Meretas jalan Islam Muhamadi

Meretas jalan Islam Muhamadi28%

Meretas jalan Islam Muhamadi pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Rasulullah & Ahlulbait

Meretas jalan Islam Muhamadi
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 23 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 10342 / Download: 4369
Ukuran Ukuran Ukuran
Meretas jalan Islam Muhamadi

Meretas jalan Islam Muhamadi

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bagian 16

Beberapa Perbedaan dan Kesalahpahaman antara

Syi'ah dan Mazhab Lainnya

“'Abasa watawalla (Dia bermuka masam dan berpaling..” – (QS Abasa [80]:1)

Ayat ini adalah salah satu ayat Al-Quran Suci yang interpretasinya berbeda di antara dua mazhab utama. Mayoritas ulama Sunni mengklaim bahwa orang yang bermuka masam dan berpaling dari orang buta adalah Rasulullah Saw, sedangkan para ulama Syiah menyatakan bahwa orang yang bermuka masam dan berpaling adalah salah seorang sahabat Rasulullah saw, dan bukannya Rasulullah Saw.

Menurut para ulama Sunni, orang buta itu adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Dikatakan bahwa ia datang kepada Rasulullah Saw ketika beliau sedang berbicara dengan sekelompok kaum kafir termasuk Uthbah bin Rabi'ah, Abu Jahl bin Hisyam, Abbas bin Abdul Muththalib, 'Ubay, dan Umayah bin Khalaf. Beliau sedang berusaha mencondongkan hati mereka kepada Islam. Karena mereka adalah para pemimpin masyarakat Mekkah, jika mereka memeluk Islam, maka banyak orang lain akan mengikuti mereka. Orang ini datang dan menyela pembicaraan Rasulullah Saw dan meminta beliau untuk mengajarkannya apa yang Allah telah ajarkan kepada beliau. Abdullah tidak mengetahui bahwa Rasulullah Saw sedang sibuk berbicara dengan kelompok kafir ini. Karenanya Rasulullah Saw pun bermuka masam.

Adapun penafsiran Syiah tentang ayat ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahlulbait yang keenam, Imam Ja'far Shadiq As, adalah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan salah seorang sahabat Rasulullah Saw, yang kebetulan berasal dari Bani Umayah, yang duduk bersebelahan dengan Rasulullah Saw. Ketika orang buta itu datang, ia mengekspresikan ketidaksukaan dan kebenciannya kepadanya, maka ia serta merta memalingkan wajahnya darinya.[163] Penafsiran ini lebih cocok dengan karakter Rasulullah Saw karena ―bermuka masam‖ bukanlah karakteristik Rasulullah Saw, bahkan terhadap para musuhnya sekali pun. Condong kepada si kaya dan mengabaikan si miskin bukan pula termasuk di antara karakteristik-karakteristik Rasulullah Saw. Allah menisbatkan karakter moral (akhlak) tertinggi kepada Rasulullah Saw,Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung.” (QS. Abasa [68]:4); Dan dengan rahmat Allah, engkau (Muhammad) memperlakukan mereka dengan lembut.Seandainya engkau bersikap kasar dan keras-hati, sungguh mereka akan menjauhkan diri darimu.” (QS. Ali Imran [3]:159);―Sungguh, telah datang kepada kamu seorang rasul dari kalangan kamu sendiri, terasa berat olehnya penderitaan yang kamu alami, ia sangat menginginkan [hidayah bagi] kamu. Ia penyantun dan penyayang terhadap orang-orang beriman. (QS. At-Taubah [9]:128)

Setelah segala kesaksian dari Allah Yang Mahabesar ini, maka sulit untuk percaya bahwa Rasulullah Saw bermuka masam dan berpaling wajah dari salah seorang sahabatnya yang buta karena beliau memulai dan mengakhiri misinya dengan menyatakan dukungannya yang penuh kasih sayang kepada si miskin, si buta, dan orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat dan menghabiskan malam-malam harinya tanpa makan untuk bersimpati terhadap si miskin. Adalah aneh bahwa sebagian ahli tafsir menganggap pengatributan ayat ini kepada salah seorang sahabat Rasulullah Saw sebagai suatu penghinaan kepada para sahabat, sementara mereka tidak menganggap penafsiran bahwa ayat ini berkenaan Rasulullah Saw sebagai suatu penghinaan kepada Rasulullah Saw sendiri mengingat beliau merupakan teladan tertinggi dari perilaku etika dan moral serta pemuka dan pemimpin semua orang beriman.

Ayah Nabi Ibrahim As dan Ayah Imam Ali As

Menurut doktrin Syiah, semua rasul, nabi dan imam yang ditetapkan Allah berasal dari para ayah, para datuk, dan para leluhur yang monoteistik (bertauhid). Allah menyatakan ini ketika Dia berfirman kepada Rasul-Nya Muhammad Saw, Siapakah yang melihatmu [wahai Muhammad] ketika engkau bangkit mendirikan shalat malam, dan gerakan-gerakanmu di antara orang-orang yang sujud [di antara para leluhurmu]... (QS. Al-Baqarah [2]:218-219)

Dari ayat ini, kita memahami bahwa ayah, datuk dan para leluhur agung Rasulullah Saw—semuanya, hingga Adam as—adalah orang-orang yang beriman kepada Allah. Mereka tidak menyekutukan Allah dengan siapapun atau apapun. Sama halnya dengan Nabi Ibrahim As yang berasal dari orang-orang yang bertauhid. Menurut sejarah, ayahnya wafat sebagai seorang yang bertauhid dan beliau dipelihara oleh pamannya, yang kemudian secara metaforis dimaknai sebagai ―ayahnya‖ dalam Al-Quran.

Demikian juga dengan ayah Imam Ali As, yaitu Abu Thalib. Logika mengajarkan kita bahwa Abu Thalib ini yang dengan gigih membela Rasulullah Saw selama bertahun-tahun dan tidak pernah memenuhi tuntutan kaum Quraisy untuk menyerahkan Rasulullah Saw kepada mereka, dan yang kematiannya berbarengan dengan kematian Khadijah di tahun yang sama, mendorong Rasulullah Saw untuk menamakan tahun dimana Abu Thalib wafat sebagai ―tahun kesedihan‖, adalah seorang yang beriman kepada Allah dan orang yang wafat sebagai seorang Muslim. Hadis-hadis yang ditemukan dalam beberapa kitab sahih menyatakan bahwa Abu Thalib diazab oleh Allah dianggap sebagai hadis-hadis yang tidak sahih, dan mata rantai para perawinya harus diragukan karena politik memainkan peran besar dalam mendistorsi hadis-hadis Rasulullah Saw dan dalam pembunuhan karakter pribadi-pribadi agung Islam, seperti Imam Ali bin Abi Thalib as.

Nama asli Abu Thalib adalah Abdu Manaf atau Imran. Ia membela Rasulullah Saw selama empat puluh dua tahun, baik sebelum Rasulullah Saw memulai misinya maupun sesudahnya. Dikatakan tentang Abu Thalib, ―Siapa pun yang membaca hadis Rasulullah Saw akan mengetahui bahwa jika bukan karena Abu Thalib, Islam tidak dapat melanjutkan kemajuannya.[164] Tidak ada keraguan tentang ketundukan penuh dan keimanan Abu Thalib terhadap kemahaesaan Allah dan agama Islam.

Mitos tentang Terdistorsinya Al-Quran Suci

Hanya satu Al-Quran yang ada, yang diwahyukan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Tidak ada penambahan-penambahan yang telah dibuat untuk Al-Quran, tidak ada penghapusan-penghapusan, dan tidak ada juga pengaturan-pengaturan ulang dalam Al-Quran atau sebaliknya dirusakkan. Kami yang menurunkan Al-Quran, Kami-lah yang menjaganya. (QS Al-Hijr [15]:9)[165] Sayangnya, sebagian Muslim memiliki konsepsi keliru bahwa para pengikut Ahlulbait memiliki Al-Quran yang berbeda. Padahal, jika mereka mengunjungi masjid-masjid Syiah, rumah-rumah, dan pusat-pusat Islam kaum Syiah serta bertemu dengan para individu dan para ulama Syiah, mereka akan menemukan bahwa tuduhan mereka ini tidak memiliki dasar. Salah seorang perawi hadis terkemuka Syiah, Muhammad bin Ali Al-Qummi Al-Shaduq, menegaskan, ―Keyakinan kami adalah bahwa Al-Quran yang turun dari Allah atas Rasul-Nya Saw adalah apa yang kita temukan hari ini di antara dua sampulnya, dan itulah yang berada dalam tangan orang-orang Syiah—tidak lebih dan tidak kurang daripada itu. Siapapun yang menisbatkan kepada kami bahwa kami mengatakan lain daripada itu maka ia adalah seorang pendusta.[166] Syiah selalu bersikap peduli terhadap penyebaran yang benar dari Al-Quran, dan ketika Rasulullah Saw wafat, Imam Ali As bersumpah bahwa ia tidak akan mengenakan jubahnya kecuali untuk mendirikan shalat hingga ia berhasil mengumpulkan Al-Quran seluruhnya menjadi satu jilid (mushaf).[167]

Namun, dalam beberapa kitab sahih, sebagian riwayat menegaskan bahwa surah-surah atau ayat-ayat Al-Quran Suci itu hilang atau dihilangkan. Sebagai contoh, Imam Bukhari meriwayatkan, ―Sesungguhnya Allah Swt mengutus Muhammad (Saw) dengan kebenaran, dan Dia menurunkan Kitab kepadanya, dan ayat tentang pemberian hukuman rajam termasuk di dalam apa yang diwahyukan kepadanya.‖ Kita membacanya, menyimpannya di dalam memori kita, dan memahaminya. Rasulullah Saw memberikan hukuman rajam hingga mati (kepada pezina pria dan wanita yang telah berstatus kawin), dan setelah beliau, kita juga menerapkan hukum rajam. Saya khawatir bahwa, dengan berlalunya waktu, masyarakat (mungkin lupa) dan mungkin mengatakan, ―Kita tidak menemukan hukum rajam di dalam Kitabullah. Dan mereka pun menjadi sesat dengan meninggalkan kewajiban yang ditetapkan Allah ini. Hukum rajam merupakan suatu kewajiban yang ditetapkan dalam Kitabullah bagi para pria dan wanita yang telah berstatus kawin tapi melakukan zina apabila bukti-buktinya kuat, atau jika ada kehamilan atau suatu pengakuan.[168]

Riwayat-riwayat lain juga secara keliru mengindikasikan bahwa ada ayat dalam Al-Quran Suci yang menyatakan penghukuman rajam kepada para pezina.[169] Imam Bukhari juga meriwayatkan dari salah seorang sahabat bahwa ada ayat dalam Al-Quran Suci yang menyatakan bahwa meninggalkan para leluhur adalah kufur;[170] seluruh kaum Muslim mengetahui bahwa tidak ada ayat seperti itu dalam Al-Quran Suci. Sebagian riwayat lain dari sumber-sumber lain mengemukakan bahwa banyak ayat Al-Quran yang hilang. Aisyah, sebagai contoh, meriwayatkan bahwa Surah Al-Ahzab (surah ke-33) dahulunya pada masa Rasulullah Saw memiliki 200 ayat, namun ketika Khalifah Ketiga, Utsman bin Affan, menghimpun Al-Quran, ia hanya dapat menemukan tujuh puluh tiga ayat darinya.[171] Abdullah bin Umar juga meriwayatkan, ―Tidak ada orang yang seharusnya mengatakan, Aku telah mengambil (pertimbangan) dari Al-Quran seluruhnya.‘ Bagaimana ia mengetahui bahwa ini adalah Al-Quran seluruhnya? Sesungguhnya, ada sejumlah besar (ayat) yang hilang dari Al-Quran.[172] Ada pernyataan-pernyataan lain yang tidak perlu disebutkan di sini.

Tujuan kami mengemukakan hal-hal di atas di sini bukan untuk membuat isu berupa pernyataan-pernyataan palsu tentang distorsi (tahrif) Al-Quran Suci dalam berbagai mazhab, karena semua mazhab seharusnya dihargai. Maksud kami adalah ingin menjelaskan bahwa Al-Quran yang diikuti kaum Syiah adalah Al-Quran sama yang ada dimana-mana di dunia, dan bahwa tidak ada Al-Quran tersembunyi lainnya sebagaimana yang dikatakan sebagian orang.

