• Mulai
  • Sebelumnya
  • 20 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 5045 / Download: 2638
Ukuran Ukuran Ukuran
Agama dan Keluarga yang Sehat

Agama dan Keluarga yang Sehat

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Agama dan Keluarga Yang Sehat

Pengantar

Manusia adalah makhluk yang secara tabiat mencari kesempurnaan dan tujuan. Ia tidak puas dengan rutinitas kehidupan yang dijalaninya dan selalu menjauhi stagnansi. Karena itu, ia bisa menikmati hidup, ketika mampu memahami dengan benar tujuan keberadaannya di dunia ini. Dapat dikatakan bahwa di dunia saat ini ketidakpuasan yang dialami manusia bukan karena minimnya tingkat kesejahteraan mereka. Dengan kata lain, manusia yang hidup sederhana bahkan hidup dalam kondisi sulit sekalipun, bisa hidup bahagia ketika mampu memaknai kehidupannya dengan benar.

Kehidupan terbaik bisa didapatkan dalam lingkungan keluarga. Laki-laki dan perempuan, sebagai manifestasi dari penciptaan Allah Swt, menjejakkan kaki di bumi ini untuk bersama-sama memberi makna bagi kehidupan. Dari kehidupan bersama tersebut, lahir ketentraman dan kasih sayang yang menghantarkan manusia meniti jalan kesempurnaan secara lebih baik. Dengan dasar inilah, Allah swt dalam al-Quran al-Karim surat ar-Ruum ayat 21, menyebut salah satu tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan adalah untuk mencapai ketentraman dan kasih sayang.

Sejak permulaan manusia hadir di alam dunia dan lahirnya ikatan pertama kehidupan, nampak bahwa manusia tumbuh dari lingkungan yang aman bernama keluarga. Kedatangan nabi Adam as dan Hawa as ke bumi sebagai keluarga pertama, menunjukkan bahwa manusia senantiasa memerlukan pasangan dalam mengarungi kehidupan menuju kesempurnaan. Sejak awal penciptaan, manusia telah menyadari secara fitrah bahwa kelanggengan kehidupan, keberlanjutan keturunan, serta kesempurnaan spiritual, material, fisik dan maupun mental, semuanya bergantung pada keluarga. Dalam lingkungan keluargalah kita menikmati kelembutan kasih sayang ibu dan kehangatan pelukan ayah.

Keluarga senantiasa menjadi perhatian agama-agama langit dan berbagai aliran pemikiran, karena peran vitalnya dalam kehidupan manusia. Keluarga merupakan lingkungan yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan material dan spiritual manusia. Saat ini, krisis identitas di dalam keluarga menjadi salah satu ancaman terbesar bagi masyarakat modern. Meningkatnya angka konflik dalam keluarga, perceraian, dan kian bertambahnya anak-anak tanpa pengasuh menunjukan krisis fundamental pada masyarakat modern.

Fenomena kemerosotan moral dan pengabaian sisi spiritual di tengah masyarakat, mengancam tatanan kehidupan sosial, dan korban terbesarnya adalah keluarga. Munculnya berbagai kekacauan saat ini, memicu kehawatiran berbagai kalangan. Para pemikir, psikolog, sosiolog dan pakar hukum memandang penyelesaian krisis ini erat kaitannya dengan masalah keluarga. Mereka mengajukan berbagai alternatif mengatasi krisis tersebut. Bagaimana pun, hal ini menunjukan bahwa keluarga memerlukan berbagai bimbingan, wejangan, pendidikan dan pengarahan dalam menghadapi liku-liku kehidupan.

Sebagian pakar meyakini bahwa sepanjang manusia yang telah maju secara sains mencampakkan keimanan dan moral, lalu dengan mengatasnamakan kemajuan meninggalkan tuntunan agama, maka cinta sejati dan kebahagiaan tidak akan pernah ada dalam keluarga. Selama orang mengingkari perbedaan natural antara pria dan wanita, maka selalu saja ada penistaam hak kedua jenis gender ini. Sebab, ketidaktahuan akan kebutuhan asasi masing-masing gender, menjadi kendala utama bagi keluarga untuk bisa sampai ke tujuan pembentukannya. Ketimpangan-ketimpangan yang ada di zaman modern ini adalah buah getir dari kekeliruan peran dan pembagian tugas yang tidak logis antara laki-laki dan perempuan.

Dengan memandang pentingnya pembahasan keluarga di era modern, kami berupaya mempersembahkan rangkaian tulisan spesial tentang kedudukan keluarga dan urgensi pernikahan serta mengupas berbagai patologi hubungan keluarga dengan berporos pada ajaran agama. Dalam rangkaian tulisan ini, kami akan menyajikan pembahasan psikologis dan teori-teori aplikatif dalam ajaran Islam. Juga akan dikupas ajaran Islam tentang bagaimana hubungan yang seharusnya antara anggota keluarga dan hak serta tanggung jawab masing-masing. Semoga dengan acara ini, para pendengar yang budiman bisa mengenal karakteristik keluarga bahagia beserta cara untuk membentuk keluarga idaman.

Kini, manusia yang berada dalam bayangan sains dan eksperimen, sampai pada sebuah hakikat bahwa pilar identitas setiap manusia dibentuk oleh faktor keturunan, pendidikan dan budaya.

Kesejahteraan sebuah masyarakat tergantung pada kondisi keluarga di masyarakat tersebut. Keluarga adalah kelompok masyarakat kecil yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Keanggotaan dalam keluarga adalah hubungan hati antar sesama dan merasa sebagai bagian dari kelompok sosial yang kecil ini.

Keluarga dari kaca mata ini begitu urgen, karena menjadi tempat untuk berbagi tradisi, keyakinan dan pengetahuan. Mulai dari cara makan hingga masalah sosial, politik dan budaya, semuanya bisa terbentuk dalam keluarga. Keluarga menjadi media untuk memindahkan warisan budaya dan pengalaman dari generasi lampau ke generasi baru. Dari sini, keluarga merupakan elemen yang berpengaruh bagi kehidupan sosial manusia.

