ELEMEN-ELEMEN WILAYAH
KEPADA AHLULBAIT AS.
Pembicaraan kita selanjutnya akan berkisar tentang elemenelemen
keberwilayahan (berpegang teguh) pada Ahlulbait
as. Kita usahakan untuk lebih sering menarik unsur-unsur
itu dari teks-teks doa ziarah Ahlulbait as. itu sendiri. Karena
teks-teks yang diriwayatkan dari mereka as. ini kaya akan
muatan pemikiran dan konsep tentang wilayah atau kepengikutan
terhadap Ahlulbait as. dan baro’ah atau penolakan
musuh-musuh mereka. Dengan merenungkan teks-teks doa
ziarah itu, kita akan dapat menarik sebuah pandangan yang
menyempurna dari wilayah dan baro’ah tersebut.
Namun pada bagian ini kita tidak ingin mempelajarinya
secara luas. Tulisan ringkas ini tidak cukup ruang untuk
mempelajarinya secara detail dan mengajukan konsep yang
terperinci tentang dua hal di atas. Kita hanya mengisyaratkan
beberapa elemen wilayah atau kepengikutan terhadap
Ahlulabait as. yang dimengerti dari teks doa ziarah dan
hadis Ahlulbait yang lain.
Kesadaran Berwilayah
Elemen pertama wilayah kepada Ahlulbait as. ialah kesadaran,
dan nilai pengikutan seseorang terhadap mereka
dihitung sesuai kadar pengetahuan dan kesadarannya akan wilayah itu sendiri. Maka itu, orang yang lebih sadar akan
konsep wilayah tentu lebih kokoh dalam berwilayah kepada
Ahlulbait as.
Disinyalir dalam doa ziarah Jami’ah: “Aku bersaksi kepada
Allah dan bersaksi kepada kalian (Ahlulbait as.) bahwasanya
aku beriman pada kalian dan pada apa yang kalian
imani, aku ingkar terhadap musuh kalian dan terhadap apa
yang kalian ingkari, aku sadar akan kedudukan dan urusan
kalian, begitu juga mawas akan kesesatan mereka yang
menentang kalian, aku beriman pada rahasia dan kejelasan
kalian, beriman pada kehadiran dan kegaiban kalian”.
Kami bersaksi pada Allah dan pada Ahlulbait as. atas
pengetahuan dan kesadaran ini, karena kami yakin penuh
dan beriman akan hal itu, serta sama sekali tidak ada keraguan
terhadapnya.
Wilayah dalam penggalan kalimat di atas tersusun dari
dua sisi:
Pertama, sisi positif, yaitu: “beriman pada kalian dan
pada apa yang kalian imani”.
Kedua, sisi negatif, yaitu: “ingkar terhadap musuh kalian
dan terhadap apa yang kalian ingkari”. Ingkar berarti penolakan.
Oleh karena itu, maksud dari kalimat di atas adalah
aku menolak musuh kalian dan menolak apa yang kalian
tolak.
Nilai wilayah terbentuk dari dua sisi positif dan negatif
tersebut secara bersamaan; penerimaan sekaligus penolakan.
Penerimaan semata—tanpa penolakan—tidak menentukan
banyak tugas bagi seseorang selama tidak dibarengi dengan
penolakan terhadap lawannya.
Oleh karena itu, penerimaan dan penolakan harus sekaligus
serta dilandasi oleh pengetahuan dan kesadaran,
bukan sekedar ikut-ikutan seperti sebagian orang yang mengikuti
sebagian lainnya, melainkan “sadar akan kedudukan kalian Ahlulbait dan mawas terhadap kesesatan mereka
yang menentang kalian”.
Penerimaan di sini adalah penerimaan penuh yang
mencakup tiga poin di bawah ini sebagaimana juga termuat
dalam penggalan doa ziarah di atas itu:
Pertama, penerimaan mutlak; “iman pada apa yang
rahasia dan tersembunyi dari kalian”.
Kedua, penolakan mutlak; “menolak musuh kalian serta
apa yang kalian tolak”.
Ketiga, penerimaan dan penolakan ini akan lengkap
apabila didasari oleh pengetahuan dan kesadaran; “sadar
akan kedudukan kalian dan mawas terhadap kesesatan
mereka yang menentang kalian”.
Pengakuan
Wilayah dan kepengikutan pada Ahlulbait as. tidak bisa
dipisahkan dari pengakuan. Tidak ada sesuatu yang lebih
merusak daripada ragu dan bimbang terhadap wilayah, dan
Allah swt. sama sekali tidak meninggalkan kesamaran di
dalamnya. Sungguh Allah telah mengaitkan wilayah dengan
tauhid, menetapkan wilayah sebagai poros gerakan, baik
individu maupun sosial, dan mengarahkan umat manusia
kepada wilayah setelah menyeru mereka kepada pengesaan-
Nya. Dia berfirman:
﴿ اِمنََّا وَلِيُّكُمُ الله وَ رَسُولُهُ وَ المذِينَ آمَنُوا﴾
...
“Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah
dan Rasul-Nya serta mereka yang beriman yang…”
Dia juga berfirman:
﴿ اَطِيعُوا اللهَ وَ اَطِ يعُوا المرسُولَ وَ اُولِِ الأمرِ مِنكُم ﴾
“Taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulul amr (pemimpin)
dari kalian”
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bahwa jalan
menuju wilayah mesti jelas, sehingga umat manusia berwilayah
atas dasar bukti yang kuat. Singkatnya, wilayah
tidak terpisahkan dari pengakuan, dan pengakuan tidak
terpisahkan dari keyakinan dan keyakinan tidak terpisahkan
dari bukti.
Ziarah Jami’ah memperlihatkan kedudukan Ahlulbait
as. sebagai berikut: “Beruntunglah orang yang berwilayah
pada kalian, binasalah orang yang memusuhi kalian, sengsaralah
orang yang mengingkari kalian, tersesatlah orang
yang berpisah dari kalian, menanglah orang yang berpegang
teguh pada kalian, amanlah orang yang berlindung
pada kalian, selamatlah orang yang membenarkan kalian,
dan berpetunjuklah orang yang memegang erat kalian”.
Ikatan Organik
Untuk berbicara tentang elemen-elemen yang membentuk
wilayah kepada Ahlulbait as., terlebih dahulu kita harus
menerangkan arti harfiah wala’ sebagaimana mestinya dalam
literatur kontemporer. Hal itu penting sekali dan tidak
mudah. Literatur sosial kontemporer kita sekarang tidak
sanggup menjangkau arti kata ini,. Maka dari itu, kita tidak
menemukan hubungan erat antar manusia selain wala’
dalam dua dimensi sekaligus, yaitu hubungan secara
vertikal dan secara horisontal dalam kepemimpinan politik,
hukum, peradaban, ketaatan, pengikutan dan … Hubungan
wilayah adalah hubungan khas di tengah umat manusia
secara vertikal dan horisontal:
Wilayah secara vertikal adalah hubungan antara umat
dengan Allah swt., Rasulullah dan wali amr atau pemimpin
Islam. Hubungan ini akan mengejewantah dalam ketaatan,
cinta, pembelaan, nasihat, pengikutan dan … Semua itu berarti
apabila kita memandang wilayah vertikal ini dari bawah
ke atas. Allah berfirman:
“Taatilah Allah dan taatilah Raslulullah dan wali amr
kalian”.
Sementara, jika kita mengamati wilayah vertikal ini dari atas
ke bawah. yang tampak adalah kekuasaan, pemerintahan
dan perlindungan. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya wali dan pemimpin kalian adalah Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat
dan memberi zakat saat mereka rukuk”.
Inilah arti singkat dari wilayah vertikal yang dipandang dari
dua arah atas dan bawah. Yang dimaksud dari arah ke atas
adalah hubungan umat dengan pemimpin-pemimpinnya.
Sedangkan maksud dari arah ke bawah adalah hubungan
para pemimpin Islam dengan umatnya. Dengan demikian,
hubungan wilayah di satu sisi adalah kepemimpinan, dan di
sisi lain adalah kepatuhan.
Adapun wilayah secara horisontal adalah hubungan
yang mengikat manusia antara satu sama yang lain dalam kehidupan sosial mereka. Al-Qur’an mengungkapkan hal ini
dalam kalimat yang singkat, padat dan teliti:
﴿ اِمنََّا المؤُمِنُونَ اِخوَة ﴾
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah saudara”.
Imam Hasan Askari as. menerangkan ayat ini kepada penduduk
kota Abah dan Qom dalam sebuah kalimat yang juga
singkat: “Seorang mukmin adalah saudara seibu dan seayah orang
mukmin yang lain”.
Ini merupakan jalinan istimewa yang tidak kita dapatkan
padanannya di tengah umat, agama dan syariat yang
lain.
Diriwayatkan dari Rasulullah saw. bersabda: “Orangorang
mukmin adalah saudara yang berdarah sama. Mereka
adalah tangan bagi yang lain, yang-di-atas berusaha untuk
menanggung mereka yang-di-bawahnya”
.
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Mukmin adalah
saudara mukmin lainnya. Mereka seperti satu tubuh; apabila
salah satu anggotanya mengadu, maka dia akan merasakan
derita itu pada seluruh anggota tubuhnya yang lain”
.
Beliau mewasiatkan orang-orang berimana seraya
berkata: “Hendaknya kalian saling bersilaturrahmi, saling
berbakti dan saling menyayangi, jadilah kalian saudara yang
rukun sebagaimana Allah swt. perintahkan pada kalian”
.
Inilah penjelasan tentang wilayah secara horisontal. Dan
berulang kali disebutkan bahwa kita tidak menemukan ikatan sosial di tengah kehidupan manusia yang lebih kuat
dan kokoh dari pada ikatan wilayah.
Uraian di atas menjelaskan bahwa ikatan wilayah merupakan
ikatan organik pada satu bangunan keluarga yang
kokoh bertautan seperti benteng yang kuat, sebagaimana
disinyalir al-Qur’an dengan ibarat bunyanun marshush. Dan
hubungan antara individu-individunya seperti hubungan
yang terjalin antarorgan tubuh. Dan tentunya, hubungan ini
jauh lebih kuat daripada hubungan antaranggota keluarga
biasa.
