Bagian Ke-7
Semesta ini Acak atau Teratur?
Si pemuda tidak tidur malam itu. Sebaliknya, ia menghabiskan malam itu dengan mengerjakan shalat dan sujud. Ia menengadahkan tangannya memanggil Tuhan, dan melupakan bahwa lengannya telah capek. Ia membaca bagian-bagian yang lain dari doa-doa yang ia hafal, mengulang-ngulang beberapa kalimat, mendongakkan kepalanya dan melihat ke angkasa raya yang dihiasi gemilau pendaran cahaya purnama, sedemikian sehingga tiada bintang yang terlihat. Seolah-olah bintang gemintang membiarkan purnama yang lebih besar dan lebih kuat mengambil alih tempatnya. Pada saat itu, anak muda itu mengingat sebuah ayat dari al-Qur’an: “Segala yang ada di langit dan di bumi bersujud di hadapan Allah.” Bintang-gemintang dan planet-planet bersujud di hadapan Tuhan. “Mereka seluruhnya beribadah,” katanya. “Mereka melakukan apa yang tengah kulakukan, atau sebaliknya saya yang melakukan sesuatu yang tengah mereka lakukan.” Lalu ia menatap bulan yang tunduk dan bintang-gemintang dalam gugusannya. Ia membayangkan langit sebagai masjid agung dimana bulan bertindak sebagai seorang imam bagi bintang-gemintang dalam kebesarannya beribadah kepada Allah Swt.
Ia berandai-andai sekiranya berada di salah satu tempat bintang-gemintang itu, bahkan tempat kecil sekali pun, untuk turut serta dalam ibadah kudus dan mengesankan tersebut di balik kilauan rembulan. Ia berandai-andai sekiranya seluruh makhluk dapat turut serta dalam ibadah universal tersebut. Tiba-tiba ia teringat sebuah ayat al-Qur’an, pada surah al-Hajj, ia menghafal ayat tersebut dan mulai membacakannya: “Apakah kamu tidak melihat bahwa kepada Allah bersujud siapa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar dari manusia. Tetapi banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atas mereka (lantaran enggan untuk sujud). Dan barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memuliakannya.Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”
(Qs. Al-Hajj [22]:18) Ia merasa bahwa seremoni ibadah yang ia saksikan adalah lebih besar dari yang ia bayangkan! Ada pegunungan, pepohonan dan binatang-binatang yang turut serta dalam ibadah ini. Ada juga banyak orang dan ia bergabung dengan mereka pada malam itu. Ia mengulang-ulang bacaan berikut ini sambil bersujud: Segala puji bagi Allah! Segala puji bagi Dia yang layak mendapatkan pujian yang tidak dimiliki oleh seorang pun!
Segala puji bagi Yang Mahakuasa dan Mahapemurah!
Sujud anak muda tersebut berlangsung lama hingga ia hanyut bersama pikirannya. Ia menggambarkan pemimpin kelompok ini dalam benaknya, rembulan yang benderang, dan galaksi-galaksi, meteor-meteor di belakangnya. Ia melebarkan visinya hingga mencapai berjuta-juta pohon yang berbaris untuk beribadah dan bukit-bukit serta pegunungan, yang nampaknya nyaris meletus di hadapan keagungan Tuhan. Ia beranjak lebih jauh bersama imaginasinya dan melintasi pegunungan menuju hewan-hewan, ikan-ikan dan burung-burung dengan corak, warna dan aneka ragamnya. Mereka seluruhnya tenggelam dalam ibadah dan pujiaan kepada-Nya. Kemudian ia menggambarkan potret Ka’bah dikitari oleh jutaan orang-orang yang ibadah yang mengisi seluruh tempat guna melengkapi ibadah universal ini. Lalu segala sesuatu dan setiap orang di semesta ini bersujud di hadapan Tuhan, Sang Pencipta tujuh petala langit dan bumi. Menatap sisi lain dari gambaran tersebut, di sebuah sudut kecil, terdapat sekelompok kecil orang bertebaran bersujud di hadapan sebuah patung. Kelompok yang menyimpang ini nampak seperti nuktah hitam dalam gambar yang menawan tersebut.