Menurut para pakar sosiologi, keluarga adalah himpunan beberapa orang yang terikat karena hubungan darah, perkawinan atau pengangkatan anak dan hidup bersama dalam jangka waktu yang panjang dan tidak ditentukan. Keluarga merupakan tempat pertama lahirnya emosi kemanusiaan dan tempat menjalin hubungan cinta dan kasih sayang yang terdalam antar anggotanya.

Keutuhan Institusi Keluarga

Sejak manusia menjejakkan kaki di bumi, kaum pria dan wanita menghabiskan hidup ‎ mereka secara berdampingan dengan membentuk keluarga dan membesarkan anak- ‎ anak mereka dalam dekapan hangat kasih sayang. Keluarga menemukan bentuk ‎ alamiah dan idealnya ketika tidak ada satupun hal yang dapat memisahkan hubungan ‎ antara mereka. Orang-orang saleh khususnya Nabi Saw berupaya keras untuk ‎ institusi yang memberikan kebahagiaan ini. ‎

Keluarga adalah sebuah kata yang sarat makna, saat kita menyelami kata ini, luapan ‎ rasa dan gelombang kasih sayang bangkit dalam diri kita. Keluarga adalah tempat ‎ yang teduh dan damai, ia juga basis sosial pertama dan vital dalam setiap masyarakat. ‎ Keluarga terbentuk tatkala sepasang pria dan wanita yang sudah memasuki usia balig ‎ sepakat menjalin ikatan suci melalui aturan dan hukum yang berlaku. ‎

Para pakar masalah keluarga berkeyakinan bahwa masyarakat mana pun tidak dapat ‎ mengklaim diri memiliki kesehatan moral dan sosial kecuali jika masyarakat itu ‎ memiliki tatanan keluarga yang stabil. Pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki ‎ oleh setiap anggota keluarga akan menciptakan stabilitas dan kekuatan kasih sayang ‎ di dalamnya. Tak diragukan lagi, keluarga-keluarga yang goyah dan lemah juga akan ‎ menggoncang sendi-sendi masyarakat. Di dalam masyarakat seperti ini, angka ‎ perceraian semakin meningkat dari hari ke hari dan berdampak pada runtuhnya pilar- ‎ pilar rumah tangga. ‎

Para peneliti dan pakar masalah keluarga menjelaskan tugas apa saja yang dimiliki ‎ oleh sebuah keluarga, antara lain; mewujudkan ketenteraman psikis, menjalin ‎ hubungan kekeluargaan, menciptakan jalinan kasih antar anggota keluarga, juga ‎ mewujudkan pemahaman anggota keluarga akan hak dan tanggungjawab individu ‎ dan sosial. Ackerman seorang peneliti Amerika memperkenalkan keluarga sebagai ‎ sebuah institusi kasih sayang-sosial yang merupakan tempat berkembang dan ‎ tumbuhnya seseorang. Setiap orang akan merasa menjadi bagian dari keluarganya. ‎

Dalam perspektif Islam, keluarga adalah sebuah komunitas yang terdiri dari beberapa ‎ individu yang memiliki status sipil dan hukum yang terjalin lewat ikatan perkawinan. ‎ Setelah menikah, masing-masing pihak memiliki tugas dan hak-hak baru, dan di ‎ antara mereka juga akan terbentuk hubungan moral, kasih sayang, dan pranata baru. ‎

Sekilas tampak bahwa unsur dasar pembentuk keluarga adalah keberadaan ‎ sepasang pria dan wanita, dan sesuai adat dan kebiasaan sosialnya satu sama lain ‎ sepakat untuk membentuk ikatan perkawinan yang nantinya hubungan itu akan ‎ menghadirkan anak di tengah mereka. Akan tetapi, pandangan luar ini tidak cukup. ‎ Sebab ada pertanyaan yang lebih mendasar yaitu mengapa pria dan wanita ingin ‎ hidup berdampingan? Bukankah ini tuntutan fitrah dan kebutuhan alamiah manusia? ‎

Perkawinan terjalin lewat berbagai macam motivasi dan dorongan. Ada yang ‎ menjalinnya karena motif ekonomi, sebagai contoh; ada keluarga yang mengawinkan ‎ anak gadisnya dengan pria kaya demi memperoleh hartanya. Demikian juga dengan ‎ kaum pria yang memilih menikah dengan perempuan kaya atau anak orang kaya demi ‎ hartanya. Sebagian perkawinan juga terjalin karena pengaruh dan kedudukan sosial ‎ atau politik. Keluarga-keluarga berpengaruh dan memiliki kedudukan sosial berusaha ‎ mengawinkan anak-anak mereka semata-mata untuk memperkuat pengaruh dan ‎ kedudukannya. Kecantikan juga motif lain dalam membentuk mahligai rumah tangga. ‎ Ada orang yang melihat kecantikan sebagai faktor penentu dalam perkawinan, tanpa ‎ mengindahkan nilai-nilai etika dan insani. ‎

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa perkawinan yang dibangun atas dasar ‎ materi, kecantikan, dan kedudukan hanya menghasilkan sebuah keluarga yang ‎ menjadi ajang bagi masing-masing pihak untuk memanfaatkan harta, kecantikan, dan ‎ kedudukan pasangannya. Sebab, filosofi perkawinan dalam rumah tangga ini ‎ dibangun atas dasar-dasar lahiriah dan materi, sehingga keberlangsungannya juga ‎ sangat bergantung pada faktor-faktor ini. ‎

Kehidupan berumah tangga akan memudar seiring dengan hilangnya salah satu dari ‎ faktor ini. Jika kita menyelami ajaran agama, kita temukan bahwa keluarga agamis ‎ memiliki identitas yang dibangun atas dasar cinta, kasih sayang, dan saling pengertian. ‎ Dengan model ini, manusia dapat sampai pada pemenuhan kebutuhannya, antara lain; ‎ kasih sayang, materi, dan spiritualitas. Islam tidak menentang suami-istri ‎ menggunakan harta, kedudukan, dan kecantikan pasangannya. Akan tetapi, agama ‎ mengingatkan bahwa urusan materi jangan dijadikan landasan dalam membangun ‎ keluarga. ‎

