Bagian 12
Tentang Praktik Ibadah
Mengusap Kedua Kaki Saat Wudhu
Para pengikut Ahlulbait As mengikuti apa yang diajarkan Al-Quran kepada mereka selama wudhu dengan mengusap kaki alih-alih membasuhnya. Hal ini sesuai dengan perintah Al-Quran,Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepala dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki.
(QS. Al-Maidah [5]:6)
Mereka yang membasuh kakinya pada waktu wudhu berdalih bahwa ―kakimu‖ dalam Al-Qur‘an berkait („athf) dengan membasuh wajah sementara para pengikut Ahlulbait beralasan bahwa ―kakimu‖ bertaut („athf) dengan mengusap kepala ―usaplah kepala‖ sehingga dengan demikian kedua kaki harus diusap bukan dibasuh.
Untuk menyokong pandangan ini, Ibnu Abbas meriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa mereka membasuh kedua kaki mereka pada masa Rasulullah Saw.
Tentu saja, kaum Muslimin pada masa Rasulullah Saw seluruhnya berwudhu dengan cara yang sama. Tidak ada perselisihan di antara mereka karena Rasulullah Saw hadir di tengah mereka dan seluruh kaum Muslimin menyerahkan perselisihan mereka kepada beliau sesuai dengan titah al-Qur‘an, Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul.‖ (QS. Al-Nisa [4]:59)
Situasi yang sama terjadi pada masa Khalifah Pertama, Abu Bakar (11-13 H); tidak terdapat perselisihan terkait pelaksanaan wudhu yang telah diriwayatkan pada masa itu. Demikian juga pada masa khalifah kedua, Umar bin Khaththab (13-23 H) kecuali kenyataannya ia membolehkan orang mengusap kasut alih-alih mengusap kaki sebagaimana yang dititahkan Al-Quran (5:6)
Bagaimanapun, perselisihan terkait dengan tata-cara wudu dimulai pada awal masa pemerintahan khalifah ketiga, Utsman bin Affan (23-35 H) tatkala ia memulai membasuh kakinya dan tidak mengusapnya.
Muttaqi Hindi dalam kitabnya, Kanz al-„Ummal
menyebutkan bahwa Khalifah Ketiga, Utsman bin Affan, adalah orang pertama yang berbeda dalam mengerjakan wudhu pada masa kekhalifahannya. Dalam Shahih Muslim
dan Kanz Al-„Ummal,
Utsman bin Affan berkata bahwa selama masa kekhalifahaannya, beberapa sahabat Rasulullah Saw yang mengerjakan wudhu dengan cara yang berbeda-beda dari dirinya dan menyandarkan perbuatan itu kepada Rasulullah Saw. Lebih dari dua puluh riwayat yang dinukil dari Khalifah Ketiga tentang cara baru dalam melaksanakan wudhu.
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa ia mengadakan sebuah metode baru dalam berwudhu. Beberapa sejarawan terkemuka, seperti Ibnu Abil Hadid Muktazili
memandang tren seperti ini sebagai tiada yang aneh dalam sunnah Khalifah Ketiga lantaran khalifah ketiga terkenal dengan banyaknya hal yang baru yang ia perkenalkan.
Terdapat hampir mencapai konsensus (ijma) di kalangan sejarawan Muslim bahwa Khalifah Ketiga Utsman dibunuh oleh kaum revolusioner Muslim pada tahun 35 H lantaran masalah politik dan keuangan.
Bagaimanapun, sejarawan Muslim lainnya menafsirkan segala yang diperkenalkan oleh Khalifah Ketiga terkait dengan sebagian aturan agama selama tiga tahun terakhir masa kekhalifaannya sebagai berbeda dari sunnah Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua.
