• Mulai
  • Sebelumnya
  • 20 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 4803 / Download: 2226
Ukuran Ukuran Ukuran
Agama dan Keluarga yang Sehat

Agama dan Keluarga yang Sehat

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Kasih Sayang dan Ungkapan Cinta Harus Ditanamkan

Kita telah memaparkan salah satu kriteria keluarga ideal yaitu kebersamaan suami-istri untuk berkembang dan sempurna. Dalam lingkungan keluarga ideal, pasangan suami-istri bukan penghalang bagi yang lain dalam mengembangkan berbagai potensi dan bakat, tapi mereka bahkan saling mendorong dan memberi semangat.

Para psikolog keluarga memaparkan kriteria penting lainnya sebuah keluarga ideal, yaitu penanaman kasih sayang serta ungkapan cinta di antara pasangan. Para pakar penggiat masalah keluarga berpendapat bahwa salah satu kegagalan dalam kehidupan bersama adalah tidak adanya pengetahuan berkenaan cara tepat bertukar perasaan antar pasangan.

Kasih sayang dan rasa cinta memainkan peran penting terlebih di awal pernikahan. Akan tetapi, selang beberapa waktu karena ketidaktahuan dan kelalaian salah satu dari mereka atau keduanya, cinta pertama yang membara akan memudar dan perlahan saat-saat menjemukan datang menyapa.

Dalam kondisi ini, kritik dan saling tuduh ibarat cambuk yang singgah dalam kehidupan bersama. Suami-istri kalang kabut, kenapa kehidupan yang hangat dan manis berubah menjadi dingin. Mereka melupakan satu hal bahwa kasih sayang dan rasa cinta sangat penting untuk permulaan yang baik, bahkan tak kalah pentingnya untuk meneruskan kehidupan.

Jika sepuluh tahun pertama kehidupan bersama kita asumsikan sebagai permulaan transaksi kasih sayang. Maka di tahun-tahun berikutnya, kehidupan membutuhkan transaksi kasih sayang yang lebih besar, terlebih di tahun-tahun pertengahan dan terakhir kahidupan bersama terkadang suami-istri merasa sendiri, hal ini akan menghadirkan masalah-masalah baru.

Hati adalah sumber perasaan dan cinta bagi manusia. Oleh karena itu, perasaan dan kasih sayang negatif jangan sampai merasuki dimensi-dimensi hati. Suami-istri untuk memiliki hubungan harmonis dan ideal perlu menyediakan ruang untuk membina perasaan-perasaan positif dan membangun. Jika dalam lubuk hatinya, mereka saling menanamkan benih-benih kebencian, salah satu dari mereka atau keduanya akan tersapu badai. Oleh sebab itu, dalam transaksi kasih sayag dan rasa cinta, perasaan harus timbul dari diri yang paling dalam.

Hubungan komunikatif adalah cara lain untuk mengungkapkan perasaan dan rasa cinta. Berapa banyak orang menyimpan rasa cinta mendalam terhadap pasangannya, tapi ia tidak mampu untuk mengungkapkannya. Pada akhirnya, tidak tumbuh rasa tenang dalam diri dan pasangannya. Dalam kondisi ini, tirai-tirai keraguan dan rasa tidak aman membalut kehidupan.

Rasul Saw punya wasiat khusus mengenai penguatan hubungan suami-istri dalam lingkungan keluarga. Dalam hal ini, beliau Saw menilik sisi hubungan komunikatif antara suami-istri. Rasul Saw bersabda: "Barang siapa yang mengatakan kepada istrinya, Aku mencintaimu, ungkapan ini tidak akan pernah sirna dari hatinya".

Dr. Sharafi seorang psikolog keluarga mengatakan, "Tidak saling kenal dan tahu antar pasangan, rasa sombong tidak pada tempatnya, dan rasa malu berlebihan termasuk faktor-faktor tidak terlafalkannya rasa cinta verbal. Padahal mengutarakan kalimat-kalimat yang berbau perasaan dan cinta antar pasangan, tidak hanya berdampak terhadap hilangnya sebagian besar kesalahpahaman, bahkan akan menambah rasa cinta di antara mereka dan akan terjamin manisnya kehidupan. Pengabdian terhadap pasangan juga merupakan metode praktis dalam mengungkapkan perasaan cinta.

Pada fase ini, dengan bekal saling kenal kriteria masing-masing, mereka akan berusaha untuk melakukan sesuatu yang disenangi pasangannya. Dengan sikap seperti ini, ia juga telah meringankan beban pasangannya, dan juga akan membangkitkan perasaan ini pada pasangannya bahwa: "kamu adalah orang yang bernilai dalam hidupku, dan keberadaanmu bagiku sangat berharga."

Akan tetapi, dalam melestarikan dan menguatkan hubungan kasih sayang, suami-istri tidak boleh menciptakan suasana yang memposisikan pasangannya sebagai tawanan hasratnya, atau merampas semua bentuk aktivitasnya. Sebagai contoh, seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta yang mengalami masalah ini menuliskan, "Saya bekerja di sebuah perusahaan swasta, dan telah menikah beberapa tahun, sampai sekarang kesempatan baik datang kepada saya dan saya menerima beberapa penugasan dari perusahaan. Hal ini disamping menambah pendapatan saya, juga berpengaruh terhadap perkembangan karir saya.

Akan tetapi sayangnya, karena satu hal, saya tidak dapat memanfaatkan kesempatan itu lagi. Masalahnya setiap kali saya membicarakan masalah penugasan, ia dengan ragu dan lunglai meminta saya untuk membatalkan pekerjaan ini, sampai ia berkata, "Jika kamu ingin membuktikan rasa cinta kepada saya, tidak semestinya kamu meninggalkan saya sendiri dan berangkat kerja. Sekarang, saya membandingkan keadaanku dengan tahun-tahun sebelumnya, saya melihat hasrat dan kekuatanku sudah lemah dan rapuh karena dampak ketergantungan dahsyat dan keinginan-keinginan tidak rasional istriku."

