Syi'ah Ahl Bayt

Syi'ah Ahl Bayt0%

Syi'ah Ahl Bayt pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Rasulullah & Ahlulbait

Syi'ah Ahl Bayt

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhammad Mahdi Al-Ashifi
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 8254
Download: 6644

Komentar:

Syi'ah Ahl Bayt
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 8254 / Download: 6644
Ukuran Ukuran Ukuran
Syi'ah Ahl Bayt

Syi'ah Ahl Bayt

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

SYARAT-SYARAT SYI’AH

AHLULBAIT AS.

Syarat Umum Syi’ah Ahlulbait as.

Nilai yang kita perbincangkan seputar kepengikutan kepada

Ahlulbait as. dan penerimaan wilayah mereka tidak lepas

dari syarat-syarat umum. Wilayah dan dukungan itu tidak

membuahkan hasil kecuali dengan terealisasinya syaratsyarat

tersebut. Termasuk di antaranya adalah pengetahuan

tentang hukum agama atau fikih, ibadah, takwa, warak,

pertalian dan komunikasi bersama orang-orang mukmin

pada khususnya dan semua orang muslim pada umumnya,

disiplin, adab, budi pekerti dan pergaulan yang baik dengan

masyarakat, amanat, dan jujur dalam bertutur.

Tanpa semua itu, kepengikutan seseorang kepada Ahlulbait

as. bukanlah syi’ah dan wilayah yang sebenarnya,

karena syi’ah yang sejati adalah kepengikutan yang nyata

dan tulus bersama mereka as.

Berikut ini beberapa poin penting dari ajaran Ahlulbait

as. berkaitan dengan Syi’ah atau pengikut mereka:

Jadilah Hiasan, bukan Coreng

Imam-imam suci Ahlulbait as. memerintahkan Syi’ah agar

menjadi perhiasan bagi mereka dan bukan sebaliknya;

menjadi noda dan coreng bagi mereka, karena jika mereka

(Syi’ah) berbuat dengan akhlak Islam dan beradab sesuai

kesantunan Islam niscaya masyarakat akan menyanjung

Ahlul-bait as. seraya berkata: “Betapa indahnya Ahlulbait

as. mendidik dan menyucikan Syi’ah mereka”. Ini tentu

berbeda jika masyarakat menjumpai keburukan mereka

dalam pergaulan dan perilaku, juga tidak menegakkan

hukum Allah swt. serta halal dan haram-Nya, niscaya

masyarakat akan mencemooh Ahlulbait as. karena kelakuan

buruk mereka tersebut.

Sulaiman bin Mihran menceritakan: “Suatu hari aku

menemui Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. yang

kebetulan pada saat itu ada beberapa orang dari pengikut

beliau di situ, beliau memanggil: ‘Wahai sekalian Syi’ah!

Jadilah kalian hiasan bagi kami dan jangan menjadi coreng

bagi kami, bertuturlah yang sopan dengan masyarakat,

jagalah lidah kalian, hindarilah campur tangan dan tutur

kata yang buruk”.

Diriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as.

berkata: “Wahai orang-orang Syi’ah! Sesungguhnya kalian

dikaitkan kepada kami, maka jadilah hiasan bagi kami dan

jangan jadi noda untuk kami…”.[39]

Diriwayatkan pula dari beliau berkata: “Sesungguhnya

Allah merahmati hamba-Nya yang menyebabkan kami

tercinta di tengah masyarakat, dan tidak menjadikan kami

dibenci mereka. Demi Allah, andaikan hamba-hamba Allah

itu meriwayatkan keindahan tutur kata kami, niscaya

mereka lebih mulia dan terhormat, dan tidak akan ada

seorangpun yang dapat menyanggah mereka”.[40]

Beliau juga berkata: “Allah swt. merahmati orang yang

menyebabkan kami tercinta di tengah masyarakat dan tidak

menjadikan kami dibenci mereka. Sungguh demi Allah! Andaikan

hamba-hamba Allah itu (Syi’ah) meriwayatkan keindahan

bicara kami, niscaya mereka lebih mulia dan

terhormat, serta tidak akan ada seorangpun yang mampu

menyanggah mereka. Namun sayang! Sebagian dari mereka

mendengar satu kata dan menambahkan puluhan kata (saat

menukilnya)”.[41]

Dalam riwayat lain beliau berkata: “Wahai Abdul A’la!

Sampaikan salamku kepada mereka (Syi’ah) wa rahmatullah

dan katakan kepada mereka: ‘Allah swt. merahmati orang

yang memikat cinta masyarakat pada dirinya juga pada

kami dengan cara menampilkan sesuatu yang makruf pada

mereka, dan menghindarkan sesuatu yang munkar dari

mereka’”.[42]

Diriwayatkan juga bahwa Imam Ja’far Ash-Shadiq as.

berkata: “Wahai orang-orang Syi’ah, jadilah hiasan bagi

kami dan jangan menjadi noda untuk kami, berbicaralah

santun kepada masyarakat, jagalah lidah kalian, dan hindarilah

campur tangan dalam urusan orang lain dan perkataan

yang buruk”[43]

Ahulbait as. Memberi Syafaat di Sisi Allah swt. dan

Senantiasa Bergantung kepada-Nya

Sesungguhnya Ahlulbait as. tidak butuh kepada selain Allah

swt., tetapi mereka senantiasa bergantung sepenuhnya

kepada-Nya. Mereka memberi syafaat dengan izin Allah

dan tidak akan pernah memberi syafaat pada siapapun

tanpa seizin-Nya.

Maka barang siapa yang ingin merasa cukup dan tidak

butuh ketaatan kepada Allah, ibadah kepada-Nya, takwa

dan warak serta hanya bermodalkan cinta dan wilayah

Ahlulbait as., maka ketahuilah dia telah menapaki jalan

selain Ahlulbait as. dan mengikuti mazhab selain mereka.

Dan dengan demikian, dia tidak akan memetik buah yang

diharapkan dari kecintaannya pada Ahlulbait as.

Amr bin Sa’id bin Bilal berkata: “Suatu saat aku menemui

Abu Ja’far Muhammad Baqir as. Di sekitar beliau

tampak ada sekelompok orang. Kepada mereka Imam berkata:

‘Ambillah jalan tengah! Orang yang berlebihan akan

kembali pada kalian dan orang yang akan datang akan

bergabung bersama kalian. Ketahuliah wahai Syi’ah dan

pengikut keluarga Muhammad saw.! Tidak ada kekerabatan

antara kami dengan Allah swt., diri kami juga tidak menjadi

hujah di hadapan Allah, dan kedekatan pada Allah tidak

akan bisa diraih kecuali dengan ketaatan pada-Nya. Maka

barang siapa yang taat pada Allah, maka wilayah dan

cintanya pada kami akan bermanfaat baginya, dan barangsiapa

yang menentang maka cintanya tak lagi berarti sama

sekali’.

“Kemudian beliau mengalihkan perhatian kepada kami

seraya berkata: ‘Jangan memperdaya dan jangan berdusta

atau membuat-buat’”.[44]

Maka itu, barang siapa yang menghendaki Ahlulbait as.

dan ingin mengikuti ajaran mereka serta berwilayah kepada

mereka, maka dia harus sadar bahwa Ahlulbait as. tidak

memiliki keuntungan maupun bahaya, baik pada diri mereka

sendiri maupun untuk orang lain, kecuali dengan izin

Allah swt. dan kehendak-Nya. Mereka hanyalah hambahamba

ciptaan Allah yang dekat pada-Nya.

Sudah barang tentu, orang yang menghendaki Ahlulbait

as. dan berharap kedekatan diri pada Allah dan syafaat di

sisinya melalui cinta pada mereka, maka seyogyanya dia

bertakwa kepada Allah dan menempuh jalan orang-orang

saleh.

Diriwayatkan bahwa Imam Ali as. berkata: “Bertakwalah

pada Allah, janganlah kalian terperdaya oleh orang lain,

janganlah kalian termakan dusta orang lain. Ketahuilah

bahwa agamaku adalah agama yang satu, agama (Nabi)

Adam yang diridhai Allah swt.; aku hanyalah hamba ciptaan-

Nya, dan aku tidak memiliki jaminan atau bahaya pada

diriku sendiri kecuali apa yang dikehendaki Allah, dan aku

tidak berkehendak kecuali apa yang Allah kehendaki”.[45]

Warak dan Takwa

Kita tidak menemukan wasiat Ahlulbait as. kepada Syi’ah

mereka yang lebih banyak dari wasiat mereka tentang takwa

dan warak dalam kehidupan. Syi’ah Ahlulbait as. adalah

orang yang mengikuti dan menyertai mereka dalam hal

takwa dan warak. Merekalah orang yang lebih bertakwa

dan warak serta lebih dekat atau mirip pada Ahlulbait as.,

bukankah inti tasyayyu’ adalah kepengikutan dan peneladanan.

Maka orang yang ingin mengikuti dan meneladani

Ahlulbait as. tidak akan menemukan jalan selain ketaatan

kepada Allah, warak dan takwa kepada-Nya.

Abu Shabah al-Kanani meriwayatkan: “Aku katakan

kepada Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Di Kufah, kita

dicemooh karena nama kalian (Ahlulbait). Mereka memanggil

kita dengan sebutan Ja’fariyah’. Maka beliau marah

seraya berkata: “Sesungguhnya sahabat Ja’far di antara

kalian tidaklah banyak, karena sahabat Ja’far adalah orang yang waraknya sangat kuat dan hanya beramal untuk

Penciptanya; Allah swt. ‘”.[46]

Amr bin Yahya bin Bisam berkata aku mendengar Abu

Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as. berkata demikian: “Sesungguhnya

orang yang benar-benar warak adalah keluarga

Muhammad saw. dan Syi’ah mereka”.[47]

Diriwayatkan pula dari Imam Ja’far Ash-Shadiq: “Syi’ah

kami adalah warak dan pekerja, mereka adalah orang-orang

yang percaya dan terpercaya, ahli zuhud dan ibadah, senantiasa

menunaikan lima puluh satu rakaat shalat sehari

semalam, orang-orang yang terjaga di malam hari dan

berpuasa di siang hari. Mereka menunaikan ibadah haji ke

Baitul Haram … dan menjaga diri dari segala yang haram”.[48]

Beliau juga berkata: “Demi Allah, Syi’ah Ali as. tidak

lain adalah orang yang suci perut dan kemaluannya, orang

yang beramal hanya untuk Penciptanya, dan mengharapkan

pahala-Nya serta takut akan siksa-Nya”.[49]

Dalam riwayat yang lain beliau berkata: “Wahai Syi’ah

keluarga Muhammad saw.! Sesungguhnya bukanlah dari

kami orang yang tidak menguasai dirinya pada saat marah,

tidak berkata sopan pada orang yang berbicara dengannya,

tidak menjaga persahabatannya dengan orang yang bersamanya,

dan tidak memegang janji perdamaian dengan

orang yang mengajaknya berdamai”.[50]

Diriwayatkan pula bahwa beliau berkata: “Bukan dari

Syi’ah kami orang yang berada di kota atau sebuah daerah

dan dia memiliki ribuan harta sementara di sana terdapat

orang yang lebih warak dari dia”.[51]

Kalib bin Muawiyah al-Asadi berkata saya mendengar

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Demi

Allah! Sesungguhnya kalian berada di atas agama Allah dan

agama malaikat-Nya, maka bantulah kami dengan warak

dan usaha yang sungguh-sungguh!”[52]

Perawi yang sama juga melaporkan: “Aku mendengar

Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. berkata: ‘Demi

Allah, sesungguhnya kalian di atas agama Allah dan

malaikatNya, maka bantulah kami dalam hal itu dengan

warak dan usaha keras. Perhatikanlah shalat malam dan

ibadah kalian, perhatikanlah warak kalian!’”[53]

Penulis buku Bashairu Darajat meriwayatkan dari

Murazim berkata: “Suatu hari aku memasuki kota Madinah,

aku melihat seorang wanita di rumah yang aku tempati saat

itu, aku begitu tertarik padanya tapi dia menolak untuk

menikah denganku”.