Mushaf Fatimah

Menurut riwayat Ahlulbait As, ketika Rasulullah Saw wafat, putrinya, Sayidah Fatimah Zahra As, begitu berduka hingga Allah mengutus kepadanya satu malaikat untuk menghiburnya. Malaikat itu mengatakan kepadanya tentang apa yang akan terjadi di masa akan datang. Fatimah menemukan kebahagiaan dalam berita ini. Suaminya, Imam Ali As, menuliskan apa yang malaikat itu katakan. Tulisan-tulisan ini dikumpulkan dan dihimpun dalam sebuah kitab yang dinamakan Mushaf Fatimah. Imam Shadiq as mengatakan, ―Tidak ada hukum halal-haram dalam kitab itu, tapi isi kitab itu hanya tentang apa yang akan terjadi di masa akan datang.[173] Pemberitaan-pemberitaan lain menyatakan bahwa setiap kali Rasulullah Saw menerima wahyu, beliau akan menjelaskannya kepada putrinya, dan putrinya akan mencatatnya dalam sebuah kitab yang dinamakan Mushaf Fatimah. Para pengikut Ahlulbait percaya bahwa kitab ini sekarang ada bersama imam terakhir Ahlulbait, yakni Imam Mahdi.

Mushaf Fatimah bukanlah sebuah Al-Quran, dan satu-satunya Al-Quran yang dimiliki para pengikut Ahlulbait adalah Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Suci Muhammad Saw selama masa hidupnya dan sekarang terdapat di seluruh dunia.

Pemberian Nama Menurut Nama-nama Para Nabi dan Imam

Beberapa keluarga Muslim yang mengikuti Ahlulbait menamakan anak-anak mereka menurut nama-nama beberapa nabi dan imam seperti misalnya Abdunnabi, Abdurrasul, Abdulhusain, Abdurridha, dan sebagainya. Sebagian orang ingin mengetahui apakah praktik ini dibolehkan ataukah tidak. Walaupun Rasulullah Saw mengatakan bahwa nama-nama terbaik adalah nama-nama yang berawal dengan nama 'Abdu dan Muhammad, namun tidak mengapa menggunakan nama-nama yang disebutkan tadi sebab nama itu tidak bermakna harfiah dan tidak menunjukkan bahwa anak tertentu adalah budak dari Rasulullah Saw, Imam Husain As, ataupun Imam Ridha As atau bahwa Rasulullah Saw atau para Imam As yang menciptakannya dan memberinya rezeki. Sebaliknya, jenis penamaan ini mengungkapkan rasa syukur, kekaguman, dan cinta kepada pribadi-pribadi seperti Rasulullah Saw dan para Imam As yang mendedikasikan seluruh kehidupan mereka bagi kebahagiaan umat manusia. Al-Quran Suci sendiri menggunakan kata 'abd untuk makna selain dari ―hamba Allah‖: sebagai contoh, kalimat ―min 'ibadikum‖ (―dari para hamba sahaya lelaki kamu‖) tidak bermakna bahwa para hamba sahaya itu menyembah orang yang memiliki mereka. Penghambaan dan kepemilikan sesungguhnya adalah untuk Allah, tapi, secara alegoris atau kiasan, nama Abdurrasul mengandung makna bahwa pemilik nama itu adalah seorang hamba Allah melalui Rasulullah Saw karena Al-Quran Suci menyatakan, “Barangsiapa yang menaati Rasul maka ia telah menaati Allah.” (QS An-Nur [24]:32)

Lagi pula, pengertian penghambaan harus dimaknai secara kiasan, bukan secara harfiah. Ungkapan-ungkapan seperti ini banyak digunakan dalam ucapan-ucapan umum; banyak orang mungkin adakalanya mengucapkan frase ―tuanku (sayyidi)‖ sebagai bentuk sopan santun, atau barangkali menggunakan ungkapan ―semoga aku menjadi tebusanmu (ju'iltu fidak)‖ tanpa memaknainya secara harfiah. Dalam bahasa Arab, frase-frase ini mengekspresikan rasa syukur dan terima kasih. Jadi menamakan seseorang Abdulhusain atau Abdurridha bukanlah perbuatan syirik (politeisme) kepada Allah Swt karena seluruh kaum Muslim setuju bahwa Allah adalah Zat satu-satunya yang layak untuk tunduk dan taat kepada-Nya.

Mengunjungi Makam para Nabi dan Imam

Demikian juga, menyentuh dan mencium makam Rasulullah Saw dan makam para Imam tidak mengandung makna syirik atau menyekutukan orang tertentu dengan Allah karena Allah memiliki kedaulatan puncak di alam ini, dan kaum Muslim tunduk, menyembah, dan meminta bantuan hanya dari-Nya. Mengunjungi makam-makam tersebut semata-mata mengisyaratkan sikap penghormatan. Jika Rasulullah Saw atau para Imam As masih hidup, karena kekaguman terhadap mereka, orang banyak akan menjabat tangan mereka atau mencium mereka. Karena mereka telah wafat, dan orang banyak mengetahui bahwa makam-makam mereka mengandung tubuh-tubuh suci dan barangkali ruh-ruh mereka, menyentuh atau mencium makam-makam mereka merupakan sebuah cara memperbaharui baiat dan loyalitas terhadap para pemimpin ini. Makam-makam itu sendiri terbuat dari entah kayu maupun besi serta tidak memiliki kekuatan untuk memberi manfaat ataupun mudarat, tetapi penghargaan dan penghormatan adalah untuk apa yang mereka representasikan: ruh-ruh Rasulullah Saw dan para Imam As. Di samping, kedekatan fisik dari makam-makam tersebut dengan Rasulullah Saw dan para Imam As memberikan mereka aura kesakralan dan nuansa kesucian.

Al-Quran Suci mengajarkan bahwa ketika Ya'qub As menangisi terpisahnya beliau dari putranya Yusuf As dan hilangnya dari pandangannya, Yusuf As mengirimkan bajunya melalui salah seorang saudaranya dan memberitahunya untuk meletakkannya di atas wajah ayahnya agar penglihatan beliau dapat pulih kembali:

"Pergilah kamu dengan membawa bajuku ini, lalu usapkanlah di atas wajah ayahku, ia akan melihat kembali, dan bawalah seluruh keluarga kamu kepadaku." Dan ketika kafilah itu telah keluar [dari Mesir], ayah mereka [yang berada di Palestina] berkata, “Aku sungguh mencium aroma Yusuf, seandainya kamu tidak menuduhku lemah pikiran.” Mereka [keluarganya] berkata, “Demi Allah, sesungguhnya engkau masih berada dalam kekeliruanmu yang dulu.” Maka ketika telah tiba pembawa kabar gembira itu, ia mengusapkannya [baju Yusuf as] di atas wajahnya [Ya'qub as], maka penglihatannya kembali pulih. Dia [Ya'qub as] berkata, “Bukankah telah kukatakan kepada kamu bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak ketahui?” (QS Yusuf [12]:93)

Walaupun baju Yusuf As terbuat dari katun biasa yang dipakai oleh mayoritas manusia pada masa itu, namun Allah membuatnya mengandung keberkahan-keberkahan-Nya karena baju itu menyentuh tubuh Yusuf As, serta izin, otoritas, dan keberkahan Allah memengaruhi baju ini sehingga, ketika baju itu diletakkan di atas wajah Ya'qub As, baju itu menjadikan Ya'qub mampu melihat.

Jika menyentuh makam Rasulullah Saw atau Imam Ali As atau Imam Husain As adalah perbuatan syirik, karena makam-makam ini terbuat dari besi, lantas mengapa jutaan kaum Muslim menyentuh batu-batu dari Ka'bah Suci? Apakah batu-batu ini dibawa dari surga, atau apakah batu-batu ini adalah batu-batu biasa yang dibawa dari Hijaz? Seluruh kaum Muslim setuju bahwa Rasulullah Saw mencium Hajar Aswad, batu hitam di Ka'bah, sedangkan seorang Muslim tentu saja tidak pergi mencium batu-batu di lorong-lorong dan jalan-jalan kota Mekkah meskipun batu-batu itu mungkin lebih menawan hati dibandingkan dengan Hajar Aswad. Hari ini, di sebagian besar negeri, negeri Muslim dan non-Muslim, bendera begitu sakral hingga para tentara dan bahkan para warga sipil menciumnya dan meletakkannya di atas wajah mereka. Apakah itu berarti mereka menyembah secarik kain? Tentu saja tidak; ide di balik contoh-contoh ini adalah bahwa mereka memuliakan ide-ide di balik batu, makam-makam dan bendera-bendera.

Ini semua merupakan prinsip-prinsip dan ide-ide yang dibawa oleh para pemimpin atau negeri-negeri besar.

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa setiap kali Rasulullah Saw berwudhu, kaum Muslim menghimpun dan mengumpulkan air sisa wudhu dan mereka membasuh wajah-wajah mereka dengannya untuk memperoleh keberkahan-keberkahan.[174] Bukhari juga meriwayatkan bahwa bahkan keringatnya Rasulullah Saw dikumpulkan. ―Ummu Salamah meletakkan kain di bawah tubuh Rasulullah Saw ketika beliau tidur. Banyak keringat yang menetes dari tubuh beliau. Ia [Ummu Salamah] mengambil sebuah botol dan mulai menuangkan keringat Rasulullah Saw di dalam botol itu. Ketika Rasulullah saw bangun, beliau bertanya, ‗Wahai Ummu Salamah, apa ini?‘ Ummu Salamah menjawab, ‗Itu adalah keringat Anda yang kami campurkan di dalam parfum-parfum kami, dan jadilah parfum-parfum yang paling wangi.‘[175]

"Shadaqa Allahu Al-'Azhim" atau "Shadaqa Allahu Al-'Aliyy Al-'Azhim"?

Pada dasarnya tidak ada perbedaan di antara perkataan "shadaqa Allahu al-'Azhim" ("Allah Yang Mahaagung berkata benar") dan "shadaqa Allahu al-'Aliyy al-'Azhim" ("Allah Yang Mahaagung dan Mahatinggi berkata benar"), dan persoalan ini barangkali kurang signifikan di antara mazhab-mazhab Islam, terutama karena kedua perkataan tersebut sudah digunakan, berulang-ulang, dalam mazhab-mazhab Syiah dan Sunni. Namun, sumber dari masing-masing perkataan dalam Al-Quran Suci akan diungkapkan untuk menghilangkan salah paham yang mungkin timbul dalam pikiran sebagian saudara Muslim yang mungkin mengira bahwa kata "'aliyy " merujuk kepada Imam Ali bin Abi Thalib As, yang hal itu tidak demikian.

Frase awal "shadaqa Allah" terdapat dalam Al-Quran di beberapa tempat, seperti dalam ayat, Katakanlah, “Allah telah berkata benar (shadaqa Allah)." (QS. Ali Imran [3]:95)

"'Aliyy" dan "'azhim" termasuk di antara 99 sifat Allah. Dalam Al-Quran Suci, Allah menyebutkan namanya ('Aliy) berpasangan dengan "al-'Azhim" itu sendiri sekali,[176] dan Dia menyebutkan kedua nama itu bersama-sama dua kali (2:255 dan 42:4) "Al-'Aliy" disebutkan dalam banyak ayat seperti Al-Hajj [22]:62, Luqman [31]:30, Saba [34]:23, Al-Mukmin [40]:12, An-Nisa [4]:34, Asy-Syura [42]:51, dan lain-lain. Menyebutkan dua sifat bersama-sama ("al-'Aliy" dan "al-'Azhim") bukan menunjukkan nama Imam Ali As tapi agaknya suatu pencontohan Al-Quran Suci dalam memuji dan mengagungkan Allah Swt.

