peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah0%

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Imam Ali as

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhammad Ridha Jabbariyan
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 12146
Download: 4912

Komentar:

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 12146 / Download: 4912
Ukuran Ukuran Ukuran
peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah

peristiwa ghadir dalam perspektif ahlusunnah

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Bagian Kedua

Khilâfah dan Wishâyah

Khalifah yang Memerintah dengan Kebenaran

Menurut akidah mazhab Syi’ah, khalifah Rasulullah Saw memiliki dua tugas:

1. Pemerintahan Lahir

Yaitu pemerintah yang mengimplementasikan hukum (qanun), menjaga terlaksananya hak-hak dan menjaga negeri-negeri Islam dan sebagainya.

Dalam masalah ini, khalifah seperti para pemerintahan yang lain. Dengan perbedaan bahwa dalam pemerintahan Islam terjaganya keadilan sosial yang merupakan kewajiban dan tipologi pemerintahan Islam.

2. Pemerintahan Maknawi

Dalam bagian ini, pemerintah mengemban tugas untuk menjelaskan poin-poin yang masih kabur, rumit dan masih belum dijelaskan dengan tuntas ihwal masalah madrasah (school of thought) kepada kaum Muslimin.

Di samping menjalankan tugas sebagai pemerintah, khalifah juga mengemban tugas sebagai penjelas ahkam (plural dari hukum) dan mufasir Al-Quran. Ia juga dapat menjaga maktab dari segala macam penyimpangan dan membelanya dari segala keraguan (syubhat).

Oleh karena itu, khalifah seharusnya seorang yang lebih alim dan lebih tahu di kalangan umat perihal masalah-masalah fondasi dan muatan-muatan syariat. Yakni, ia melebihi dari yang lain telah melepas dahaga ilmu dan makrifat dari sumber mata air ilmu dan makrifat nabi.

Dengan demikian, ia harus memiliki keislaman yang lebih awal dan telah banyak mengambil manfaat dari Nabi Suci Saw. Demikian juga, ia harus mengedepankan kepentingan kaum Muslimin dan umat Islam di atas kepentingan pribadi atau golongan. Demi menjaga Islam ia pun rela mengorbankan jiwa dan raga.

Khalifah dari sisi pemerintahan adalah penguasa atas seluruh harta kaum Muslimin, seperti harta khumus, zakat, pendapatan negara, pajak, pampasan perang (ghanimah), mineral-mineral, dan harta-harta umum. Kesemua ini merupakan harta yang berada dalam kekuasaan khalifah.

Khalifah juga memiliki tugas, tanpa adanya pelanggaran dan kezaliman, untuk membagikan harta-harta ini kepada kaum Muslimin; atau demi kemaslahatan umat ia dapat memanfaatkan negeri-negeri Islam.

Oleh karena itu, seorang khalifah tidak boleh memiliki hasrat dan keinginan terhadap dunia, sehingga dalam menghadapi perasaan-perasaannya tidak terjerembab dan terpuruk dalam kesalahan.

Persis dengan alasan ini, khilâfah merupakan posisi yang ditentukan oleh Tuhan yang di dalamnya seorang khalifah ditetapkan dari orang-orang yang paling layak dan paling berilmu di kalangan umat, dan bukan masalah pemilihan (yang dilakukan oleh umat, AK).Dengan kata lain, khilâfah merupakan penetapan ketika suara rakyat tidak memiliki pengaruh sama sekali di dalamnya. Oleh karena itu, untuk menentukan pengganti Rasulullah Saw, kita harus mencarinya dengan perhatian yang fair dan imparsial dalam nas dan instruksi hukum serta sabda-sabda Nabi Saw tentang masalah ini dan mengamalkan apa yang telah kita temukan dari nas, hukum dan sabda Nabi Saw.

Kita telah mengetahui bahwa peristiwa Al-Ghadir merupakan salah satu sandaran yang paling dapat diandalkan dan merupakan sebuah peristiwa yang terjadi dalam Dunia Islam.

