Meretas jalan Islam Muhamadi

Meretas jalan Islam Muhamadi28%

Meretas jalan Islam Muhamadi pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Rasulullah & Ahlulbait

Meretas jalan Islam Muhamadi
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 23 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 10329 / Download: 4358
Ukuran Ukuran Ukuran
Meretas jalan Islam Muhamadi

Meretas jalan Islam Muhamadi

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bagian 7

Syafaat

Masalah syafaat merupakan salah satu masalah kontroversial dalam Islam. Mazhab Syiah dan sebagian mazhab Sunni menerima konsep syafaat dan sebagian lainnya menolaknya. Bagi mazhab yang menolak konsep syafaat beranggapan bahwa barangsiapa yang meyakini konsep ini, maka ia bukan seorang Muslim. Al-Quran menyampaikan masalah ini dalam tiga pendekatan. Pertama, ayat-ayat yang menafikan syafaat, seperti pada surah al-Baqarah ayat 123 dan ayat 254. Kemudian, ayat-ayat yang menyatakan bahwa syafaat secara eksklusif berada pada wilayah kodrati Tuhan – bahwa Dia dan hanya Dia yang memiliki kuasa untuk melakukan syafaat sebagaimana hal ini dinyatakan pada surah al-An'am [6] ayat 70 dan surah Ali Imran [3] ayat 44.

Bagian ketiga adalah ayat-ayat yang mengkhususkan dua kategori pertama dan memberikan pandangan utuh terhadap syafaat dalam Islam. Ayat-ayat ini menyebutkan bahwa syafaat semata hak Allah Swt, namun Dia menghendaki, kapapun Dia hendaki, melebarkan syafaat ini kepada orang-orang tertentu dalam penciptaan-Nya.

“Tiada seorang pun yang akan memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya." (QS. Yunus [10]:3)

“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. (QS. Al-Baqarah [2]:255)

“Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pengasih telah memberi izin kepadanya dan meridai perkataannya. (QS. Al-Baqarah [2]:109)

“[Dan] mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. (QS. Al-Anbiya [21]:28)

“Mereka tidak berhak mendapat syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih. (QS. Maryam [19]:87)

“Dan tidaklah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah Dia izinkan memperoleh syafaat itu. (QS. Saba [34]:23)

Sesuai dengan ayat-ayat ini, terdapat orang-orang tertentu yang menerima izin dari Allah – seperti para nabi, imam dan wali – akan memberikan syafaat dan menolong orang-orang dengan izin Allah Swt. Tanpa izin-Nya tiada syafaat pun yang akan diterima.

Bahkan pada masa hidup, para nabi memiliki kemampuan dalam memberikan syafaat bagi orang-orang bertaubat dan mencari pengampunan dan ingin kembali ke jalan Allah:

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Nisa [4]:64)

“Mereka berkata, “Hai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” Ya„qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yusuf [12]:97-98)

Rasulullah Muhammad Saw juga menyebutkan syafaatnya:

"Aku akan memberikan syafaat pada hari Kiamat pada siapa saja yang memiliki iman dalam hatinya."[52]

"Setiap nabi sebelumku meminta kepada Allah untuk dianugerahkan sesuatu dan aku menyimpan permintaan hingga Hari Kiamat untuk memberikan syafaat kepada umatku."[53]

"Syafaatku bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar (al-kabair) kecuali dosa syirik dan kezaliman.[54]

"Terdapat lima hal yang memberikan syafaat: Al-Quran, kerabat terdekat, amanah, nabi kalian dan keluarga nabimu."[55]

Syafaat bukanlah bermakna meminta kepada Nabi Saw atau para Imam Maksum untuk melindungi atau menolak bala atau mendatangkan kebahagiaan dan kesuksesan melainkan memohon kepada Allah Swt melalui perantara orang-orang yang dekat kepada-Nya, seperti para nabi dan para imam.

Sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Quran, hanya mereka yang dijanjikan dan diizinkan Allah Swt yang dapat memberikan syafaat dan menolong orang-orang di hari Kiamat. Syafaat adalah bagi orang-orang yang tulus niatnya dan lurus imannya dalam kehidupan, yang tidak membangkang perintah Allah Swt juga tidak menantang wilayah-Nya dan juga tidak mengabaikan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban keagamaannya. Catatan amal kebaikan akan membantu mereka untuk menerima syafaat dari para nabi, imam dan orang-orang beriman di hari Kiamat.

Imam Ja'far Shadiq As, Imam Keenam Ahlulbait, pada detik-detik terakhir menjelang syahidnya, memanggil seluruh kerabat dan sahabatnya. Beliau bersabda, Sesungguhnya syafaat kami tidak meliputi orang-orang yang melalaikan shalat.[56]

Meminta Pertolongan Nabi Saw dan para Imam Maksum

Meminta pertolongan Nabi Saw dan para Imam Maksum As (juga disebut sebagai istighatsah al-nabi wa al-aimmah) dimaknai secara majazi bukan literal. Al-Quran mengajarkan orang-orang untuk beribadah dan mencari pertolongan pada Allah Swt (Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in). Bagaimanapun, meminta pertolongan dalam bentuk kiasan juga dibolehkan sebagaimana yang dicontohkan dalam Al-Quran. Misalnya, dalam kisah Nabi Musa As:―Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. (QS. Al-Qashash [28]:15).

Para perawi hadis meriwayatkan sebuah doa dari Nabi Saw yang bermula, "Allahumma! Aku menghadap kepada-Mu dengan perantara nabi-Mu nabi yang pengasih…(Allahumma inni atawajjahu ilaika bi nabiyyika nabiyyurahma). Kemudian disebutkan, "Wahai Muhammad! Aku menghadap kepada Allah dengan perantaramu (kiranya) engkau menyelesaikan kesulitan-kesulitanku."[57]

Demikian juga, diriwayatkan bahwa kaki Abdullah bin Umar bin Khaththab lumpuh dan tidak lagi dapat membawanya. Setelah diberitahu tentang siapa orang yang paling dekat dengannya, ia berkata, "Wa Muhammadah! Kakinya sembuh dan bekerja seperti sedia kala.[58] Al-Quran mengajarkan kepada kita untuk mencari pertolongan melalui shalat dan sabar.[59] Sabar di sini bermakna puasa dan shalat adalah sarana-sarana yang membimbing hamba akhirnya sampai kepada Allah. Dengan demikian, meminta pertolongan kepada Nabi Saw atau Imam Ali As adalah bersifat kiasan karena hal itu disepakati oleh semua orang bahwa Allah Swt adalah media pertolongan, sokongan dan bantuan.

Sebagian kaum Muslimin menyebut bahwa meminta pertolongan kepada Nabi Saw atau para Imam As merupakan perbuatan syirik. Mereka berdalih bahwa seseorang tidak boleh meminta pertolongan kepada siapapun. Namun jika seseorang menghadapi sebuah persoalan dalam hidup, tidakkah logis dan diterima apabila orang ini meminta pertolongan keapda orang terdekatnya? Jika seseorang yang hampir tenggelam meminta pertolongan, apakah permintaannya kepada orang lain selain Allah akan menjadikannya sebagai musyrik?

Dengan alasan yang sama, memohon pertolongan kepada Nabi Saw atau para Imam Maksum bukanlah tergolong perbuatan syirik. Dalih bahwa mereka tidak dapat dimintai pertolongan karena mereka telah mati juga tidak dapat diterima. Pasalnya, Al-Quran menolak anggapan bahwa orang-orang yang syahid itu adalah orang-orang mati. (QS. Ali Imran [3]:169; Al-Baqarah [2]:154)

Jika seorang Muslim biasa syahid di jalan Allah dipandang hidup, lantas bagaimana mungkin Nabi Saw dan Ahlubaitnya, yang bukan hanya para syuhada namun juga kedudukannya melampaui seluruh manusia, dapat dipandang mati?