Dengan demikian, wilayah adalah struktur yang khas
dalam sebuah hubungan umat manusia yang merupakan
ikatan organik bagi seseorang dengan sebuah keluarga atau
anggota dengan satu tubuh.
Pilar-pilar wilayah secara horisontal adalah gotong
royong, silaturahmi, nasihat, kebajikan, persaudaraan, kemurahan,
kasih sayang, bantuan, solidaritas, penyempurnaan
dan … Adapun pilar-pilar wilayah secara vertikal
adalah ketaatan, kepatuhan, kepasrahan, cinta, pembelaan,
pengikutan, komitmen, peneladanan, keakraban, cinta pada
mereka dan pada wali-wali mereka, benci dan perlawanan
terhadap musuh-musuh mereka, dan lain sebagainya.
Tersisa satu poin yang penting untuk disampaikan di
akhir pembahasan tentang ikatan organik ini, bahwa
wilayah atau pengikutan kepada Ahlulbait as. dan baro’ah
atau pelepasan diri dan perlawanan terhadap musuh-musuh
mereka bukan merupakan kasus sejarah yang sama sekali
terputus hubungan dari kehidupan politik dan peradaban
kita sekarang. Jelas wilayah yang dilukiskan oleh Imam
Ja’far Ash-Shadiq as.—begitu besar dalam ucapannya: “Di
Hari Kiamat nanti, tidak ada panggilan yang lebih penting
daripada panggilan mengenai wilayah”, tidak mungkin sebatas kepercayaan yang sama sekali terputus dari realitas
dan gerakan politik yang kita jalani sekarang.
Wilayah adalah ketaatan, cinta, keanggotaan, perlawanan
terhadap musuh, damai, perang, dan penentuan sikap
sosial politik kontemporer di bawah naungan pemimpin
penerus yang sah. Maka selama wilayah dan baro’ah tersebut
tidak berbasis pada kepercayaan akan sebuah gerakan,
tindakan, sikap politik damai atau perang yang menjadi
ketentuan wilayah lanjutan atau pengganti yang sah untuk
masa sekarang niscaya wilayah dan baro’ah tersebut tidak
memiliki nilai yang besar seperti apa yang kita simak dalam
teks-teks riwayat dari Ahlulbait as.
Berikut ini kita akan membicarakan elemen-elemen lain
wilayah secara ringkas yang kita tarik dari teks doa ziarah
Ahlulbait as., karena sungguh doa-doa yang diriwayatkan
dari mereka penuh dengan konsep dan elemen wilayah.
Baro’ah
Wajah lain dari wilayah adalah baro’ah itu sendiri. Wilayah
dan baro’ah merupakan dua wajah dari satu permasalahan
yaitu keterikatan dan keanggotaan pada Ahlulbait as. Bedanya
baro’ah adalah wajah dan dimensi yang lebih berat
dalam keanggotaan tersebut. Wilayah tanpa baro’ah adalah
wilayah yang kurang dan buta.
Ada seorang lelaki mendatangi Amirul Mukminin Ali
as. seraya berkata kepada beliau: “Sungguh aku mencintaimu
juga mencintai musuh-musuhmu”. (Inilah yang kami
maksud dari wilayah yang kurang dan buta).
Amirul Mukminin Ali as. menukas: “Namun sampai ini
kamu masih juling dan bermata satu (pandangan orang
bermata satu adalah pandangan yang setengah dan kurang).
Berikutnya, tidak ada kecuali dua pilihan bagimu yaitu buta
(maka di samping kehilangan wilayah dia juga kehilangan baro’ah) atau melihat (yakni berwilayah kepada Ahlulbait
as. sekaligus menentang musuh-musuh mereka)”.
Dalam ziarah Jami’ah disebutkan: “Aku bersaksi kepada
Allah dan bersaksi kepada kalian (Ahlulbait as.), sesungguhnya
aku beriman pada kalian dan pada apa yang kalian
imani, aku menolak musuh kalian dan apa yang kalian
kafirkan. Aku sadar akan perkara dan kedudukan kalian
dan mawas akan kesesatan mereka yag menentang kalian.
Aku berwilayah dan mendukung kalian serta wali-wali
kalian, aku benci dan melawan musuh-musuh kalian”.
Ziarah Asyura terhitung sebagai ziarah yang paling
banyak menyatakan penolakan dan perlawanan terhadap
musuh-musuh Allah swt., seperti penggalan berikut ini:
“Semoga Allah melaknat umat yang membunuh kalian
(Ahlulbait as.), semoga Allah mengutuk orang-orang yang
membuka jalan bagi mereka dengan cara pengerahan massa
untuk memerangi kalian, aku berlindung dari mereka di
bawah naungan Allah dan kalian, sungguh aku berlindung
dari mereka, dari pengikut dan wali-wali mereka serta siapa
saja yang ikut bersama mereka”.
