Syi'ah Ahl Bayt

Syi'ah Ahl Bayt0%

Syi'ah Ahl Bayt pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Rasulullah & Ahlulbait

Syi'ah Ahl Bayt

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhammad Mahdi Al-Ashifi
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 8238
Download: 6636

Komentar:

Syi'ah Ahl Bayt
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 8238 / Download: 6636
Ukuran Ukuran Ukuran
Syi'ah Ahl Bayt

Syi'ah Ahl Bayt

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

SYI’AH

AHLULBAIT AS

MUHAMAD MAHDI AL-ASHIFI

Dengan Nama Allah Yang Maha

Pengasih Maha Penyayang

Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya Allah hanyalah hendak

membersihkan noda dari kalian,

Ahlul Bait, dan menyucikan kalian sesuci-

sucinya”. (Al-Ahzab:33)

Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk

kalian dua pusaka berharga; Kitab Allah dan

Itrah; Ahlul Baitku. Selama berpegang pada

keduanya, kalian tidak akan tersesat selamalamanya.

Dan keduanya tidak akan terpisah

sampai menjumpaiku di telaga (kelak pada

Hari Kiamat)”.

(H.R. Sahih Muslim; Jil. 7:122, Sunan Ad-Darimi;

Jil. 2:432, Musnad Ahmad; Jil. 3:14, 17, 26;

Jil. 4:371; Jil. 5:182, 189. Mustadrak Al-Hakim;

Jil. 3:109, 147, 533, dan kitab-kitab induk hadis

yang lain).

Prakata Penerbit

Berbeda pendapat merupakan fitrah manusia. Sebagai Sang

Pencipta, Allah swt. menghendaki fitrah itu tetap berjalan

dalam koridor keimanan yang benar. Oleh karena itu,

adanya sebuah tolok ukur yang menjadi rujukan semua

pihak adalah satu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan

lagi. Allah swt. telah menurunkan kitab pedoman dengan

kebenaran yang akan menjadi penengah bagi umat manusia

dalam berbagai hal yang diperselisihkan (QS.2:213).

Tanpa kenyataan di atas, kehidupan yang sehat tidak

akan dapat berlangsung. Ini adalah ketentuan yang telah

ditegaskan oleh al-Qur’an di atas Tauhid yang absolut. Lalu,

penyimpangan, mitos dan kebohongan terus menerus

dilakukan oleh anak cucu Adam, hingga akhirnya mereka

mulai menjauh dari asas yang kuat ini. Dari sini jelas, bahwa

manusia tidak akan sanggup menjadi penengah antara

kebenaran dan kebatilan selagi mereka masih menjadi abdi

hawa nafsu dan budak kesesatan. Al-Qur’an telah datang,

namun hawa nafsu masih saja mencabik-cabik manusia dari

berbagai arah. Ambisi, maksiat, keresahan dan kesesatan

telah jauh menyeret manusia dari menerima hukum dan

arahan al-Qur’an dan memalingkan mereka dari merujuk

kebenaran yang telah jelas.

Menurut al-Qur’an, maksiat adalah perbuatan yang

telah menggiring manusia kepada perselisihan, kecongkakan

dan ketidakacuhan (Ibid). Di samping itu, kebodohan

turut pun memperparah keadaaan buruk ini. Hanya saja,

bukankah telah dipesankan bahwa seorang jahil hendaknya bertanya kepada orang yang tahu, sebagaimana Allah swt.

berfirman:

“Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang

tahu jika kalian tidak mengetahui.” (QS.21:7, 16:43).

Oleh karena itu, tindakan menerjang yang dilakukan oleh

seorang yang bodoh terhadap asas yang diterima akal dan

diterapkan oleh para akil ini adalah pelanggaran terhadap

kaidah dan jalan paling jelas dalam rangka menutup celah

perselisihan.

Islam adalah agama abadi yang terangkum dalam teksteks

al-Qur’an dan sunah Rasulullah; sosok yang tak pernah

mengucapkan satu kata pun dari mulutnya kecuali wahyu

Tuhan semata. Allah swt. dan Rasul-Nya telah mengetahui

bahwa umatnya akan bersilisih pendapat setelah kepergian

beliau, sebagaimana hal tersebut telah terjadi saat beliau

masih hidup dan berada di tengah-tengah mereka.