Anak muda tersebut terlambat bangun. Ia tidak banyak tidur, bahkan ia merasa tidak lagi ingin tidur. Ia merasa bahagia karena tidak ketinggalan shalat Subuh karena ia beranjak ke pembaringan setelah menunaikan shalat. Ia telah merasakan kepuasan spiritual lantaran malam sebelumnya dan keikutsertaannya dalam ibadah semesta dengan seluruh makhluk yang beribadah kepada Tuhan. Ia membandingkan perasaanya dengan mereka yang menderita kehampaan. Juga membandingkan perasaannya dengan perasaan sebelum ia menemukan Tuhan dengan jalannya sendiri setelah menerima pelajaran dari ayahnya.
Ia bangun dari pembaringannya untuk mencari buku-bukunya yang ia tinggal berserakan, kini telah tertata rapi dan apik di atas mejanya. Dan pakaian-pakaian yang ia letakkan di mana-mana, kini tersusun rapi di tempatnya. “Siapa yang melakukan hal ini?” Tanyanya.
Ibunya (Mom) menyapanya dan berkata bahwa sarapannya sudah siap. Ia membalasa sapaan (salam) ibunya dan berkata: “Siapa yang telah merapikan kamarku, menata seluruh buku dan pakaianku di tempatnya?” “Tidak seorang pun” jawab ibunya.
S Tidak seorang pun? Bagaimana hal ini dapat terjadi?
M Tidak seorang pun. Apakah kau meninggalkan pintu jendela tetap terbuka sebelum kau pergi tidur?
S Oh..iya..iya!
M Barangkali anginlah yang menggerakkan buku-buku dan pakaianmu dan merapikannya.
S Mom! Anda bercanda! Apa yang Anda katakan?
M Hal ini boleh saja terjadi. Engkau tahu bahwa angin yang kuat dapat melakukan hal itu.
S Ah..mustahil, Mom! Pasti Anda yang telah melakukan hal itu.
M No! Never! Mom tidak masuk ke kamarmu semenjak kemarin. Well, Ayolah Son segera santap sarapanmu.
Ia meninggalkan kamarnya sembari berpikir tentang apa yang telah terjadi. Sewaktu ia memasuki ruang keluarga, ia dikejutkan oleh sesuatu yang sangat aneh. Kertas-kertas berhamburan di ruangan itu, menutupi segala sesuatu termasuk karpet dan furniture! Ketika ia melihat lebih dekat, ia dapatkan lembaran-lembaran buku alamat berserakan di mana-mana. “O God! Apa yang telah terjadi?” Sebelum ia bertanya kepada ibunya, yang sedang di dapur, akan kekacauan ini, telepon berdering. Ternyata ayahyan yang menelpon katanya:
D Son! Ada masalah penting dan kau harus menjumpai pemilik percetakan, Abu Ahmed. Ia ada perlu denganmu.
S OK Dad! Tapi ada sesuatu yang perlu Anda ketahui.
D Saya tidak ada waktu sekarang. Telepon Abu Abu Ahmad sebelum engkau pergi untuk memastikan apakah ia di rumah.
S Nomor telponnya berapa?
D Cari di buku telepon.
S Namun buku telepon sobek dan seluruh lembarannnya berserakan di mana-mana. Apakah Anda tahu siapa yang melakukan itu? Dan mengapa?
D Saya tidak punya waktu sekarang. Kau pikirkan masalah ini dan pecahkan sendiri. Sampai nanti, son.
Si anak muda melihat ke kiri dan ke kanan dan berpikir sejenak dan bergegas ke dapur mulai bertanya kepada ibunya atas apa yang sedang terjadi.
S Siapa yang telah merobek buku telepon dan siapa yang menserakkannya? Mengapa hal ini terjadi? Anda ada dimana ketika itu? Dan bagaimana saya dapat menemukan nomor telepon Abu Ahmad sekarang?