Teks di atas menyatakan baro’ah bukan hanya terhadap
musuh-musuh Allah, melainkan juga penolakan terhadap
sekutu dan pengikut musuh-musuh Allah serta siapa saja
yang setuju dengan perbuatan mereka. Maka sebagaimana
kita mendekatkan diri pada Allah melalui wilayah, pengikutan
dan cinta terhadap wali-wali Allah, kita juga mendekatkan
diri pada-Nya dan pada wali-Nya melalui perlawanan
terhadap musuh-musuh Allah beserta pengikut mereka.
Disebutkan juga dalam ziarah Asyura sebagai berikut:
“Sesungguhnya aku mendekatkan diri pada Allah dan pada
Rasul-Nya … dengan berwilayah pada kalian, juga dengan
penolakan terhadap mereka yang memerangi kalian, menabuh
genderang pertempuran melawan kalian, dan dengan penolakan terhadap siapa saja yang menyediakan basis
perlawanan serta menyusun barisan penentang kalian”.
Ikatan Imbal Balik Tauhid dalam Kerangka Wilayah
Pada hakikatnya, wilayah masuk kategori tauhid, sebagaimana
berulang kali kita ingatkan sebelum ini. Dan sebetulnya,
nilai wilayah dalam Islam mengalir turun dari
tauhid dan merupakan perpanjangan dari pengesaan Tuhan
itu sendiri. Oleh karena itu, tiada wilayah bagi selain Allah
kecuali dengan seijin dan perintah-Nya. Allah berfirman:
﴿ اَللهُ وَلُِِّ المذِينَ آمَنُوا ﴾
“Allah adalah wali orang-orang yang beriman”.
Adapun wilayah Rasulullah saw. dan para imam atau wali
amr adalah wajib di bawah wilayah Allah dan atas dasar
perintah-Nya. Maka, barang siapa yang berwilayah pada
Allah dalam artian hanya Dia pemimpin jagat raya, maka
dia juga harus menerima wilayah Rasulullah saw. dan para
imam as. setelahnya. Tidak bisa dipisahkan atara wilayah
Rasulullah saw. dengan wilayah Allah, begitu pula tidak
mungkin dipisahkan antara wilayah Ahlulbait as. dan wilayah
Rasulullah saw. Allah berfirman:
﴿ إمنََّا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ المذِينَ آمَنُوا المذِينَ يُقِيمُونَ ال م صلََةَ وَ يُؤتُونَ المزكَاةَ
وَ هُم رَاكِعُونَ ﴾
“Sesungguhnya wali kalian adalah Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang beriman yang menegakkan shalat dan
memberi zakat ketika rukuk”.
Hadis-hadis yang mengatakan ayat ini turun mengenai Ali
bin Abi Thalib as. mencapai tingkat mustafidh.
Hadis-hadis
itu menegas bahwa yang dimaksud oleh al-Qur’an sebagai
orang yang menegakkan shalat dan memberi zakat dalam
keadaan rukuk adalah Ali bin Abi Thalib as.
Dalam ayat itu Allah menegaskan wilayah adalah milik
Dia dan Rasul-Nya serta orang beriman yang menegakkan
shalat dan memberi zakat dalam keadaan rukuk. Mereka
adalah wali amr ‘imam segenap Muslimin’.
Hanya saja, wilayah Rasulullah saw. dan Ahlulbaitnya
hanyalah sebagai lanjutan dari wilayah Allah swt. dan tidak
sejajar, sebagaimana ketaatan kepada Rasulullah dan para
wali amr setelahnya merupakan kelanjutan dari ketaatan
kepada Allah.
Inilah wilayah dan ketaatan. Hal yang sama juga berlaku
dalam cinta. Diriwayatkan dari Rasulullah saw. bersabda:
“Cintailah Allah yang telah memberi nikmat pada
kalian, cintailah aku karena cinta Allah dan cintailah Ahlulbaitku
karena cinta padaku”
.
Rasulullah saw. juga bersabda: “Cintailah Allah yang
telah memberi nikmat pada kalian, dan cintailah aku karena
kalian mencintai Allah, dan cintailah Ahlulbaitku karena
kalian mencintaiku”
.
Jadi, barang siapa yang berwilayah pada Allah maka dia
juga harus berwilayah pada Rasulullah dan keluarganya.
Dan barang siapa yang mentaati Allah maka dia juga harus
mentaati mereka. Dan barang siapa yang mencintai Allah
maka dia juga harus mencintai mereka.
Ini salah satu sisi keseimbangan tauhid. Adapun sisi
lainnya menyatakan adalah barang siapa yang berwilayah
kepada mereka berarti dia berwilayah kepada Allah, dan
barang siapa mentaati mereka maka dia mentaati Allah, dan
barang siapa yang mencintai mereka maka dia mencintai
Allah Dengan demikian sempurnalah keseimbangan tauhid
tersebut dalam jalinan wilayah dari dua belah pihak.
Coba renungkan teks-teks berikut ini yang menunjukkan
kedua sisi keseimbangan tauhid tersebut:
Dalam ziarah Jami’ah disebutkan: “Barang siapa yang
berwilayah kepada kalian maka dia telah berwilayah kepada
Allah, dan barang siapa yang memusuhi kalian maka dia
telah memusuhi Allah”.
