NILAI WILAYAH KEPADA
AHLULBAIT AS.
Wilayah kepada Ahlulbait dalam Al-Qur’an dan Hadis
Berikut ini akan kami bawakan teks-teks literal Islam yang
menjelaskan nilai pendukung dan pengikut Ahlulbait as.:
Syi’ah Ali as. Sebagai Pemenang
Pada kesempatan menafsirkan firman Allah swt.:
﴿ اِ م ن المذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا ال م صالَِْاتِ اُولئِكَ هُم خَيرُ البََِيمةِ ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal
perbuatan-perbuatan yang baik adalah manusiamanusia
terbaik” (Al-Bayyinah: 7).
As-Suyuthi dalam ad-Durul Mantsur membawakan sebuah
riwayat dari Ibnu Asakir meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah
Ansari berkata: “Suatu hari, kami bersama Rasulullah
saw., tiba-tiba Ali as. datang, maka beliau bersabda: “Demi
Allah Yang jiwaku berada di tangan-Nya, Sesungguhnya
dia—Ali—dan Syi’ahnya adalah pemenang dan orang beruntung
di Hari Kiamat”. Kemudian turunlah ayat di atas.
Maka, sejak itu setiap saat Ali as. datang, sahabat Nabi
mengucapkan: “Manusia terbaik telah datang”. Hadis ini
juga diriwayatkan oleh Allamah Abdurrauf al-Manawi dalam kitab Kunuzul Haqaiq (hal. 82) dengan redaksi
شيعة علي
هم الفائزون
(Syi’ah Ali adalah para pemenang), kemudian berkata:
“Ad-Dailami juga meriwayatkan hadis ini”.
Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id bab Manaqib ketika
sampai pada manaqib Ali bin Abi Thalib as. (9/131) meriwayatkan
sebuah hadis dari Ali bin Abi Thalib as. berkata:
“Kekasihku Rasulullah saw. bersabda: ‘Wahai Ali! Sesungguhnya
kamu akan menghadap Allah swt. bersama Syi’ah
(pengikutmu) dalam keadaan rela dan diridhoi, sementara
musuhmu akan menghadap-Nya dalam keadaan marah dan
dimurkai’”. Hadis ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani
dalam al-Awsath.
Ibnu Hajar al-Haytsami dalam ash-Shawa’iq al-Muhriqoh
(hal. 96) meriwayatkan dari ad-Dailami yang berkata: “Rasulullah
saw. bersabda:
‘Wahai Ali! Sesungguhnya Allah swt. memberi ampunan
padamu, keturunanmu, anak cucumu, keluarga-mu,
Syi’ahmu dan pecinta Syi’ahmu, maka bergembiralah!’”
Ayyub as-Sajestani meriwayatkan dari Abu Qulabah
berkata: “Ummu Salamah ra. mengatakan: ‘Aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda: “Pengikut Ali as. adalah para
pemenang di Hari Kiamat’”.
Ali dan Syi’ahnya sebagai Manusia Terbaik
Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan dari
Abul Jarud dari Muhammad bin Ali saat menafsirkan
firman Allah swt.:
﴿ اُولئِكَ هُمُ خَيرُ البََِيمةِ ﴾َ
“Sungguh Mereka adalah sebaik-baiknya makhluk.”
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Maksud ayat ini adalah
kamu, wahai Ali!, dan Syi’ahmu”.
As-Suyuthi dalam Durul Mantsur meriwayatkan hadis
dari Jabir bin Abdillah al-Anshari yang menurut dia diriwayatkan
juga oleh Ibnu Adiy dan Ibnu Asakir secara marfu’.
Hadis itu berbunyi:علي خير البَية
, bahwa Ali adalah sebaik-baik
manusia.
As-Suyuthi juga berkata: “Ibnu Adiy meriwayatkan dari
Ibnu Abbas yang berkata: ‘Ketika turun ayat:
﴿ اِ م ن المذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا ال م صالَِْاتِ اُولئِكَ هُم خَيرُ البََِيمةِ ﴾
‘Rasulullah saw. bersabda kepada Ali as.: “Pada hari
Kiamat, kamu dan Syi’ahmu adalah orang-orang yang
bahagia dan diridhai’”.