Mayoritas kaum Muslimin pada masa pemerintahannya melihat Khalifah Ketiga ini sebagai pengikut Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua serta pelaksana atas sunnah-sunnahnya. Lantaran Khalifah Ketiga menyaksikan banyak hal yang baru pada masa pemerintahan Khalifah Kedua, dan karena ia melihat dirinya sendiri secara keagamaan dan keilmuan tidak kurang dari para pendahulunya,
ia pun memutuskan untuk meninggalkan kebijakan sebelumnya dan memilih memiliki pendapat mandiri terkait dengan masalah politik, keuangan, masalah-masalah fikih seperti membasuh kaki pada saat wudhu.
Meskipun beberapa orang hari ini memandang membasuh kaki mengarah kepada lebih bersih dan higienisnya kaki ketimbang sekedar mengusapnya, Allah Swt, yang mensyariatkan seluruh perbuatan ibadah, termasuk wudhu, lebih tahu maslahat dan mafsadah membasuh atau mengusap kaki. Diriwayatkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib bersabda, ―Apabila agama mengikut pendapat manusia, alas kaki lebih baik diusap ketimbang di atasnya. Namun saya melihat Rasulullah Saw mengusap bagian atas kakinya.
Menjamak Shalat
Seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa ada lima kewajiban shalat sepanjang siang dan malam. Mereka juga setuju bahwa kelima shalat wajib ini memiliki waktu khusus yang harus dikerjakan dan bahwa menggabungkan shalat-shalat dapat dikerjakan sewaktu-waktu (misalnya shalat zuhur dapat dikerjakan secara bersamaan disusul shalat asar, atau segera setelah shalat magrib, shalat isya dapat dikerjakan). Mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Hambali sepakat bahwa menggabung shalat ketika dalam perjalanan (safar) dibolehkan, namun mereka tidak membolehkan menggabung shalat untuk alasan lain. Mazhab Hanafi membolehkan menggabung shalat hanya pada hari Arafah, sementara Syiah Imamiyah membolehkan menggabung shalat dalam setiap kesempatan, berdiam di suatu tempat (mukim) atau dalam perjalanan (safar), tanpa ada alasan tertentu, pada masa damai atau perang, cuaca hujan atau tidak, dan seterusnya. Perbedaan sebenarnya pada kapan akhir dan awal dari waktu-waktu shalat ini dan sudah seharusnya perbedaan ini harus diselesaikan dengan merujuk kepada Al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah Saw.
Tiga ayat-ayat Al-Quran berbicara tentang waktu-waktu shalat. Allah Swt berfirman,Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam (pertengahan malam) dan (dirikanlah pula) shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat malam dan siang).”
(QS. Al-Isra [17]:78). “Sesudah matahari tergelincir” terkait dengan waktu bersama untuk shalat zuhur dan shalat ashar, “gelap malam” berhubungan dengan shalat magrib dan shalat isya. Adapun waktu subuh (fajr) terkait dengan shalat subuh.
Al-Quran dengan jelas dan lugas menyebutkan bahwa terdapat tiga waktu utama untuk shalat lima waktu. Meski jumlah shalat ada lima, kelima waktu shalat ini dibagi menjadi tiga waktu shalat.
Ulama kawakan Sunni, Fakhruddin Razi memahami penafsiran ini juga dari ayat ini
Tentu saja, shalat-shalat harus dikerjakan dengan tertib, yakni shalat zuhur harus dikerjakan terlebih dahulu sebelum shalat asar, shalat magrib dilaksanakan sebelum shalat isya.
Al-Quran juga menyatakan,Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
(QS. Hud [11]:114) Fukaha dan mufasir Al-Quran sepakat bahwa ayat ini terkait dengan lima shalat wajib dan sebagaimana yang dinyatakan Al-Quran, menentukan waktu shalat – yaitu, tiga waktu utama, dua di antaranya adalah pada ―tepi siang dan tiga lainnya adalah pada ―pada bagian permulaan malam.