Disebutkan juga di dalamnya: “Barangsiapa yang mentaati
kalian maka dia telah mentaati Allah dan barangsiapa
yang membangkang pada kalian maka dia telah bermaksiat
pada Allah”.
Disebutkan pula di sana: “Barang siapa yang mencintai
kalian maka dia telah mencintai Allah, dan barang siapa
membenci kalian maka dia telah membenci Allah”. Dan kita
semua seyogyanya mendekatkan diri pada Allah swt. melalui
wilayah dan dukungan kita terhadap Rasulullah serta
Ahlulbaitnya serta menolak musuh-musuh mereka.
Disebutkan dalam ziarah Asyura sebagai berikut: “Sesungguhnya
aku mendekatkan diri kepada Allah dengan
berwilayah kepadamu (wahai Imam Husain as.), begitu pula
dengan menentang orang-orang yang membunuhmu dan
menyulut api peperangan melawanmu”.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah
saw. bersabda: “Barang siapa mentaatiku, dia telah mentaati
Allah, dan barang siapa bermaksiat padaku, dia telah bermaksiat
pada Allah, dan barang siapa bermaksiat pada Ali
dia telah bermaksiat padaku”.
Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah kejadian; ketika itu
Rasulullah saw. melihat Ali as. seraya bersabda: “Wahai Ali,
aku adalah tuan di dunia dan di akhirat, kekasihmu adalah
kekasihku, dan kekasihku adalah kekasih Allah, musuhmu
adalah musuhku dan musuhku adalah musuh Allah”.
Satu poin yang amat penting dari konsep wilayah dan
baro’ah dalam Islam terletak pada kecermatan kita akan
ikatan tauhid yang berbasis pada wilayah Allah dan wilayah
wali amr (Ahlulbait as). Kita harus mengerti keseimbangan
tauhid yang membaur-utuh antara dua wilayah ini. Dan
wilayah hakiki dalam Islam harus tumbuh sebagai konsekuensi
dari wilayah Allah, dan selain itu hanyalah wilayah
yang batil. Begitu pula ketaatan dan cinta yang sebenarnya,
menurut Islam, harus digenggam sebagai konsekuensi dari
ketaatan dan cinta pada Allah. Maka selain itu sama sekali
tidak berarti menurut tolok ukur dan timbangan Allah swt.
Atas dasar ini, Ahlulbait as. adalah rambu-rambu petunjuk
menuju Allah. Mereka adalah pemimpin sesuai dengan perintah-Nya. Mereka memasrahkan segala urusan kepada
Allah dan orang yang memberi hidayah menuju Allah swt.
Ini dari satu sisi. Adapun di sisi lain, orang yang menghendaki
Allah, jalan, keridhaan, hukum dan batas-batas-
Nya, dia harus menapaki jalan mereka dan menyerap ajaran
mereka.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita perhatikan dua sisi
keseimbangan tauhid ini dalam teks-teks berikut:
Disebutkan dalam ziarah Jami’ah: “Kepada Allah kalian
mengajak, kepada-Nya kalian menunjukkan, kepada-Nya
kalian beriman, untuk Dia kamu pasrahkan, sesuai perintah-
Nya kalian beramal, kepada jalan-Nya kalian arahkan, dan
dengan firman-Nya kalian menghakimi”.
Berikut ini dua sisi permasalahan dalam satu kalimat
singkat yang disinyalir juga oleh ziarah Jami’ah: “Barang
siapa menghendaki Allah, dia harus memulainya dengan
kalian, dan barang siapa yang mengesakan-Nya dia harus
menerima dari kalian, dan barang siapa yang menuju-Nya
maka dia harus memperhatikan kalian”.
Saya tekankan untuk kesekian kalinya bahwa kita tidak
akan bisa mengerti wilayah kecuali dari sudut pandang
tauhid, dan bahwa wilayah Ahlulbait as. adalah kelanjutan
dari wilayah Allah swt.. Bentuk apapun dari pemahaman
wilayah, ketaatan dan cinta pada Ahlulbait as. yang tidak
bersaambung dengan wilayah Allah, maka itu bertentangan
dengan ucapan dan ajaran Ahlulbait itu sendiri.
Salam dan Nasihat
Dua aspek berikutnya dari wilayah adalah salam dan nasihat
dalam kaitannya dengan wali amr atau para imam.
Salam adalah sisi negatif dari hubungan ini, sedangkan
nasihat adalah sisi positif jalinan bersama pemimpin Islam.
Berikut ini penjelasannya:
Salam
Arti salam kepada wali amr ‘para imam as.’ yaitu hendaknya
kita tidak membiarkan mereka sendiri dalam kesulitan dan
bahaya, hendaknya kita tidak melawan, tidak berontak atau
berdurhaka kepada mereka, tidak mengusir mereka, tidak
menentang mereka dalam urusan apa pun, tidak memihak
pada yang lain dalam mengambil keputusan, tidak menghinakan
mereka, tidak mengharapkan keburukan menimpa
mereka, tidak merusak kehormatan mereka baik saat hadir
ataupun gaib, tidak berbuat makar dan tipu daya terhadap
mereka, tidak berjalan bersama musuh-musuh mereka, tidak
memperdaya mereka, tidak merekayasa mereka, tidak
melangkahi mereka, tidak menelantarkan mereka, tidak menyerahkan
mereka kepada musuh, tidak menzalimi mereka,
tidak berkedok di hadapan mereka dan lain sebagainya.
