Bagian 16
Beberapa Perbedaan dan Kesalahpahaman antara
Syi'ah dan Mazhab Lainnya
“'Abasa watawalla (Dia bermuka masam dan berpaling..”
– (QS Abasa [80]:1)
Ayat ini adalah salah satu ayat Al-Quran Suci yang interpretasinya berbeda di antara dua mazhab utama. Mayoritas ulama Sunni mengklaim bahwa orang yang bermuka masam dan berpaling dari orang buta adalah Rasulullah Saw, sedangkan para ulama Syiah menyatakan bahwa orang yang bermuka masam dan berpaling adalah salah seorang sahabat Rasulullah saw, dan bukannya Rasulullah Saw.
Menurut para ulama Sunni, orang buta itu adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Dikatakan bahwa ia datang kepada Rasulullah Saw ketika beliau sedang berbicara dengan sekelompok kaum kafir termasuk Uthbah bin Rabi'ah, Abu Jahl bin Hisyam, Abbas bin Abdul Muththalib, 'Ubay, dan Umayah bin Khalaf. Beliau sedang berusaha mencondongkan hati mereka kepada Islam. Karena mereka adalah para pemimpin masyarakat Mekkah, jika mereka memeluk Islam, maka banyak orang lain akan mengikuti mereka. Orang ini datang dan menyela pembicaraan Rasulullah Saw dan meminta beliau untuk mengajarkannya apa yang Allah telah ajarkan kepada beliau. Abdullah tidak mengetahui bahwa Rasulullah Saw sedang sibuk berbicara dengan kelompok kafir ini. Karenanya Rasulullah Saw pun bermuka masam.
Adapun penafsiran Syiah tentang ayat ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahlulbait yang keenam, Imam Ja'far Shadiq As, adalah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan salah seorang sahabat Rasulullah Saw, yang kebetulan berasal dari Bani Umayah, yang duduk bersebelahan dengan Rasulullah Saw. Ketika orang buta itu datang, ia mengekspresikan ketidaksukaan dan kebenciannya kepadanya, maka ia serta merta memalingkan wajahnya darinya.
Penafsiran ini lebih cocok dengan karakter Rasulullah Saw karena ―bermuka masam‖ bukanlah karakteristik Rasulullah Saw, bahkan terhadap para musuhnya sekali pun. Condong kepada si kaya dan mengabaikan si miskin bukan pula termasuk di antara karakteristik-karakteristik Rasulullah Saw. Allah menisbatkan karakter moral (akhlak) tertinggi kepada Rasulullah Saw,Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung.”
(QS. Abasa [68]:4); Dan dengan rahmat Allah, engkau (Muhammad) memperlakukan mereka dengan lembut.Seandainya engkau bersikap kasar dan keras-hati, sungguh mereka akan menjauhkan diri darimu.”
(QS. Ali Imran [3]:159);―Sungguh, telah datang kepada kamu seorang rasul dari kalangan kamu sendiri, terasa berat olehnya penderitaan yang kamu alami, ia sangat menginginkan [hidayah bagi] kamu. Ia penyantun dan penyayang terhadap orang-orang beriman.
(QS. At-Taubah [9]:128)
Setelah segala kesaksian dari Allah Yang Mahabesar ini, maka sulit untuk percaya bahwa Rasulullah Saw bermuka masam dan berpaling wajah dari salah seorang sahabatnya yang buta karena beliau memulai dan mengakhiri misinya dengan menyatakan dukungannya yang penuh kasih sayang kepada si miskin, si buta, dan orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat dan menghabiskan malam-malam harinya tanpa makan untuk bersimpati terhadap si miskin. Adalah aneh bahwa sebagian ahli tafsir menganggap pengatributan ayat ini kepada salah seorang sahabat Rasulullah Saw sebagai suatu penghinaan kepada para sahabat, sementara mereka tidak menganggap penafsiran bahwa ayat ini berkenaan Rasulullah Saw sebagai suatu penghinaan kepada Rasulullah Saw sendiri mengingat beliau merupakan teladan tertinggi dari perilaku etika dan moral serta pemuka dan pemimpin semua orang beriman.
Ayah Nabi Ibrahim As dan Ayah Imam Ali As
Menurut doktrin Syiah, semua rasul, nabi dan imam yang ditetapkan Allah berasal dari para ayah, para datuk, dan para leluhur yang monoteistik (bertauhid). Allah menyatakan ini ketika Dia berfirman kepada Rasul-Nya Muhammad Saw, Siapakah yang melihatmu [wahai Muhammad] ketika engkau bangkit mendirikan shalat malam, dan gerakan-gerakanmu di antara orang-orang yang sujud [di antara para leluhurmu]... (QS. Al-Baqarah [2]:218-219)
Dari ayat ini, kita memahami bahwa ayah, datuk dan para leluhur agung Rasulullah Saw—semuanya, hingga Adam as—adalah orang-orang yang beriman kepada Allah. Mereka tidak menyekutukan Allah dengan siapapun atau apapun. Sama halnya dengan Nabi Ibrahim As yang berasal dari orang-orang yang bertauhid. Menurut sejarah, ayahnya wafat sebagai seorang yang bertauhid dan beliau dipelihara oleh pamannya, yang kemudian secara metaforis dimaknai sebagai ―ayahnya‖ dalam Al-Quran.