Yang pertama, ―tepi siang adalah waktu shalat-shalat pagi; kedua ―tepi siang bermula dari siang dan berakhir pada tenggelamnya matahari, waktunya adalah waktu untuk shalat zuhur dan shalat asar; dan ―pada bagian permulaan malam adalah waktu utama ketiga yang terkait dengan shalat magrib dan isya yang waktunya terentang semenjak permulaan malam hingga tengah malam.
Pembagian yang sama juga dinyatakan dalam ayat ketiga,Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum matahari terbit dan sebelum terbenam. Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya pada malam hari dan setiap selesai shalat.
(QS. Qaaf [50]:39-40)
Sebagaimana pada ayat sebelumnya, para fakih dan mufasir Al-Quran setuju bahwa ayat ini berkenaan dengan waktu lima shalat wajib dan membagi waktu shalat menjadi tiga, pertama, ―semenjak subuh hingga terbitnya matahari yang merupakan waktu shalat subuh; kedua, ―semenjak siang hingga terbenamnya matahari yang merupakan waktu shalat-shalat siang dan sore; dan ketiga, ―pada malam hari yang terentang semenjak terbenamnya matahari hingga tengah malam yang merupakan shalat magrib dan shalat isya. ―Dan setiap selesai shalat‖ menurut para mufassir, terkait dengan shalat-shalat nawâfil (yang dianjurkan) atau shalat-shalat lainnya, lebih khusus, shalat tahajjud yang merupakan shalat sunnah yang sangat dianjurkan.
Imam Bukhâri dan yang lainnya meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw biasa menggabungkan shalat menjadi tiga waktu: ―Rasulullah Saw menunaikan shalat Zuhur dan Asar bersamaan dan shalat magrib dan isya bersamaan tidak dalam keadaan takut (khauf) atau dalam perjalanan.
Imam Muslim menukil hadis yang sama dan menambahkan bahwa ketika Rasulullah Saw ditanya oleh Ibnu Abbas mengapa beliau menggabungkan dua shalat. Rasulullah Saw menjawab bahwa ia tidak ingin menimbulkan kesulitan bagi umatnya.
Pada buku yang sama, Ibnu Abbas sendiri menukil bahwa mereka biasa menggabungkan dua shalat pada masa Rasulullah Saw.
Karena itu, baik Al-Quran atau Hadis Rasulullah Saw menunjukkan dengan jelas kebolehan menggabungkan shalat tanpa adanya alasan tertentu dan Allah Swt membuat agama-Nya mudah bagi orang-orang beriman.
Azan dan Hayya ‘ala Khair al-‘Amal
Seluruh azan diajarkan Allah Swt kepada Rasulullah Saw pada malam beliau mikraj dan shalat diwajibkan baginya pada malam yang sama.
Azan yang asli diajarkan kepada Rasulullah Saw mengandung kalimat, ―hayya ala khair al-amal. Namun, pada waktu perluasan kekuasaan Islam, Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab, berpikir bahwa kalimat ini akan mengendurkan semangat orang untuk berperang (jihad), lalu ia memerintahkan untuk menghapusnya dari azan.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kaum Musimin untuk menyebutkan dalam azan dan iqamah kalimat ―hayya ala khair al-amal namun ketika Umar naik tampuk kekuasaan, ia menghilangkan kalimat ini.
Ia juga berkata bahwa Ali bin Abi Thalib dan para pengikutnya, demikian juga Abdullah bin Umar, tidak menghilangkan kalimat tersebut dalam azan dan ikamah mereka.
Umar bin Khaththab diriwayatkan berkata, ―Wahai manusia! Tiga hal yang dulunya ada pada masa Rasulullah yang aku larang dan mengharamkannya dan akan menghukum (orang yang melakukannya): haji mut‘ah, mut‘ah perempuan, dan hayya „ala khair al-„amal.