Murazim melanjutkan: “Maka aku mendatangi wanita

itu di petang hari. Kuketuk pintu kamarnya, ternyata dia

sendiri yang membukakan pintu. Segera dia letakkan tanganku

di atas dadanya dan dia bersegera sampai aku

masuk. Pagi harinya aku datang pada Abul Hasan as, maka

dia berkata: ‘Wahai Murazim! Bukanlah dari Syi’ah kami

orang yang sendirian namun tidak menjaga hatinya’”.[54]

Dalam sebuah riwayat disebutkan, ada seorang berkata

kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah, si fulan melihat

kehormatan (keluarga) tetangganya, dan apabila dia berkesempatan

untuk melakukan perbuatan haram, niscaya dia

tidak akan menjaga diri dari hal itu”. Mendengar itu, Rasulullah

saw. marah. Lalu orang itu menambahkan: “Meski

begitu, dia termasuk orang yang meyakini dirinya berwi layah kepadamu, mendukung Ali dan menentang musuhmusuh

kalian”. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Jangan

katakan dia dari Syi’ah kami! Sungguh dia telah berdusta.

Syi’ah kami adalah orang yang mengikuti perilaku kami,

dan apa yang kamu katakan tadi tentang perbuatan orang

itu tidak termasuk dari perilaku kami”.[55]

Seorang berkata pada Imam Hasan bin Ali as.: “Aku

adalah salah satu dari Syi’ah kalian”. Maka Imam Hasan bin

Ali as. berkata padanya: “Wahai hamba Allah! Jika kamu

mengikuti kami dan mentaati perintah dan larangan kami,

berarti kamu benar, dan jika ternyata kamu bertentangan

dengan itu, maka janganlah menambah dosamu dengan

pengakuanmu akan derajat mulia yang bukan milikmu.

Jangan katakan pada kami bahwa aku adalah Syi’ah kalian,

tapi katakanlah bahwa aku adalah salah satu pecinta dan

pendukung kalian serta musuh lawan kalian”.[56]

Seorang lagi berkata pada Imam Husain as.: “Wahai

putra Rasul, aku adalah Syi’ahmu”. Husain as. berkata:

“Sesungguhnya Syi’ah kami adalah orang yang hatinya

bersih dari pengkhianatan dan kedengkian yang terselubung”.

Disebutkan dalam kitab Abul Qasim bin Qoulawaih,

riwayat dari Muhammad bin Umar bin Handzalah berkata:

“Abu Abdillah as. berkata: “Bukan dari Syi’ah kami orang

yang mengucapkan dengan lidahnya—bahwa aku adalah

Syi’ah Ahlulbait as.—tetapi tingkah laku dan sikapnya bertentangan

dengan adab dan perilaku kami. Syi’ah kami

adalah orang yang menyerupai kami dengan mulut dan

hatinya, mengikuti adab kami serta meneladani amal perbuatan

kami, mereka adalah Syi’ah kami yang sebenarnya”.[57]

Ibadah

Abul Miqdam meriwayatkan bahwa Abu Ja’far Imam Muhammad

Baqir as. berkata padanya: “Wahai Abul Miqdam,

sesungguhnya Syi’ah Ali as. adalah orang-orang yang pucat,

kurus kerontang, lemas, bibirnya kering, perutnya langsing,

warnanya berubah-ubah, wajahnya kuning. Apabila malam

telah menyelimuti mereka, mereka jadikan bumi sebagai

tempat tidur dan mengalasinya dengan dahi. Mereka adalah

orang yang banyak sujud, bercucuran air mata, banyak

berdoa, dan meratap. Mereka bersedih di saat orang-orang

bergembira”.[58]

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di suatu

malam yang terang dan cerah, Amirul Mukminin Ali bin

Abi Thalib as. keluar dari masjid menuju gurun sahara. Dari

belakang, sekelompok orang mengikuti jejak beliau. Beliau

berhenti menghadap mereka dan bertanya: “Siapa kalian?”

Mereka menjawab: “Kami adalah Syi’ahmu, wahai

Amirul Mukminin!”

Maka beliau meneliti dengan cermat wajah-wajah mereka

lalu berkata: “Lalu kenapa saya tidak melihat tandatanda

Syi’ah pada kalian?”.

Mereka balik bertanya: “Apa tanda orang Syi’ah, wahai

Amirul Mukminin?”.

Beliau pun menjawab: “Wajah mereka kuning pucat

karena terjaga di malam hari, mata mereka buram karena

menangis, punggung mereka bongkok karena berdiri shalat,

perut mereka kosong karena puasa, bibir mereka kering

karena berdoa, dan pada mereka terdapat debu-debu orang

yang khusyuk”.[59]

Abu Nashir meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq

as. berkata: “Syi’ah kami adalah ahli warak dan usaha keras,

orang-orang yang setia dan terpercaya, ahli zuhud dan

ibadah, pelaku lima puluh satu rakaat shalat dalam sehari

semalam, berjaga di malam hari untuk melaksanakan shalat

tahajud, berpuasa di siang hari, mengeluarkan zakat dari

harta mereka, menunaikan haji ke Baitul Haram, dan menghindari

semua yang haram”.[60]

Syaikh Shaduq dalam Shifatus Syi’ah meriwayatkan dari

Muhammad bin Shaleh, dari Abul Abbas ad-Dainuri, dari

Muhammad bin al-Hanafiah berkata: “Ketika Amirul Mukminin

as. datang ke Basrah setelah perang Jamal, Ahnaf bin

Qais ingin mengundang dan menjamu beliau. Dia mengutus

seseorang kepada beliau dan sahabatnya. Amirul Mukminin

as. datang memenuhi undangan dan berkata: “Wahai Ahnaf,

panggillah sahabat-sahabatku!” Maka masuklah sekelompok

orang dalam keadaan tunduk seperti geriba yang telah

usang. Segera Ahnaf bin Qais berkata keheranan: “Wahai

Amirul Mukminin, apa yang telah menimpa mereka sampai

seperti ini? Apakah karena kurang makan? Atau karena

dahsyatnya peperangan?”

Maka Amirul Mukminin as. berkata padanya: “Tidak

wahai Ahnaf! Sesungguhnya Allah swt. meperlakukan[61] kelompok

orang yang beramal ibadah di dunia terhina seperti

orang yang sedang menyergap Hari Kiamat sebelum mereka

menyaksikannya secara langsung, maka mereka memaksa

diri sekuat tenaga. Mereka adalah orang-orang yang jika

diingatkan Hari Pengajuan di hadapan Allah swt. membayangkan

keluarnya buku amal mereka yang menampilkan

dosa-dosa mereka pada juru-juru kesaksian, dengan begitu diri mereka menjadi luluh, hati mereka terbang melesat

dengan sayap-sayap keresahan, dan akal mereka meninggalkan

diri mereka menuju Allah dalam keadaan mendidih.

“Mereka menangis seperti orang yang tersesat di malam

yang gelap, mereka risau karena takut akan apa yang telah

direncanakan pada diri mereka. Karena itu, mereka berjalan

dengan tubuh lunglai, hati yang sedih, wajah yang muram,

bibir yang kering dan perut yang kosong. Kalian saksikan

mereka seperti orang mabuk, terpaku di malam yang mengerikan,

tunduk seakan geriba yang telah usang. Mereka

ikhlaskan hanya demi Allah swt. seluruh perbuatan mereka,

baik yang rahasia maupun yang terang-terangan. Hati mereka

tidak pernah merasa aman karena takut pada Allah.

Apabila kau lihat mereka di tengah malam, di saat mata

telah tidur lelap, keadaan telah sunyi, gerakan telah diam

dan tenang, namun Hari Kiamat beserta janji-janjinya

sungguh menghantui dan menahan mereka dari tidur,

seperti janji dalam al-Qur’an:

﴿ أفَأمِنَ أهلُ القُ رَی أن يََتِيَهُم بََسُنَا بَ يَاتًَ وَ هُم نَائِمُونَ ﴾ “Apakah penduduk daerah merasa aman dari siksa yang

akan menyergap mereka di malam hari saat mereka tidur

lelap”.[62]

“Mereka terjaga di waktu malam dengan penuh rasa takut,

mereka bangkit untuk menunaikan shalat sambil meratap

dan menangis, kadang kala mereka bertasbih dan menangis

dengan suara keras di mihrab-mihrab, berbaris (shalat dan

beribadah) di malam yang gelap gulita sambil mecucurkan

air mata.

“Wahai Ahnaf! Jika kamu melihat mereka di waktu

malam, mereka berada dalam keadaan tubuh berdiri tegak

dengan punggung membongkok, membaca ayat-ayat al-

Qur’an dalam shalat, tangis dan ratapan, serta nafas panjang

mereka semakin meningkat. Apabila mereka menarik napas

panjang, seakan api telah menjilat sampai ke tenggorokan

mereka. Dan mereka menangis seakan-akan rantai sedang

membelenggu leher mereka.