Tentu saja, istri-istri seperti ini akan melemahkan keberanian dan kegagahan pasangannya, dan akan membawanya ke masa depan yang buram. Mereka tidak saja penghalang bagi kesuksesan suaminya, tapi juga hampa dari keceriaan dan kesenangan dalam kehidupan rumah tangga.

Dr. Gholam Ali Afruz seorang psikolog Iran mengenai masalah yang dihadapi orang tersebut dan juga keharusan adanya cinta dan hubungan rasioanal di antara suami-istri mengatakan, "Cinta bukan perasaan atau verbal semata, cinta juga bukan reaksi emosional. Akan tetapi, semua rasa ini dapat menjadi bukti perilaku bermuatan cinta, dan perilaku bermuatan cinta adalah sikap yang dibarengi dengan jiwa pemaaf dan rela berkorban.

Rasa cinta adalah sikap tidak egois, sehati dan seperjalanan dengan pasangan. Rasa sehati suami-istri berdampak menyatunya suami-istri dalam mengarungi lika-liku kehidupan dan menjauhi keterpurukan juga kemandekan. Dalam hal ini, suami-istri disamping memiliki rasa cinta, hubungan rasional dan berimbang satu sama lain, juga saling membantu untuk sampai pada tujuan hidup. Bukannya dengan alasan cinta berat justru akan menutup jalan untuk maju.

Berpikir Positif, Jangan Cari Kekurangan!

Apa perbedaan antara orang-orang yang sukses selama bertahun-tahun berumah tangga dengan mereka yang selalu dililit masalah?

Mayoritas pasangan memulai hidup barunya bersama cita-cita luhur dan ideal. Akan tetapi, sebagian menikmati kehidupan indah ini hanya dalam beberapa waktu. Sebagian yang lain, setelah beberapa tahun lamanya mereka masih merayakan hari jadi pernikahannya dengan penuh keceriaan dan keindahan. Mengapa demikian?

Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang telah mencuri perhatian para pegiat dan psikolog keluarga dalam sepuluh tahun terakhir. Dr. Spurgeon seorang psikiater dari Inggris yang lebih dari separuh hidupnya ia fokuskan pada konsultasi perkawinan, berdasarkan eksperimen dan pengalaman di kliniknya berkesimpulan bahwa perkawinan sukses memiliki beberapa kriteria dasar.

Mengenai hal itu, ia mengatakan, "Suami-istri dalam keluarga sukses adalah pemenuh kebutuhan-kebutuhan alamiah satu sama lain. Mereka memiliki interaksi yang penuh pengertian, dan dalam berbagai kesempatan, mereka saling memuji dan menghargai, saling mengungkapkan perasaan cinta, mereka sama-sama menyiapkan potensi untuk berkembang, dan disamping rasa saling cinta, mereka juga berusaha melestarikan pondasi keluarga."

Menurut psikiater ini, jika dalam hubungan suami-istri tidak adanya satu atau beberapa faktor ini, akan tampak tanda-tanda ketidakpuasan dalam bentuk kritikan, kelesuan, tidak harmonis, rasa iri, dan bahkan ancaman perceraian. Jika suami-istri secara serius tidak saling memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dasar, maka perdebatan, depresi, pengkhianatan, kecanduan obat-obatan, terganggunya pekerjaan, dan perceraian akan merasuki poros keluarga.

Para psikolog berpendapat bahwa kriteria penting lainnya sebuah keluarga ideal adalah kemampuan berinteraksi positif dan membangun dengan lingkungan keluarga, atau dengan kata lain berinteraksi dan berpikir positif. Keluarga berpola pikir positif, saat menghadapi masalah dan fenomena yang berhubungan dengan mereka, sisi positif dan mendidik yang menjadi perhatian mereka, sementara sisi negatif sebisa mungkin mereka tutupi. Berpikir positif itu dapat disebut seni melihat sesuatu dengan positif. Keadaan seperti ini bersumber dari kualitas ruh dan jiwa manusia.

Orang-orang yang agamis umumnya berpikiran dan punya pandangan positif. Karena ajaran agama menekankan bahwa manusia harus saling berbaik sangka, menjauhi sikap buruk sangka, dan punya asumsi positif terhadap perilaku orang lain. Islam dalam ajaran akhlaknya menekankan sikap berbaik sangka dalam lingkungan keluarga. Berbaik sangka dan berpikir positif terhadap pasangan memiliki peran penting dalam mempererat pondasi keluarga. Jelas, bahwa usaha anggota keluarga untuk menghilangkan asumsi negatif satu sama lain akan menciptakan hubungan yang lebih baik dan lebih mesra.

Para psikolog dalam rangka menguatkan pola berpikir positif menyarankan bahwa langkah pertama harus punya file daftar kelebihan dan potensi pasangan Anda, dan memporitaskannya sebagai sebuah prinsip dalam hidup. Dalam berbagai kesempatan dengan pasangan terlebih saat bercengkrama, menyebut kelebihan dan potensi pasangan Anda, dan Anda usahakan agar nuansa komunikasi penuh dengan tanda-tanda positif hingga meninggalkan kesan positif pada pasangan Anda.

Jika Anda ingin melihat satu ciri khas pada pasangan Anda, tapi untuk saat ini Anda belum dapat menyaksikannya, daripada mencela dan menghina, Anda dapat menggunakan metode lain. Dalam kondisi ini, cara yang paling tepat adalah mendoktrin hal-hal positif pada pasangan Anda. Dengan mendoktrin hal-hal positif, secara bertahap akan terlihat sifat-sifat baik pada perilaku pasangan Anda. Sebagai contoh; seorang suami yang merasakan bahwa istrinya lemah dan tak berdaya saat berhadapan dengan masalah. Ia dapat berkata kepadanya: "Saya memuji kepribadianmu yang tabah dan tangguh dalam menghadapi masalah." Atau ibarat lainnya, "Saya yakin, kamu tidak akan membiarkan masalah dan kemelut mengalahkan dirimu."