Di samping itu, Malik bin Anas menukil bahwa suatu waktu muazin datang kepada Umar bin Khaththab untuk mengumandangkan azab subuh dan mendapatkannya tidur. Lantas muazin tersebut berkata, ―Al-shalatu khairun min al-naum (shalat lebih baik daripada tidur). Umar menyukai kalimat ini, lalu ia memerintahkan untuk menempatkannya dalam azan subuh.
Imam Muslim dan Abu Daud sepakat bahwa kelimat ini bukan bagian dari azan pada masa Rasulullah Saw. Tirmidzi menambahkan menandaskan bahwa Umarlah yang menambahkan kalimat tersebut.
Sebagian orang bertanya-tanya mengapa Syiah, dalam azan, setelah mengumandangkan dua kesaksian menambahkan kalimat kesaksian “Asyahadu anna „Aliyyan waliyullah (Aku bersaksi bahwa Ali adalah wali Allah). Seluruh fukaha dan ulama Syiah bersepakat (ijma) bahwa kalimat ini bukan merupakan bagian wajib dalam azan.
Bagaimanapun, disebutkan bahwa hal itu merupakan sebuah kebiasaan bahwa keyakinan Syiah bermula pada masa Rasulullah Saw pada hari Ghadir setelah beliau mengangkat Imam Ali As sebagai khalifahnya. Ketika kaum Muslimin menyampaikan baiat kesetiaan kepada Imam Ali As, Abu Dzar Al-Ghiffari mengumandangkan azan dan menambah kalimat ini. Kaum Muslimin datang kepada Rasulullah Saw dan berkata bahwa mereka telah mendengar sesuatu yang baru. Tatkala Rasulullah Saw bertanya ihwal apa yang mereka dengarkan, mereka berkata bahwa mereka telah mendengar kalimat, ―Asyahâdu anna „Aliyyan waliyullah,‖ dalam azan. Rasulullah Saw bertanya kepada mereka apakah mereka tidak mengakui kalimat yang sama kepada Imam Ali As tatkala mereka memberikan baiat kepadanya. Kaum Syiah menambah kalimat ini sebagai sesuatu yang mustahab (anjuran) bukan bagian wajib azan. Dan jika ada orang yang mengumandangkannya dalam azan dan menganggapnya sebagai bagian wajib, maka azannya akan batal.
Menyedekapkan Tangan dalam Shalat (Takfir)
Rasulullah Saw bersabda, ―Dirikan shalatmu sebagaimana aku menunaikannya. Menyedekapkan dalam shalat membatalkan shalat menurut Mazhab Imamiyah karena perbuatan ini dipandang sebagai kebiasaan orang-orang Majusi.
Dalam Mazhab Hanafi dan Syafi‘i, dianjurkan (mustahab) bersedekap. Mazhab Syafi‘i mengatakan bahwa cara bersedekap adalah dengan melipat tangan kanan di atas tangan kiri di atas perut, sementara Mazhab Hanafi memandang melipat tangan di bawah perut.
Menyudahi Shalat dengan Tiga Takbir
Rasulullah Saw menyudahi shalatnya dengan tiga takbir. Imam Muslim meriwayatkan fakta ini dengan riwayat dari Ibnu Abbas yang berkata, ―Kami tahu Rasulullah Saw menyelesaikan shalatnya ketika beliau membaca tiga takbir.
Shalat di Atas Tanah (Turbah)
Sujud di atas tanah (turbah) sama sekali tidak bermakna menyembah batu atau tanah yang dijadikan sebagai tempat sujud. Pada praktiknya, sujud di atas tanah memiliki landasan kuat dalam riwayat Rasulullah Saw yang diajarkan Al-Quran yang harus diikuti oleh kaum Muslimin dalam seluruh aspek. Imam Bukhâri meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, ―Aku telah diberi lima hal yang belum pernah dianugerahkan kepada siapa pun (nabi lain) sebelumku. Setiap nabi diutus secara khusus untuk umatnya sendiri, sementara aku diutus untuk seluruh manusia, (berkulit) merah atau hitam; pampasan perang telah dihalalkan buatku, dan hal ini belum pernah dihalalkan bagi siapa pun sebelumku; bumi dijadikan suci dan tempat bersujud untukku, jadi kapan saja tiba waktu shalat bagi siapa pun di antara kalian, maka ia harus shalat dimana ia berada; aku disokong oleh keterpesonaan (yang menguasai musuh) dari kejauhan (yang memerlukan waktu sebulan); aku dianugerahi (untuk memberi) syafaat.
Hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa bumi (tanah dan batu) merupakan tempat untuk sujud. Sejarah Islam dan hadis Rasulullah Saw menunjukkan bahwa masjidnya di Madinah hanya dihiasi dengan tanah meski terdapat ragam jenis karpet dan dekorasi pada waktu itu. Karena masjid ini tidak memiliki karpet atau apapun jenis penutup lantai, sehingga ketika hujan turun, lantai masjid berubah menjadi lumpur. Namun demikian, kaum Muslimin sujud di atas lumpur dan tidak meletakkan karpet atau permadani di atasnya. Abu Said Khudri, salah seorang sahabat Rasulullah Saw, meriwayatkan, ―Saya melihat dengan dua mataku sendiri Rasulullah Saw dan hidungnya dialiri hujan dan lumpur." Imam Bukhâri meriwayatkan bahwa ketika melaksanakan shalat di dalam kamarnya, Rasulullah Saw shalat di atas ―khumra (potongan keras atau potongan jerami): Rasulullah Saw mengerjakan shalat dan saya (salah seorang istri Rasulullah Saw) duduk di hadapannya dalam keadaan haid. Terkadang pakaiannya menyentuhkan tatkala beliau sujud dan ia biasa sujud di atas khumrah.
Istri Rasulullah Saw lainnya meriwayatkan, ―Saya tidak pernah melihat Rasululah Saw (selagi sujud) menghalangi wajahnya dari menyentuh bumi.
Terlebih, Wail, salah seorang sahabat Rasulullah Saw, menukil, ―Saya melihat Rasulullah Saw, ketika beliau sujud, menyentuhkan kening dan hidungnya di atas bumi (tanah).
Riwayat yang lain menyatakan bahwa Rasulullah Saw melarang kaum Muslimin untuk bersujud pada bahan-bahan lainnya selain tanah. Suatu hari, Rasulullah Saw melihat seseorang sujud di atas kain surbannya. Rasulullah Saw menunjuk orang tersebut dan berkata kepadanya untuk menyingkirkan surbannya serta menyentuhkan keningnya ke tanah.
Meski panas tanah yang menyengat, namun Rasulullah Saw dan para sahabatnya sujud di atasnya. Seorang sahabat besar Rasulullah Saw, Jabir bin Abdullah Anshari, berkata, "Saya shalat zuhur bersama Rasulullah Saw dan saya mengambil seikat kerikil di tanganku untuk mendinginkannya lantaran panasnya yang menyengat sehingga saya bisa sujud di atasnya.
Sahabat yang lain Rasulullah Saw, Anas bin Malik meriwayatkan, ―Kami sujud bersama Rasulullah Saw pada waktu panas menyengat. Salah seorang dari kami mengambil kerikil (kemudian) menaruhnya di tangannya dan ketika kerikil tersebut dingin, mereka meletakkannya di bawah dan sujud di atasnya.
Khabbab bin Arath, salah seorang sahabat Rasulullah Saw, berkata, ―Kami mengeluhkan masalah sengatan panas tanah dan pengaruhnya pada kening dan tangan (selama sujud) kepada Rasulullah Saw, tetapi beliau tidak membolehkan kami dari beribadah (baca: sujud) di atas tanah.
Abu Ubaidah, yang juga merupakan seorang sahabat Rasulullah Saw, meriwayatkan bahwa Ibnu Mas‘ud tidak pernah sujud kecuali di atas tanah.