“Di waktu siang, kamu akan melihat mereka berjalan di

muka bumi dengan tenang dan merendah, bertutur manis

dengan masyarakat “dan sewaktu orang-orang bodoh mencemooh

mereka, mereka mengucapkan salam, dan sewaktu menemui kesiasiaan

mereka melewatinya dengan mulia”[63] , menahan setiap

langkah dari prasangka. Mereka membungkam mulut dari

perbincangan tentang kehormatan keluarga orang. Mereka

penuhi telinga mereka untuk diselami para penyelam, mereka

hiasi mata dengan mencegah pandangan dari maksiat,

mereka terobos darussalam (istana keselamatan); barangsiapa

memasukinya niscaya akan terjaga dari keraguan dan bebas

dari kesedihan”.[64]

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:

“Suatu hari Ali bin Husain as. duduk di rumahnya. Tibatiba

seseorang mengetuk pintu, maka beliau menyuruh

pembantunya seraya berkata: ‘Lihatlah siapa gerangan di

depan pintu’. Dia berkata: “Sekelompok dari Syi’ahmu”.

Mendengar itu, beliau bergegas bangkit sehingga nyaris

terjatuh. Ketika pintu terbuka dan beliau memandang

mereka yang datang, beliau berbalik seraya berkata: ‘Lalu

mana tanda-tanda Syi’ah di wajah-wajah itu? Mana pengaruh

ibadah pada diri mereka? Mana tanda sujud itu?

Sesungguhnya Syi’ah kami dikenal dengan ibadah dan

tampang mereka yang kusut. Ibadah telah melukai hidung

mereka (berarti sangat banyak beribadah), dahi dan anggota

sujud lainnya tebal dan tertutup, perut yang kosong, bibir

yang kering, wajah mereka berkobar karena ibadah, begadang

malam dan usaha keras di waktu siang yang panas

membuat tubuh mereka jadi usang. Mereka adalah orangorang

yang bertasbih di saat orang lain diam, yang melakukan

ibadah shalat di saat orang lain tidur. Mereka adalah

orang-orang yang sedih di saat orang lain gembira’”.[65]

Nauf bin Abdillah al-Bakkali meriwayatkan bahwa

Imam Ali as. berkata padanya: “Wahai Nauf, kami—Ahlulbait—

diciptakan dari tanah yang terbaik, dan Syi’ah kami

diciptakan dari tanah itu. Maka ketika Hari Kiamat datang,

mereka akan disatukan bersama kami”.

Nauf melanjutkan dengan sebuah permintaan: “Jelaskan

sifat-sifat Syi’ahmu kepadaku, wahai Amirul Mukminin!”

Seketika itu pula Imam Ali as. menangis karena teringat

Syi’ahnya seraya berkata: “Wahai Nauf, demi Allah Syi’ahku

adalah orang-orang yang murah hati, ulama yang

mengenal Allah dan agamanya, yang bertindak di jalan

ketaatan dan perintah-Nya, orang yang memperoleh hidayah

dengan cinta-Nya. Mereka kurus lantaran ibadah,

warna mereka hitam kemerah-merahan karena zuhud,

wajah mereka pucat karena tahajud, mata mereka cekung

dan samar karena tangis, bibir mereka kering karena zikir,

perut mereka kosong karena lapar. Ketuhanan dan kesalehan

tampak pada wajah-wajah mereka di samping kerahiban

yang turut menandai. Mereka adalah lentera-lentera

yang menerangi segala kegelapan, kembang setiap kabilah,

perbuatan buruk mereka terhindar dari masyarakat, hati mereka sedih, jiwa mereka suci, kebutuhan mereka sederhana,

diri mereka selalu dalam kesulitan karena diri mereka

sendiri, akan tetapi masyarakat senantiasa tenang dengan

keberadaan mereka. Mereka adalah manusia-manusia pandai

yang berakal, tulus dan mulia. Di kala hadir mereka tak

dikenal, di kala absen orang-orang tak merasa kehilangan.

Mereka adalah Syi’ahku yang terbaik dan saudaraku yang

termulia. Ah…sungguh aku sangat merindukan mereka”.[66]

Rahib di Waktu Malam dan Tuan di Waktu Siang

Nauf bercerita suatu malam dia pernah tidur bersama

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. di loteng rumahnya,

beliau bangkit untuk shalat malam dan melihat ke arah

bintang-bintang seperti orang yang bingung kemudian

bertanya: “Hai Nauf, apakah kamu sedang tidur atau

terjaga?”

Nauf menjawab bahwa dirinya terjaga. Maka beliau

melanjutkan perkataanya wahai Nauf: “Tahukah siapakah

Syi’ahku? Syi’ahku adalah orang-orang yang berbibir kering

dan memiliki perut kosong. Mereka ditandai dengan

kerahiban dan kesalehan atau ketuhanan di wajah mereka,

rahib di waktu malam dan tuan di saat siang. Ketika malam

telah tiba, mereka melingkarkan kain di pinggang mereka

dan kembali ke posisi tubuh yang tegak. Mereka bariskan

kaki, mereka tapakkan dahi. Mereka cucurkan air mata di

pipi, berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah agar diselamatkan

dari siksa. Adapun di siang hari, mereka begitu

bermurah hati, alim, baik dan bertakwa”.[67]

Kalimat “rahib di waktu malam dan tuan di waktu

siang” adalah ungkapan lembut yang ingin menyampaikan kondisi yang betul-betul stabil dalam tingkah laku mereka

di malam dan siang hari. Mereka adalah penguasa negeri

malam saat gelap datang. Kita akan menyaksikan mereka

dalam keadaan rukuk dan sujud, khusyuk di hadapan Allah

swt. dan berdoa kepada-Nya agar dibebaskan dari neraka.

Tatkala siang menjelang, mereka tampil bak pahlawan

di semua medan. Mereka sungguh cendekiawan yang

santun dan saleh, melawan tantangan, sabar dan tangguh.

Tanda seorang hamba adalah ketika sahar mengapit,

mereka sibuk khusyuk di hadapan Allah

Dan ketika waktu dhuha terbit, pedang-pedang tajam

melihat mereka laksana manusia merdeka

Mereka adalah perwujudan dari zikir di waktu malam dan

takwa di waktu siang. Di sinilah inti keseimbangan antara

malam dan siang dalam kehidupan Syi’ah Ahlulbait as.

Pelaku Lima Puluh Satu Rakaat Shalat di Siang dan Malam

Diriwiayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:

“Syi’ah kami adalah orang-orang yang warak dan bersungguh-

sungguh, setia dan terpercaya, zahid dan abid, pelaku

lima puluh satu rakaat shalat di setiap hari dan malam,

orang yang berpuasa di waktu siang, mengeluarkan zakat

dari harta-harta mereka, menunaikan ibadah haji di baitul

haram, dan menghindari segala hal yang haram”.[68]

Imam Muhammad Baqir as. berkata: “Syi’ah kami tidak

lain adalah orang-orang yang bertakwa kepada Allah dan

taat pada-Nya, tidak lain mereka dikenal dengan rendah

diri, khusyuk, menjaga amanat dan banyak berzikir kepada

Allah serta …”.[69]

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Syi’ah kami adalah

orang-orang yang kurus kering dan lesu, apabila malam

menyelimuti mereka, mereka menyambutnya dengan kesedihan”.[70]

Abu Hamzah Tsumali meriwayatkan dari Yahya bin

Ummu Thawil yang menceritakan kisah Nauf al-Bakkali

berkata: “Suatu saat aku hendak menjumpai Amiril Mukminin

Ali bin Abi Thalib as. untuk suatu keperluan. Untuk

itu, aku mengajak Jundub bin Zuhair, Rabi’ bin Khaitsam

dan keponakannya yang bernama Hammam bin Ubadah bin

Khaitsam. Kita bertiga menghadap beliau dan ternyata kita

mendapatkan beliau keluar menuju masjid, dan secara

bersamaan kita semua sampai di suatu tempat dan menyaksikan

sekelompok orang gendut yang banyut dalam

perbincangan panjang lebar sambil mengunyah buahbuahan.

Sebagian dari mereka meledek sebagian yang lain.

Namun ketika Amirul Mukminin as. tiba, mereka bergegas

bangkit dan mengucapkan salam, beliau pun menjawab

salam seraya bertanya: ‘Siapakah mereka?’ Dijawab oleh

sebagian orang: ‘Mereka dari Syi’ahmu, wahai Amirul

Mukminin as.’. Beliau berkata santun dan melanjutkan:

‘Tapi kenapa aku tidak melihat tanda-tanda Syi’ah pada diri

mereka, begitu pula tidak tampak hiasan kekasih-kekasih

kami Ahlulbait as.? Memestinya mereka malu!’

Nauf melanjutkan: “Jundub dan Rabi’ membuka mulut

dan menimpali perkataan Imam Ali tersebut: ‘Apakah tanda

dan sifat Syi’ah Ahlulbait, wahai Amirul Mukminin?’ Beliau

agak keberatan untuk menjawab pertanyaan ini seraya

berkata singkat: ‘Bertakwalah kepada Allah, wahai dua pria

dan berbuatlah baik! Sesungguhnya Allah bersama orangorang

yang bertakwa dan mereka yang berbuat baik’.

﴿ وا اَم حَسِبَ المذِينَ اجتَََحُوا ال م سي ئَاتِ أن نََعَلَهُم كَالمذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُ

ال م صالَِْاتِ سَوَاءً مَحيَاهُم وَ مَََاتُ هُم سَاءَ مَا يََكُمُونَ ﴾

“Apakah kalian sangka orang-orang yang melakukan

perbuatan-perbuatan buruk akan kami jadikan mereka

seperti orang-orang yang beriman dan beramal saleh, baik

kehidupan maupun kematian mereka, sungguh buruk apa

yang mereka putuskan”.[71]

“Kemudian Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. meletakkan

tangannya di pundak Hammam bin Ubadah seraya

berkata:

“Perhatikanlah, siapa yang bertanya tentang Syi’ah

Ahlulbait as. yang telah dijauhkan oleh Allah swt. dari noda

dan menyucikan mereka sebagaimana disinyalir dalam al-

Qur’an bersama Nabi-Nya. Mereka (Syi’ah Ahlulbait as.)

adalah orang yang mengenal Allah swt., pelaksana perintah

Allah, pemilik keutamaan dan anugerah Tuhan. Ucapan

meraka benar, pakaian mereka hemat dan sederhana, jalan

mereka rendah diri. Mereka patuh pada Allah swt. dan

mentaati-Nya, tunduk dengan menyembah-Nya.

“Mereka berjalan dalam keadaan menutup mata dari

semua yang dilarang oleh Allah atas mereka, mengendalikan

indra pendengar di atas kesadaran akan agama

mereka, kondisi sebagian dari mereka yang tertimpa bencana

seperti orang yang berlimpah kemakmuran. Mereka

rela atas ketentuan Allah, andai bukan karena ajal yang

telah ditetapkan Allah atas mereka, niscaya arwah mereka

tidak akan menetap dalam tubuh walau hanya sekejap mata,

karena mereka betul-betul rindu untuk bertemu Allah swt.

dan meraih pahala dari-Nya serta karena takut akan siksa-Nya.

