Syi'ah Ahl Bayt

Syi'ah Ahl Bayt0%

Syi'ah Ahl Bayt pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Rasulullah & Ahlulbait

Syi'ah Ahl Bayt

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhammad Mahdi Al-Ashifi
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 8241
Download: 6639

Komentar:

Syi'ah Ahl Bayt
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 8241 / Download: 6639
Ukuran Ukuran Ukuran
Syi'ah Ahl Bayt

Syi'ah Ahl Bayt

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

NILAI WILAYAH KEPADA

AHLULBAIT AS.

Wilayah kepada Ahlulbait dalam Al-Qur’an dan Hadis

Berikut ini akan kami bawakan teks-teks literal Islam yang

menjelaskan nilai pendukung dan pengikut Ahlulbait as.:

Syi’ah Ali as. Sebagai Pemenang

Pada kesempatan menafsirkan firman Allah swt.:

﴿ اِ م ن المذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا ال م صالَِْاتِ اُولئِكَ هُم خَيرُ البََِيمةِ ﴾

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal

perbuatan-perbuatan yang baik adalah manusiamanusia

terbaik” (Al-Bayyinah: 7).

As-Suyuthi dalam ad-Durul Mantsur membawakan sebuah

riwayat dari Ibnu Asakir meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah

Ansari berkata: “Suatu hari, kami bersama Rasulullah

saw., tiba-tiba Ali as. datang, maka beliau bersabda: “Demi

Allah Yang jiwaku berada di tangan-Nya, Sesungguhnya

dia—Ali—dan Syi’ahnya adalah pemenang dan orang beruntung

di Hari Kiamat”. Kemudian turunlah ayat di atas.

Maka, sejak itu setiap saat Ali as. datang, sahabat Nabi

mengucapkan: “Manusia terbaik telah datang”. Hadis ini

juga diriwayatkan oleh Allamah Abdurrauf al-Manawi dalam kitab Kunuzul Haqaiq (hal. 82) dengan redaksi

 شيعة علي

هم الفائزون

(Syi’ah Ali adalah para pemenang), kemudian berkata:

“Ad-Dailami juga meriwayatkan hadis ini”.

Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id bab Manaqib ketika

sampai pada manaqib Ali bin Abi Thalib as. (9/131) meriwayatkan

sebuah hadis dari Ali bin Abi Thalib as. berkata:

“Kekasihku Rasulullah saw. bersabda: ‘Wahai Ali! Sesungguhnya

kamu akan menghadap Allah swt. bersama Syi’ah

(pengikutmu) dalam keadaan rela dan diridhoi, sementara

musuhmu akan menghadap-Nya dalam keadaan marah dan

dimurkai’”. Hadis ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani

dalam al-Awsath.

Ibnu Hajar al-Haytsami dalam ash-Shawa’iq al-Muhriqoh

(hal. 96) meriwayatkan dari ad-Dailami yang berkata: “Rasulullah

saw. bersabda:

‘Wahai Ali! Sesungguhnya Allah swt. memberi ampunan

padamu, keturunanmu, anak cucumu, keluarga-mu,

Syi’ahmu dan pecinta Syi’ahmu, maka bergembiralah!’”[16]

Ayyub as-Sajestani meriwayatkan dari Abu Qulabah

berkata: “Ummu Salamah ra. mengatakan: ‘Aku mendengar

Rasulullah saw. bersabda: “Pengikut Ali as. adalah para

pemenang di Hari Kiamat’”.[17]

Ali dan Syi’ahnya sebagai Manusia Terbaik

Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan dari

Abul Jarud dari Muhammad bin Ali saat menafsirkan

firman Allah swt.:

﴿ اُولئِكَ هُمُ خَيرُ البََِيمةِ ﴾َ

“Sungguh Mereka adalah sebaik-baiknya makhluk.”

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Maksud ayat ini adalah

kamu, wahai Ali!, dan Syi’ahmu”.[18]

As-Suyuthi dalam Durul Mantsur meriwayatkan hadis

dari Jabir bin Abdillah al-Anshari yang menurut dia diriwayatkan

juga oleh Ibnu Adiy dan Ibnu Asakir secara marfu’.[19]

Hadis itu berbunyi:علي خير البَية , bahwa Ali adalah sebaik-baik

manusia.