Sementara Ubadah bin Shamit diriwayatkan menarik surbannya ke belakang untuk membiarkan keningnya menyentuh tanah.
Selama masa Khalifah Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat, kaum Muslimin sujud di atas tanah; Abu Umayah meriwayatkan bahwa Khalifah Pertama, Abu Bakar, sujud dan ibadah di atas tanah (ardh).
Sujud di atas tanah juga merupakan kebiasaan tabi‘in (mereka yang tidak melihat nabi namun bertemu dengan para sahabat). Masruq bin Ajda, seorang tabi‘in terkemuka dan fakih terpercaya dan murid Abdullah bin Mas‘ud, membuat sebuah lembaran dari tanah Madinah dan sujud di atasnya, membawanya dalam perjalanan khususnya ketika ia naik bahtera.
Orang-orang yang dekat kepada Rasulullah Saw, Ahlulbait As juga sangat tegas dalam praktik mereka sujud di atas tanah dan dalam melakukan hal ini, mereka mengikuti sunnah datuk mereka, Rasulullah Saw.
Imam Ja‘far Shadiq As, Imam Keenam Mazhab Ahlulbait bersabda, ―Sujud tidak dibolehkan kecuali di atas bumi dan apa pun yang tumbuh darinya kecuali dari benda-benda yang dimakan atau dari bahan kapas.
Ketika beliau ditanya apakah (shalatnya) diterima apabila seseorang bersujud di atas sorbannya ketimbang di atas tanah seseorang menyentuh tanah. Beliau menjawab bahwa hal ini tidak memadai kecuali keningnya benar-benar menyentuh tanah.
Sahabat dan muridnya, Hisyam bin Hakam, bertanya kepadanya apakah tujuh anggota sujud (kening, kedua tangan, kedua lutut dan ujung jari-jari kaki) harus menyentuh tanah selama sujud, Imam Shadiq As bersabda bahwa sepanjang kening menyentuh tanah, maka tidak perlu keenam anggota tubuh lainnya menyentuh bumi juga. Kemudian, orang-orang dapat menggunakan karpet atau permadani sembayang dengan syarat keningnya sendiri menyentuh bumi. Namun, sujud dengan meletakkan kening di atas selembar kain, karpet, nilon, kapas, atau apapun lainnya yang bukan merupakan produk bumi (kecuali hal-hal yang dimakan dan dipakai dan segala sesuatu yang tidak dibolehkan sujud di atasnya) tidak dipandang sebagai sujud di atas bumi.
Di samping masalah keabsahan sujud, sujud di atas bumi memiliki pelajaran dan petunjuk berharga bagi orang-orang beriman. Sujud itu sendiri adalah semacam perlambang kehinaan dan kerendahan di hadapan Allah Swt, dan jika dilakukan di atas tanah, akan lebih menyisakan pengaruh ketimbang sujud di atas karpet.
Rasulullah Saw bersabda, ―Biarkan wajahmu berdebu dan tutupi hidungmu dengan debu.
Ketika Imam Shadiq As ditanya tentang falsafah di balik sujud di atas bumi, beliau bersabda, ―Lantaran sujud adalah penyerahan diri dan penghinaan diri di hadapan Tuhan. Karena itu, sujud tidak boleh dilakukan di atas benda yang dipakai atau dimakan lantaran manusia adalah budak-budak dari apa yang mereka makan dan kenakan, dan sujud adalah ibadah kepada Allah Swt, karena itu seseorang tidak dibenarkan meletakkan keningnya selama sujud di atas sesuatu yang disembah manusia (makanan dan pakaian) dan yang membuat orang-orang menjadi sombong.