“Sang Pencipta begitu agung dalam diri mereka. Selain

Dia, semua kecil di mata mereka. Hubungan mereka dengan

surga seperti orang yang melihatnya secara langsung. Di

saat berada di dalamnya, mereka bersandar pada bantalbantal.

Dan hubungan mereka dengan neraka seperti orang

yang memasukinya di saat-saat mereka tersiksa di dalamnya.

Hati mereka sedih, orang lain terjamin dari perbuatan

buruk mereka, tubuh mereka ramping, kebutuhan mereka

ringan, jiwa mereka suci dan bakti mereka terhadap Islam

sungguh besar. Mereka bersabar hanya untuk beberapa hari

yang tidak banyak, setelah itu menemui kebahagiaan yang

panjang sebagai perniagaan untung yang telah dimudahkan

oleh Tuhan Yang Mulia untuk mereka. Mereka adalah orang

yang sopan dan pandai. Dunia menghendaki mereka namun

mereka sendiri tidak menginginkannya, dunia menuntut

mereka namun mereka kalahkan dunia.

“Adapun di waktu malam, kaki mereka berbaris, membaca

ayat-ayat al-Qur’an begitu indah dan tartil, menasihati

diri mereka sendiri dengan perumpamaan-perumpamaan

yang diutarakan al-Qur’an, mengobati penyakit mereka

dengan obat yang ditawarkan al-Qur’an. Kadang kala di

waktu malam, mereka tapakkan dahi, telapak tangan, lutut

dan ujung jari kaki mereka. Air mata mengalir deras di permukaan

pipi mereka. Mereka mengagungkan Allah Yang

Maha Perkasa dan Besar. Mereka berdoa sepenuh hati pada-

Nya agar diselamatkan dari siksa api neraka.

“Itulah mereka di waktu malam. Adapun di waktu siang

maka mereka adalah orang yang murah hati, cendekiawan,

baik dan bertakw. Ketakutan mereka pada Allah swt. telah

menguruslemahkan diri mereka. Mereka seperti anak-anak

panah, setiap orang yang memandang mereka menyangka

mereka sakit padahal mereka tidaklah demikian, atau mengira

mereka tidak normal, padahal mereka hanya terlihat ⌂⌂⌂

seperti itu karena keagungan Tuhan yang mereka saksikan.

Kerajaan-Nya yang telah menguasai mereka adalah perkara

agung yang membuat hati mereka luluh dan menjadikan

akal mereka lumpuh di hadapan-Nya.

“Ketika mereka kembali tegak seperti semula, segera

mereka menuju Allah dengan amalan yang suci. Mereka

tidak pernah rela atas perbuatan yang sedikit demi Dia, dan

tidak menuntut pahala yang berlimpah atas perbuatan yang

banyak.

“Mereka senantiasa menuduh diri mereka sendiri dan

takut akan apa yang mereka lakukan. Apabila seseorang

dari mereka dipuji, niscaya dia akan takut atas apa yang

mereka katakan berupa pujian seraya berkata: ‘Aku lebih

tahu diriku sendiri daripada orang lain, dan Tuhanku Maha

Tahu dariku. Ya Allah, janganlah Engkau panggil dan siksa

aku karena apa yang mereka katakan, jadikanlah yang

terbaik dari apa yang mereka sangka, ampunilah dosadosaku

yang tidak mereka ketahui. Sesungguhnya Engkau

Maha Tahu hal-hal yang gaib dan Maha Penutup segala aib’.

“Itulah mereka. Salah satu tanda mereka adalah kamu

melihatnya kokoh dalam agama, waspada dalam kelembutan,

mukmin dalam keyakinan, serakah akan ilmu,

mengerti dalam ketelitian fikih, pandai dalam kemurahan

hati, hemat dalam kekayaan, indah dalam kefakiran, sabar

dalam kesulitan, khusyuk dalam ibadah, memberi dalam

hak yang semestinya milik dia, bersahabat dalam perniagaan,

mencari nafkah dalam perkara yang halal, bergairah

dalam hidayah, menjaga diri dalam syahwat dan berbakti

dalam istiqomah.

“Dia tidak terperdaya oleh apa yang tidak diketahuinya,

tidak melupakan perhitungan apa yang dilakukannya,

senantiasa menganggap dirinya lambat dalam beramal, dan

acap malu bahkan atas amal saleh yang telah dia lakukan.

“Mereka memulai pagi hari dengan kesibukan berzikir,

memasuki sore hari dengan kegelisahan bersyukur, dan

tidur dalam keadaan waspada dan takut akan kantuk

kelalaian, kemudian kembali bangun pagi dengan bahagia

atas anugerah dan rahmat yang diberikan Allah.

“Ketika merasa sulit dan berat terhadap apa yang tidak

disenanginya, mereka tidak akan pernah memenuhi permintaannya

atas apa yang dikehendaki. Keinginan mereka

berpusat pada hal-hal yang kekal, dan kezuhudan mereka

seputar hal-hal yang fana dan hilang.

“Mereka dampingkan amal dan ilmu, jodohkan ilmu

dan kemurahan hati. Ketekunan mereka langgeng, kemalasan

mereka jauh, angan-angan mereka pendek, ketergilinciran

mereka langka, ajal mereka senantiasa dinantikan,

hati mereka khusyuk mengingat Tuhan, diri mereka rela

dan puas, kebodohan mereka membujang, agama mereka

terjaga, penyakit mereka mati, amarah mereka terpendam,

budi pekerti mereka jernih, tetangga merekea aman dari

ulahnya, urusan mereka mudah, kesombongan mereka tak

tersisa, kesabaran mereka jelas, zikir mereka banyak, tidak

beramal baik secara riya’ atau karena pujian orang lain, juga

tidak meninggalkan amal baik itu hanya karena malu.

Kebaikan mereka selalu diharapkan dan keburukan mereka

selalu teredam.

“Apabila berada di antara orang-orang yang lalai,

mereka akan ditulis di kelompok orang-orang yang ingat,

dan apabila berada di tengah orang-orang yang ingat,

mereka tidak akan ditulis di kelompok mereka yang lalai.

Mereka memaafkan orang yang telah berlaku zalim terhadap

mereka, santun kepada orang yang enggan memberi

mereka, dan menyambung hubungan silaturahmi dengan

orang yang memutusnya.

“Amal makruf mereka santun, tutur kata mereka jujur,

perilaku mereka mulia, kebaikan mereka terdepan, keburukan

mereka terbelakang, tipu daya mereka terjauhkan.

Mereka tegar di tengah bencana, sabar di tengah kesulitan,

bersyukur di tengah kemudahan, tidak berbuat semenamena

terhadap orang yang dibenci, tidak menyakiti orang

yang dicintai, tidak mengaku apa yang bukan miliknya dan

tidak menolak hak orang lain terhadap dirinya. Mereka

mengakui hak tertentu sebelum dihadirkan saksi untuk itu,

mereka tidak menyia-nyiakan apa yang harus dijaga dan

tidak bermain-main dengan nama panggilan atau sebutan.

“Mereka tidak bertindak sewenang-wenang terhadap

orang lain, tidak dikuasai oleh iri dan dengki, tidak membahayakan

tetangga dan tidak mengutuk musibah yang menimpa.

Mereka menjalankan amanat secara baik, bertindak

penuh taat, bergegas pada kebajikan dan lambat pada

keburukan. Mereka mengajak yang makruf sekaligus melakukannya,

mereka melarang yang munkar sekaligus menghindarinya,

mereka tidak memasuki perkara secara bodoh

dan tidak keluar dari kebenaran karena lemah.

“Apabila diam, sungguh mereka tidak gelisah akan

keadaan diam itu, begitu pula saat berbicara, mereka tidak

gundah akan kata-kata yang telah diucapkan. Dan jika mereka

tertawa, tidak terbahak-bahak.

“Mereka adalah orang yang qana’ah atau rela atas takdirnya,

tidak dikendalikan oleh amarah, tidak dikuasai oleh

hawa nafsu, tidak didominasi oleh kikir. Mereka bergaul

dengan masyarakat atas dasar pengetahuan dan berpisah

dari mereka atas dasar kedamaian. Mereka berbicara untuk

mendapatkan manfaat, bertanya agar faham. Mereka susah

atas diri mereka sendiri sementara orang lain nyaman dengan

keberadaan mereka. Mereka menjamin orang lain dari diri mereka, dan mereka susahkan diri sendiri untuk meraih

akhirat yang utama.

“Mereka bersabar apabila diperlakukan mazlum oleh

orang lain sampai Allah menjadi penolong dan pembalas

dendamnya. Mereka meneladani orang-orang mulia sebelum

mereka, dan teladan bagi orang-orang setelah mereka.

“Mereka adalah pekerja-pekerja Allah, kendaraan titah

dan ketaatan-Nya, lentera bumi dan makhluk-Nya. Mereka

adalah Syi’ah dan kekasih kami, mereka dari kami dan

bersama kami. Oh …Bbetapa kami merindukan mereka!”

Tiba-tiba Hammam bin Ubadah berteriak histeris sampai

terjatuh pingsan. Orang-orang pun menggerak-gerakkan

tubuhnya, namun begitu cepat ia meninggalkan dunia fana.

Semoga Allah merahmatinya!

Melihat demikian, Rabi’ menangis bercucuran air mata

seraya berkata: “Andaikan aku lebih cepat memintamu

untuk menasihatiku, wahai Amirul Mukminin, daripada

keponakanku! Andai aku menghendakinya lebih dulu dan

aku berada di posisi dia!”

Maka Amirul Mukminin as. berkata: “Beginilah apa

yang dilakukan oleh nasihat yang sempurna dan fasih terhadap

penerimanya. Sungguh demi Allah, sejak awal aku

sudah mengkhawatirkan hal ini”.

Maka seorang menimpali perkataan beliau: “Lalu bagaimana

(nasihat itu) dengan dirimu sendiri wahai Amirul

Mukminin (kenapa tidak berpengaruh seperti itu pada

beliau)?”

Beliau menjawab: “Celakalah dirimu, sesungguhnya setiap

orang memiliki ajalnya sendiri dan dia tidak akan

melampaui ajalnya itu. Masing-masing menghadapi sebab

tertentu yang tidak akan dia lewati. Maka diamlah dan

jangan ulangi lagi kata-kata seperti itu, karena sesungguh nya setan telah menghembuskan kata-kata itu keluar dari

lidahmu”.

Perawi berkata: “Kemudian Amirul Mukminin Ali bin

Abi Thalib as. melakukan shalat pada sore itu lalu menghadiri

jenazah Hammam, dan kami menyertai beliau”.[72]

Silaturahmi dan Simpati di antara Mereka

Syarat berikutnya adalah saling menyambung dan memperkuat

silaturahmi, simpati dan kasih sayang serta saling

menolong antarsesama. Semakin mereka kuat dalam hal

tersebut di atas, pertolongan Allah pada mereka semakin

besar dan niscaya Dia menjamin keamanan dari musuh,

menlindungi dan membantu mereka. Kekuasaan Allah di

atas dan bersama tangan atau kekuasaan mereka, karena

tangan mereka telah berjabatan dan terpadu.