Begitu juga dengan suami yang berperangai buruk dan kasar, dalam hal ini ada baiknya sang istri bersikap terhadapnya, "Saya mengerti masalah ini akan melelahkan dan membuat emosi semua orang. Akan tetapi, lebih baik kamu bersabar dan tabah."

Langkah lainnya untuk menambah jiwa berpikir positif dalam keluarga adalah menguak sisi-sisi kesamaan mental antara Anda dan istri. Setelah bertahun-tahun lamanya kita menghabiskan kehidupan keluarga, kita telah mengetahui kriteria-kriteria pendamping, dan adanya kesamaan dengan ciri-ciri kepribadian kita. Menguatkan sisi kesamaan ini, sangat berpengaruh bagi terwujudnya jiwa berpikir positif dalam lingkungan keluarga.

Sekarang, kami akan memaparkan sebuah surat dari seorang istri yang dilayangkan kepada kami, dan mengisahkan seputar pola pikir positif suaminya. "Saya sangat mencintai suamiku, dan bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkan suami seperti ini. Suami saya ketika datang ke rumah, selalu yang pertama mengucapkan salam kepada anggota keluarga, dan sama sekali tidak membawa kesulitan dan problema kehidupannya ke dalam rumah. Ia tipe suami yang sangat rasional dan optimis melihat kehidupan, tidak membesarkan masalah-masalah sepele, tidak pernah melupakan kebaikan dan pengabdian teman terlebih keluarganya. Ia selalu berusaha untuk menghargai pendapat saya dalam masalah kehidupan.

Suami saya, saat melihat aib dan kekurangan dalam diriku, dengan lembut ia memberitahukan hal itu tanpa orang lain mengetahuinya. Ia selalu berusaha untuk menemukan hal-hal positif dalam diri saya, dan menguatkannya dengan dorongan. Kami pada awal-awal berumah tangga, memiliki selera yang jauh berbeda. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan dengan pengaturan sang suami, masalah terselesaikan. Saya mencintainya dan mengenalnya sebagai teladan, saya juga berusaha untuk menjadi istri yang setia baginya."

Kepuasan ibu rumah tangga ini terhadap suaminya menyenangkan kita. Kisah di atas, mengingatkan pada sebuah ayat al-Quran. Dalam surat al-Baqarah ayat 187, Allah Swt berfirman, "Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." Ini adalah ungkapan yang sangat indah sebagaimana Allah Swt telah menjelaskan menyangkut hubungan suami-istri.

Pada hakikatnya, tidak ada manusia tanpa aib. Dalam bahasa al-Quran, suami-istri yang baik adalah sebab terjaganya satu sama lain dan juga saling menutupi kekurangan. Sebagaimana pakaian, yang melindungi manusia dari sebagaian hal bahaya, juga menutupi sebagian aib dan kekurangan manusia. Lebih dari itu, pakaian juga hiasan bagi manusia. Istri yang baik juga sebagaimana pakaian yang indah, manusia akan ditampilkan dengan indah.

Dr. Gholam Ali Afruz seorang psikolog Iran menyangkut hal ini mengatakan, "Pakaian akan menutupi aib dan kekurangan manusia, ia akan menjaga manusia dari para pencari kekurangan orang. Istri-istri yang baik, pengertian dan tempat pelipurlara dengan pakaian cinta yang sama-sama dikenakan, akan menutup semua kekurangan dalam perilaku, kelemahan dan kesalahan. Mereka dengan berpikir positif terhadap pasangannya, sama sekali tidak membuka kelemahan kepribadian, dan kekurangan masing-masing kepada orang lain."

Imam Sajjad as juga dalam buku "Risalah Huquq" (Risalah Hukum), mengenai salah satu hak antara suami-istri, mengatakan, "Muliakanlah istrimu, berlemah-lembutlah kepadanya. Dan jika ia melakukan kesalahan, maafkanlah ia."

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dalam keluarga ideal, suami-istri berusaha dengan berpikir positif menjauhi mencari kekurangan, dan dalam berbagai kesempatan, menjadikan penguatan sisi positif satu sama lain sebagai dasar.

Mulai Kesepahaman dengan Menjadi Pendengar yang Baik

Sebelumnya kita telah mengkaji bersama beberapa trik bermanfaat dalam membina rumah tangga. Dalam kesempatan ini, kita akan memaparkan sebagian dari faktor-faktor yang dapat memperkokoh ikatan keluarga dan menjelaskan kriteria keluarga ideal dan harmonis.

Dalam keluarga ideal dan sukses, kesepahaman dan kebersamaan mendominasi segala aspek kehidupan. Kriteria ini akan terwujud dalam ranah keserasian suami-istri. Para psikolog mengatakan, "Jika Anda dapat melihat masalah lewat kaca mata sang istri, sejauh dapat memahami dengan baik pola pikir dan pandangan istri dalam berbagai masalah, berarti Anda telah sampai pada batas kesepahaman dengannya."

Dalam kondisi seperti ini, akan tercipta hubungan ideal dalam kehidupan. Suami-istri perlu mementingkan saat-saat kebersamaan yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan. Saling memahami dan menghormati saat bersama merupakan sebuah prinsip berharga, karena dengan perasaan jujur ini, suami-istri juga akan saling menghormati saat berada di hadapan khalayak.

Akan tetapi, apa saja yang perlu diperhatikan guna memudahkan terciptanya kesepahaman dalam kehidupan?