Memohon pertolongan kepada Nabi Saw dan Ahlubaitnya tidak mengingkari kenyataan bahwa Allah Swt merupakan sumber pertolongan dan keselamatan di dunia ini. Namun, lantaran orang-orang ini merupakan orang-orang yang paling dekat kepada Allah Swt, dan karena mereka memiliki kedudukan spesial di sisi-Nya, memohon pertolongan kepada mereka bermakna memohon pertolongan kepada Allah melalui orang-orang yang Dia cintai. []

Bagian 8

Imam Mahdi As

Seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa pada akhir masa, Imam Mahdi As akan muncul kembali untuk menyebarkan keadilan di muka bumi setelah didominasi oleh kezaliman, kerusakan dan tirani. Namun, perbedaan di antara mazhab terkait dengan siapa gerangan dia dan apakah ia sudah lahir atau belum lahir. Para ulama besar menegaskan bahwa Imam Mahdi akan datang dan merupakan salah seorang anggota dari Ahlulbait Nabi Saw.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Rasulullah Saw, "Bagaimana perasaan kalian tatkala Isa Putra Maryam turun di antara kalian dan pemimpin (imam) dari kalangan kalian?"[60]

Imam Muslim meriwayatkan dari Rasulullah Saw, "Seorang khalifah akan muncul pada akhir zaman umatku." Tirmidzi dan Abu Daud dalam mengomentari hadis ini berkata bahwa khalifah yang dimaksud adalah Imam Mahdi.[61]

Abu Daud meriwayatkan dari Rasulullah Saw, ―Jika tidak tersisa dari akhir zaman kecuali sehari, maka Allah Swt akan memperpanjang hari tersebut hingga Dia mengutus seorang dari keturunanku yang namanya seperti namaku yang akan mengisi dunia dengan keadilan dan kesetaraan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan penindasan."[62]

Ibnu Majah menukil dari Rasulullah Saw, "Kami adalah Ahlulbait yang dengannya Allah Swt telah memilih akhirat ketimbang dunia ini." Ahlulbaitku setelahku akan menghadapi kesulitan-kesulitan, penderitaan-penderitaan dan penyiksaan di muka bumi hingga orang-orang akan muncul dari Timur, pembawa-pembawa panji-panji hitam. Mereka akan menuntut hak, namun tuntutan mereka diingkari. Lalu mereka berperang dan muncul sebagai pemenang. Mereka akan diberikan apa yang mereka tuntut namun tidak akan menerimanya hingga mereka menyerahkan hak tersebut kepada seseorang dari Ahlulbaitku yang akan mengisi bumi dengan keadilan setelah dijejali dengan penindasan."[63]

Ibnu Majah juga menukil dari Rasulullah Saw, "Mahdi adalah dari kami, Ahlulbait. Mahdi berasal dari keturunan Fatimah."[64]

Tirmidzi meriwayatkan dari Rasulullah Saw, "Seseorang dari Ahlulbait yang namanya seperti namaku sesungguhnya akan memerintah dunia, dan jika tidak tersisa hari sebelum akhir zaman kecuali sehari maka Allah Swt akan memperpanjang hari tersebut hingga ia memerintah."[65]

Menurut Mazhab Syiah, Imam Muhammad bin Hasan Al-Mahdi As lahir pada tahun 255 Hijriah (869 M) tepatnya pada 15 Sya'ban di kota Samarra, bagian Utara Irak. Ayahnya adalah Imam Hasan Askari As, yang garis keturunannya dapat ditelusuri hingga Imam Ali bin Abi Thalib As, dan ibunya bernama Nargis.

Ia adalah imam terakhir umat manusia di muka bumi, dan dengannya garis khilafah Rasulullah Saw akan berakhir. Karena keharusan hadirnya seorang khalifah dari sisi Allah di muka bumi, ia masih, dengan kehendak Allah, hidup di dunia ini – namun tidak nampak di hadapan umum. Akan tetapi ia akan hadir kembali pada akhir zaman peradaban manusia untuk mengembalikan tatanan dan keadilan setelah dipenuhi dengan kejahatan dan ketidakadilan.

Meski gagasan tentang Imam Mahdi yang masih hidup setelah hampir sembilan belas abad adalah sesuatu yang pelik untuk diterima oleh sebagian orang, Al-Quran membeberkan beberapa contoh para nabi yang hidup bahkan lebih tua dari masa hidup Imam Mahdi. Seperti Nabi Isa dan Nabi Khidir (lihat surah 18:60-82 kisahnya dengan Nabi Musa As). Al-Quran juga menyebutkan dua contoh lain tentang orang yang mati kemudian dibangkitkan oleh Allah Swt. Contoh pertama adalah Ashabul Kahf (lihat ayat 18:25). Contoh kedua adalah kisah Uzair: "Ataukah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya? Ia berkata, “Bagaimana mungkin Allah akan menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini selama seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah (dengan berlalunya masa itu). Dan lihatlah keledaimu (yang telah hancur menjadi tulang-belulang). Kami akan menjadikanmu sebagai tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu bagimana Kami menyusunnya kembali, lalu Kami membalutnya dengan daging.” Maka, tatkala telah nyata baginya (bagaimana Allah menghidupkan segala yang telah mati), ia pun berkata,“Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]:259)

Terlebih, jika Allah mengizinkan Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa untuk mempertontonkan beberapa mukjizat, kemudian mengizinkan Imam Mahdi As untuk hidup untuk waktu yang lama, maka hal itu tidak susah bagi-Nya, karena Dia mampu melakukan segala hal.[]

Bagian 9

Taqiyyah

Taqiyyah atau praktik menyembunyikan keyakinan tatkala berada di bawah ancaman atau siksaan, disebutkan dalam Al-Quran pada tiga tempat:

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (QS. Ali Imran [3]:28)

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).” (QS. Al-Nahl [16]:106)

“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fira„un yang menyembunyikan imannya.” (QS. Al-Mukmin [40]:28)

Ketiga ayat ini dengan jelas menunjukkan bolehnya menyembunyikan keyakinan dan pendapat tatkala terancam marabahaya. Mereka yang hidup di negara-negara yang sama sekali tidak toleran dengan pengikut Ahlulbait; demokrasi tidak diterapkan dan tirani, penindasan dan pelecehan hak asasi manusia merajalela; dan orang-orang cenderung disiksa, dianiaya dan dibunuh karena keyakinan mereka, maka kewajiban mereka adalah mempraktikkan taqiyyah sebagaimana yang didawuhkan Al-Quran untuk menyelamatkan jiwa, harta, keluarga dan sahabat mereka. Taqiyyah hanya boleh dipraktikan tatkala ada rasa takut yang mencekam dari marabahaya. Jika tidak ada rasa takut dan kerugian, seperti bagi kaum Muslimin yang hidup di Amerika dan Eropa, maka taqiyyah tidak boleh dijalankan.

Surah al-Nahl ayat 106 di atas secara khusus menggambarkan masalah ini. Ayat ini diturunkan untuk membolehkan sebagian sahabat Nabi Saw di Mekkah untuk mengekspresikan kekufuran mereka dengan lisannya dan menyembunyikan iman mereka dalam hati tatkala disiksa dan didera oleh Abu Sufyan. Bahkan, sahabat Rasulullah Saw sekaliber Ammar bin Yasir, menyatakan kekufuran tatkala orang-orang kafir menyiksanya di Mekkah. Orang-orang datang kepada Rasulullah Saw dan mengeluhkan bahwa Ammar telah menjadi seorang kafir. Rasulullah Saw menjawab, "Tidak. Sesungguhnya sekujur tubuh Ammar dipenuhi oleh iman." Kemudian beliau bersabda kepada Ammar bahwa jika orang-orang musyrik itu menyiksanya lagi, maka ia harus mengingkari keyakinannya di hadapan umum. Kisah ini juga disebutkan pada kitab-kitab tafsir terkait dengan ayat yang bersangkutan.

Orang yang pertama mempraktikan taqiyyah dalam Islam adalah Nabi Saw sendiri tatkala beliau menjalankan misinya secara sembunyi-sembunyi pada masa awal-awal kedatangan Islam. Selama tiga tahun,[66] misinya sangat rahasia, dan untuk melindungi pesan dan gagasan-gagasan yang beliau bawa, Nabi saw tidak mengungkapkannya kepada kaum Quraisy hingga Allah memerintahkannya untuk berdakwah secara terbuka: ―Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr [15]:94)

Kemudian Nabi Saw mulai menyeru masyarakat kepada Islam dan berdakwah secara terbuka setelah periode taqiyyah. Terlebih, sejarah menunjukkan bahwa banyak emimpin mazhab melakukan taqiyyah pada pelbagai kesempatan, seperti Imam Abu Hanifah, tatkala ia memberikan fatwa untuk meninggalkan shalat dan berbuka puasa di bulan Ramadhan bagi seseorang yang dipaksa. Demikian juga, Imam Malik dipaksa untuk menjalankan diplomasi tingkat tinggi dengan Dinasti Umayah dan Abbasiyah, ia menggunakan ayat 28 surah Ali Imran sebagai pembenaran.

Imam Syafi‘i juga mempraktikkan taqiyyah dalam fatwanya terkait dengan seorang yang bersumpah palsu atas nama Allah karena dipaksa bahwa ia tidak perlu menyerahkan kafarat.[67]

Imam Ghazali meriwayatkan bahwa wajib melindungi darah kaum Muslimin dan berdusta adalah wajib untuk melindungi tumpahnya darah seorang Muslim.[68]

Sebagian orang menyebutkan bahwa orang yang menjalankan taqiyyah adalah orang munafik. Namun, definisi munafik adalah menunjukkan iman selagi menyembunyikan kekufuran, sementara taqiyyah menunjukkan persetujuan padahal dalam hatinya ketidaksetujuan untuk melindungi diri, keluarga, harta dan agama.[]

Bagian 10

Melihat Allah (Ru'yat Allah)

Mazhab Syiah secara mutlak mengingkari bahwa Allah dapat dilihat. Alasannya adalah Tuhan tidak memiliki bentuk atau raga. Namun, mazhab dalam Islam lainnya menerima beberapa hadis yang tidak hanya mengklaim bahwa Allah Swt memiliki bagian-bagian fisik namun juga Dia dapat dilihat pada hari Kiamat persis sebagaimana objek atau benda yang terlihat di hadapan mata. Mereka juga mengklaim bahwa Allah mendiami ruang dan berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dasar argumentasi ini adalah hadis dan tidak bertitik-tolak dari Al-Quran. Sebagian dari riwayat tersebut adalah sebagai berikut:

"Tuhan kami, sebelum menciptakan ciptaan-Nya, tidak ada sesuatu apa pun bersama-Nya; di bawahnya adalah udara; di atasnya adalah udara kemudian Dia mencipta arasy-Nya di atas air."[69]

Pada hari Kiamat, akan dikatakan kepada Neraka, "Apakah engkau telah penuh?‖ Ia berkata, "Apakah masih ada lagi? Kemudian Allah Swt meletakkan kaki-Nya di dalamnya, kemudian neraka berkata, "Sekarang aku telah penuh."[70]

"Kami duduk bersama Nabi Saw tatkala beliau menyaksikan dan mengamati bulan purnama, ‘Kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian menyaksikan bulan ini, dan engkau tidak akan terluka dengan melihat-Nya."[71]

Riwayat terakhir, khususnya, menegaskan bahwa manusia akan melihat Allah dengan mata fisik mereka, terlepas bahwa manusia tersebut adalah orang baik atau orang munafik. Melihat Allah bermakna bahwa Allah harus memiliki badan fisik dan mesti mendiami ruangan fisikal; Imam Malik bin Anas dan Imam Syafii menerima pendapat ini, sedangakn Imam Ahmad bin Hambal memandang bahwa keyakinan ini merupakan dasar-dasar agama.