Demikian juga dengan ayah Imam Ali As, yaitu Abu Thalib. Logika mengajarkan kita bahwa Abu Thalib ini yang dengan gigih membela Rasulullah Saw selama bertahun-tahun dan tidak pernah memenuhi tuntutan kaum Quraisy untuk menyerahkan Rasulullah Saw kepada mereka, dan yang kematiannya berbarengan dengan kematian Khadijah di tahun yang sama, mendorong Rasulullah Saw untuk menamakan tahun dimana Abu Thalib wafat sebagai ―tahun kesedihan‖, adalah seorang yang beriman kepada Allah dan orang yang wafat sebagai seorang Muslim. Hadis-hadis yang ditemukan dalam beberapa kitab sahih menyatakan bahwa Abu Thalib diazab oleh Allah dianggap sebagai hadis-hadis yang tidak sahih, dan mata rantai para perawinya harus diragukan karena politik memainkan peran besar dalam mendistorsi hadis-hadis Rasulullah Saw dan dalam pembunuhan karakter pribadi-pribadi agung Islam, seperti Imam Ali bin Abi Thalib as.
Nama asli Abu Thalib adalah Abdu Manaf atau Imran. Ia membela Rasulullah Saw selama empat puluh dua tahun, baik sebelum Rasulullah Saw memulai misinya maupun sesudahnya. Dikatakan tentang Abu Thalib, ―Siapa pun yang membaca hadis Rasulullah Saw akan mengetahui bahwa jika bukan karena Abu Thalib, Islam tidak dapat melanjutkan kemajuannya.
Tidak ada keraguan tentang ketundukan penuh dan keimanan Abu Thalib terhadap kemahaesaan Allah dan agama Islam.
Mitos tentang Terdistorsinya Al-Quran Suci
Hanya satu Al-Quran yang ada, yang diwahyukan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Tidak ada penambahan-penambahan yang telah dibuat untuk Al-Quran, tidak ada penghapusan-penghapusan, dan tidak ada juga pengaturan-pengaturan ulang dalam Al-Quran atau sebaliknya dirusakkan. Kami yang menurunkan Al-Quran, Kami-lah yang menjaganya. (QS Al-Hijr [15]:9)
Sayangnya, sebagian Muslim memiliki konsepsi keliru bahwa para pengikut Ahlulbait memiliki Al-Quran yang berbeda. Padahal, jika mereka mengunjungi masjid-masjid Syiah, rumah-rumah, dan pusat-pusat Islam kaum Syiah serta bertemu dengan para individu dan para ulama Syiah, mereka akan menemukan bahwa tuduhan mereka ini tidak memiliki dasar. Salah seorang perawi hadis terkemuka Syiah, Muhammad bin Ali Al-Qummi Al-Shaduq, menegaskan, ―Keyakinan kami adalah bahwa Al-Quran yang turun dari Allah atas Rasul-Nya Saw adalah apa yang kita temukan hari ini di antara dua sampulnya, dan itulah yang berada dalam tangan orang-orang Syiah—tidak lebih dan tidak kurang daripada itu. Siapapun yang menisbatkan kepada kami bahwa kami mengatakan lain daripada itu maka ia adalah seorang pendusta.
Syiah selalu bersikap peduli terhadap penyebaran yang benar dari Al-Quran, dan ketika Rasulullah Saw wafat, Imam Ali As bersumpah bahwa ia tidak akan mengenakan jubahnya kecuali untuk mendirikan shalat hingga ia berhasil mengumpulkan Al-Quran seluruhnya menjadi satu jilid (mushaf).
Namun, dalam beberapa kitab sahih, sebagian riwayat menegaskan bahwa surah-surah atau ayat-ayat Al-Quran Suci itu hilang atau dihilangkan. Sebagai contoh, Imam Bukhari meriwayatkan, ―Sesungguhnya Allah Swt mengutus Muhammad (Saw) dengan kebenaran, dan Dia menurunkan Kitab kepadanya, dan ayat tentang pemberian hukuman rajam termasuk di dalam apa yang diwahyukan kepadanya.‖ Kita membacanya, menyimpannya di dalam memori kita, dan memahaminya. Rasulullah Saw memberikan hukuman rajam hingga mati (kepada pezina pria dan wanita yang telah berstatus kawin), dan setelah beliau, kita juga menerapkan hukum rajam. Saya khawatir bahwa, dengan berlalunya waktu, masyarakat (mungkin lupa) dan mungkin mengatakan, ―Kita tidak menemukan hukum rajam di dalam Kitabullah. Dan mereka pun menjadi sesat dengan meninggalkan kewajiban yang ditetapkan Allah ini. Hukum rajam merupakan suatu kewajiban yang ditetapkan dalam Kitabullah bagi para pria dan wanita yang telah berstatus kawin tapi melakukan zina apabila bukti-buktinya kuat, atau jika ada kehamilan atau suatu pengakuan.
Riwayat-riwayat lain juga secara keliru mengindikasikan bahwa ada ayat dalam Al-Quran Suci yang menyatakan penghukuman rajam kepada para pezina.
Imam Bukhari juga meriwayatkan dari salah seorang sahabat bahwa ada ayat dalam Al-Quran Suci yang menyatakan bahwa meninggalkan para leluhur adalah kufur;
seluruh kaum Muslim mengetahui bahwa tidak ada ayat seperti itu dalam Al-Quran Suci. Sebagian riwayat lain dari sumber-sumber lain mengemukakan bahwa banyak ayat Al-Quran yang hilang. Aisyah, sebagai contoh, meriwayatkan bahwa Surah Al-Ahzab (surah ke-33) dahulunya pada masa Rasulullah Saw memiliki 200 ayat, namun ketika Khalifah Ketiga, Utsman bin Affan, menghimpun Al-Quran, ia hanya dapat menemukan tujuh puluh tiga ayat darinya.
