SYARAT-SYARAT SYI’AH
AHLULBAIT AS.
Syarat Umum Syi’ah Ahlulbait as.
Nilai yang kita perbincangkan seputar kepengikutan kepada
Ahlulbait as. dan penerimaan wilayah mereka tidak lepas
dari syarat-syarat umum. Wilayah dan dukungan itu tidak
membuahkan hasil kecuali dengan terealisasinya syaratsyarat
tersebut. Termasuk di antaranya adalah pengetahuan
tentang hukum agama atau fikih, ibadah, takwa, warak,
pertalian dan komunikasi bersama orang-orang mukmin
pada khususnya dan semua orang muslim pada umumnya,
disiplin, adab, budi pekerti dan pergaulan yang baik dengan
masyarakat, amanat, dan jujur dalam bertutur.
Tanpa semua itu, kepengikutan seseorang kepada Ahlulbait
as. bukanlah syi’ah dan wilayah yang sebenarnya,
karena syi’ah yang sejati adalah kepengikutan yang nyata
dan tulus bersama mereka as.
Berikut ini beberapa poin penting dari ajaran Ahlulbait
as. berkaitan dengan Syi’ah atau pengikut mereka:
Jadilah Hiasan, bukan Coreng
Imam-imam suci Ahlulbait as. memerintahkan Syi’ah agar
menjadi perhiasan bagi mereka dan bukan sebaliknya;
menjadi noda dan coreng bagi mereka, karena jika mereka
(Syi’ah) berbuat dengan akhlak Islam dan beradab sesuai
kesantunan Islam niscaya masyarakat akan menyanjung
Ahlul-bait as. seraya berkata: “Betapa indahnya Ahlulbait
as. mendidik dan menyucikan Syi’ah mereka”. Ini tentu
berbeda jika masyarakat menjumpai keburukan mereka
dalam pergaulan dan perilaku, juga tidak menegakkan
hukum Allah swt. serta halal dan haram-Nya, niscaya
masyarakat akan mencemooh Ahlulbait as. karena kelakuan
buruk mereka tersebut.
Sulaiman bin Mihran menceritakan: “Suatu hari aku
menemui Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. yang
kebetulan pada saat itu ada beberapa orang dari pengikut
beliau di situ, beliau memanggil: ‘Wahai sekalian Syi’ah!
Jadilah kalian hiasan bagi kami dan jangan menjadi coreng
bagi kami, bertuturlah yang sopan dengan masyarakat,
jagalah lidah kalian, hindarilah campur tangan dan tutur
kata yang buruk”.
Diriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as.
berkata: “Wahai orang-orang Syi’ah! Sesungguhnya kalian
dikaitkan kepada kami, maka jadilah hiasan bagi kami dan
jangan jadi noda untuk kami…”.
Diriwayatkan pula dari beliau berkata: “Sesungguhnya
Allah merahmati hamba-Nya yang menyebabkan kami
tercinta di tengah masyarakat, dan tidak menjadikan kami
dibenci mereka. Demi Allah, andaikan hamba-hamba Allah
itu meriwayatkan keindahan tutur kata kami, niscaya
mereka lebih mulia dan terhormat, dan tidak akan ada
seorangpun yang dapat menyanggah mereka”.
Beliau juga berkata: “Allah swt. merahmati orang yang
menyebabkan kami tercinta di tengah masyarakat dan tidak
menjadikan kami dibenci mereka. Sungguh demi Allah! Andaikan
hamba-hamba Allah itu (Syi’ah) meriwayatkan keindahan
bicara kami, niscaya mereka lebih mulia dan
terhormat, serta tidak akan ada seorangpun yang mampu
menyanggah mereka. Namun sayang! Sebagian dari mereka
mendengar satu kata dan menambahkan puluhan kata (saat
menukilnya)”.
Dalam riwayat lain beliau berkata: “Wahai Abdul A’la!
Sampaikan salamku kepada mereka (Syi’ah) wa rahmatullah
dan katakan kepada mereka: ‘Allah swt. merahmati orang
yang memikat cinta masyarakat pada dirinya juga pada
kami dengan cara menampilkan sesuatu yang makruf pada
mereka, dan menghindarkan sesuatu yang munkar dari
mereka’”.
Diriwayatkan juga bahwa Imam Ja’far Ash-Shadiq as.
berkata: “Wahai orang-orang Syi’ah, jadilah hiasan bagi
kami dan jangan menjadi noda untuk kami, berbicaralah
santun kepada masyarakat, jagalah lidah kalian, dan hindarilah
campur tangan dalam urusan orang lain dan perkataan
yang buruk”
Ahulbait as. Memberi Syafaat di Sisi Allah swt. dan
Senantiasa Bergantung kepada-Nya
Sesungguhnya Ahlulbait as. tidak butuh kepada selain Allah
swt., tetapi mereka senantiasa bergantung sepenuhnya
kepada-Nya. Mereka memberi syafaat dengan izin Allah
dan tidak akan pernah memberi syafaat pada siapapun
tanpa seizin-Nya.
Maka barang siapa yang ingin merasa cukup dan tidak
butuh ketaatan kepada Allah, ibadah kepada-Nya, takwa
dan warak serta hanya bermodalkan cinta dan wilayah
Ahlulbait as., maka ketahuilah dia telah menapaki jalan
selain Ahlulbait as. dan mengikuti mazhab selain mereka.
Dan dengan demikian, dia tidak akan memetik buah yang
diharapkan dari kecintaannya pada Ahlulbait as.
Amr bin Sa’id bin Bilal berkata: “Suatu saat aku menemui
Abu Ja’far Muhammad Baqir as. Di sekitar beliau
tampak ada sekelompok orang. Kepada mereka Imam berkata:
‘Ambillah jalan tengah! Orang yang berlebihan akan
kembali pada kalian dan orang yang akan datang akan
bergabung bersama kalian. Ketahuliah wahai Syi’ah dan
pengikut keluarga Muhammad saw.! Tidak ada kekerabatan
antara kami dengan Allah swt., diri kami juga tidak menjadi
hujah di hadapan Allah, dan kedekatan pada Allah tidak
akan bisa diraih kecuali dengan ketaatan pada-Nya. Maka
barang siapa yang taat pada Allah, maka wilayah dan
cintanya pada kami akan bermanfaat baginya, dan barangsiapa
yang menentang maka cintanya tak lagi berarti sama
sekali’.
“Kemudian beliau mengalihkan perhatian kepada kami
seraya berkata: ‘Jangan memperdaya dan jangan berdusta
atau membuat-buat’”.
Maka itu, barang siapa yang menghendaki Ahlulbait as.
dan ingin mengikuti ajaran mereka serta berwilayah kepada
mereka, maka dia harus sadar bahwa Ahlulbait as. tidak
memiliki keuntungan maupun bahaya, baik pada diri mereka
sendiri maupun untuk orang lain, kecuali dengan izin
Allah swt. dan kehendak-Nya. Mereka hanyalah hambahamba
ciptaan Allah yang dekat pada-Nya.
Sudah barang tentu, orang yang menghendaki Ahlulbait
as. dan berharap kedekatan diri pada Allah dan syafaat di
sisinya melalui cinta pada mereka, maka seyogyanya dia
bertakwa kepada Allah dan menempuh jalan orang-orang
saleh.
Diriwayatkan bahwa Imam Ali as. berkata: “Bertakwalah
pada Allah, janganlah kalian terperdaya oleh orang lain,
janganlah kalian termakan dusta orang lain. Ketahuilah
bahwa agamaku adalah agama yang satu, agama (Nabi)
Adam yang diridhai Allah swt.; aku hanyalah hamba ciptaan-
Nya, dan aku tidak memiliki jaminan atau bahaya pada
diriku sendiri kecuali apa yang dikehendaki Allah, dan aku
tidak berkehendak kecuali apa yang Allah kehendaki”.
Warak dan Takwa
Kita tidak menemukan wasiat Ahlulbait as. kepada Syi’ah
mereka yang lebih banyak dari wasiat mereka tentang takwa
dan warak dalam kehidupan. Syi’ah Ahlulbait as. adalah
orang yang mengikuti dan menyertai mereka dalam hal
takwa dan warak. Merekalah orang yang lebih bertakwa
dan warak serta lebih dekat atau mirip pada Ahlulbait as.,
bukankah inti tasyayyu’ adalah kepengikutan dan peneladanan.
Maka orang yang ingin mengikuti dan meneladani
Ahlulbait as. tidak akan menemukan jalan selain ketaatan
kepada Allah, warak dan takwa kepada-Nya.
Abu Shabah al-Kanani meriwayatkan: “Aku katakan
kepada Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Di Kufah, kita
dicemooh karena nama kalian (Ahlulbait). Mereka memanggil
kita dengan sebutan Ja’fariyah’. Maka beliau marah
seraya berkata: “Sesungguhnya sahabat Ja’far di antara
kalian tidaklah banyak, karena sahabat Ja’far adalah orang yang waraknya sangat kuat dan hanya beramal untuk
Penciptanya; Allah swt. ‘”.
Amr bin Yahya bin Bisam berkata aku mendengar Abu
Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as. berkata demikian: “Sesungguhnya
orang yang benar-benar warak adalah keluarga
Muhammad saw. dan Syi’ah mereka”.
Diriwayatkan pula dari Imam Ja’far Ash-Shadiq: “Syi’ah
kami adalah warak dan pekerja, mereka adalah orang-orang
yang percaya dan terpercaya, ahli zuhud dan ibadah, senantiasa
menunaikan lima puluh satu rakaat shalat sehari
semalam, orang-orang yang terjaga di malam hari dan
berpuasa di siang hari. Mereka menunaikan ibadah haji ke
Baitul Haram … dan menjaga diri dari segala yang haram”.
Beliau juga berkata: “Demi Allah, Syi’ah Ali as. tidak
lain adalah orang yang suci perut dan kemaluannya, orang
yang beramal hanya untuk Penciptanya, dan mengharapkan
pahala-Nya serta takut akan siksa-Nya”.
Dalam riwayat yang lain beliau berkata: “Wahai Syi’ah
keluarga Muhammad saw.! Sesungguhnya bukanlah dari
kami orang yang tidak menguasai dirinya pada saat marah,
tidak berkata sopan pada orang yang berbicara dengannya,
tidak menjaga persahabatannya dengan orang yang bersamanya,
dan tidak memegang janji perdamaian dengan
orang yang mengajaknya berdamai”.
Diriwayatkan pula bahwa beliau berkata: “Bukan dari
Syi’ah kami orang yang berada di kota atau sebuah daerah
dan dia memiliki ribuan harta sementara di sana terdapat
orang yang lebih warak dari dia”.