Akan tetapi, setiap aturan memiliki pengecualian tersendiri. Riwayat-riwayat tertentu yang membolehkan orang-orang pada masa darurat seperti di penjara atau pada sebuah tempat (seperti kapal dan pesawat) yang tidak tersedia bumi atau potongan kayu atau daun atau kertas yang tersedia untuk dijadikan sebagai tempat sujud – dalam kasus-kasus seperti ini, orang-orang dapat sujud baik di atas kemejanya atau di atas karpet, lantaran Rasulullah Saw bersabda, ―Tiada yang dilarang bagi manusia kecuali Allah Swt membolehkan atasnya bagi siapa saja yang berada dalam kondisi darurat.
Mengapa Kita Sujud Di Atas Tanah Karbala?
Para pengikut Ahlulbait lebih memilih sujud di atas tanah Karbala yang mengingatkan mereka akan tragedi besar dari pengorbanan Imam Husain As.
Mereka tidak menghargai tanah fisik sebanyak prinsip-prinsip Imam Husain dan revolusi agungnya yang menjaga Islam dari pelbagai penyimpangan, pengrusakan dan tirani kaum zalim. Banyak imam dari Mazhab Ahlulbait meriwayatkan bahwa sujud di atas tanah Karbala menembus tujuh hijab yang memisahkan seseorang yang berdoa dari Allah Swt.
Kebijaksanaan umum juga menyatakan beberapa tanah lebih baik dari yang lain. Kenyataan ini bersifat normal, rasional, dan telah disepakati oleh seluruh bangsa, pemerintah, pemegang otoritas dan agama-agama. Seperti halnya tempat-tempat dan bangunan yang erat tautannya dengan Allah Swt. Mereka menikmati status khusus yang status hukum, hak-hak, kewajibannya dijaga dan didukung.
Misalnnya, Ka‘bah yang memiliki status hukum bagi dirinya sendiri, demikian juga masjid Nabi di Madinah. Tanah Karbala juga demikian adanya, lantaran Rasulullah Saw diriwayatkan telah mengambil tanah dari Karbala, mencium dan mengecupnya. Istri Rasulullah Saw, Ummu Salamah, juga menaruh sepotong tanah Karbala dalam pakaiannya. Rasulullah Saw dinukil telah bersabda kepada Ummu Salamah, ―Jibril telah datang kepadaku dan mengabariku bahwa sebagian orang dari umatku akan membunuh putraku, Husain, di Irak dan ia mengantarkan sepotong tanah tersebut. Rasulullah Saw memberikan sepotong tanah tersebut kepada istrinya dan bersabda, ―Tatkala tanah ini berubah menjadi darah segar, maka ketahuilah bahwa putraku Husain telah terbunuh.
Ummu Salamah mengambil tanah tersebut dan menaruhnya dalam sebuah botol. Tatkala Imam Husain bertolak ke Irak pada tahun 61 H, Umum Salamah mengecek potongan tanah tersebut setiap hari. Suatu hari, ia datang melihat botol tersebut dan menyaksikan bahwa tanah tersebut telah berubah menjadi darah segar kemudian ia mulai menjerit. Kaum wanita Bani Hasyim berkumpul di sekelilingnya dan bertanya gerangan apa yang terjadi. Ummu Salamah memberitahukan kepada mereka bahwa Husain telah terbunuh. Tatkala mereka bertanya bagaimana ia tahu, Ummu Salamah meriwayatkan kisahnya, kemudian mereka bergabung dengannya dalam ratapan dan tangisan untuk Imam Husain As.