Para psikolog berkata, "Seni mendengar dengan cermat berperan penting dalam menciptakan kesepahaman. Saat Anda berkomunikasi dengan istri, Anda harus menyimak ucapannya dengan cermat dan ramah, hingga terlihat sikap menerima terhadapnya dan ucapannya. Juga perlu memperhatikan mental dan seleranya, serta berusaha memulai pembicaraan dengan tema-tema yang ia senangi. Jauhi sikap membandingkan istri Anda dengan orang lain, karena sikap ini akan merusak hubungan baik Anda dengannya.

Anda harus mengetahui bahwa istri-istri Anda adalah manusia yang tak ada padanannya dan memiliki sisi kepribadian positif atau negatif. Oleh karena itu jika kondisi menuntut, bandingkanlah ia dengan sifat-sifat masa lalunya dan beri penghargaan atas perkembangan akhlak dan spiritualnya. Sikap ini akan berpengaruh terhadap kesepahaman suami-istri. Bentuk hubungan komunikatif juga bagian dari faktor-faktor yang berperan penting dalam mewujudkan kesepahaman. Setiap kata atau kalimat punya muatan psikis dan kasih sayang.

Sebuah hubungan komunikatif yang sukses adalah hubungan dimana kedua belah pihak tidak mengunakan kata-kata yang tidak sedap dan menghina. Tutur kata yang lembut dan sikap menghormati akan mewujudkan rasa percaya diri dan tenang pada pasangan, dan hal ini berdampak mempererat kesepahaman suami-istri."

Para ahli masalah keluarga mengutarakan cara lain mewujudkan kesepahaman. Mereka mengatakan, "Untuk mewujudkan kesepahaman, penting bagi keduanya dalam mengambil keputusan dan mencari solusiserta memperhatikan pendapat sang istri. Jangan mengesampingkannya saat membuat keputusan, saling menghargai pendapat dan menjauhi sikap egois. Akan tetapi, kesepahaman adalah perkara relatif, dan tidak mungkin menanti adanya kata sepakat antara suami-istri dalam segala aspek. Yang dimaksud dengan kesepahaman adalah suami-istri dalam banyak hal memilih sikap selaras dan sejalan.

Kesepahaman memiliki hubungan langsung dengan sikap saling kenal antara suami-istri, dan bersama berlalunya masa-masa awal kehidupan bersama, tingkat pengenalan suami-istri juga bertambah dan semakin dalam. Oleh sebab itu, pasangan-pasangan muda yang baru memulai kehidupan bersama, jangan berharap terjalin keselarasan dan kesepahaman sempurna di antara mereka.

Seorang ibu rumah tangga mengisahkan kehidupan keluarganya yang sukses, ia menulis, "Kira-kira telah berlalu 5 tahun masa kami berumah tangga, dan dari awal kami menjadikan kejujuran dan cinta sebagai fondasi rumah tangga. Pada awalnya kami tidak memiliki kesepahaman sempurna. Akan tetapi, dengan berlalunya waktu dan lebih saling kenal dan saling memahami selera masing-masing, setiap harinya semakin bertambah tingkat kesepahaman dan kelezatan hidup kami.

Suamiku terlibat aktif dalam urusan rumah. Saya seorang mahasiswi fakultas kedokteran, dan menghabiskan sebagian besar waktu di luar rumah. Akan tetapi, ia sama sekali tidak mempermasalahkannya, bahkan terkadang ia juga berusaha melakukan tugas yang berhubungan dengan saya. Saya selalu membutuhkan cinta dan keikutsertaan dia. Hubungan di antara kami terjalin baik bahkan jika ada hal yang tidak menyenangkan, kami tidak menunjukkan sikap kasar, dan menunggu saat yang tepat untuk membicarakan bersama. Kami tidak membuka rahasia rumah tangga pada khalayak, dan dalam kesulitan, kami adalah tempat berteduh satu sama lain."

Dr. Syarafi seorang pakar program keluarga menyangkut hal ini mengatakan, "Melalui perkawinan, suami-istri secara bersama menginvestasikan modal berharga. Dalam bursa ini, tidak ada pembicaraan tentang harta dan materi. Akan tetapi, yang di tanamkan adalah puncak investasi humanitas yang meliputi hati, jiwa, kasih sayang, perasaan, dan cita-cita. Dalam bursa ini, suami-istri mempersiapkan diri untuk kesuksesan atau kegagalan, dan dengan baik, sama-sama memikul bagian yang menjadi tanggungjawabnya.

Sebagaimana yang Anda simak, suami ibu rumah tangga tadi di samping punya kesibukan di luar rumah, juga tidak membatasi dirinya terhadap tugas-tugas istrinya, dan dengan senang hati, ia melakukan tugas yang menjadi tanggung jawab istrinya. Sang suami pada kenyataannya menghargai pekerjaan istrinya. Di samping itu, istri juga merasa dihargai.

Keikutsertaan positif dalam lingkungan keluarga, pada akhirnya memudahkan pekerjaan dan kepuasaan kedua pihak. Akan tetapi, istri juga dengan menampakkan rasa senang terhadap pekerjaan suaminya dan dapat menjadi konsultan dan mitra yang baik bagi suaminya. Dengan menunjukkan rasa senang terhadap pekerjaan suami, turut meyakinkan suami terhadap nilai pekerjaannya. Istri dapat mewujudkan rasa yakin dan tenang ini pada suami hingga ia mengerti istrinya dan memperhitungkan bantuan dan dukungan istrinya."

Keikutsertaan positif dalam keluarga tidak hanya saling membantu, tapi tujuan sebenarnya menjaga eksistensi keluarga. Setiap anggota keluarga turut memikirkan yang lain ketimbang mengedepankan keinginannya masing-masing dan tujuannya adalah ketenangan semua anggota keluarga. Yaitu semua anggota keluarga baik suami maupun istri turut memikirkan tujuan hidup dan berusaha maksimal. Akan tetapi, keikutsertaan dan saling membantu harus bersifat dua taraf, dan jangan sampai satu pihak selalu berusaha dan berkorban, sementara pihak lain bersikap tidak peduli.