Kalib bin Muawiyah al-Asadi berkata saya mendengar
Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Demi
Allah! Sesungguhnya kalian berada di atas agama Allah dan
agama malaikat-Nya, maka bantulah kami dengan warak
dan usaha yang sungguh-sungguh!”
Perawi yang sama juga melaporkan: “Aku mendengar
Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. berkata: ‘Demi
Allah, sesungguhnya kalian di atas agama Allah dan
malaikatNya, maka bantulah kami dalam hal itu dengan
warak dan usaha keras. Perhatikanlah shalat malam dan
ibadah kalian, perhatikanlah warak kalian!’”
Penulis buku Bashairu Darajat meriwayatkan dari
Murazim berkata: “Suatu hari aku memasuki kota Madinah,
aku melihat seorang wanita di rumah yang aku tempati saat
itu, aku begitu tertarik padanya tapi dia menolak untuk
menikah denganku”.
Murazim melanjutkan: “Maka aku mendatangi wanita
itu di petang hari. Kuketuk pintu kamarnya, ternyata dia
sendiri yang membukakan pintu. Segera dia letakkan tanganku
di atas dadanya dan dia bersegera sampai aku
masuk. Pagi harinya aku datang pada Abul Hasan as, maka
dia berkata: ‘Wahai Murazim! Bukanlah dari Syi’ah kami
orang yang sendirian namun tidak menjaga hatinya’”.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, ada seorang berkata
kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah, si fulan melihat
kehormatan (keluarga) tetangganya, dan apabila dia berkesempatan
untuk melakukan perbuatan haram, niscaya dia
tidak akan menjaga diri dari hal itu”. Mendengar itu, Rasulullah
saw. marah. Lalu orang itu menambahkan: “Meski
begitu, dia termasuk orang yang meyakini dirinya berwi layah kepadamu, mendukung Ali dan menentang musuhmusuh
kalian”. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Jangan
katakan dia dari Syi’ah kami! Sungguh dia telah berdusta.
Syi’ah kami adalah orang yang mengikuti perilaku kami,
dan apa yang kamu katakan tadi tentang perbuatan orang
itu tidak termasuk dari perilaku kami”.
Seorang berkata pada Imam Hasan bin Ali as.: “Aku
adalah salah satu dari Syi’ah kalian”. Maka Imam Hasan bin
Ali as. berkata padanya: “Wahai hamba Allah! Jika kamu
mengikuti kami dan mentaati perintah dan larangan kami,
berarti kamu benar, dan jika ternyata kamu bertentangan
dengan itu, maka janganlah menambah dosamu dengan
pengakuanmu akan derajat mulia yang bukan milikmu.
Jangan katakan pada kami bahwa aku adalah Syi’ah kalian,
tapi katakanlah bahwa aku adalah salah satu pecinta dan
pendukung kalian serta musuh lawan kalian”.
Seorang lagi berkata pada Imam Husain as.: “Wahai
putra Rasul, aku adalah Syi’ahmu”. Husain as. berkata:
“Sesungguhnya Syi’ah kami adalah orang yang hatinya
bersih dari pengkhianatan dan kedengkian yang terselubung”.
Disebutkan dalam kitab Abul Qasim bin Qoulawaih,
riwayat dari Muhammad bin Umar bin Handzalah berkata:
“Abu Abdillah as. berkata: “Bukan dari Syi’ah kami orang
yang mengucapkan dengan lidahnya—bahwa aku adalah
Syi’ah Ahlulbait as.—tetapi tingkah laku dan sikapnya bertentangan
dengan adab dan perilaku kami. Syi’ah kami
adalah orang yang menyerupai kami dengan mulut dan
hatinya, mengikuti adab kami serta meneladani amal perbuatan
kami, mereka adalah Syi’ah kami yang sebenarnya”.
Ibadah
Abul Miqdam meriwayatkan bahwa Abu Ja’far Imam Muhammad
Baqir as. berkata padanya: “Wahai Abul Miqdam,
sesungguhnya Syi’ah Ali as. adalah orang-orang yang pucat,
kurus kerontang, lemas, bibirnya kering, perutnya langsing,
warnanya berubah-ubah, wajahnya kuning. Apabila malam
telah menyelimuti mereka, mereka jadikan bumi sebagai
tempat tidur dan mengalasinya dengan dahi. Mereka adalah
orang yang banyak sujud, bercucuran air mata, banyak
berdoa, dan meratap. Mereka bersedih di saat orang-orang
bergembira”.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa di suatu
malam yang terang dan cerah, Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib as. keluar dari masjid menuju gurun sahara. Dari
belakang, sekelompok orang mengikuti jejak beliau. Beliau
berhenti menghadap mereka dan bertanya: “Siapa kalian?”
Mereka menjawab: “Kami adalah Syi’ahmu, wahai
Amirul Mukminin!”
Maka beliau meneliti dengan cermat wajah-wajah mereka
lalu berkata: “Lalu kenapa saya tidak melihat tandatanda
Syi’ah pada kalian?”.
Mereka balik bertanya: “Apa tanda orang Syi’ah, wahai
Amirul Mukminin?”.
Beliau pun menjawab: “Wajah mereka kuning pucat
karena terjaga di malam hari, mata mereka buram karena
menangis, punggung mereka bongkok karena berdiri shalat,
perut mereka kosong karena puasa, bibir mereka kering
karena berdoa, dan pada mereka terdapat debu-debu orang
yang khusyuk”.
Abu Nashir meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq
as. berkata: “Syi’ah kami adalah ahli warak dan usaha keras,
orang-orang yang setia dan terpercaya, ahli zuhud dan
ibadah, pelaku lima puluh satu rakaat shalat dalam sehari
semalam, berjaga di malam hari untuk melaksanakan shalat
tahajud, berpuasa di siang hari, mengeluarkan zakat dari
harta mereka, menunaikan haji ke Baitul Haram, dan menghindari
semua yang haram”.
Syaikh Shaduq dalam Shifatus Syi’ah meriwayatkan dari
Muhammad bin Shaleh, dari Abul Abbas ad-Dainuri, dari
Muhammad bin al-Hanafiah berkata: “Ketika Amirul Mukminin
as. datang ke Basrah setelah perang Jamal, Ahnaf bin
Qais ingin mengundang dan menjamu beliau. Dia mengutus
seseorang kepada beliau dan sahabatnya. Amirul Mukminin
as. datang memenuhi undangan dan berkata: “Wahai Ahnaf,
panggillah sahabat-sahabatku!” Maka masuklah sekelompok
orang dalam keadaan tunduk seperti geriba yang telah
usang. Segera Ahnaf bin Qais berkata keheranan: “Wahai
Amirul Mukminin, apa yang telah menimpa mereka sampai
seperti ini? Apakah karena kurang makan? Atau karena
dahsyatnya peperangan?”
Maka Amirul Mukminin as. berkata padanya: “Tidak
wahai Ahnaf! Sesungguhnya Allah swt. meperlakukan
kelompok
orang yang beramal ibadah di dunia terhina seperti
orang yang sedang menyergap Hari Kiamat sebelum mereka
menyaksikannya secara langsung, maka mereka memaksa
diri sekuat tenaga. Mereka adalah orang-orang yang jika
diingatkan Hari Pengajuan di hadapan Allah swt. membayangkan
keluarnya buku amal mereka yang menampilkan
dosa-dosa mereka pada juru-juru kesaksian, dengan begitu diri mereka menjadi luluh, hati mereka terbang melesat
dengan sayap-sayap keresahan, dan akal mereka meninggalkan
diri mereka menuju Allah dalam keadaan mendidih.
“Mereka menangis seperti orang yang tersesat di malam
yang gelap, mereka risau karena takut akan apa yang telah
direncanakan pada diri mereka. Karena itu, mereka berjalan
dengan tubuh lunglai, hati yang sedih, wajah yang muram,
bibir yang kering dan perut yang kosong. Kalian saksikan
mereka seperti orang mabuk, terpaku di malam yang mengerikan,
tunduk seakan geriba yang telah usang. Mereka
ikhlaskan hanya demi Allah swt. seluruh perbuatan mereka,
baik yang rahasia maupun yang terang-terangan. Hati mereka
tidak pernah merasa aman karena takut pada Allah.
Apabila kau lihat mereka di tengah malam, di saat mata
telah tidur lelap, keadaan telah sunyi, gerakan telah diam
dan tenang, namun Hari Kiamat beserta janji-janjinya
sungguh menghantui dan menahan mereka dari tidur,
seperti janji dalam al-Qur’an:
﴿ أفَأمِنَ أهلُ القُ رَی أن يََتِيَهُم بََسُنَا بَ يَاتًَ وَ هُم نَائِمُونَ ﴾
“Apakah penduduk daerah merasa aman dari siksa yang
akan menyergap mereka di malam hari saat mereka tidur
lelap”.
“Mereka terjaga di waktu malam dengan penuh rasa takut,
mereka bangkit untuk menunaikan shalat sambil meratap
dan menangis, kadang kala mereka bertasbih dan menangis
dengan suara keras di mihrab-mihrab, berbaris (shalat dan
beribadah) di malam yang gelap gulita sambil mecucurkan
air mata.
“Wahai Ahnaf! Jika kamu melihat mereka di waktu
malam, mereka berada dalam keadaan tubuh berdiri tegak
dengan punggung membongkok, membaca ayat-ayat al-
Qur’an dalam shalat, tangis dan ratapan, serta nafas panjang
mereka semakin meningkat. Apabila mereka menarik napas
panjang, seakan api telah menjilat sampai ke tenggorokan
mereka. Dan mereka menangis seakan-akan rantai sedang
membelenggu leher mereka.
“Di waktu siang, kamu akan melihat mereka berjalan di
muka bumi dengan tenang dan merendah, bertutur manis
dengan masyarakat “dan sewaktu orang-orang bodoh mencemooh
mereka, mereka mengucapkan salam, dan sewaktu menemui kesiasiaan
mereka melewatinya dengan mulia”
, menahan setiap
langkah dari prasangka. Mereka membungkam mulut dari
perbincangan tentang kehormatan keluarga orang. Mereka
penuhi telinga mereka untuk diselami para penyelam, mereka
hiasi mata dengan mencegah pandangan dari maksiat,
mereka terobos darussalam (istana keselamatan); barangsiapa
memasukinya niscaya akan terjaga dari keraguan dan bebas
dari kesedihan”.[64]
Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Suatu hari Ali bin Husain as. duduk di rumahnya. Tibatiba
seseorang mengetuk pintu, maka beliau menyuruh
pembantunya seraya berkata: ‘Lihatlah siapa gerangan di
depan pintu’. Dia berkata: “Sekelompok dari Syi’ahmu”.