Meratapi dan Berbelasungkawa atas Tragedi-tragedi Yang Menimpa Rasulullah Saw dan Keluarganya

Umumnya, Al-Quran Suci memuji tangisan dan orang-orang yang menangis untuk suatu alasan yang sah atau logis. Al-Quran Suci melukiskan beberapa nabi dan para pengikut mereka dengan mengatakan, Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Yang Maha Pengasih, mereka rebah bersujud dan menangis. (QS. Maryam [19]:58) Ayat tersebut melukiskan orang-orang beriman tertentu dengan cara yang sama, Dan mereka mengatakan, “Mahasuci Tuhan kami. Sungguh, janji Tuhan kami pasti dipenuhi,” dan mereka rebah tersungkur sambil menangis dan mereka semakin bertambah khusyuk. (QS. Al-Isra [17]:109)

Rasulullah Saw diriwayatkan telah menangisi beberapa anggota keluarganya, seperti putranya Ibrahim. Imam Bukhari meriwayatkan:

Rasulullah Saw bersabda, ―Seorang anak telah dilahirkan untukku malam ini, dan aku menamakannya mengikuti nama datukku, Ibrahim.‖ Kemudian beliau mengirimkannya kepada Ummu Sayf, istri si pandaibesi Abu Sayf. Nabi Saw pergi kepadanya, dan aku mengikuti beliau hingga kami sampai di rumah Abu Sayf yang sedang meniup api dengan puputan, dan rumahnya penuh dengan asap. Aku mempercepat langkahku dan mendahului Rasulullah Saw sambil berkata, ―Hai Abu Sayf, hentikan itu, karena Rasulullah Saw datang.‖ Ia berhenti, dan Rasulullah Saw pun memanggil putranya. Beliau memeluknya dan mengatakan apa yang Allah kehendaki. Aku melihat bahwa anak itu menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan Rasulullah Saw. Mata beliau meneteskan air mata sambil berkata, ―Wahai Ibrahim, mata kami meneteskan air mata, dan hati kami dipenuhi kesedihan, tetapi kami tidak mengatakan apapun kecuali apa yang dengannya Allah ridha. Wahai Ibrahim, kami berduka bagimu.[177]

Rasulullah Saw juga diriwayatkan menangisi pamannya Hamzah:

Ketika Rasulullah Saw kembali dari Perang Uhud dan menyaksikan kaum wanita Anshar sedang menangisi para suami mereka yang syahid, beliau bangkit dan berkata, ―Tapi tidak ada orang yang menangisi pamanku Hamzah, maka kaum wanita memahami bahwa Rasulullah menginginkan orang banyak untuk menangisi paman beliau, dan itulah apa yang mereka lakukan. Semua orang yang menangisi para syuhada lain menjadi berhenti kecuali menangisi Hamzah.[178]

Dan untuk sepupunya Ja'far bin Abi Thalib[179] serta cucunya Imam Husain As:

Aisyah meriwayatkan bahwa ketika Husain As masih kecil, ia datang di hadapan Rasulullah Saw dan duduk di atas pangkuannya, dan Jibril turun dengan mengatakan kepada beliau bahwa beberapa dari umatnya akan membunuhnya (Husain). Lantas, Jibril membawa kepada beliau contoh dari tanah Karbala dan mengatakan bahwa tanah itu dinamakan al-Thaff. Ketika Jibril pergi, Rasulullah Saw keluar menemui para sahabatnya dengan menggenggam tanah tersebut di dalam tangan beliau. Saat itu, di sana ada Abu Bakar, Umar, Ali, dan Hudzaifah. Beliau menemui mereka dalam keadaan menangis. Mereka bertanya kepada beliau mengapa Nabi Saw menangis. Beliau berkata, ―Jibril baru saja memberitahuku bahwa putraku Husain akan dibunuh di tanah al-Thaff, dan ia membawakan aku tanah ini dari sana dan memberitahuku bahwa tempat peristirahatan terakhirnya di sana.[180]

Menangisi Imam Husain As dinilai sebagai pendekatan diri kepada Allah, karena tragedi Imam Husain As sangat berkaitan erat dengan pengorbanan agung yang beliau tanggung deritanya karena Allah. Ini merupakan pengingatan dari Allah dan riwayat dari Rasulullah Saw yang, karena mengetahui nasib cucunya, menangis pada kelahiran Husain, ketika masa kanak-kanak yang suka bermain-main, dan pada saat-saat terakhir menjelang beliau wafat.

Bagi orang-orang yang menunjukkan simpati dan kasih sayang terhadap orang-orang yang mereka cintai ketika orang-orang yang mereka cintai tertimpa kesedihan dan musibah adalah hal alamiah. Al-Quran Suci memfirmankan,Katakanlah [wahai Muhammad], “Aku tidak meminta upah dari kamu untuk ini [penyampaian risalah] kecuali cinta kamu kepada kerabatku. (QS. Asy-Syura [42]:23)

Rasulullah Saw secara eksplisit memberitahu kaum Muslim bahwa ayat ini berkenaan dengan Ahlulbait, yaitu Ali, Sayidah Fatimah Zahra, Hasan, dan Husain (untuk informasi lebih lanjut, silakan lihat bagian yang membahas tentang Ahlulbait). Dengan demikian, wajib atas kaum Muslim untuk menunjukkan cinta dan simpati terhadap individu-individu ini dan cobaan-cobaan yang mereka derita. Tidak ada Ahlulbait yang mati dengan kematian alamiah; mereka semua syahid baik diracun atau dibunuh oleh pedang dalam perjuangan-perjuangan mereka untuk membela Islam. Tidak ada orang yang sanggup merasakan kesedihan dan kepedihan untuk tragedi-tragedi mereka.

Bagaimana seseorang sanggup mendengar tentang tragedi Asyura, ketika Imam Husain As mengorbankan 72 anggota keluarganya dan sahabat-sahabatnya karena Allah dan dibunuh dalam cara yang begitu tragis, dan ketika kaum wanita dari keluarganya—keluarga Rasulullah Saw—ditawan dan diarak dari kota ke kota, mengiringi kepala-kepala Imam Husain As dan para sahabatnya yang terputus—bagaimana seseorang tidak dapat menangis? Bahkan orang-orang yang bukan Muslim ikut menumpahkan air mata ketika mendengar kisah ini. Jika kaum Muslim dapat menangisi para kerabat mereka sendiri, lantas bagaimana mereka tidak dapat menangisi keluarga Rasulullah Saw? Imam Husain As tidak dibunuh untuk ditangisi; beliau memberikan kehidupannya untuk menyelamatkan risalah Islam dan gugur sebagai syahid untuk memerangi tirani dan kerusakan agama. Namun air mata ini dan kesedihan ini menghasilkan ikrar kuat untuk mengikuti jejak Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya As.

Menunjukkan simpati terhadap tragedi Imam Husain as dan Ahlulbait lainnya bukan merupakan bid'ah, tapi semua orang seharusnya ingat bahwa mengikuti jalan Imam Husain As adalah lebih penting dalam Mazhab Ahlulbait dibandingkan dengan sekadar menangisinya.

Talak Tiga dalam Satu Kesempatan?

Dalam Islam, perceraian seharusnya dihindari bagaimana pun juga. Rasulullah Saw diberitakan telah bersabda bahwa, di sisi Allah, perceraian merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah. Perceraian seharusnya hanya dilakukan sebagai pilihan terakhir. Islam menganjurkan untuk memanggil para mediator keluarga,[181] dan perceraian atau talak seharusnya dijatuhkan atas tiga kesempatan berbeda menyusul tiga bulan periode tunggu (masa idah) sebelum menjadi tidak dapat dibatalkan atau tidak dapat rujuk kembali, Talak [yang dapat dirujuk] itu dua kali. Setelah itu kedua pihak seharusnya hidup bersama dengan cara yang baik, atau berpisah dengan cara yang baik. Dan jika suami telah menceraikan istrinya untuk ketiga kalinya, maka istrinya tidak lagi halal baginya hingga istrinya menikah dengan suami lain. Kemudian jika suami lain itu menceraikannya, maka tidak berdosa bagi keduanya untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat dapat menjalankan hukum-hukum yang ditetapkan Allah. (QS. Al-Baqarah [2]:229-230) Sayangnya, sebagian pakar hukum Muslim non-Syiah membolehkan seorang suami untuk menceraikan istrinya secara selain-rujuk dengan menjatuhkan tiga ucapan talak pada satu kesempatan, yang jelas-jelas bertentangan dengan maksud Al-Quran Suci. Telah diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih, juga dalam kitab-kitab lainnya,[182] bahwa ucapan talak tiga dalam satu kesempatan dianggap hanya sebagai talak satu yang sah pada masa Rasulullah Saw, Khalifah Pertama, dan dua tahun pertama dari pemerintahan Khalifah Kedua. Setelah itu, Khalifah Kedua membolehkan tiga ucapan (talak tiga) dalam satu kesempatan dianggap sebagai talak tiga yang sah, dan, dengan demikian, seorang istri tidak akan dapat rujuk kembali dengan suaminya.[183]

Khumus dalam Islam

Khumus merupakan salah satu pilar Islam yang ditetapkan oleh Allah dan dipraktikkan pada masa kehidupan Rasulullah Saw. Khumus artinya ―seperlima‖, dan mengindikasikan bahwa seperlima dari kelebihan pendapatan seseorang harus didedikasikan sesuai dengan penjelasan ayat Al-Quran berikut, Dan ketahuilah bahwa apapun keuntungan yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlima darinya diperuntukkan bagi Allah, bagi Rasul dan bagi keluarganya serta juga bagi anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang terlantar, jika kamu telah beriman kepada Allah, dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami Muhammad. (QS. Al-Anfal [8]:41)

Pendek kata, khumus bermakna membayarkan seperlima dari kelebihan pendapatan seseorang setelah menyisihkan belanja bagi pribadinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Khumus terdiri dari dua bagian yang sama: bagian pertama adalah bagian milik imam (saham Imam). Bagian ini digunakan untuk membangun masjid-masjid, lembaga-lembaga Islam, sekolah-sekolah Islam, perpustakaan-perpustakaan, rumah sakit-rumah sakit, klinik-klinik, rumah yatim-rumah yatim, mencetak mushaf Al-Quran dan kitab-kitab hadis, buku-buku Islam dan ceramah-ceramah, serta aktivitas-aktivitas lainnya yang bermanfaat, membela, atau menyebarkan Islam. Bagian kedua adalah bagian yang diperuntukkan bagi para sayid (keturunan Rasulullah Saw) yang miskin karena mereka dilarang menerima sedekah (derma atau pemberian umum).

Beberapa referensi sejarah dari berbagai mazhab menyebutkan bahwa khumus eksis pada masa Rasulullah Saw dan dilarang pada masa Khalifah Pertama dan Kedua.[184] Penafsiran oleh Ahlulbait As tentang kata ―ghanimtum dalam Surah Al-Anfal [8]:41 adalah ―segala sesuatu yang kamu peroleh—baik dari perang, pekerjaan, perdagangan, ataupun sumber-sumber lainnya—karena sejarah membuktikan bahwa Rasulullah Saw mengambil seperlima dari pampasan perang dan juga dari aset-aset selain daripada pampasan perang pada masa damai.[185] Para ulama di luar Syiah lainnya adakalanya mendukung posisi ini.[186]

Pernikahan Temporer (Mut'ah)

Membahas legalitas pernikahan temporer bagaimana pun juga tidak seharusnya dipahami sebagai mendorong kaum muda untuk melakukan praktik demikian. Pernikahan permanen merupakan norma yang dianjurkan oleh Al-Quran Suci dan hadis Rasulullah Saw serta Ahlulbaitnya as. Pernikahan temporer merupakan pengecualian dan pilihan terakhir apabila pernikahan permanen tidak sanggup dilakukan atau menjadi sangat sulit untuk suatu alasan. Bagian ini tidak bermaksud untuk membahas keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari pernikahan seperti itu tapi hanya bermaksud untuk menjelaskan legalitas Islami berkenaan dengan Al-Quran Suci dan hadis Rasulullah Saw.

Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah institusi sakral, sebuah komitmen, dan sebuah ikrar oleh dua individu untuk saling menghargai dan menghormati kehendak, martabat, kehormatan, dan aspirasi-aspirasi orang (pasangan) lain. Ada dua jenis pernikahan: permanen dan temporer. Keduanya memiliki aturan-aturan dan batasan-batasan yang sama. Keduanya membutuhkan bentuk pinangan dan penerimaan yang ditentukan, dan pernikahan—bahkan pernikahan permanen—adalah terbuka untuk syarat-syarat dan batasan-batasan. Jika pernikahan tidak dibatasi dengan suatu periode waktu, maka pernikahan tersebut berarti pernikahan permanen, sedangkan jika pernikahan itu disyaratkan oleh suatu periode waktu, maka pernikahan itu adalah pernikahan temporer.