Saling membantu dan keikutsertaan mendapat tempat penting dalam ajaran Islam terlebih menyangkut lingkungan keluarga. Tidak hanya al-Quran, tapi juga dalam Sunnah dan perilaku tokoh-tokoh agama menekankan pentingnya keikutsertaan dan kerjasama dalam keluarga. Dalam perkataan-perkataan tokoh agama dalam mendorong sikap saling membantu, terdapat poin-poin penting yang dapat membangkitkan motivasi suami-istri untuk mempererat kerjasama. Suatu hari, Rasul Saw berkata kepada Imam Ali as, "Wahai Ali as, orang yang selalu mengabdi kepada keluarganya, Allah Swt akan menulis namanya dalam deretan para syahid."

Bukti-bukti sejarah menunjukkan kendatipun Rasul Saw memiliki kedudukan spiritual dan sosial yang tinggi, tapi selalu membantu istrinya dalam perkerjaan rumah. Hal ini dalam rangka perhatian Islam yang luar biasa terhadap keutuhan keluarga. Sadar akan dampak-dampak positif kerjasama dan keikutsertaan dalam lingkungan keluarga akan mendorong orang-orang untuk melihat penting pekerjaan di rumah. Para pakar urusan rumah tangga menyarankan, "Karena pekerjaan yang padat tidak dapat membantu pekerjaan istri secara langsung. Paling tidak, mengutarakan niat dan dorongan untuk membantunya, sehingga ia merasa adanya dukungan jiwa dan mental dari Anda".

Sunnah dan perilaku Rasul Saw dalam keluarga adalah teladan terindah kerjasama dan saling membantu. Rasul Saw berpesan kepada para sahabatnya, "Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang berlaku baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku dari kalian semua."

Enyahkan Tuntutan Irasional dari Pasanganmu!

Tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga, tak hanya sebuah tema hukum, tapi lebih dipengaruhi oleh ikatan emosional dan kejiwaan juga didasarkan pada standar-standar etika dan norma. Pentingnya kajian seputar hak-hak dalam rumah tangga berasal dari kedudukan tinggi institusi yang suci ini. Populernya nilai-nilai moral, rasa bertanggungjawab secara sosial, dan ikatan emosional yang dalam, akan nampak di tengah masyarakat ketika keluarga-keluarga yang menjadi bagiannya memiliki hubungan yang hangat.

Saat akad nikah dan ikrar suci sudah terjalin di antara dua insan, maka hadir tanggung jawab dan hak di antara mereka. Pasangan suami istri yang sukses merasa memiliki tanggungjawab besar dan tidak pernah berpikir untuk menggoyahkan ikrar dan ikatan suci di antara mereka. Ikrar hidup bersama akan abadi dengan cinta. Untuk menjaga keutuhan dan kelanggengan janji suci ini, ada banyak cara yang dapat dilakukan.

Anda tentunya masih ingat bahwa pada tulisan-tulisan sebelumnya, telah dipaparkan ciri-ciri pasangan dan keluarga yang sukses. Ciri-ciri tersebut yang pernah disampaikan antara lain; kecenderungan bersama untuk mendorong pasangan maju, menghadirkan cinta dan menanam kasih sayang, berpikir positif dan berbaik sangka, serta saling membantu dalam menyelesaikan berbagai masalah.

Dari sejumlah penyakit yang mengancam keutuhan rumah tangga adalah tumbuhnya keinginan dan tuntutan yang tidak rasional di antara suami-istri. Terkadang mengetengahkan keinginan-keinginan ini akan mengusik ketenangan keluarga. Kebanyakan pasangan muda terusik dengan hal ini, karena ketidakjelasan pembatas antara keinginan logis dan keinginan yang tak logis. Masalah ini terkadang bisa melukai perasaan mereka.

Titik rawan dalam kehidupan hadir ketika keinginan-keinginan tak logis menumpuk dan tidak terpenuhi, sementara kesabaran suami-istri kian menurun secara bertahap. Akhirnya, perasaan negatif mendominasi dan hubungan mereka menjadi kasar. Keluarga ideal dengan mengatur dan menentukan penantian-penantian rasional, telah menutup jalan bagi masuknya berbagai faktor perpecahan.

Oleh sebab itu, adanya bentuk kesepakatan menyangkut keinginan-keinginannya, dan kesepahaman serta cinta mengalir dalam hidup mereka. Kehidupan bersama yang berimbang akan terbentuk saat hubungan suami-istri dibangun di atas landasan rasional. Dalam kondisi ini, suami-istri tidak memiliki keinginan yang tidak rasional dan yang di luar kemampuan pasangannya.

Manusia karena rasa cinta pada diri sendiri selalu bergerak ke arah kepentingan pribadi. Mungkin dampak buruk sifat ini jarang terlihat kala ia masih sendiri dan belum menikah. Akan tetapi dalam kehidupan bersama karena jalinan hubungan baru, terdapat gesekan antara kepentingan dan selera pribadi suami dan istri. Akhirnya, masalah yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan akan lebih terlihat.

Dalam kondisi ini, jika suami dan istri memiliki perilaku dan pendidikan yang benar, mereka dapat menemukan cara yang logis dan tepat untuk menyelesaikan perbedaan ini dengan mengesampingkan selera pribadi dan cara kekerasan. Akan tetapi, ada pula orang yang mengedepankan kekerasan terhadap pihak lain. Keluarga seperti ini telah mengesampingkan akal sehat dan akibatnya rumah tangga menjadi keruh. Karena semua anggota keluarga tidak punya andil dalam membuat keputusan.

Kesepakatan dan aturan kehidupan sangat diperlukan untuk mengatur hubungan suami-istri. Akan tetapi, aturan ini hanya dapat menjelaskan dengan benar hubungan timbal-balik suami-istri jika ia disusun atas dasar prinsip-prinsip yang benar dan sesuai dengan kebutuhan mental pasangan tersebut. Pihak manapun benar maka harus diakui. Jenis kelamin, usia dan pendidikan sama sekali tidak boleh lebih diprioritaskan di atas nalar dan kebenaran. Oleh karena itu, pria dan wanita tidak boleh memaksakan selera dan pendapatnya kepada pihak yang lain dengan alasan apa pun.

