Mukadimah
SIAPAKAH SYI’AH AHLULBAIT AS.?
Syi’ah berasal dari kata tasyayyu’ yang bersinonim dengan
kata Arab lainnya seperti; intima’, musyaya’ah, mutaba’ah dan
wala’; yang masing-masing berarti keberpihakan, dukungan,
ikut dan tunduk atau cinta. Kata syi’ah juga disinyalir dalam
Al-Qur’an demikian:
﴿ وَ إ م ن مِن شِيعَتِهِ لََبرَاهيمَ ﴾ ﴿ إذ جَاءَ رَبمهُ بِقَلبٍ سَلِيمٍ ﴾
“Dan sesungguhnya Ibrahim tergolong pengikutnya
(Nuh), karena dia menghadap Tuhannya dengan hati
yang murni” (As-Shaffat: 83-84).
Allah swt. menyatakan bahwa Nabi Ibrahim as. adalah
syi’ah Nabi Nuh as. yang sebenar-benarnya; dia mengikuti
jejak dan petunjuk Nuh as. dalam dakwah kepada tauhid
dan keadilan.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa secara historis,
kata tasyayyu’ atau wala’ di sini berarti mendukung dan
mengikuti Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib as. dan
imam-imam suci setelahnya yang juga dari keturunannya.
Mereka adalah Ahlulbait atau keluarga Rasulullah saw.
yang dimaksudkan oleh dua ayat, yaitu ayat Tathhir dan
ayat Mawaddah.
Dalam sejarah Islam, kata tasyayyu’ secara umum berarti
dukungan atau kesetiaan pada Ahlulbait Rasulullah
saw. dan ajaran mereka. Dari sini dapat dimengerti dua
makna pengikutan tersebut. Makna pertama adalah dukungan
politis dalam konteks kepemimpinan politik. Dan
makna kedua yaitu pengikutan kultural dan intelektual;
atau fikih. Dua makna inilah yang kemudian menjadi identitas
atau kriteria paling menonjol Syi’ah (pengikut) Ahlul-bait as. dan membedakan mereka dari Muslimin lainnya.
Uraian dua makna ini dapat disimak sebagai berikut:
1. Kepemimpinan Politis Ahlulbait as.
Rasulullah saw. telah melantik Ali bin Abi Thalib as. sebagai
imam atau pemimpin Muslimin ketika pulang dari haji
Wada’, yaitu haji perpisahan sekaligus terakhir beliau,
tepatnya di sebuah tempat bernama Ghadir Khum, sebelum
persimpangan jalan yang memisahkan para musafir dari
berbagai kota dan negeri. Beliau memerintahkan orang yang
telah mendahului untuk kembali dan menanti mereka yang
masih di belakang sampai lokasi. Hingga berkumpullah
halayak yang begitu besar dan ramai. Peristiwa ini tepatnya
terjadi pada siang hari yang panas sekali, dan menurut
catatan sejarah, mereka tidak pernah mengalami hari yang
lebih panas daripada hari itu.
Dalam situasi demikian, Rasulullah saw. memerintahkan
sahabat untuk mempersiapkan pohon-pohon besar.
Mereka menyapu tanah dan menyiraminya kemudian berteduh
di bawah naungan pakaian yang dibentangkan.
Beliau memimpin shalat Dzuhur, setelah itu berpidato
di hadapan halayak sahabat dan mengingatkan mereka akan
kematian yang semakin dekat. Kemudian beliau mengangkat
tangan Ali bin Abi Thalib as. sehingga putih ketiak Ali
as. terlihat oleh hadirin seraya bersabda: “Wahai umat manusia!
Bukankah aku lebih berhak atas kalian daripada diri
kalian sendiri?
“Ya”, jawab mereka.
Rasulullah saw. melanjutkan: “Barang siapa yang aku
sebagai pemimpinnya (dan lebih berhak pada dirinya dari
pada diri dia sendiri) maka Ali adalah pemimpinnya. Ya
Allah! Dukunglah orang yang mendukungnya, musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya,
dan terlantarkanlah orang yang mengkhianatinya!”