Mendengar itu, beliau bergegas bangkit sehingga nyaris
terjatuh. Ketika pintu terbuka dan beliau memandang
mereka yang datang, beliau berbalik seraya berkata: ‘Lalu
mana tanda-tanda Syi’ah di wajah-wajah itu? Mana pengaruh
ibadah pada diri mereka? Mana tanda sujud itu?
Sesungguhnya Syi’ah kami dikenal dengan ibadah dan
tampang mereka yang kusut. Ibadah telah melukai hidung
mereka (berarti sangat banyak beribadah), dahi dan anggota
sujud lainnya tebal dan tertutup, perut yang kosong, bibir
yang kering, wajah mereka berkobar karena ibadah, begadang
malam dan usaha keras di waktu siang yang panas
membuat tubuh mereka jadi usang. Mereka adalah orangorang
yang bertasbih di saat orang lain diam, yang melakukan
ibadah shalat di saat orang lain tidur. Mereka adalah
orang-orang yang sedih di saat orang lain gembira’”.
Nauf bin Abdillah al-Bakkali meriwayatkan bahwa
Imam Ali as. berkata padanya: “Wahai Nauf, kami—Ahlulbait—
diciptakan dari tanah yang terbaik, dan Syi’ah kami
diciptakan dari tanah itu. Maka ketika Hari Kiamat datang,
mereka akan disatukan bersama kami”.
Nauf melanjutkan dengan sebuah permintaan: “Jelaskan
sifat-sifat Syi’ahmu kepadaku, wahai Amirul Mukminin!”
Seketika itu pula Imam Ali as. menangis karena teringat
Syi’ahnya seraya berkata: “Wahai Nauf, demi Allah Syi’ahku
adalah orang-orang yang murah hati, ulama yang
mengenal Allah dan agamanya, yang bertindak di jalan
ketaatan dan perintah-Nya, orang yang memperoleh hidayah
dengan cinta-Nya. Mereka kurus lantaran ibadah,
warna mereka hitam kemerah-merahan karena zuhud,
wajah mereka pucat karena tahajud, mata mereka cekung
dan samar karena tangis, bibir mereka kering karena zikir,
perut mereka kosong karena lapar. Ketuhanan dan kesalehan
tampak pada wajah-wajah mereka di samping kerahiban
yang turut menandai. Mereka adalah lentera-lentera
yang menerangi segala kegelapan, kembang setiap kabilah,
perbuatan buruk mereka terhindar dari masyarakat, hati mereka sedih, jiwa mereka suci, kebutuhan mereka sederhana,
diri mereka selalu dalam kesulitan karena diri mereka
sendiri, akan tetapi masyarakat senantiasa tenang dengan
keberadaan mereka. Mereka adalah manusia-manusia pandai
yang berakal, tulus dan mulia. Di kala hadir mereka tak
dikenal, di kala absen orang-orang tak merasa kehilangan.
Mereka adalah Syi’ahku yang terbaik dan saudaraku yang
termulia. Ah…sungguh aku sangat merindukan mereka”.
Rahib di Waktu Malam dan Tuan di Waktu Siang
Nauf bercerita suatu malam dia pernah tidur bersama
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. di loteng rumahnya,
beliau bangkit untuk shalat malam dan melihat ke arah
bintang-bintang seperti orang yang bingung kemudian
bertanya: “Hai Nauf, apakah kamu sedang tidur atau
terjaga?”
Nauf menjawab bahwa dirinya terjaga. Maka beliau
melanjutkan perkataanya wahai Nauf: “Tahukah siapakah
Syi’ahku? Syi’ahku adalah orang-orang yang berbibir kering
dan memiliki perut kosong. Mereka ditandai dengan
kerahiban dan kesalehan atau ketuhanan di wajah mereka,
rahib di waktu malam dan tuan di saat siang. Ketika malam
telah tiba, mereka melingkarkan kain di pinggang mereka
dan kembali ke posisi tubuh yang tegak. Mereka bariskan
kaki, mereka tapakkan dahi. Mereka cucurkan air mata di
pipi, berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah agar diselamatkan
dari siksa. Adapun di siang hari, mereka begitu
bermurah hati, alim, baik dan bertakwa”.
Kalimat “rahib di waktu malam dan tuan di waktu
siang” adalah ungkapan lembut yang ingin menyampaikan kondisi yang betul-betul stabil dalam tingkah laku mereka
di malam dan siang hari. Mereka adalah penguasa negeri
malam saat gelap datang. Kita akan menyaksikan mereka
dalam keadaan rukuk dan sujud, khusyuk di hadapan Allah
swt. dan berdoa kepada-Nya agar dibebaskan dari neraka.
Tatkala siang menjelang, mereka tampil bak pahlawan
di semua medan. Mereka sungguh cendekiawan yang
santun dan saleh, melawan tantangan, sabar dan tangguh.
Tanda seorang hamba adalah ketika sahar mengapit,
mereka sibuk khusyuk di hadapan Allah
Dan ketika waktu dhuha terbit, pedang-pedang tajam
melihat mereka laksana manusia merdeka
Mereka adalah perwujudan dari zikir di waktu malam dan
takwa di waktu siang. Di sinilah inti keseimbangan antara
malam dan siang dalam kehidupan Syi’ah Ahlulbait as.
Pelaku Lima Puluh Satu Rakaat Shalat di Siang dan Malam
Diriwiayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Syi’ah kami adalah orang-orang yang warak dan bersungguh-
sungguh, setia dan terpercaya, zahid dan abid, pelaku
lima puluh satu rakaat shalat di setiap hari dan malam,
orang yang berpuasa di waktu siang, mengeluarkan zakat
dari harta-harta mereka, menunaikan ibadah haji di baitul
haram, dan menghindari segala hal yang haram”.
Imam Muhammad Baqir as. berkata: “Syi’ah kami tidak
lain adalah orang-orang yang bertakwa kepada Allah dan
taat pada-Nya, tidak lain mereka dikenal dengan rendah
diri, khusyuk, menjaga amanat dan banyak berzikir kepada
Allah serta …”.
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Syi’ah kami adalah
orang-orang yang kurus kering dan lesu, apabila malam
menyelimuti mereka, mereka menyambutnya dengan kesedihan”.
Abu Hamzah Tsumali meriwayatkan dari Yahya bin
Ummu Thawil yang menceritakan kisah Nauf al-Bakkali
berkata: “Suatu saat aku hendak menjumpai Amiril Mukminin
Ali bin Abi Thalib as. untuk suatu keperluan. Untuk
itu, aku mengajak Jundub bin Zuhair, Rabi’ bin Khaitsam
dan keponakannya yang bernama Hammam bin Ubadah bin
Khaitsam. Kita bertiga menghadap beliau dan ternyata kita
mendapatkan beliau keluar menuju masjid, dan secara
bersamaan kita semua sampai di suatu tempat dan menyaksikan
sekelompok orang gendut yang banyut dalam
perbincangan panjang lebar sambil mengunyah buahbuahan.
Sebagian dari mereka meledek sebagian yang lain.
Namun ketika Amirul Mukminin as. tiba, mereka bergegas
bangkit dan mengucapkan salam, beliau pun menjawab
salam seraya bertanya: ‘Siapakah mereka?’ Dijawab oleh
sebagian orang: ‘Mereka dari Syi’ahmu, wahai Amirul
Mukminin as.’. Beliau berkata santun dan melanjutkan:
‘Tapi kenapa aku tidak melihat tanda-tanda Syi’ah pada diri
mereka, begitu pula tidak tampak hiasan kekasih-kekasih
kami Ahlulbait as.? Memestinya mereka malu!’
Nauf melanjutkan: “Jundub dan Rabi’ membuka mulut
dan menimpali perkataan Imam Ali tersebut: ‘Apakah tanda
dan sifat Syi’ah Ahlulbait, wahai Amirul Mukminin?’ Beliau
agak keberatan untuk menjawab pertanyaan ini seraya
berkata singkat: ‘Bertakwalah kepada Allah, wahai dua pria
dan berbuatlah baik! Sesungguhnya Allah bersama orangorang
yang bertakwa dan mereka yang berbuat baik’.
﴿ وا اَم حَسِبَ المذِينَ اجتَََحُوا ال م سي ئَاتِ أن نََعَلَهُم كَالمذِينَ آمَنُوا وَ عَمِلُ
ال م صالَِْاتِ سَوَاءً مَحيَاهُم وَ مَََاتُ هُم سَاءَ مَا يََكُمُونَ ﴾
“Apakah kalian sangka orang-orang yang melakukan
perbuatan-perbuatan buruk akan kami jadikan mereka
seperti orang-orang yang beriman dan beramal saleh, baik
kehidupan maupun kematian mereka, sungguh buruk apa
yang mereka putuskan”.
“Kemudian Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. meletakkan
tangannya di pundak Hammam bin Ubadah seraya
berkata:
“Perhatikanlah, siapa yang bertanya tentang Syi’ah
Ahlulbait as. yang telah dijauhkan oleh Allah swt. dari noda
dan menyucikan mereka sebagaimana disinyalir dalam al-
Qur’an bersama Nabi-Nya. Mereka (Syi’ah Ahlulbait as.)
adalah orang yang mengenal Allah swt., pelaksana perintah
Allah, pemilik keutamaan dan anugerah Tuhan. Ucapan
meraka benar, pakaian mereka hemat dan sederhana, jalan
mereka rendah diri. Mereka patuh pada Allah swt. dan
mentaati-Nya, tunduk dengan menyembah-Nya.
“Mereka berjalan dalam keadaan menutup mata dari
semua yang dilarang oleh Allah atas mereka, mengendalikan
indra pendengar di atas kesadaran akan agama
mereka, kondisi sebagian dari mereka yang tertimpa bencana
seperti orang yang berlimpah kemakmuran. Mereka
rela atas ketentuan Allah, andai bukan karena ajal yang
telah ditetapkan Allah atas mereka, niscaya arwah mereka
tidak akan menetap dalam tubuh walau hanya sekejap mata,
karena mereka betul-betul rindu untuk bertemu Allah swt.
dan meraih pahala dari-Nya serta karena takut akan siksa-Nya.
“Sang Pencipta begitu agung dalam diri mereka. Selain
Dia, semua kecil di mata mereka. Hubungan mereka dengan
surga seperti orang yang melihatnya secara langsung. Di
saat berada di dalamnya, mereka bersandar pada bantalbantal.
Dan hubungan mereka dengan neraka seperti orang
yang memasukinya di saat-saat mereka tersiksa di dalamnya.