Seorang pria dari Bani Asad yang mencium tanah tempat Imam Husain dikebumikan menangis. Hisyam bin Muhammad berkata, ―Tatkala air telah dialirkan untuk melenyapkan dan membanjiri kuburan Imam Husain, tanah tersebut kering setelah empat puluh hari dan kuburan lenyap tanpa jejak. Seorang badui dari Bani Asad datang dan mencicipi tanah tersebut, mengambilnya segenggam demi segenggam, menciumnya setiap saat, hingga ia mampu mengidentifikasi kuburan Imam Husain, kemudian ia menangis di atasnya dan berkata, Semoga ayah-ibuku menjadi tebusanmu! Alangkah semerbaknya Anda semasa hidup, dan alangkah semerbaknya tanahmu ketika engkau mati! Kemudian menangis lagi dan menggubah syair di bawah ini:
Karena kebencian mereka ingin melenyapkan kuburannya
Namun semerbak tanah yang menuntun kepada kuburannya.
Orang pertama yang sujud di atas tanah Karbala ketika Imam Husain dipenggal dan dikebumikan adalah putranya, Ali bin Husain Zainal Abidin As, Imam Keempat Mazhab Ahlulbait dan cicit Rasulullah Saw.
Segera setelah beliau memakamkan ayahandanya di Karbala, ia mengambil segenggam tanah dan membuatnya menjadi keras dan selalu sujud di atasnya (ketika shalat dan berdoa). Setelahnya, putranya Imam Muhammad Baqir As dan putranya, Imam Ja‘far Shadiq As melakukan hal yang sama. Imam Zainal Abidin dan Imam Shadiq As membuat tasbih dari tanah kuburan Imam Husain As dan Imam Shadiq meriwayatkan bahwa putri Rasulullah Saw, Fatimah Zahra As biasa membawa tasbih yang terbuat dari pilinan kayu yang beliau gunakan untuk memuji dan memuja Allah Swt. Namun setelah Hamzah bin Abdul Muththalib terbunuh (syahid) di Perang Uhud, beliau mengambil tanah dari kuburannya dan membuat tasbih dari tanah tersebut dan menggunakannya untuk memuji dan mengagungkan Allah Swt. Orang-orang belajar dari kebiasaannya dan melakukan hal yang sama tatkala Imam Husain syahid, mengambil tanah dari kuburannya dan membuat tasbih dari tanah tersebut.
Shalat Jenazah
Selama masa Rasulullah Saw, shalat mayit dilaksanakan dengan lima takbir. Ahmad bin Hambal menukil dari Abdul -Ala: ―Saya shalat jenazah di belakang Zaid bin Arqam dan saya melakukan takbir sebanyak lima kali.
Seseorang berdiri di belakangnya dan memegang tangannya lalu bertanya apakah ia telah lupa. Abdul ‗Ala menjawab: ―Tidak. Saya shalat di belakang Abul Qasim Muhammad Saw dan beliau melakukan (shalat jenazah) sebanyak lima takbir. Saya tidak akan melakukan selain dari apa yang dilakukannya.
Suyuti menyebutkan nama-nama sahabat yang mengubah jumlah takbir dalam shalat jenazah dari lima takbir menjadi empat.
Shalat Tarawih
Imam Bukhâri meriwayatkan dari Abdullah bin Abdulqari: ―Pada suatu malam dari malam-malam Ramadhan, saya pergi ke masjid bersama Umar bin Khaththab. Kami menyaksikan orang-orang secara berpencar, dan masing-masing mengerjakan shalat sendiri-sendiri. Yang lainnya shalat bersama kelompok lainnya di belakang mereka. Umar menatapku dan berkata, Menurutku, jika aku dapat membawa orang-orang ini secara bersamaan, di belakang seorang imam, hal itu akan lebih baik.‘ Lalu ia mengumpulkan mereka dan Ubay bin Ka‘ab memimpin shalat mereka. Lalu aku bersama dengannya lagi pada malam yang lain pergi ke masjid, dan melihat orang-orang shalat secara berjamaah di belakang seorang imam. Umar menyaksikan mereka dan berkata, ―Ni‟mah al-bid‟ah hadzihi (alangkah indahnya bid‘ah ini).
Dalam tradisi Syiah, shalat-shalat yang dianjurkan (nawafil) dikerjakan secara perorangan selama bulan Ramadhan. []