Atas dasar ini, al-Qur’an telah menurunkan pedoman

kepada umat yang dapat dipegang selepas kepergian Rasulullah;

pelita yang dapat menuntun manusia sehingga

menapaki jejak yang pernah ditinggalkan oleh beliau, dan

dapat membantu mereka dalam rangka memahami dan

menafsir-kan arahan-arahannya. Pelita itu tak lain adalah

Ahlul Bait a.s. Merekalah pribadi-pribadi yang telah disucikan

dari segala kotoran dan noda, manusia-manusia

yang kepada kakek mereka al-Qur’an diturunkan. Mereka

menerima langsung ajaran ilahi dari beliau dan memahaminya

dengan penuh kesadaran dan amanah Dan mereka

telah dianugerahi hal-hal yang tidak diberikan kepada siapa

pun.

Sebagaimana Rasulullah saw. telah menegaskan kepemimpinan

mereka secara global dalam hadis Tsaqalain yang

sangat masyhur, mereka telah berupaya semaksimal mungkin menjaga syariat Islam dan al-Qur’an dari pemahaman

dan interpretasi yang keliru. Mereka juga tekun menjelaskan

konsep-konsep agung agama. Maka itu, mereka aktif sebagai

rujukan umat Islam.

Ahlul Bait a.s. telah menepis segala kerancuan, menyambut

pertanyaan, meredam berbagai provokasi dengan penuh

ketabahan dan kemurahan hati. Riwayat dan kebajikan mereka

adalah bukti atas sikap dan perlakuan mereka yang luar

biasa agung terhadap para penanya dan tukang dongeng,

sebagaimana sejarah juga menunjukkan ketajaman dan kedalaman

jawaban-jawaban mereka sebagai bukti lain atas

kepemimpinan unggul mereka di bidang intelektualitas.

Sebagai pusaka yang tersimpan utuh dalam madrasah

mereka dan hingga sekarang tetap terpelihara dengan baik,

khazanah Ahlul Bait a.s. merupakan universitas lengkap

yang meliputi berbagai cabang ilmu-ilmu Islam, yang telah

mampu mendidik jiwa-jiwa yang siap menggali pengetahuan

dari khazanah itu dan mengetengahkannya kepada

umat dan ulama-ulama besar Islam, dan tampil sebagai

pembawa risalah Ahlul Bait a.s. yang mampu menjawab

secara argumentatif segala keraguan dan persoalan yang

dilontarkan oleh berbagai mazhab dan aliran pemikiran,

baik dari dalam maupun dari luar Islam.

Berangkat dari tugas-tugas mulia yang diemban, Lembaga

Internasional Ahlul Bait (Majma Jahani Ahlul Bait)

berusaha mempertahankan kemuliaan risalah dan hakikatnya

dari serangan berbagai golongan dan aliran yang

memusuhi Islam; dengan cara mengikuti jejak Ahlul Bait a.s.

dan penerus mereka yang senantiasa berusaha menjawab

berbagai tantangan dan tuntutan, serta berdiri tegak di garis

depan perlawanan sepanjang masa.

Khazanah yang terpelihara di dalam kitab-kitab ulama

Ahlul Bait a.s. itu tidak ada tandingannya, karena kitab-kitab tersebut disusun di atas landasan logika dan argumentasi

yang kokoh, bebas dari sentuhan hawa nafsu dan

fanatisme buta. Kepada kalangan ulama dan pakar, Mereka

pun mengetengahkan karya-karya ilmiah yang dapat diterima

oleh akal dan fitrah yang bersih.

Berbekal kekayaan pengalaman, Lembaga Internasional

Ahlul Bait berupaya mengajukan metode baru kepada para

pencari kebenaran melalui berbagai tulisan dan karya ilmiah

yang disusun oleh para penulis kontemporer yang komit

pada khazanah Ahlul Bait a.s., dan oleh para penulis yang

telah mendapatkan karunia Ilahi untuk mengikuti ajaran

mulia tersebut. Di samping itu, Lembaga ini berupaya

meneliti dan menyebarkan berbagai tulisan bermanfaat dan

karya ulama Syi'ah terdahulu, agar kekayaan ilmiah ini

men-jadi mata air bagi pencari kebenaran yang mengalir ke

segenap penjuru dunia, di era kemajuan intelektual yang

telah mencapai kematangannya, sementara interaksi antarindividu

semakin terjalin demikian cepatnya, hingga

terbuka pintu hatinya dalam menerima kebenaran tersebut

melalui madrasah Ahlul Bait a.s.