Abdullah bin Umar juga meriwayatkan, ―Tidak ada orang yang seharusnya mengatakan, Aku telah mengambil (pertimbangan) dari Al-Quran seluruhnya.‘ Bagaimana ia mengetahui bahwa ini adalah Al-Quran seluruhnya? Sesungguhnya, ada sejumlah besar (ayat) yang hilang dari Al-Quran.
Ada pernyataan-pernyataan lain yang tidak perlu disebutkan di sini.
Tujuan kami mengemukakan hal-hal di atas di sini bukan untuk membuat isu berupa pernyataan-pernyataan palsu tentang distorsi (tahrif) Al-Quran Suci dalam berbagai mazhab, karena semua mazhab seharusnya dihargai. Maksud kami adalah ingin menjelaskan bahwa Al-Quran yang diikuti kaum Syiah adalah Al-Quran sama yang ada dimana-mana di dunia, dan bahwa tidak ada Al-Quran tersembunyi lainnya sebagaimana yang dikatakan sebagian orang.
Mushaf Fatimah
Menurut riwayat Ahlulbait As, ketika Rasulullah Saw wafat, putrinya, Sayidah Fatimah Zahra As, begitu berduka hingga Allah mengutus kepadanya satu malaikat untuk menghiburnya. Malaikat itu mengatakan kepadanya tentang apa yang akan terjadi di masa akan datang. Fatimah menemukan kebahagiaan dalam berita ini. Suaminya, Imam Ali As, menuliskan apa yang malaikat itu katakan. Tulisan-tulisan ini dikumpulkan dan dihimpun dalam sebuah kitab yang dinamakan Mushaf Fatimah. Imam Shadiq as mengatakan, ―Tidak ada hukum halal-haram dalam kitab itu, tapi isi kitab itu hanya tentang apa yang akan terjadi di masa akan datang.
Pemberitaan-pemberitaan lain menyatakan bahwa setiap kali Rasulullah Saw menerima wahyu, beliau akan menjelaskannya kepada putrinya, dan putrinya akan mencatatnya dalam sebuah kitab yang dinamakan Mushaf Fatimah. Para pengikut Ahlulbait percaya bahwa kitab ini sekarang ada bersama imam terakhir Ahlulbait, yakni Imam Mahdi.
Mushaf Fatimah bukanlah sebuah Al-Quran, dan satu-satunya Al-Quran yang dimiliki para pengikut Ahlulbait adalah Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Suci Muhammad Saw selama masa hidupnya dan sekarang terdapat di seluruh dunia.
Pemberian Nama Menurut Nama-nama Para Nabi dan Imam
Beberapa keluarga Muslim yang mengikuti Ahlulbait menamakan anak-anak mereka menurut nama-nama beberapa nabi dan imam seperti misalnya Abdunnabi, Abdurrasul, Abdulhusain, Abdurridha, dan sebagainya. Sebagian orang ingin mengetahui apakah praktik ini dibolehkan ataukah tidak. Walaupun Rasulullah Saw mengatakan bahwa nama-nama terbaik adalah nama-nama yang berawal dengan nama 'Abdu dan Muhammad, namun tidak mengapa menggunakan nama-nama yang disebutkan tadi sebab nama itu tidak bermakna harfiah dan tidak menunjukkan bahwa anak tertentu adalah budak dari Rasulullah Saw, Imam Husain As, ataupun Imam Ridha As atau bahwa Rasulullah Saw atau para Imam As yang menciptakannya dan memberinya rezeki. Sebaliknya, jenis penamaan ini mengungkapkan rasa syukur, kekaguman, dan cinta kepada pribadi-pribadi seperti Rasulullah Saw dan para Imam As yang mendedikasikan seluruh kehidupan mereka bagi kebahagiaan umat manusia. Al-Quran Suci sendiri menggunakan kata 'abd untuk makna selain dari ―hamba Allah‖: sebagai contoh, kalimat ―min 'ibadikum‖ (―dari para hamba sahaya lelaki kamu‖) tidak bermakna bahwa para hamba sahaya itu menyembah orang yang memiliki mereka. Penghambaan dan kepemilikan sesungguhnya adalah untuk Allah, tapi, secara alegoris atau kiasan, nama Abdurrasul mengandung makna bahwa pemilik nama itu adalah seorang hamba Allah melalui Rasulullah Saw karena Al-Quran Suci menyatakan, “Barangsiapa yang menaati Rasul maka ia telah menaati Allah.” (QS An-Nur [24]:32)
Lagi pula, pengertian penghambaan harus dimaknai secara kiasan, bukan secara harfiah. Ungkapan-ungkapan seperti ini banyak digunakan dalam ucapan-ucapan umum; banyak orang mungkin adakalanya mengucapkan frase ―tuanku (sayyidi)‖ sebagai bentuk sopan santun, atau barangkali menggunakan ungkapan ―semoga aku menjadi tebusanmu (ju'iltu fidak)‖ tanpa memaknainya secara harfiah. Dalam bahasa Arab, frase-frase ini mengekspresikan rasa syukur dan terima kasih. Jadi menamakan seseorang Abdulhusain atau Abdurridha bukanlah perbuatan syirik (politeisme) kepada Allah Swt karena seluruh kaum Muslim setuju bahwa Allah adalah Zat satu-satunya yang layak untuk tunduk dan taat kepada-Nya.