As-Suyuthi juga mengatakan bahwa Ibnu Mardiwaih
meriwayatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib as. berkata:
“Rasulullah saw. bersabda padaku: ‘Tidakkah kau mendengar
firman Allah azza wa jalla yang berbunyi:
﴿ اِ م ن المذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا ال م صالَِْاتِ اُولئِكَ هُم خَيرُ البََِيمةِ ﴾
‘Maksud dari firman ini adalah kamu dan Syi’ahmu, tempat
yang dijanjikan untukku dan untukmu adalah telaga, ketika
umat-umat berdatangan untuk hisab, kalian akan dipanggil
dan didudukkan secara mulia’”.
Ibnu Hajar dalam as-Shawa’iq al-Muhriqoh berkata seputar
ayat kesebelas surah Bayyinah: “Jamaluddin az-Zarandi
meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata: ‘Tatkala ayat ini turun,
Rasulullah saw. bersabda pada Ali: “Maksud dari ayat
ini adalah kamu, wahai Ali, dan Syi’ahmu yang bahagia dan
diridhai di Hari Kiamat nanti, sedangkan musuhmu datang
dalam keadaan marah dan dimurkai’”.
Hadis ini juga dicatat
Syablanji dalam Nurul Abshar
.
Kedudukan Wilayah Ahlulbait as. dalam Islam
Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini meriwayatkan dari Abu
Hamzah Tsumali dari Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir as.
berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara: shalat, zakat,
puasa, haji dan wilayah, dan—di Hari Pembalasan—seseorang
tidak akan dipanggil karena sesuatu yang lebih penting
daripada panggilan karena wilayah”.
Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini meriwayatkan dari
Ajlan Abu Shaleh berkata: “Aku berkata pada Abu Abdillah
Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Beritahulah aku akan batas-batas
iman!’ Maka beliau berkata: “Kesaksian bahwa tiada Tuhan
selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan
Allah (syahadah), percaya dan mengakui apa yang datang
dari Allah (swt.), shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan,
haji di rumah Tuhan, berpihak pada wali kita dan melawan
musuh kita serta masuk bersama orang-orang yang tulus
(shodiqin)”.
Al-Kulaini juga mriwayatkan melalui jalur sanad yang
sampai ke Zurarah bin A’yun dari Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir as. berkata: “Islam terbangun di atas lima perkara:
shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah”.
Siapakah Rafidhah?
Seorang sahabat bercerita pada Imam Ja’far Ash-Shadiq as.
tentang Ammar Duhuni yang hadir suatu hari di pengadilan
hakim Kufah, Ibnu Abi Laila, untuk memberikan kesaksian.
Hakim memintanya agar bangkit: “Pergilah wahai Ammar,
karena kita telah mengenal siapa dirimu, kesaksianmu tidak
bisa diterima karena kamu seorang Rafidhah”. Ammar pun
segera bangkit hendak meninggalkan majelis dalam keadaan
urat-urat leher dan di sekitar pundaknya bergetar
kuat seraya tenggelam dalam isak tangis.
Ibnu Abi Laila berkata padanya: “Kamu orang alim dan
ahli hadis, jika kamu kesal karena dituduh sebagai Rafidhah
lalu kamu menghindar dari tuduhan itu, tentu kamu termasuk
saudara-saudara kita”.
Ammar menjawab: “Wahai Ibnu Abi Laila, aku tidak
seperti yang kau bayangkan. Aku menangisimu dan menangisi
diriku. Aku menangisi diriku karena kamu telah
menisbatkanku pada kedudukan mulia yang tidak pantas
bagiku ketika kamu menganggapku sebagai rafidhi (orang
Rafidhah). Celakalah dirimu! Sesungguhnya Imam Ja’far
Ash-Shadiq as. berkata: ‘Sesungguhnya orang pertama yang
diberi nama Rafidhah adalah para penyihir yang beriman
kepada Nabi Musa as. dan mengikutinya seketika menyaksikan
mukjizatnya, mereka menolak perintah Fir’aun dan
pasrah terhadap apa saja yang akan menimpa diri mereka,
maka Fir’aun menamakan mereka Rafidhah karena menolak
agamanya. Oleh karena itu, rafidhi adalah setiap orang yang
menolak segala apa yang dilarang oleh Allah swt. Dan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Coba katakan
padaku, siapa orang seperti ini sekarang? ‘
“Dan aku menangisi diriku karena aku takut Allah swt.