Akhirnya, kami mengharap kepada para pembaca yang

mulia; kiranya sudi menyampaikan berbagai pandangan,

gagasan dan kritik konstruktif demi berkembangan lembaga

ini di masa-masa mendatang. Kami juga mengajak kepada

berbagai lembaga ilmiah, ulama, penulis dan penerjemah

untuk bekerja sama dengan kami dalam upaya menyebarluaskan

ajaran dan khazanah Islam yang murni. Semoga

Allah swt. berkenan menerima usaha sederhana ini, melimpahkan

taufik-Nya, serta senantiasa menjaga Khalifah-

Nya, Imam Mahdi afs. di muka bumi ini.

Kami ucapkan terima kasih banyak dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada Syeikh Muhammad Husein

Falah Zadeh yang telah berupaya menulis buku ini, dan kepada Sdr. Nasir Dimyati yang telah bekerja keras menerjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia, juga kepada semua

pihak yang telah berpartisipasi di dalam penerbitannya.[]

Divisi Kebudayaan

Lembaga Internasional Ahlul Bait

Mukadimah

SIAPAKAH SYI’AH AHLULBAIT AS.?

Syi’ah berasal dari kata tasyayyu’ yang bersinonim dengan

kata Arab lainnya seperti; intima’, musyaya’ah, mutaba’ah dan

wala’; yang masing-masing berarti keberpihakan, dukungan,

ikut dan tunduk atau cinta. Kata syi’ah juga disinyalir dalam

Al-Qur’an demikian:

﴿ وَ إ م ن مِن شِيعَتِهِ لََبرَاهيمَ ﴾ ﴿ إذ جَاءَ رَبمهُ بِقَلبٍ سَلِيمٍ ﴾

“Dan sesungguhnya Ibrahim tergolong pengikutnya

(Nuh), karena dia menghadap Tuhannya dengan hati

yang murni” (As-Shaffat: 83-84).

Allah swt. menyatakan bahwa Nabi Ibrahim as. adalah

syi’ah Nabi Nuh as. yang sebenar-benarnya; dia mengikuti

jejak dan petunjuk Nuh as. dalam dakwah kepada tauhid

dan keadilan.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa secara historis,

kata tasyayyu’ atau wala’ di sini berarti mendukung dan

mengikuti Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib as. dan

imam-imam suci setelahnya yang juga dari keturunannya.

Mereka adalah Ahlulbait atau keluarga Rasulullah saw.

yang dimaksudkan oleh dua ayat, yaitu ayat Tathhir dan

ayat Mawaddah.[1]

Dalam sejarah Islam, kata tasyayyu’ secara umum berarti

dukungan atau kesetiaan pada Ahlulbait Rasulullah

saw. dan ajaran mereka. Dari sini dapat dimengerti dua

makna pengikutan tersebut. Makna pertama adalah dukungan

politis dalam konteks kepemimpinan politik. Dan

makna kedua yaitu pengikutan kultural dan intelektual;

atau fikih. Dua makna inilah yang kemudian menjadi identitas

atau kriteria paling menonjol Syi’ah (pengikut) Ahlul-bait as. dan membedakan mereka dari Muslimin lainnya.

Uraian dua makna ini dapat disimak sebagai berikut:

1. Kepemimpinan Politis Ahlulbait as.

Rasulullah saw. telah melantik Ali bin Abi Thalib as. sebagai

imam atau pemimpin Muslimin ketika pulang dari haji

Wada’, yaitu haji perpisahan sekaligus terakhir beliau,

tepatnya di sebuah tempat bernama Ghadir Khum, sebelum

persimpangan jalan yang memisahkan para musafir dari

berbagai kota dan negeri. Beliau memerintahkan orang yang

telah mendahului untuk kembali dan menanti mereka yang

masih di belakang sampai lokasi. Hingga berkumpullah

halayak yang begitu besar dan ramai. Peristiwa ini tepatnya

terjadi pada siang hari yang panas sekali, dan menurut

catatan sejarah, mereka tidak pernah mengalami hari yang

lebih panas daripada hari itu.

Dalam situasi demikian, Rasulullah saw. memerintahkan

sahabat untuk mempersiapkan pohon-pohon besar.

Mereka menyapu tanah dan menyiraminya kemudian berteduh

di bawah naungan pakaian yang dibentangkan.