Mengunjungi Makam para Nabi dan Imam
Demikian juga, menyentuh dan mencium makam Rasulullah Saw dan makam para Imam tidak mengandung makna syirik atau menyekutukan orang tertentu dengan Allah karena Allah memiliki kedaulatan puncak di alam ini, dan kaum Muslim tunduk, menyembah, dan meminta bantuan hanya dari-Nya. Mengunjungi makam-makam tersebut semata-mata mengisyaratkan sikap penghormatan. Jika Rasulullah Saw atau para Imam As masih hidup, karena kekaguman terhadap mereka, orang banyak akan menjabat tangan mereka atau mencium mereka. Karena mereka telah wafat, dan orang banyak mengetahui bahwa makam-makam mereka mengandung tubuh-tubuh suci dan barangkali ruh-ruh mereka, menyentuh atau mencium makam-makam mereka merupakan sebuah cara memperbaharui baiat dan loyalitas terhadap para pemimpin ini. Makam-makam itu sendiri terbuat dari entah kayu maupun besi serta tidak memiliki kekuatan untuk memberi manfaat ataupun mudarat, tetapi penghargaan dan penghormatan adalah untuk apa yang mereka representasikan: ruh-ruh Rasulullah Saw dan para Imam As. Di samping, kedekatan fisik dari makam-makam tersebut dengan Rasulullah Saw dan para Imam As memberikan mereka aura kesakralan dan nuansa kesucian.
Al-Quran Suci mengajarkan bahwa ketika Ya'qub As menangisi terpisahnya beliau dari putranya Yusuf As dan hilangnya dari pandangannya, Yusuf As mengirimkan bajunya melalui salah seorang saudaranya dan memberitahunya untuk meletakkannya di atas wajah ayahnya agar penglihatan beliau dapat pulih kembali:
"Pergilah kamu dengan membawa bajuku ini, lalu usapkanlah di atas wajah ayahku, ia akan melihat kembali, dan bawalah seluruh keluarga kamu kepadaku." Dan ketika kafilah itu telah keluar [dari Mesir], ayah mereka [yang berada di Palestina] berkata, “Aku sungguh mencium aroma Yusuf, seandainya kamu tidak menuduhku lemah pikiran.” Mereka [keluarganya] berkata, “Demi Allah, sesungguhnya engkau masih berada dalam kekeliruanmu yang dulu.” Maka ketika telah tiba pembawa kabar gembira itu, ia mengusapkannya [baju Yusuf as] di atas wajahnya [Ya'qub as], maka penglihatannya kembali pulih. Dia [Ya'qub as] berkata, “Bukankah telah kukatakan kepada kamu bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak ketahui?” (QS Yusuf [12]:93)
Walaupun baju Yusuf As terbuat dari katun biasa yang dipakai oleh mayoritas manusia pada masa itu, namun Allah membuatnya mengandung keberkahan-keberkahan-Nya karena baju itu menyentuh tubuh Yusuf As, serta izin, otoritas, dan keberkahan Allah memengaruhi baju ini sehingga, ketika baju itu diletakkan di atas wajah Ya'qub As, baju itu menjadikan Ya'qub mampu melihat.
Jika menyentuh makam Rasulullah Saw atau Imam Ali As atau Imam Husain As adalah perbuatan syirik, karena makam-makam ini terbuat dari besi, lantas mengapa jutaan kaum Muslim menyentuh batu-batu dari Ka'bah Suci? Apakah batu-batu ini dibawa dari surga, atau apakah batu-batu ini adalah batu-batu biasa yang dibawa dari Hijaz? Seluruh kaum Muslim setuju bahwa Rasulullah Saw mencium Hajar Aswad, batu hitam di Ka'bah, sedangkan seorang Muslim tentu saja tidak pergi mencium batu-batu di lorong-lorong dan jalan-jalan kota Mekkah meskipun batu-batu itu mungkin lebih menawan hati dibandingkan dengan Hajar Aswad. Hari ini, di sebagian besar negeri, negeri Muslim dan non-Muslim, bendera begitu sakral hingga para tentara dan bahkan para warga sipil menciumnya dan meletakkannya di atas wajah mereka. Apakah itu berarti mereka menyembah secarik kain? Tentu saja tidak; ide di balik contoh-contoh ini adalah bahwa mereka memuliakan ide-ide di balik batu, makam-makam dan bendera-bendera.
Ini semua merupakan prinsip-prinsip dan ide-ide yang dibawa oleh para pemimpin atau negeri-negeri besar.
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa setiap kali Rasulullah Saw berwudhu, kaum Muslim menghimpun dan mengumpulkan air sisa wudhu dan mereka membasuh wajah-wajah mereka dengannya untuk memperoleh keberkahan-keberkahan.