Yang Tahu akan apa yang terlintas di hatiku pada saat aku
senang menerima nama yang mulia ini, niscaya Dia akan
mencercaku dan berkata: ‘Wahai Ammar! Apakah kamu
orang yang menolak kebatilan dan taat sepenuhnya sebagaimana
apa yang dia katakan?’ Maka itu, kalaupun aku
masih dipersilahkan untuk menempati derajat tertentu,
sebetulnya aku adalah orang yang gagal dan tidak pantas
untuk itu. Dan kalau aku tergolong orang yang Dia cela dan
dijerumuskan ke dalam siksa, niscaya hal itu menambah
dahsyatnya siksa, kecuali apabila para Imam menutupi
kekurangan itu dengan syafaat mereka.
“Adapun kenapa aku menangisimu, karena besarnya
kebohongan yang kau katakan saat menyebutku dengan selain
namaku yang sebenarnya, juga karena simpati atau
sayangku padamu akan siksa Allah swt. ke atas orang yang
menggunakan nama yang termulia bagiku. Dan jika kamu
anggap itu sebagai nama yang paling rendah, bagaimana
kamu bisa tahan akan siksa Tuhan atas ucapanmu itu?”
Maka Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Andaikan
Ammar memiliki dosa yang lebih besar dari semua langit
dan bumi, niscaya akan terhapus oleh kata-katanya ini, dan
niscaya catatan kebaikannya akan bertambah di sisi Allah
swt. sampai setiap kesan baik dari pahala yang dia peroleh
lebih besar dari dunia seribu kali lipat”.
Pecinta yang bukan Syi’ah
Seorang berkata pada Imam Musa bin Ja’far as.: “Suatu saat
kami berjalan bersama seorang lelaki di pasar yang sedang berserapah: ‘Aku adalah Syi’ah tulus Muhammad dan keluarga
Muhammad’. Dia berteriak di atas kain jualannya:
‘Siapa yang ingin tambah?’
“Maka Imam Musa as. berkata: ‘Orang yang sadar akan
nilai dirinya tidak akan bodoh dan kehilangan diri, tahukah
kalian siapakah orang seperti ini? (menunjuk lelaki di atas
tadi). Dialah adalah orang yang menyatakan dirinya seperti
Salman, Abu Dzar, Miqdad dan Ammar, pada saat yang
sama dia mengurangi hak orang lain dalam berjual beli, dia
menyembunyikan cacat barang jualannya dari pembeli, dia
menjual barang dengan harga tertentu tapi menawarkannya
dengan harga yang jauh lebih tinggi kepada pendatang
asing, dia meminta dan memaksa pendatang asing itu untuk
membayar lebih mahal, dan jika pendatang asing itu telah
pergi, dia katakan pada warga setempat bahwa aku tidak
menjual pada kalian dengan harga yang aku tawarkan
kepada pendatang asing tadi.
“Apakah orang semacam ini sama dengan Salman, Abu
Dzar, Miqdad, dan Ammar?! Maha Suci Allah! Tentu dia
tidak bisa disamakan dengan para sahabat besar Nabi ini.
Namun demikian dia tidak dilarang untuk menyatakan
bahwa dirinya adalah pecinta Muhammad saw. dan keluarganya
serta termasuk pendukung para pengikut mereka
dan melawan musuh-musuh mereka’”.
Orang-orang Mukmin sebagai Pelita Penghuni Surga Selaksa
Langit yang Terang karena Bintang
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin as. berkata: “Sesungguhnya
penduduk surga melihat Syi’ah kami sebagaimana
orang-orang melihat bintang di langit”.
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Sesungguhnya cahaya
seorang mukmin bersinar bagi penduduk langit
sebagaimana bintang bersinar bagi penduduk bumi”.
Imam Musa bin Ja’far as. bercerita: “Suatu saat, sebagian
orang-orang khusus Imam Ja’far Ash-Shadiq as. duduk di
hadapan beliau di malam purnama yang terang benderang
sehingga membuat orang terjaga, mereka berkata: ‘Wahai
putera Rasulullah saw.! Betapa indahnya permukaan langit
dan cahaya bintang-bintang itu!’