Ketika tidak menyepakati tentang persoalan pernikahan temporer, para ulama mazhab-mazhab lain setuju bahwa jika seorang pria bermaksud untuk menikahi seorang wanita untuk suatu periode singkat tanpa memberitahunya bahwa ia akan menceraikannya setelah suatu periode waktu dan menyembunyikan tujuan-tujuannya, pernikahan itu masih sah. Pernikahan temporer tampaknya lebih logis karena dua pasangan sesungguhnya menyetujui syarat-syarat dan kondisi-kondisi sebelumnya dengan kejujuran penuh. Intinya, pernikahan temporer adalah pernikahan normal dengan persetujuan bersama yang disyaratkan oleh suatu periode waktu. Syarat-syarat pernikahan ini adalah sebagai berikut: adanya pinangan dan penerimaan, adanya mahar bagi wanita, kedua pihak harus setuju, dan kedua pihak memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak, keduanya harus sehat pikiran, dan wanita-wanita perawan harus mendapat persetujuan ayah atau wali mereka. Namun, dalam pernikahan temporer, tidak ada kewajiban untuk nafkah atau warisan kecuali jika dinyatakan dan disyaratkan dalam perjanjian pernikahan. Mengenai praktik ini, Al-Quran Suci menyatakan, Maka dengan wanita-wanita yang kamu nikahi (secara) mut'ah, berikanlah kepada mereka mahar mereka sebagaimana ditentukan. (QS. An-Nisa [4]:24)

Dalam hadis Rasulullah Saw, banyak hadis yang menyatakan halalnya pernikahan temporer atau mut'ah. Imam Bukhari meriwayatkan, ―Datang kepada kami orang yang memahami risalah Rasulullah Saw sambil berkata: Rasulullah Saw memberi kamu izin untuk melangsungkan pernikahan temporer—yaitu, memut'ahi wanita-wanita.[187] Bukhari juga meriwayatkan:

Kami bersama Rasulullah Saw pada suatu ekspedisi dan kami tidak membawa istri-istri kami. Kami katakana, ―Haruskah kami mengebiri diri kami?‖ Beliau melarang kami untuk melakukan demikian. Beliau kemudian memberikan kami izin untuk melakukan pernikahan kontemporer untuk suatu jangka waktu tertentu dengan memberikan pakaian-pakaian kepada wanita-wanita itu [sebagai mahar]. Abdullah kemudian membacakan ayat ini, Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik yang Allah telah halalkan untuk kamu, dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.[188]

Imam Bukhari juga meriwayatkan:

Kami pergi bersama Rasulullah Saw pada ekspedisi ke Banu Mushtaliq. Kami menderita karena ketidakhadiran istri-istri kami, maka kami memutuskan untuk melangsungkan pernikahan temporer dengan wanita-wanita tapi dengan melakukan 'azl. Namun kami katakana, ―Kami sedang melakukan suatu perbuatan padahal Rasulullah Saw ada di tengah-tengah kami; mengapa kami tidak bertanya kepadanya?‖ Maka kami pun bertanya kepada Rasulullah Saw, dan beliau menjawab, ‗Tidak mengapa jika kamu tidak melakukannya, karena setiap jiwa yang dilahirkan hingga Hari Kiamat akan lahir.‘[189]

Imam Muslim juga meriwayatkan contoh-contoh pernikahan temporer yang dilakukan pada masa Rasulullah Saw[190] dan memberikan referensi jelas bahwa pernikahan temporer adalah halal pada masa Rasulullah, Khalifah Pertama Abu Bakar, dan pada sebagian waktu dari Khalifah Kedua, yang justru merupakan orang yang melarangnya [pada paruh kedua pemerintahannya]. Bahkan setelah waktu itu, masih diterima oleh sebagian ulama Sunni, seperti Qurthubi, yang menganggapnya sebagai bentuk pernikahan yang halal dan telah disepakati oleh para ulama salaf dan khalaf.[191] Para Imam Ahlulbait berargumen bahwa, menurut Al-Quran Suci, tidak ada seorang yang memiliki otoritas untuk menjadikan suatu perbuatan itu halal atau haram melalui keinginannya sendiri. Jika ada kepentingan untuk melarang pernikahan temporer, maka Allah Yang Maha Mengetahui akan memiliki prioritas untuk melakukan demikian melalui Rasul-Nya Saw.

Mut'ah Haji

Mut'ah Haji bermakna bahwa kaum Muslim adalah bebas dari batasan-batasan ihram selama waktu di antara umrah dan haji, sebagaimana Al-Quran Suci nyatakan dalam Surah al-Baqarah [2]:196. Namun, hubungan-hubungan suami istri di antara waktu umrah dan haji, dilarang oleh Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab, yang menyatakan, ―Wahai manusia, ada tiga hal yang berlaku pada masa Rasulullah yang aku larang dan haramkan dan aku akan menghukum orang-orang yang melakukannya: mut'ah haji, mut'ah nisa' (pernikahan temporer), dan hayya 'alâ khayril 'amal (dalam azan)."[192] Demikian pula, Umar mengatakan, ―Dua jenis mut'ah yang berlaku pada masa Rasulullah Saw, dan aku melarangnya serta akan menghukum orang-orang yang melakukannya: mut'ah haji dan mut'ah nisa'.[193] Sayuthi memberitakan bahwa Umar bin Khaththab adalah orang pertama yang memperkenalkan shalat taraweh, mencambuk 80 kali cambuk (sebagai ganti 100 kali) sebagai hukuman bagi peminum minuman keras, melarang mut'ah pernikahan, melaksanakan empat takbir (sebagai ganti lima takbir) dalam shalat jenazah, dan melakukan banyak hal-hal lainnya.[194]

Tirmidzi meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ditanya tentang mut'ah haji. Ia berkata bahwa itu halal. Orang itu menjelaskan bahwa ayah Abdullah (Umar) adalah orang pertama yang melarangnya. Abdullah bin Umar menjawab, ―Jika ayahku melarang itu, dan Rasulullah Saw melakukannya, yang mana di antara keduanya yang harus kita ikuti—ayahku, atau perintah-perintah Rasulullah?"[195] []

Bagian 17

Kesimpulan

Seruan Persatuan Islam

Berbicara tentang fakta-fakta sejarah atau perbedaan fikih seharusnya tidak menjadi jalan untuk mengecutkan kaum Muslimin guna bersatu karena mayoritas sejarawan Islam dari berbagai mazhab sepakat pada fakta-fakta sejarah yang sama. Pelbagai perbedaan di antara para filosof, ulama dan pemikir mazhab dapat menjadi perbedaan yang konstruktif atau destruktif. Jika mereka membimbing kepada perpecahan kaum Muslimin, maka tindakan mereka ini tidak dapat diterima, lantaran Al-Quran menyatakan, Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) berpecah-belah dalam urusan mereka, dan setiap kelompok menempuh jalan mereka sendiri. (Anehnya) setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). (QS. Al-Mukminun [23]:53) Orang-orang seperti ini mendukung gagasan yang tidak berdasarkan kepada kebenaran dan hanya menggunakannya untuk melayani tujuan mereka sendiri. Sementara, Al-Quran merujuk seluruh argumen pada suatu sumber: Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal [8]:46) Kelemahan kaum Muslimin di dunia lantaran jenis perpecahan ini yang amat disayangkan kita saksikan hari ini. Namun demikian, perbedaan konstruktif merupakan lambang sehatnya sebuah masyarakat ketika orang-orang berlomba-lomba untuk melakukan yang terbaik, Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu Dia beritahukan kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah [5]:48)

Aneka perbedaan dalam masalah-masalah keilmuan dan fikih dapat menuntun kepada kemajuan dan kesejahteraan. Secara filosofis, ini sangat bermanfaat jika tertuntun kepada keyakinan karena seluruh orang bertitik tolak pada keraguan, pertanyaan dan perbedaan dalam sebuah persoalan sebelum sampai pada kebenaran. Karena itu, Islam tidak menolak penalaran dalam bidang ijtihad sepanjang tidak terkontaminasi dengan tujuan-tujuan politis dan penipuan. Dengan demikian, seluruh ulama sepakat bahwa mujtahid menerima dua ganjaran atas setiap keputusan yang benar. Bahkan, bagi yang melakukan kesalahan, ia akan menerima ganjaran atas segala usahanya untuk mencapai keputusan yang benar.

Namun demikian, kesatuan atau persatuan Islam merupakan salah satu tujuan masyarakat Islam dan sebuah kewajiban seluruh Muslimin, baik secara personal dan sosial. Allah Swt berfirman dalam Al-Quran, Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi yang dapat (menciptakan dan) menebarkan (makhluk)? (QS. Al-Anbiya [21]:92), dan, Sesungguhnya ini adalah umatmu, umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku." Sepanjang dua puluh tiga tahun berdakwah, Rasulullah Saw menegaskan persatuan umatnya dan menyebutnya sebagai "umatku." Al-Quran sejatinya memberikan enam makna atas redaksi ummah: sekelompok orang, contoh, ketaatan kepada agama, agama itu sendiri, waktu, dan sekelompok yang mengikuti satu tradidis dan satu jalan. Hal ini tidak berguna bagi kelompok yang tidak mengikuti satu tradisi dan satu jalan.

Konsep persatuan itu sendiri dibahas dalam Al-Quran dalam tiga level. Yang paling utama adalah persatuan umat manusia. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat [49]:13)

Tujuan dari persatuan ini adalah untuk mengarahkan seluruh ras, suku dan agama yang berbeda ke arah yang konstruktif. Kemudian penekanan pada "supaya kamu saling mengenal" adalah untuk menekankan bahwa manusia menemukan kesepahaman ketimbang konflik sedemikian sehingga tiada yang mengingkari hak orang lain untuk hidup dan mendapatkan kesejahteraan.

Dalam persatuan umat manusia, persatuan Ahlulkitab (agama-agama tauhid) dianjurkan untuk, Katakanlah, “Hai ahli kitab, marilah (berpegang teguh) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.‖ Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran [3]:64)

Al-Quran menegaskan bahwa Ahlulkitab diminta untuk hanya menyembah Allah, Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah [98]:5)

Esensi persatuan tauhid Ahlulkitab ada, namun tidak boleh, bagaimanapun, diartikan bahwa tiada perbedaan sama sekali di antara pelbagai perbedaan hukum dan aturan. Sementara jalan asli (agama) adalah satu di sepanjang agama-agama tauhid, sementara pelaksanaan praktis, misalnya hukum, berbeda, Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. (QS. Al-Maidah [5]:48)

Tentu saja, tiga model persatuan yang disebutkan Al-Quran adalah persatuan umat Islam, Dan berpegangteguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali Imran [3]:103)

Persatuan kaum Muslimin memiliki dua fondasi, pertama adalah berpegang teguh kepada Al-Qur'an sebagai undang-undang hidup, kedua menerima tanggung jawab bersama sebagai seorang Muslim, lantaran Rasulullah Saw telah bersabda, "Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin maka ia bukanlah Muslim", juga sabdanya, "Barangsiapa yang mendengar seruan seorang Muslim yang memanggil, ‗Ya Muslimin!‘ Dan kemudian tidak menjawabnya maka ia bukanlah seorang Muslim."

Beliau juga menggunakan metafora dari badan manusia untuk menjelaskan umat Muslim. Jika satu bagian menderita, seluruh badan akan merasa. Salah satu keberhasilan besar Rasulullah Saw adalah menyatukan ribuan suku Arab yang tercerai berai di sepanjang Semenanjung Arabia menjadi satu umat, dan bangsa yang kuat. Ketika menyatukannya, beliau tidak menghilangkan perbedaan di antara mereka, melainkan membuat mereka untuk berdialog satu dengan yang lain dan mencapai kata sepakat. Dengan filosofi seperti ini, bangsa Muslim merupakan bangsa yang kuat di masa lalu. Dan, hanya dengan pengertian ini bangsa Muslim kembali akan menjadi kuat dan mendapatkan kedududan terhormat ini di antara bangsa-bangsa dunia dan memiliki signifikan yang sama sebagaimana pada waktu lalu.