Suatu hari Sudair as-Sairufi menemui Abu Abdillah

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Di sana, dia menjumpai sekelompok

sahabat beliau yang mengelilinginya. Beliau berkata:

“Wahai Sudair, Syi’ah kami senantiasa terlindung dan

aman. Betapa indahnya pemandangan diri mereka dan

hubungan mereka dengan Sang Pencipta! Mereka menumpahkan

ketulusan pada para imam, berbakti pada saudarasaudara

mereka, condong kepada yang lemah dan bersedekah

pada yang membutuhkan.

“Sesungguhnya kami tidak memerintahkan kezaliman,

kami memerintahkan mereka agar hidup warak dan menghindari

dosa. Warak dan warak! Penawar duka sungguh

penawar duka bagi saudara-saudara mereka, karena kekasih-

kekasih Allah selalu tertindas sejak Dia menciptakan

Adam”.[73]

Diriwayatkan dari Muhammad bin Ajlan, dia berkata:

“Suatu saat, aku bersama Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq

as., tiba-tiba datang seseorang masuk seraya mengucapkan

salam. Kepadanya Imam bertanya: ‘Bagaimana keadaan saudara-

saudara yang kamu tinggalkan di sana?’ Orang itu

menyempurnakan pujiannya untuk mereka, mengindahkan

dan mengungkapkan sanjungan. Imam Ja’far as. kembali

bertanya: ‘Bagaimana kunjungan orang kaya mereka kepada

orang yang miskin?’ ‘Jarang’, jawab orang itu. Imam as.

bertanya lagi: ‘Bagaimana silaturahmi orang kaya mereka

dengan orang-orang miskin dari keluarga mereka sendiri?’

Dia menjawab: ‘Anda menanyakan akhlak yang tidak ada di

antara kami’. Maka Imam as. menukas: ‘Lalu bagaimana

mereka menganggap diri mereka sebagai Syi’ah’.[74]

Imam Hasan Askari as. berkata: “Syi’ah Ali bin Abi

Thalib as. adalah orang-orang yang di jalan Allah tidak

peduli apakah kematian akan menghampiri mereka atau

mereka menghampiri kematian itu sendiri. Syi’ah Ali bin

Abi Thalib as. adalah mereka yang mendahulukan saudarasaudara

mereka di atas diri sendiri pada saat mereka sendiri

sangat membutuhkan. Mereka adalah orang-orang yang

tidak dilihat oleh Allah swt. saat Dia melarang mereka, tidak

kehilangan saat Dia memerintahkan mereka. Syi’ah Ali bin

Abi Thalib as. adalah orang yang meneladani Ali as. dalam

hal memuliakan saudara-saudara mukmin mereka”.[75]

Diriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:

“Salinglah berhubungan, salinglah berbakti dan jadilah kalian

saudara-saudara yang baik sebagaimana Allah swt.

perintahkan kepada kalian”.[76]

Beliau juga berkata: “Bertakwalah kepada Allah, dan

jadilah kalian saudara-saudara yang saleh, saling mencintai

karena Allah, saling bersilaturahmi dan mengasihi”.[77]

Ala’ bin Fudlail meriwayatkan dari Abu Abdillah Imam

Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Abu Ja’far Imam Muhammad

Baqir as. selalu berkata demikian: ‘Agungkan dan wibawakanlah

sahabat-sahabatmu! Janganlah sebagian dari kalian

menyerang sebagian yang lain, jangan saling mengancam,

jangan saling berdengki. Hati-hatilah kalian dari kikir dan

jadilah kalian hamba-hamba Allah yang tulus’”.[78]

Abu Ismail meriwayatkan bahwa dia pernah berkata

pada Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as.: “Ada banyak

orang Syi’ah di antara kita”. Maka beliau berkata: “Apakah

yang kaya dari mereka menganyayangi yang faqir miskin?

Apakah yang baik dari mereka memaafkan yang bersalah

dan saling melipur lara?” Kukatakan pada beliau: “Tidak”.

Maka beliau berkata: “Mereka bukanlah Syi’ah, karena

Syi’ah adalah orang yang melakukan perbuatan ini”.[79]

Imbal Balik Hak-hak di antara Syi’ah

Tsiqotul Islam al-Kulaini meriwayatkan dari Abul Ma’mun

al-Haritsi berkata: “Aku katakan pada Abu Abdillah Imam

Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Apakah hak seorang mukmin kepada

mukmin yang lain?’ Beliau menjawab: ‘Termasuk hak seorang

mukmin kepada mukmin yang lain adalah memupuk

cinta di dada kepadanya, menolong dia dalam harta, menggantikan

dia sebagai penanggung jawab atas keluarganya,

membelanya melawan orang yang menzaliminya. Apabila

ada bagian dari Muslimin untuknya sedangkan dia dalam

keadaan absen, maka dia mengambilkan bagiannya. Jika dia meninggal, mukmin lain menziarahi makamnya. Dan

hendaknya seorang mukmin tidak menzalimi mukmin yang

lain, tidak menipunya, tidak mengkhianatinya, tidak menghinakannya,

tidak membohonginya, tidak berkata kasar dan

kotor kepadanya. Apabila dia mengeluarkan kata-kata itu

kepadanya, niscaya hubungan wilayah di antara mereka

tidak ada lagi. Apabila dia berkata padanya ‘kamu adalah

musuhku’. maka salah satu dari mereka telah kafir, dan

apabila dia menuduhnya maka meleburlah iman dalam

hatinya sebagaimana garam melebur dalam air”.[80]

Al-Kulaini juga meriwayatkan dari Aban bin Thalib berkata:

“Suatu saat aku berthawaf bersama Imam Ja’far as.

Tiba-tiba datang seorang teman menghampiriku dan mengajakku

pergi bersamanya untuk keperluan tertentu. Dia

menunjukku tapi aku enggan untuk meninggalkan Imam

Ja’far as. dan pergi bersamanya. Maka ketika kita sedang

bertawaf dia terus mengisyaratkanku, sampai akhirnya Abu

Abdillah juga melihatnya, segera beliau berkata padaku:

‘Wahai Aban, apakah dia menginginkanmu dengan isyarat

itu?’ Kujawab iya. Beliau bertanya lagi: ‘Siapakah dia?’

Kukatakan: ‘Salah seorang sahabatku’. Maka beliau berkata:

‘Kalau begitu, datangilah dia!’ Kukatakan pada beliau: ‘Lalu

apakah aku putus thawafku ini?’ Beliau menjawab: ‘Iya’.

Kembali kubertanya: ‘Walaupun thawaf wajib?’ Beliau

menjawab: ‘Iya’. Aban berkata: ‘Akhirnya, aku pun pergi

bersama sahabatku itu’.

“Setelah itu aku menemui Imam Ja’far as. dan bertanya:

‘Beritahu aku akan hak seorang mukmin kepada mukmin

yang lain?’ Maka beliau berkata: “Wahai Aban, janganlah

kamu menolaknya!” Kukatakan padanya: “Baiklah, semoga

aku menjadi tebusan untukmu!” Beliau berkata lagi: “Wahai Aban, janganlah kamu menolaknya”. Kuulang: “Baiklah,

semoga aku menjadi tebusan dan korban untukmu!”, dan

belum sempat aku berbicara lagi beliau kembali berkata:

“Wahai Aban, hendaknya kamu bagi separuh dari hartamu

untuk dia”. Kemudian beliau melihat reaksi pada diriku

seraya melanjutkan perkataannya: “Wahai Aban, bukankah

kamu tahu bahwa Allah swt. menyinggung orang-orang yang

berkorban mendahulukan orang lain daripada diri mereka

sendiri?”[81] Kukatakan: “Baiklah, semoga aku menjadi tebusan

dan korban untukmu!” Maka beliau berkata: “Adapun jika

kamu membagi separuh hartamu untuk dia, kamu masih

belum mengutamakan dia di atas dirimu sendiri karena

kamu dan dia masih sama; kamu baru terhitung telah

mendahulukan dia atas dirimu sendiri jika kamu berikan

separuhnya lagi padanya”.[82]

Pernah Imam Ali Ridha as. ditanya: “Apakah hak

seorang mukmin kepada mukmin yang lain?”. Beliau

menjawab: “Termasuk hak mukmin kepada mukmin yang

lain adalah merengkuh cinta di dada kepadanya, menolongnya

dengan harta, membelanya melawan orang yang

berlaku zalim terhadap dirinya. Dan apabila ada pembagian

untuk Muslimin di saat saudaranya absen, hendaknya dia

mengambilkan jatah itu untuknya, jika wafat dia menziarahi

kuburnya. Hendaknya dia tidak berbuat zalim padanya,

tidak memperdayanya, tidak mengkhianatinya, tidak menghinakannya,

tidak mengumpatnya di belakang, tidak membohonginya,

dan tidak berkata kasar atau kotor kepadanya.

Jika dia mengeluarkan kata-kata itu kepadanya, niscaya

hubungan wilayah di antara mereka gugur, dan apabila dia

mengatakan padanya kamu adalah musuhku, maka salah satu dari mereka telah kafir, dan jika dia menuduhnya maka

iman dalam hatinya telah melebur sebagaimana garam melebur

dalam air.

“Barangsiapa yang memberi makan orang mukmin,

baginya lebih utama dari membebaskan budak. Barangsiapa

yang memberi minum orang mukmin, Allah memberinya

minuman dari rahiqun makhtum (anggur surga yang

murni). Barangsiapa yang memberi pakaian orang mukmin

dan menyelamatkannya dari ketelanjangan, Allah akan memakaikannya

sutera sundus dan harir surgawi. Barangsiapa

memberi hutang kepada orang mukmin dengan niat tulus

demi Allah swt., maka Allah akan menghitungnya sederajat

dengan sedekah sampai dia membayarnya. Barangsiapa

yang menyelesaikan salah satu kesulitan orang mukmin di

dunia, Allah akan menyelesaikan salah satu kesulitannya di

akhirat. Barangsiapa memenuhi kebutuhan orang mukmin,

baginya lebih utama dari puasa-puasa dan i’tikafnya di

Masjidil Haram. Sungguh posisi seorang mukmin seperti

betis dan tulang punggung pada tubuh”.

Suatu saat Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as. pergi

menghadap Ka’bah seraya berkata: “Puja dan puji ke hadirat

Allah yang telah memuliakanmu, menghormatkanmu,

mengagungkanmu, dan menjadikanmu tempat pertemuan

umat manusia yang aman, tapi demi Allah kehormatan

orang mukmin jauh lebih agung dari kehormatanmu”.

