dan aku menyimpan permintaan hingga Hari Kiamat untuk memberikan syafaat kepada umatku."
"Syafaatku bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar (al-kabair) kecuali dosa syirik dan kezaliman.
"Terdapat lima hal yang memberikan syafaat: Al-Quran, kerabat terdekat, amanah, nabi kalian dan keluarga nabimu."
Syafaat bukanlah bermakna meminta kepada Nabi Saw atau para Imam Maksum untuk melindungi atau menolak bala atau mendatangkan kebahagiaan dan kesuksesan melainkan memohon kepada Allah Swt melalui perantara orang-orang yang dekat kepada-Nya, seperti para nabi dan para imam.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Quran, hanya mereka yang dijanjikan dan diizinkan Allah Swt yang dapat memberikan syafaat dan menolong orang-orang di hari Kiamat. Syafaat adalah bagi orang-orang yang tulus niatnya dan lurus imannya dalam kehidupan, yang tidak membangkang perintah Allah Swt juga tidak menantang wilayah-Nya dan juga tidak mengabaikan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban keagamaannya. Catatan amal kebaikan akan membantu mereka untuk menerima syafaat dari para nabi, imam dan orang-orang beriman di hari Kiamat.
Imam Ja'far Shadiq As, Imam Keenam Ahlulbait, pada detik-detik terakhir menjelang syahidnya, memanggil seluruh kerabat dan sahabatnya. Beliau bersabda, Sesungguhnya syafaat kami tidak meliputi orang-orang yang melalaikan shalat.
Meminta Pertolongan Nabi Saw dan para Imam Maksum
Meminta pertolongan Nabi Saw dan para Imam Maksum As (juga disebut sebagai istighatsah al-nabi wa al-aimmah) dimaknai secara majazi bukan literal. Al-Quran mengajarkan orang-orang untuk beribadah dan mencari pertolongan pada Allah Swt (Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in). Bagaimanapun, meminta pertolongan dalam bentuk kiasan juga dibolehkan sebagaimana yang dicontohkan dalam Al-Quran. Misalnya, dalam kisah Nabi Musa As:―Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu.
(QS. Al-Qashash [28]:15).
Para perawi hadis meriwayatkan sebuah doa dari Nabi Saw yang bermula, "Allahumma! Aku menghadap kepada-Mu dengan perantara nabi-Mu nabi yang pengasih…(Allahumma inni atawajjahu ilaika bi nabiyyika nabiyyurahma). Kemudian disebutkan, "Wahai Muhammad! Aku menghadap kepada Allah dengan perantaramu (kiranya) engkau menyelesaikan kesulitan-kesulitanku."
Demikian juga, diriwayatkan bahwa kaki Abdullah bin Umar bin Khaththab lumpuh dan tidak lagi dapat membawanya. Setelah diberitahu tentang siapa orang yang paling dekat dengannya, ia berkata, "Wa Muhammadah! Kakinya sembuh dan bekerja seperti sedia kala.
Al-Quran mengajarkan kepada kita untuk mencari pertolongan melalui shalat dan sabar.
Sabar di sini bermakna puasa dan shalat adalah sarana-sarana yang membimbing hamba akhirnya sampai kepada Allah. Dengan demikian, meminta pertolongan kepada Nabi Saw atau Imam Ali As adalah bersifat kiasan karena hal itu disepakati oleh semua orang bahwa Allah Swt adalah media pertolongan, sokongan dan bantuan.
Sebagian kaum Muslimin menyebut bahwa meminta pertolongan kepada Nabi Saw atau para Imam As merupakan perbuatan syirik. Mereka berdalih bahwa seseorang tidak boleh meminta pertolongan kepada siapapun. Namun jika seseorang menghadapi sebuah persoalan dalam hidup, tidakkah logis dan diterima apabila orang ini meminta pertolongan keapda orang terdekatnya? Jika seseorang yang hampir tenggelam meminta pertolongan, apakah permintaannya kepada orang lain selain Allah akan menjadikannya sebagai musyrik?
Dengan alasan yang sama, memohon pertolongan kepada Nabi Saw atau para Imam Maksum bukanlah tergolong perbuatan syirik. Dalih bahwa mereka tidak dapat dimintai pertolongan karena mereka telah mati juga tidak dapat diterima. Pasalnya, Al-Quran menolak anggapan bahwa orang-orang yang syahid itu adalah orang-orang mati. (QS. Ali Imran [3]:169; Al-Baqarah [2]:154)
Jika seorang Muslim biasa syahid di jalan Allah dipandang hidup, lantas bagaimana mungkin Nabi Saw dan Ahlubaitnya, yang bukan hanya para syuhada namun juga kedudukannya melampaui seluruh manusia, dapat dipandang mati?
Memohon pertolongan kepada Nabi Saw dan Ahlubaitnya tidak mengingkari kenyataan bahwa Allah Swt merupakan sumber pertolongan dan keselamatan di dunia ini. Namun, lantaran orang-orang ini merupakan orang-orang yang paling dekat kepada Allah Swt, dan karena mereka memiliki kedudukan spesial di sisi-Nya, memohon pertolongan kepada mereka bermakna memohon pertolongan kepada Allah melalui orang-orang yang Dia cintai. []