Itu aspek peniadaan dari hubungan dan pergaulan
dengan Ahlulbait as. sebagai wali amr dan pemimpin Islam.
Salam kepada wali amr as. memanjang dari salam dalam
hubungan kita dengan Allah swt. Dan seperti halnya elemen
lain, salam juga masuk dalam kategori tauhid, karena
salam kepada wali-wali amr as. adalah juga salam kepada
Allah, dan sungguh Allah telah memerintahkan kita untuk
menyikapi-Nya dengan salam dan damai serta hendaknya
kita tidak masuk ke lingkungan musuh-Nya atau orang
yang memihak kepada selain-Nya. Allah swt. berfirman:
﴿يََ أيُّ هَا المذِينَ آمَنُوا ادخُلُوا فِِ ال سلمِ كَافمةً وَ لَا تَ تمبِعُوا خُطُوَاتِ ال م شيطَان﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah dalam
kedamaian dan Islam secara utuh, dan janganlah kalian
mengikuti langkah-langkah setan”.
Silm ‘salam’ yang dianjurkan oleh Allah dalam ayat di atas
adalah salam itu sendiri dalam hubungan kita dengan-Nya.
Dan lawan dari salam dalam berhubungan dengan Allah
adalah memerangi, memihak pada yang lain dan menentang-
Nya. Allah berfirman:
﴿ فَإن لََ تَفعَلُوا ف أذَنُوا بَِِربٍ مِنَ اللهِ وَ رَسُولِهِ ﴾ََ
“Apabila kalian tidak melakukannya, maka ijinkan peperangan
Allah dan Rasul-Nya”.
﴿ اِمنََّا جَزَاءُ المذِينَ يََُارِبُونَ اللهَ وَ رَسُولَهُ وَيَسعَونَ فِِ الاَرضِ فَسَادًا أن
يُقتَلُوا
...﴾َ
“Sesungguhnya balasan orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan berusaha menebarkan kerusakan
di muka bumi ialah dibunuh dan diperangi …”.
﴿ وَ ذلِكَ بَِنم هُم شَاقُّوا اللهَ وَ رَسُولَهُ وَ مَن يُشَاقِقِ اللهَ وَ رَسُولَهُ فَإ م ن اللهَ شَدِيدُ
العِقَاب ﴾
“Hal itu karena mereka telah memihak pada selain Allah
dan Rasul-Nya, dan barang siapa memihak pada yang
lain dan menentang Allah dan Rasul-Nya, maka Allah
sungguh keras dalam siksa-Nya”.
﴿ اَلََ تَعلَمُوا أنمهُ مَن يََُادِدِ اللهَ وَ رَسُولَهُ فَإ م ن لَهُ نَا رَ جَهَنممَ خَالِدًا فِيهَا ذلِكَ هُوَ
الخِزيُ العَظِيمُ ﴾
“Tidakkah kalian tahu bahwa orang yang menentang
keras Allah dan Rasul-Nya akan masuk neraka jahanam
selama-lamanya dan itu kehinaan yang sangat besar”.
Maksud dari kata muhadadah dalam ayat ini adalah sikap
seseorang yang berpihak pada selain garis dan batas yang
ditentukan Allah swt.
Demikian arti salam kita kepada Allah swt. Adapun
salam antara kita dan pemimpin-pemimpin Islam atau wali
amr as. adalah kepanjangan dari salam kita kepada Allah
dan bagian dari prinsip tauhid.
Secara umum, semua elemen wilayah kepada Ahlulbait
as. sebagai pemimpin Islam berpijak pada asas tauhid; pengesaan
Allah dan menolak wujud sesuatu yang independen
dari ijin dan perintah Allah swt.
Salam kepada wali amr atau pemimpin Islam (yaitu
Rasulullah dan Ahlulbaitnya), sebagaimana termuat dalam
teks-teks ziarah, bukan dari kategori sapa dan pesan, tetapi
dari kategori sikap, pergaulan dan hubungan.
Kedalaman arti dari salam kepada mereka yaitu hendaknya
kita tidak mengusik mereka dengan tingkah laku yang
buruk, karena sesungguhnya mereka hadir dalam tindakan
kita sebagaimana ditegaskan oleh surah al-Qadr dan hadis.
Oleh karena itu, perilaku buruk, maksiat dan dosa pengikut
Rasulullah saw. dan Ahlulbait as. akan mengganggu mereka
sebagaimana mengganggu dua malaikat pencatat amal.
Sebaliknya, perbuatan saleh akan menyenangkan mereka.
Kiranya cukup sampai di sini saja perbincangan kita
seputar salam kepada wali amr dan tidak perlu diperpanjang
lebih dari ini.