Hati mereka sedih, orang lain terjamin dari perbuatan
buruk mereka, tubuh mereka ramping, kebutuhan mereka
ringan, jiwa mereka suci dan bakti mereka terhadap Islam
sungguh besar. Mereka bersabar hanya untuk beberapa hari
yang tidak banyak, setelah itu menemui kebahagiaan yang
panjang sebagai perniagaan untung yang telah dimudahkan
oleh Tuhan Yang Mulia untuk mereka. Mereka adalah orang
yang sopan dan pandai. Dunia menghendaki mereka namun
mereka sendiri tidak menginginkannya, dunia menuntut
mereka namun mereka kalahkan dunia.
“Adapun di waktu malam, kaki mereka berbaris, membaca
ayat-ayat al-Qur’an begitu indah dan tartil, menasihati
diri mereka sendiri dengan perumpamaan-perumpamaan
yang diutarakan al-Qur’an, mengobati penyakit mereka
dengan obat yang ditawarkan al-Qur’an. Kadang kala di
waktu malam, mereka tapakkan dahi, telapak tangan, lutut
dan ujung jari kaki mereka. Air mata mengalir deras di permukaan
pipi mereka. Mereka mengagungkan Allah Yang
Maha Perkasa dan Besar. Mereka berdoa sepenuh hati pada-
Nya agar diselamatkan dari siksa api neraka.
“Itulah mereka di waktu malam. Adapun di waktu siang
maka mereka adalah orang yang murah hati, cendekiawan,
baik dan bertakw. Ketakutan mereka pada Allah swt. telah
menguruslemahkan diri mereka. Mereka seperti anak-anak
panah, setiap orang yang memandang mereka menyangka
mereka sakit padahal mereka tidaklah demikian, atau mengira
mereka tidak normal, padahal mereka hanya terlihat ⌂⌂⌂
seperti itu karena keagungan Tuhan yang mereka saksikan.
Kerajaan-Nya yang telah menguasai mereka adalah perkara
agung yang membuat hati mereka luluh dan menjadikan
akal mereka lumpuh di hadapan-Nya.
“Ketika mereka kembali tegak seperti semula, segera
mereka menuju Allah dengan amalan yang suci. Mereka
tidak pernah rela atas perbuatan yang sedikit demi Dia, dan
tidak menuntut pahala yang berlimpah atas perbuatan yang
banyak.
“Mereka senantiasa menuduh diri mereka sendiri dan
takut akan apa yang mereka lakukan. Apabila seseorang
dari mereka dipuji, niscaya dia akan takut atas apa yang
mereka katakan berupa pujian seraya berkata: ‘Aku lebih
tahu diriku sendiri daripada orang lain, dan Tuhanku Maha
Tahu dariku. Ya Allah, janganlah Engkau panggil dan siksa
aku karena apa yang mereka katakan, jadikanlah yang
terbaik dari apa yang mereka sangka, ampunilah dosadosaku
yang tidak mereka ketahui. Sesungguhnya Engkau
Maha Tahu hal-hal yang gaib dan Maha Penutup segala aib’.
“Itulah mereka. Salah satu tanda mereka adalah kamu
melihatnya kokoh dalam agama, waspada dalam kelembutan,
mukmin dalam keyakinan, serakah akan ilmu,
mengerti dalam ketelitian fikih, pandai dalam kemurahan
hati, hemat dalam kekayaan, indah dalam kefakiran, sabar
dalam kesulitan, khusyuk dalam ibadah, memberi dalam
hak yang semestinya milik dia, bersahabat dalam perniagaan,
mencari nafkah dalam perkara yang halal, bergairah
dalam hidayah, menjaga diri dalam syahwat dan berbakti
dalam istiqomah.
“Dia tidak terperdaya oleh apa yang tidak diketahuinya,
tidak melupakan perhitungan apa yang dilakukannya,
senantiasa menganggap dirinya lambat dalam beramal, dan
acap malu bahkan atas amal saleh yang telah dia lakukan.
“Mereka memulai pagi hari dengan kesibukan berzikir,
memasuki sore hari dengan kegelisahan bersyukur, dan
tidur dalam keadaan waspada dan takut akan kantuk
kelalaian, kemudian kembali bangun pagi dengan bahagia
atas anugerah dan rahmat yang diberikan Allah.
“Ketika merasa sulit dan berat terhadap apa yang tidak
disenanginya, mereka tidak akan pernah memenuhi permintaannya
atas apa yang dikehendaki. Keinginan mereka
berpusat pada hal-hal yang kekal, dan kezuhudan mereka
seputar hal-hal yang fana dan hilang.
“Mereka dampingkan amal dan ilmu, jodohkan ilmu
dan kemurahan hati. Ketekunan mereka langgeng, kemalasan
mereka jauh, angan-angan mereka pendek, ketergilinciran
mereka langka, ajal mereka senantiasa dinantikan,
hati mereka khusyuk mengingat Tuhan, diri mereka rela
dan puas, kebodohan mereka membujang, agama mereka
terjaga, penyakit mereka mati, amarah mereka terpendam,
budi pekerti mereka jernih, tetangga merekea aman dari
ulahnya, urusan mereka mudah, kesombongan mereka tak
tersisa, kesabaran mereka jelas, zikir mereka banyak, tidak
beramal baik secara riya’ atau karena pujian orang lain, juga
tidak meninggalkan amal baik itu hanya karena malu.
Kebaikan mereka selalu diharapkan dan keburukan mereka
selalu teredam.
“Apabila berada di antara orang-orang yang lalai,
mereka akan ditulis di kelompok orang-orang yang ingat,
dan apabila berada di tengah orang-orang yang ingat,
mereka tidak akan ditulis di kelompok mereka yang lalai.
Mereka memaafkan orang yang telah berlaku zalim terhadap
mereka, santun kepada orang yang enggan memberi
mereka, dan menyambung hubungan silaturahmi dengan
orang yang memutusnya.
“Amal makruf mereka santun, tutur kata mereka jujur,
perilaku mereka mulia, kebaikan mereka terdepan, keburukan
mereka terbelakang, tipu daya mereka terjauhkan.
Mereka tegar di tengah bencana, sabar di tengah kesulitan,
bersyukur di tengah kemudahan, tidak berbuat semenamena
terhadap orang yang dibenci, tidak menyakiti orang
yang dicintai, tidak mengaku apa yang bukan miliknya dan
tidak menolak hak orang lain terhadap dirinya. Mereka
mengakui hak tertentu sebelum dihadirkan saksi untuk itu,
mereka tidak menyia-nyiakan apa yang harus dijaga dan
tidak bermain-main dengan nama panggilan atau sebutan.
“Mereka tidak bertindak sewenang-wenang terhadap
orang lain, tidak dikuasai oleh iri dan dengki, tidak membahayakan
tetangga dan tidak mengutuk musibah yang menimpa.
Mereka menjalankan amanat secara baik, bertindak
penuh taat, bergegas pada kebajikan dan lambat pada
keburukan. Mereka mengajak yang makruf sekaligus melakukannya,
mereka melarang yang munkar sekaligus menghindarinya,
mereka tidak memasuki perkara secara bodoh
dan tidak keluar dari kebenaran karena lemah.
“Apabila diam, sungguh mereka tidak gelisah akan
keadaan diam itu, begitu pula saat berbicara, mereka tidak
gundah akan kata-kata yang telah diucapkan. Dan jika mereka
tertawa, tidak terbahak-bahak.
“Mereka adalah orang yang qana’ah atau rela atas takdirnya,
tidak dikendalikan oleh amarah, tidak dikuasai oleh
hawa nafsu, tidak didominasi oleh kikir. Mereka bergaul
dengan masyarakat atas dasar pengetahuan dan berpisah
dari mereka atas dasar kedamaian. Mereka berbicara untuk
mendapatkan manfaat, bertanya agar faham. Mereka susah
atas diri mereka sendiri sementara orang lain nyaman dengan
keberadaan mereka. Mereka menjamin orang lain dari diri mereka, dan mereka susahkan diri sendiri untuk meraih
akhirat yang utama.
“Mereka bersabar apabila diperlakukan mazlum oleh
orang lain sampai Allah menjadi penolong dan pembalas
dendamnya. Mereka meneladani orang-orang mulia sebelum
mereka, dan teladan bagi orang-orang setelah mereka.
“Mereka adalah pekerja-pekerja Allah, kendaraan titah
dan ketaatan-Nya, lentera bumi dan makhluk-Nya. Mereka
adalah Syi’ah dan kekasih kami, mereka dari kami dan
bersama kami. Oh …Bbetapa kami merindukan mereka!”
Tiba-tiba Hammam bin Ubadah berteriak histeris sampai
terjatuh pingsan. Orang-orang pun menggerak-gerakkan
tubuhnya, namun begitu cepat ia meninggalkan dunia fana.
Semoga Allah merahmatinya!
Melihat demikian, Rabi’ menangis bercucuran air mata
seraya berkata: “Andaikan aku lebih cepat memintamu
untuk menasihatiku, wahai Amirul Mukminin, daripada
keponakanku! Andai aku menghendakinya lebih dulu dan
aku berada di posisi dia!”
Maka Amirul Mukminin as. berkata: “Beginilah apa
yang dilakukan oleh nasihat yang sempurna dan fasih terhadap
penerimanya. Sungguh demi Allah, sejak awal aku
sudah mengkhawatirkan hal ini”.
Maka seorang menimpali perkataan beliau: “Lalu bagaimana
(nasihat itu) dengan dirimu sendiri wahai Amirul
Mukminin (kenapa tidak berpengaruh seperti itu pada
beliau)?”
Beliau menjawab: “Celakalah dirimu, sesungguhnya setiap
orang memiliki ajalnya sendiri dan dia tidak akan
melampaui ajalnya itu. Masing-masing menghadapi sebab
tertentu yang tidak akan dia lewati. Maka diamlah dan
jangan ulangi lagi kata-kata seperti itu, karena sesungguh nya setan telah menghembuskan kata-kata itu keluar dari
lidahmu”.
Perawi berkata: “Kemudian Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib as. melakukan shalat pada sore itu lalu menghadiri
jenazah Hammam, dan kami menyertai beliau”.
Silaturahmi dan Simpati di antara Mereka
Syarat berikutnya adalah saling menyambung dan memperkuat
silaturahmi, simpati dan kasih sayang serta saling
menolong antarsesama. Semakin mereka kuat dalam hal
tersebut di atas, pertolongan Allah pada mereka semakin
besar dan niscaya Dia menjamin keamanan dari musuh,
menlindungi dan membantu mereka. Kekuasaan Allah di
atas dan bersama tangan atau kekuasaan mereka, karena
tangan mereka telah berjabatan dan terpadu.