Dalam pandangan Mazhab Ahlulbait melihat Allah Swt adalah suatu hal yang mustahil. Hal ini didukung oleh Al-Quran dan logika. Al-Quran menyatakan dengan jelas,―Dia tidak dapat digapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat menggapai (melihat) segala penglihatan itu.” (QS. Al-An'am [6]:103)

Lebih-lebih, terdapat banyak contoh orang-orang yang meminta untuk melihat Allah Swt dan jawaban Allah Swt atas permintaan mereka: ―Dan (ingatlah) ketika kamu berkata,“Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.” Lalu karena itu halilintar menyambarmu sedang kamu menyaksikannya.” (QS. Al-Baqarah [2]:55)

“Ahli kitab meminta kepadamu (Muhammad) agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Sesungguhnya mereka pernah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, “Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata.” Maka mereka disambar petir karena kezalimannya.” (QS. Al-Nisa [4]:53)

“Dan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman.” (QS. Al-Furqan [25]:21)

“Dan tatkala Musa datang ke tempat perjanjian yang telah Kami tentukan dan Tuhan berfirman (langsung) kepadanya, Musa berkata, “Ya Tuhan-ku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah bukit itu. Jika bukit itu tetap berada di tempatnya (sebagai sediakala), niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, Dia menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali, ia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.” (Qs. Al-A'raf [7]:143)

Jika melihat Allah Swt adalah mustahil bagi para nabi dan rasul Allah, lalu bagaimana hal itu mungkin bagi orang lain, baik di dunia maupun di akhirat.

Secara logis, untuk melihat sebuah objek, maka objek tersebut harus memiliki beberapa sifat tertentu. Pertama, objek tersebut memiliki sebuah arah yang jelas, seperti berada di depan atau sebelah kiri atau kanan orang yang menyaksikannya. Kedua, harus ada jarak antara orang yang melihat dan objek yang dilihat. Melihat objek akan menjadi mustahil apabila jaraknya sangat jauh atau sangat dekat. Allah Swt bukan bendak fisik yang dapat kita tunjuk jari dan dapat dilihat, juga tidak mendiami ruang. Meski Al-Quran menyatakan:―Dan Dia-lah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya. (QS. Al-An'am [6]:61)dan, Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Nahl [16]:50) Redaksi "atas mereka" berkaitan dengan kekuasaan, kodrat dan ketinggian Tuhan di atas hamba-hamba-Nya. Bukan bermakna suatu tempat, ruang, area, tinggi atau lokasi fisik. Sifat-sifat ini tidak dapat diterapkan pada Tuhan.

Pada waktu mikraj ke langit, Nabi Saw dipanggil oleh Tuhannya dengan redaksi kalimat ini: "Engkau adalah sebagaimana Engkau memuji dirimu sendiri." Sementara Nabi Yunus dipanggil Tuhannya dari kedalaman laut dengan ungkapan:―tiada Tuhan selain Engkau, Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi (dari tengah-tengah kaumnya) dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya). Maka (setelah berada di dalam perut ikan hiu) ia menyeru di dalam kegelapan yang gulita, “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. (QS. Al-Anbiya [21]:87)

Terkait dengan Nabi Yunus As, Rasulullah Saw bersabda, "Jangan meninggikan aku atasnya terkait dengan kedekatan kepada Allah Swt hanya karena aku telah mencapai arasy, sementara ia di bawah ke dalam laut, karena (Tuhan) yang dipuji adalah di atas untuk dibatasi pada ruang atau sebuah arah."

Imam Ali As ditanya oleh salah seorang sahabatnya, Tsa'lab Yamani, apakah ia telah melihat Tuhannya. Imam Ali As menjawab, "Bagaimana mungkin aku menyembah sesuatu yang aku tidak lihat?" Ketika beliau ditanya bagaimana ia melihat-Nya, Imam Ali As menjawab, "Mata tidak mampu menggapai-Nya dengan pandangan fisik, namun hati dapat menggapai-Nya dengan hakikat-hakikat iman."[72]

Terdapat banyak hal yang tidak dapat digapai oleh manusia dan manusia tidak memiliki akses fisikal namun demikian manusia tetap meyakininya. Imam Ja'far Shadiq As suatu waktu ditanya, "Dapatkah Allah Swt dilihat pada hari Kiamat?" Jawabannya adalah: "Allah Swt sangat suci dan tinggi dari hal itu! Mata dapat menggapai sebuah benda yang berwarna dan berbentuk, namun Allah Swt adalah Pencipta warna dan bentuk."

Demikian juga, sisi-sisi Allah, seperti "tangan" atau "wajah"-Nya adalah bermakna kiasan. Tangan Allah bertaut dengan kekuasaan dan kodrat, dan wajah-Nya berkaitan dengan hal-hal yang lain.

Langkah pertama dalam masalah tauhid dan keesaan Allah Swt adalah memahami bahwa Dia Swt bukan badan dan tidak akan pernah dilihat dan bahwa Dia adalah Esa sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran,―Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Al-Syura [42]:11)[]

Bagian 11

Shalawat atas Nabi Saw

Kaum Muslimin diperintahkan al Qur-an pada surah al Ahzab (33) ayat 56 untuk menyampaikan shalawat kepada Rasulullah Saw. Nabi Saw telah menunjukkan bagaimana melakukan hal ini dan juga memerintahkan kepada para pengikutnya untuk tidak menyampaikan shalawat semata kepadanya saja namun juga shalawat kepada keluarganya. Rasulullah Saw bersabda: Jangan kirimkan aku shalawat bunting. ―Para sahabat bertanya: ―Apakah gerangan shalawat bunting itu? Rasulullah Saw menjawab: ―Ketika kalian berkata, ―Allahumma shalli ala Muhammad dan kemudian berhenti. Kalian harus berkata; ―Allahumma Shalli ‗ala Nuhammad wa Ali Muhammad.[73] ―Doa tidak akan diterima kecuali (doa tersebut disertai) dengan shalawat kepada Rasulullah Saw dan keluarganya.[74]

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Laila sebagaimana dinukil oleh Imam Bukhari:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Laila sebagaimana dinukil oleh Imam Bukhari: ―Rasulullah Saw datang kepada kami, dan kami berkata kepadanya: ―Kami telah belajar bagaimana menyerumu, bagaimana kami berdoa untukmu? Rasulullah Saw bersabda: ―Katakanlah! Alllahumma Shalli „ala Muhammad wa Ali Muhammad kama Shallaita „ala Ibrahim wa Ali Ibrahim. ―Sesungguhnya Engkau satu-satunya yang layak dipuji. Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana engkau sampaikan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya engkau yang patut di puji. Ya Karim.[75]

Tatkala mengajarkan sahabatnya shalawat ini, Rasulullah Saw secara khusus memasukkan keluarganya (Ali Muhammad). Karena itu, kaum Muslimin harus mengikuti ajaran Rasulullah Saw dan mengirimkan salam dan shalawat kepada mereka yang diperintahkan oleh Nabi Saw.[]

Bagian 4

Imam Ali As

Kitab Suci Al-Quran dan Nabi Saw secara khusus menjelaskan kepemimpinan Imam Ali As setelah Nabi Muhammad Saw:

Ghadir Khum

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah bulan ke dua puluh enam kalender Islam, dan telah diriwayatkan oleh 110 sahabat Nabi Saw, 84 tabi‘in, dan 360 ulama dari berbagai mazhab.