Sebelum peristiwa agung itu, Allah swt. telah memerintahkan
Rasulullah saw. agar menyampaikan wahyu Ilahi ini
kepada umat:
﴿ يََ أيُّ هَا المرسُولُ بَ ل غ مَا اُنزِلَ اِلَيكَ مِن رَب كَ وَ اِن لََ تَفعَل فَمَ ا بَ لمغتَ
رِسَالَتَهُ وَ اللهُ يَعصِمُكَ مِنَ النماسِ ﴾
“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang telah diturunkan
ke atasmu dari Tuhanmu, dan seandainya kamu tidak melakukannya
niscaya kamu tidak menyampaikan risalahmu
sama sekali, dan sesungguhnya Allahlah yang menjagamu
dari manusia”. (QS. Al-Maidah: 67)
Allah swt. memerintahkan Rasul-Nya agar menyampaikan
pesan suksesi dan khilafah setelah beliau kepada umatnya.
Redaksi ayat di atas ini sangat kuat dan keras; kita tidak
menemukan nada firman Allah swt. kepada beliau sedemikian
ini di tempat lain dari al-Qur’an, yaitu: “Apabila kamu
tidak melakukannya niscaya kamu tidak menyampaikan risalahmu
sama sekali”.
Lalu ayat ini dilanjutkan dengan kalimat penenang yang
memberikan jaminan kepada Rasulullah saw. Karena pada
waktu itu, beliau khawatir terhadap situasi dan firman itu
sendiri Beliau merasa tidak tenang akan reaksi masyarakat
dalam menyikapi risalah yang akan beliau sampaikan ini,
maka Allah swt. berfirman: “… dan sesungguhnya Allahlah yang
menjagamu dari umat manusia”.
Ketika Rasulullah saw. telah menyampaikan perkara
kepemimpinan dan suksesi itu kepada umatnya secara
sempurna, turunlah ayat ikmal:
﴿أليَومَ أكمَلتُ لَكُم دِينَكُم وَ أتََمتُ عَلَيكُم نِعمَتِِ وَ رَضِيتُ لَكُمُ الاِسلََمَ
دِينًا﴾
“Hari ini telah Kusempurnakan bagi kalian agama kalian,
dan telah Kulengkapi nikmat-Ku pada kalian, dan telah
Kurelakan Islam sebagai agama untuk kalian”. (QS. Al-
Maidah: 3)
Riwayat peristiwa besar ini tercatat dalam sejarah secara
mutawatir
di semua tingkatan (generasi) dan sanad perawi,
mulai dari zaman sahabat sampai detik ini.
Dari generasi pertama, lebih dari seratus sahabat nabi
yang meriwayatkannya, adapun dari generasi kedua, lebih
dari delapan puluh empat tabi’in yang meriwayatkan peristiwa
ini, jumlah ini terus meningkat sejalan dengan luasnya
generasi perawi berikutnya. Syaikh Abdul Husain Amini
telah menghitung perawi-perawi itu pada jilid pertama dari
karya spektakulernya yang bernama Al-Ghadir. Usaha ini
disempurnakan oleh sahabat karib saya; Sayid Abdul Aziz
Thabathaba’i setelah menjumpai sejumlah nama-nama
sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in serta menambahkan
beberapa referensi yang lain.
Dari sekian jalur yang disebutkan untuk hadis Ghadir,
terdapat beberapa jalur yang sahih bahkan di puncak
kesahihan; sehingga tidak ada alasan dan cela sedikitpun
untuk meragukannya, sebagaimana telah disinyalir oleh
para penghafal al-Qur’an, ahli hadis, para mufassir, ahli
sejarah dan sejumlah besar pakar lainnya yang tidak bisa
dimuat di sini. Di antara mereka adalah: at-Tirmidzi dalam
as-Sahih, Ibn Majah dalam as-Sunan, Admad bin Hanbal
dalam al-Musnad, Nasa’i dalam al-Khasa’is, al-Hakim dalam
al-Mustadrak, al-Muttaqi dalam Kanzul Ummal, al-Manawi
dalam Faidlul Qodir, al-Haytsami dalam Majmauz Zawaid,
Muhib at-Thabari dalam ar-Riyadlun Nadliroh, al-Khatib al-
Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Ibnu al-Asakir dalam
Tarikhu Dimisyq, Ibnu Atsir al-Jazri dalam Usudul Ghabah,
ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar, Abu Na’im dalam
Hilyatul Awliya’, Ibnu Hajar dalam as-Showa’iq al-Muhriqoh,
Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari dan nama-nama
lain yang tidak mungkin disebutkan semuanya dalam pengantar
ringkas ini.