Di samping itu, hadis wilâyah merupakan salah satu hadis yang paling definitif yang telah datang dari Nabi Saw. Dari sisi makna dan mafhum-nya (yang dapat dipahami darinya) tidak terdapat sedikit pun sifat mubham (kabur, tidak jelas) dan mujmal (global, tidak rinci) di dalamnya; lantaran bagi mereka yang telah merasakan aroma sastra Arab dan familiar dengan muatan-muatan ‘urf (kebiasaan umum) – kebiasan orang-orang berakal dan melihat dengan pandangan tanpa bias dan prasangka, ia akan memberikan pengakuan bahwa hadis ini memberikan petunjuk tentang masalah imâmah, kepemimpinan, dan prioritas Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As atas yang lain.

Bahkan apabila kita tidak mengindahkan hari ini, kita masih cukup memiliki selaksa hadis yang diriwayatkan oleh Ahlu Sunnah dan Syi’ah ihwal masalah imâmah dan kepemimpinan Amirul Mukminin Ali As.

Penggalan hadis-hadis dari Rasulullah Saw yang mengulas masalah ini akan kita sampaikan dalam dua bagian yang terpisah:

Bagian pertama, hadis-hadis seperti hadis Al-Ghadir dengan jelas dan tegas menunjukkan khilâfah Amirul Mukminin Ali As.

Bagian kedua, hadis-hadis yang memperkenalkan kepribadian Amirul Mukminin As yang menegaskan kandungan hadis Al-Ghadir dan khilâfah Baginda Ali As.

Setelah itu, terlepas dari hadis-hadis yang disebutkan di atas dan dalil-dalil lafzi, kita akan mengkaji kelayakan secara substansial dan keutamaan Baginda Ali As. Pada akhirnya kita akan ketengahkan latar belakang Idul Ghadir berikut adab-adabnya.

Dalil-dalil Tegas atas Khilâfah Imam Ali As

Dalil-dalil – terlepas dari hadis Al-Ghadir – yang secara otomatis menunjukkan secara tegas dan jelas tentang khilâfah dan kepemimpinan Amirul Mukminin As yang tersedia yang untuk menyebutkannya memerlukan waktu yang lapang dan buku yang tebal. Di sini kita hanya akan menyebutkan beberapa dalil yang menyebutkan secara tegas dan terang ihwal khilâfah dan imâmah Imam Ali As.

Sebelum menukil dalil-dalil tersebut – kendati umat tergelincir dalam kesalahan dalam memilih pengganti selepas Nabi Saw dan khalifah yang sebenarnya ditahan untuk tidak turut campur dalam urusan kaum Muslimin selama dua puluh lima tahun, akan tetapi tidak satu pun yang berkurang dari substansi nilai Baginda Ali As, melainkan merekalah yang telah tertahan untuk meraup manfaat dari seorang pemimpin maksum.

Lantaran nilai-nilai dan keutamaan Imam Ali As tidak bergantung pada penetapan pemerintahan secara lahir, akan tetapi nilai kursi khilâfah-lah yang bergantung pada bertugasnya Amirul Mukminin; artinya kapan saja ada orang lain selain dirinya yang menduduki pos khilâfah, pos khilâfah ini akan mengalami degradasi nilai. Jabatan khilâfah ini kembali akan menemui nilainya manakala Imam Ali menduduki jabatan khilâfah tersebut.

Disebutkan bahwa:

Tatkala Amirul Mukminin As memasuki kota Kufah, seseorang datang kepadanya dan berkata, ‚Demi Allah! Wahai Amirul Mukminin! Khilâfah kini menjadi rupawan dan elok dipandang mata berkatmu, bukan lantaran khilâfah engkau menjadi rupawan dan elok. Wujudmu telah membuat nilai posisi khilâfah ini menjadi tinggi, bukan karena khilâfah wujudmu menjadi lebih tinggi. Khilâfah yang memerlukanmu, bukan engkau yang memerlukan khilâfah.‛[90]

Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal berkata, ‚Suatu hari aku duduk di hadapan ayahku. Sekelompok orang yang berasal dari Kufah datang menghadap ayahku dan berkata-kata tentang khilâfah para khalifah. Akan tetapi tatkala sampai pada khilâfah Imam Ali As, pembicaraan menjadi sangat lama. Ayahku mengangkat kepalanya dan berkata, ’Alilah yang memberikan keindahan kepada khilâfah, bukan khilâfah kepada Ali.’‛[91]

1. Hadis Yaum al-Dâr

Khilâfah Rasulullah Saw dan kepemimpinan umat Islam bukan merupakan sebuah masalah yang didiamkan oleh Rasulullah Saw hingga akhir hayatnya dan meninggal tanpa ada kejelasan bagi umat Islam terkait dengan masalah kepemimpinan (imâmah) dan khilâfah. Semenjak waktu diperintahkan untuk mengumumkan risalahnya secara terang-terangan, Rasulullah Saw telah memikul tugas untuk memperkenalkan penggantinya.

Tatkala ayat﴾ ﴿وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ اْلأَقْ رَبِينَ

Dan berikanlah peringatan kepada kerabat terdekatmu (QS. Asy-Syua’ara 26:214) turun pada tahun ketiga bi’tsah, ia meminta Imam Ali As datang kepadanya dan bersabda, ‚Aku diperintahkan Tuhanku untuk mengajak para kerabatku kepada Islam. Siapkanlah makanan dan semangkuk susu, dan undanglah Bani Abdul Muththalib supaya aku dapat menjalankan tugas yang dipikulkan di pundakku kepada mereka.‛

Hadrat Ali As bertutur: ‚Aku mengundang seluruh Bani Abdul Muththalib yang jumlahnya kurang-lebih empat puluh orang. Makanan yang telah disiapkan, aku hidangkan. Mereka menyantap hidangan makanan dan meminum susu. Akan tetapi, makanan dan susu yang ada tidak berkurang-kurang. Manakala Nabi Saw ingin menyampaikan pidato kepada mereka, Abu Lahab berkata, ‘Muhammad telah melakukan sihir kepada kalian.’ Majelis pun bubar sebelum Nabi Saw menyampaikan pidatonya.

Pada keesokan harinya, Nabi Saw memerintahkan untuk mengundang mereka kembali dan menyiapkan makanan dan susu untuk mereka.

Ketika mereka telah berkumpul dan selesai menyantap hidangan, Nabi Saw angkat bicara dan bersabda, ’Wahai Bani Abdul Muththalib, Demi Allah, aku tidak mengenal seorang Arab yang membawa sesuatu yang lebih baik dari yang aku bawa kepada kalian. Aku membawa sesuatu yang berharga bagi dunia dan akhirat kalian dan Tuhanku menitahkan kepadaku untuk mengajak kalian kepadanya (Islam). Siapakah di antara kalian yang siap membantuku dalam menjalankan tugas ini?’

Aku (Ali) yang saat itu adalah orang yang paling muda di antara hadirin, berkata, ’Wahai Rasulullah! Aku siap membantumu dalam menjalankan tugasmu.’

Rasulullah Saw merangkul leherku dan bersabda, ’Inilah saudara, washi dan khalifahku di antara kalian. Dengarkanlah ia dan taatilah perintahnya.’

Pada saat-saat itu, seluruh hadirin berdiri dan sembari tertawa, mereka berkata kepada Abu Thalib, ’Keponakanmu memerintahkanmu untuk menaati Ali (anakmu).’‛[92]

Menurut sebuah riwayat Rasulullah Saw mengulang tiga kali permintaannya kepada hadirin tentang siapa yang akan membantunya dalam menjalankan tugas risalah dan tidak seorang pun yang memenuhi permintaan itu kecuali Hadrat Ali As.[93]

2. Hadis Manzilah

Dalil lain yang menunjukkan khilâfah Hadrat Ali As adalah hadis manzilah. Hadis manzilah merupakan hadis yang paling masyhur yang disabdakan oleh Nabi Saw dan para sahabat beliau meriwayatkan hadis tersebut.