Nabi Muhammad Saw dan hampir 114.000 sahabat telah menunaikan haji dan sedang dalam persiapan menuju ke tempat mereka masing-masing. Tahun itu, selama pelaksanaan haji, suhu udara sangat panas, dengan panas yang terik membakar para jemaah yang berangkat haji tahun tersebut. Namun demikian, ketika Nabi Saw tiba di Ghadir Khum, di sebuah persimpangan tempat dimana kaum Muslimin yang berasal dari berbagai daerah akan berpisah, Nabi Saw menghentikan kafilah itu pada siang hari, menanti yang datang belakangan menyusul mereka dan meminta mereka yang telah mendahului untuk kembali, lantaran Nabi Saw menerima wahayu dari Allah Swt yang harus disampaikan kepada manusia, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]:67)[17]

Lalu beliau berbicara sedikit sebelum bertanya kepada orang-orang yang hadir di tempat itu apakah ia memiliki otoritas (wilayah) atas mereka. Orang-orang di tempat itu berkata, ―Iya, wahai Rasulullah, tentu saja engkau adalah pemimpin kami (mawla). Nabi Saw mengulang pertanyaan ini sebanyak tiga kali, dan orang-orang menjawab dengan jawaban yang sama sebanyak tiga kali, mengakui kepemimpinannya.

Nabi Saw kemudian memanggil Ali, mengangkat tangannya sehingga kedua tangan menyatu ke atas, dan berkata kepada orang-orang: ―Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya (mawla), maka Ali adalah pemimpinnya.

Pada waktu itu, Ali berusia 33 tahun. Orang-orang menerima berita ini dengan beragam tanggapan dan jawaban, sebagian menanggapinya dengan bahagia dan sebagian yang lain dengan derita. Orang yang pertama memberikan ucapan selamat kepada Ali adalah orang yang kemudian menjadi khalifah pertama dan kedua. Mereka berkata, ―Selamat, selamat kepadamu, wahai Ali. Engkau telah menjadi pemimpin kami (mawla) dan pemimpin kaum Muslimin.[18]

Kemudian ayat lainnya yang diwahyukan kepada Nabi Saw adalah:Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]:3).

Dengan ayat ini, agama Islam telah sempurna dengan pengangkatan Imam Ali As untuk menggantikan Nabi Saw, dan jika ia tidak diangkat sebagai khalifah (pengganti), maka agama Islam tidak akan sempurna.

Ayat Inzhâr

Tiga tahun sesudah kemunculan Islam, Allah Swt menitahkan Nabi Saw untuk memproklamasikan dakwah dan seruan Islam kepada keluarga terdekatnya di Mekkah dengan isi perintah,Dan berilah peringatan kepada kerabat terdekatmu. (QS. Asy-Syu‘ara [26]:216) Nabi Saw mengumpulkan empat puluh sanak familinya dari sukunya, Bani Hasyim, di kediaman pamannya Abu Thalib dan menyediakan makanan untuk mereka. Setelah mereka menyantap hidangan makan, Nabi Saw bersabda kepada mereka, "Wahai putra Abdul Muththalib! Demi Allah, aku tidak mengenal seorang anak muda di kalangan Arab yang membawa sesuatu yang lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku membawa sesuatu yang terbaik di dunia dan di akhirat, dan Allah Swt telah memerintahkanku untuk mengajak kalian untuk hal ini. Siapakah di antara kalian yang menjadi penolongku dalam usaha ini, menjadi saudara, khalifah dan washiku?" Seluruh hadirin menolak menjawab seruan ini kecuali Ali bin Abi Thalib, yang berkata, "Aku bersedia menjadi penolongmu dalam usaha ini." Rasulullah Saw memintanya untuk duduk dan kemudian mengulang pertanyaannya untuk kedua kalinya. Lagi, Ali berdiri dan kembali, Rasulullah Saw meminta ia duduk. Tatkala untuk ketiga kalinya, Nabi Saw tidak mendengar jawaban dari orang lain yang hadir di tempat itu, Ali berdiri kembali dan mengulang kesiapannya untuk menjadi penolong Rasulullah Saw. Rasulullah Saw kemudian menaruh tangannya di pundaknya dan berkata kepada empat puluh orang sanak familinya, "Ini adalah saudaraku, washiku dan khalifahku atas kalian, dengarkan dan taatilah ia." Orang-orang berdiri dan, sambil tertawa, berkata kepada Abu Thalib, "Kemenakanmu memerintahkan kepadamu untuk mendengarkan putramu dan menaatinya."[19]

Ayat Rukuk:"Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk." (QS. Al-Maidah [5]:55).

Sejumlah besar penafsir dari berbagai mazhab mengidentifikasi ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib As. Mufasir terkenal, Zamakhsyari, berkata dalam mengomentari ayat ini berkata, "Ayat ini diwahyukan untuk Ali Kw (karramallahu wajhahu). Tatkala seorang pengemis datang kepadanya meminta derma sementara ia sedang berada dalam keadaan rukuk, ia memberikan cincinnya selagi dalam posisi tersebut. Nampaknya ukuran cincin itu terlalu sempit yang membuat Ali kesusahan untuk mengeluarkan cincin tersebut dari jarinya yang dapat membatalkan shalatnya. Jika Anda bertanya bagaimana bisa ayat tersebut berkenaan dengan Ali As karena redaksi ayat tersebut adalah dalam bentuk jamak (plural), saya berkata bahwa meski ayat itu dalam bentuk jamak karena yang disebutkan adalah seorang untuk memotivasi orang-orang untuk meneladaninya dan mendapatkan ganjaran yang sama, dan juga untuk menarik perhatian terhadap kenyataan bahwa kaum Mukmin harus mencermati dan bersikap pemurah terhadap orang miskin sedemikian sehingga apabila kondisi tidak dapat ditunda hingga selesainya shalat, ia dapat menundanya hingga ia menuntaskan shalatnya."[20]

Demikian juga, dalam Asbab Al-Nuzul, menukil riwayat Kalbi, menisbahkan pewahyuan ayat ini kepada Imam Ali As:"Bagian terakhir dari ayat ini adalah untuk Imam Ali bin Abi Thalib karena ia memberikan cincinnya kepada seorang pengemis selagi ia berada dalam keadaan rukuk." (QS. Al-Maidah [5]:38) Penafsir lainnya juga berpandangan bahwa ayat ini bertautan dengan Imam Ali As termasuk, Sunan an-Nisa'i, Tafsir Al-Kabir karya Tsa'alibi, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ibn Marduwayh, dan Kanz Al-'Ummal.[21]

Ayat Wilayah

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu." (QS. An-Nisa [4]:59). Dengan penjelasan Nabi Saw, ayat ini juga merupakan salah satu ayat Al-Quran berkenaan dengan kepemimpinan Imam Ali As pasca Rasulullah Saw dan mewajibkan ketaatan kepada Allah Swt, Rasulullah Saw, dan ulul amri. Tatkala ayat ini diwahyukan kepada Rasulullah Saw, salah seorang sahabat besar Nabi Saw, Jabir bin Abdullah Anshari, bertanya, "Wahai Rasulullah! Kami mengetahui Allah dan Rasul-Nya, namun siapa yang dimaksud dengan ulil amri minkum" yang ketaatan kepadanya dipandang setara dengan ketaatan kepada Allah Swt dan Rasulullah?" Rasulullah Saw menjawab, "Mereka adalah khalifahku dan pemimpin kaum Muslimin setelahku. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian, Hasan dan Husain, lalu, Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin Ali yang dikenal sebagai Al-Baqir. Engkau, wahai Jabir, akan bersua dengannya. Tatkala engkau berjumpa dengannya, sampaikan salamku kepadanya. Kemudian Ja'far bin Muhammad Al-Shadiq, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian seseorang yang namanya sama dengan namaku, Muhammad, dan ia akan menjadi hujjah Allah di muka bumi."

Hadis-hadis Khusus dari Nabi Saw ihwal Khalifah Imam Ali

Nabi Saw bersabda kepada kaum Muslimin keduanya ihwal khilafah Ahlulbait, yang akan kita bahas pada kesempatan mendatang, juga khilafah Imam Ali As secara khusus. Rasulullah Saw bersabda:

Tatkala bersabda kepada Ali: "Engkau bagiku adalah laksana Harun bagi Musa hanya saja tiada nabi setelahku."[22] "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan sebagaimana kehidupanku, dan mati sebagaimana matiku, dan memasuki surga yang Allah janjikan bagiku – maka jadikanlah Ali sebagai pemimpinnya, karena Ali tidak akan pernah menuntunmu jauh dari jalan kebenaran, juga ia tidak akan mengajakmu berbuat salah."[23]

"Ali adalah wali bagi setiap mukmin setelahku."[24]

"Ali adalah gerbang bagi ilmuku, dan setelahku ia akan menjelaskan kepada seluruh pengikutku apa yang telah dikirimkan kepadaku. Cinta kepada Ali adalah iman dan benci kepadanya adalah kemunafikan."[25]

"Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya. Barangsiapa yang ingin memasuki kota ilmu, maka hendaklah ia masuk melalui gerbangnya."[26]

"'Ali adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari Ali, dan tidak ada yang menyampaikan kecuali aku dan Ali."[27]

"Barangsiapa yang menaatiku berarti ia telah menaati Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku telah bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa yang menaati Ali telah menaatiku, dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Ali telah bermaksiat kepadaku."[28]

Ali As adalah orang yang ditinggal oleh Rasulullah Saw untuk menjaga Ahlulbait Nabi Saw dan pemerintahan Islam selama perjalanan ke Khaibar, namun beliau berkata, "Apakah layak bagiku untuk tinggal sementara Rasulullah pergi?" Lalu Ali pergi dan bergabung dengan Rasulullah Saw. Di tempat itu Rasulullah Saw bersabda, "Aku akan serahkan panji ini kepada orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.