Sampel modern yang harus dikaji oleh bangsa-bangsa Muslim adalah Uni Eropa yang terdiri dari beberapa negara dengan perbedaan budaya, bahasa, etnik, agama dan agenda-agenda politik, telah menyatukan mereka di bawah satu sistem moneter, agenda ekonomi dan front politik. Negara-negara Muslim dapat juga bersatu sebagaimana mereka jika mereka ingin melakukan hal tersebut. Langkah pertama untuk persatuan ini adalah menyelenggarakan konferensi regular dan seminar-seminar yang diadakan oleh cendekiawan dan sarjana Muslim dan untuk menjembatani kesenjangan di antara mazhab.

Pendeknya, perbedaan pendapat, apabila diarahkan dengan proporsional, merupakan sebuah aset bagi perkembangan umat Islam dan merupakan sebuah simbol vitalitas kebudayaan Islam. Persaingan yang muncul di antara para ulama dari pelbagai mazhab seharusnya memotivasi mereka untuk berjuang semaksimal mungkin guna mencapai keputusan yang terbaik dan paling puncak mencapai kebenaran.

Keragaman seharusnya tidak berujung pada perpecahan dan perceraiberaian namun kenyataannya merupakan bagian dari persatuan persis sebagaimana masyarakat yang dicetak oleh Rasulullah Saw 1400 tahun lalu. Kami ingin mengundang seluruh ulama dan cendekiawan Islam untuk melanjutkan diskusi dalam masalah fikih dan filsafat di bawah payung lâ ilâha illallah Muhammadan Rasulullah serta dengan semangat persaudaraan dan iman. Dan, puncaknya kita meminta kepada Allah Swt untuk menganugerahkan bimbingan dan hikmah-Nya. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (mereka ditegor), “Mengapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab yang disebabkan oleh kekafiranmu itu.” Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya. Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imran [3]:102-108)[]

Bagian 4

Imam Ali As

Kitab Suci Al-Quran dan Nabi Saw secara khusus menjelaskan kepemimpinan Imam Ali As setelah Nabi Muhammad Saw:

Ghadir Khum

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah bulan ke dua puluh enam kalender Islam, dan telah diriwayatkan oleh 110 sahabat Nabi Saw, 84 tabi‘in, dan 360 ulama dari berbagai mazhab.

Nabi Muhammad Saw dan hampir 114.000 sahabat telah menunaikan haji dan sedang dalam persiapan menuju ke tempat mereka masing-masing. Tahun itu, selama pelaksanaan haji, suhu udara sangat panas, dengan panas yang terik membakar para jemaah yang berangkat haji tahun tersebut. Namun demikian, ketika Nabi Saw tiba di Ghadir Khum, di sebuah persimpangan tempat dimana kaum Muslimin yang berasal dari berbagai daerah akan berpisah, Nabi Saw menghentikan kafilah itu pada siang hari, menanti yang datang belakangan menyusul mereka dan meminta mereka yang telah mendahului untuk kembali, lantaran Nabi Saw menerima wahayu dari Allah Swt yang harus disampaikan kepada manusia, Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]:67)[17]

Lalu beliau berbicara sedikit sebelum bertanya kepada orang-orang yang hadir di tempat itu apakah ia memiliki otoritas (wilayah) atas mereka. Orang-orang di tempat itu berkata, ―Iya, wahai Rasulullah, tentu saja engkau adalah pemimpin kami (mawla). Nabi Saw mengulang pertanyaan ini sebanyak tiga kali, dan orang-orang menjawab dengan jawaban yang sama sebanyak tiga kali, mengakui kepemimpinannya.

Nabi Saw kemudian memanggil Ali, mengangkat tangannya sehingga kedua tangan menyatu ke atas, dan berkata kepada orang-orang: ―Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya (mawla), maka Ali adalah pemimpinnya.

Pada waktu itu, Ali berusia 33 tahun. Orang-orang menerima berita ini dengan beragam tanggapan dan jawaban, sebagian menanggapinya dengan bahagia dan sebagian yang lain dengan derita. Orang yang pertama memberikan ucapan selamat kepada Ali adalah orang yang kemudian menjadi khalifah pertama dan kedua. Mereka berkata, ―Selamat, selamat kepadamu, wahai Ali. Engkau telah menjadi pemimpin kami (mawla) dan pemimpin kaum Muslimin.[18]

Kemudian ayat lainnya yang diwahyukan kepada Nabi Saw adalah:Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]:3).

Dengan ayat ini, agama Islam telah sempurna dengan pengangkatan Imam Ali As untuk menggantikan Nabi Saw, dan jika ia tidak diangkat sebagai khalifah (pengganti), maka agama Islam tidak akan sempurna.

Ayat Inzhâr

Tiga tahun sesudah kemunculan Islam, Allah Swt menitahkan Nabi Saw untuk memproklamasikan dakwah dan seruan Islam kepada keluarga terdekatnya di Mekkah dengan isi perintah,Dan berilah peringatan kepada kerabat terdekatmu. (QS. Asy-Syu‘ara [26]:216) Nabi Saw mengumpulkan empat puluh sanak familinya dari sukunya, Bani Hasyim, di kediaman pamannya Abu Thalib dan menyediakan makanan untuk mereka. Setelah mereka menyantap hidangan makan, Nabi Saw bersabda kepada mereka, "Wahai putra Abdul Muththalib! Demi Allah, aku tidak mengenal seorang anak muda di kalangan Arab yang membawa sesuatu yang lebih baik dari apa yang aku bawa untuk kalian. Aku membawa sesuatu yang terbaik di dunia dan di akhirat, dan Allah Swt telah memerintahkanku untuk mengajak kalian untuk hal ini. Siapakah di antara kalian yang menjadi penolongku dalam usaha ini, menjadi saudara, khalifah dan washiku?" Seluruh hadirin menolak menjawab seruan ini kecuali Ali bin Abi Thalib, yang berkata, "Aku bersedia menjadi penolongmu dalam usaha ini." Rasulullah Saw memintanya untuk duduk dan kemudian mengulang pertanyaannya untuk kedua kalinya. Lagi, Ali berdiri dan kembali, Rasulullah Saw meminta ia duduk. Tatkala untuk ketiga kalinya, Nabi Saw tidak mendengar jawaban dari orang lain yang hadir di tempat itu, Ali berdiri kembali dan mengulang kesiapannya untuk menjadi penolong Rasulullah Saw. Rasulullah Saw kemudian menaruh tangannya di pundaknya dan berkata kepada empat puluh orang sanak familinya, "Ini adalah saudaraku, washiku dan khalifahku atas kalian, dengarkan dan taatilah ia." Orang-orang berdiri dan, sambil tertawa, berkata kepada Abu Thalib, "Kemenakanmu memerintahkan kepadamu untuk mendengarkan putramu dan menaatinya."[19]

Ayat Rukuk:"Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk." (QS. Al-Maidah [5]:55).

Sejumlah besar penafsir dari berbagai mazhab mengidentifikasi ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib As. Mufasir terkenal, Zamakhsyari, berkata dalam mengomentari ayat ini berkata, "Ayat ini diwahyukan untuk Ali Kw (karramallahu wajhahu). Tatkala seorang pengemis datang kepadanya meminta derma sementara ia sedang berada dalam keadaan rukuk, ia memberikan cincinnya selagi dalam posisi tersebut. Nampaknya ukuran cincin itu terlalu sempit yang membuat Ali kesusahan untuk mengeluarkan cincin tersebut dari jarinya yang dapat membatalkan shalatnya. Jika Anda bertanya bagaimana bisa ayat tersebut berkenaan dengan Ali As karena redaksi ayat tersebut adalah dalam bentuk jamak (plural), saya berkata bahwa meski ayat itu dalam bentuk jamak karena yang disebutkan adalah seorang untuk memotivasi orang-orang untuk meneladaninya dan mendapatkan ganjaran yang sama, dan juga untuk menarik perhatian terhadap kenyataan bahwa kaum Mukmin harus mencermati dan bersikap pemurah terhadap orang miskin sedemikian sehingga apabila kondisi tidak dapat ditunda hingga selesainya shalat, ia dapat menundanya hingga ia menuntaskan shalatnya."[20]

Demikian juga, dalam Asbab Al-Nuzul, menukil riwayat Kalbi, menisbahkan pewahyuan ayat ini kepada Imam Ali As:"Bagian terakhir dari ayat ini adalah untuk Imam Ali bin Abi Thalib karena ia memberikan cincinnya kepada seorang pengemis selagi ia berada dalam keadaan rukuk." (QS. Al-Maidah [5]:38) Penafsir lainnya juga berpandangan bahwa ayat ini bertautan dengan Imam Ali As termasuk, Sunan an-Nisa'i, Tafsir Al-Kabir karya Tsa'alibi, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ibn Marduwayh, dan Kanz Al-'Ummal.[21]

Ayat Wilayah

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu." (QS. An-Nisa [4]:59). Dengan penjelasan Nabi Saw, ayat ini juga merupakan salah satu ayat Al-Quran berkenaan dengan kepemimpinan Imam Ali As pasca Rasulullah Saw dan mewajibkan ketaatan kepada Allah Swt, Rasulullah Saw, dan ulul amri. Tatkala ayat ini diwahyukan kepada Rasulullah Saw, salah seorang sahabat besar Nabi Saw, Jabir bin Abdullah Anshari, bertanya, "Wahai Rasulullah! Kami mengetahui Allah dan Rasul-Nya, namun siapa yang dimaksud dengan ulil amri minkum" yang ketaatan kepadanya dipandang setara dengan ketaatan kepada Allah Swt dan Rasulullah?" Rasulullah Saw menjawab, "Mereka adalah khalifahku dan pemimpin kaum Muslimin setelahku. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian, Hasan dan Husain, lalu, Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin Ali yang dikenal sebagai Al-Baqir. Engkau, wahai Jabir, akan bersua dengannya. Tatkala engkau berjumpa dengannya, sampaikan salamku kepadanya. Kemudian Ja'far bin Muhammad Al-Shadiq, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian seseorang yang namanya sama dengan namaku, Muhammad, dan ia akan menjadi hujjah Allah di muka bumi."

Hadis-hadis Khusus dari Nabi Saw ihwal Khalifah Imam Ali

Nabi Saw bersabda kepada kaum Muslimin keduanya ihwal khilafah Ahlulbait, yang akan kita bahas pada kesempatan mendatang, juga khilafah Imam Ali As secara khusus. Rasulullah Saw bersabda:

Tatkala bersabda kepada Ali: "Engkau bagiku adalah laksana Harun bagi Musa hanya saja tiada nabi setelahku."[22] "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan sebagaimana kehidupanku, dan mati sebagaimana matiku, dan memasuki surga yang Allah janjikan bagiku – maka jadikanlah Ali sebagai pemimpinnya, karena Ali tidak akan pernah menuntunmu jauh dari jalan kebenaran, juga ia tidak akan mengajakmu berbuat salah."[23]

"Ali adalah wali bagi setiap mukmin setelahku."[24]

"Ali adalah gerbang bagi ilmuku, dan setelahku ia akan menjelaskan kepada seluruh pengikutku apa yang telah dikirimkan kepadaku. Cinta kepada Ali adalah iman dan benci kepadanya adalah kemunafikan."[25]

"Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya. Barangsiapa yang ingin memasuki kota ilmu, maka hendaklah ia masuk melalui gerbangnya."[26]

"'Ali adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari Ali, dan tidak ada yang menyampaikan kecuali aku dan Ali."[27]

"Barangsiapa yang menaatiku berarti ia telah menaati Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku telah bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa yang menaati Ali telah menaatiku, dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Ali telah bermaksiat kepadaku."[28]

Ali As adalah orang yang ditinggal oleh Rasulullah Saw untuk menjaga Ahlulbait Nabi Saw dan pemerintahan Islam selama perjalanan ke Khaibar, namun beliau berkata, "Apakah layak bagiku untuk tinggal sementara Rasulullah pergi?" Lalu Ali pergi dan bergabung dengan Rasulullah Saw. Di tempat itu Rasulullah Saw bersabda, "Aku akan serahkan panji ini kepada orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.