Sang ibu melihat kepadanya dengan tenang dan simpatik lalu berkata dengan lembut:
M Son! Calm down. Tidak perlu resah begitu. Ayahmu marah, dan tidak dapat menjumpai sesuatu yang lain untuk meredam kemarahannya kecuali buku telepon yang berada dalam jangkauannya. Ia merobek lembaran buku telepon itu lalu membuka jendela sebelum ia pergi.
S
Lalu mengapa Daddy membuka jendela?
M Ia membuka jendela; supaya angin boleh jadi merapikan kembali lembaran buku telepon itu. Ia juga meninggalkan sebotol lem supaya angin dapat menumpahkan lem tersebut dan melem lembaran-lembaran buku telepon tersebut sehingga tersusun kembali.
S Oh! Iya, Kini saya mengerti! Hal ini merupakan laboratorium dimana saya harus menjalani pelajaran praktik “Argumen Keteraturan.”
M Tidakkah kau berpikir bahwa pengalaman ini bernilai kehilangan kopian dari buku telepon ini?
S Hal itu betul-betul senilai. Gambaran ini sekali-kali tidak akan terhapus dari benakku. Saya akan mengambil foto dari pengalaman ini untuk melengkapi koleksiku dengan foto-foto yang lain. Tolong tunggu, saya akan mengambil kamera sebelum mengumpulkan lembaran-lembaran ini. Saya ingin mengambil foto dari laboratorium Argumen Keteraturan ini.
Ia mengambil foto (untuk Argumen Keteraturan), membawa kamera dan pergi ke kediaman Abu Ahmad tanpa menelponnya terlebih dahulu. Ia sampai di bangunan dengan tergesa-gesa dan langsung masuk ke kantor Abu Ahmad. Abu Ahmad yang ia jumpai bukanlah Abu Ahmad yang selama ini ia kenal; ia mendapatkan Abu Ahmad sibuk membaca beberapa lembaran dengan ratusan jika tidak ribuan lembaran yang berserakan di sana sini di kantornya. Ia betul-betul tenggelam dalam membaca lembaran tersebut seolah-olah mencari sesuatu yang sangan spesifik. Ketika ia melihat anak muda itu, ia dengan ceria menyambutnya dan menyampaikan salam kepadanya lalu berkata:
A Kau tiba tepat waktu. Saya teringat akan bakatmu dalam sastra dan pengetahuanmu dalam dunia puisi yang membuatmu sebagai orang yang terdekat di area ini yang mampu membuatku memenangkan hadiah.
S
Hadiah yang mana Anda maksud?
A Hadiah Asosiasi Pengarang Bahasa Indonesia bagi puisi yang terbaik dalam merayakan 50 tahun pendirian asosiasi tersebut.
S
Apakah Anda seorang penyair..?
A
Bukan…
S Lalu bagaimana Anda bermaksud untuk memenangkan hadiah ketika Anda harus bertanding dengan para penyair kawakan nusantara di bidang ini?
A My son! Sangat sederhana. Saya akan menggunakan metode praktis.
S Apalagi metode praktis ini yang membawa Anda memenangkan hadiah Asosiasi Pengarang Nusantara?
A Well! Masuklah, saya akan tunjukkan kepadamu.
Ia membuka pintu belakang dan berjalan menuju ke ruang utama. Anak muda itu mendapatkan suasana berbeda dari suasana sebelumnya. Dulu ia melihat tempat itu dalam keadaan tertata rapi, dimana ruangan utama dikelilingi oleh rak-rak yang penuh buku dengan abjad yang teratur diletakkan dengan cara menawan. Para pegawai berdiri di hadapan rak-rak buku itu untuk mengambil surat-surat dan meletakkanya dalam frame-frame yang ditaruh di hadapan surat-surat itu sesuai dengan teks dari masing-masing frame itu. Ketika mereka telah menyelesaikan satu halaman, mereka beralih halaman berikutnya. Segalanya terjadi di sekeliling ruangan itu, sementara di tengahnya hampir kosong. Namun hari ini terdapat sebuah kontainer besar di tengan ruangan itu. Seluruh isi rak-rak itu dipindahkan dan diletakkan di dalam kontainer tersebut, yang kini telah penuh dengan surat-surat. Para pegawai mengoncang kontainer itu dengan kuat ke kiri dan ke kanan dan kadang-kadang memutarnya untuk mencampur-aduk surat-surat itu. Demikian seterusnya, seorang pegawai datang untuk mengambil sekumpulan surat dan meletakkannya secara acak dan meneruskannya ke sebuah mesin cetak. Kemudian Abu Ahmad akan mengambil lembaran yang telah dicetak itu untuk dibaca secara seksama. Ia kemudian menambahkan lembaran itu pada kertas-kertas yang lainnya yang disaksikan oleh si pemuda ketika pertama kali masuk ke tempat itu.