Bin Asakir dalam kitab Târikh Dimasyq[94] meriwayatkan hadis ini dari tiga puluh dua orang sahabat melalui jalan dan sanad yang berbeda.

Dari hadis ini terdapat indikasi-indikasi (qarâin) yang dapat digunakan. Sabda mulia ini telah berulang-ulang disampaikan oleh Nabi Saw, tetapi yang paling masyhur di antaranya adalah yang disampaikan pada ghizwah Tabuk (ghizwah adalah [ekspedisi] perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, AK).

Pada ghizwah Tabuk, Nabi Saw yang memimpin dan mengomandani laskar kaum Muslimin. Laskar yang dikomandani oleh Nabi Saw bergerak dari Madinah, sedangkan Ali ditinggal di Madinah sebagai wakilnya.

Perang Tabuk merupakan perang yang di dalamnya Imam Ali tidak menyertai Nabi Saw. Oleh sebab itu, sangatlah sukar baginya untuk tinggal di Madinah sementara Nabi Saw berangkat ke medan laga.

Tatkala pasukan beranjak meninggalkan Madinah, ia datang menghadap kepada Nabi Saw dan berkata, ‚Apakah engkau meninggalkan aku di Madinah bersama para wanita dan anak-anak?‛ Dalam menjawab pertanyaan Hadrat Ali, beliau bersabda:

أَما تَ رْضَى أنْ تَكُونَ مِنٍّي بِمَنْزِلَةِ ىَارُونَ مِنْ مُوسَى إلاَّ أنَّوُ لاَ نَبِيَ بَ عْدِي

‚Apakah engkau tidak ridha kedudukanmu bagiku laksana kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku?‛[95]

Kita jumpai dalam Al-Quran bahwa hubungan Harun bagi Musa memiliki lima relasi: Saudara, mitra dalam nubuwwah (kenabian), wazir dan penolong, pendukung[96] ; khalifah dan washi.[97]

Oleh karena itu, Hadrat Ali juga memiliki lima relasi dengan Nabi Saw lantaran ia memilih Ali dan bersabda, ‚Engkau adalah saudaraku dunia dan akhirat.‛[98] Ia adalah mitra Rasulullah Saw dalam menyampaikan pesan Ilahi, lantaran Nabi Saw bersabda, ‚Tidak ada yang menyampaikan pesan Ilahi kecuali aku dan Ali.‛[99] Ali adalah wazir Nabi Saw karena Nabi Saw bersabda, ‚Ali adalah wazirku.‛[100] Ali adalah penolong Nabi Saw lantaran Allah Swt menolong Nabi Saw dan Hadrat Ali As.[101] Dan Hadrat Ali adalah khalifah Rasulullah Saw; karena Nabi Saw memilih Imam Ali As sebagai khalifahnya.[102]

3. Hadis Wishâyah dan Wirâtsah

Rasulullah Saw bersabda:

لِكُلٍّ نَبِيٍ وَصِيٌّ وَوَارِثٌ وَإنَّ عَلِياًّ وَصِيٍّي وَوَارِثي

‚Setiap nabi memiliki washi dan warits dan Ali adalah washi dan warits bagiku. ‛[103]

Ia bersabda lagi:

أنَا نَبِيُّ ىٰذِهِ الْأُمَّةِ وَعَلِيٌّ وَصيٍّي في عِتْ رَتيِ وَأىْلِ بيتي وأمَّتي مِنْ ب عْدِي

‚Aku adalah rasul umatku dan Ali adalah washi bagiku di kalangan keluarga dan umatku.‛[104]

Dan bersabda:

عَلِيٌّ أخِي وَوَزِيرَي وَوارِثِي وَوَصِيٍّي وَخَلِيفَتي في أُمَّتي

‛Ali adalah saudara, wazir, wârits, washi, dan khalifahku di kalangan umatku.‛[105]

Dalam riwayat ini dua gelar washi dan wârits mendapatkan afirmasi dan penegasan. Masing-masing gelar ini dengan sendirinya menunjukkan kekhalifahan Amirul Mukminin Ali As.