Berdasarkan ajaran al-Quran, memilih pasangan hidup berkaitan erat dengan fitrah ‎ manusia. Baik pria maupun wanita selama tidak menginginkan kebersamaan, tidak ‎ saling cinta dan mengerti, maka selama itu mereka tidak akan sempurna, karena laki- ‎ laki dan perempuan adalah dua jenis yang saling melengkapi. Memenuhi kebutuhan ‎ materi dan biologis semata tidak akan mengantarkan mereka kepada kesempurnaan. ‎ Kelahiran keturunan semata juga tidak akan membahagiakan kehidupan keluarga. ‎

Allah Swt pencipta alam semesta telah menciptakan pria dan wanita dimana ‎ kebutuhan spiritual dan material akan terpenuhi saat mereka berdampingan. Karena ‎ dalam diri manusia terdapat benih-benih kasih sayang dan rahmat, dan lingkungan ‎ keluarga sebagai tempat untuk merealisasikannya. Allah Swt dalam al-Quran al-Karim ‎ surat ar-Ruum ayat 21 berfirman: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia ‎ menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan ‎ merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. ‎ Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum ‎ yang berfikir." ‎

Ketika rasa saling memerlukan dan saling memahami sampai pada tingkatan yang ‎ menghanyutkan mereka ke dalam suka dan duka bersama, kehidupan juga terasa ‎ hampa dan dingin tanpa kehadiran salah satu dari mereka. Inilah rasa cinta dan kasih ‎ sayang yang ditekankan oleh al-Quran. Pria dan wanita saling membutuhkan. ‎ Ketenteraman akan terwujud saat mereka saling berjumpa. Kebutuhan biologis dan ‎ kebutuhan lainnya penting untuk dipenuhi dalam kehidupan keluarga. Akan tetapi, hal ‎ ini tidak cukup untuk kelangsungan sebuah keluarga. Hal lain yang tak kalah ‎ pentingnya dalam mahligai rumah tangga adalah rasa cinta dan kasih sayang antara ‎ suami dan istri hingga tercipta ketenteraman jiwa sebagaimana dilukiskan al-Quran. ‎ Jika bukan demikian, maka tidak ada alasan bagi laki-laki dan perempuan itu untuk ‎ menerima tanggungjawab besar hidup bersama. ‎

Jika rumah tangga dibangun hanya atas dasar dorongan seksual dan kebutuhan ‎ biologis semata, dan antara mereka tidak ada sikap saling mengerti kebutuhan jiwa ‎ dan psikis pasangannya, rasa dahaga akan kasih sayang yang dirasakan oleh jiwa ‎ keduanya tidak akan terpuaskan. Dalam hal ini yang terlihat hanya kehampaan dan ‎ kegagalan. Rumah tangga yang selain memenuhi kebutuhan biologis juga ‎ memberikan kehangatan kasih sayang, maka keakraban di tengah mereka akan ‎ nampak. Mereka akan merasa terikat satu sama lain. Di sini, manusia dengan ‎ terilhami oleh ajaran-ajaran agama dapat memahami realita bahwa keluarga adalah ‎ tempat untuk mengisi kekosongan ruh dan jiwa suami-isteri.

Pembentukan Keluarga

Seluruh makhluk hidup sejak kelahiran hingga kematiannya melalui berbagai fase kehidupan. Manusia juga tidak keluar dari kaidah universal tersebut. Manusia adalah makhluk yang terus berubah. Sebagaimana pengetahuan manusia kian meningkat melalui pengajaran, kebutuhan dan kemampuannya juga mengalami perubahan. Salah satu kebutuhan penting manusia adalah kebutuhan untuk memiliki pendamping hidup.

Pria dan wanita, memiliki identitas yang sama dalam penciptaannya. Sedangkan dari sisi psikis dan gender, keduanya berbeda. Meskipun demikian, hal ini tidak bermakna adanya kekurangan pada satu pihak dan kesempurnaan pada pihak yang lain. Justru, perbedaan antara pria dan wanita membantu perputaran roda sosial dalam membentuk keseimbangan yang diharapkan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut menyebabkan keduanya memiliki kecenderungan satu sama lain, dan hal inilah yang menjadi jalan bagi keduanya untuk memenuhi kebutuhan masing-masing.

Pesan dari penciptaan adalah bahwa keistimewaan alamiah pria dan wanita tidak menunjukan kelebihannya atas jenis gender yang lain, dan keistimewaan itu uga tidak meniscayakan kekurangan pada gender lain. Pria dan wanita memiliki identitas kemanusiaan yang mandiri. Namun dalam lingkungan keluarga, masing-masing memiliki tugas dan peran tersendiri. Dalam kehidupan bersama, masing-masing pihak harus menghormati identitas kemanusiaan pihak lain. Selain itu, keduanya harus memahami perbedaan natural gender dan psikis pihak lain. Dalam hal ini, masing-masing menerima kedudukannya sebagai istri maupun suami dan tidak berkeinginan duduk di posisi pasangannya.

Seorang psikoanalis kelahiran Jerman, Erich Fromm, setelah mengkaji perbedaan dunia wanita dan pria mengatakan, "Wanita dan pria bisa saling memahami dan saling menyempurnakan, namun tidak pernah bisa serupa. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam diri keduanya."

Pernikahan merupakan momentum penting dan menentukan dalam kehidupan setiap orang. Membangun keluarga di lihat dari sisi fitrah, naluri ataupun agama dan sosiologi pun termasuk hal yang vital dalam kehidupan manusia. Para pakar pendidikan dan sosiolog menyakini bahwa kesehatan dan kebahagiaan masyarakat tergantung pada pernikahan yang benar dan pengawasan untuk menjaga kelestariannya. Dengan dasar tersebut, maka pernikahan harus dibangun di atas fondasi dan prinsip yang benar untuk membentuk keluarga dan masyarakat dan sehat.