Si pemuda tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Ia berpaling kepada Abu Ahmad dan mencoba berkata sesuatu namun lisannya kelu dan tidak tahu harus berkata apa. Kemudian Abu Ahmad berkata:
A Apakah engkau pernah belajar bagaimana membuat sebuah puis dengan cara praktis?
Si pemuda menggelengkan kepalanya tanpa sepatah kata yang menandakan bahwa ia tidak pernah belajar hal demikian dan Abu Ahmad melanjutkan:
A Caranya berdasar pada kemungkinan dan proses kebetulan (by chance). Kita mencampur-aduk surat-surat itu dengan acak untuk mendapatkan sebuah contoh puisi secara kebetulan. Dan tentu saja kita tidak akan mampu mendapatkan puisi untuk pertama kalinya, kedua kalinya dan bahkan keseratus kalinya namun dengan proses berulang-ulang, ada kemungkinan membuat sebuah puisi yang menarik dan luar biasa untuk memenangkan hadiah pertama dan menumbangkan para penyair kawakan setelah bertanding dengan puisi artifisial kita yang disusun dengan cara demikian.
Si pemuda merasa pusing dan gerah dari apa yang didengarnya dari orang yang waras, yang berbicara ngawur. Ia berharap dapat berkata kepada Abu Ahmad: ”Gila kali…” namun si pemuda mengendalikan kegerahannya dan bertanya:
S Apakah para pekerja ini sudah gila?
A Tidak, saya meminta mereka untuk melakukan hal ini setelah konsultasi dengan ayahmu. Sebjatinya ayahmu yang memintaku untuk melakukan hal ini. Ia juga berkata bahwa ia siap untuk membayar gaji para pekerja ini. Kia juga telah sepakat bahwa engkau harus datang dan membantu kami untuk membaca gundukan kertas yang engkau lihat di kantor tadi untuk menemukan puis yang memenangkan hadiah pertama.
Senyum simpul tersungging di bibir Abu Ahmad demikian juga para pekerjanya, yang menghentikan setelah mereka menyelesaikan apa yang telah disepakati bersama. Wajah pemuda itu bercahaya dengan sebuah senyum simpul setelah diberikan surprise sedemikian. Ia memeluk Abu Ahmad, menciumnya dan berkata:
S Betapa besarnya budimu dan budi ayahku yang merencanakan eksperimen ini untuk membuktikan argumen keteraturan bagiku?
Lalu ia berpaling ke arah para pekerja dan berkata:
S Biarkan saya ambil foto selagi kalian sibuk mencampur-aduk kertas-kertas tersebut. Saya akan membuat sebuah album dari foto-foto itu dan menamainya sebagai “The Illustrated Monotheistic Book.”
Sebelum meninggalkan tempat itu, ia mampir di kantor Abu Ahmad dan mengambil foto dari gundukan lembaran itu, yang dicetak dengan meletakkan kertas-kertas itu secara acak. Ia tidak bergeming sama sekali untuk membaca bahkan selembar pun dari lembaran-lembaran itu karena ia sepenuhnya yakin bahwa puisi yang ritmis tidak akan pernah tercipta secara acak bahkan bila para pekerja itu melanjutkan mencampur aduk lembaran-lembaran tersebut seumur hidupnya.