Ibnu Hajar mencatat sejumlah nama sahabat yang meriwayatkan
Hadis Ghadir dalam kitabnya berjudul Tah-dzib at-
Tahdzib, kemudian menulis demikian: “Ibnu Jarir at-Thabari
mengumpulkan hadis muwalat (kepemimpinan) dalam karyanya
yang mencakup berapa kali lipat lebih banyak dari
yang saya catat. Dia juga membenarkan hadis ini dan
menyatakannya sebagai hadis sahih…”.
Ibnu Hajar melanjutkan: “Dan setelah memperhatikan
pengumpulan jalur Abul Abbas bin Uqdah, dia meriwayatkannya
dari tujuh puluh sahabat bahkan lebih”.
Ibnu Hajar berkata dalam karyanya yang bernama
Fathul Bari sebagai berikut: “Adapun hadis “man kuntu maulahu
fa hadza Aliyun maulauhu” (barang siapa aku adalah
pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya) telah diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i. Hadis ini diriwayatkan
dari jalur yang sangat banyak, dan Ibnu Uqdah
mengumpulkannya dalam kitab tersendiri. Mayoritas sanad
dari hadis ini adalah sahih atau hasan”.
Oleh karena itu, dari sisi sanad, hadis Ghadir tidak bisa
disanggah dan diragukan lagi. Begitu pula dari sisi makna
lantaran arahan-arahan yang menyertainya. Maka, begitu
jelasnya kandungan hadis ini sehingga tidak meninggalkan
peluang sedikitpun untuk diragukan.
Bahwa tidak mungkin Rasulullah saw. mengumpulkan
sahabat sebanyak itu di siang hari yang menyengat, di
persimpangan jalan, dan memerintahkan orang yang telah
lewat untuk kembali dan menunggu mereka yang belum
sampai kecuali untuk suatu kepentingan yang luar biasa
yang menentukan nasib umat manusia sepanjang masa.
Sebelum mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as. dan
menyatakan pelantikannya; “man kuntu maulahu fa hadza
aliyun maulahu”, mula-mula Rasulullah saw. menegaskan
satu permasalahan dengan bertanya pada hadirin: “Bukankah
aku lebih berhak atas diri kalian daripada diri kalian
sendiri?” Mereka menjawab positif pertanyaan itu sebagai
penegasan atas kepemimpinan dan otoritas Rasulullah saw.
atas seluruh umat Islam. Baru saat itulah beliau melanjutkan
pesan intinya: “Barangsiapa aku adalah pemimpinnya (yang
berhak atas dirinya daripada atas dirinya sendiri) maka Ali
adalah pemimpinnya”.
Seketika itu juga para sahabat besar Rasul saw. menemui
Ali bin Abi Thalib as. untuk mengucapkan selamat atas
suksesi dan pelantikan ini, termasuk di antara mereka Abu
Bakar dan Umar bin Khaththab.
Sebenarnya, sebagian dari sikap dan hadis ini, termasuk
beberapa arahan, kemutawatiran dan kesaksian serta penjelasan
yang ada, sudah lebih dari cukup untuk menerangkan
suksesi dan kepemimpinan setelah Rasulullah saw., dan
bahwasanya beliau menyampaikan sabda-sabda itu tidak
lain untuk melantik Ali bin Abi Thalib as. sebagai imam dan
pemimpin umat Islam sepeninggal beliau. Semua ini akan ⌂⌂⌂
berjalan normal seandainya situasi politik tidak menjadi
kendala yang akan mengaburkan makna hadis Ghadir di
benak masyarakat, dan setelah diketahui dari sisi sanad
bahwa semua pintu keraguan tertutup rapat bagi mereka.