Pernikahan tanpa tujuan dan pertimbangan, seperti mendirikan fondasi bangunan di atas tanah yang rapuh. Tentu saja, pernikahan seperti itu tidak bisa menjadi tempat yang meyakinkan bagi kehidupan. Pada dekade akhir, berbagai isu seperti hubungan suami istri, kepuasan masing-masing pihak terhadap pasangannya dan pengaruhnya bagi keselamatan keluarga telah menjadi perhatian para pakar dan peneliti. Hingga kini, kajian tentang variabel positif dalam pernikahan dan peningkatan kualitasnya menjadi fokus pembahasan psikologi pernikahan. Berkaitan dengan ini, peran berbagai variabel budaya dan ekonomi dalam pernikahan menjadi perhatian seperti halnya masalah kejiwaan dan psikis.

Kini, muncul pertanyaan mengapa pernikahan dipandang begitu urgen? Apakah hal ini pernah terlintas di benak Anda? Dengan sedikit merenungkan masalah ini, kita memahami bahwa pernikahan pada tingkat pertama memenuhi sebuah kebutuhan natural dan naluri melalui jalan yang benar dan sesuai syariat. Dorongan kebutuhan tersebut laksana air bah, jika tidak disalurkan pada waktunya dan di jalan yang benar, bisa menjadi banjir bandang yang memporak-porandakan segalanya. Tidak hanya mempengaruhi jasmani, bahkan mengoncangkan kondisi kejiwaan, psikis dan jati diri manusia.

Dalam logika al-Quran, pernikahan adalah jalan terpercaya bagi berbagai hubungan dan permulaan kehidupan yang dipenuhi kasih sayang dan kesucian. Kecenderungan pria kepada wanita bersumber dari kasih sayang yang dianugerahkan Allah kepadanya dan kasih sayang ini melampaui dorongan naluri. Pernikahan mengarahkan gelombang hasrat pemuda yang bergejolak berlabuh di pantai yang teduh, aman dan tentram. Hal ini menyebabkan pria dan wanita menjalani hidup bersama dengan keceriaan jiwa dan psikis.

Seorang psikolog dan peneliti Iran, Dr. Gholam-ali Afruz dalam bukunya "Wanita-wanita terbaik" menulis, "Tidak diragukan lagi, pada umumnya pertikaian keluarga, ketidakperdulian, broken home dan berbagai pandangan negatif lainnya timbul karena tiadanya ketentraman jiwa di dalam keluarga dan tidak terjaminnya kebutuhan emosi dan psikis anggotanya. Dengan kata lain, kemiskinan emosi merupakan penyebab utama dari tragedi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, istri-istri terbaik adalah orang yang tentram dalam kehidupan keluarganya dan kehadiran dirinya menjadi sumber rahmat dan kasih sayang yang paling bernilai. Dalam hal ini, peran terbesar wanita adalah memperhatikan keberadaannya sebagai sosok penentram dan penebar kasih".

Para psikolog meyakini bahwa pernikahan memberikan ketentraman bagi jiwa pemuda yang bergejolak. Dengan ketentraman tersebut, para pemuda bisa meraih tujuan tertingginya. Karena dengan keamanan yang dihasilkan dari pernikahan, manusia mencapai keseimbangan kejiwaan dan psikis dalam dirinya. Keseimbangan ini mendorong manusia menuju aktivitas yang membangun. Namun, hal ini terwujud ketika pernikahan berlangsung sukses dan benar dalam memilih pasangan.

Psikolog Iran, Dr. Navabinejad mengatakan, "Setelah gadis dan jejaka melalui usia baligh dan masuk ke usia mudanya, berusaha mencapai kemandirian pemikiran. Untuk menutupi kekurangan dan memenuhi berbagai kebutuhannya, mereka memiliki kecenderungan untuk menikah hingga dengan memilih pasangan hidup yang layak, mereka bisa hidup mandiri dan mengembangkan kesempurnaan dirinya. Ketika seseorang berada di tengah kehidupan rumah tangga di bawah naungan cinta dan kemesraan, ia akan lebih merasa bertanggungjawab. Ia melihat kehidupannya lebih bermakna dan dengan bekerja berupaya memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya.

Dengan demikian, salah satu alasan dari urgensi pernikahan adalah kecenderungan untuk berkembang dan menjadi sempurna. Setelah melewati masa kanak-kanak dan mencapai usia dewasa, manusia memerlukan identitas baru yang terbentuk melalui pernikahan dan memilih pasangan. Pernikahan memunculkan perasaan kemandirian dan kedewasaan dalam diri seseorang. Maka orang yang telah menikah, terus berusaha menjalankan perannya lebih baik sebagai suami maupun istri. Melalui pernikahan, gadis dan jejaka mengakhiri kesibukan masa lajangnya dan dalam kondisi yang baru, berusaha mendapatkan pengalaman baru.

Urgensi lain dari pernikahan adalah melindungi kesucian. Pernikahan dan berdirinya pranata keluarga, memberikan kontribusi besar terhadap kesehatan dan keamanan masyarakat. Dengan demikian, pernikahan mampu menurunkan tingkat kriminalitas dan kerusakan sosial. Dalam sebuah riset lapangan yang dilakukan terhadap 500 orang pemuda Inggris, dilaporkan bahwa tingkat kejahatan di kalangan pemuda yang telah menikah dan berkeluarga lebih rendah. Tampaknya, dengan dasar itulah ajaran moral Islam menegaskan pentingnya pernikahan. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, pernikahan menyempurnakan setengah dari agama seseorang.