As-Suyuthi juga berkata: “Ibnu Adiy meriwayatkan dari

Ibnu Abbas yang berkata: ‘Ketika turun ayat:

﴿ اِ م ن المذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا ال م صالَِْاتِ اُولئِكَ هُم خَيرُ البََِيمةِ ﴾

‘Rasulullah saw. bersabda kepada Ali as.: “Pada hari

Kiamat, kamu dan Syi’ahmu adalah orang-orang yang

bahagia dan diridhai’”.[20]

As-Suyuthi juga mengatakan bahwa Ibnu Mardiwaih

meriwayatkan hadis dari Ali bin Abi Thalib as. berkata:

“Rasulullah saw. bersabda padaku: ‘Tidakkah kau mendengar

firman Allah azza wa jalla yang berbunyi:

﴿ اِ م ن المذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا ال م صالَِْاتِ اُولئِكَ هُم خَيرُ البََِيمةِ ﴾

‘Maksud dari firman ini adalah kamu dan Syi’ahmu, tempat

yang dijanjikan untukku dan untukmu adalah telaga, ketika

umat-umat berdatangan untuk hisab, kalian akan dipanggil

dan didudukkan secara mulia’”.

Ibnu Hajar dalam as-Shawa’iq al-Muhriqoh berkata seputar

ayat kesebelas surah Bayyinah: “Jamaluddin az-Zarandi

meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata: ‘Tatkala ayat ini turun,

Rasulullah saw. bersabda pada Ali: “Maksud dari ayat

ini adalah kamu, wahai Ali, dan Syi’ahmu yang bahagia dan

diridhai di Hari Kiamat nanti, sedangkan musuhmu datang

dalam keadaan marah dan dimurkai’”.[21] Hadis ini juga dicatat

Syablanji dalam Nurul Abshar[22] .

Kedudukan Wilayah Ahlulbait as. dalam Islam

Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini meriwayatkan dari Abu

Hamzah Tsumali dari Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir as.

berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara: shalat, zakat,

puasa, haji dan wilayah, dan—di Hari Pembalasan—seseorang

tidak akan dipanggil karena sesuatu yang lebih penting

daripada panggilan karena wilayah”.[23]

Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini meriwayatkan dari

Ajlan Abu Shaleh berkata: “Aku berkata pada Abu Abdillah

Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Beritahulah aku akan batas-batas

iman!’ Maka beliau berkata: “Kesaksian bahwa tiada Tuhan

selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan

Allah (syahadah), percaya dan mengakui apa yang datang

dari Allah (swt.), shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan,

haji di rumah Tuhan, berpihak pada wali kita dan melawan

musuh kita serta masuk bersama orang-orang yang tulus

(shodiqin)”.[24]

Al-Kulaini juga mriwayatkan melalui jalur sanad yang

sampai ke Zurarah bin A’yun dari Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir as. berkata: “Islam terbangun di atas lima perkara:

shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah”.[25]

Siapakah Rafidhah?

Seorang sahabat bercerita pada Imam Ja’far Ash-Shadiq as.

tentang Ammar Duhuni yang hadir suatu hari di pengadilan

hakim Kufah, Ibnu Abi Laila, untuk memberikan kesaksian.

Hakim memintanya agar bangkit: “Pergilah wahai Ammar,

karena kita telah mengenal siapa dirimu, kesaksianmu tidak

bisa diterima karena kamu seorang Rafidhah”. Ammar pun

segera bangkit hendak meninggalkan majelis dalam keadaan

urat-urat leher dan di sekitar pundaknya bergetar

kuat seraya tenggelam dalam isak tangis.

Ibnu Abi Laila berkata padanya: “Kamu orang alim dan

ahli hadis, jika kamu kesal karena dituduh sebagai Rafidhah

lalu kamu menghindar dari tuduhan itu, tentu kamu termasuk

saudara-saudara kita”.