Bertolak dari hadis ini juga hadis-hadis lain yang sharih
dan sahih,
Syi’ah Ahlulbait as. meyakini bahwa kepemimpinan
politis setelah Rasulullah saw. adalah hak dan
atau tugas Ali bin Abi Thalib as. dan imam-imam setelahnya
dari keturunannya.
2. Ahlulbait Sebagai Rujukan Hukum dan Peradaban
Makna kedua dari dua makna utama pengikutan ini merupakan
ciri khas yang membedakan Syi’ah Ahlulbait as.
dari komunitas Muslim yang lain.
Ketika masih hidup, Rasulullah saw. sudah menentukan
Ahlulbait as. sebagai rujukan Muslimin sepeninggal
beliau, tempat bertanya tentang hukum syiariat, dan sumber
penyelesaian segala perkara, jalan yang mengarahkan mereka
kepada hidayah dan menjaga mereka dari kesesatan.
Ahlulbait as. adalah rujukan kedua yang ditentukan oleh
beliau setelah al-Qur’an.
Rasulullah saw. memposisikan Ahlulbait as. sebagai
pasangan al-Qur’an, tepatnya dalam sabda beliau yang
dikenal dengan hadis Tsaqalain (dua pusaka). Hadis ini
populer sekali di kalangan ahli hadis dan dinyatakan sahih;
baik menurut Syi’ah maupun Ahli Sunnah. Bahkan hadis ini
diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah saw. Hal itu karena perhatian beliau yang sangat besar akan penyebaran
hadis ini ke generasi Muslim berikutnya.
Termasuk ahli hadis yang meriwayatkan hadis ini ialah
Muslim bin Hajjaj dalam Shahih-nya di bab keutamaan Ali
bin Abi Thalib as. Dia meriwayatkannya dari Zaid bin Arqam
berkata: “Suatu hari, Rasulullah saw. berdiri di tengah
kita, di lembah bernama Khum yang terletak di antara
Mekkah dan Madinah. Setelah ber-hamdalah, memanjatkan
puja dan puji kehadirat Allah swt., beliau memberikan
nasihat dan peringatan, kemudian bersabda:
‘Amma ba’du, wahai umat manusia! Sesungguhnya aku
adalah manusia yang tak lama lagi akan dijemput oleh
utusan Tuhanku, aku pun akan memenuhi panggilan-Nya.
Sesungguhnya telah aku tinggalkan dua pusaka besar untuk
kalian, pusaka pertama adalah kitab Allah swt. yang di dalamnya
terdapat petunjuk dan cahaya, maka raihlah kitab
Allah swt. dan peganglah seteguh-teguhnya!’
“Beliau melanjutkan pesan tentang al-Qur’an dan
memberi motivasi untuk merujuknya, kemudian bersabda:
‘Pusaka kedua adalah Ahlulbaitku. Kuingatkan kalian
akan Ahlulbaitku, kuingatkan kalian akan Ahlulbaitku, dan
kuingatkan kalian akan Ahlulbaitku!’”
Juga at-Tirmidzi dalam Shahih-nya meriwayatkan hadis
Ghadir dari Zaid bin Arqam yang berkata: “Rasulullah saw.
Bersabda:
‘Sungguh telah aku tinggalkan pada kalian dua pusaka
yang apabila berpegang teguh padanya, kalian tidak akan
sesat sepeninggalku; pusaka pertama lebih agung dari yang
kedua, yaitu kitab Allah swt. (al-Qur’an), tali yang memanjang
dari langit sampai ke bumi, adapun pusaka keduaku
adalah keluargaku; Ahlulbaitku. Kedua pusaka ini tidak akan berpisah sampai menjumpaiku di telaga kelak. Maka
perhatikanlah bagaimana kalian akan memperlakukan dua
pusaka ini setelahku!’”
At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis ini dari Jabir bin
Abdillah berkata: “Aku melihat Rasulullah saw. di hari
Arafah ketika beliau berada di atas unta paling tinggi seraya
berceramah dan aku menyimak: ‘Wahai umat manusia!
Telah aku tinggalkan pada kalian pusaka yang apabila
kalian pegang, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu kitab
Allah (al-Qur’an) dan keluargaku; Ahlulbaitku’”.