Beliau memimpin shalat Dzuhur, setelah itu berpidato

di hadapan halayak sahabat dan mengingatkan mereka akan

kematian yang semakin dekat. Kemudian beliau mengangkat

tangan Ali bin Abi Thalib as. sehingga putih ketiak Ali

as. terlihat oleh hadirin seraya bersabda: “Wahai umat manusia!

Bukankah aku lebih berhak atas kalian daripada diri

kalian sendiri?

“Ya”, jawab mereka.

Rasulullah saw. melanjutkan: “Barang siapa yang aku

sebagai pemimpinnya (dan lebih berhak pada dirinya dari

pada diri dia sendiri) maka Ali adalah pemimpinnya. Ya

Allah! Dukunglah orang yang mendukungnya, musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya,

dan terlantarkanlah orang yang mengkhianatinya!”

Sebelum peristiwa agung itu, Allah swt. telah memerintahkan

Rasulullah saw. agar menyampaikan wahyu Ilahi ini

kepada umat:

﴿ يََ أيُّ هَا المرسُولُ بَ ل غ مَا اُنزِلَ اِلَيكَ مِن رَب كَ وَ اِن لََ تَفعَل فَمَ ا بَ لمغتَ

رِسَالَتَهُ وَ اللهُ يَعصِمُكَ مِنَ النماسِ ﴾

“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang telah diturunkan

ke atasmu dari Tuhanmu, dan seandainya kamu tidak melakukannya

niscaya kamu tidak menyampaikan risalahmu

sama sekali, dan sesungguhnya Allahlah yang menjagamu

dari manusia”. (QS. Al-Maidah: 67)

Allah swt. memerintahkan Rasul-Nya agar menyampaikan

pesan suksesi dan khilafah setelah beliau kepada umatnya.

Redaksi ayat di atas ini sangat kuat dan keras; kita tidak

menemukan nada firman Allah swt. kepada beliau sedemikian

ini di tempat lain dari al-Qur’an, yaitu: “Apabila kamu

tidak melakukannya niscaya kamu tidak menyampaikan risalahmu

sama sekali”.

Lalu ayat ini dilanjutkan dengan kalimat penenang yang

memberikan jaminan kepada Rasulullah saw. Karena pada

waktu itu, beliau khawatir terhadap situasi dan firman itu

sendiri Beliau merasa tidak tenang akan reaksi masyarakat

dalam menyikapi risalah yang akan beliau sampaikan ini,

maka Allah swt. berfirman: “… dan sesungguhnya Allahlah yang

menjagamu dari umat manusia”.

Ketika Rasulullah saw. telah menyampaikan perkara

kepemimpinan dan suksesi itu kepada umatnya secara

sempurna, turunlah ayat ikmal:

  ﴿أليَومَ أكمَلتُ لَكُم دِينَكُم وَ أتََمتُ عَلَيكُم نِعمَتِِ وَ رَضِيتُ لَكُمُ الاِسلََمَ

دِينًا﴾

“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian,

dan telah Kulengkapi nikmat-Ku pada kalian, dan telah

Kurelakan Islam sebagai agama untuk kalian”. (QS. Al-

Maidah: 3)

Riwayat peristiwa besar ini tercatat dalam sejarah secara

mutawatir[2] di semua tingkatan (generasi) dan sanad perawi,

mulai dari zaman sahabat sampai detik ini.

Dari generasi pertama, lebih dari seratus sahabat nabi

yang meriwayatkannya, adapun dari generasi kedua, lebih

dari delapan puluh empat tabi’in yang meriwayatkan peristiwa

ini, jumlah ini terus meningkat sejalan dengan luasnya

generasi perawi berikutnya. Syaikh Abdul Husain Amini

telah menghitung perawi-perawi itu pada jilid pertama dari

karya spektakulernya yang bernama Al-Ghadir. Usaha ini

disempurnakan oleh sahabat karib saya; Sayid Abdul Aziz

Thabathaba’i setelah menjumpai sejumlah nama-nama

sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in serta menambahkan

beberapa referensi yang lain.