Ammar menjawab: “Wahai Ibnu Abi Laila, aku tidak

seperti yang kau bayangkan. Aku menangisimu dan menangisi

diriku. Aku menangisi diriku karena kamu telah

menisbatkanku pada kedudukan mulia yang tidak pantas

bagiku ketika kamu menganggapku sebagai rafidhi (orang

Rafidhah). Celakalah dirimu! Sesungguhnya Imam Ja’far

Ash-Shadiq as. berkata: ‘Sesungguhnya orang pertama yang

diberi nama Rafidhah adalah para penyihir yang beriman

kepada Nabi Musa as. dan mengikutinya seketika menyaksikan

mukjizatnya, mereka menolak perintah Fir’aun dan

pasrah terhadap apa saja yang akan menimpa diri mereka,

maka Fir’aun menamakan mereka Rafidhah karena menolak

agamanya. Oleh karena itu, rafidhi adalah setiap orang yang

menolak segala apa yang dilarang oleh Allah swt. Dan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Coba katakan

padaku, siapa orang seperti ini sekarang? ‘

“Dan aku menangisi diriku karena aku takut Allah swt.

Yang Tahu akan apa yang terlintas di hatiku pada saat aku

senang menerima nama yang mulia ini, niscaya Dia akan

mencercaku dan berkata: ‘Wahai Ammar! Apakah kamu

orang yang menolak kebatilan dan taat sepenuhnya sebagaimana

apa yang dia katakan?’ Maka itu, kalaupun aku

masih dipersilahkan untuk menempati derajat tertentu,

sebetulnya aku adalah orang yang gagal dan tidak pantas

untuk itu. Dan kalau aku tergolong orang yang Dia cela dan

dijerumuskan ke dalam siksa, niscaya hal itu menambah

dahsyatnya siksa, kecuali apabila para Imam menutupi

kekurangan itu dengan syafaat mereka.

“Adapun kenapa aku menangisimu, karena besarnya

kebohongan yang kau katakan saat menyebutku dengan selain

namaku yang sebenarnya, juga karena simpati atau

sayangku padamu akan siksa Allah swt. ke atas orang yang

menggunakan nama yang termulia bagiku. Dan jika kamu

anggap itu sebagai nama yang paling rendah, bagaimana

kamu bisa tahan akan siksa Tuhan atas ucapanmu itu?”

Maka Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Andaikan

Ammar memiliki dosa yang lebih besar dari semua langit

dan bumi, niscaya akan terhapus oleh kata-katanya ini, dan

niscaya catatan kebaikannya akan bertambah di sisi Allah

swt. sampai setiap kesan baik dari pahala yang dia peroleh

lebih besar dari dunia seribu kali lipat”.[26]

Pecinta yang bukan Syi’ah

Seorang berkata pada Imam Musa bin Ja’far as.: “Suatu saat

kami berjalan bersama seorang lelaki di pasar yang sedang berserapah: ‘Aku adalah Syi’ah tulus Muhammad dan keluarga

Muhammad’. Dia berteriak di atas kain jualannya:

‘Siapa yang ingin tambah?’

“Maka Imam Musa as. berkata: ‘Orang yang sadar akan

nilai dirinya tidak akan bodoh dan kehilangan diri, tahukah

kalian siapakah orang seperti ini? (menunjuk lelaki di atas

tadi). Dialah adalah orang yang menyatakan dirinya seperti

Salman, Abu Dzar, Miqdad dan Ammar, pada saat yang

sama dia mengurangi hak orang lain dalam berjual beli, dia

menyembunyikan cacat barang jualannya dari pembeli, dia

menjual barang dengan harga tertentu tapi menawarkannya

dengan harga yang jauh lebih tinggi kepada pendatang

asing, dia meminta dan memaksa pendatang asing itu untuk

membayar lebih mahal, dan jika pendatang asing itu telah

pergi, dia katakan pada warga setempat bahwa aku tidak

menjual pada kalian dengan harga yang aku tawarkan

kepada pendatang asing tadi.

“Apakah orang semacam ini sama dengan Salman, Abu

Dzar, Miqdad, dan Ammar?! Maha Suci Allah! Tentu dia

tidak bisa disamakan dengan para sahabat besar Nabi ini.

Namun demikian dia tidak dilarang untuk menyatakan

bahwa dirinya adalah pecinta Muhammad saw. dan keluarganya

serta termasuk pendukung para pengikut mereka

dan melawan musuh-musuh mereka’”.[27]

Orang-orang Mukmin sebagai Pelita Penghuni Surga Selaksa

Langit yang Terang karena Bintang

Diriwayatkan dari Amirul Mukminin as. berkata: “Sesungguhnya

penduduk surga melihat Syi’ah kami sebagaimana

orang-orang melihat bintang di langit”.[28]

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Sesungguhnya cahaya

seorang mukmin bersinar bagi penduduk langit

sebagaimana bintang bersinar bagi penduduk bumi”.[29]

Imam Musa bin Ja’far as. bercerita: “Suatu saat, sebagian

orang-orang khusus Imam Ja’far Ash-Shadiq as. duduk di

hadapan beliau di malam purnama yang terang benderang

sehingga membuat orang terjaga, mereka berkata: ‘Wahai

putera Rasulullah saw.! Betapa indahnya permukaan langit

dan cahaya bintang-bintang itu!’