Keberlanjutan keturunan adalah motivasi lain dari urgensi pernikahan di lingkungan masyarakat. Pada umumnya manusia menyukai keturunannya tetap berlanjut. Bahkan, motivasi ini yang lebih kuat tertancap dalam diri wanita. Barangkali, karena adanya perasaan keibuan pada dirinya. Hubungan afeksi antara orang tua dan anak-anak memberikan ketentraman dan kebahagiaan bagi jiwa dan psikis manusia. Hubungan emosi tersebut terbentuk melalui pernikahan dan membentuk keluarga.

Cinta Saja Tak Cukup

Sebagaimana telah diketahui, keberlangsungan sebuah keluarga sangat bergantung pada beberapa faktor dan sebab. Untuk mewujudkan keluarga yang langgeng, kriteria apa saja yang diperlukan dalam memilih pasangan hidup? Keluarga sakinah ibarat sebuah taman yang penuh bunga, dan dengan memilih pasangan yang tepat kunci taman impian ada di tangan Anda. Akan tetapi, taman impian ini memerlukan perhatian dan perawatan ekstra agar ia selalu nampak cerah dan segar.

Sejauh ini, pernahkan Anda bertanya pada diri sendiri mengapa sebagian pasangan hidup mesra dan sehati? Atau kenapa sebagian pasangan setelah berumah tangga harus mengakhirinya dengan perceraian?

Sebelum kita mengkaji kriteria-kriteria dalam sebuah perkawinan, ada baiknya kita mengulas seputar cinta dan kasih sayang yang merupakan syarat utama bagi hidup berumahtangga.

Sepasang pengantin baru yang mengawali kehidupan bersama dengan penuh cinta dan kasih sayang, mungkin setelah melangsungkan pernikahan sama sekali tidak berpikir akan ada masalah dan kesulitan di antara mereka. Mereka berpikir karena saling mencinta, selamanya mereka akan hidup damai dan rukun. Akan tetapi realita berkata sebaliknya. Setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, mereka baru sadar ada jurang pemisah di antara keduanya. Akibatnya, perselisihan dan adu mulut merebak di tengah mereka. Akhirnya rasa saling cinta mulai terkikis. Mereka mulai sadar bahwa selama ini mereka belum memiliki pemahaman yang benar tentang kehidupan, dan membangun rumah tangga atas dasar gambaran yang keliru. Sang isteri mungkin merasa bahwa selama ini sang suami telah menipunya sedang tampil berbeda dengan kepribadiannya yang sesungguhnya.

Kebanyakan orang, khususnya anak muda beranggapan bahwa saat cinta datang menyapa, berarti pintu untuk berumah tangga telah terbuka. Padahal, para pakar ilmu pendidikan keluarga, psikolog, dan antropolog berkeyakinan bahwa cinta semata tidak cukup menjadi jaminan untuk membentuk keluarga yang bahagia. Cinta adalah rasa indah dan menyenangkan yang ada pada manusia. Perasaan adalah warna kehidupan manusia, dan rasa senang akan menghiasi kehidupan dan membuatnya indah. Cinta adalah kecenderungan dan rasa memiliki seseorang kepada orang lain dirasakan dalam dirinya. Akan tetapi, rasa cinta ini perlu dilengkapi dengan kriteria-kriteri khusus. Adanya kriteria tersebut, akan mengurangi masalah dan kemelut dalam kehidupan bersama.

Dr. Kahari seorang psikolog Iran mengulas kriteria-kriteria cinta sejati dalam kehidupan bersama, ia berpendapat; "Salah satu bagian penting dari cinta adalah memahami kebutuhan, kecenderungan, dan perasaan pasangan. Pasangan suami-isteri harus mengetahui kecenderungan dan perasaan masing-masing, dan harus saling membantu untuk mencapai keinginan-keinginan yang wajar, bukan malah menjadi penghalang bagi pasangannya. Hal lain yang tak kalah penting adalah rasa saling hormat. Saat sepasang suami-isteri sudah saling cinta, mereka akan saling menghormati dan menghargai. Tentu saja pengkhianatan, amarah, tuduhan, dan cacian adalah tanda-tanda cinta semu di antara suami-isteri".

Dr. Kahari juga berkeyakinan bahwa rasa tanggungjawab dan saling perhatian adalah kriteria lain dari cinta sejati. Ia mengatakan; "Rasa tanggung jawab dalam kehidupan, masa depan dan kesehatan jasmani dan rohani pasangan adalah ciri-ciri cinta sejati. Jika yang terjadi sebaliknya, maka hubungan suami-isteri mengalami masalah. Sangat disayangkan dalam banyak kesempatan bahwa apa yang dinamakan cinta tidak lebih dari ketergantungan mental dan kecenderungan kepada penghibur. Oleh karena itu, dalam menjalin hubungan asmara dengan calon pasangan hidup kriteria dan ciri-ciri tertentu perlu diperhatikan."

Perkawinan adalah sebuah keputusan penting dalam kehidupan, sementara keputusan dilandasi oleh akal dan rasio. Sepanjang waktu, perasaan mengalami pasang surut dan cinta lahiriyah juga berubah seiring dengan perjalanan waktu. Oleh karena itu, keputusan penting semisal perkawinan harus disikapi dengan akal sehat dan pemikiran yang matang, jangan sampai perasaan dan rasa kagum menguasai seseorang hingga mengalahkan akal sehatnya.

Coba Anda bayangkan Anda mendatangi sebuah toko untuk membeli pakaian. Apakah Anda akan memilih pakaian dengan corak dan harga asal jadi? Bagaimana jika Anda harus membeli buku atau bepergian? Apakah Anda akan memilih karena rasa suka atau tidak suka semata? Tentu saja tidak demikian.