Menjadikan Kebenaran Sebagai Paramenter

Mengikuti kebenaran dan berpandangan logis merupakan bagian dari pesan moral yang terdapat dalam al-Quran dan ajaran Islam. Tentu saja, berpegang pada kebenaran dalam lingkungan keluarga mempunyai dampak-dampak positif dalam hubungan suami-istri. Dalam pandangan Islam, syarat keimanan dan akhlak seseorang adalah cinta pada kebenaran. Dari sunnah dan ucapan para pemimpin agama ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang harus menyampaikan dan menerima kebenaran sekalipun pahit baginya.

Suami-istri perlu memperhatikan bahwa terkadang dalam pertengkaran dan perselisihan, pihak lainlah yang benar. Dalam kondisi ini, sebagai bentuk rasa tanggung jawab moral dan agama ia harus mengakui dan menerima kebenaran. Pengakuan ini berasal dari sikap berpegang pada prinsip-prinsip keimanan, dan akan berpotensi menciptakan ketenangan batin bagi manusia, disamping juga menurunkan api kemarahan pihak lain. Tentu saja, lari dari logika dan kebenaran tidak hanya menanamkan sikap dendam dan permusuhan, tapi juga akan meruntuhkan rasa percaya pihak lain.

Dr. Qaimi, seorang pakar ilmu pendidikan mengatakan, "Dalam sebuah keluarga yang di sana terjadi pertengkaran, suasana keluarga dihantam oleh badai yang membuat suami-istri tidak tertarik padanya. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa pertengkaran dalam keluarga tidak akan mendatangkan kebahagiaan bagi pasangan suami istri. Meskipun secara lahiriyah, pertengkaran itu menguntungkan satu pihak, tapi bukan berarti ia menang. Lebih dari itu, dampak lain pertengkaran berpotensi melahirkan kegagalan bagi kedua pihak.

Rambu-rambu Islam tidak mengizinkan seorang suami berperilaku tidak rasional dan menzalimi istrinya. Ajaran Islam lebih mengedepankan toleransi dan sikap lunak terhadap istri atau wanita. Tentu saja, kaum pria yang lebih kuat menahan beban perlu memberikan perhatian khusus mengingat watak lembut dan emosional sensitif pada kaum wanita. Akan tetapi, berdasarkan ajaran Islam dan moral, suami-istri harus mengesampingkan sikap egois dalam lingkungan keluarga. Dan dalam setiap perselisihan, kedua pihak harus mengalah demi maslahat yang lebih besar."

Para psikolog menyarankan beberapa cara demi terciptanya sebuah hubungan rasional dalam lingkungan keluarga. Antara lain: "Gunakanlah argumentasi rasional dalam berkomunikasi dengan pasangan Anda. Namun ketika pasangan Anda sulit menerima realita dan kemungkinan ia akan merasa harga dirinya terancam, saat itu ubah gaya bicara dari kesan menghakimi atau memerintah ke bentuk saran dan anjuran.

Kadang kala, Anda perlu menceritakan kenangan masa lalu Anda dan orang lain yang disitu perselisihan diselesaikan dengan cara rasional. Jika pasangan Anda tidak berpikiran rasional, Anda perlu mengubah karakternya dengan meyakinkannya bahwa ia telah banyak menuai kesuksesan dengan menggunakan cara-cara rasional. Dalam sebuah keluarga yang mengedepankan logika, sama sekali tidak terdengar penghinaan, celaan, dan kritik yang bukan pada tempatnya."

Saatnya Berjiwa Besar

Berjiwa besar dan mulia sebagai sebuah sifat manusiawi mengggambarkan perwujudan akhlak terindah. Masalah ini, terlibat aktif dalam berbagai momen sosial terlebih dalam kehidupan bersama. Suami-istri harus saling memiliki jiwa besar lebih dari komunitas lain. Salah satu ciri mulia dan berjiwa besar adalah sikap pemaaf dan toleransi antarsesama. Kehidupan bersama dimana suami-istri secara alamiah saling mengetahui kondisi jiwa, mental, dan kekurangan masing-masing.

Akan tetapi, masalah ini bukan alasan untuk saling membuka aib dan mencela. Karena akan mengusir keceriaan dan kegirangan dalam ranah kehidupan, akhirnya pola pikir negatif dan kekerasan akan mendominasi kehidupan. Toleransi dan pemaaf akan memaksa kita untuk menutup kekurangan sang istri ketimbang membukanya, begitu juga sebaliknya. Terkadang, sikap pura-pura lupa dapat kita jadikan sebagai model interaksi, yaitu bersikap tidak tahu akan kesalahan pasangan.

Untuk lebih mendekatkan masalah ini akan dipaparkan sebuah masalah lewat sebuah surat pendengar sebuah radio. Pendengar tersebut menuliskan masalah yang sedang dihadapinya demikian:

"Dengan sebuah dunia impian, saya memulai kehidupan bersama dengan suami. Semua berjalan lancar hingga pada sebuah jamuan, saya mengutarakan sebagian masalah yang kami hadapi. Kebetulan dalam jamuan itu, suami saya juga hadir di situ dan saya mengkritik sikap diamnya. Saya berkata: "suami saya tidak banyak bicara. Akan tetapi, dia siap bercengkrama dengan ibunya selama berjam-jam. Suami saya tersinggung dan keberatan dengan ucapan saya.

Sejak itu, ia mulai berlaku kasar dengan saya meskipun saya menerima, mengaku salah dan meminta maaf padanya. Akan tetapi, berulang kali ia membuat saya pesimis dan sama sekali tidak bersedia memaafkan saya. Pertanyaan saya adalah karena sebuah kesalahan, manusia musti membayar berapa besar akibatnya?