Suatu hari Sudair as-Sairufi menemui Abu Abdillah
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Di sana, dia menjumpai sekelompok
sahabat beliau yang mengelilinginya. Beliau berkata:
“Wahai Sudair, Syi’ah kami senantiasa terlindung dan
aman. Betapa indahnya pemandangan diri mereka dan
hubungan mereka dengan Sang Pencipta! Mereka menumpahkan
ketulusan pada para imam, berbakti pada saudarasaudara
mereka, condong kepada yang lemah dan bersedekah
pada yang membutuhkan.
“Sesungguhnya kami tidak memerintahkan kezaliman,
kami memerintahkan mereka agar hidup warak dan menghindari
dosa. Warak dan warak! Penawar duka sungguh
penawar duka bagi saudara-saudara mereka, karena kekasih-
kekasih Allah selalu tertindas sejak Dia menciptakan
Adam”.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Ajlan, dia berkata:
“Suatu saat, aku bersama Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq
as., tiba-tiba datang seseorang masuk seraya mengucapkan
salam. Kepadanya Imam bertanya: ‘Bagaimana keadaan saudara-
saudara yang kamu tinggalkan di sana?’ Orang itu
menyempurnakan pujiannya untuk mereka, mengindahkan
dan mengungkapkan sanjungan. Imam Ja’far as. kembali
bertanya: ‘Bagaimana kunjungan orang kaya mereka kepada
orang yang miskin?’ ‘Jarang’, jawab orang itu. Imam as.
bertanya lagi: ‘Bagaimana silaturahmi orang kaya mereka
dengan orang-orang miskin dari keluarga mereka sendiri?’
Dia menjawab: ‘Anda menanyakan akhlak yang tidak ada di
antara kami’. Maka Imam as. menukas: ‘Lalu bagaimana
mereka menganggap diri mereka sebagai Syi’ah’.
Imam Hasan Askari as. berkata: “Syi’ah Ali bin Abi
Thalib as. adalah orang-orang yang di jalan Allah tidak
peduli apakah kematian akan menghampiri mereka atau
mereka menghampiri kematian itu sendiri. Syi’ah Ali bin
Abi Thalib as. adalah mereka yang mendahulukan saudarasaudara
mereka di atas diri sendiri pada saat mereka sendiri
sangat membutuhkan. Mereka adalah orang-orang yang
tidak dilihat oleh Allah swt. saat Dia melarang mereka, tidak
kehilangan saat Dia memerintahkan mereka. Syi’ah Ali bin
Abi Thalib as. adalah orang yang meneladani Ali as. dalam
hal memuliakan saudara-saudara mukmin mereka”.
Diriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
“Salinglah berhubungan, salinglah berbakti dan jadilah kalian
saudara-saudara yang baik sebagaimana Allah swt.
perintahkan kepada kalian”.
Beliau juga berkata: “Bertakwalah kepada Allah, dan
jadilah kalian saudara-saudara yang saleh, saling mencintai
karena Allah, saling bersilaturahmi dan mengasihi”.
Ala’ bin Fudlail meriwayatkan dari Abu Abdillah Imam
Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Abu Ja’far Imam Muhammad
Baqir as. selalu berkata demikian: ‘Agungkan dan wibawakanlah
sahabat-sahabatmu! Janganlah sebagian dari kalian
menyerang sebagian yang lain, jangan saling mengancam,
jangan saling berdengki. Hati-hatilah kalian dari kikir dan
jadilah kalian hamba-hamba Allah yang tulus’”.
Abu Ismail meriwayatkan bahwa dia pernah berkata
pada Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as.: “Ada banyak
orang Syi’ah di antara kita”. Maka beliau berkata: “Apakah
yang kaya dari mereka menganyayangi yang faqir miskin?
Apakah yang baik dari mereka memaafkan yang bersalah
dan saling melipur lara?” Kukatakan pada beliau: “Tidak”.
Maka beliau berkata: “Mereka bukanlah Syi’ah, karena
Syi’ah adalah orang yang melakukan perbuatan ini”.
Imbal Balik Hak-hak di antara Syi’ah
Tsiqotul Islam al-Kulaini meriwayatkan dari Abul Ma’mun
al-Haritsi berkata: “Aku katakan pada Abu Abdillah Imam
Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Apakah hak seorang mukmin kepada
mukmin yang lain?’ Beliau menjawab: ‘Termasuk hak seorang
mukmin kepada mukmin yang lain adalah memupuk
cinta di dada kepadanya, menolong dia dalam harta, menggantikan
dia sebagai penanggung jawab atas keluarganya,
membelanya melawan orang yang menzaliminya. Apabila
ada bagian dari Muslimin untuknya sedangkan dia dalam
keadaan absen, maka dia mengambilkan bagiannya. Jika dia meninggal, mukmin lain menziarahi makamnya. Dan
hendaknya seorang mukmin tidak menzalimi mukmin yang
lain, tidak menipunya, tidak mengkhianatinya, tidak menghinakannya,
tidak membohonginya, tidak berkata kasar dan
kotor kepadanya. Apabila dia mengeluarkan kata-kata itu
kepadanya, niscaya hubungan wilayah di antara mereka
tidak ada lagi. Apabila dia berkata padanya ‘kamu adalah
musuhku’. maka salah satu dari mereka telah kafir, dan
apabila dia menuduhnya maka meleburlah iman dalam
hatinya sebagaimana garam melebur dalam air”.
Al-Kulaini juga meriwayatkan dari Aban bin Thalib berkata:
“Suatu saat aku berthawaf bersama Imam Ja’far as.
Tiba-tiba datang seorang teman menghampiriku dan mengajakku
pergi bersamanya untuk keperluan tertentu. Dia
menunjukku tapi aku enggan untuk meninggalkan Imam
Ja’far as. dan pergi bersamanya. Maka ketika kita sedang
bertawaf dia terus mengisyaratkanku, sampai akhirnya Abu
Abdillah juga melihatnya, segera beliau berkata padaku:
‘Wahai Aban, apakah dia menginginkanmu dengan isyarat
itu?’ Kujawab iya. Beliau bertanya lagi: ‘Siapakah dia?’
Kukatakan: ‘Salah seorang sahabatku’. Maka beliau berkata:
‘Kalau begitu, datangilah dia!’ Kukatakan pada beliau: ‘Lalu
apakah aku putus thawafku ini?’ Beliau menjawab: ‘Iya’.
Kembali kubertanya: ‘Walaupun thawaf wajib?’ Beliau
menjawab: ‘Iya’. Aban berkata: ‘Akhirnya, aku pun pergi
bersama sahabatku itu’.
“Setelah itu aku menemui Imam Ja’far as. dan bertanya:
‘Beritahu aku akan hak seorang mukmin kepada mukmin
yang lain?’ Maka beliau berkata: “Wahai Aban, janganlah
kamu menolaknya!” Kukatakan padanya: “Baiklah, semoga
aku menjadi tebusan untukmu!” Beliau berkata lagi: “Wahai Aban, janganlah kamu menolaknya”. Kuulang: “Baiklah,
semoga aku menjadi tebusan dan korban untukmu!”, dan
belum sempat aku berbicara lagi beliau kembali berkata:
“Wahai Aban, hendaknya kamu bagi separuh dari hartamu
untuk dia”. Kemudian beliau melihat reaksi pada diriku
seraya melanjutkan perkataannya: “Wahai Aban, bukankah
kamu tahu bahwa Allah swt. menyinggung orang-orang yang
berkorban mendahulukan orang lain daripada diri mereka
sendiri?”
Kukatakan: “Baiklah, semoga aku menjadi tebusan
dan korban untukmu!” Maka beliau berkata: “Adapun jika
kamu membagi separuh hartamu untuk dia, kamu masih
belum mengutamakan dia di atas dirimu sendiri karena
kamu dan dia masih sama; kamu baru terhitung telah
mendahulukan dia atas dirimu sendiri jika kamu berikan
separuhnya lagi padanya”.
Pernah Imam Ali Ridha as. ditanya: “Apakah hak
seorang mukmin kepada mukmin yang lain?”. Beliau
menjawab: “Termasuk hak mukmin kepada mukmin yang
lain adalah merengkuh cinta di dada kepadanya, menolongnya
dengan harta, membelanya melawan orang yang
berlaku zalim terhadap dirinya. Dan apabila ada pembagian
untuk Muslimin di saat saudaranya absen, hendaknya dia
mengambilkan jatah itu untuknya, jika wafat dia menziarahi
kuburnya. Hendaknya dia tidak berbuat zalim padanya,
tidak memperdayanya, tidak mengkhianatinya, tidak menghinakannya,
tidak mengumpatnya di belakang, tidak membohonginya,
dan tidak berkata kasar atau kotor kepadanya.
Jika dia mengeluarkan kata-kata itu kepadanya, niscaya
hubungan wilayah di antara mereka gugur, dan apabila dia
mengatakan padanya kamu adalah musuhku, maka salah satu dari mereka telah kafir, dan jika dia menuduhnya maka
iman dalam hatinya telah melebur sebagaimana garam melebur
dalam air.
“Barangsiapa yang memberi makan orang mukmin,
baginya lebih utama dari membebaskan budak. Barangsiapa
yang memberi minum orang mukmin, Allah memberinya
minuman dari rahiqun makhtum (anggur surga yang
murni). Barangsiapa yang memberi pakaian orang mukmin
dan menyelamatkannya dari ketelanjangan, Allah akan memakaikannya
sutera sundus dan harir surgawi. Barangsiapa
memberi hutang kepada orang mukmin dengan niat tulus
demi Allah swt., maka Allah akan menghitungnya sederajat
dengan sedekah sampai dia membayarnya. Barangsiapa
yang menyelesaikan salah satu kesulitan orang mukmin di
dunia, Allah akan menyelesaikan salah satu kesulitannya di
akhirat. Barangsiapa memenuhi kebutuhan orang mukmin,
baginya lebih utama dari puasa-puasa dan i’tikafnya di
Masjidil Haram. Sungguh posisi seorang mukmin seperti
betis dan tulang punggung pada tubuh”.
Suatu saat Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as. pergi
menghadap Ka’bah seraya berkata: “Puja dan puji ke hadirat
Allah yang telah memuliakanmu, menghormatkanmu,
mengagungkanmu, dan menjadikanmu tempat pertemuan
umat manusia yang aman, tapi demi Allah kehormatan
orang mukmin jauh lebih agung dari kehormatanmu”.