Hadis lain menyebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Allah akan menganugerahkan kemenangan kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya." Dalam kedua riwayat ini, Rasulullah Saw menyerahkan panji kepada Ali As dan Allah menganugerahkan kemenangan di tangannya."[29]

Riwayat dari Rasulullah Saw yang menunjukkan bahwa ia akan digantikan oleh dua belas pemimpin, seluruhnya dari suku Quraisy. Sebagai tambahan atas hadis khusus yang mengidentifikasi Imam Ali As sebagai khalifah Rasulullah Saw. Juga diriwayatkan pada pelbagai kesempatan, Rasulullah Saw bersabda bahwa ia akan digantikan oleh dua belas khalifah dari sukunya, Quraisy. Riwayat itu menyebutkan:

"Khalifah akan tetap di kalangan Quraisy sekalipun hanya dua orang tinggal di muka bumi."[30]

"Saya bergabung dengan sahabat Nabi Saw dengan ayahku dan mendengar beliau bersabda, ‘Khilafah ini tidak akan berakhir hingga ada dua belas khalifah di antara kalian.‘ Perawi berkata, "Lalu beliau bersabda sesuatu yang saya tidak dapat tangkap." Saya bertanya kepada ayahku, apa yang beliau sabdakan? Ayahku berkata, "Rasulullah Saw bersabda, ‘Seluruhnya berasal dari Quraisy.‘"[31]

Riwayat lain dengan jenis yang serupa juga dapat dijumpai pada sumber-sumber lain.

Siapa kedua belas pemimpin ini? Rasulullah Saw diriwayatkan telah bersabda,

"Aku dan Ali adalah ayah bagi umat ini. Barangsiapa yang mengenal kami (menunaikan hak maka sesungguhnya ia ) beriman kepada Allah. Dan dari Ali akan lahir dua belas cucuku, Hasan dan Husain, penghulu pemuda di surga dan sembilan anak-anak Husain. Ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepadaku. Pembangkangan kepada mereka adalah pembangkangan terhadapku. Putra kesembilan adalah adalah Qâim mereka dan Mahdi, Imam yang diangkat Allah untuk petunjuk kebenaran. (Ikmaluddin)

Rasulullah Saw bersabda kepada cucunya Husain selagi Imam Husain berusia beberapa tahun, "Engkau adalah tuan (sayid) dan putra seorang tuan. Engkau adalah seorang imam dan putra seorang imam, saudara seorang imam dan ayah dari sembilan imam. Engkau adalah hujjah Allah, penegas dan putra hujjah-Nya. Engkau adalah ayah bagi sembilan hujjatullah bagi keturunanmu. Hujjah Kesembilan adalah Qâim (Imam yang bangkit)."(Ikmaluddin)

Bagian 5

Ahlulbait As

Cara terbaik untuk memperkenalkan Ahlulbait kepada umat Muslim adalah dengan menyebutkan bagaimana Al-Quran bertutur tentang mereka. Beberapa ayat dalam Al-Quran secara spesifik menyebutkan pelbagai keutamaan Ahlulbait dan kedudukan tinggi mereka dalam Islam. Tatkala menyebut Ahlulbait, maka Al-Quran menyebutkan kepada sekelompok khusus orang-orang yang tidak hanya memiliki hubungan darah dengan Nabi Saw tapi yang paling penting adalah hubungan iman dan keyakinan dengan Baginda Nabi Saw. Ayat-ayat tersebut tidak hanya menyebutkan seluruh hubungan darahnya, juga bukan sahabat atau istri-istrinya, Rasulullah Saw mendefinisikan mereka sebagai dirinya sendiri sebagaimana yang akan kita lihat berikut ini.

Ayat Tathhir

Sesungguhnya Allah ingin menyucikan kalian wahai Ahlulbait dan menyucikan kalian dari segala cela dan nista sesuci-sucinya. (QS. Al-Ahzab [33]:33) Para ulama terkemuka Islam dan perawi hadis secara bulat sepakat bahwa Ahlulbait (keluarga Rasulullah Saw) yang disebutkan Allah dalam Al-Quran adalah berkaitan dengan putri Nabi Saw, Sayidah Fatimah Zahra As; saudara sepupunya, Ali bin Abi Thalib As; kedua putra mereka, Hasan dan Husain As.[32]

Thabrani meriwayatkan bahwa salah seorang istri terhormat Nabi Saw, Ummu Salamah diminta oleh Nabi Saw untuk berkata kepada putrinya Sayidah Fatimah agar memanggil suaminya Ali dan kedua putra mereka, Hasan dan Husain. Tatkala mereka datang, Rasulullah Saw menutupi mereka dengan sebuah kain, meletakkan tangannya di atas kain tersebut dan berdoa, "Wahai Allah! Mereka ini adalah Keluarga Muhammad (Âli Muhammad), tunjukkanlah kemurahan-Mu dan rahmatilah keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberikan kehormatan kepada keluarga Ibrahim. Engkaulah yang patut dipuji."

Ummu Salamah berkata bahwa ia mengangkat kain tersebut untuk bergabung dengan mereka. Namun Rasulullah Saw menarik tangannya dan bersabda, "Sesungguhnya Anda berada dalam kebaikan."[33]

Meski pada permulaan ayat ini dialamatkan kepada istri-istri Nabi Saw dan ayat tathhir ini terletak di tengah-tengah perintah Allah Swt kepada para istri Nabi Saw, namun mereka tidak termasuk dari ungkapan khusus (Ahlulbait) Allah Swt ini. Mengingat ayat-ayat sebelum dan setelahnya berkenaan dengan para istri nabi berada dalam bentuk kata ganti feminin (muannats), ayat ini bertalian dengan Ahlulbait yang dinyatakan dalam bentuk maskulin (mudzakkar) atau gender campuran. Karena itu redaksi Ahlulbait dalam ayat tathhir ini tidak dialamatkan kepada istri-istri Nabi Saw.

Namun demikian, bahkan tanpa bukti gramatikal ini pun, hubungan di antara sebagian istri Rasulullah Saw tidak selaras dan sejalan dengan semangat ayat ini yang menegaskan kesucian fisik, mental dan spiritual keluarga Rasulullah Saw.

Untuk menekankan bahwa redaksi Ahlulbait ini berkenaan dengan hanya lima orang – Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain – para perawi berkata bahwa Rasulullah Saw, ketika melintas di hadapan rumah Sayidah Fatimah menuju masjid untuk menunaikan shalat subuh, beliau selalu berhenti dan menyeru: "Al-shalat…al-shalat, wahai Ahlulbait." Sesungguhnya Allah hendak menyucikan kalian dari segala kekotoran dan nista sesuci-sucinya."[34] Imam Anas bin Malik menambahkan bahwa Rasulullah Saw melakukan hal ini selama enam bulan setiap harinya dalam perjalanannya menuju masjid untuk menunaikan shalat di masjid.[35]

Ayat Mawaddah

Katakanlah, “Aku tidak meminta upah dari seruan ini kecuali kecintaan kepada keluargaku (al-qurba)." (QS. Al-Syura [42]:23) Al-Qurba yang dimaksud di sini adalah Ahlulbait.[36] Tatkala menjelaskan ayat ini, Fakhruddin Razi berkata, "Tanpa ragu bahwa tiada seorang pun yang dekat kepada Rasulullah Saw melebihi Fatimah, Ali, Hasan dan Husain. Hal ini merupakan kenyataan yang dikenal dalam mata rantai periwayatan dan hal itu adalah "Alif-lam". Karena itu, "Al" atau "Ahl" hanya terkait dengan keluarga langsung Nabi Saw yaitu Sayidah Fatimah, Ali, Hasan dan Husain. Beberapa orang berdalih bahwa Hasan dan Husain bukan merupakan putra Rasulullah Saw karena keduanya adalah putra Imam Ali dan bersambung garis keturunannya kepada Rasulullah Saw melalui bunda mereka, Sayidah Fatimah al-Zahra As.

Diriwayatkan bahwa Khalifah Abbasiyah, Harun Rasyid, bertanya kepada Imam Ketujuh Ahlulbait, Imam Musa bin Ja'far, bagaimana mungkin ia menyandarkan dirinya kepada Rasulullah Saw sementara ia adalah putra Ali dan Fatimah yang melahirkannya. Bagaimana mungkin ia memandang dirinya sebagai putra Rasulullah Saw? Imam Musa kemudian membacakan ayat berikut ini berkenaan dengan Nabi Ibrahim yang menyatakan, Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya„qub kepada Ibrahim. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebagian dari keturunan Nuh, yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun.Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, dan (begitu juga) Zakaria, Yahya, Isa, dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Al-An'am [6]:84-85)

Lalu Imam Musa bertanya kepada Harun Rasyid tentang siapa ayah Isa. Harun menjawab bahwa ia tidak memiliki ayah. Imam berkata, "Lalu engkau lihat bagaimana Allah menghubungkannya dengan Ibrahim melalui ibunya dan Allah melakukan hal yang sama bagi kami, menghubungkan kami kepada Rasulullah Saw melalui bunda kami Sayidah Fatimah al-Zahra."[37]

Dalam banyak kejadian, Rasulullah Saw mengekspresikan kecintaan dan kasihnya kepada Fatimah, seperti ketika beliau berkata, "Fatimah adalah dariku. Sukanya adalah sukaku dan dukanya adalah dukaku."

Ayat Mubâhalah

Barangsiapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya),“Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan dirimu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta (QS. Ali Imran [3]:61)

Tonggak peristiwa ini dalam sejarah Islam telah diriwayatkan oleh sejarawan, perawi dan penafsir Al-Quran. Peristiwa ini merupakan sebuah peristiwa yang mengungkapkan status tinggi Ahlulbait As. Riwayat-riwayat menyebutkan bahwa satu rombongan Kristen dari Najran datang ke kota Madinah untuk berjumpa dengan Rasulullah Saw guna membahas masalah kenabiannya dan agama baru yang dibawanya.

Rasulullah Saw menetapkan bahwa Isa adalah putra Maryam – seorang manusia, nabi dan seorang hamba Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran – dan memandangnya sebagai putra Tuhan adalah penghinaan karena Allah Swt adalah suci dari karakter-karakter manusia. Setelah mendiskusikan poin-poin ini dengan mantap dan meyakinkan, tatkala Nabi Saw mendapatkan mereka masih bersikeras untuk mempertahankan kepalsuan keyakinan dan kebiasaan mereka yaitu menuhankan Nabi Isa As – Allah Swt mewahyukan ayat ini yang merupakan tantangan besar kepada delegasi Kristen tersebut untuk berdoa dan meminta Allah Swt melaknat kelompok yang bersikeras kepada kepalsuan dan kebohongan.

Esok paginya, pada 24 Dzulhijjah, sesuai dengan titah Allah Swt, Rasulullah Saw tiba di tempat yang telah dijanjikan membawa Husain dalam gendongannya dan menuntun Hasan dengan tangannya, diikuti oleh putri kinasihnya, Fatimah Zahra, dan di belakangnya menantu dan sepupunya Ali bin Abi Thalib membawa panji Islam.

Melihat bahwa Nabi Saw datang hanya ditemani oleh keluarga terdekatnya, pendeta Kristen tersebut yakin bahwa Nabi Saw adalah benar; kalau tidak, ia tidak akan pernah berani membawa orang-orang yang dicintainya bersamanya. Delegasi Kristen mundur dari mubâhalah ini dan memutuskan untuk kembali ke Najran.

Kendati terdapat beberapa orang wanita dari keluarga Nabi Saw pada saat itu, seluruh penafsir, perawi dan sejarawan sepakat bahwa redaksi ayat Al-Quran, "wanita kami" hanya berkenaan dengan Sayidah Fatimah Zahra As, "anak-anak kami" terkait dengan Hasan dan Husain As dan "diri kami" bersangkutan dengan Nabi Saw dan Imam Ali As.

Zamakhsyari dalam Tafsir Al-Kasysyâf-nya, menuturkan peristiwa ini sebagai berikut.