Saya berusaha sebisa mungkin untuk menata hidup, tapi belum berhasil. Apa tidak bisa suami saya dengan sikap pemaaf, lapang dada, dan berjiwa besar memaafkan saya, dan memberi sebuah kesempatan kepada saya untuk menebus kesalahan?"

Akhirnya, kami meminta bimbingan dari Dr. Syarafi sebagai nara sumber acara ini. Ia mengatakan, "Bukan sikap benar, jika ibu muda ini pada awal kehidupan keluarganya menceritakan sebagian masalah internal rumahya pada orang lain. Karena masalah internal keluarga tidak boleh dibicarakan pada orang lain. Dan bukan berarti, ibu ini telah melakukan kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan. Untuk menebus kesalahan ini, cukup dengan meminta maaf dan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Secara lahiriah, ibu ini telah melakukannya. Akan tetapi sikap tidak melunak suami dan menutup semua jalan untuk damai. Perlu diperhatikan bahwa sikap seperti ini berpotensi hadirnya kesalahan-kesalahan berikutnya, dan kesalahan berikutnya terjadi karena kesalahan sebelumnya. Karena dengan menolak permintaan maaf, akan membuat pesimis sang istri dari kehidupan, suami, dan masa depan. Pada ujungnya akan menyeret pada kesalahan-kesalahan lain. Rasa bangga tidak pada tempatnya sebagian pasangan telah menggoyahkan prinsip kesepahaman. Karena untuk membangun landasan kokoh sebuah keluarga membutuhkan sikap pemaaf dan berjiwa besar."

Dr. Syarafi dalam analisanya menambahkan, "Berlanjutnya amarah dan ketidakcocokan antara suami-istri sama sekali tidak menguntungkan kedua pihak. Hal ini akan menyulitkan mereka untuk kembali pada kehidupan yang hangat dan ideal. Suami ibu ini dengan tidak memaafkan, pada kenyataannya sedang menunjukkan rasa tidak percaya terhadap istrinya. Pada akhirnya, bagaimana ia akan menanti pemberian maaf dari istrinya suatu hari nanti?"

Terkadang kita berlebihan dalam melihat sisi positif yang kita miliki dibanding orang lain, dan merasa sangat sedikit kekurangan bahkan lebih sedikit dari yang ada. Hal ini akan mengurangi perhatian kita terhadap sisi-sisi positif orang lain. Masalah ini akan mencederai hubungan sosial terlebih hubungan rumah tangga. Imam Ali as berkata, "Beruntunglah orang-orang yang memperhatikan kekurangannya, dan mencegahnya dari memperhatikan kekurangan orang lain."

Para psikolog menjelaskan manfaat sikap pemaaf dan toleransi dalam rumah tangga, mereka mengatakan, "Dengan menutup mata terhadap kekurangan pasangan, telah memberi kesempatan kepadanya untuk memperbaiki perilakunya. Saat hempasan kritikan dan celaan menimpa dirinya, segala bentuk keinginan dan keberanian untuk menebus menjadi berkurang. Menutup mata dari kesalahan ringan pasangan berpotensi mewujudkan kesepahaman dalam keluarga.

Tetapi, pertanyaan penting adalah sampai dimana batasan memaafkan? Terkadang toleransi dan sikap pemaaf dapat menimbulkan masalah. Ali Husein Zadeh seorang pakar masalah pendidikan mengatakan, "Terkadang toleransi berpotensi terhadap meningkatnya perilaku menyimpang. Untuk memberantasi masalah ini, diperlukan strategi dan mukaddimah. Toleransi terhadap perilaku menyimpang adalah kiat yang dapat memberi ketenangan dalam hubungan keluarga. Keberlangsungan hal ini dalam waktu yang lama juga berdampak positif dan berpotensi lahirnya perilaku positif.

Oleh karena itu untuk sampai pada tujuan-tujuan ini, perlu dipikirkan strateginya. Jangan menunjukkan sikap kasar, rasa tidak senang terhadap perilaku negatif pasangan, dan berusaha agar potensi lahirnya perilaku positif segera terwujud. Dengan menjaga sikap dan perilaku Anda, paling tidak Anda sudah menunjukkan sikap tidak senang terhadap perilakunya yang salah.

Terkadang toleransi kita terhadap pasangan disertai dengan sikap diam yang pernuh arti, hal ini akan membebani pasangan dan berusaha mengubah perilakunya. Bagaimana pun juga, setiap orang dengan melihat tipe kepribadiannya dan emosional pasangannya, dapat menjadi contoh yang tepat dalam memberantasi segala bentuk kesalahan. Dengan syarat, sikap seperti ini harus berdampak memperkuat perilaku positif pada pasangan Anda.

Jangan Sebarkan Rahasia!

Keluarga adalah sebuah tatanan dimana seluruh anggotanya memiliki hak dan wewenang tertentu. Menjaga kehormatan dan kedudukan keluarga adalah termasuk bagian dari menjaga hak timbal-balik ini. Jika kehormatan keluarga dijaga oleh aggotanya, maka orang lain dengan sendirinya juga akan turut menjaganya. Salah satu faktor penting yang memperkeruh hubungan keluarga adalah membicarakan rahasia internal keluarga kepada orang lain. Hal penting bagi suami-istri untuk sampai pada kesepahaman adalah tidak membuka rahasia keluarga pada orang lain. Tidak diragukan lagi bahwa membuka rahasia pasangan memiliki dampak buruk.