Dari sekian jalur yang disebutkan untuk hadis Ghadir,

terdapat beberapa jalur yang sahih bahkan di puncak

kesahihan; sehingga tidak ada alasan dan cela sedikitpun

untuk meragukannya, sebagaimana telah disinyalir oleh

para penghafal al-Qur’an, ahli hadis, para mufassir, ahli

sejarah dan sejumlah besar pakar lainnya yang tidak bisa

dimuat di sini. Di antara mereka adalah: at-Tirmidzi dalam

as-Sahih, Ibn Majah dalam as-Sunan, Admad bin Hanbal  dalam al-Musnad, Nasa’i dalam al-Khasa’is, al-Hakim dalam

al-Mustadrak, al-Muttaqi dalam Kanzul Ummal, al-Manawi

dalam Faidlul Qodir, al-Haytsami dalam Majmauz Zawaid,

Muhib at-Thabari dalam ar-Riyadlun Nadliroh, al-Khatib al-

Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Ibnu al-Asakir dalam

Tarikhu Dimisyq, Ibnu Atsir al-Jazri dalam Usudul Ghabah,

ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar, Abu Na’im dalam

Hilyatul Awliya’, Ibnu Hajar dalam as-Showa’iq al-Muhriqoh,

Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari dan nama-nama

lain yang tidak mungkin disebutkan semuanya dalam pengantar

ringkas ini.

Ibnu Hajar mencatat sejumlah nama sahabat yang meriwayatkan

Hadis Ghadir dalam kitabnya berjudul Tah-dzib at-

Tahdzib, kemudian menulis demikian: “Ibnu Jarir at-Thabari

mengumpulkan hadis muwalat (kepemimpinan) dalam karyanya

yang mencakup berapa kali lipat lebih banyak dari

yang saya catat. Dia juga membenarkan hadis ini dan

menyatakannya sebagai hadis sahih…”.

Ibnu Hajar melanjutkan: “Dan setelah memperhatikan

pengumpulan jalur Abul Abbas bin Uqdah, dia meriwayatkannya

dari tujuh puluh sahabat bahkan lebih”.[3]

Ibnu Hajar berkata dalam karyanya yang bernama

Fathul Bari sebagai berikut: “Adapun hadis “man kuntu maulahu

fa hadza Aliyun maulauhu” (barang siapa aku adalah

pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya) telah diriwayatkan

oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i. Hadis ini diriwayatkan

dari jalur yang sangat banyak, dan Ibnu Uqdah

mengumpulkannya dalam kitab tersendiri. Mayoritas sanad

dari hadis ini adalah sahih atau hasan”.[4]

Oleh karena itu, dari sisi sanad, hadis Ghadir tidak bisa

disanggah dan diragukan lagi. Begitu pula dari sisi makna

lantaran arahan-arahan yang menyertainya. Maka, begitu

jelasnya kandungan hadis ini sehingga tidak meninggalkan

peluang sedikitpun untuk diragukan.

Bahwa tidak mungkin Rasulullah saw. mengumpulkan

sahabat sebanyak itu di siang hari yang menyengat, di

persimpangan jalan, dan memerintahkan orang yang telah

lewat untuk kembali dan menunggu mereka yang belum

sampai kecuali untuk suatu kepentingan yang luar biasa

yang menentukan nasib umat manusia sepanjang masa.

Sebelum mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as. dan

menyatakan pelantikannya; “man kuntu maulahu fa hadza

aliyun maulahu”, mula-mula Rasulullah saw. menegaskan

satu permasalahan dengan bertanya pada hadirin: “Bukankah

aku lebih berhak atas diri kalian daripada diri kalian

sendiri?” Mereka menjawab positif pertanyaan itu sebagai

penegasan atas kepemimpinan dan otoritas Rasulullah saw.

atas seluruh umat Islam. Baru saat itulah beliau melanjutkan

pesan intinya: “Barangsiapa aku adalah pemimpinnya (yang

berhak atas dirinya daripada atas dirinya sendiri) maka Ali

adalah pemimpinnya”.

Seketika itu juga para sahabat besar Rasul saw. menemui

Ali bin Abi Thalib as. untuk mengucapkan selamat atas

suksesi dan pelantikan ini, termasuk di antara mereka Abu

Bakar dan Umar bin Khaththab.

Sebenarnya, sebagian dari sikap dan hadis ini, termasuk

beberapa arahan, kemutawatiran dan kesaksian serta penjelasan

yang ada, sudah lebih dari cukup untuk menerangkan

suksesi dan kepemimpinan setelah Rasulullah saw., dan

bahwasanya beliau menyampaikan sabda-sabda itu tidak

lain untuk melantik Ali bin Abi Thalib as. sebagai imam dan

pemimpin umat Islam sepeninggal beliau. Semua ini akan ⌂⌂⌂

berjalan normal seandainya situasi politik tidak menjadi

kendala yang akan mengaburkan makna hadis Ghadir di

benak masyarakat, dan setelah diketahui dari sisi sanad

bahwa semua pintu keraguan tertutup rapat bagi mereka.