"Tatkala ayat ini diwahyukan (diturunkan), Rasulullah Saw meminta kepada pendeta-pendeta Kristen tersebut ber-mubahalah untuk mengundang laknat Tuhan atas orang-orang yang berdusta. Orang-orang Kristen tersebut berdiskusi sesama mereka pada malam harinya yang pemimpin mereka, Abdul Masih, menyatakan pendapatnya sebagai berikut. Ia berkata, "Wahai orang-orang Kristen! Ketahuilah bahwa Muhammad adalah seorang nabi utusan Allah yang membawa pesan terakhir dari Tuhan kalian. Demi Tuhan! Tiada satu bangsa pun yang berani menantang seorang nabi untuk ber-mubahalah kecuali mereka celaka. Mereka tidak hanya akan binasa, namun anak-anak mereka juga akan tertimpa kutukan."

Setelah menyampaikan pandangannya – bahwa lebih baik berkompromi dengan Rasulullah Saw ketimbang menantang kebenaran yang ia bawa dan binasa – Abdul Masih menasihatkan kelompoknya untuk menghentikan permusuhan dan bertahan pada agama mereka dengan menyerahkan kepada Nabi Saw beberapa syarat. "Jadi, apabila kalian bersikeras (untuk berkonfrontasi), maka kita semua akan binasa. Namun jika kalian, untuk menjaga iman kalian, menolak (untuk berkonfrontasi) dan bertahan sebagaimana adanya kalian, maka buatlah perdamaian dengan orang ini (Rasulullah Saw) dan kembalilah ke negeri kalian."

Hari berikutnya, Rasulullah Saw, membawa Husain dalam gendongannya, menuntun Hasan dengan tangannya, diikuti oleh putrinya Sayidah Fatimah dan di belakangnya Ali bin Abi Thalib, memasuki tempat yang disepakati dan beliau terdengar berkata kepada keluarganya, "Ketika aku berdoa kepada Allah, doa kedua dari doa ini.

Pendeta Najran, tatkala melihat Nabi Saw dan Ahlulbaitnya, berkata kepada kaum Kristian, "Wahai kaum Kristen! Saya menyaksikan wajahnya yang apabila Tuhan menghendaki, demi mereka, Dia akan menggerakkan gunung untuk mereka. Jangan kalian terima tantangan mereka untuk ber-mubâhalah, lantaran apabila kalian melakukannya, kalian semua akan binasa dan tiada lagi akan tersisa orang-orang Kristen di muka bumi hingga hari Kiamat."[38]

Mendengarkan nasihat ini, kaum Kristen berkata kepada Rasulullah Saw, ―Wahai Abul Qasim! Kami putuskan untuk tidak ber-mubâhalah dengan Anda! Tetaplah Anda dengan agama Anda, dan kami akan tetap dengan agama kami." Rasulullah Saw berkata kepada mereka, "Jika kalian menolak untuk ber-mubâhalah, maka berserah dirilah kepada Allah, dan kalian akan menerima apa yang diterima kaum Muslimin dan menyumbangkan apa yang disumbangkan kaum Muslimin.

Delegasi Kristen berkata bahwa mereka tidak ingin berperang dengan kaum Muslimin, mereka mengusulkan sebuah fakta perjanjian untuk berdamai. Rasulullah Saw menerima usulan tersebut.

Ayat Shalawat

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya . (QS. Al-Ahzab [33]:56)

Selama menunaikan lima shalat wajib, selama menyatakan syahadat (testimony), mereka yang menunaikan shalatnya harus menyampaikan salam dan shalawat kepada Nabi Saw dan Ahlulbaitnya – sebuah terminologi yang terkhusus untuk Ali, Fatimah, Hasan, Husain beserta keturunannya yang suci. Penekanan atas keluarga Rasulullah Saw dalam shalawat merupakan indikasi lain atas peran sentral mereka setelah Nabi Muhammad Saw. Dengan meminta orang-orang beriman untuk memuji mereka, Allah Swt mengingatkan kaum Muslimin bahwa Dia telah memilih Ahlulbait untuk menjalankan peran sebagai pemimpin kaum Muslimin. Salah satu penafsir Al-Quran terkemuka, Fakhruddin Razi, menukil jawaban Rasulullah Saw tatkala ditanya oleh beberapa orang sahabat tentang bagaimana menyampakan shalawat kepadanya. Beliau berkata, "Katakanlah, Ya Allah, sampaikan salam dan shalawat kepada Muhammad sebagaimana Engkau menyampaikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Dan curahkan rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau curahkan rahmat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya pujian hanya untuk-Mu."[39]

Fakhrurrazi mengomentari bahwa jika Allah Swt dan para malaikat-Nya mengirimkan shalawat kepada Nabi Saw, lantas apa gunanya shalawat yang kita kirimkan? Ia menjawab pertanyaan retorisnya sendiri dengan berkata bahwa kita mengirim shalawat kepada Nabi Saw bukan karena beliau membutuhkannya karena beliau sendiri telah memiliki shalawat dan salam dari Allah Swt. Beliau bahkan tidak meminta shalawat dan salam dari para malaikat. Manakala kita mengirim shalawat kepadanya artinya kita mengirimkannya untuk memuji Allah dan juga menyampaikan rasa syukur kita kepada Allah Swt sehingga Dia mengasihi dan mengganjari perbuatan kita. Karena itu, Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang mengirimkan shalawat satu kali kepadaku, Allah akan mengirimkan sepuluh kali shalawat baginya."

Ayat lain dalam Al-Quran menegaskan ajaran yang sama tatkala Allah Swt menyampaikan shalawat-Nya kepada keluarga Nabi Saw (Ahlulbait) dengan berfirman, "Salam padamu wahai Keluarga Yasin."[40] Menurut sebagian penafsir Al-Quran, Yasin adalah salah satu nama Rasulullah Saw, sebagaimana disebutkan pada surah Yasin, ketika dialamatkan kepadanya: "Yasin, wal Quran al-hakim. Innnaka laminal mursalin."[41]

Ayat Ith'âm

Surah Al-Insan (76) dalam Al-Quran diturunkan untuk menghormati perbuatan suci yang dipraktikkan oleh Ahlulbait As. Allah Swt menggelari surah ini sebagai "al-Insan" untuk menarik perhatian manusia keindahan perbuatan manusia di muka bumi dan berfirman kepada mereka bahwa mereka tidak boleh bersikap mementingkah diri sendiri atau serakah namun memerintahkan mereka untuk peduli dan menjadi orang berpikir yang menghabiskan waktu mereka untuk memikirkan keadaan orang lain di sekeliling mereka. Permulaan surah ini ini dimulai dengan: Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum berbentuk sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur (dan) Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan (yang lurus) kepadanya; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir."

Perkenalan ini merupakan persiapan bagi kita untuk mengenal pengorbanan besar keluarga Nabi (Ahlulbait), Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan pelayan mereka, Fidhdhah yang dijelaskan pada ayat-ayat berikutnya, 5-13.

Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang telah dicampur dengan air kafur (yang semerbak mewangi), yang berasal dari mata air (di dalam surga) yang darinya hamba-hamba Allah minum, (dan) mereka dapat mengalirkannya dari manapun mereka kehendaki. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Mereka hanya berkata), “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih darimu. Sesungguhnya Kami takut kepada Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” Maka (karena keyakinan dan amal itu) Allah memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi balasan surga dan pakaian sutra kepada mereka karena kesabaran mereka, di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, sedang mereka tidak merasakan (teriknya) matahari dan tidak pula rasa dingin yang menyengat.

Para penafsir Al-Quran sepakat (ijma) bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang Ahlulbait dan kedudukan mereka pada puncak ketakwaan. Di samping itu, ayat-ayat ini juga memperkenalkan Ahlulbait sebagai model bagi kemanusiaan. Kemanusiaan akan terbimbing dengan baik dengan berbagai keteladanan mereka. Kejadian yang membuat turunnya ayat ini bermula tatkala Hasan dan Husain jatuh sakit, dan Hadhrat Fatimah Zahra bertanya kepada ayahandanya ihwal apa yang harus dilakukan. Rasulullah Saw menasihati mereka untuk bernazar bahwa jika Allah Swt memberikan kesembuhan kepada mereka, maka seluruh keluarga akan menunaikan puasa selama tiga hari. Hasan dan Husain sembuh dari sakit dan puasa pun mulai ditunaikan. Pada waktu itu, mereka tidak memiliki sesuatu apa pun untuk dimakan. Maka itu, Imam Ali As pergi menemui seorang Yahudi Khaibar bernama Simon dan meminjam tiga takaran gandum. Sang istri, Sayidah Fatimah menurunkan satu takaran gandum ke dalam adonan tepung dan membuatnya menjadi lima lembar roti untuk masing-masing dari mereka. Baginda Ali, Hadhrat Fatimah, kedua putra mereka beserta pembantu mereka, Fidhdhah, berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Pada hari pertama, pada waktu berbuka puasa, seorang miskin datang mengetuk pintu untuk meminta makanan. Mereka mengambil makanan yang tadinya mereka ingin santap – masing-masing lembaran roti – dan menyerahkan kepada orang miskin tadi. Pada hari kedua, tatkala mereka ingin berbuka, seorang yatim datang mengetuk pintu rumah. Dan mereka kembali menyerahkan seluruh makanan yang siap santap itu kepadanya. Sekali lagi, pada hari ketiga, sewaktu ingin berbuka puasa, seorang tawanan perang (yang telah ditangkap dalam membela Islam dan tinggal di Madinah) datang ke kediaman mereka dan meminta makanan; mereka mengambil seluruh lima lembar roti tersebut dan menyerahkan kepada orang itu. Mereka berbuka puasa selama tiga hari hanya dengan air.

Pada saat itu, Rasulullah Saw datang dan melihat putrinya Hadhrat Fatimah Zahra dan kedua putranya, Hasan dan Husain tampak pucat dan terlalu lemah untuk berkata-kata. Beliau melihat mereka badan mereka gemetaran karena lapar. Hadhrat Fatimah sendiri duduk dengan mata cekung di atas sajadahnya. Tatkala Rasulullah Saw bertanya gerangan apa sebabnya, Jibril datang kepada Rasulullah Saw dengan membawa surah al-Insan (76) dan bersabda, ―Wahai Muhammad! Allah Swt memberikan ucapan selamat atas pengorbanan keluargamu."[42]

Ayat-ayat ini tidak hanya menerjemahkan kepemurahan dan keteguhan Ahlulbait tapi juga mengungkapkan kepasrahan dan penyerahan diri secara total keluarga Rasulullah Saw, kesucian dan kekudusan pribadi mereka.

Ayat Wilâyah:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (QS. Al-Nisa [4]:59)

Ayat ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, berkenaan dengan wilayah Imam Ali bin Abi Thalib As dan sebagai ikutannya adalah Ahlulbait yang lainnya.

Rasulullah Saw bersabda tentang ulil amri (yang memiliki wilayah atas kalian), Mereka adalah khalifahku dan para pemimpin kaum Muslimin selepasku. Yang pertama dari mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan dan Husain, kemudian Ali bin Husain, lalu Muhammad bin Ali yang dikenal sebagai Al-Baqir, kemudian Ja'far bin Muhammad Al-Shadiq, kemudian Musa bin Ja'far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang menyandang namaku – Muhammad. Dia yang akan menjadi hujjah Allah di muka bumi.[43]

Hadis Tsaqalain

Rasulullah Saw bersabda, ―Boleh jadi saya akan segera dipanggil dan saya akan memenuhi panggilan itu. Oleh itu, saya tinggalkan setelahku dua pusaka berat (sangat berharga dan penting): Kitabullah (Al-Quran), yang merupakan tali yang terentang dari langit hingga bumi, dan Ahlulbaitku. Sesungguhnya Allah Swt telah mengabarkan kepadaku bahwa kedua pusaka ini tidak akan pernah berpisah antara satu dengan yang lain hingga keduanya menjumpaiku di Telaga Kautsar. Karena itu, berhati-hatilah bagaimana kalian memperlakukan keduanya selepasku."[44]

Hadis ini setidaknya dideklarasikan pada lima kesempatan – pertama pada pidato Hajjatul Wida, kedua di Ghadir Khum, ketiga setelah Nabi Saw meninggalkan kota Thaif dekat Mekkah, keempat di atas mimbar di Madinah, dan kelima – sebelum beliau wafat – di bilik beliau yang dipenuhi oleh para sahabat.