Hadis lain menyebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Allah akan menganugerahkan kemenangan kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya." Dalam kedua riwayat ini, Rasulullah Saw menyerahkan panji kepada Ali As dan Allah menganugerahkan kemenangan di tangannya."[29]

Riwayat dari Rasulullah Saw yang menunjukkan bahwa ia akan digantikan oleh dua belas pemimpin, seluruhnya dari suku Quraisy. Sebagai tambahan atas hadis khusus yang mengidentifikasi Imam Ali As sebagai khalifah Rasulullah Saw. Juga diriwayatkan pada pelbagai kesempatan, Rasulullah Saw bersabda bahwa ia akan digantikan oleh dua belas khalifah dari sukunya, Quraisy. Riwayat itu menyebutkan:

"Khalifah akan tetap di kalangan Quraisy sekalipun hanya dua orang tinggal di muka bumi."[30]

"Saya bergabung dengan sahabat Nabi Saw dengan ayahku dan mendengar beliau bersabda, ‘Khilafah ini tidak akan berakhir hingga ada dua belas khalifah di antara kalian.‘ Perawi berkata, "Lalu beliau bersabda sesuatu yang saya tidak dapat tangkap." Saya bertanya kepada ayahku, apa yang beliau sabdakan? Ayahku berkata, "Rasulullah Saw bersabda, ‘Seluruhnya berasal dari Quraisy.‘"[31]

Riwayat lain dengan jenis yang serupa juga dapat dijumpai pada sumber-sumber lain.

Siapa kedua belas pemimpin ini? Rasulullah Saw diriwayatkan telah bersabda,

"Aku dan Ali adalah ayah bagi umat ini. Barangsiapa yang mengenal kami (menunaikan hak maka sesungguhnya ia ) beriman kepada Allah. Dan dari Ali akan lahir dua belas cucuku, Hasan dan Husain, penghulu pemuda di surga dan sembilan anak-anak Husain. Ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepadaku. Pembangkangan kepada mereka adalah pembangkangan terhadapku. Putra kesembilan adalah adalah Qâim mereka dan Mahdi, Imam yang diangkat Allah untuk petunjuk kebenaran. (Ikmaluddin)

Rasulullah Saw bersabda kepada cucunya Husain selagi Imam Husain berusia beberapa tahun, "Engkau adalah tuan (sayid) dan putra seorang tuan. Engkau adalah seorang imam dan putra seorang imam, saudara seorang imam dan ayah dari sembilan imam. Engkau adalah hujjah Allah, penegas dan putra hujjah-Nya. Engkau adalah ayah bagi sembilan hujjatullah bagi keturunanmu. Hujjah Kesembilan adalah Qâim (Imam yang bangkit)."(Ikmaluddin)

Bagian 5

Ahlulbait As

Cara terbaik untuk memperkenalkan Ahlulbait kepada umat Muslim adalah dengan menyebutkan bagaimana Al-Quran bertutur tentang mereka. Beberapa ayat dalam Al-Quran secara spesifik menyebutkan pelbagai keutamaan Ahlulbait dan kedudukan tinggi mereka dalam Islam. Tatkala menyebut Ahlulbait, maka Al-Quran menyebutkan kepada sekelompok khusus orang-orang yang tidak hanya memiliki hubungan darah dengan Nabi Saw tapi yang paling penting adalah hubungan iman dan keyakinan dengan Baginda Nabi Saw. Ayat-ayat tersebut tidak hanya menyebutkan seluruh hubungan darahnya, juga bukan sahabat atau istri-istrinya, Rasulullah Saw mendefinisikan mereka sebagai dirinya sendiri sebagaimana yang akan kita lihat berikut ini.

Ayat Tathhir

Sesungguhnya Allah ingin menyucikan kalian wahai Ahlulbait dan menyucikan kalian dari segala cela dan nista sesuci-sucinya. (QS. Al-Ahzab [33]:33) Para ulama terkemuka Islam dan perawi hadis secara bulat sepakat bahwa Ahlulbait (keluarga Rasulullah Saw) yang disebutkan Allah dalam Al-Quran adalah berkaitan dengan putri Nabi Saw, Sayidah Fatimah Zahra As; saudara sepupunya, Ali bin Abi Thalib As; kedua putra mereka, Hasan dan Husain As.[32]

Thabrani meriwayatkan bahwa salah seorang istri terhormat Nabi Saw, Ummu Salamah diminta oleh Nabi Saw untuk berkata kepada putrinya Sayidah Fatimah agar memanggil suaminya Ali dan kedua putra mereka, Hasan dan Husain. Tatkala mereka datang, Rasulullah Saw menutupi mereka dengan sebuah kain, meletakkan tangannya di atas kain tersebut dan berdoa, "Wahai Allah! Mereka ini adalah Keluarga Muhammad (Âli Muhammad), tunjukkanlah kemurahan-Mu dan rahmatilah keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberikan kehormatan kepada keluarga Ibrahim. Engkaulah yang patut dipuji."

Ummu Salamah berkata bahwa ia mengangkat kain tersebut untuk bergabung dengan mereka. Namun Rasulullah Saw menarik tangannya dan bersabda, "Sesungguhnya Anda berada dalam kebaikan."[33]

Meski pada permulaan ayat ini dialamatkan kepada istri-istri Nabi Saw dan ayat tathhir ini terletak di tengah-tengah perintah Allah Swt kepada para istri Nabi Saw, namun mereka tidak termasuk dari ungkapan khusus (Ahlulbait) Allah Swt ini. Mengingat ayat-ayat sebelum dan setelahnya berkenaan dengan para istri nabi berada dalam bentuk kata ganti feminin (muannats), ayat ini bertalian dengan Ahlulbait yang dinyatakan dalam bentuk maskulin (mudzakkar) atau gender campuran. Karena itu redaksi Ahlulbait dalam ayat tathhir ini tidak dialamatkan kepada istri-istri Nabi Saw.

Namun demikian, bahkan tanpa bukti gramatikal ini pun, hubungan di antara sebagian istri Rasulullah Saw tidak selaras dan sejalan dengan semangat ayat ini yang menegaskan kesucian fisik, mental dan spiritual keluarga Rasulullah Saw.

Untuk menekankan bahwa redaksi Ahlulbait ini berkenaan dengan hanya lima orang – Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain – para perawi berkata bahwa Rasulullah Saw, ketika melintas di hadapan rumah Sayidah Fatimah menuju masjid untuk menunaikan shalat subuh, beliau selalu berhenti dan menyeru: "Al-shalat…al-shalat, wahai Ahlulbait." Sesungguhnya Allah hendak menyucikan kalian dari segala kekotoran dan nista sesuci-sucinya."[34] Imam Anas bin Malik menambahkan bahwa Rasulullah Saw melakukan hal ini selama enam bulan setiap harinya dalam perjalanannya menuju masjid untuk menunaikan shalat di masjid.[35]

Ayat Mawaddah

Katakanlah, “Aku tidak meminta upah dari seruan ini kecuali kecintaan kepada keluargaku (al-qurba)." (QS. Al-Syura [42]:23) Al-Qurba yang dimaksud di sini adalah Ahlulbait.[36] Tatkala menjelaskan ayat ini, Fakhruddin Razi berkata, "Tanpa ragu bahwa tiada seorang pun yang dekat kepada Rasulullah Saw melebihi Fatimah, Ali, Hasan dan Husain. Hal ini merupakan kenyataan yang dikenal dalam mata rantai periwayatan dan hal itu adalah "Alif-lam". Karena itu, "Al" atau "Ahl" hanya terkait dengan keluarga langsung Nabi Saw yaitu Sayidah Fatimah, Ali, Hasan dan Husain. Beberapa orang berdalih bahwa Hasan dan Husain bukan merupakan putra Rasulullah Saw karena keduanya adalah putra Imam Ali dan bersambung garis keturunannya kepada Rasulullah Saw melalui bunda mereka, Sayidah Fatimah al-Zahra As.

Diriwayatkan bahwa Khalifah Abbasiyah, Harun Rasyid, bertanya kepada Imam Ketujuh Ahlulbait, Imam Musa bin Ja'far, bagaimana mungkin ia menyandarkan dirinya kepada Rasulullah Saw sementara ia adalah putra Ali dan Fatimah yang melahirkannya. Bagaimana mungkin ia memandang dirinya sebagai putra Rasulullah Saw? Imam Musa kemudian membacakan ayat berikut ini berkenaan dengan Nabi Ibrahim yang menyatakan, Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya„qub kepada Ibrahim. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunan Nuh, yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun.Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, dan (begitu juga) Zakaria, Yahya, Isa, dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Al-An'am [6]:84-85)

Lalu Imam Musa bertanya kepada Harun Rasyid tentang siapa ayah Isa. Harun menjawab bahwa ia tidak memiliki ayah. Imam berkata, "Lalu engkau lihat bagaimana Allah menghubungkannya dengan Ibrahim melalui ibunya dan Allah melakukan hal yang sama bagi kami, menghubungkan kami kepada Rasulullah Saw melalui bunda kami Sayidah Fatimah al-Zahra."[37]

Dalam banyak kejadian, Rasulullah Saw mengekspresikan kecintaan dan kasihnya kepada Fatimah, seperti ketika beliau berkata, "Fatimah adalah dariku. Sukanya adalah sukaku dan dukanya adalah dukaku."