“Maka Imam Ash-Shadiq as. menanggapi: ‘Kalian berkata

demikian sementara empat malaikat pengatur alam,

yaitu Jibril, Mika’il, Israfil dan malaikat maut mengawasi

penduduk bumi, mereka melihat kalian dan saudarasaudara

kalian di segala penjuru bumi bersinar dan cahaya

kalian sampai ke langit. Bagi mereka, bahkan cahaya kalian

lebih indah daripada cahaya bintang, dan sungguh mereka

mengatakan seperti yang telah kalian katakan: ‘Alangkah

indahnya cahaya orang-orang beriman!’”[30]

Melihat dengan Cahaya Allah swt.

Abu Najran meriwayatkan bahwa saya mendengar Abul

Hasan as. berkata: “Barangsiapa memusuhi Syi’ah kami, dia

telah memusuhi kami, dan barang siapa mendukung mereka,

dia telah mendukung kami, karena mereka adalah dari

kami; mereka diciptakan dari tanah kami. Maka barangsiapa

yang mencintai mereka, dia dari kita, dan barangsiapa yang

membenci mereka maka dia bukan dari kita. Syi’ah kami

melihat dengan cahaya Allah, bergelimang dalam rahmat-

Nya dan menjadi pemenang bersama kemuliaan-Nya.

Sungguh tak seorang pun dari Syi’ah kami yang bersedih melainkan kami juga berduka cita karena dirinya, dan tidak

seorang pun dari Syi’ah kami yang bergembira kecuali kami

juga berbahagia karena dirinya”.[31]

Kedudukan Syi’ah di Sisi Ahlulbait as.

Ahlulbait as. Mencintai Syi’ah Mereka

Sebagaimana Syi’ah (pengikut Ahlulbait as.) mencintai

Ahlulbait as., begitu juga sebaliknya Ahlulbait as. sangat

mencintai Syi’ah dan pendukung mereka. Bahkan mereka

as. mencintai aroma dan arwah Syi’ah. Ahlulbait as. senang

melihat dan menziarahi mereka, Ahlulbait as. merindukan

mereka seperti dua pasang kekasih yang saling merindukan.

Hal ini wajar, karena cinta adalah hubungan imbal balik.

Cinta yang sejati tidak akan ada pada satu pihak melainkan

di pihak lain juga terdapat cinta yang sepadan.

Ishaq bin Ammar meriwayatkan dari Ali bin Abdul Aziz

berkata: “Saya mendengar Abu Abdillah as. berkata: ‘Demi

Allah! Aku sungguh mencintai aroma kalian, arwah kalian,

penampilan kalian, dan menziarahi kalian. Dan sesungguhnya

aku berada di atas agama Allah dan agama malaikat-

Nya, maka bantulah dengan hidup warak (karakter menghindari

dosa). Di Madinah aku seperti sya’ir, aku berbolak

balik sampai aku melihat salah satu dari kalian dan menjadi

tenang dengan penglihatan ini”.[32]

“Seperti sya’ir”; maksud dari sya’ir atau sya’roh di sini

adalah uban putih yang jarang dan sedikit sekali di tengah

lebatnya rambut hitam. Oleh karena itu, ia akan senang dan

merasa tenang apabila melihat ada pendukung yang menyerupainya.

Abdullah bin Walid berkata: “Aku mendengar Abu Abdillah

(Imam Ja’far) as. berkata saat kita berkumpul: “Demi

Allah! Sesungguhnya aku mencintai pemandangan kalian

dan merindukan komunikasi bersama kalian”[33] .

Nasr bin Muzahim meriwayatkan dari Muhammad bin

Imran bin Abdillah dari ayahnya dari Imam Ja’far bin

Muhammad as. berkata: “Suatu saat ayahku masuk masjid,

ternyata di sana ada sekelompok orang dari Syi’ah kami.