“Maka Imam Ash-Shadiq as. menanggapi: ‘Kalian berkata
demikian sementara empat malaikat pengatur alam,
yaitu Jibril, Mika’il, Israfil dan malaikat maut mengawasi
penduduk bumi, mereka melihat kalian dan saudarasaudara
kalian di segala penjuru bumi bersinar dan cahaya
kalian sampai ke langit. Bagi mereka, bahkan cahaya kalian
lebih indah daripada cahaya bintang, dan sungguh mereka
mengatakan seperti yang telah kalian katakan: ‘Alangkah
indahnya cahaya orang-orang beriman!’”
Melihat dengan Cahaya Allah swt.
Abu Najran meriwayatkan bahwa saya mendengar Abul
Hasan as. berkata: “Barangsiapa memusuhi Syi’ah kami, dia
telah memusuhi kami, dan barang siapa mendukung mereka,
dia telah mendukung kami, karena mereka adalah dari
kami; mereka diciptakan dari tanah kami. Maka barangsiapa
yang mencintai mereka, dia dari kita, dan barangsiapa yang
membenci mereka maka dia bukan dari kita. Syi’ah kami
melihat dengan cahaya Allah, bergelimang dalam rahmat-
Nya dan menjadi pemenang bersama kemuliaan-Nya.
Sungguh tak seorang pun dari Syi’ah kami yang bersedih melainkan kami juga berduka cita karena dirinya, dan tidak
seorang pun dari Syi’ah kami yang bergembira kecuali kami
juga berbahagia karena dirinya”.
Kedudukan Syi’ah di Sisi Ahlulbait as.
Ahlulbait as. Mencintai Syi’ah Mereka
Sebagaimana Syi’ah (pengikut Ahlulbait as.) mencintai
Ahlulbait as., begitu juga sebaliknya Ahlulbait as. sangat
mencintai Syi’ah dan pendukung mereka. Bahkan mereka
as. mencintai aroma dan arwah Syi’ah. Ahlulbait as. senang
melihat dan menziarahi mereka, Ahlulbait as. merindukan
mereka seperti dua pasang kekasih yang saling merindukan.
Hal ini wajar, karena cinta adalah hubungan imbal balik.
Cinta yang sejati tidak akan ada pada satu pihak melainkan
di pihak lain juga terdapat cinta yang sepadan.
Ishaq bin Ammar meriwayatkan dari Ali bin Abdul Aziz
berkata: “Saya mendengar Abu Abdillah as. berkata: ‘Demi
Allah! Aku sungguh mencintai aroma kalian, arwah kalian,
penampilan kalian, dan menziarahi kalian. Dan sesungguhnya
aku berada di atas agama Allah dan agama malaikat-
Nya, maka bantulah dengan hidup warak (karakter menghindari
dosa). Di Madinah aku seperti sya’ir, aku berbolak
balik sampai aku melihat salah satu dari kalian dan menjadi
tenang dengan penglihatan ini”.
“Seperti sya’ir”; maksud dari sya’ir atau sya’roh di sini
adalah uban putih yang jarang dan sedikit sekali di tengah
lebatnya rambut hitam. Oleh karena itu, ia akan senang dan
merasa tenang apabila melihat ada pendukung yang menyerupainya.
Abdullah bin Walid berkata: “Aku mendengar Abu Abdillah
(Imam Ja’far) as. berkata saat kita berkumpul: “Demi
Allah! Sesungguhnya aku mencintai pemandangan kalian
dan merindukan komunikasi bersama kalian”
.
Nasr bin Muzahim meriwayatkan dari Muhammad bin
Imran bin Abdillah dari ayahnya dari Imam Ja’far bin
Muhammad as. berkata: “Suatu saat ayahku masuk masjid,
ternyata di sana ada sekelompok orang dari Syi’ah kami.