Ayat Mubâhalah

Barangsiapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya),“Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan dirimu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta (QS. Ali Imran [3]:61)

Tonggak peristiwa ini dalam sejarah Islam telah diriwayatkan oleh sejarawan, perawi dan penafsir Al-Quran. Peristiwa ini merupakan sebuah peristiwa yang mengungkapkan status tinggi Ahlulbait As. Riwayat-riwayat menyebutkan bahwa satu rombongan Kristen dari Najran datang ke kota Madinah untuk berjumpa dengan Rasulullah Saw guna membahas masalah kenabiannya dan agama baru yang dibawanya.

Rasulullah Saw menetapkan bahwa Isa adalah putra Maryam – seorang manusia, nabi dan seorang hamba Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran – dan memandangnya sebagai putra Tuhan adalah penghinaan karena Allah Swt adalah suci dari karakter-karakter manusia. Setelah mendiskusikan poin-poin ini dengan mantap dan meyakinkan, tatkala Nabi Saw mendapatkan mereka masih bersikeras untuk mempertahankan kepalsuan keyakinan dan kebiasaan mereka yaitu menuhankan Nabi Isa As – Allah Swt mewahyukan ayat ini yang merupakan tantangan besar kepada delegasi Kristen tersebut untuk berdoa dan meminta Allah Swt melaknat kelompok yang bersikeras kepada kepalsuan dan kebohongan.

Esok paginya, pada 24 Dzulhijjah, sesuai dengan titah Allah Swt, Rasulullah Saw tiba di tempat yang telah dijanjikan membawa Husain dalam gendongannya dan menuntun Hasan dengan tangannya, diikuti oleh putri kinasihnya, Fatimah Zahra, dan di belakangnya menantu dan sepupunya Ali bin Abi Thalib membawa panji Islam.

Melihat bahwa Nabi Saw datang hanya ditemani oleh keluarga terdekatnya, pendeta Kristen tersebut yakin bahwa Nabi Saw adalah benar; kalau tidak, ia tidak akan pernah berani membawa orang-orang yang dicintainya bersamanya. Delegasi Kristen mundur dari mubâhalah ini dan memutuskan untuk kembali ke Najran.

Kendati terdapat beberapa orang wanita dari keluarga Nabi Saw pada saat itu, seluruh penafsir, perawi dan sejarawan sepakat bahwa redaksi ayat Al-Quran, "wanita kami" hanya berkenaan dengan Sayidah Fatimah Zahra As, "anak-anak kami" terkait dengan Hasan dan Husain As dan "diri kami" bersangkutan dengan Nabi Saw dan Imam Ali As.

Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyâf-nya, menuturkan peristiwa ini sebagai berikut.

"Tatkala ayat ini diwahyukan (diturunkan), Rasulullah Saw meminta kepada pendeta-pendeta Kristen tersebut ber-mubahalah untuk mengundang laknat Tuhan atas orang-orang yang berdusta. Orang-orang Kristen tersebut berdiskusi sesama mereka pada malam harinya yang pemimpin mereka, Abdul Masih, menyatakan pendapatnya sebagai berikut. Ia berkata, "Wahai orang-orang Kristen! Ketahuilah bahwa Muhammad adalah seorang nabi utusan Allah yang membawa pesan terakhir dari Tuhan kalian. Demi Tuhan! Tiada satu bangsa pun yang berani menantang seorang nabi untuk ber-mubahalah kecuali mereka celaka. Mereka tidak hanya akan binasa, namun anak-anak mereka juga akan tertimpa kutukan."

Setelah menyampaikan pandangannya – bahwa lebih baik berkompromi dengan Rasulullah Saw ketimbang menantang kebenaran yang ia bawa dan binasa – Abdul Masih menasihatkan kelompoknya untuk menghentikan permusuhan dan bertahan pada agama mereka dengan menyerahkan kepada Nabi Saw beberapa syarat. "Jadi, apabila kalian bersikeras (untuk berkonfrontasi), maka kita semua akan binasa. Namun jika kalian, untuk menjaga iman kalian, menolak (untuk berkonfrontasi) dan bertahan sebagaimana adanya kalian, maka buatlah perdamaian dengan orang ini (Rasulullah Saw) dan kembalilah ke negeri kalian."

Hari berikutnya, Rasulullah Saw, membawa Husain dalam gendongannya, menuntun Hasan dengan tangannya, diikuti oleh putrinya Sayidah Fatimah dan di belakangnya Ali bin Abi Thalib, memasuki tempat yang disepakati dan beliau terdengar berkata kepada keluarganya, "Ketika aku berdoa kepada Allah, doa kedua dari doa ini.

Pendeta Najran, tatkala melihat Nabi Saw dan Ahlulbaitnya, berkata kepada kaum Kristian, "Wahai kaum Kristen! Saya menyaksikan wajahnya yang apabila Tuhan menghendaki, demi mereka, Dia akan menggerakkan gunung untuk mereka. Jangan kalian terima tantangan mereka untuk ber-mubâhalah, lantaran apabila kalian melakukannya, kalian semua akan binasa dan tiada lagi akan tersisa orang-orang Kristen di muka bumi hingga hari Kiamat."[38]

Mendengarkan nasihat ini, kaum Kristen berkata kepada Rasulullah Saw, ―Wahai Abul Qasim! Kami putuskan untuk tidak ber-mubâhalah dengan Anda! Tetaplah Anda dengan agama Anda, dan kami akan tetap dengan agama kami." Rasulullah Saw berkata kepada mereka, "Jika kalian menolak untuk ber-mubâhalah, maka berserah dirilah kepada Allah, dan kalian akan menerima apa yang diterima kaum Muslimin dan menyumbangkan apa yang disumbangkan kaum Muslimin.

Delegasi Kristen berkata bahwa mereka tidak ingin berperang dengan kaum Muslimin, mereka mengusulkan sebuah fakta perjanjian untuk berdamai. Rasulullah Saw menerima usulan tersebut.

Ayat Shalawat

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya . (QS. Al-Ahzab [33]:56)

Selama menunaikan lima shalat wajib, selama menyatakan syahadat (testimony), mereka yang menunaikan shalatnya harus menyampaikan salam dan shalawat kepada Nabi Saw dan Ahlulbaitnya – sebuah terminologi yang terkhusus untuk Ali, Fatimah, Hasan, Husain beserta keturunannya yang suci. Penekanan atas keluarga Rasulullah Saw dalam shalawat merupakan indikasi lain atas peran sentral mereka setelah Nabi Muhammad Saw. Dengan meminta orang-orang beriman untuk memuji mereka, Allah Swt mengingatkan kaum Muslimin bahwa Dia telah memilih Ahlulbait untuk menjalankan peran sebagai pemimpin kaum Muslimin. Salah satu penafsir Al-Quran terkemuka, Fakhruddin Razi, menukil jawaban Rasulullah Saw tatkala ditanya oleh beberapa orang sahabat tentang bagaimana menyampakan shalawat kepadanya. Beliau berkata, "Katakanlah, Ya Allah, sampaikan salam dan shalawat kepada Muhammad sebagaimana Engkau menyampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Dan curahkan rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau curahkan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya pujian hanya untuk-Mu."[39]

Fakhrurrazi mengomentari bahwa jika Allah Swt dan para malaikat-Nya mengirimkan shalawat kepada Nabi Saw, lantas apa gunanya shalawat yang kita kirimkan? Ia menjawab pertanyaan retorisnya sendiri dengan berkata bahwa kita mengirim shalawat kepada Nabi Saw bukan karena beliau membutuhkannya karena beliau sendiri telah memiliki shalawat dan salam dari Allah Swt. Beliau bahkan tidak meminta shalawat dan salam dari para malaikat. Manakala kita mengirim shalawat kepadanya artinya kita mengirimkannya untuk memuji Allah dan juga menyampaikan rasa syukur kita kepada Allah Swt sehingga Dia mengasihi dan mengganjari perbuatan kita. Karena itu, Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang mengirimkan shalawat satu kali kepadaku, Allah akan mengirimkan sepuluh kali shalawat baginya."

Ayat lain dalam Al-Quran menegaskan ajaran yang sama tatkala Allah Swt menyampaikan shalawat-Nya kepada keluarga Nabi Saw (Ahlulbait) dengan berfirman, "Salam padamu wahai Keluarga Yasin."[40] Menurut sebagian penafsir Al-Quran, Yasin adalah salah satu nama Rasulullah Saw, sebagaimana disebutkan pada surah Yasin, ketika dialamatkan kepadanya: "Yasin, wal Quran al-hakim. Innnaka laminal mursalin."[41]

Ayat Ith'âm

Surah Al-Insan (76) dalam Al-Quran diturunkan untuk menghormati perbuatan suci yang dipraktikkan oleh Ahlulbait As. Allah Swt menggelari surah ini sebagai "al-Insan" untuk menarik perhatian manusia keindahan perbuatan manusia di muka bumi dan berfirman kepada mereka bahwa mereka tidak boleh bersikap mementingkah diri sendiri atau serakah namun memerintahkan mereka untuk peduli dan menjadi orang berpikir yang menghabiskan waktu mereka untuk memikirkan keadaan orang lain di sekeliling mereka. Permulaan surah ini ini dimulai dengan: Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum berbentuk sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur (dan) Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan (yang lurus) kepadanya; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir."