Bertolak dari hadis ini juga hadis-hadis lain yang sharih

dan sahih,[5] Syi’ah Ahlulbait as. meyakini bahwa kepemimpinan

politis setelah Rasulullah saw. adalah hak dan

atau tugas Ali bin Abi Thalib as. dan imam-imam setelahnya

dari keturunannya.

2. Ahlulbait Sebagai Rujukan Hukum dan Peradaban

Makna kedua dari dua makna utama pengikutan ini merupakan

ciri khas yang membedakan Syi’ah Ahlulbait as.

dari komunitas Muslim yang lain.

Ketika masih hidup, Rasulullah saw. sudah menentukan

Ahlulbait as. sebagai rujukan Muslimin sepeninggal

beliau, tempat bertanya tentang hukum syiariat, dan sumber

penyelesaian segala perkara, jalan yang mengarahkan mereka

kepada hidayah dan menjaga mereka dari kesesatan.

Ahlulbait as. adalah rujukan kedua yang ditentukan oleh

beliau setelah al-Qur’an.

Rasulullah saw. memposisikan Ahlulbait as. sebagai

pasangan al-Qur’an, tepatnya dalam sabda beliau yang

dikenal dengan hadis Tsaqalain (dua pusaka). Hadis ini

populer sekali di kalangan ahli hadis dan dinyatakan sahih;

baik menurut Syi’ah maupun Ahli Sunnah. Bahkan hadis ini

diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah saw. Hal itu karena perhatian beliau yang sangat besar akan penyebaran

hadis ini ke generasi Muslim berikutnya.

Termasuk ahli hadis yang meriwayatkan hadis ini ialah

Muslim bin Hajjaj dalam Shahih-nya di bab keutamaan Ali

bin Abi Thalib as. Dia meriwayatkannya dari Zaid bin Arqam

berkata: “Suatu hari, Rasulullah saw. berdiri di tengah

kita, di lembah bernama Khum yang terletak di antara

Mekkah dan Madinah. Setelah ber-hamdalah, memanjatkan

puja dan puji kehadirat Allah swt., beliau memberikan

nasihat dan peringatan, kemudian bersabda:

‘Amma ba’du, wahai umat manusia! Sesungguhnya aku

adalah manusia yang tak lama lagi akan dijemput oleh

utusan Tuhanku, aku pun akan memenuhi panggilan-Nya.

Sesungguhnya telah aku tinggalkan dua pusaka besar untuk

kalian, pusaka pertama adalah kitab Allah swt. yang di dalamnya

terdapat petunjuk dan cahaya, maka raihlah kitab

Allah swt. dan peganglah seteguh-teguhnya!’

“Beliau melanjutkan pesan tentang al-Qur’an dan

memberi motivasi untuk merujuknya, kemudian bersabda:

‘Pusaka kedua adalah Ahlulbaitku. Kuingatkan kalian

akan Ahlulbaitku, kuingatkan kalian akan Ahlulbaitku, dan

kuingatkan kalian akan Ahlulbaitku!’”[6]

Juga at-Tirmidzi dalam Shahih-nya meriwayatkan hadis

Ghadir dari Zaid bin Arqam yang berkata: “Rasulullah saw.

Bersabda:

‘Sungguh telah aku tinggalkan pada kalian dua pusaka

yang apabila berpegang teguh padanya, kalian tidak akan

sesat sepeninggalku; pusaka pertama lebih agung dari yang

kedua, yaitu kitab Allah swt. (al-Qur’an), tali yang memanjang

dari langit sampai ke bumi, adapun pusaka keduaku

adalah keluargaku; Ahlulbaitku. Kedua pusaka ini tidak akan berpisah sampai menjumpaiku di telaga kelak. Maka

perhatikanlah bagaimana kalian akan memperlakukan dua

pusaka ini setelahku!’”[7]

At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis ini dari Jabir bin

Abdillah berkata: “Aku melihat Rasulullah saw. di hari

Arafah ketika beliau berada di atas unta paling tinggi seraya

berceramah dan aku menyimak: ‘Wahai umat manusia!