Washi

Washi adalah seseorang yang dapat menunaikan seluruh urusan orang yang memberikan wasiat kepadanya, kecuali dalam urusan tertentu yang diwasiatkan kepadanya yang ia hanya memiliki hak untuk menunaikannya dalam masalah itu saja.

Dalam riwayat ini, ketika memberikan wasiat kepada Hadrat Ali As, Nabi Saw tidak membatasinya dalam masalah tertentu saja. Beliau memberikan wasiat kepada Imam Ali secara mutlak. Artinya ia dapat menjalankan atau menunaikan segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan Nabi Saw.

Dengan kata lain, Hadrat Ali memiliki seluruh kewenangan yang dimiliki oleh Nabi Saw dan inilah makna khilâfah.

Wârits

Sesuatu yang dapat digambarkan dalam benak ketika mendengar istilah wârits adalah seorang yang diwariskan, menjadi pemilik harta pewaris, tetapi Hadrat Ali As bukan pewaris harta Nabi Saw. Karena, sesuai dengan fiqih Imamiyah bahwa apabila si mayit memiliki keturunan, si warits tidak akan mendapatkan warisan dari si mayit – anak keturunan berada pada derajat pertama dalam pembagian warisan dan kerabat pada derajat berikutnya – dan kita ketahui bahwa Nabi Saw pada masa hidupnya memiliki keturunan.

Fatimah Zahra setidaknya masih hidup selama tujuh puluh lima hari selepas wafatnya Nabi Saw. Selain itu, para istri nabi yang kesemuanya mendapat warisan Nabi Saw sebanyak seperdelapan bagian dengan syarat mereka hidup tatkala Nabi Saw wafat.

Dengan asumsi bahwa semuanya kita abaikan, Ali adalah putra paman Nabi Saw dan putra paman berada pada derajat ketiga dalam pembagian warisan. Kita tahu bahwa Abbas adalah paman Nabi Saw dan ia masih hidup pada saat Nabi Saw wafat dan paman berada pada derajat kedua dalam pembagian warisan.

Akan tetapi sesuai dengan fiqih Ahlu Sunnah, setelah menyerahkan saham (seperdelapan) para istri, harta dibagi menjadi dua bagian, satu bagian untuk Fatimah Zahra yang merupakan putri satu-satunya Nabi Saw. Dan bagian yang lain, yang bukan bagiannya, diserahkan kepada Abbas pamannya.

Oleh karena itu, Amirul Mukminin As tidak akan pernah menjadi wârits Nabi Saw. Dari sisi lain, karena Nabi Saw dengan jelas dan tegas mengumumkan bahwa Ali As adalah wârits Nabi Saw, maka wârits dalam hadis ini pastilah sesuatu yang lain. Tentu saja, tema warisan dalam hadis-hadis ini adalah kedudukan, posisi maknawi dan derajat sosial Nabi Saw. Benar, Ali adalah wârits ilmu dan sunnah Nabi Saw, dan oleh sebab itu ia adalah khalifah Rasulullah Saw.

Nabi Saw bersabda kepada Ali As, ‚Engkau adalah saudara dan wâritsku.‛ Ia berkata, ‚Wahai Rasulullah! Apa yang akan aku warisi darimu?‛ Nabi Saw bersabda, ‚Sesuatu yang telah diwariskan oleh para nabi sebelumku.‛ Ia berkata, ‚Warisan apa yang mereka tinggalkan kepadamu?‛ Nabi Saw bersabda,

‚Kitabullah dan sunnah para nabi Allah.‛[106] Imam Ali As sendiri berkata, ‚Aku adalah wârits ilmu nabi.‛[107]

4. Ali adalah Wali Mukminin

Setiap saat Nabi Saw bersua dengan seseorang yang bersikap kurang ajar kepada Ali, atau orang-orang jahil yang mengadu kepada Nabi Saw, ia bersabda:

ما تُرِيدُونَ مِنْ عَليٍّ ، إنَّ عَليّاً مِنّي وَأنا مِنْوُ وَىُوَ وَليُّ كُلُّ مُؤمِنٍ بَعدِي

‚Apa yang engkau inginkan dari Ali, Ali adalah dariku dan Aku dari Ali. Ali adalah pemimpin kaum Mukminin setelahku.‛[108]

Kendati makna wali memiliki makna yang beragam secara bahasa, dalam hadis ini tidak memiliki makna yang lain selain makna pemimpin dan junjungan; dengan memperhatikan redaksi ‚setelahku‛ dalam hadis ini menegaskan makna tersebut. Lantaran, apabila arti dari wali itu adalah teman, penolong, jiran dan teman bersumpah dan sebagainya, tidak perlu ada pengkhususan masa setelah Nabi Saw, pada masa hidupnya juga tetap berlaku.

5. Hasil-hasil Kepemimpinan Ali dalam Sabda Nabi Saw

Kapan saja para sahabat berbincang dengan Nabi Saw ihwal khalifah dan pemimpin umat pasca Nabi Saw, ia menyampaikan – menurut beberapa riwayat berkeluh sendu duhai – sebagai hasil dan buah kepemimpinan Ali As.

Sebagai contoh, Nabi Saw bersabda:

إنْ وَلَّيتُمُوىا علياً وجدتموه ىادياً مَهدياً يَسلُكُ بِكم على الطريق المستقيم

‚Apabila kalian menyerahkan khilâfah kepada Ali, kalian melihatnya bahwa ia adalah seorang penuntun dan tertuntun, yang membawa kalian ke jalan yang benar.‛[109]

أما والذي نفسي بيده لئن أطاعوه لَيَدْخُلُّن الجنة أجمعين أكتعين

‚Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, apabila mereka menaati Ali As, seluruhnya, seluruhnya akan memasuki firdaus.‛[110]

إن تستخلفوا علياً ولا أراكم فاعلين تجدوه ىادياً مَهدي اً

يحملكم على المحجة البيضاء .

‚Apabila kalian menjadikan Ali sebagai khalifah – dan aku kira kalian tidak akan melakukan hal itu – kalian telah melihatnya bahwa ia adalah orang yang terbimbing yang akan membawamu ke jalan utama.‛[111]

6. Khilâfah Intishâbi Ali As

Pada bagian sebelumnya, dalam menjelaskan hadis Al-Ghadir, kita berkata bahwa Rasulullah Saw memperkenalkan Ali sebagai penggantinya adalah perintah dari Allah Swt. Sekarang kita akan menukil sebuah riwayat yang akan menjelaskan masalah (matlab) ini dengan baik.

Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, ‚Pada malam mikraj, tatkala aku sampai pada derajat puncak kedekatan, aku berdiri di haribaan Tuhanku, Dia berfirman, ’Wahai Muhammad!’ Aku menjawab, ’Labbaik.’ Dia berfirman, ’Apakah engkau telah menguji para hamba-Ku hingga engkau tahu bahwa siapa di antara mereka yang lebih taat?’

Aku menjawab, ’Tuhanku, yang paling taat di antara mereka adalah Ali.’

Dia berfirman, ’Engkau berkata benar, wahai Muhammad! Apakah engkau telah memilih khalifah yang akan menunaikan tugas-tugasmu dan memberikan pengajaran kepada hamba-hamba-Ku ihwal apa yang mereka tidak ketahui tentangnya?’

Aku berkata, ’Tuhanku, pilihkanlah untukku.’

Dia berfirman, ’Aku telah memilih Ali untukmu. Pilihlah ia sebagai washi dan khalifah bagimu.’‛[112]

Demikian Nabi Saw bersabda, ‚Allah Swt memilih seorang nabi untuk setiap umat, dan setiap nabi memiliki seorang washi dan khalifah baginya. Aku adalah nabi umat ini dan Ali adalah washiku.‛[113] []