Jika Anda teliti melihat, Anda akan mengerti bahwa dalam banyak kesempatan bahkan dalam hal kecil sekalipun, Anda memutuskan karena pertimbangan akal sehat. Walaupun sekilas terlihat karena rasa suka akan sebuah pakaian, tapi ada hal-hal lain yang menjadi perhatian Anda seperti ukuran, kecocokan, harga, corak dan lainnya. Keharusan dalam perkawinan adalah seseorang dengan sadar memilih orang lain yang memiliki banyak keselarasan dengannya untuk hidup bersama. Akan tetapi, tidak seorang pun menyandang semua kriteria yang diinginkan pasangannya. Meski demikian, ada beberapa kriteria utama yang perlu diperhatikan.

Poin lain yang perlu diperhatikan adalah mengambil keputusan rasional dalam perkawinan bukan berarti mengesampingkan perasaan dan cinta. Tentu saja jika cinta dan kasih sayang hadir dalam kehidupan bersama, hubungan suami-isteri akan lebih indah dan hangat. Alangkah baiknya jika rasa dan cinta dibangun atas pondasi yang kokoh.

Rasulullah Saw bersabda, "Setelah nikmat Islam, kenikmatan terbesar dalam kehidupan adalah memiliki isteri yang salehah".

Tentu saja untuk sampai pada anugerah Allah ini perlu memperhatikan kritera yang benar dan tepat. Para psikolog berkata: "Dalam ranah perkawinan, terkadang orang mengalami goncangan hebat dalam menentukan kriteria pasangan hidupnya. Hasrat dan keinginan seksual, kecantikan, status sosial dan keyakinan, dan juga pendapat orang sekitar adalah sekelumit masalah yang membebani psikis seseorang".

Psikilog Iran bernama dr. Navabi Nejad mengatakan, "Jika seorang pria dan wanita dari sisi psikologis dan kultur memiliki kedekatan satu sama lain, maka kehidupan rumah tangga mereka akan lebih langgeng. Kriteria-kriteria ini dalam Islam dikenal dengan sebutan "Prinsip Kesetaraan" yang dapat diterapkan dalam berbagai dimensi seperti; usia, kejiwaan, kultur, keyakinan, status sosial, dan ekonomi".

Masalah pertama yang menjadi perhatian dalam perkawinan adalah kesehatan rohani dan jasmani. Demikian juga dengan keterpautan usia antara pria dan wanita. Jelas bahwa kecocokan usia antara pria dan wanita sangat berperan dalam menyelaraskan kebutuhan, kecenderungan, dan keinginan kedua pihak. Insya Allah pada kesempatan berikutnya, kita akan mengkaji lebih dalam kriteria-kriteria ini.

Perlu Mendekatkan Persepsi

Para peneliti mengatakan bahwa perkawinan sukses adalah perkawinan yang bertujuan untuk meniti jalan kesempurnaan. Seorang pria di samping pekerjaan dan karirnya, juga ingin menjadi seorang insan yang matang secara mental dan spiritual. Demikian halnya dengan wanita, dengan didampingi suaminya, ia juga butuh untuk mengembangkan berbagai potensi dan kemampuan internalnya.

Suami-isteri yang saling memperhatikan hubungan dan selera masing-masing, pada kenyataannya mereka sedang membangun jalinan kasih sayang yang kokoh. Akan tetapi, hal ini tidak akan terwujud kecuali jeli dalam memilih pasangan hidup. Tentu saja dengan mengabaikan kriteria-kriteria yang tepat dalam memilih pasangan hidup, hal ini nantinya akan menjadi penyebab lahirnya berbagai kemelut dan konflik dalam rumah tangga. Para psikolog dan konsultan keluarga telah memaparkan berbagai macam kriteria dalam perkawinan, antara lain; masalah psikis, ekonomi, budaya dan sosial.

Lewat perkawinan, dua insan berbeda watak dan karakter sepakat untuk menempuh hidup baru, dan menjalani kehidupan bersama yang berbeda jauh saat masih sendiri. Dalam kehidupan bersama ini, mungkin saja perbedaan persepsi dan selera akan menggoyah bahtera rumah tangga dan menyeretnya dalam kemelut. Tabiat manusia cenderung memilih pasangan hidup yang setara dengannya. Kesetaraan dua insan tidak hanya menjadi mangnet satu sama lain, juga turut mempererat ikatan suci ini. Para peneliti mengulas keseteraan dalam kehidupan bersama meliputi tempat tinggal, strata sosial, tingkah laku, karakteristik mental, dan budaya. Ketidaksesuaian dalam hal ini berdampak gagalnya sebuah perkawinan.

Kebanyakan penggiat masalah keluarga berkeyakinan bahwa faktor-faktor budaya memainkan peranan penting dalam perkawinan. Sementara kesesuaian dalam agama, mazhab, adat istiadat, dan kepercayaan berperan dalam melestarikan sebuah rumah tangga. Dr. Kinsey seorang peneliti dari Eropa berkeyakinan bahwa dalam ranah sosial perkawinan, mazhab sangat berpengaruh pada perilaku suami-isteri.

Penelitian membuktikan bahwa nilai-nilai dan keyakinan seseorang memainkan peranan vital dalam perilaku manusia bahkan melebihi faktor lain. Tidak adanya keselarasan dan kesamaan pola pikir agamis antara suami-isteri lambat laun akan mempertajam jurang pemisah. Begitu juga kemelut dan konflik akan menjamur jika salah satu pihak tidak mematuhi nilai-nilai agama, karena iman dan ajaran-ajaran agama sebagai pandangan dasar berperan penting dalam berbagai dimensi kepribadian seseorang.

Demikian juga dengan ukuran perilaku dan etika berpengaruh dalam memilih pasangan hidup. Perilaku dan akhlak mulia sangat ditekankan bahkan menjadi salah satu syarat dalam membangun rumah tangga. Penelitian membuktikan bahwa sifat-sifat moral seperti akhlak mulia, taqwa, jujur dan pemaaf merupakan kriteria penting calon seorang pendamping dalam perkawinan.

Islam juga sangat mengedepankan masalah iman dan akhlak dalam perkawinan, Rasul Saw bersabda: "Setiap orang yang datang untuk melamar puteri Anda, dan Anda cocok dengan agama dan akhlaknya, maka jadikanlah ia sebagai pendamping puterimu."