Para psikolog berkeyakinan bahwa salah satu ciri manusia sehat adalah mampu menjaga rahasianya baik berupa perkataan atau tingkah laku. Dalam pandangan agama, mereka yang mampu menjaga rahasianya termasuk orang-orang yang beriman. Penelitian menunjukkan, menjaga rahasia dapat menarik kepercayaan orang lain kepada kita, juga mempererat hubungan manusiawi di keluarga dan masyarakat. Mayoritas masyarakat menaruh rasa segan dan kepercayaan terhadap mereka yang bisa menjaga rahasia. Tidak diragukan lagi bahwa kemampuan suami-istri dalam menjaga rahasia keluarga memiliki pengaruh besar pada pasangan dan anak-anak.

Di antara wejangan moral dalam Islam adalah menjaga rahasia terlebih dalam lingkungan keluarga. Rasul Saw menekankan agar suami-istri menjaga kehormatan dan kepribadian sesama, beliau Saw bersabda: "Tidak dibolehkan membicarakan problema keluarga kepada orang lain".

Para pakar masalah keluarga berkeyakinan bahwa suami-istri yang memiliki hubungan mental dan emosional yang terbatas, biasanya tidak pernah bertukar pikiran atas masalah yang melilit mereka. Dan sangat jarang terjadi komunikasi di antara mereka. Pada akhirnya, problema keluarga biasanya terseret keluar rumah. Meskipun cara ini tidak rasional, tapi suami-istri tidak melihat jalan lain kecuali membicarakannya kepada orang lain dengan harapan dapat mengurangi tekanan batin mereka.

Kadang kala, sikap tidak menerima kritikan membangun menyebabkan terbukanya rahasia keluarga di luar rumah. Mengkritik pasangan dengan cara yang benar dan untuk tujuan memperbaiki perilakunya berdampak menghilangkan masalah dalam hubungan keluarga. Akan tetapi, jika salah satu dari pasangan tidak siap mendengar kritikan sehat dan membangun, tentu saja kritikan ini akan terseret ke luar lingkungan keluarga dan akan diperbincangkan dengan orang lain.

Dr. Syarafi seorang psikolog dari Iran berkenaan menjaga rahasia dalam rumah tangga mengatakan, "Terkadang ada orang menderita akibat lemahnya kerpibadian dan rasa minder. Hal ini akan mendorong mereka merusak karakter orang lain guna menutupi kelemahannya. Oleh sebab itu, mereka siap meskipun harus membuka rahasia orang lain demi menenangkan dirinya. Sangat disayangkan terkadang masalah ini ada dalam keluarga, sebagian suami/istri demi keutuhannya dan merusak karekter pasangan, mereka membuka rahasia kehidupan keluarganya kepada orang lain."

Dr. Syarafi dalam analisanya memaparkan bentuk lain membuka rahasia keluarga kepada orang lain, ia mengatakan: "Sangat disayangkan, kadang suami/istri meminta anaknya untuk mengawasi ayah/ibu mereka. Sikap seperti ini sama dengan menyemai benih-benih ketidakpercayaan dalam hati putra-putri mereka. Mereka tidak saja menghilangkan rasa percaya dan damai dalam lingkungan keluarga, tapi juga tengah mendidik putra-putri mereka agar dimasa mendatang turut membuka rahasia keluarganya kepada khalayak".

Kejujuran Fondasi Utama Keluarga

Salah satu ciri-ciri penting lainnya dalam hubungan keluarga adalah kejujuran, karena kejujuran adalah bekal membangun kepercayaan. Dalam analisa psikologi, kejujuran meliputi tutur kata dan perilaku seseorang yang mencerminkan motivasi dan niatnya. Saat seseorang tidak berkata atau berperilaku jujur, berarti ia berkepribadian ganda dan rentan masalah dalam berinteraksi. Ketidakjujuran suami/istri akan mendorong ranah keluarga pada hilangnya kepercayaan dan berburuk sangka, juga berpeluang terhadap munculnya perselisihan. Oleh sebab itu, ajaran Islam sangat menekankan sifat jujur, jauh dari sifat munafik dan kebohongan.

Virginia Satir seorang peneliti Amerika yang selama bertahun-tahun aktif sebagai konsultan keluarga. Berkenaan dengan adanya kejujuran antara suami-istri mengatakan, "Demi kemajuan, perkembangan, dan keselamatan hubungan rumah tangga diperlukan hubungan komunikasi dan tingkah laku secara langsung dan jelas. Begitu juga tutur kata dan perilakunya harus mencerminkan niatnya. Keadaan semacam ini akan memberikan peluang bagi anggota keluarga untuk bersikap jujur dan mengatasi masalah dengan baik."

Tidak diragukan lagi bahwa terdapat banyak faktor untuk melahirkan keluarga ideal dan sukses. Dan kami telah barusaha untuk menyajikan ciri-ciri dominan dan membangun dalam hubungan suami-istri. Dan untuk menyimpulkan kajian ini, kami akan meminta Dr. Afruz seorang psikolog Iran untuk menyebutkan masalah-masalah inti antara suami-istri dalam menjalin hubungan yang sehat.

Dr. Afruz mengatakan, "Pasangan-pasangan ideal dalam setiap keadaan dan kesempatan, juga dengan menjaga nilai-nilai dan kehormatan, selalu berpikir membangun kepribadiannya dan anggota keluarganya. Pasangan-pasangan ideal sadar bahwa dengan pemenuhan seluruh kebutuhan, khususnya kebutuhan hidup dan jiwa, mereka tengah mempersiapkan terwujudnya kesehatan mental dan ketenangan keluarga. Pasangan ideal dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang, memanfaatkan metode terbaik untuk sebuah kehidupan sukses.

Mereka juga menjaga jati dirinya dari penyakit lisan dan perilaku. Tutur kata yang santun dan saling menghormati, mereka jadikan alat untuk mencegah penyakit mental dan memberikan warna bagi kehidupan. Akhirnya harus kita akui bahwa pasangan sukses adalah mereka yang merasa tenteram dan damai saat berdekatan. Semakin jauh mereka dari masa menjalin ikatan suci, maka hubungan mereka semakin hangat, mesra, dan penuh gairah."