Beliau pun mendekati mereka seraya mengucapkan salam
lalu berkata:
“Demi Allah! Aku mencintai bau dan arwah kalian, dan
sesungguhnya aku di atas agama Allah swt. Jarak antara
kalian dengan detik-detik yang sangat membahagiakan sehingga
membuat orang lain iri pada kalian tidak lebih jauh
dari sampainya ruh ke sini (beliau menunjuk dengan tangannya
ke arah tenggorokan, artinya saat kematian), maka
bantulah aku dengan hidup warak dan usaha keras! Barangsiapa
dari kalian mengikuti seorang imam, hendaknya dia
beramal bersamanya. Kalian adalah pasukan Allah, kalian
adalah pendukung Allah, dan kalianlah pembela Allah”.
Muhammad bin Imran meriwayatkan dari ayahnya dari
Abu Abdillah as. berkata: “Suatu hari aku bersama ayahku
keluar menuju masjid, ternyata di sana ada sekelompok dari
sahabat ayahku, tepatnya di antara kuburan dan mimbar.
Beliau menghampiri mereka, bersalam lalu berkata: “Demi
Allah! Aku mencintai aroma dan ruh kalian, maka bantulah
aku untuk hal itu dengan hidup warak dan usaha keras!”
Barang kali kalimat di atas ini menimbulkan beberapa
pertanyaan di benak seseorang:
Kalimat pertama, “Sesungguhnya aku mencintai aroma
dan ruh kalian”.
Kalimat kedua, “Bantulah aku dengan hidup warak dan
usaha keras!”
Maksud dari kalimat imam yang pertama adalah ungkapan
mengenai puncak tertinggi dari kecintaan dan
kerinduan sampai seakan-akan Ahlulbait as. menghirup
aroma pintu surga dari Syi’ah mereka”. Justru saya tidak
menemukan kalimat yang lebih eksperesif dan lebih fasih
dari ini untuk mengungkapkan klimaks cinta dan kerinduan.
Adapun maksud dari kalimat imam yang kedua adalah
cara menentukan standar cinta tersebut, karena cinta ini
berbeda dengan cinta biasa pada umumnya antarmanusia
biasa. Cinta ini merupakan perpanjangan (perluasan) dari
cinta Allah, dan cinta demi Allah adalah kualitas terkuat
dari makna cinta. Tentunya, cinta ini tunduk pada standarstandar
yang berbasis pada dalam ketaatan dan pengabdian,
warak dan takwa. Cinta ini terus mengembang sejalan dengan
peningkatan tingkat warak dan takwa seseorang. Oleh
karena itu, Imam as. meminta Syi’ahnya agar membelanya
dalam kecintaan dengan hidup warak, takwa, ketaatan dan
pengabdian pada Allah swt.
Sesungguhnya merekalah Syi’ah Ahlulbait as., dan
Ahlulbait as. tahu persis seberapa tulus cinta Syi’ah pada
mereka. Ahlulbait as. ingin sekali menimpal balik cinta
Syi’ah mereka dengan cinta yang sepadan bahkan lebih dalam.
Maka itu, Ahlulbait as. meminta Syi’ah mereka untuk
mempersiapkan diri sehingga layak menerima cinta Ahlulbait
as. tersebut. Persiapan ini akan terpenuhi dengan
warak, takwa, ketaatan dan pengabdian pada Allah swt.
Saat itulah cinta Ahlulbait as. pada Syi’ah mereka merupakan
kepanjangan dan perluasan dari cinta demi Allah swt.
Perumpamaan Ahlulbait as. dalam cinta tak ubahnya
orang tua yang mencintai anaknya, dan seyogyanya si anak
menjaga statusnya sebagai orang yang layak mendapatkan
cinta orang tua dengan budi pekerti yang mulia, dan dia
tidak melakukan perbuatan seperti durhaka yang menyebabkan
mereka berdua mencabut cinta itu dari hatinya.
Musuh Syi’ah adalah Musuh Ahlulbait dan Cinta Syi’ah adalah
Cinta Ahlulbait
Cinta dan benci adalah dua perkara yang berelasi secara
imbal balik. Maka dari itu, tidak ada cinta bagi satu pihak
pada pihak yang lain kecuali pihak kedua ini memiliki cinta
yang seimbang dengan cinta yang dimiliki pihak pertama
itu.