DR. Ghulam Ali seorang psikolog Iran mengatakan, "Tanpa diragukan lagi bahwa kesepahaman dalam pandangan dan ajaran-ajaran agama, berakhlak mulia merupakan faktor penting perkawinan sukses dan damai. Oleh karena itu, orang-orang mukmin selalu mendambakan wanita salehah. Kecenderungan semacam ini berangkat dari fitrah manusia sebagai pencari kesempurnaan. Oleh sebab itu, sebaik-baiknya perkawinan adalah bersandinganya dua orang mukmin, dalam surat an-Nuur ayat 26, Allah Swt berfirman, "Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)."

Sifat-sifat baik manusia adalah investasi besar keberadaan manusia yang bersumber dari kepercayaan kepada Allah Swt dan ketakwaan. Minimnya perhatian terhadap masalah-masalah ini sama dengan membangun pondasi rumah tangga pada tanah yang mudah longsor. Tanpa diragukan lagi bahwa melestarikan dan mempertebal nilai-nilai agama antara suami-isteri merupakan daya tarik kuat dalam kehidupan bersama.

Keselarasan yang bersumber dari budaya dan sosial pria-wanita menjadi faktor penting dalam melestarikan perkawinan. Ketidakselarasan budaya dan sosial dapat memicu timbulnya kemelut dalam kesepahaman antara suami-isteri. Akan tetapi, terkadang juga ditemukan orang yang berbeda strata sosial dan ekonomi dapat hidup bersama dengan bahagia. Tentunya dalam kasus ini, iman dan akhlak mulia juga berperan penting. Penelitian membuktikan bahwa kesamaan relatif status sosial dan ekonomi antara keluarga pria dan wanita merupakan prinsip dasar dalam mewujudkan kesepahaman.

Kecantikan dan daya tarik luar juga bagian dari kriteria-kriteria dalam perkawinan. Jika dalam perkawinan tidak adanya cinta dan rasa suka antarpasangan, akan menjadi benih lahirnya ketidapuasan. Dalam perkawinan, masalah psikis dan rasa suka kedua belah pihak juga tidak luput dari perhatian Islam. Karena masalah ini akan melestarikan kehidupan rumah tangga.

Berkenaan dengan kriteria psikis, para peneliti juga menekankan bahwa untuk mendapatkan kepuasan dalam kehidupan bersama perlu memperhatikan kesamaan relatif tingkat kecerdasan. Penelitian membuktikan, adanya hubungan erat antara tingkat kecerdasan dan kepuasan suami-isteri. Orang yang tingkat kecerdasannya berada di bawah pasangannya, tingkat kepuasan juga rendah dalam keluarga tersebut. Menyikapi hal ini, pendidikan dan kesetaraannya dapat menjadi pemicu kedekatan persepsi antara pria dan wanita. Akan tetapi, pendidikan saja belum menjamin terciptanya hubungan rasional dan kesehatan psikis keluarga. Meskipun kesetaraan pendidikan cikal-bakal terciptanya kesepahaman maksimal di antara mereka.

sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, ajaran-ajaran agama menekankan pada prinsip kesetaraan, yaitu ada baiknya pasangan suami-isteri memperhatikan prinsip kesetaraan dalam membangun bahtera rumah tangga. Akan tetapi, kesetaraan ini bersifat relatif, oleh karena tidak ditemukan kesetaraan sempurna bukan berarti melepas tanggungjawab dalam masalah perkawinan.

Suami dan Isteri Saling Menyempurnakan

Tidak diragukan lagi bahwa semua orang yang hidup berumah tangga tengah mencari sebuah teladan yang akan mengantarkan mereka pada kebahagiaan dan keluarga ideal. Akan tetapi, apa saja ciri dan kriteria sebuah keluarga ideal?

Pertanyaan ini akan terjawab lewat sebuah perumpamaan.

Musim semi memiliki keunikan khusus, pada musim semi akan tampak berbagai warna dan panorama alam, pepohonan, tumbuh-tumbuhan, dan berbagai macam jenis bunga. Begitu juga kehidupan ideal sarat dengan keberagaman dan warna. Pekerjaan, refresing, waktu senggang, belajar, olah raga, dan berkomunikasi dengan Allah Swt adalah ciri-ciri sebuah kehidupan yang penuh warna. Semua hal ini menempati posisi masing-masing dan sangat bernilai.

Keceriaan dan kesegaran musim semi mengajarkan kita bahwa hidup mesti dijalani dengan ceria dan riang. Suami-isteri harus menjadi unsur keceriaan dan ketenangan batin satu sama lain. Keindahan lain musim semi adalah keseimbangan suhu udara. Udara segar dan hembusan angin surga yang menyegarkan jiwa. Suami-isteri dengan terinspirasi oleh keteduhan musim semi, membangun hubungan bersama yang produktif dan jauh dari segala bentuk sikap berlebihan dan keteledoran. Hubungan mereka tidak berlebihan hingga tercipta ketergantungan yang kelewat batas, juga tidak dingin dan kasar yang berakibat sirnanya benih-benih cinta dan kasih sayang yang tersemai dalam hati mereka.

Musim semi juga memiliki poin pendidikan lain untuk sebuah kehidupan ideal. Sebagaimana alam, setelah melalui satu fase layu dan kering, mereka kembali hijau dan segar bersama musim semi juga mengalami perubahan. Batang tumbuhan dan pepohonan yang kering dan layu diterpa musim dingin. Musim semi datang melahirkan tunas-tunas kehidupan bagi mereka. Perubahan di alam membawa pesan bagi manusia sebagai makhluk termulia mesti berkompetisi dalam perubahan ini sekalipun dengan alam.

Anggota sebuah keluarga adalah sebagai manusia-manusia potensial untuk berkembang dan berubah. Mereka selalu berpikir untuk berkembang dan berubah ke arah positif. Akan tetapi, dalam perubahan ini perlu diperhatikan kondisi dan syarat yang mendominasi sebuah keluarga. Memperhatikan perubahan-perubahan positif akan mengarahkan suasana keluarga dari keterpurukan ke arah perkembangan dan kesempurnaan.