Pernah seorang baduwi Arab menghampiri beliau dan
mengucapkan salam, lalu saat akan berpisah dia berkata
kepada beliau: “Wasiatilah aku!” Maka beliau berkata: “Aku
berwasiat kepadamu dengan takwa kepada Allah dan bakti
pada saudara mukminmu. Maka cintailah untuknya apa
yang kamu cintai untuk dirimu. Apabila dia memintamu
berilah, jika dia mencegah diri darimu maka berlapanglah
padanya, janganlah kamu membosankannya maka dia tidak akan mebosankanmu. Jadilah kamu lengan dan pembela
dia, apabila dia mendapatimu dalam keadaan tidak senang
jangan berpisah darinya sampai dia keluarkan dengki dan
iri dari hatinya. Jika dia tidak ada di tempat, jagalah dia
dalam ketiadaannya. Jika dia hadir, maka lindungilah dia,
bantulah dia, kunjungi dan muliakanlah dia serta berbelas
kasih kepadanya, karena sesungguhnya dia adalah darimu
dan kamu dari dirinya. Hendaknya kamu rela membatalkan
puasa dan berbuka karena ingin menyenangkan saudara
mukminmu, karena memasukkan kebahagiaan ke dalam
hati seorang mukmin lebih utama dari puasa dan lebih besar
pahalanya”.
Ada juga riwayat tentang hak-hak antara saudara
dengan saudaranya yang lain. Dari Ibrahim bin Umar al-
Yamani meriwayatkan dari Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-
Shadiq as. berkata: “Janganlah dia kenyang saat saudaranya
lapar, janganlah dia lega saat saudaranya kehausan,
janganlah dia berpakaian saat saudaranya telanjang. Apabila
kamu membutuhkan sesuatu maka pintalah dia, jika dia
memintamu maka berilah dia. Jangan bosan berbuat baik
padanya dan hendaknya dia juga demikian padamu. Jadilah
kamu tulang punggungnya karena dia pun tulang punggung
bagimu. Apabila dia absen jagalah dia dalam ketiadaannya,
jika dia hadir maka kunjungilah dia, besarkan dan
muliakan dia, karena sesungguhnya dia darimu dan kamu
dari dia. Apabila dia mencela maka jangan berpisah darinya
sampai dia keluarkan dengki dan dendamnya dari hatinya.
Jika dia mendapatkan kebaikan maka pujilah Allah, jika dia
ditimpa bencana maka bantulah dia, dan jika dia terperdaya
maka tolonglah dia. Apabila salah seorang berkata kasar
atau kotor pada saudaranya maka tidak ada lagi hubungan wilayah antara mereka berdua, dan jika dia berkata ‘kamu
adalah musuhku’ maka salah satu dari mereka berdua telah
kafir, dan jika dia menuduhnya maka iman di hatinya telah
larut sebagaimana garam larut dalam air”.
Mu’alla bin Khunais meriwayatkan: “Aku katakan pada
Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Apakah hak seorang
mukmin kepada mukmin yang lain?’ Beliau menjawab: ‘Ada
tujuh hak dan kewajiban, tak satu pun dari hal-hak itu
kecuali juga wajib bagi dirinya. Apabila dia melanggarnya
maka dia telah keluar dari wilayah Allah dan meninggalkan
ketaatan pada-Nya serta tidak akan mendapatkan apa-apa
di sisi-Nya’. Kukatakan kepadanya: ‘Semoga aku jadi
tebusanmu! Katakanlah kepadaku tujuh hak dan kewajiban
itu?’ Beliau berkata: ‘Wahai Mua’lla, Sungguh aku sayang
padamu, aku khawatir kamu menghilangkan dan tidak
menjaganya, aku khawatir kamu tahu tapi tidak mengamalkannya’.
Aku katakan: ‘Tiada kekuatan kecuali milik Allah’.
Beliau melanjutkan: ‘Hak paling ringan dari semua itu
adalah hendaknya kamu mencintai untuk dia apa yang kamu
cintai untuk dirimu sendiri, dan kamu benci bagi dia
apa yang kamu benci bagi dirimu sendiri.
“Hak kedua, hendaknya kamu berusaha memenuhi kebutuhannya,
memuaskan keridhoannya dan tidak menentang
ucapannya.
“Hak ketiga, hendaknya kamu menyambungnya dengan
jiwa dan hartamu, tangan dan kakimu serta lidahmu.
“Hak keempat, hendaknya kamu menjadi mata, petunjuk
dan cermin bagi dirinya.
“Hak kelima, hendaknya kamu tidak kenyang di saat
dia lapar, tidak berpakaian di saat dia telanjang, tidak lega
di saat dia kehausan.
“Hak keenam, apabila kamu memiliki perempuan dan
pelayan, sementara saudaramu tidak memiliki baik perempuan
sebagai istri maupun pelayan, maka kirimlah pelayanmu
untuk mencucikan bajunya, menyediakan makanannya
dan merapikan ranjangnya, semua itu ditetapkan antara
kamu dan dia.
“Hak ketujuh, hendaknya kamu bebaskan sumpahnya,
kamu balas undangannya, kamu hadiri jenazahnya, kamu
jenguk di kala dia sakit, kamu kerahkan tubuhmu untuk
memenuhi kebutuhannya. Jangan biarkan dia kekurangan
sehingga memintamu, tetapi bergegaslah terlebih dahulu
untuk memenuhi kebutuhannya sebelum dia meminta.
Apabila ini dilakukan, sungguh kamu telah menyambungkan
wilayahmu dengan wilayahnya, dan sungguh kamu
telah menyambungkan wilayahnya dengan wilayah Allah”.
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin as. berkata: “Seorang
mukmin ketika mengetahui saudara mukmin yang
lain membutuhkan tidak akan membiarkannya sampai
terpaksa meminta kepadanya. Saling berkunjunglah kalian,
saling mengasihilah kalian, saling berimbal baliklah kalian!
Janganlah kalian menjadi orang munafik yang menguraikan
apa yang pada hakikatnya tidak dia lakukan”
.
Muhammad bin Muslim meriwayatkan: “Ada seorang
Baduwi mendatangiku, lalu kami bersama-sama menemui
Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. Ketika hendak
berpisah, orang Baduwi itu berkata: “Wasiatilah aku!” Abu
Abdillah berkata: “Aku berwasiat kepadamu agar bertakwa
kepada Allah swt. dan berbakti pada saudara muslimmu,
cintailah untuknya apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri,
bencilah untuknya apa yang kamu benci untuk dirimu sendiri. Apabila dia memintamu berilah, Jika dia tidak sudi
memberimu tetaplah lapang untuk memberinya! Janganlah
kamu bosan untuk berbuat santun kepadanya, karena
sesungguhnya dia tidak akan bosan berbuat baik kepadamu.
Jadilah tangan pembela baginya, karena sesung-guhnya dia
adalah lengan pembela bagimu. Apabila dia mendapatkan
darimu sesuatu yang tidak berkenan, maka janganlah berpisah
darinya sampai kekecewaannya hilang dari hatinya,
jika dia absen jagalah dia dalam ketiadaannya, jika dia hadir
bantulah, tolonglah dan kunjungilah dia! Bersikaplah lemah
lembut kepadanya dan muliakanlah dia, karena sungguh
dia dari kamu dan kamu dari dia”.
Jabir meriwayatkan dari Abu Ja’far Imam Muhammad
Baqir as. berkata: “Hendaknya orang kuat dari kalian membela
orang yang lemah, orang yang kaya dari kalian berbelas
kasih kepada orang yang faqir, hendaknya setiap orang dari
kalian menasihati saudaranya sebagaimana menasihati diri
sendiri, simpanlah rahasia-rahasia kami, dan jangan kalian
bebankan masyarakat pada leher kami”.
Kehormatan, Cinta, Nasihat dan Belas Kasih
Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq as. berkata: “Tidak
ada sesuatu yang lebih utama bagi hamba Allah daripada
menjalankan hak seorang mukmin”.
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah swt. memiliki
beberapa hal yang harus dijaga: kehormatan kitab Allah,
kehormatan Rasulullah, kehormatan Baitul Maqdis dan kehormatan
orang Mukmin”.
Abdul Mukmin Anshari meriwayatkan: “Aku menemui
Abul Hasan Imam Musa Kadzim as dan saat itu Abdullah bin Muhammad Ju’fi bersamanya. Maka aku ter-senyum
padanya. Abul Hasan berkata: “Apakah kamu mencintainya?”.
Kujawab: “Iya, dan aku mencintai dia tidak lain
karena kalian, Ahlulbait.” Maka beliau berkata: “Dia adalah
saudaramu, sesungguhnya orang mukmin adalah saudara
mukmin yang lain seibu dan seayah”.
Dalam Nawadirnya Rawandi disebutkan: “Dengan sanad
Rawandi dari Imam Musa bin Ja’far as., dari ayahayahnya
as. berkata: ‘Rasulullah saw. bersabda: “Seorang
Mukmin adalah cermin bagi saudara mukmin yang lain; dia
menasihatinya ketika absen, dan dia jauhkan apa yang
dibencinya ketika hadir serta melapangkan tempat duduk
baginya”.
Dalam kitab al-Mukmin karya Abu Said al-Husain al-
Ahwazi disebutkan dengan sanadnya dari Abu Abdillah as.
berkata: “Tidak, demi Allah, sampai kapanpun seorang
mukmin tidak akan menjadi mukmin sejati sampai dia seumpama
satu tubuh dengannya, apabila satu otot darinya
terpukul maka otot-otot yang lain pun terganggu”.
Toleransi di antara Syi’ah
Disinyalir dalam tafsir Imam Hasan Askari as.: “Tak seorang
pun lelaki atau perempuan yang berwilayah pada Muhammad
saw. dan keluarganya serta memusuhi lawan-lawan
mereka kecuali dia telah mengambil benteng yang kokoh
dan perisai yang kuat dari siksa Allah, dan tak seorang pun
lelaki atau perempuan yang ramah tamah terhadap hamba
Allah dengan sebaik-baik pergaulan dan tidak terjerumus
dalam kebatilan serta tidak keluar dari kebenaran karena
pergaulan tersebut melainkan Allah swt. telah menjadikan nafasnya sebagai tasbih, membersihkan dan mengembangkan
amalnya, memberinya anugerah karena kesabarannya
dalam menyimpan rahasia kami dan menahan amarah dari
apa yang didengarnya dari musuh-musuh kami, serta menjadikan
bajunya seperti baju orang yang berlumuran darah
di jalan Allah swt.