Telah aku tinggalkan pada kalian pusaka yang apabila

kalian pegang, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu kitab

Allah (al-Qur’an) dan keluargaku; Ahlulbaitku’”.[8]

Hakim Naisyaburi dalam Mustadrak ash-Shahihain meriwayatkan

hadis ini dari Zaid bin Arqam dengan berbagai

sanadnya.[9]

Ahmad bin Hanbal di beberapa tempat dari Musnadnya

pun meriwayatkan hadis ini dari Abi Said al-Khudri,[10] Zaid

bin Arqam,[11] dan lewat dua jalur dari Zaid bin Tsabit.[12]

Sebenarnya hadis ini memiliki jalur periwayatan yang

sangat banyak dengan sanad yang sahih sehingga terhitung

sebagai hadis mustafidh..[13] Tampak begitu besar nilai hadis ini

dengan berbagai penukilan ahli hadis besar seperti Muslim

dan at-Tirmidzi dalam kitab Sahih mereka.

Allamah Mir Hamid Husein al-Lakhnuwi mengumpulkan

jalur-jalur hadis ini secara terperinci sehingga menjadi buku yang berjilid besar. Dalam buku lain, dia juga membahas

arti hadis ini secara teliti. Belakangan ini, dua jilid

bukunya dicetak satu dalam sepuluh jilid. Semoga Allah

swt. memberi rahmat pada Sayid Mir Hamid Husein dan

menerima kontribusi ilmiahnya yang besar dan berharga.

Alhasil, dalam hadis ini disebutkan:

1. Rasulullah saw. mendampingkan Ahlulbait as. di sisi

al-Qur’an.

2. Beliau menerangkan dua pusaka ini secara bersamaan

(dan tidak secara terpisah atau sendiri-sendiri) untuk

menjaga manusia dari kesesatan.

3. Beliau memerintahkan umatnya agar berpegang teguh

pada dua pusaka itu. Beliau juga memberikan penekanan

terhadap hal itu.

4. Beliau memberitakan bahwa kedua pusaka itu (al-

Qur’an dan Ahlulbait as.) tidak akan terpisah sampai

mereka menjumpai beliau di telaga yang disebutkan.

Maka dua hal itu secara bersamaan menjadi rujukan

umat setelah Rasulullah saw. dalam semua perkara

yang berkaitan dengan agama, seperti dalam prinsipprinsipnya,

hukum-hukumnya, pokok-pokok dan

cabang-cabangnya.

Haytsami dalam kitab ash-Shawa’iq al-Muhriqoh menuliskan:

“Ada arahan yang bisa ditangkap dari hadis-hadis yang

menganjurkan umat Muhammad saw. agar berpegang

teguh pada Ahlulbait as., yaitu kesinambungan Ahlulbait as.

yang dapat dipegang sampai Hari Kiamat, sebagaimana al-

Qur’an yang senantiasa ada dan terjaga sampai hari yang

sama. Oleh karena itu, mereka adalah keamanan bagi bumi.

Dan bukti lain atas arahan ini adalah hadis yang berbunyi:

“Di setiap generasi umatku terdapat orang adil dari

Ahlulbaitku”.[14] &[15]

Inilah uraian yang sangat ringkas tentang beberapa poin

penting yang merupakan kriteria Syi’ah Ahlulbait as. sekaligus

sebagai ciri-ciri pembeda antara mereka dari komunitas

Muslim lainnya.

Sampai di sini, kami rasa sudah saatnya memasuki pembahasan

utama kita, karena buku ini tidak terfokus pada

pembahasan tentang identitas ideologis Syi’ah Ahlulbait as.

Hanya saja kita berbicara tentang dua poin penting di atas

secara singkat sebagai mukadimah untuk mengantarkan

kita ke empat poin besar berikutnya seputar wilayah dan

pengikutan kepada Ahlulbait as.. Poin-poin itu adalah

sebagai berikut:

o Nilai wilayah dan kesetiaan kepada Ahlulbait as.

o Syarat-syarat umum dalam kesetiaan dan keberpihakan

pada Ahlulbait as.

o Unsur-unsur yang membentuk wilayah dan kesetiaan

pada Ahlulbait as.

o Tingkatan dan raihan kesetiaan dan keberpihakan pada

ajaran Ahlulbait as.

Selanjutnya kita akan membahas satu per satu dari empat

poin di atas, insya-Allah ta’ala.[]