Ziarah-ziarah para iamam maksum penuh dengan salam
dan pengulangan salam kepada mereka, seperti dalam
ziarah Jami’ah Kedua yang tidak begitu populer, yaitu
ziarah Jami’ah yang diriwayatkan oleh Syaikh Shaduq dari
Imam Ali Ridha as. dalam kitab Man La Yahdluruhul Faqih,
terdapat sekelompok salam kepada mereka. Berikut ini kami
akan menyebutkan sebagian salam-salam itu sebagai bukti:
“Salam kepada wali-wali Allah dan pilihan-pilihan-Nya,
salam kepada orang-orang terpercaya Allah dan kekasihkekasih-
Nya, salam kepada penolong-penolong Allah dan
para khalifah-Nya (khalifah artinya pemimpin yang dilantik
Allah untuk mengatur urusan umat manusia, bukan khalifah
yang dicatat dalam sejarah pasca wafat Rasul), salam
kepada ruang-ruang makrifat Allah, salam kepada rumahrumah
zikir Allah, salam kepada pemenang perintah Allah
dan larangan-Nya, salam kepada penuntun-penuntun yang
mengajak kepada Allah, salam kepada mereka yang
bersemayam dalam keridhaan Allah, salam kepada mereka
yang ikhlas dalam ketaatan Allah, salam kepada petunjukpetunjuk
Allah, salam kepada mereka yang barang siapa
berwilayah kepada mereka niscaya Allah berwilayah kepadanya
dan mencintainya, salam kepada mereka yang
barang siapa memusuhi mereka Allah akan memusuhinya,
salam kepada mereka yang barang siapa yakin pada mereka
niscaya telah yakin pada Allah, salam kepada mereka yang
barang siapa bodoh akan mereka ia telah bodoh akan Allah,
salam kepada mereka yang barang siapa berpegang teguh
pada mereka dia telah berpegang teguh pada Allah, dan
salam kepada mereka yang barang siapa menyempal dari
mereka dia telah menyempal dari Allah”.
Nasihat
Nasihat adalah aspek positif dari hubungan manusia dengan
wali amr ‘pemimpin Islam’ as. Nasihat pada mereka
juga masuk kategori tauhid, dan merupakan kepanjangan
dari nasihat untuk Allah dan Rasul-Nya. Nasihat adalah
salah satu dari tiga perkara politik yang diumumkan oleh
Rasulullah di masjid Khif, di Mina, kepada mayoritas Muslimin
yang hadir di tahun Haji Wada’ atau Haji Perpisahan.
Syaikh Shaduq meriwayatkan dalam kitab Khisal dari
Imam Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Rasulullah saw. Berpidato
pada Haji Wada’ di Mina tepatnya di masjid Khif.
Beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda:
‘Semoga Allah menyegarkan dan peduli pada hamba-Nya
yang mendengar sabdaku kemudian menyadarinya, lalu
menyampaikan sabdaku ini pada orang yang belum mendengarnya.
Dan betapa banyak pembawa ilmu agama atau
fiqih yang tidak alim dan faqih, dan betapa banyak pembawa
ilmu agama kepada orang yang lebih alim dan faqih
daripada dirinya. Ada tiga perkara yang tidak akan menimbulkan
dengki pada hati seorang Muslim: pertama, ikhlas
dalam beramal hanya demi Allah. Kedua, nasihat terhadap
pemimpin-pemimpin Muslimin. Ketiga, komitmen terhadap
masyarakat Islam. Sesungguhnya dakwah dan doa mereka
mencakup masyarakat Muslim yang lain. Dan orang-orang
Muslim adalah saudara yang berdarah sama, orang yang
unggul berupaya untuk menanggung orang yang di bawahnya,
dan mereka adalah tangan bagi yang lain’”.
Nasihat untuk wali amr dan pemimpin Muslimin as.
yaitu seorang Muslim harus menjadi pembela dan mata bagi
mereka mengajukan aspirasi dan konsultasi yang tulus kepada
mereka, melindungi mereka, memaparkan problem,
kegelisahan dan penderitaan Muslimin pada mereka, dan
inilah sisi positif yang dimaksudkan.
Figur Keteladanan
Salah satu elemen wilayah kepada Ahlulbait as. adalah
peneladanan pada mereka. Allah swt. telah menjadikan
Nabi Ibrahim as. sampai Rasulullah saw. sebagai teladan
yang unggul bagi umat manusia. Mereka harus mengikuti figur-figur teladan tersebut dan mengukur diri dengan
keutamaan mereka. Allah berfirman:
﴿ قَد كَانَت لَكُم اُسوَةٌ حَسَنَةٌ فِِ اِبرَاهِيمَ وَ المذِينَ مَعَه ﴾
“Sungguh terdapat teladan yang baik bagi kalian pada
diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya”.
﴿ لَقَد كَانَ لَكُم فِِ رَسُولِ اللهِ اُسوَةٌ حَسَنَة ﴾
“Sungguh, sungguh dan sungguh terdapat teladan yang
baik bagi kalian pada diri Rasulullah”.
Adapun setelah Rasulullah saw., teladan baik yang harus
kita panuti dalam hidup ini adalah Ahlulbait sebagai
pengganti beliau, baik dalam hubungan kita bersama
keluarga maupun hubungan kita dengan diri kita sendiri.
Tentunya, awal dari semua hubungan ini adalah hubungan
kita dengan Allah swt.