Pernah seorang baduwi Arab menghampiri beliau dan

mengucapkan salam, lalu saat akan berpisah dia berkata

kepada beliau: “Wasiatilah aku!” Maka beliau berkata: “Aku

berwasiat kepadamu dengan takwa kepada Allah dan bakti

pada saudara mukminmu. Maka cintailah untuknya apa

yang kamu cintai untuk dirimu. Apabila dia memintamu

berilah, jika dia mencegah diri darimu maka berlapanglah

padanya, janganlah kamu membosankannya maka dia tidak akan mebosankanmu. Jadilah kamu lengan dan pembela

dia, apabila dia mendapatimu dalam keadaan tidak senang

jangan berpisah darinya sampai dia keluarkan dengki dan

iri dari hatinya. Jika dia tidak ada di tempat, jagalah dia

dalam ketiadaannya. Jika dia hadir, maka lindungilah dia,

bantulah dia, kunjungi dan muliakanlah dia serta berbelas

kasih kepadanya, karena sesungguhnya dia adalah darimu

dan kamu dari dirinya. Hendaknya kamu rela membatalkan

puasa dan berbuka karena ingin menyenangkan saudara

mukminmu, karena memasukkan kebahagiaan ke dalam

hati seorang mukmin lebih utama dari puasa dan lebih besar

pahalanya”.[83]

Ada juga riwayat tentang hak-hak antara saudara

dengan saudaranya yang lain. Dari Ibrahim bin Umar al-

Yamani meriwayatkan dari Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-

Shadiq as. berkata: “Janganlah dia kenyang saat saudaranya

lapar, janganlah dia lega saat saudaranya kehausan,

janganlah dia berpakaian saat saudaranya telanjang. Apabila

kamu membutuhkan sesuatu maka pintalah dia, jika dia

memintamu maka berilah dia. Jangan bosan berbuat baik

padanya dan hendaknya dia juga demikian padamu. Jadilah

kamu tulang punggungnya karena dia pun tulang punggung

bagimu. Apabila dia absen jagalah dia dalam ketiadaannya,

jika dia hadir maka kunjungilah dia, besarkan dan

muliakan dia, karena sesungguhnya dia darimu dan kamu

dari dia. Apabila dia mencela maka jangan berpisah darinya

sampai dia keluarkan dengki dan dendamnya dari hatinya.

Jika dia mendapatkan kebaikan maka pujilah Allah, jika dia

ditimpa bencana maka bantulah dia, dan jika dia terperdaya

maka tolonglah dia. Apabila salah seorang berkata kasar

atau kotor pada saudaranya maka tidak ada lagi hubungan wilayah antara mereka berdua, dan jika dia berkata ‘kamu

adalah musuhku’ maka salah satu dari mereka berdua telah

kafir, dan jika dia menuduhnya maka iman di hatinya telah

larut sebagaimana garam larut dalam air”.[84]

Mu’alla bin Khunais meriwayatkan: “Aku katakan pada

Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Apakah hak seorang

mukmin kepada mukmin yang lain?’ Beliau menjawab: ‘Ada

tujuh hak dan kewajiban, tak satu pun dari hal-hak itu

kecuali juga wajib bagi dirinya. Apabila dia melanggarnya

maka dia telah keluar dari wilayah Allah dan meninggalkan

ketaatan pada-Nya serta tidak akan mendapatkan apa-apa

di sisi-Nya’. Kukatakan kepadanya: ‘Semoga aku jadi

tebusanmu! Katakanlah kepadaku tujuh hak dan kewajiban

itu?’ Beliau berkata: ‘Wahai Mua’lla, Sungguh aku sayang

padamu, aku khawatir kamu menghilangkan dan tidak

menjaganya, aku khawatir kamu tahu tapi tidak mengamalkannya’.

Aku katakan: ‘Tiada kekuatan kecuali milik Allah’.

Beliau melanjutkan: ‘Hak paling ringan dari semua itu

adalah hendaknya kamu mencintai untuk dia apa yang kamu

cintai untuk dirimu sendiri, dan kamu benci bagi dia

apa yang kamu benci bagi dirimu sendiri.

“Hak kedua, hendaknya kamu berusaha memenuhi kebutuhannya,

memuaskan keridhoannya dan tidak menentang

ucapannya.

“Hak ketiga, hendaknya kamu menyambungnya dengan

jiwa dan hartamu, tangan dan kakimu serta lidahmu.

“Hak keempat, hendaknya kamu menjadi mata, petunjuk

dan cermin bagi dirinya.

“Hak kelima, hendaknya kamu tidak kenyang di saat

dia lapar, tidak berpakaian di saat dia telanjang, tidak lega

di saat dia kehausan.

“Hak keenam, apabila kamu memiliki perempuan dan

pelayan, sementara saudaramu tidak memiliki baik perempuan

sebagai istri maupun pelayan, maka kirimlah pelayanmu

untuk mencucikan bajunya, menyediakan makanannya

dan merapikan ranjangnya, semua itu ditetapkan antara

kamu dan dia.

“Hak ketujuh, hendaknya kamu bebaskan sumpahnya,

kamu balas undangannya, kamu hadiri jenazahnya, kamu

jenguk di kala dia sakit, kamu kerahkan tubuhmu untuk

memenuhi kebutuhannya. Jangan biarkan dia kekurangan

sehingga memintamu, tetapi bergegaslah terlebih dahulu

untuk memenuhi kebutuhannya sebelum dia meminta.

Apabila ini dilakukan, sungguh kamu telah menyambungkan

wilayahmu dengan wilayahnya, dan sungguh kamu

telah menyambungkan wilayahnya dengan wilayah Allah”.[85]

Diriwayatkan dari Amirul Mukminin as. berkata: “Seorang

mukmin ketika mengetahui saudara mukmin yang

lain membutuhkan tidak akan membiarkannya sampai

terpaksa meminta kepadanya. Saling berkunjunglah kalian,

saling mengasihilah kalian, saling berimbal baliklah kalian!

Janganlah kalian menjadi orang munafik yang menguraikan

apa yang pada hakikatnya tidak dia lakukan”[86] .

Muhammad bin Muslim meriwayatkan: “Ada seorang

Baduwi mendatangiku, lalu kami bersama-sama menemui

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Ketika hendak

berpisah, orang Baduwi itu berkata: “Wasiatilah aku!” Abu

Abdillah berkata: “Aku berwasiat kepadamu agar bertakwa

kepada Allah swt. dan berbakti pada saudara muslimmu,

cintailah untuknya apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri,

bencilah untuknya apa yang kamu benci untuk dirimu sendiri. Apabila dia memintamu berilah, Jika dia tidak sudi

memberimu tetaplah lapang untuk memberinya! Janganlah

kamu bosan untuk berbuat santun kepadanya, karena

sesungguhnya dia tidak akan bosan berbuat baik kepadamu.

Jadilah tangan pembela baginya, karena sesung-guhnya dia

adalah lengan pembela bagimu. Apabila dia mendapatkan

darimu sesuatu yang tidak berkenan, maka janganlah berpisah

darinya sampai kekecewaannya hilang dari hatinya,

jika dia absen jagalah dia dalam ketiadaannya, jika dia hadir

bantulah, tolonglah dan kunjungilah dia! Bersikaplah lemah

lembut kepadanya dan muliakanlah dia, karena sungguh

dia dari kamu dan kamu dari dia”.[87]

Jabir meriwayatkan dari Abu Ja’far Imam Muhammad

Baqir as. berkata: “Hendaknya orang kuat dari kalian membela

orang yang lemah, orang yang kaya dari kalian berbelas

kasih kepada orang yang faqir, hendaknya setiap orang dari

kalian menasihati saudaranya sebagaimana menasihati diri

sendiri, simpanlah rahasia-rahasia kami, dan jangan kalian

bebankan masyarakat pada leher kami”.[88]

Kehormatan, Cinta, Nasihat dan Belas Kasih

Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. berkata: “Tidak

ada sesuatu yang lebih utama bagi hamba Allah daripada

menjalankan hak seorang mukmin”.

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah swt. memiliki

beberapa hal yang harus dijaga: kehormatan kitab Allah,

kehormatan Rasulullah, kehormatan Baitul Maqdis dan kehormatan

orang Mukmin”.[89]

Abdul Mukmin Anshari meriwayatkan: “Aku menemui

Abul Hasan Imam Musa Kadzim as dan saat itu Abdullah bin Muhammad Ju’fi bersamanya. Maka aku ter-senyum

padanya. Abul Hasan berkata: “Apakah kamu mencintainya?”.

Kujawab: “Iya, dan aku mencintai dia tidak lain

karena kalian, Ahlulbait.” Maka beliau berkata: “Dia adalah

saudaramu, sesungguhnya orang mukmin adalah saudara

mukmin yang lain seibu dan seayah”.[90]

Dalam Nawadirnya Rawandi disebutkan: “Dengan sanad

Rawandi dari Imam Musa bin Ja’far as., dari ayahayahnya

as. berkata: ‘Rasulullah saw. bersabda: “Seorang

Mukmin adalah cermin bagi saudara mukmin yang lain; dia

menasihatinya ketika absen, dan dia jauhkan apa yang

dibencinya ketika hadir serta melapangkan tempat duduk

baginya”.

Dalam kitab al-Mukmin karya Abu Said al-Husain al-

Ahwazi disebutkan dengan sanadnya dari Abu Abdillah as.

berkata: “Tidak, demi Allah, sampai kapanpun seorang

mukmin tidak akan menjadi mukmin sejati sampai dia seumpama

satu tubuh dengannya, apabila satu otot darinya

terpukul maka otot-otot yang lain pun terganggu”.[91]

Toleransi di antara Syi’ah

Disinyalir dalam tafsir Imam Hasan Askari as.: “Tak seorang

pun lelaki atau perempuan yang berwilayah pada Muhammad

saw. dan keluarganya serta memusuhi lawan-lawan

mereka kecuali dia telah mengambil benteng yang kokoh

dan perisai yang kuat dari siksa Allah, dan tak seorang pun

lelaki atau perempuan yang ramah tamah terhadap hamba

Allah dengan sebaik-baik pergaulan dan tidak terjerumus

dalam kebatilan serta tidak keluar dari kebenaran karena

pergaulan tersebut melainkan Allah swt. telah menjadikan nafasnya sebagai tasbih, membersihkan dan mengembangkan

amalnya, memberinya anugerah karena kesabarannya

dalam menyimpan rahasia kami dan menahan amarah dari

apa yang didengarnya dari musuh-musuh kami, serta menjadikan

bajunya seperti baju orang yang berlumuran darah

di jalan Allah swt.