Beliau pun mendekati mereka seraya mengucapkan salam

lalu berkata:

“Demi Allah! Aku mencintai bau dan arwah kalian, dan

sesungguhnya aku di atas agama Allah swt. Jarak antara

kalian dengan detik-detik yang sangat membahagiakan sehingga

membuat orang lain iri pada kalian tidak lebih jauh

dari sampainya ruh ke sini (beliau menunjuk dengan tangannya

ke arah tenggorokan, artinya saat kematian), maka

bantulah aku dengan hidup warak dan usaha keras! Barangsiapa

dari kalian mengikuti seorang imam, hendaknya dia

beramal bersamanya. Kalian adalah pasukan Allah, kalian

adalah pendukung Allah, dan kalianlah pembela Allah”.[34]

Muhammad bin Imran meriwayatkan dari ayahnya dari

Abu Abdillah as. berkata: “Suatu hari aku bersama ayahku

keluar menuju masjid, ternyata di sana ada sekelompok dari

sahabat ayahku, tepatnya di antara kuburan dan mimbar.

Beliau menghampiri mereka, bersalam lalu berkata: “Demi

Allah! Aku mencintai aroma dan ruh kalian, maka bantulah

aku untuk hal itu dengan hidup warak dan usaha keras!”[35]

Barang kali kalimat di atas ini menimbulkan beberapa

pertanyaan di benak seseorang:

Kalimat pertama, “Sesungguhnya aku mencintai aroma

dan ruh kalian”.

Kalimat kedua, “Bantulah aku dengan hidup warak dan

usaha keras!”

Maksud dari kalimat imam yang pertama adalah ungkapan

mengenai puncak tertinggi dari kecintaan dan

kerinduan sampai seakan-akan Ahlulbait as. menghirup

aroma pintu surga dari Syi’ah mereka”. Justru saya tidak

menemukan kalimat yang lebih eksperesif dan lebih fasih

dari ini untuk mengungkapkan klimaks cinta dan kerinduan.

Adapun maksud dari kalimat imam yang kedua adalah

cara menentukan standar cinta tersebut, karena cinta ini

berbeda dengan cinta biasa pada umumnya antarmanusia

biasa. Cinta ini merupakan perpanjangan (perluasan) dari

cinta Allah, dan cinta demi Allah adalah kualitas terkuat

dari makna cinta. Tentunya, cinta ini tunduk pada standarstandar

yang berbasis pada dalam ketaatan dan pengabdian,

warak dan takwa. Cinta ini terus mengembang sejalan dengan

peningkatan tingkat warak dan takwa seseorang. Oleh

karena itu, Imam as. meminta Syi’ahnya agar membelanya

dalam kecintaan dengan hidup warak, takwa, ketaatan dan

pengabdian pada Allah swt.

Sesungguhnya merekalah Syi’ah Ahlulbait as., dan

Ahlulbait as. tahu persis seberapa tulus cinta Syi’ah pada

mereka. Ahlulbait as. ingin sekali menimpal balik cinta

Syi’ah mereka dengan cinta yang sepadan bahkan lebih dalam.

Maka itu, Ahlulbait as. meminta Syi’ah mereka untuk

mempersiapkan diri sehingga layak menerima cinta Ahlulbait

as. tersebut. Persiapan ini akan terpenuhi dengan

warak, takwa, ketaatan dan pengabdian pada Allah swt.

Saat itulah cinta Ahlulbait as. pada Syi’ah mereka merupakan

kepanjangan dan perluasan dari cinta demi Allah swt.

Perumpamaan Ahlulbait as. dalam cinta tak ubahnya

orang tua yang mencintai anaknya, dan seyogyanya si anak

menjaga statusnya sebagai orang yang layak mendapatkan

cinta orang tua dengan budi pekerti yang mulia, dan dia

tidak melakukan perbuatan seperti durhaka yang menyebabkan

mereka berdua mencabut cinta itu dari hatinya.

Musuh Syi’ah adalah Musuh Ahlulbait dan Cinta Syi’ah adalah

Cinta Ahlulbait

Cinta dan benci adalah dua perkara yang berelasi secara

imbal balik. Maka dari itu, tidak ada cinta bagi satu pihak

pada pihak yang lain kecuali pihak kedua ini memiliki cinta

yang seimbang dengan cinta yang dimiliki pihak pertama

itu.