Hakim Naisyaburi dalam Mustadrak ash-Shahihain meriwayatkan
hadis ini dari Zaid bin Arqam dengan berbagai
sanadnya.
Ahmad bin Hanbal di beberapa tempat dari Musnadnya
pun meriwayatkan hadis ini dari Abi Said al-Khudri,
Zaid
bin Arqam,
dan lewat dua jalur dari Zaid bin Tsabit.
Sebenarnya hadis ini memiliki jalur periwayatan yang
sangat banyak dengan sanad yang sahih sehingga terhitung
sebagai hadis mustafidh..
Tampak begitu besar nilai hadis ini
dengan berbagai penukilan ahli hadis besar seperti Muslim
dan at-Tirmidzi dalam kitab Sahih mereka.
Allamah Mir Hamid Husein al-Lakhnuwi mengumpulkan
jalur-jalur hadis ini secara terperinci sehingga menjadi buku yang berjilid besar. Dalam buku lain, dia juga membahas
arti hadis ini secara teliti. Belakangan ini, dua jilid
bukunya dicetak satu dalam sepuluh jilid. Semoga Allah
swt. memberi rahmat pada Sayid Mir Hamid Husein dan
menerima kontribusi ilmiahnya yang besar dan berharga.
Alhasil, dalam hadis ini disebutkan:
1. Rasulullah saw. mendampingkan Ahlulbait as. di sisi
al-Qur’an.
2. Beliau menerangkan dua pusaka ini secara bersamaan
(dan tidak secara terpisah atau sendiri-sendiri) untuk
menjaga manusia dari kesesatan.
3. Beliau memerintahkan umatnya agar berpegang teguh
pada dua pusaka itu. Beliau juga memberikan penekanan
terhadap hal itu.
4. Beliau memberitakan bahwa kedua pusaka itu (al-
Qur’an dan Ahlulbait as.) tidak akan terpisah sampai
mereka menjumpai beliau di telaga yang disebutkan.
Maka dua hal itu secara bersamaan menjadi rujukan
umat setelah Rasulullah saw. dalam semua perkara
yang berkaitan dengan agama, seperti dalam prinsipprinsipnya,
hukum-hukumnya, pokok-pokok dan
cabang-cabangnya.
Haytsami dalam kitab ash-Shawa’iq al-Muhriqoh menuliskan:
“Ada arahan yang bisa ditangkap dari hadis-hadis yang
menganjurkan umat Muhammad saw. agar berpegang
teguh pada Ahlulbait as., yaitu kesinambungan Ahlulbait as.
yang dapat dipegang sampai Hari Kiamat, sebagaimana al-
Qur’an yang senantiasa ada dan terjaga sampai hari yang
sama. Oleh karena itu, mereka adalah keamanan bagi bumi.
Dan bukti lain atas arahan ini adalah hadis yang berbunyi:
“Di setiap generasi umatku terdapat orang adil dari
Ahlulbaitku”.
&
Inilah uraian yang sangat ringkas tentang beberapa poin
penting yang merupakan kriteria Syi’ah Ahlulbait as. sekaligus
sebagai ciri-ciri pembeda antara mereka dari komunitas
Muslim lainnya.
Sampai di sini, kami rasa sudah saatnya memasuki pembahasan
utama kita, karena buku ini tidak terfokus pada
pembahasan tentang identitas ideologis Syi’ah Ahlulbait as.
Hanya saja kita berbicara tentang dua poin penting di atas
secara singkat sebagai mukadimah untuk mengantarkan
kita ke empat poin besar berikutnya seputar wilayah dan
pengikutan kepada Ahlulbait as.. Poin-poin itu adalah
sebagai berikut:
o Nilai wilayah dan kesetiaan kepada Ahlulbait as.
o Syarat-syarat umum dalam kesetiaan dan keberpihakan
pada Ahlulbait as.
o Unsur-unsur yang membentuk wilayah dan kesetiaan
pada Ahlulbait as.
o Tingkatan dan raihan kesetiaan dan keberpihakan pada
ajaran Ahlulbait as.
Selanjutnya kita akan membahas satu per satu dari empat
poin di atas, insya-Allah ta’ala.[]