Perkenalan ini merupakan persiapan bagi kita untuk mengenal pengorbanan besar keluarga Nabi (Ahlulbait), Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan pelayan mereka, Fidhdhah yang dijelaskan pada ayat-ayat berikutnya, 5-13.

Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang telah dicampur dengan air kafur (yang semerbak mewangi), yang berasal dari mata air (di dalam surga) yang darinya hamba-hamba Allah minum, (dan) mereka dapat mengalirkannya dari manapun mereka kehendaki. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Mereka hanya berkata), “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih darimu. Sesungguhnya Kami takut kepada Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” Maka (karena keyakinan dan amal itu) Allah memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan surga dan pakaian sutra kepada mereka karena kesabaran mereka, di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, sedang mereka tidak merasakan (teriknya) matahari dan tidak pula rasa dingin yang menyengat.

Para penafsir Al-Quran sepakat (ijma) bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang Ahlulbait dan kedudukan mereka pada puncak ketakwaan. Di samping itu, ayat-ayat ini juga memperkenalkan Ahlulbait sebagai model bagi kemanusiaan. Kemanusiaan akan terbimbing dengan baik dengan berbagai keteladanan mereka. Kejadian yang membuat turunnya ayat ini bermula tatkala Hasan dan Husain jatuh sakit, dan Hadhrat Fatimah Zahra bertanya kepada ayahandanya ihwal apa yang harus dilakukan. Rasulullah Saw menasihati mereka untuk bernazar bahwa jika Allah Swt memberikan kesembuhan kepada mereka, maka seluruh keluarga akan menunaikan puasa selama tiga hari. Hasan dan Husain sembuh dari sakit dan puasa pun mulai ditunaikan. Pada waktu itu, mereka tidak memiliki sesuatu apa pun untuk dimakan. Maka itu, Imam Ali As pergi menemui seorang Yahudi Khaibar bernama Simon dan meminjam tiga takaran gandum. Sang istri, Sayidah Fatimah menurunkan satu takaran gandum ke dalam adonan tepung dan membuatnya menjadi lima lembar roti untuk masing-masing dari mereka. Baginda Ali, Hadhrat Fatimah, kedua putra mereka beserta pembantu mereka, Fidhdhah, berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Pada hari pertama, pada waktu berbuka puasa, seorang miskin datang mengetuk pintu untuk meminta makanan. Mereka mengambil makanan yang tadinya mereka ingin santap – masing-masing lembaran roti – dan menyerahkan kepada orang miskin tadi. Pada hari kedua, tatkala mereka ingin berbuka, seorang yatim datang mengetuk pintu rumah. Dan mereka kembali menyerahkan seluruh makanan yang siap santap itu kepadanya. Sekali lagi, pada hari ketiga, sewaktu ingin berbuka puasa, seorang tawanan perang (yang telah ditangkap dalam membela Islam dan tinggal di Madinah) datang ke kediaman mereka dan meminta makanan; mereka mengambil seluruh lima lembar roti tersebut dan menyerahkan kepada orang itu. Mereka berbuka puasa selama tiga hari hanya dengan air.

Pada saat itu, Rasulullah Saw datang dan melihat putrinya Hadhrat Fatimah Zahra dan kedua putranya, Hasan dan Husain tampak pucat dan terlalu lemah untuk berkata-kata. Beliau melihat mereka badan mereka gemetaran karena lapar. Hadhrat Fatimah sendiri duduk dengan mata cekung di atas sajadahnya. Tatkala Rasulullah Saw bertanya gerangan apa sebabnya, Jibril datang kepada Rasulullah Saw dengan membawa surah al-Insan (76) dan bersabda, ―Wahai Muhammad! Allah Swt memberikan ucapan selamat atas pengorbanan keluargamu."[42]

Ayat-ayat ini tidak hanya menerjemahkan kepemurahan dan keteguhan Ahlulbait tapi juga mengungkapkan kepasrahan dan penyerahan diri secara total keluarga Rasulullah Saw, kesucian dan kekudusan pribadi mereka.

Ayat Wilâyah:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (QS. Al-Nisa [4]:59)

Ayat ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, berkenaan dengan wilayah Imam Ali bin Abi Thalib As dan sebagai ikutannya adalah Ahlulbait yang lainnya.

Rasulullah Saw bersabda tentang ulil amri (yang memiliki wilayah atas kalian), Mereka adalah khalifahku dan para pemimpin kaum Muslimin selepasku. Yang pertama dari mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan dan Husain, kemudian Ali bin Husain, lalu Muhammad bin Ali yang dikenal sebagai Al-Baqir, kemudian Ja'far bin Muhammad Al-Shadiq, kemudian Musa bin Ja'far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang menyandang namaku – Muhammad. Dia yang akan menjadi hujjah Allah di muka bumi.[43]

Hadis Tsaqalain

Rasulullah Saw bersabda, ―Boleh jadi saya akan segera dipanggil dan saya akan memenuhi panggilan itu. Oleh itu, saya tinggalkan setelahku dua pusaka berat (sangat berharga dan penting): Kitabullah (Al-Quran), yang merupakan tali yang terentang dari langit hingga bumi, dan Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah Swt telah mengabarkan kepadaku bahwa kedua pusaka ini tidak akan pernah berpisah antara satu dengan yang lain hingga keduanya menjumpaiku di Telaga Kautsar. Karena itu, berhati-hatilah bagaimana kalian memperlakukan keduanya selepasku."[44]

Hadis ini setidaknya dideklarasikan pada lima kesempatan – pertama pada pidato Hajjatul Wida, kedua di Ghadir Khum, ketiga setelah Nabi Saw meninggalkan kota Thaif dekat Mekkah, keempat di atas mimbar di Madinah, dan kelima – sebelum beliau wafat – di bilik beliau yang dipenuhi oleh para sahabat.

Mengingat sangat pentingnya peranan Al-Quran, mengapa Nabi Saw menisbatkan Ahlulbait As dengan Al-Quran dan menempatkannya sebagai pusaka penting setelah Al-Quran? Jawabannya adalah bahwa Ahlulbait As merupakan yang terbaik dalam menjelaskan makna dan penafsiran yang sebenarnya dari Al-Quran. Al-Quran, sebagaimana ia menyebutkan dirinya sendiri, mengandung ayat-ayat jelas (muhkam) dan tidak jelas (mutasyabihat). Dengan demikian, penafsiran dari ayat-ayat mutasyabihat ini harus dilakukan oleh Nabi Saw sendiri, sebagaimana beliau lakukan untuk Ahlulbaitnya. Di samping itu, karena kedekatan mereka kepada Rasulullah Saw, mereka memiliki pengetahuan yang tidak tertandingi terhadap sunnah Rasulullah Saw.

Riwayat yang sama dari Rasulullah Saw tentang Ahlulbaitnya, "Permisalan Ahlulbaitku adalah laksana bahtera Nuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang menolak menaikinya niscaya akan karam."[45] "Sebagaimana bintang-gemintang melindungi manusia dari kesesatan dalam perjalanan, demikian juga Ahlulbaitku. Mereka adalah penjaga terhadap pelbagai hal-hal ikhtilaf dalam agama."[46]

"Pengakuan terhadap keluarga Muhammad bermakna keselamatan dari api neraka. Kecintaan terhadap keluarga Muhammad merupakan tiket untuk melintasi jembatan shirath; ketaatan kepada keluarga Muhammad adalah pelindung dari kemurkaan Tuhan."[47]

Bagian 6

Kemaksuman

Mazhab Syiah meyakini bahwa seluruh nabi Allah semenjak Adam hingga Muhammad, demikian juga dua belas khalifah Rasulullah Saw dan putrinya Sayidah Fatimah Zahra As, adalah orang-orang maksum sepanjang perjalanan hidup mereka dan tidak pernah melakukan jenis dosa apa pun yang bisa mengundang kemurkaan Allah. Jalan yang paling terang untuk melihat permasalahan ini adalah menimbang bahwa orang-orang ini merupakan teladan-teladan yang diutus kepada manusia untuk diikuti, dan apabila mereka melakukan kesalahan, maka orang-orang berkewajiban untuk mengikuti mereka bahkan tatkala mereka melakukan kesalahan. Jika demikian halnya, maka para nabi dan rasul ini akan menjadi orang-orang yang tidak dapat dipercaya.

Kemaksuman bermakna perlindungan. Dalam terminologi Islam, ia bermakna anugerah spiritual yang diberikan Allah Swt kepada seseorang sehingga ia mampu menjauhkan dirinya dari dosa-dosa dengan kehendak dan pilihannya sendiri. Kekuatan kemaksuman atau keterjagaan dari perbuatan dosa tidak membuat seseorang tidak mampu melakukan dosa-dosa namun ia terjaga dari perbuatan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan dengan kekuasaan dan kebebasan yang dimilikinya. Kemaksuman sangat penting bagi para nabi dan rasul karena tugas mereka bukan hanya menyampaikan kitab-kitab suci Allah tetapi juga untuk memimpin dan membimbing manusia menuju jalan yang benar. Karena itu, mereka harus menjadi panutan dan teladan sempurna bagi umat manusia.