Begitu pula pembelaan dan perlawanan adalah dua perkara
yang juga bersifat imbal balik. Yakni, sebagaimana kita
menentang musuh Ahlulbait as. dan membenci mereka serta
mendukung pecinta Ahlulbait as. dan mencintai mereka,
begitupula Ahlulbait as. menentang orang yang memusuhi
Syi’ah mereka dan membela orang yang mencintai Syi’ah
mereka.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Najran: “Aku mendengar
Abul Hasan as. selalu berkata: “Barangsiapa memusuhi
Syi’ah kami maka telah memusuhi kami, dan barangsiapa
mendukung mereka maka dia telah mendukung kami,
karena Syi’ah kami adalah dari kami; mereka diciptakan
dari tanah kami. Barangsiapa mencintai mereka maka dia
juga dari kami, dan barangsiapa membenci mereka maka
dia bukanlah dari kami. Syi’ah kami melihat dengan cahaya
Allah swt., mereka bergelimang dalam rahmat-Nya dan
menjadi pemenang dengan kemuliaan-Nya”.
Diriwayatkan pula
bahwa Abul Hasan as. berkata: “Barang
siapa memusuhi Syi’ah kami maka dia telah memusuhi
kami, dan barang siapa yang mendukung mereka maka dia
telah mendukung kami, karena mereka dari kami, mereka
diciptakan dari tanah kami. Barang siapa mencintai mereka
berarti dia dari kami, dan barang siapa membenci mereka
berarti dia bukan dari kami. Syi’ah kami melihat dengan
cahaya Allah swt., mereka bergelimang dalam rahmat Allah
dan menjadi pemenang dengan kemuliaan-Nya.
“Tak seorang pun dari Syi’ah kami yang sakit melainkan
kami juga sakit karena dia, tak ada seorang pun dari Syi’ah
kita yang bersedih melainkan kami juga berduka karena dia,
tak ada seorang pun dari Syi’ah kami yang gembira melainkan
kami pun bergembira karena dia, dan tak ada seorang
pun dari Syi’ah kami yang meninggal dunia di manapun dia
berada, di timur bumi maupun di barat, dan dia masih
berhutang kepada orang lain melainkan hutangnya menjadi
tanggungan kami, dan jika dia meninggalkan kekayaan
maka kekayaan itu untuk para pewarisnya.
“Syi’ah kami adalah orang-orang yang menegakkan
shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, berpuasa
di bulan Ramadhan, membela Ahlulbait as. dan
menentang musuh-musuh mereka. Syi’ah kami adalah
mereka yang kuat iman, takwa, dan warak.
“Barang siapa menolak mereka berarti menolak Allah
swt., dan barang siapa memfitnah mereka dia telah memfitnah
Allah swt., karena mereka adalah hamba-hamba
Allah yang sebenarnya, mereka adalah wali-wali Allah yang
sejujurnya. Demi Allah! Tiap-tiap mereka memberi syafaat
kepada sekian penduduk suku Rabi’ah dan Madhar (baca:
banyak sekali), maka Allah menerima mereka sebagai pem beri syafaat karena kedudukan mereka yang mulia di sisi-
Nya”.
Imbal Balik Hak-hak antara Ahlulbait as. dan Syi’ah
Ahlulbait as. dan Syi’ah tidak hanya berimbal balik untuk
membela mereka dan pecinta mereka. Selain dalam kebencian
dan penentangan terhadap musuh, di antara Ahlulbait
as. dan Syi’ah juga terdapat imbal balik dalam hak. Yakni,
sebagaimana Ahlulbait as. menanggung hak-hak yang harus
mereka penuhi untuk Syi’ah seperti memberi petunjuk dan
jalan yang benar menuju Allah swt., penhajaran hudud atau
undang-undang Allah, ibadah kepada Allah… Begitu pula
Syi’ah menanggung hak-hak yang harus mereka penuhi
untuk Ahlulbait as.
Abu Qatadah meriwayatkan dari Abu Abdillah Imam
Ja’far as. berkata: “Hak-hak Syi’ah kami yang harus kami
penuhi lebih wajib dari hak-hak kami yang harus mereka
penuhi”.
“Seseorang bertanya kepada Imam Ja’far as.: ‘Bagaimana
demikian itu terjadi, wahai putera Rasulullah saw.?’
Beliau menjawab: ‘Ya, karena mereka menimpa kita
sementara kita tidak menimpa mereka’”.
[]