“Dan tidak ada seorang pun yang menerima hak-hak

saudara atas dirinya kemudian memenuhi hak-hak itu

sekuat tenaga, dan memberi saudara-saudaranya apa yang

dia bisa, merestui dengan memaafkan mereka serta meninggalkan

penyelidikan yang merugikan mereka sehingga

tidak ada satu kesalahan pun dari mereka yang tidak dia

ampuni, melainkan Allah swt. akan berkata padanya di Hari

Kiamat: ‘Wahai hamba-Ku, kamu telah memenuhi hak-hak

saudaramu dan kamu tidak mencari-cari kesalahan mereka

yang merupakan hakmu atas mereka, maka Aku lebih

derma, mulia dan layak untuk berupa kemurahan dan

kemuliaan serta kedermawanan yang kamu lakukan. Maka

hari ini Aku akan penuhi hak yang telah Kujanjikan padamu

dan Aku Kutambahkan anugerah-Ku yang luas kepadamu,

dan Aku tidak akan menyelidiki kekuranganmu padaKu di

sebagian hak-hak-Ku’.

“Beliau (Imam Hasan Askari as.) berkata: “Maka Allah

menggabungkan orang itu bersama Nabi Muhammad saw.

dan keluarga serta sahabatnya, dan menjadikannya dari

Syi’ah yang terbaik”.[92]

Tidak Mengganggu Para Setia Kami dan Tidak Saling Melukai

Diriwayatkan dari Imam Hasan bin Ali as., beliau berkata:

“Sesungguhnya taqiyah adalah sesuatu yang dengannya

Allah memperbaiki umat. Pelaku taqiyah mendapatkan pa hala yang setimpal dengan pahala amal mereka, sedangkan

meninggalkan taqiyah adalah perbuatan yang menghancurkan

umat, peninggal taqiyah seperti sekutu musuh dalam

menghancurkan mereka. Sesungguhnya seseorang yang

mengenal hak-hak saudara akan membuatnya tercinta di sisi

Allah Yang Maha Pengasih, dan akan mengagungkan kedekatannya

di sisi Allah Maha Raja lagi Maha Penguasa. Dan

apabila seseorang meninggalkan tugas untuk memenuhi

hak-hak tersebut, Allah Yang Mahakasih akan murka padanya

dan merendahkan kedudukannya di sisi-Nya, Zat Yang

Maha Mulia lagi Maha Pengasih”.[93]

Abduladzim Husaini meriwayatkan dari Abul Hasan

Imam Ridho as. berkata: “Wahai Abdul Adzim, sampaikan

salam pada wali-waliku dan katakan pada mereka, janganlah

kalian membuka jalan bagi setan terhadap diri mereka

sendiri, perintahkan mereka untuk berbicara jujur dan

melaksanakan amanat dengan setia, perintahkan mereka

untuk diam dan menghindari perdebatan dalam hal-hal

yang tidak penting. Hendaknya mereka saling peduli satu

sama yang lain dan saling mengunjungi, karena sesungguhnya

itu adalah kedekatan padaku. Jangan menyibukkan

diri dengan memecah belah, karena sesungguhnya aku

bersumpah pada diriku, barangsiapa yang melakukan hal

itu dan membuat marah salah seorang dari pengikutku, aku

akan berdoa kepada Allah agar menyiksa dia di dunia

sepedih-pedihnya dan semoga di akhirat kelak tergolong

orang yang merugi.

“Beritahu mereka bahwa Allah mengampuni orang yang

berbuat baik dari mereka, dan memaafkan mereka yang

bersalah! Perhatikanlah bahwa siapa saja yang mengganggu

salah seorang pengikutku atau berniat jahat padanya, maka Allah tidak akan mengampuninya sampai dia berbalik dari

perbuatan dan niat jahat tersebut, dan akan lebih baik baginya

jika dia berpaling, namun jika tidak, hakikat iman akan

tercabut dari hatinya, dia telah keluar dari wilayahku, dan

tidak akan mendapatkan bagian apa pun dari wilayah kami,

Ahlulbait, dan aku berlindung kepada Allah dari hal itu”.[94]

Diriwayatkan dalam kitab Qodlo’ul Huquq bahwa Ali bin

Abi Thalib as. berkata dalam surat wasiatnya kepada Rifa’ah

bin Syidad al-Bajli yang pada waktu itu bertugas sebagai

hakim di Ahwaz: “Lemah lembutlah kepada orang mukmin

selama kamu mampu, karena sesung-guhnya punggung dia

adalah lindungan Allah, jiwanya mulia di sisi Allah, orang

yang berbakti padanya akan mendapatkan pahala Allah,

orang yang berbuat dzalim padanya adalah musuh Allah,

maka janganlah kamu menjadi musuhnya!”

Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah orang mukmin

membiarkan saudaranya terpaksa meminta padanya ketika

mengetahui dia punya keperluan”.[95]

Mukmin bagi Mukmin yang Lain Seperti Satu Tubuh

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Bagi segala sesuatu

terdapat hal yang membuatnya tenang, dan sesungguhnya

orang mukmin akan tenang dengan saudara mukminnya

sebagaimana burung merasa tenang dengan sejenisnya”.[96]

Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as. berkata: “Orangorang

mukmin dalam bakti, kasih sayang dan lemah lembut

lakasana satu tubuh, apabila satu bagiannya mengaduh

seluruh anggota tubuh yang lain juga terpanggil, terjaga dan

demam”.[97]

Mu’alla bin Khunais meriwayatkan dari Abu Abdillah

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Cintailah untuk saudara

muslimmu apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri,

apabila kamu butuh mintalah kepadanya, dan apabila dia

memintamu maka berilah dia! Janganlah kamu bosan untuk

berbuat baik padanya dan hendaknya dia juga tidak bosan

padamu dalam kebaikan, jadilah punggung baginya karena

sesungguhnya dia adalah punggung bagimu, jagalah dia

dalam ketiadaannya, dan apabila dia hadir kunjungilah dia.

Agungkan dan muliakanlah dia, karena sesungguhnya dia

adalah darimu dan kamu adalah dari dia. Apabila dia mencelamu

jangan berpisah darinya sampai kesal itu keluar dari

hatinya, jika dia memperoleh kebaikan pujilah Allah swt.,

dan jika dia tertimpa bencana santunilah dia, tanggunglah

dia dan tolonglah”.[98]

Bersilaturahmi dan Bergaul Baik dengan Seluruh Muslimin

Ahlulbait as. betul-betul memperhatikan masalah ini. Ahlulbait

tidak rela bila Syi’ah mereka mengisolir diri dari lingkungan

umum umat Islam yang luas. Mereka adalah bagian

yang tak terpisahkan dari umat ini, adapun perbedaan

dalam pokok, cabang, golongan dan wilayah jangan sampai

menyebabkan keterpisahan dari masyarakat muslim yang

lain … Karena umat ini, dengan segala kecenderungan dan

mazhab di dalamnya, adalah umat yang satu.

﴿ اِ م ن هذِهِ اُممتُكُم اُممةً وَاحِدَةً وَ أنَا رَبُّكُم فَاعبُدُونَ ﴾

“Sesungguhnya umat kalian ini adalah satu umat dan

Aku adalah Tuhan kalian maka sembahlah Aku”[99] .

Mereka merupakan kekuatan besar di muka bumi yang

menghadapi tantangan-tantangan besar, dan sesungguhnya

tantangan-tantangan itu tidak bisa dihadapi dan dituntaskan

begitu saja kecuali hanya umat yang satu ini mampu

menghadapinya dengan satu sikap dalam satu barisan.

Sejarah mencatat bagaimana para imam Ahlulbait as.

senantiasa hidup bersama masyarakat muslim yang lain.

Dengan berbagai mazhab dan kecenderungan masingmasing,

masyarakat berkumpul bersama di seputar imam

as. dan belajar dari Ahlulbait as. Jika kita hitung ulama yang

belajar pada Imam Muhammad Baqir dan Imam Ja’far Ash-

Shadiq as., kita akan mendapatkan mereka dalam jumlah

yang sangat besar. Majelis dan pertemuan mereka penuh

dengan ulama muslim dan perawi hadis nabi serta alim

ulama dengan berbagai bidang dari berbagai negeri Hal

ini diketahui dengan jelas oleh siapa saja yang melakukan

telaah atas sejarah dan hadis imam-imam Ahlulbait as.

Selain itu, fakta ini menunjukkan keterbukaan dan pergaulan

religius yang bebas dari segala kecenderungan dan

aliran-aliran Islam manakala Ahlulbait as. senantiasa menjelaskan

garis pemikiran yang benar kepada kaum Muslimin,

khususnya kepada Syi’ah, serta memperinci pokok dan

cabang pemikiran tersebut secara teliti.

Hadis Ahlulbait as. penuh dengan anjuran yang terangterang

mengajak pada sikap terbuka dengan Muslimin dan

pergaulan positif, silaturahmi, kasih sayang dan gotong

royong bersama mereka. Berikut ini beberapa contoh hadis

Ahlulbait as. tentang ajakan tersebut:

Muhammad bin Ya’qub Kulaini dengan silsilah sanad

yang sahih dalam kitab al-Kafi meriwayatkan hadis dari Abu

Usamah Zaid as-Syahham berkata, bahwa Abu Abdillah

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Sampaikanlah salam

kepada siapa saja dari mereka yang kamu pandang patuh padaku dan mendengarkan kata-kataku, wasiatkanlah pada

mereka takwa kepada Allah swt., warak dalam beragama,

usaha keras demi Allah, jujur dalam berbicara, menjalankan

amanat, lama dalam sujud dan baik dalam bertetangga,

karena Nabi saw. datang dengan membawa ajaran-ajaran

tersebut. Laksanakanlah amanat kalian secara penuh untuk

orang yang mempercayakanmu agar menjaganya, baik dia

orang yang saleh maupun orang yang jahat, karena Nabi

saw. senantiasa menganjurkan masyarakat agar menyelesaikan

kontrak yang telah disepakati bersama.

“Jagalah silaturahmimu dengan keluarga, hadirilah jenazah

mereka, jenguklah mereka yang sakit, penuhilah hakhak

mereka, karena orang yang warak dalam beragama,

jujur dalam bertutur kata, setia dalam amanat dan berbudi

pekerti kepada masyarakat, niscaya orang lain akan menyebutnya

sebagai Ja’fari (pengikut Imam Ja’far Ash-Shadiq as.),

dengan begitu dia telah menggembirakanku dan membuat

hatiku senang. Mereka akan mengatakan, inilah kader Ja’far

as. Demi Allah, ayahku bercerita kepadaku bahwa pernah

ada seorang Syi’ah (pengikut Ali as.) yang hidup di sebuah

suku dan dia menjadi kebanggaannya, karena dia orang

yang paling terpercaya, orang yang paling menjaga hak-hak

orang lain, orang yang paling jujur dalam bertutur, dan

kepadanyalah masyarakat mempercayakan wasiat dan

amanat mereka, apabila kamu bertanya pada suku itu niscaya

mereka akan menjawab: ‘Siapakah orang sepertinya!