Bukhari juga meriwayatkan bahwa bahkan keringatnya Rasulullah Saw dikumpulkan. ―Ummu Salamah meletakkan kain di bawah tubuh Rasulullah Saw ketika beliau tidur. Banyak keringat yang menetes dari tubuh beliau. Ia [Ummu Salamah] mengambil sebuah botol dan mulai menuangkan keringat Rasulullah Saw di dalam botol itu. Ketika Rasulullah saw bangun, beliau bertanya, ‗Wahai Ummu Salamah, apa ini?‘ Ummu Salamah menjawab, ‗Itu adalah keringat Anda yang kami campurkan di dalam parfum-parfum kami, dan jadilah parfum-parfum yang paling wangi.‘
"Shadaqa Allahu Al-'Azhim" atau "Shadaqa Allahu Al-'Aliyy Al-'Azhim"?
Pada dasarnya tidak ada perbedaan di antara perkataan "shadaqa Allahu al-'Azhim" ("Allah Yang Mahaagung berkata benar") dan "shadaqa Allahu al-'Aliyy al-'Azhim" ("Allah Yang Mahaagung dan Mahatinggi berkata benar"), dan persoalan ini barangkali kurang signifikan di antara mazhab-mazhab Islam, terutama karena kedua perkataan tersebut sudah digunakan, berulang-ulang, dalam mazhab-mazhab Syiah dan Sunni. Namun, sumber dari masing-masing perkataan dalam Al-Quran Suci akan diungkapkan untuk menghilangkan salah paham yang mungkin timbul dalam pikiran sebagian saudara Muslim yang mungkin mengira bahwa kata "'aliyy " merujuk kepada Imam Ali bin Abi Thalib As, yang hal itu tidak demikian.
Frase awal "shadaqa Allah" terdapat dalam Al-Quran di beberapa tempat, seperti dalam ayat, Katakanlah, “Allah telah berkata benar (shadaqa Allah)." (QS. Ali Imran [3]:95)
"'Aliyy" dan "'azhim" termasuk di antara 99 sifat Allah. Dalam Al-Quran Suci, Allah menyebutkan namanya ('Aliy) berpasangan dengan "al-'Azhim" itu sendiri sekali,
dan Dia menyebutkan kedua nama itu bersama-sama dua kali (2:255 dan 42:4) "Al-'Aliy" disebutkan dalam banyak ayat seperti Al-Hajj [22]:62, Luqman [31]:30, Saba [34]:23, Al-Mukmin [40]:12, An-Nisa [4]:34, Asy-Syura [42]:51, dan lain-lain. Menyebutkan dua sifat bersama-sama ("al-'Aliy" dan "al-'Azhim") bukan menunjukkan nama Imam Ali As tapi agaknya suatu pencontohan Al-Quran Suci dalam memuji dan mengagungkan Allah Swt.
Meratapi dan Berbelasungkawa atas Tragedi-tragedi Yang Menimpa Rasulullah Saw dan Keluarganya
Umumnya, Al-Quran Suci memuji tangisan dan orang-orang yang menangis untuk suatu alasan yang sah atau logis. Al-Quran Suci melukiskan beberapa nabi dan para pengikut mereka dengan mengatakan, Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Yang Maha Pengasih, mereka rebah bersujud dan menangis. (QS. Maryam [19]:58) Ayat tersebut melukiskan orang-orang beriman tertentu dengan cara yang sama, Dan mereka mengatakan, “Mahasuci Tuhan kami. Sungguh, janji Tuhan kami pasti dipenuhi,” dan mereka rebah tersungkur sambil menangis dan mereka semakin bertambah khusyuk. (QS. Al-Isra [17]:109)
Rasulullah Saw diriwayatkan telah menangisi beberapa anggota keluarganya, seperti putranya Ibrahim. Imam Bukhari meriwayatkan:
Rasulullah Saw bersabda, ―Seorang anak telah dilahirkan untukku malam ini, dan aku menamakannya mengikuti nama datukku, Ibrahim.‖ Kemudian beliau mengirimkannya kepada Ummu Sayf, istri si pandaibesi Abu Sayf. Nabi Saw pergi kepadanya, dan aku mengikuti beliau hingga kami sampai di rumah Abu Sayf yang sedang meniup api dengan puputan, dan rumahnya penuh dengan asap. Aku mempercepat langkahku dan mendahului Rasulullah Saw sambil berkata, ―Hai Abu Sayf, hentikan itu, karena Rasulullah Saw datang.‖ Ia berhenti, dan Rasulullah Saw pun memanggil putranya. Beliau memeluknya dan mengatakan apa yang Allah kehendaki. Aku melihat bahwa anak itu menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan Rasulullah Saw. Mata beliau meneteskan air mata sambil berkata, ―Wahai Ibrahim, mata kami meneteskan air mata, dan hati kami dipenuhi kesedihan, tetapi kami tidak mengatakan apapun kecuali apa yang dengannya Allah ridha. Wahai Ibrahim, kami berduka bagimu.
Rasulullah Saw juga diriwayatkan menangisi pamannya Hamzah:
Ketika Rasulullah Saw kembali dari Perang Uhud dan menyaksikan kaum wanita Anshar sedang menangisi para suami mereka yang syahid, beliau bangkit dan berkata, ―Tapi tidak ada orang yang menangisi pamanku Hamzah, maka kaum wanita memahami bahwa Rasulullah menginginkan orang banyak untuk menangisi paman beliau, dan itulah apa yang mereka lakukan. Semua orang yang menangisi para syuhada lain menjadi berhenti kecuali menangisi Hamzah.