“Dan tidak ada seorang pun yang menerima hak-hak
saudara atas dirinya kemudian memenuhi hak-hak itu
sekuat tenaga, dan memberi saudara-saudaranya apa yang
dia bisa, merestui dengan memaafkan mereka serta meninggalkan
penyelidikan yang merugikan mereka sehingga
tidak ada satu kesalahan pun dari mereka yang tidak dia
ampuni, melainkan Allah swt. akan berkata padanya di Hari
Kiamat: ‘Wahai hamba-Ku, kamu telah memenuhi hak-hak
saudaramu dan kamu tidak mencari-cari kesalahan mereka
yang merupakan hakmu atas mereka, maka Aku lebih
derma, mulia dan layak untuk berupa kemurahan dan
kemuliaan serta kedermawanan yang kamu lakukan. Maka
hari ini Aku akan penuhi hak yang telah Kujanjikan padamu
dan Aku Kutambahkan anugerah-Ku yang luas kepadamu,
dan Aku tidak akan menyelidiki kekuranganmu padaKu di
sebagian hak-hak-Ku’.
“Beliau (Imam Hasan Askari as.) berkata: “Maka Allah
menggabungkan orang itu bersama Nabi Muhammad saw.
dan keluarga serta sahabatnya, dan menjadikannya dari
Syi’ah yang terbaik”.
Tidak Mengganggu Para Setia Kami dan Tidak Saling Melukai
Diriwayatkan dari Imam Hasan bin Ali as., beliau berkata:
“Sesungguhnya taqiyah adalah sesuatu yang dengannya
Allah memperbaiki umat. Pelaku taqiyah mendapatkan pa hala yang setimpal dengan pahala amal mereka, sedangkan
meninggalkan taqiyah adalah perbuatan yang menghancurkan
umat, peninggal taqiyah seperti sekutu musuh dalam
menghancurkan mereka. Sesungguhnya seseorang yang
mengenal hak-hak saudara akan membuatnya tercinta di sisi
Allah Yang Maha Pengasih, dan akan mengagungkan kedekatannya
di sisi Allah Maha Raja lagi Maha Penguasa. Dan
apabila seseorang meninggalkan tugas untuk memenuhi
hak-hak tersebut, Allah Yang Mahakasih akan murka padanya
dan merendahkan kedudukannya di sisi-Nya, Zat Yang
Maha Mulia lagi Maha Pengasih”.
Abduladzim Husaini meriwayatkan dari Abul Hasan
Imam Ridho as. berkata: “Wahai Abdul Adzim, sampaikan
salam pada wali-waliku dan katakan pada mereka, janganlah
kalian membuka jalan bagi setan terhadap diri mereka
sendiri, perintahkan mereka untuk berbicara jujur dan
melaksanakan amanat dengan setia, perintahkan mereka
untuk diam dan menghindari perdebatan dalam hal-hal
yang tidak penting. Hendaknya mereka saling peduli satu
sama yang lain dan saling mengunjungi, karena sesungguhnya
itu adalah kedekatan padaku. Jangan menyibukkan
diri dengan memecah belah, karena sesungguhnya aku
bersumpah pada diriku, barangsiapa yang melakukan hal
itu dan membuat marah salah seorang dari pengikutku, aku
akan berdoa kepada Allah agar menyiksa dia di dunia
sepedih-pedihnya dan semoga di akhirat kelak tergolong
orang yang merugi.
“Beritahu mereka bahwa Allah mengampuni orang yang
berbuat baik dari mereka, dan memaafkan mereka yang
bersalah! Perhatikanlah bahwa siapa saja yang mengganggu
salah seorang pengikutku atau berniat jahat padanya, maka Allah tidak akan mengampuninya sampai dia berbalik dari
perbuatan dan niat jahat tersebut, dan akan lebih baik baginya
jika dia berpaling, namun jika tidak, hakikat iman akan
tercabut dari hatinya, dia telah keluar dari wilayahku, dan
tidak akan mendapatkan bagian apa pun dari wilayah kami,
Ahlulbait, dan aku berlindung kepada Allah dari hal itu”.
Diriwayatkan dalam kitab Qodlo’ul Huquq bahwa Ali bin
Abi Thalib as. berkata dalam surat wasiatnya kepada Rifa’ah
bin Syidad al-Bajli yang pada waktu itu bertugas sebagai
hakim di Ahwaz: “Lemah lembutlah kepada orang mukmin
selama kamu mampu, karena sesung-guhnya punggung dia
adalah lindungan Allah, jiwanya mulia di sisi Allah, orang
yang berbakti padanya akan mendapatkan pahala Allah,
orang yang berbuat dzalim padanya adalah musuh Allah,
maka janganlah kamu menjadi musuhnya!”
Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah orang mukmin
membiarkan saudaranya terpaksa meminta padanya ketika
mengetahui dia punya keperluan”.
Mukmin bagi Mukmin yang Lain Seperti Satu Tubuh
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Bagi segala sesuatu
terdapat hal yang membuatnya tenang, dan sesungguhnya
orang mukmin akan tenang dengan saudara mukminnya
sebagaimana burung merasa tenang dengan sejenisnya”.
Abu Ja’far Imam Muhammad Baqir as. berkata: “Orangorang
mukmin dalam bakti, kasih sayang dan lemah lembut
lakasana satu tubuh, apabila satu bagiannya mengaduh
seluruh anggota tubuh yang lain juga terpanggil, terjaga dan
demam”.
Mu’alla bin Khunais meriwayatkan dari Abu Abdillah
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Cintailah untuk saudara
muslimmu apa yang kamu cintai untuk dirimu sendiri,
apabila kamu butuh mintalah kepadanya, dan apabila dia
memintamu maka berilah dia! Janganlah kamu bosan untuk
berbuat baik padanya dan hendaknya dia juga tidak bosan
padamu dalam kebaikan, jadilah punggung baginya karena
sesungguhnya dia adalah punggung bagimu, jagalah dia
dalam ketiadaannya, dan apabila dia hadir kunjungilah dia.
Agungkan dan muliakanlah dia, karena sesungguhnya dia
adalah darimu dan kamu adalah dari dia. Apabila dia mencelamu
jangan berpisah darinya sampai kesal itu keluar dari
hatinya, jika dia memperoleh kebaikan pujilah Allah swt.,
dan jika dia tertimpa bencana santunilah dia, tanggunglah
dia dan tolonglah”.
Bersilaturahmi dan Bergaul Baik dengan Seluruh Muslimin
Ahlulbait as. betul-betul memperhatikan masalah ini. Ahlulbait
tidak rela bila Syi’ah mereka mengisolir diri dari lingkungan
umum umat Islam yang luas. Mereka adalah bagian
yang tak terpisahkan dari umat ini, adapun perbedaan
dalam pokok, cabang, golongan dan wilayah jangan sampai
menyebabkan keterpisahan dari masyarakat muslim yang
lain … Karena umat ini, dengan segala kecenderungan dan
mazhab di dalamnya, adalah umat yang satu.
﴿ اِ م ن هذِهِ اُممتُكُم اُممةً وَاحِدَةً وَ أنَا رَبُّكُم فَاعبُدُونَ ﴾
“Sesungguhnya umat kalian ini adalah satu umat dan
Aku adalah Tuhan kalian maka sembahlah Aku”
.
Mereka merupakan kekuatan besar di muka bumi yang
menghadapi tantangan-tantangan besar, dan sesungguhnya
tantangan-tantangan itu tidak bisa dihadapi dan dituntaskan
begitu saja kecuali hanya umat yang satu ini mampu
menghadapinya dengan satu sikap dalam satu barisan.
Sejarah mencatat bagaimana para imam Ahlulbait as.
senantiasa hidup bersama masyarakat muslim yang lain.
Dengan berbagai mazhab dan kecenderungan masingmasing,
masyarakat berkumpul bersama di seputar imam
as. dan belajar dari Ahlulbait as. Jika kita hitung ulama yang
belajar pada Imam Muhammad Baqir dan Imam Ja’far Ash-
Shadiq as., kita akan mendapatkan mereka dalam jumlah
yang sangat besar. Majelis dan pertemuan mereka penuh
dengan ulama muslim dan perawi hadis nabi serta alim
ulama dengan berbagai bidang dari berbagai negeri Hal
ini diketahui dengan jelas oleh siapa saja yang melakukan
telaah atas sejarah dan hadis imam-imam Ahlulbait as.
Selain itu, fakta ini menunjukkan keterbukaan dan pergaulan
religius yang bebas dari segala kecenderungan dan
aliran-aliran Islam manakala Ahlulbait as. senantiasa menjelaskan
garis pemikiran yang benar kepada kaum Muslimin,
khususnya kepada Syi’ah, serta memperinci pokok dan
cabang pemikiran tersebut secara teliti.
Hadis Ahlulbait as. penuh dengan anjuran yang terangterang
mengajak pada sikap terbuka dengan Muslimin dan
pergaulan positif, silaturahmi, kasih sayang dan gotong
royong bersama mereka. Berikut ini beberapa contoh hadis
Ahlulbait as. tentang ajakan tersebut:
Muhammad bin Ya’qub Kulaini dengan silsilah sanad
yang sahih dalam kitab al-Kafi meriwayatkan hadis dari Abu
Usamah Zaid as-Syahham berkata, bahwa Abu Abdillah
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Sampaikanlah salam
kepada siapa saja dari mereka yang kamu pandang patuh padaku dan mendengarkan kata-kataku, wasiatkanlah pada
mereka takwa kepada Allah swt., warak dalam beragama,
usaha keras demi Allah, jujur dalam berbicara, menjalankan
amanat, lama dalam sujud dan baik dalam bertetangga,
karena Nabi saw. datang dengan membawa ajaran-ajaran
tersebut. Laksanakanlah amanat kalian secara penuh untuk
orang yang mempercayakanmu agar menjaganya, baik dia
orang yang saleh maupun orang yang jahat, karena Nabi
saw. senantiasa menganjurkan masyarakat agar menyelesaikan
kontrak yang telah disepakati bersama.
“Jagalah silaturahmimu dengan keluarga, hadirilah jenazah
mereka, jenguklah mereka yang sakit, penuhilah hakhak
mereka, karena orang yang warak dalam beragama,
jujur dalam bertutur kata, setia dalam amanat dan berbudi
pekerti kepada masyarakat, niscaya orang lain akan menyebutnya
sebagai Ja’fari (pengikut Imam Ja’far Ash-Shadiq as.),
dengan begitu dia telah menggembirakanku dan membuat
hatiku senang. Mereka akan mengatakan, inilah kader Ja’far
as. Demi Allah, ayahku bercerita kepadaku bahwa pernah
ada seorang Syi’ah (pengikut Ali as.) yang hidup di sebuah
suku dan dia menjadi kebanggaannya, karena dia orang
yang paling terpercaya, orang yang paling menjaga hak-hak
orang lain, orang yang paling jujur dalam bertutur, dan
kepadanyalah masyarakat mempercayakan wasiat dan
amanat mereka, apabila kamu bertanya pada suku itu niscaya
mereka akan menjawab: ‘Siapakah orang sepertinya!