Sungguh dia paling terpercaya dalam menjaga amanat dan

paling jujur dalam bertutur’”.[100]

Demikian juga diriwayatkan dengan sanad yang sahih

dari Muawiyah bin Wahab berkata: “Kukatakan pada Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Bagaimana seyogyanya

kita berbuat dengan kaum kita sendiri, dan antara kita

dengan teman pergaulan di masyarakat umum?’ Beliau

menjawab: ‘Tunaikanlah amanat kalian kepada mereka,

berilah kesaksian untuk dan terhadap mereka, tengoklah

mereka yang sakit dan hadirilah jenazah mereka!”[101]

Begitu juga diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari

Muawiyah bin Wahab berkata: “Kukatakan pada Imam

Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Bagaimana seyogyanya kita berbuat

dengan suku kita serta teman bergaul di masyarakat sedangkan

mereka yang tidak sepaham dengan kita?’ Beliau

menjawab: “Lihatlah imam-imam yang kalian ikuti dan

berbuatlah seperti yang mereka perbuat. Demi Allah,

mereka menjenguk orang yang sakit di tengah masyarakat,

menghadiri jenazah mereka, memberikan kesaksian untuk

dan terhadap mereka serta menepati amanat mereka”.[102]

Kulaini dalam al-Kafi menukil sebuah riwayat dengan

sanad yang sahih dari Habib Hanafi berkata: “Aku mendengar

Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:

‘Hendaknya kalian warak dan aktif, hadirilah jenazah

masyarakat, jenguklah orang sakit, hadirlah bersama dalam

masjid-masjid mereka, cintailah untuk mereka apa yang

kalian cintai untuk diri kalian sendiri. Tidakkah malu bila

tetangga seorang dari kalian menjaga haknya sementara dia

tidak memperhatikan hak tetangga tersebut!’”[103]

Riwayat lain dengan sanad yang sahih juga dari Murazim

yang melaporkan bahwa Abu Abdillah Imam Ja’far

Ash-Shadiq as. berkata: “Hendaknya kalian shalat di masjidmasjid,

bertetangga yang baik dengan masyarakat, memberikan

kesaksian, dan menghadiri jenazah. Semua itu ke wajiban kalian terhadap masyarakat umum, karena setiap

orang membutuhkan masyarakat sepanjang hidupnya, dan

sesungguhnya sebagian dari masyarakat adalah untuk sebagian

yang lain”.[104]

Adil dan Seimbang

Salah satu kriteria Syi’ah Ahlulbait as. adalah adil dalam

segala hal, seimbang, dan selalu menjaga keseimbangan

dalam pemikiran, pemahaman dan obyektifitas. Seorang

Syi’ah akan menghindari sikap yang ekstrim, berkurangan

dan berlebihan, kelemahan emosional dan reaktivitas.

Umar bin Said bin Hilal berkata: “Jadilah kelompok

menengah, orang yang kelewatan akan kembali pada kalian

dan orang yang belum sampai akan bergabung bersama

kalian. Ketahuilah wahai Syi’ah keluarga Muhammad saw.,

tidak ada hubungan kekeluargaan antara kami dan Allah

swt., tidak ada hujjah pada kami atas Allah,karena sesungguhnya

kedekatan pada Allah tidak akan diperoleh kecuali

dengan ketaatan pada-Nya, maka barang siapa yang patuh

pada-Nya niscaya wilayah kami akan bermanfaat baginya,

dan barang siapa yang bermaksiat padanya niscaya wilayah

kami tidak akan bermanfaat baginya”.

Perawi berkata: “Kemudian beliau mengalihkan perhatiannya

padaku seraya berkata: “Jangan terperdaya, jangan

pula berpecah belah!”[105]

Kedisiplinan Sosial-Politik

Sepanjang sejarah, Syi’ah Ahlulbait as. telah melewati masamasa

politik yang sangat menekan, khususnya di era dinasti

Umayyah dan Abbasiyah. Situasi yang betul-betul krisis ini menuntut kedisiplinan yang ketat dalam urusan politik dan

keamanan, serta mengharuskan mereka untuk menerapkan

arahan-arahan politis. Imam-imam Ahlulbait as. juga selalu

menganjurkan mereka untuk komit dan disiplin.

Andai saja Ahlulbait as. tidak memberikan arahanarahan

tersebut, dan andai saja pengikut Ahlulbait as. tidak

komit pada arahan-arahan itu, tentu dinasti Umayyah dan

Abbasiyah telah mengubur habis mazhab Ahlulbait as. sehingga

warisan budaya, pemikiran dan tata hukum mazhab

yang besar ini tidak tersisa lagi sekarang ini.

Maka itu taqiyah merupakan salah satu yang terutama

dari sekian arahan mereka, sebagaimana juga menyimpan

rahasia, bersembunyi, menahan diri dari obrolan yang tidak

terarah, diam, dan terlihat lengah. Semua ini adalah arahanarahan

penting dari ajaran Ahlulbait as. untuk melindungi

kelestarian madrasah Syi’ah.

Kerugian yang ditanggung oleh mazhab Ahlulbait dan

Syi’ah mereka tidaklah kecil, lantaran sebagian kelompok

dari mereka tidak mengindahkan arahan-arahan tersebut di

atas. Berikut ini kami ingin menyebutkan beberapa contoh

dari arahan Ahlulbait as. untuk Syi’ah mereka dalam rangka

menjaga kedisiplinan politik.

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Ujilah Syi’ah kami

di waktu shalat; bagaimana mereka menjaga waktu-waktunya?

Dan bagaimana mereka menjaga rahasia kami dari

musuh-musuh kita?”.[106]

Sulaiman bin Mihran meriwayatkan: “Ketika aku menemui

Imam Ja’far Ash-Shadiq as., ada beberapa orang Syi’ah

bersama beliau, dan beliau berkata: ‘Wahai orang-orang

Syi’ah, jadilah kalian hiasan bagi kami dan janganlah men jadi noda atas kami, jagalah lidah kalian, katuplah mulut

kalian dari turut campur dan ingin tahu urusan orang lain!”[107]

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Ingin sekali kutebus

dua karakter dalam Syi’ah kami, Ahlulbait as. dengan

daging tanganku. Kedua karakter itu adalah cepat bereaksi,

dan lemahnya penyimpanan rahasia”.

Beliau juga berkata: “Ada sebuah kelompok yang menganggapku

sebagai imam mereka. Demi Allah, aku bukanlah

imam mereka, setiap kali aku menutupi sesuatu mereka

membongkarnya, aku katakan demikian dan demikian tapi

mereka mengatakan bukan begitu tetapi demikian dan demikian”.[108]

Imam Muhammad Baqir as. berkata: “Wahai Muyassar,

maukah kamu kuberi tahu siapa Syi’ah kami?” Dia menjawab:

“Tentu, semoga diriku menjadi tebusan jiwamu!”

Beliau melanjutkan: “Mereka adalah benteng-benteng yang

kokoh, perbatasan yang aman, pemurah hati yang teguh.

Mereka tidak menyingkap rahasia dan menyebarkannya

dan bukan orang kasar yang mencari perhatian orang lain.

Merekalah rahib di malam hari dan tuan di siang hari”[109] .

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Bertakwalah kepada

Allah dan lindungilah agamamu dengan taqiyah!”[110]

Beliau juga berkata: “Demi Allah, Dia tidak disembah

dengan sesuatu yang lebih dicintai-Nya daripada khib’”.

“Apakah khib’ itu”, tanyaku. Beliau menjawab: “Taqiyah”.[111]

Diriwayatkan dari Imam Ali Zainul Abidin berkata:

“Ingin sekali kutebus dua sifat kaum Syi’ah kami dengan sebagian daging hastaku. Dua karakter itu adalah cepat

bereaksi dan lemah dalam menyembunyikan rahasia”.[112]

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Masyarakat dianjurkan

untuk menjaga dua karakter namun mereka mengacuhkannya

sehingga mereka tidak memperoleh apa pun.

Dua karakter itu adalah sabar dan menjaga rahasia”.[113]

Salman meriwayatkan dari Khalid berkata: “Abu Abdillah

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: ‘Wahai Sulaiman,

sesungguhnya kalian berada di atas agama. Maka barangsiapa

yang menjaga rahasia niscaya Allah akan memuliakan

dia, dan barang siapa yang menyingkapkannya, Allah akan

menghinakannya”.[114]

Imam Muhammad Baqir as. berkata: “Demi Allah, sahabat

tercintaku adalah dia yang lebih amanat, lebih fakih

dan pandai dalam agama, dan lebih menjaga atau menyimpan pembicaraan kami”.[115]

Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Cukup kalian katakan

apa yang kami katakan dan diam terhadap apa yang

kami diamkan”.

Beliau juga berkata: “Kami tidak membunuh orang yang

mengungkapkan rahasia pembicaraan kami secara salah,

melainkan kami membunuhnya secara sengaja”.[116] Kalimat

ini sungguh mengherankan; setiap orang yang membacanya

akan berhenti di hadapannya.

Mereka yang menyebarluaskan rahasia pengikut Ahlulbait

as. di tengah masyarakat luas dan menebar di basisbasis

kezaliman dinasti Abbasiyah sama seperti orang yang

secara sengaja menyodorkan Syi’ah dan pengikut Ahlulbait as. kepada mereka untuk diburu dan dikejar oleh penguasa

zalim.

Boleh jadi hal itu sugguh-sungguh tidak berangkat dari

niat yang jahat. Terkadang mereka lakukan demikian atas

dasar cinta dan suka berbicara kepada semua orang tentang

Ahlulbait as. dengan harapan: masyarakat menyambut baik

kedatangan Ahlulbait as., menerima ajaran mereka, menyebarluaskan

mazhab mereka. Semua itu hanya didasari oleh

cinta serta kasih sayang.

Namun demikian, menyingkapkan rahasia komunitasi

Syi’ah Ahlulbait as. dan basis-basis kekuatan mereka secara

tidak bertanggung jawab senantiasa membuat penguasa

memburu kelompok-kelompok kecil Syi’ah dalam rangka

menghancurkan dan memberhangus mereka. Karena itu,

Ahlulbait as. sering mengkhawatirkan penyebaran rahasia

dan pendirian lemah dalam menjaga rahasia yang ada pada

diri sahabat dan Syi’ah mereka. Padahal, Ahlulbait as. sudah

berulang kali menekankan pentingnya menjaga rahasia dan

menahan diri dari ingin tahu atau terlibat dalam urusan

orang lain.[]