Dan untuk sepupunya Ja'far bin Abi Thalib
serta cucunya Imam Husain As:
Aisyah meriwayatkan bahwa ketika Husain As masih kecil, ia datang di hadapan Rasulullah Saw dan duduk di atas pangkuannya, dan Jibril turun dengan mengatakan kepada beliau bahwa beberapa dari umatnya akan membunuhnya (Husain). Lantas, Jibril membawa kepada beliau contoh dari tanah Karbala dan mengatakan bahwa tanah itu dinamakan al-Thaff. Ketika Jibril pergi, Rasulullah Saw keluar menemui para sahabatnya dengan menggenggam tanah tersebut di dalam tangan beliau. Saat itu, di sana ada Abu Bakar, Umar, Ali, dan Hudzaifah. Beliau menemui mereka dalam keadaan menangis. Mereka bertanya kepada beliau mengapa Nabi Saw menangis. Beliau berkata, ―Jibril baru saja memberitahuku bahwa putraku Husain akan dibunuh di tanah al-Thaff, dan ia membawakan aku tanah ini dari sana dan memberitahuku bahwa tempat peristirahatan terakhirnya di sana.
Menangisi Imam Husain As dinilai sebagai pendekatan diri kepada Allah, karena tragedi Imam Husain As sangat berkaitan erat dengan pengorbanan agung yang beliau tanggung deritanya karena Allah. Ini merupakan pengingatan dari Allah dan riwayat dari Rasulullah Saw yang, karena mengetahui nasib cucunya, menangis pada kelahiran Husain, ketika masa kanak-kanak yang suka bermain-main, dan pada saat-saat terakhir menjelang beliau wafat.
Bagi orang-orang yang menunjukkan simpati dan kasih sayang terhadap orang-orang yang mereka cintai ketika orang-orang yang mereka cintai tertimpa kesedihan dan musibah adalah hal alamiah. Al-Quran Suci memfirmankan,Katakanlah [wahai Muhammad], “Aku tidak meminta upah dari kamu untuk ini [penyampaian risalah] kecuali cinta kamu kepada kerabatku.
(QS. Asy-Syura [42]:23)
Rasulullah Saw secara eksplisit memberitahu kaum Muslim bahwa ayat ini berkenaan dengan Ahlulbait, yaitu Ali, Sayidah Fatimah Zahra, Hasan, dan Husain (untuk informasi lebih lanjut, silakan lihat bagian yang membahas tentang Ahlulbait). Dengan demikian, wajib atas kaum Muslim untuk menunjukkan cinta dan simpati terhadap individu-individu ini dan cobaan-cobaan yang mereka derita. Tidak ada Ahlulbait yang mati dengan kematian alamiah; mereka semua syahid baik diracun atau dibunuh oleh pedang dalam perjuangan-perjuangan mereka untuk membela Islam. Tidak ada orang yang sanggup merasakan kesedihan dan kepedihan untuk tragedi-tragedi mereka.
Bagaimana seseorang sanggup mendengar tentang tragedi Asyura, ketika Imam Husain As mengorbankan 72 anggota keluarganya dan sahabat-sahabatnya karena Allah dan dibunuh dalam cara yang begitu tragis, dan ketika kaum wanita dari keluarganya—keluarga Rasulullah Saw—ditawan dan diarak dari kota ke kota, mengiringi kepala-kepala Imam Husain As dan para sahabatnya yang terputus—bagaimana seseorang tidak dapat menangis? Bahkan orang-orang yang bukan Muslim ikut menumpahkan air mata ketika mendengar kisah ini. Jika kaum Muslim dapat menangisi para kerabat mereka sendiri, lantas bagaimana mereka tidak dapat menangisi keluarga Rasulullah Saw? Imam Husain As tidak dibunuh untuk ditangisi; beliau memberikan kehidupannya untuk menyelamatkan risalah Islam dan gugur sebagai syahid untuk memerangi tirani dan kerusakan agama. Namun air mata ini dan kesedihan ini menghasilkan ikrar kuat untuk mengikuti jejak Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya As.
Menunjukkan simpati terhadap tragedi Imam Husain as dan Ahlulbait lainnya bukan merupakan bid'ah, tapi semua orang seharusnya ingat bahwa mengikuti jalan Imam Husain As adalah lebih penting dalam Mazhab Ahlulbait dibandingkan dengan sekadar menangisinya.
Talak Tiga dalam Satu Kesempatan?
Dalam Islam, perceraian seharusnya dihindari bagaimana pun juga. Rasulullah Saw diberitakan telah bersabda bahwa, di sisi Allah, perceraian merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah. Perceraian seharusnya hanya dilakukan sebagai pilihan terakhir. Islam menganjurkan untuk memanggil para mediator keluarga,
dan perceraian atau talak seharusnya dijatuhkan atas tiga kesempatan berbeda menyusul tiga bulan periode tunggu (masa idah) sebelum menjadi tidak dapat dibatalkan atau tidak dapat rujuk kembali, Talak [yang dapat dirujuk] itu dua kali. Setelah itu kedua pihak seharusnya hidup bersama dengan cara yang baik, atau berpisah dengan cara yang baik. Dan jika suami telah menceraikan istrinya untuk ketiga kalinya, maka istrinya tidak lagi halal baginya hingga istrinya menikah dengan suami lain. Kemudian jika suami lain itu menceraikannya, maka tidak berdosa bagi keduanya untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat dapat menjalankan hukum-hukum yang ditetapkan Allah. (QS. Al-Baqarah [2]:229-230) Sayangnya, sebagian pakar hukum Muslim non-Syiah membolehkan seorang suami untuk menceraikan istrinya secara selain-rujuk dengan menjatuhkan tiga ucapan talak pada satu kesempatan, yang jelas-jelas bertentangan dengan maksud Al-Quran Suci. Telah diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih, juga dalam kitab-kitab lainnya,
bahwa ucapan talak tiga dalam satu kesempatan dianggap hanya sebagai talak satu yang sah pada masa Rasulullah Saw, Khalifah Pertama, dan dua tahun pertama dari pemerintahan Khalifah Kedua. Setelah itu, Khalifah Kedua membolehkan tiga ucapan (talak tiga) dalam satu kesempatan dianggap sebagai talak tiga yang sah, dan, dengan demikian, seorang istri tidak akan dapat rujuk kembali dengan suaminya.