Baik Al-Quran dan kearifan umum menggambarkan hal ini bahwa: Al-Quran menyebutkan redaksi "ishmah" (kemaksuman) sebanyak tiga belas kali. Allah Swt berfirman kepada Iblis:Bahwa sesungguhnya engkau tidak akan dapat menguasai hamba-hamba-Ku, kecuali orang-orang sesat yang mengikutmu." (QS. Al-Hijr [15]:42). Dalam menjawab firman Allah Swt ini, Iblis menjawab,“Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya " kecuali hamba-hamba-Mu yang disucikan (dari dosa) di antara mereka.” (yakni, para rasul dan para imam) (QS. [38]:82)

Terdapat beberapa ayat dalam Al-Quran yang boleh jadi menandaskan bahwa beberapa orang nabi (seperti Adam, Musa, Yunus melakukan dosa. Terkait dengan Adam As, ia tidak mematuhi perintah wajib Allah Swt; perintah yang tidak ditunaikannya adalah perintah yang bersifat anjuran, bukan perintah yang bersifat harus dan wajib ditunaikan. Karena itu, menurut terminologi teknis Islam, ia tidak melakukan dosa.Dan sebelum ini sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Adam, tapi ia lupa (akan janji itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. (QS. Thaha [20]:115) Kesalahan Adam adalah ia tidak memiliki kemauan yang kuat, namun ia tidak melanggar perintah Allah Swt karena perintah tersebut adalah bersifat anjuran (advirsory) bukan kewajiban (obligatory). Sebagai hasil dari perbuatannya ini, ia kehilangan keistimewaan dan kenikmatan yang dianugerahkan kepadanya di dalam surga. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalam surga dan tidak akan telanjang.Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.”" (QS. Thaha [20]:118-119)

Ketika berbicara tentang ketidaktaatan Nabi Adam, Al-Quran tidak memaknai ketidaktaatan itu secara literal. Hal itu bermakna bahwa tidak diharapkan dari seorang seperti Nabi Adam yang merupakan seorang pemimpin bagi umat manusia untuk melanggar titah Allah Swt. Karena itu, tindakan yang dilakukan oleh Nabi Adam ini secara kiasan diartikan sebagai dosa dalam Al-Quran.

Terkait dengan Nabi Musa As, Al-Quran bertutur kata tentangnya,"Dan (menurut keyakinan mereka) aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku." (QS. Al-Syu‘araa [26]:14)

Tudingan ini datang tatkala ia mendorong seorang pria dan secara tidak sengaja membunuhnya. Kala itu, Nabi Musa As mencoba membela salah seorang dari sukunya dan tatkala ia mendorong orang dari kaum Fir'aun, kebetulan orang yang didorong itu adalah orang yang sangat lemah sehingga terjatuh dan mati seketika. Nabi Musa As tidak bermaksud untuk membunuhnya, namun ia melarikan diri dari tempat kejadian lantaran ia tidak ingin tertawan Fir'aun dan pasukannya yang mencarinya.

Ketika Nabi Musa As berbicara tentang "tuduhan kejahatan" yang dilontarkan terhadapnya, ia mengulang tuduhan-tuduhan Fir'aun yang masyarakat tidak meyakini tuduhan-tuduhan tersebut ada benarnya.

Kasus Nabi Yunus juga kurang lebih sama dengan kasus Nabi Musa As. Al-Quran menyatakan, Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi (dari tengah-tengah kaumnya) dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya). Maka (setelah berada di dalam perut ikan hiu) ia menyeru di dalam kegelapan yang gulita,“Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya [21]:87) Dalam hal ini, Nabi Yunus bermaksud bahwa ia melakukan kesalahan pada dirinya sendiri, tetapi melakukan kesalahan pada diri sendiri bukanlah sebuah dosa atau sebuah kesalahan. Ia telah melakukan "kesalahan pada dirinya" karena tidak bersabar dengan para pengikutnya dan meninggalkan mereka ketika mereka bersikukuh menolak seruan untuk menyembah Allah Swt dan mengolok-oloknya hingga ia meninggalkan kaumnya untuk menghadapi nasibnya sendiri.

Sebagian besar ayat-ayat Al-Quran yang boleh jadi menyinggung perbuatan dosa yang dilakukan Nabi Muhammad Saw maka hal itu terkait dengan urusan penafsiran Al-Quran. Tidak semua ayat Al-Quran yang dimaksud dapat dipahami secara harfiah dan literal. Makna yang dalam kebanyakan tertimbun dari bentuk lahir ayat-ayat ini. Hal ini dinyatakan dalam Al-Quran, Dialah yang menurunkan al-Kitab (Al-Quran) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihât.Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah Dan orang-orang yang mendalam ilmunya (rasikhun fi al-Ilm) berkata. (Nabi Saw dan Ahlulbaitnya) (QS. Ali Imran [3]:7)

Terlebih, karakter dan penghormatan umum yang disandarkan kepada Nabi Saw menunjukkan bahwa tanpa ragu ia bukanlah salah seorang pendosa atau orang yang melakukan kesalahan.

Riwayat yang tidak senonoh dapat ditemukan pada beberapa kitab hadis terkait dengan kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh sebagian nabi Allah. Misalnya, Imam Bukhari meriwayatkan: Umar meminta izin dari Nabi Saw untuk mengunjunginya tatkala beberapa wanita Quraisy sedang sibuk bercakap-cakap dengan Nabi Saw dan meninggikan suara mereka melebihi suara Nabi Saw. Ketika Umar meminta izin, mereka berdiri dan segera lari bersembunyi di balik tirai. Rasulullah Saw memberikan izin kepadanya sembari tersenyum. Saat itu, Umar berkata, "Ya Rasulullah! Semoga Allah membahagiakanmu sepanjang hidupmu." Kemudian Rasulullah Saw bersabda, "Aku memperhatikan (dengan takjub) wanita-wanita yang bersamaku, dan tidak lama setelah mendengar suaramu mereka segera mengenakan hijab."[48]

Demikian pula, Imam Muslim menukil riwayat: "Abu Bakar datang menemuiku (Rasulullah Saw) dan di sampingku ada dua wanita dari kalangan wanita Anshar, dan mereka bernyanyi apa yang didendangkan oleh kaum Anshar sesama mereka pada peperangan Bua'ts. Tentu saja mereka bukan biduanita. Tatkala melihat ini, Abu Bakar berkata, "Apa! Alat setan dimainkan di kediaman Rasulullah Saw dan pada saat hari raya?" Mendengar ini, Rasulullah Saw berkata, "Abu Bakar, setiap orang punya hari raya. Dan hari ini adalah hari raya kita (Jadi, biarkan mereka memainkan alat musik itu)."[49]

Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah Saw dilihat kencing berdiri di hadapan orang-orang.[50]

Jelaslah, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Khalifah Pertama dan Kedua berserta orang-orang awam akan memandang bahwa hal-hal yang tidak islami tidak akan dipraktikkan Nabi Saw terang-terangan. Tidak ada seorang Muslim pun akan menerima perilaku dari seorang pemimpin kemanusiaan yang dijadikan sebagai panutan dan teladan oleh Al-Quran dan Al-Quran menitahkan kita untuk mengikutinya dari segala aspek.

Dalam kitab-kitab hadis, terdapat riwayat-riwayat yang tidak berdasar lainnya yang bertentangan dengan hikmah dan akal sehat.

Terdapat riwayat yang serupa dengan riwayat di atas berkenaan dengan nabi-nabi Allah lainnya. Sebagai contoh, Malaikat Maut datang kepada Musa dan berkata, "Penuhilah seruan Allah (bersiap-siaplah untuk mati). Musa menghajar mata Malaikat Maut dan membuatnya terjatuh. Malaikat Maut kembali kepada Allah dan berkata, "Engkau mengutusku kepada hamba-Mu yang tidak ingin mati dan ia menghajar mataku. Allah kemudian menyembuhkan matanya.[51]

Seorang Muslim biadab yang menyerang seseorang yang menjalankan tugas kesehariannya akan disebut sebagai penganiaya dan penyerang, dia akan dihukum atas perbuatannya ini. Perbuatan tidak senonoh ini sama sekali tidak dapat diterima jika orang tersebut adalah salah seorang lima besar nabi Allah yang diutus untuk memberikan petunjuk, memberikan pencerahan dan mendidik manusia dengan teladan-teladan yang baik dan akhlak karimah. Mengapa seseorang seperti Nabi Musa menyerang Malaikat Maut yang datang kepadanya untuk membawanya lebih dekat kepada Allah Swt? Riwayat-riwayat semacam ini sama sekali tidak dapat diterima. Seorang Muslim yang bijak harus membuka matanya dalam mencermati kisah-kisah seperti ini dalam kitab-kitab hadis yang sama sekali tidak sejalan dan selaras dengan ajaran-ajaran Al-Quran .[]


3

4

5

6

7