Mengingat sangat pentingnya peranan Al-Quran, mengapa Nabi Saw menisbatkan Ahlulbait As dengan Al-Quran dan menempatkannya sebagai pusaka penting setelah Al-Quran? Jawabannya adalah bahwa Ahlulbait As merupakan yang terbaik dalam menjelaskan makna dan penafsiran yang sebenarnya dari Al-Quran. Al-Quran, sebagaimana ia menyebutkan dirinya sendiri, mengandung ayat-ayat jelas (muhkam) dan tidak jelas (mutasyabihat). Dengan demikian, penafsiran dari ayat-ayat mutasyabihat ini harus dilakukan oleh Nabi Saw sendiri, sebagaimana beliau lakukan untuk Ahlulbaitnya. Di samping itu, karena kedekatan mereka kepada Rasulullah Saw, mereka memiliki pengetahuan yang tidak tertandingi terhadap sunnah Rasulullah Saw.

Riwayat yang sama dari Rasulullah Saw tentang Ahlulbaitnya, "Permisalan Ahlulbaitku adalah laksana bahtera Nuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang menolak menaikinya niscaya akan karam."[45] "Sebagaimana bintang-gemintang melindungi manusia dari kesesatan dalam perjalanan, demikian juga Ahlulbaitku. Mereka adalah penjaga terhadap pelbagai hal-hal ikhtilaf dalam agama."[46]

"Pengakuan terhadap keluarga Muhammad bermakna keselamatan dari api neraka. Kecintaan terhadap keluarga Muhammad merupakan tiket untuk melintasi jembatan shirath; ketaatan kepada keluarga Muhammad adalah pelindung dari kemurkaan Tuhan."[47]

Bagian 6

Kemaksuman

Mazhab Syiah meyakini bahwa seluruh nabi Allah semenjak Adam hingga Muhammad, demikian juga dua belas khalifah Rasulullah Saw dan putrinya Sayidah Fatimah Zahra As, adalah orang-orang maksum sepanjang perjalanan hidup mereka dan tidak pernah melakukan jenis dosa apa pun yang bisa mengundang kemurkaan Allah. Jalan yang paling terang untuk melihat permasalahan ini adalah menimbang bahwa orang-orang ini merupakan teladan-teladan yang diutus kepada manusia untuk diikuti, dan apabila mereka melakukan kesalahan, maka orang-orang berkewajiban untuk mengikuti mereka bahkan tatkala mereka melakukan kesalahan. Jika demikian halnya, maka para nabi dan rasul ini akan menjadi orang-orang yang tidak dapat dipercaya.

Kemaksuman bermakna perlindungan. Dalam terminologi Islam, ia bermakna anugerah spiritual yang diberikan Allah Swt kepada seseorang sehingga ia mampu menjauhkan dirinya dari dosa-dosa dengan kehendak dan pilihannya sendiri. Kekuatan kemaksuman atau keterjagaan dari perbuatan dosa tidak membuat seseorang tidak mampu melakukan dosa-dosa namun ia terjaga dari perbuatan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan dengan kekuasaan dan kebebasan yang dimilikinya. Kemaksuman sangat penting bagi para nabi dan rasul karena tugas mereka bukan hanya menyampaikan kitab-kitab suci Allah tetapi juga untuk memimpin dan membimbing manusia menuju jalan yang benar. Karena itu, mereka harus menjadi panutan dan teladan sempurna bagi umat manusia.

Baik Al-Quran dan kearifan umum menggambarkan hal ini bahwa: Al-Quran menyebutkan redaksi "ishmah" (kemaksuman) sebanyak tiga belas kali. Allah Swt berfirman kepada Iblis:Bahwa sesungguhnya engkau tidak akan dapat menguasai hamba-hamba-Ku, kecuali orang-orang sesat yang mengikutmu." (QS. Al-Hijr [15]:42). Dalam menjawab firman Allah Swt ini, Iblis menjawab,“Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya " kecuali hamba-hamba-Mu yang disucikan (dari dosa) di antara mereka.” (yakni, para rasul dan para imam) (QS. [38]:82)

Terdapat beberapa ayat dalam Al-Quran yang boleh jadi menandaskan bahwa beberapa orang nabi (seperti Adam, Musa, Yunus melakukan dosa. Terkait dengan Adam As, ia tidak mematuhi perintah wajib Allah Swt; perintah yang tidak ditunaikannya adalah perintah yang bersifat anjuran, bukan perintah yang bersifat harus dan wajib ditunaikan. Karena itu, menurut terminologi teknis Islam, ia tidak melakukan dosa.Dan sebelum ini sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Adam, tapi ia lupa (akan janji itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. (QS. Thaha [20]:115) Kesalahan Adam adalah ia tidak memiliki kemauan yang kuat, namun ia tidak melanggar perintah Allah Swt karena perintah tersebut adalah bersifat anjuran (advirsory) bukan kewajiban (obligatory). Sebagai hasil dari perbuatannya ini, ia kehilangan keistimewaan dan kenikmatan yang dianugerahkan kepadanya di dalam surga. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalam surga dan tidak akan telanjang.Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.”" (QS. Thaha [20]:118-119)

Ketika berbicara tentang ketidaktaatan Nabi Adam, Al-Quran tidak memaknai ketidaktaatan itu secara literal. Hal itu bermakna bahwa tidak diharapkan dari seorang seperti Nabi Adam yang merupakan seorang pemimpin bagi umat manusia untuk melanggar titah Allah Swt. Karena itu, tindakan yang dilakukan oleh Nabi Adam ini secara kiasan diartikan sebagai dosa dalam Al-Quran.

Terkait dengan Nabi Musa As, Al-Quran bertutur kata tentangnya,"Dan (menurut keyakinan mereka) aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku." (QS. Al-Syu‘araa [26]:14)

Tudingan ini datang tatkala ia mendorong seorang pria dan secara tidak sengaja membunuhnya. Kala itu, Nabi Musa As mencoba membela salah seorang dari sukunya dan tatkala ia mendorong orang dari kaum Fir'aun, kebetulan orang yang didorong itu adalah orang yang sangat lemah sehingga terjatuh dan mati seketika. Nabi Musa As tidak bermaksud untuk membunuhnya, namun ia melarikan diri dari tempat kejadian lantaran ia tidak ingin tertawan Fir'aun dan pasukannya yang mencarinya.

Ketika Nabi Musa As berbicara tentang "tuduhan kejahatan" yang dilontarkan terhadapnya, ia mengulang tuduhan-tuduhan Fir'aun yang masyarakat tidak meyakini tuduhan-tuduhan tersebut ada benarnya.

Kasus Nabi Yunus juga kurang lebih sama dengan kasus Nabi Musa As. Al-Quran menyatakan, Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi (dari tengah-tengah kaumnya) dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya). Maka (setelah berada di dalam perut ikan hiu) ia menyeru di dalam kegelapan yang gulita,“Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya [21]:87) Dalam hal ini, Nabi Yunus bermaksud bahwa ia melakukan kesalahan pada dirinya sendiri, tetapi melakukan kesalahan pada diri sendiri bukanlah sebuah dosa atau sebuah kesalahan. Ia telah melakukan "kesalahan pada dirinya" karena tidak bersabar dengan para pengikutnya dan meninggalkan mereka ketika mereka bersikukuh menolak seruan untuk menyembah Allah Swt dan mengolok-oloknya hingga ia meninggalkan kaumnya untuk menghadapi nasibnya sendiri.

Sebagian besar ayat-ayat Al-Quran yang boleh jadi menyinggung perbuatan dosa yang dilakukan Nabi Muhammad Saw maka hal itu terkait dengan urusan penafsiran Al-Quran. Tidak semua ayat Al-Quran yang dimaksud dapat dipahami secara harfiah dan literal. Makna yang dalam kebanyakan tertimbun dari bentuk lahir ayat-ayat ini. Hal ini dinyatakan dalam Al-Quran, Dialah yang menurunkan al-Kitab (Al-Quran) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamât, itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihât.Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah Dan orang-orang yang mendalam ilmunya (rasikhun fi al-Ilm) berkata. (Nabi Saw dan Ahlulbaitnya) (QS. Ali Imran [3]:7)

Terlebih, karakter dan penghormatan umum yang disandarkan kepada Nabi Saw menunjukkan bahwa tanpa ragu ia bukanlah salah seorang pendosa atau orang yang melakukan kesalahan.

Riwayat yang tidak senonoh dapat ditemukan pada beberapa kitab hadis terkait dengan kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh sebagian nabi Allah. Misalnya, Imam Bukhari meriwayatkan: Umar meminta izin dari Nabi Saw untuk mengunjunginya tatkala beberapa wanita Quraisy sedang sibuk bercakap-cakap dengan Nabi Saw dan meninggikan suara mereka melebihi suara Nabi Saw. Ketika Umar meminta izin, mereka berdiri dan segera lari bersembunyi di balik tirai. Rasulullah Saw memberikan izin kepadanya sembari tersenyum. Saat itu, Umar berkata, "Ya Rasulullah! Semoga Allah membahagiakanmu sepanjang hidupmu." Kemudian Rasulullah Saw bersabda, "Aku memperhatikan (dengan takjub) wanita-wanita yang bersamaku, dan tidak lama setelah mendengar suaramu mereka segera mengenakan hijab."[48]

Demikian pula, Imam Muslim menukil riwayat: "Abu Bakar datang menemuiku (Rasulullah Saw) dan di sampingku ada dua wanita dari kalangan wanita Anshar, dan mereka bernyanyi apa yang didendangkan oleh kaum Anshar sesama mereka pada peperangan Bua'ts. Tentu saja mereka bukan biduanita. Tatkala melihat ini, Abu Bakar berkata, "Apa! Alat setan dimainkan di kediaman Rasulullah Saw dan pada saat hari raya?" Mendengar ini, Rasulullah Saw berkata, "Abu Bakar, setiap orang punya hari raya. Dan hari ini adalah hari raya kita (Jadi, biarkan mereka memainkan alat musik itu)."[49]

Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah Saw dilihat kencing berdiri di hadapan orang-orang.[50]

Jelaslah, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Khalifah Pertama dan Kedua berserta orang-orang awam akan memandang bahwa hal-hal yang tidak islami tidak akan dipraktikkan Nabi Saw terang-terangan. Tidak ada seorang Muslim pun akan menerima perilaku dari seorang pemimpin kemanusiaan yang dijadikan sebagai panutan dan teladan oleh Al-Quran dan Al-Quran menitahkan kita untuk mengikutinya dari segala aspek.

Dalam kitab-kitab hadis, terdapat riwayat-riwayat yang tidak berdasar lainnya yang bertentangan dengan hikmah dan akal sehat.

Terdapat riwayat yang serupa dengan riwayat di atas berkenaan dengan nabi-nabi Allah lainnya. Sebagai contoh, Malaikat Maut datang kepada Musa dan berkata, "Penuhilah seruan Allah (bersiap-siaplah untuk mati). Musa menghajar mata Malaikat Maut dan membuatnya terjatuh. Malaikat Maut kembali kepada Allah dan berkata, "Engkau mengutusku kepada hamba-Mu yang tidak ingin mati dan ia menghajar mataku. Allah kemudian menyembuhkan matanya.[51]

Seorang Muslim biadab yang menyerang seseorang yang menjalankan tugas kesehariannya akan disebut sebagai penganiaya dan penyerang, dia akan dihukum atas perbuatannya ini. Perbuatan tidak senonoh ini sama sekali tidak dapat diterima jika orang tersebut adalah salah seorang lima besar nabi Allah yang diutus untuk memberikan petunjuk, memberikan pencerahan dan mendidik manusia dengan teladan-teladan yang baik dan akhlak karimah. Mengapa seseorang seperti Nabi Musa menyerang Malaikat Maut yang datang kepadanya untuk membawanya lebih dekat kepada Allah Swt? Riwayat-riwayat semacam ini sama sekali tidak dapat diterima. Seorang Muslim yang bijak harus membuka matanya dalam mencermati kisah-kisah seperti ini dalam kitab-kitab hadis yang sama sekali tidak sejalan dan selaras dengan ajaran-ajaran Al-Quran .[]


3

4

5

6

7