Ia bergegas menuju ke jalan tanpa tahu mau kemana. Benak dan pikiranyna terusik oleh pengalaman terakhir yang disaksikannya. Ia memikirkan bagaimana ayahnya menjelaskan kepadanya secara praktis bahwa setiap keteraturan (by design) tidak dapat diperoleh tanpa seorang pengatur dan bahwa sebuah tugas yang sempurna harus memiliki seorang perencana. Hal ini bermakna sebuah keteraturan tidak akan pernah ada tanpa seorang pengatur dan..
“Stop!”
Ia memalingkan wajahnya dan melihat seorang petugas polisi berteriak kepadanya lantaran berjalan tidak mengindahkan rambu-rambu lalu-lintas.
Petugas polisi itu bertanya kepadanya: “Engkau berasal dari desa mana?” Tidakkah engkau akrab dengan rambu-rambu lalu-lintas, apakah engkau tidak ingin mematuhi aturan?”
Ia menjawab seraya kalimat “aturan” meletup di kepalanya:
S
Tidak…Saya dari kota ini.
P “Gitu yaa! Jadi engkau adalah seorang pemuda pelanggar hukum. Pergi sana ke petugas yang duduk di mobil itu” kata polisi tersebut.
Ia mengalihkan wajahnya ke arah yang ditunjuk oleh polisi itu dan melihat petugas yang lain mengenakan seragam yang sama. Ia perhatikan sebuah lencana pada seragam petugas itu yang membedakannya dengan petugas lainnya. Ia juga melirik gugusan bintang di pundak petugas itu yang menunjukkan pangkat kepolisiannya.
Ketika ia sampai pada petugas itu, ia menjelaskan bahwa ia harus mematuhi dan menghormati peraturan lalu-lintas yang telah dibuat oleh para ahli regional dan internasional dalam rangka menjaga keselamatan para pejalan kaki dan pengendara. Petugas itu juga menyebutkan bahwa apabila seseorang melalaikan hukum akan dikenakan hukuman tertentu jika ia masih di bawah 18 tahun.
Anak muda itu berterima kasih kepada petugas itu karena kebaikannya dan sebelum ia pergi, ia bertanya sambil tersenyum:
S Mengapa Anda tidak biarkan saja mobil-mobil berseliweran tanpa aturan; barangkali mobil-mobil itu akan tertib secara kebetulan tanpa adanya hukum atau para ahli?
Petugas itu tertawa dan tidak memberikan jawaban; ia tidak tahu apa yang tersembunyi di balik pertanyaan anak muda itu. Namun anak muda itu berbalik ke arah petugas itu dan bertanya:
S Sudihkah Anda mengizinkan saya mengambil foto dari keteraturan lalu-lintas Anda?
P “Foto keteraturan lalu-lintas?! Apaan tuh?” seru polisi itu.
S “Anda dan petugas lainnya berdiri dekat lampu merah dekat lintasan pejalan kaki (zebra cross) dimana kendaraan dan pejalan kaki dapat terlihat.”
Petugas itu tidak membantah dan mengabulkan permintaan anak muda itu. Dengan demikian bertambahlan halaman baru bagi buku “Buku Bergambar Tauhid” yang ia susun.
Sekembalinya ke rumah, ia melihat sebuah papan iklan di sebuah bangunan; yang tertulis “Organisasi Kesehatan Dunia. Ia mengulang redaksi ini dalam benaknya, organisasi…Organisasi Kesehatan Dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia, Organisasi PBB…Organisasi Internasional….Organisasi Regional…Organisasi Manajemen…Organisasi Hakim… … Organisasi… organisasi (baca: keteraturan).
Organisasi tersebar di seluruh aspek kehidupan manusia, dan setiap organisasi diatur oleh seorang organizer, baik dalam skala kelompok atau pun individu. Tiada seorang pun yang percaya bahwa organizer (pengatur) dari organisasi-organisasi ini tidak memiliki pengetahuan dan keahlian di bidangnya. Lalu bagaimana beberapa orang dungu dapat berkata bahwa organisasi universal ini tercipta secara kebetulan, aksidental dan begitu saja tanpa adanya sosok Pencipta yang Bijaksana, Berpengetahuan, Berkuasa.