Sungguh dia paling terpercaya dalam menjaga amanat dan
paling jujur dalam bertutur’”.
Demikian juga diriwayatkan dengan sanad yang sahih
dari Muawiyah bin Wahab berkata: “Kukatakan pada Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Bagaimana seyogyanya
kita berbuat dengan kaum kita sendiri, dan antara kita
dengan teman pergaulan di masyarakat umum?’ Beliau
menjawab: ‘Tunaikanlah amanat kalian kepada mereka,
berilah kesaksian untuk dan terhadap mereka, tengoklah
mereka yang sakit dan hadirilah jenazah mereka!”
Begitu juga diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari
Muawiyah bin Wahab berkata: “Kukatakan pada Imam
Ja’far Ash-Shadiq as.: ‘Bagaimana seyogyanya kita berbuat
dengan suku kita serta teman bergaul di masyarakat sedangkan
mereka yang tidak sepaham dengan kita?’ Beliau
menjawab: “Lihatlah imam-imam yang kalian ikuti dan
berbuatlah seperti yang mereka perbuat. Demi Allah,
mereka menjenguk orang yang sakit di tengah masyarakat,
menghadiri jenazah mereka, memberikan kesaksian untuk
dan terhadap mereka serta menepati amanat mereka”.
Kulaini dalam al-Kafi menukil sebuah riwayat dengan
sanad yang sahih dari Habib Hanafi berkata: “Aku mendengar
Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata:
‘Hendaknya kalian warak dan aktif, hadirilah jenazah
masyarakat, jenguklah orang sakit, hadirlah bersama dalam
masjid-masjid mereka, cintailah untuk mereka apa yang
kalian cintai untuk diri kalian sendiri. Tidakkah malu bila
tetangga seorang dari kalian menjaga haknya sementara dia
tidak memperhatikan hak tetangga tersebut!’”
Riwayat lain dengan sanad yang sahih juga dari Murazim
yang melaporkan bahwa Abu Abdillah Imam Ja’far
Ash-Shadiq as. berkata: “Hendaknya kalian shalat di masjidmasjid,
bertetangga yang baik dengan masyarakat, memberikan
kesaksian, dan menghadiri jenazah. Semua itu ke wajiban kalian terhadap masyarakat umum, karena setiap
orang membutuhkan masyarakat sepanjang hidupnya, dan
sesungguhnya sebagian dari masyarakat adalah untuk sebagian
yang lain”.
Adil dan Seimbang
Salah satu kriteria Syi’ah Ahlulbait as. adalah adil dalam
segala hal, seimbang, dan selalu menjaga keseimbangan
dalam pemikiran, pemahaman dan obyektifitas. Seorang
Syi’ah akan menghindari sikap yang ekstrim, berkurangan
dan berlebihan, kelemahan emosional dan reaktivitas.
Umar bin Said bin Hilal berkata: “Jadilah kelompok
menengah, orang yang kelewatan akan kembali pada kalian
dan orang yang belum sampai akan bergabung bersama
kalian. Ketahuilah wahai Syi’ah keluarga Muhammad saw.,
tidak ada hubungan kekeluargaan antara kami dan Allah
swt., tidak ada hujjah pada kami atas Allah,karena sesungguhnya
kedekatan pada Allah tidak akan diperoleh kecuali
dengan ketaatan pada-Nya, maka barang siapa yang patuh
pada-Nya niscaya wilayah kami akan bermanfaat baginya,
dan barang siapa yang bermaksiat padanya niscaya wilayah
kami tidak akan bermanfaat baginya”.
Perawi berkata: “Kemudian beliau mengalihkan perhatiannya
padaku seraya berkata: “Jangan terperdaya, jangan
pula berpecah belah!”
Kedisiplinan Sosial-Politik
Sepanjang sejarah, Syi’ah Ahlulbait as. telah melewati masamasa
politik yang sangat menekan, khususnya di era dinasti
Umayyah dan Abbasiyah. Situasi yang betul-betul krisis ini menuntut kedisiplinan yang ketat dalam urusan politik dan
keamanan, serta mengharuskan mereka untuk menerapkan
arahan-arahan politis. Imam-imam Ahlulbait as. juga selalu
menganjurkan mereka untuk komit dan disiplin.
Andai saja Ahlulbait as. tidak memberikan arahanarahan
tersebut, dan andai saja pengikut Ahlulbait as. tidak
komit pada arahan-arahan itu, tentu dinasti Umayyah dan
Abbasiyah telah mengubur habis mazhab Ahlulbait as. sehingga
warisan budaya, pemikiran dan tata hukum mazhab
yang besar ini tidak tersisa lagi sekarang ini.
Maka itu taqiyah merupakan salah satu yang terutama
dari sekian arahan mereka, sebagaimana juga menyimpan
rahasia, bersembunyi, menahan diri dari obrolan yang tidak
terarah, diam, dan terlihat lengah. Semua ini adalah arahanarahan
penting dari ajaran Ahlulbait as. untuk melindungi
kelestarian madrasah Syi’ah.
Kerugian yang ditanggung oleh mazhab Ahlulbait dan
Syi’ah mereka tidaklah kecil, lantaran sebagian kelompok
dari mereka tidak mengindahkan arahan-arahan tersebut di
atas. Berikut ini kami ingin menyebutkan beberapa contoh
dari arahan Ahlulbait as. untuk Syi’ah mereka dalam rangka
menjaga kedisiplinan politik.
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Ujilah Syi’ah kami
di waktu shalat; bagaimana mereka menjaga waktu-waktunya?
Dan bagaimana mereka menjaga rahasia kami dari
musuh-musuh kita?”.
Sulaiman bin Mihran meriwayatkan: “Ketika aku menemui
Imam Ja’far Ash-Shadiq as., ada beberapa orang Syi’ah
bersama beliau, dan beliau berkata: ‘Wahai orang-orang
Syi’ah, jadilah kalian hiasan bagi kami dan janganlah men jadi noda atas kami, jagalah lidah kalian, katuplah mulut
kalian dari turut campur dan ingin tahu urusan orang lain!”
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Ingin sekali kutebus
dua karakter dalam Syi’ah kami, Ahlulbait as. dengan
daging tanganku. Kedua karakter itu adalah cepat bereaksi,
dan lemahnya penyimpanan rahasia”.
Beliau juga berkata: “Ada sebuah kelompok yang menganggapku
sebagai imam mereka. Demi Allah, aku bukanlah
imam mereka, setiap kali aku menutupi sesuatu mereka
membongkarnya, aku katakan demikian dan demikian tapi
mereka mengatakan bukan begitu tetapi demikian dan demikian”.
Imam Muhammad Baqir as. berkata: “Wahai Muyassar,
maukah kamu kuberi tahu siapa Syi’ah kami?” Dia menjawab:
“Tentu, semoga diriku menjadi tebusan jiwamu!”
Beliau melanjutkan: “Mereka adalah benteng-benteng yang
kokoh, perbatasan yang aman, pemurah hati yang teguh.
Mereka tidak menyingkap rahasia dan menyebarkannya
dan bukan orang kasar yang mencari perhatian orang lain.
Merekalah rahib di malam hari dan tuan di siang hari”
.
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Bertakwalah kepada
Allah dan lindungilah agamamu dengan taqiyah!”
Beliau juga berkata: “Demi Allah, Dia tidak disembah
dengan sesuatu yang lebih dicintai-Nya daripada khib’”.
“Apakah khib’ itu”, tanyaku. Beliau menjawab: “Taqiyah”.
Diriwayatkan dari Imam Ali Zainul Abidin berkata:
“Ingin sekali kutebus dua sifat kaum Syi’ah kami dengan sebagian daging hastaku. Dua karakter itu adalah cepat
bereaksi dan lemah dalam menyembunyikan rahasia”.
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Masyarakat dianjurkan
untuk menjaga dua karakter namun mereka mengacuhkannya
sehingga mereka tidak memperoleh apa pun.
Dua karakter itu adalah sabar dan menjaga rahasia”.
Salman meriwayatkan dari Khalid berkata: “Abu Abdillah
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: ‘Wahai Sulaiman,
sesungguhnya kalian berada di atas agama. Maka barangsiapa
yang menjaga rahasia niscaya Allah akan memuliakan
dia, dan barang siapa yang menyingkapkannya, Allah akan
menghinakannya”.
Imam Muhammad Baqir as. berkata: “Demi Allah, sahabat
tercintaku adalah dia yang lebih amanat, lebih fakih
dan pandai dalam agama, dan lebih menjaga atau menyimpan pembicaraan kami”.
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Cukup kalian katakan
apa yang kami katakan dan diam terhadap apa yang
kami diamkan”.
Beliau juga berkata: “Kami tidak membunuh orang yang
mengungkapkan rahasia pembicaraan kami secara salah,
melainkan kami membunuhnya secara sengaja”.
Kalimat
ini sungguh mengherankan; setiap orang yang membacanya
akan berhenti di hadapannya.
Mereka yang menyebarluaskan rahasia pengikut Ahlulbait
as. di tengah masyarakat luas dan menebar di basisbasis
kezaliman dinasti Abbasiyah sama seperti orang yang
secara sengaja menyodorkan Syi’ah dan pengikut Ahlulbait as. kepada mereka untuk diburu dan dikejar oleh penguasa
zalim.
Boleh jadi hal itu sugguh-sungguh tidak berangkat dari
niat yang jahat. Terkadang mereka lakukan demikian atas
dasar cinta dan suka berbicara kepada semua orang tentang
Ahlulbait as. dengan harapan: masyarakat menyambut baik
kedatangan Ahlulbait as., menerima ajaran mereka, menyebarluaskan
mazhab mereka. Semua itu hanya didasari oleh
cinta serta kasih sayang.
Namun demikian, menyingkapkan rahasia komunitasi
Syi’ah Ahlulbait as. dan basis-basis kekuatan mereka secara
tidak bertanggung jawab senantiasa membuat penguasa
memburu kelompok-kelompok kecil Syi’ah dalam rangka
menghancurkan dan memberhangus mereka. Karena itu,
Ahlulbait as. sering mengkhawatirkan penyebaran rahasia
dan pendirian lemah dalam menjaga rahasia yang ada pada
diri sahabat dan Syi’ah mereka. Padahal, Ahlulbait as. sudah
berulang kali menekankan pentingnya menjaga rahasia dan
menahan diri dari ingin tahu atau terlibat dalam urusan
orang lain.[]