Shafi seorang psikolog keluarga mengatakan, "Keluarga ideal adalah sebuah keluarga yang dibangun atas dasar aturan-aturan logis dan sah, interaksi dan pergaulan dalam keluarga tersebut didasari pada prinsip cinta dan kasih sayang. Dalam keluarga ideal, terdapat hubungan yang bertujuan, keluarga ditata dengan metode rasional dan manusiawi. Idealisme dalam keluarga berdampak pada menguatnya ketahanan dalam menghadapi berbagai masalah dan kemelut. Dalam keluarga ideal, terlihat adanya kepuasan, kenyamanan,ketenteraman, dan potensi untuk berkembang dan sempurna tersedia bagi semua anggota keluarga."

Berbicara mengenai perkembangan dan kesempurnaan. Di sini, kami akan memaparkan kepada Anda kriteria-kriteria keluarga ideal. Dalam keluarga ideal, suami-isteri memiliki pandangan yang saling menyempurnakan. Dalam pandangan ini, suami-isteri sama-sama menyandang kemuliaan insani. Keduanya siap untuk berkembang, juga merasa senang dengan perkembangan pasangannya. Pandangan demikian, akan menjadikan ruang lingkup kehidupan sebagai ajang menelurkan hal-hal baru, dan akan menyelamatkan keluarga dari kesirnaan dan keterpurukan perlahan.

Dalam keluarga ideal dan tertata, suami-isteri tidak akan merampas peluang untuk berubah dari yang lainnya. Kendatipun mereka melihat adanya kekurangan pada pasangannya, tapi ia tetap bernilai di mata pasangannya, bahkan sebisa mungkin pasangannya berusaha untuk menghilangkan kekurangan tersebut. Reaksi membangun semacam ini berasal dari rasa saling cinta kedunya sebagaimana yang telah dipaparkan panjang lebar pada kajian sebelumnya.

Oleh karena itu, rasa saling menghormati dan menghargai akan membuka peluang untuk perkembangan dan kemajuan pasangannya. Ajaran Islam sangat menekankan sikap menghormati dan menghargai yang lain dalam interaksi sosial, terlebih dalam lingkungan keluarga. Islam menekankan agar suami-isteri menjaga sikap saling menghormati sebagaimana pakaian bagi keduanya. Salah satu penafsiran tamsil ini, sebagaimana pakaian menutup aib dan cacat, suami-isteri juga harus menjadi penutup satu sama lain. Akan tetapi, jika suami-isteri saling membuka aib dan kekurangannya, atau saling berbangga dengan kelebihan masing-masing, maka lingkungan keluarga menjadi tidak harmonis dan hubungan mereka kaku.

Perhatikan contoh berikut:

Beberapa waktu lalu, seorang ibu rumah tangga pendengar radio dalam sebuah suratnya memaparkan problema keluarganya dan meminta bimbingan. Dalam suratnya, ia menulis, "Saya menikah dengan seorang mahasiswa semester empat jurusan kedokteran. Pada saat itu, saya juga seorang mahasiswi semester kedua. Akan tetapi karena satu dan lain hal antara lain tanggungjawab sebagai ibu rumah tangga, penentangan dari pihak suami, dan demi ketenangan sang suami, saya tidak meneruskan kuliah.

Beberapa tahun, saya menjalani kehidupan yang serba susah dan kecukupan sebagai mahasiswa bersamanya, dengan harapan suatu hari dia menyelesaikan kuliahnya dan menjadi seorang dokter. Akan tetapi sangat disayangkan, saat dia telah mendapatkan gelar dokternya, sikapnya terhadap saya mulai berubah dan akhirnya ia berkata bahwa kita tidak saling mengerti dan memahami dan kamu (saya) tidak memiliki kelayakan untuk mendampingi seorang dokter. Sekarang, saya merasa sebagai orang yang dirugikan dan hasil dari semua beban hidup tidak lebih dari penyesalan dan keputusasaan".

Dr. Syarafi seorang psikolog keluarga dalam menganalisa kasus ini mengatakan, "Tentu saja Anda semua melihat atau mendengar bahwa sebagian pria dan wanita dengan mengesampingkan semua cita-cita dan keinginan pribadinya, secara tulus bekerja keras dan rela berkorban demi kemajuan pasangannya. Manusia-manusia seperti ini ibarat sayap bagi pasangannya atau ibarat tempat peluncuran bagi pasangan hidupnya. Oleh karena itu, kewajiban moral manusia berkesimpulan bahwa terhadap orang-orang yang telah mengorbankan kehidupannya demi kemajuan pasangannya, harus diberi ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya.

Jika pria dan wanita, berkat bantuan dan dorongan pasangannya telah menyelesaikan pendidikan dan telah sampai pada kemajuan, ada baiknya ia melihat ke belakang. Ia akan menyaksikan naungan kasih sayang seorang pasangan yang rela kerkorban hadir dalam seluruh fase kehidupan bersama. Dalam hal ini, dengan membangkitkan jiwa rasa syukur terhadap diri sendiri, kehidupan akan terasa manis dan hangat, juga berdampak hangat bagi pasangannya."

Dr. Syarafi dalam menganalisa problema ini menambahkan, "Jika ibu ini, disamping tanggungjawab sebagai ibu rumah tangga, juga berpikir untuk kemajuan dirinya, dengan belajar di luar lingkungan akademis, ia bisa menambah pengetahuan dan kemampuan intelektualnya. Ia dapat memperlihatkan semua potensi internalnya dalam di lingkungan keluarga, hingga ia tidak harus lalai seperti ini".

Oleh karena itu, dalam keluarga ideal selalu terbuka peluang untuk kemajuan dan perkembangan semua anggota keluarga, antara lain untuk suami-isteri.