Khumus dalam Islam
Khumus merupakan salah satu pilar Islam yang ditetapkan oleh Allah dan dipraktikkan pada masa kehidupan Rasulullah Saw. Khumus artinya ―seperlima‖, dan mengindikasikan bahwa seperlima dari kelebihan pendapatan seseorang harus didedikasikan sesuai dengan penjelasan ayat Al-Quran berikut, Dan ketahuilah bahwa apapun keuntungan yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlima darinya diperuntukkan bagi Allah, bagi Rasul dan bagi keluarganya serta juga bagi anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang terlantar, jika kamu telah beriman kepada Allah, dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami Muhammad. (QS. Al-Anfal [8]:41)
Pendek kata, khumus bermakna membayarkan seperlima dari kelebihan pendapatan seseorang setelah menyisihkan belanja bagi pribadinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Khumus terdiri dari dua bagian yang sama: bagian pertama adalah bagian milik imam (saham Imam). Bagian ini digunakan untuk membangun masjid-masjid, lembaga-lembaga Islam, sekolah-sekolah Islam, perpustakaan-perpustakaan, rumah sakit-rumah sakit, klinik-klinik, rumah yatim-rumah yatim, mencetak mushaf Al-Quran dan kitab-kitab hadis, buku-buku Islam dan ceramah-ceramah, serta aktivitas-aktivitas lainnya yang bermanfaat, membela, atau menyebarkan Islam. Bagian kedua adalah bagian yang diperuntukkan bagi para sayid (keturunan Rasulullah Saw) yang miskin karena mereka dilarang menerima sedekah (derma atau pemberian umum).
Beberapa referensi sejarah dari berbagai mazhab menyebutkan bahwa khumus eksis pada masa Rasulullah Saw dan dilarang pada masa Khalifah Pertama dan Kedua.
Penafsiran oleh Ahlulbait As tentang kata ―ghanimtum dalam Surah Al-Anfal [8]:41 adalah ―segala sesuatu yang kamu peroleh—baik dari perang, pekerjaan, perdagangan, ataupun sumber-sumber lainnya—karena sejarah membuktikan bahwa Rasulullah Saw mengambil seperlima dari pampasan perang dan juga dari aset-aset selain daripada pampasan perang pada masa damai.
Para ulama di luar Syiah lainnya adakalanya mendukung posisi ini.
Pernikahan Temporer (Mut'ah)
Membahas legalitas pernikahan temporer bagaimana pun juga tidak seharusnya dipahami sebagai mendorong kaum muda untuk melakukan praktik demikian. Pernikahan permanen merupakan norma yang dianjurkan oleh Al-Quran Suci dan hadis Rasulullah Saw serta Ahlulbaitnya as. Pernikahan temporer merupakan pengecualian dan pilihan terakhir apabila pernikahan permanen tidak sanggup dilakukan atau menjadi sangat sulit untuk suatu alasan. Bagian ini tidak bermaksud untuk membahas keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari pernikahan seperti itu tapi hanya bermaksud untuk menjelaskan legalitas Islami berkenaan dengan Al-Quran Suci dan hadis Rasulullah Saw.
Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah institusi sakral, sebuah komitmen, dan sebuah ikrar oleh dua individu untuk saling menghargai dan menghormati kehendak, martabat, kehormatan, dan aspirasi-aspirasi orang (pasangan) lain. Ada dua jenis pernikahan: permanen dan temporer. Keduanya memiliki aturan-aturan dan batasan-batasan yang sama. Keduanya membutuhkan bentuk pinangan dan penerimaan yang ditentukan, dan pernikahan—bahkan pernikahan permanen—adalah terbuka untuk syarat-syarat dan batasan-batasan. Jika pernikahan tidak dibatasi dengan suatu periode waktu, maka pernikahan tersebut berarti pernikahan permanen, sedangkan jika pernikahan itu disyaratkan oleh suatu periode waktu, maka pernikahan itu adalah pernikahan temporer.