Ia kembali ke rumah setelah berjalan-jalan di kota melihat tanda-tanda keteraturan di setiap tempat di kota. Itulah pelajaran praktik baginya di dalam “laboratorium tauhid,” yang hadir di setiap tempat. Ia kini mengerti apa yang dimaksud oleh ayahnya ketika ia berkata bahwa ia telah menemukan di mana laboratorium ini. Oleh karena itu dimana saja ia alihkan pandangannya, sebuah tanda “laboratorium tauhid” dapat dijumpai jika ia dapat menemukan maknanya.
Ia tiba di rumah dalam keadaan lapar dan mendapatkan makanan telah siap disantap. Makanan yang tersaji di meja makan adalah makanan kesukaannya. Saudari perempuannya berkata dengan senyum mungil: “Aku memasak makanan kesukaanmu ini karena Mom berkata kau suka dan karena Mom lelah dan tidak dapat memasaknya sendiri. So aku sajikan makanan ini untukmu.”
Ia berpikir sejenak apa yang telah dikatakan oleh saudari perempuanyna yang bahkan masak telur saja tidak bisa. Setelah beberapa lama, ia tertawa penuh arti ketika ia melihat ibunya berdiri, menantikan reaksi darinya. Lalu berkata: S Luar biasa! Menakjubkan! Saudariku! Engkau pun telah ikut serta memberikan pelajaran praktis kepadaku tentang “Argumen Keteraturan.” Lalu ia melihat ke ibunya dan berkata:
S God bless you Mom! Saya tahu bahwa saudariku tidak dapat masak bahkan sebutir telur pun. Namun saya tidak pernah berpikir sebelumnya hubungan makanan yang saya santap dan mengenal Tuhan melalui “Argumen Keteraturan” yang telah ditunjukkan oleh Dady kepadaku secara teoritis dan praktis. Anyway, Saya berterima kasih kepada kalian atas adegan yang menakjubkan ini.
Ibunya menjawab: “Cicipin dulu makanannya; coba yang satu ini dulu. ”
Ketika ia menyantap makanan itu, ia dapatkan makanan itu terasa hambar namun ia malu untuk menolaknya. Lalu ia mengunyah makanan itu dan bertanya kepada ibunya:
S Mom! Mom lupayah menaruh garam di makanan ini?
M “No son” jawabnya.“ Mom telah memberikan garam. Coba santap bagian pinggir piring itu.
Ia mengambil makanan dari bagian yang ditunjukkan oleh ibunya, namun segera setelah ia mengunyah makannan itu, ia tidak mampu mengendalikan dirinya, segera ia memuntahkan makanan itu dari mulutnya.
M “Ada apa?” Tanya ibunya. “Katanya lapar?”
S
Mom asin banget. Asin banget untuk dimakan.
M
Sekarang makan dari bagian tengah piring itu.
Ia kemudian mengambil makanan dari bagian tengah piring dan menyuapkan ke mulutnya dengan hati-hati. Makanan itu sangat enak. Ia mengangkat kepalanya dan berkata:
S
Mom! Apa maksudnya pelajaran ini?
M
Hal itu berarti bahwa kuantitas juga memiliki peran dalam keteraturan (organisasi), engkau tidak dapat menggunakan garam secara serampangan, namun tetap diperlukan kuantitas sesuai proporsinya. Al-Qur’an menyatakan: “Segala sesuatu dalam pandangan-Nya, berada pada proporsinya masing-masing.” Jadi apabila kuantitas berkurang atau berlebihan, ia akan merusak makanan atau komposisinya. Bukankah demikian, son?
S Well-done! Thank you Mom; thank you my little sister, and thanks Dad!… Juga thank you God telah menjadikan aku sebagai bagian dari organisasi keluarga ini yang membimbingku ke jalan yang benar.[]