Begitu pula pembelaan dan perlawanan adalah dua perkara

yang juga bersifat imbal balik. Yakni, sebagaimana kita

menentang musuh Ahlulbait as. dan membenci mereka serta

mendukung pecinta Ahlulbait as. dan mencintai mereka,

begitupula Ahlulbait as. menentang orang yang memusuhi

Syi’ah mereka dan membela orang yang mencintai Syi’ah

mereka.

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Najran: “Aku mendengar

Abul Hasan as. selalu berkata: “Barangsiapa memusuhi

Syi’ah kami maka telah memusuhi kami, dan barangsiapa

mendukung mereka maka dia telah mendukung kami,

karena Syi’ah kami adalah dari kami; mereka diciptakan

dari tanah kami. Barangsiapa mencintai mereka maka dia

juga dari kami, dan barangsiapa membenci mereka maka

dia bukanlah dari kami. Syi’ah kami melihat dengan cahaya

Allah swt., mereka bergelimang dalam rahmat-Nya dan

menjadi pemenang dengan kemuliaan-Nya”.[36]

Diriwayatkan pula[37] bahwa Abul Hasan as. berkata: “Barang

siapa memusuhi Syi’ah kami maka dia telah memusuhi

kami, dan barang siapa yang mendukung mereka maka dia

telah mendukung kami, karena mereka dari kami, mereka

diciptakan dari tanah kami. Barang siapa mencintai mereka

berarti dia dari kami, dan barang siapa membenci mereka

berarti dia bukan dari kami. Syi’ah kami melihat dengan

cahaya Allah swt., mereka bergelimang dalam rahmat Allah

dan menjadi pemenang dengan kemuliaan-Nya.

“Tak seorang pun dari Syi’ah kami yang sakit melainkan

kami juga sakit karena dia, tak ada seorang pun dari Syi’ah

kita yang bersedih melainkan kami juga berduka karena dia,

tak ada seorang pun dari Syi’ah kami yang gembira melainkan

kami pun bergembira karena dia, dan tak ada seorang

pun dari Syi’ah kami yang meninggal dunia di manapun dia

berada, di timur bumi maupun di barat, dan dia masih

berhutang kepada orang lain melainkan hutangnya menjadi

tanggungan kami, dan jika dia meninggalkan kekayaan

maka kekayaan itu untuk para pewarisnya.

“Syi’ah kami adalah orang-orang yang menegakkan

shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, berpuasa

di bulan Ramadhan, membela Ahlulbait as. dan

menentang musuh-musuh mereka. Syi’ah kami adalah

mereka yang kuat iman, takwa, dan warak.

“Barang siapa menolak mereka berarti menolak Allah

swt., dan barang siapa memfitnah mereka dia telah memfitnah

Allah swt., karena mereka adalah hamba-hamba

Allah yang sebenarnya, mereka adalah wali-wali Allah yang

sejujurnya. Demi Allah! Tiap-tiap mereka memberi syafaat

kepada sekian penduduk suku Rabi’ah dan Madhar (baca:

banyak sekali), maka Allah menerima mereka sebagai pem beri syafaat karena kedudukan mereka yang mulia di sisi-

Nya”.

Imbal Balik Hak-hak antara Ahlulbait as. dan Syi’ah

Ahlulbait as. dan Syi’ah tidak hanya berimbal balik untuk

membela mereka dan pecinta mereka. Selain dalam kebencian

dan penentangan terhadap musuh, di antara Ahlulbait

as. dan Syi’ah juga terdapat imbal balik dalam hak. Yakni,

sebagaimana Ahlulbait as. menanggung hak-hak yang harus

mereka penuhi untuk Syi’ah seperti memberi petunjuk dan

jalan yang benar menuju Allah swt., penhajaran hudud atau

undang-undang Allah, ibadah kepada Allah… Begitu pula

Syi’ah menanggung hak-hak yang harus mereka penuhi

untuk Ahlulbait as.

Abu Qatadah meriwayatkan dari Abu Abdillah Imam

Ja’far as. berkata: “Hak-hak Syi’ah kami yang harus kami

penuhi lebih wajib dari hak-hak kami yang harus mereka

penuhi”.

“Seseorang bertanya kepada Imam Ja’far as.: ‘Bagaimana

demikian itu terjadi, wahai putera Rasulullah saw.?’

Beliau menjawab: ‘Ya, karena mereka menimpa kita

sementara kita tidak menimpa mereka’”.[38] []