Ketika tidak menyepakati tentang persoalan pernikahan temporer, para ulama mazhab-mazhab lain setuju bahwa jika seorang pria bermaksud untuk menikahi seorang wanita untuk suatu periode singkat tanpa memberitahunya bahwa ia akan menceraikannya setelah suatu periode waktu dan menyembunyikan tujuan-tujuannya, pernikahan itu masih sah. Pernikahan temporer tampaknya lebih logis karena dua pasangan sesungguhnya menyetujui syarat-syarat dan kondisi-kondisi sebelumnya dengan kejujuran penuh. Intinya, pernikahan temporer adalah pernikahan normal dengan persetujuan bersama yang disyaratkan oleh suatu periode waktu. Syarat-syarat pernikahan ini adalah sebagai berikut: adanya pinangan dan penerimaan, adanya mahar bagi wanita, kedua pihak harus setuju, dan kedua pihak memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak, keduanya harus sehat pikiran, dan wanita-wanita perawan harus mendapat persetujuan ayah atau wali mereka. Namun, dalam pernikahan temporer, tidak ada kewajiban untuk nafkah atau warisan kecuali jika dinyatakan dan disyaratkan dalam perjanjian pernikahan. Mengenai praktik ini, Al-Quran Suci menyatakan, Maka dengan wanita-wanita yang kamu nikahi (secara) mut'ah, berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagaimana ditentukan. (QS. An-Nisa [4]:24)
Dalam hadis Rasulullah Saw, banyak hadis yang menyatakan halalnya pernikahan temporer atau mut'ah. Imam Bukhari meriwayatkan, ―Datang kepada kami orang yang memahami risalah Rasulullah Saw sambil berkata: Rasulullah Saw memberi kamu izin untuk melangsungkan pernikahan temporer—yaitu, memut'ahi wanita-wanita.
Bukhari juga meriwayatkan:
Kami bersama Rasulullah Saw pada suatu ekspedisi dan kami tidak membawa istri-istri kami. Kami katakana, ―Haruskah kami mengebiri diri kami?‖ Beliau melarang kami untuk melakukan demikian. Beliau kemudian memberikan kami izin untuk melakukan pernikahan kontemporer untuk suatu jangka waktu tertentu dengan memberikan pakaian-pakaian kepada wanita-wanita itu [sebagai mahar]. Abdullah kemudian membacakan ayat ini, Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik yang Allah telah halalkan untuk kamu, dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Imam Bukhari juga meriwayatkan:
Kami pergi bersama Rasulullah Saw pada ekspedisi ke Banu Mushtaliq. Kami menderita karena ketidakhadiran istri-istri kami, maka kami memutuskan untuk melangsungkan pernikahan temporer dengan wanita-wanita tapi dengan melakukan 'azl. Namun kami katakana, ―Kami sedang melakukan suatu perbuatan padahal Rasulullah Saw ada di tengah-tengah kami; mengapa kami tidak bertanya kepadanya?‖ Maka kami pun bertanya kepada Rasulullah Saw, dan beliau menjawab, ‗Tidak mengapa jika kamu tidak melakukannya, karena setiap jiwa yang dilahirkan hingga Hari Kiamat akan lahir.‘
Imam Muslim juga meriwayatkan contoh-contoh pernikahan temporer yang dilakukan pada masa Rasulullah Saw
dan memberikan referensi jelas bahwa pernikahan temporer adalah halal pada masa Rasulullah, Khalifah Pertama Abu Bakar, dan pada sebagian waktu dari Khalifah Kedua, yang justru merupakan orang yang melarangnya [pada paruh kedua pemerintahannya]. Bahkan setelah waktu itu, masih diterima oleh sebagian ulama Sunni, seperti Qurthubi, yang menganggapnya sebagai bentuk pernikahan yang halal dan telah disepakati oleh para ulama salaf dan khalaf.
Para Imam Ahlulbait berargumen bahwa, menurut Al-Quran Suci, tidak ada seorang yang memiliki otoritas untuk menjadikan suatu perbuatan itu halal atau haram melalui keinginannya sendiri. Jika ada kepentingan untuk melarang pernikahan temporer, maka Allah Yang Maha Mengetahui akan memiliki prioritas untuk melakukan demikian melalui Rasul-Nya Saw.
Mut'ah Haji
Mut'ah Haji bermakna bahwa kaum Muslim adalah bebas dari batasan-batasan ihram selama waktu di antara umrah dan haji, sebagaimana Al-Quran Suci nyatakan dalam Surah al-Baqarah [2]:196. Namun, hubungan-hubungan suami istri di antara waktu umrah dan haji, dilarang oleh Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab, yang menyatakan, ―Wahai manusia, ada tiga hal yang berlaku pada masa Rasulullah yang aku larang dan haramkan dan aku akan menghukum orang-orang yang melakukannya: mut'ah haji, mut'ah nisa' (pernikahan temporer), dan hayya 'alâ khayril 'amal (dalam azan)."
Demikian pula, Umar mengatakan, ―Dua jenis mut'ah yang berlaku pada masa Rasulullah Saw, dan aku melarangnya serta akan menghukum orang-orang yang melakukannya: mut'ah haji dan mut'ah nisa'.
Sayuthi memberitakan bahwa Umar bin Khaththab adalah orang pertama yang memperkenalkan shalat taraweh, mencambuk 80 kali cambuk (sebagai ganti 100 kali) sebagai hukuman bagi peminum minuman keras, melarang mut'ah pernikahan, melaksanakan empat takbir (sebagai ganti lima takbir) dalam shalat jenazah, dan melakukan banyak hal-hal lainnya.
Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ditanya tentang mut'ah haji. Ia berkata bahwa itu halal. Orang itu menjelaskan bahwa ayah Abdullah (Umar) adalah orang pertama yang melarangnya. Abdullah bin Umar menjawab, ―Jika ayahku melarang itu, dan Rasulullah Saw melakukannya, yang mana di antara keduanya yang harus kita ikuti—ayahku, atau perintah-perintah Rasulullah?"
[]