Peneladanan bukan pelajaran. Di samping sebagai guru
kita, Ahlulbait as. juga teladan kita. Mereka adalah guru
yang kita serap anjuran dan ajaran mereka, teladan yang
kita tapaki bekas-bekas langkah mereka, kita jalani jalur
mereka, kita ikuti aliran mereka dalam kehidupan, dan kita
hidup sebagaimana mereka hidup serta bergaul bersama
masyarakat dan keluarga sebagaimana mereka bergaul.
Imam-imam Ahlulbait as. adalah maksum atau suci dari
dosa dan kesalahan. Artinya, mereka adalah model yang
sempurna bagi kemanusiaan. Allah telah menjadikan mereka
sebagai tolok ukur dan timbangan yang harus kita
gunakan untuk mengukur diri kita dengan mereka. Maka,
apa yang sesuai dengan mereka dalam praktek, ucapan, diam, gerak perilak serta sikap kita adalah kebenaran. Dan
sebaliknya, segala hal yang bertentangan dengan mereka
adalah kesalahan, entah itu karena berlebihan atau kekurangan.
Hakikat ini juga termuat dalam ziarah Jami’ah:
“Orang yang tertinggal dari kalian adalah celaka, dan orang
yang melampaui kalian adalah binasa, sedangkan orang
yang bersama kalian adalah ikut bergabung”.
Marilah kita membaca sejarah dan tradisi Ahlulbait as.
untuk menyesuaikan perilaku kita dengan mereka. Amirul
Mukminin as. sering berkata: “Sadarlah bahwa kalian tidak
akan mampu untuk itu, tapi bantulah aku dengan warak
dan kesungguhan”.
Ziarah Jami’ah menyifati Ahlulbait as. dengan matsal a’la
atau model tertinggi, yaitu standar yang benar bagi umat
manusia untuk mengukur dirinya dengan mereka sebisa
mungkin untuk berjalan bersama mereka.
Ahlulbait as. mewarisi hal-hal berharga dari Nabi Ibrahim
dan Rasulullah saw., seperti akhlak, penyembahan,
ikhlas, ketaatan dan takwa. Dengan demikian, orang yang
ingin mendapatkan petunjuk para nabi dan mengikuti jalan
mereka, dia bisa mendapatkannya dengan mengikuti petunjuk
Ahlulbait as. dan meneladani mereka. Ziarah Jami’ah
membawakan sebuah doa yang berbunyi: “Semoga Allah
menggolongkanku bersama orang yang mengikuti jejak
mereka, menempuh jalur mereka, dan mengambil petunjuk
hidayah mereka”.
Sedih dan Gembira
Sedih dan gembira adalah kondisi kejiwaan dalam berwilayah
dan merupakan tanda-tanda cinta. Orang yang mencintai
seseorang secara alami akan sedih karena kesedihan
kekasihnya, dan gembira karena kegembiraannya. Imam
Ja’far Ash-Shadiq as. berkata: “Syi’ah kami adalah dari kami, apa-apa yang menyakitkan kami akan menyakitkan
mereka dan apa-apa yang menggembirakan kami juga akan
menggembirakan mereka”.
Ada sebuah riwayat sahih dari Rayyan bin Syabib,
paman Mu’tasim Abbasi dari ibunya; dia meriwayatkan dari
Imam Ali Ar-Ridha as. yang berkata: “Wahai putera Syabib,
apabila kamu ingin bersama kami pada derajat-derajat
tertinggi di surga maka bersedihlah karena kesedihan kami,
dan bergembiralah karena kegembiraan kami, dan hendaknya
kamu berwilayah kepada kami dan mencintai kami,
karena sesungguhnya seseorang mencintai batu sekalipun,
niscaya Allah akan mengumpulkannya bersama batu itu di
Hari Kiamat nanti”.
Masma’ meriwayatkan: “Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-
Shadiq as. berkata kepadaku: ‘Wahai Masma’ kamu adalah
orang Irak, apakah kamu mendatangi kuburan Husain bin
Ali?’ Aku menjawab: “Tidak, aku dikenal dari kota Basrah
dan di tengah kita ada orang-orang yang menuruti keinginan
khalifah sekarang, musuh-musuh kita banyak dari
berbagai kabilah; mulai dari mereka yang mencaci maki
keluarga Nabi sampai yang lain. Aku tidak aman dari
mereka yang kapan saja melaporkan keadaanku ini pada
putera Sulaiman sehingga mereka pun mengejarku”.
“Maka beliau berkata kepadaku: “Apakah kamu ingat
apa yang telah diperbuat terhadap Husain bin Ali?”
“Iya”, jawabku pendek.
Beliau berkata lagi: “Apakah kamu sedih?”
Aku menjawab: “Demi Allah iya, aku menangis karenanya
sehingga keluargaku melihat bekas tangisan itu pada diriku sampai-sampai aku meninggalkan makan sehingga
tanpak kelesuan pada wajahku”.
“Imam as. berkata: ‘Semoga Allah merahmati tetesan air
matamu! Sungguh kamu dari orang-orang yang gelisah
karena kami, gembira karena kami gembira, sedih karena
kami sedih, takut karena kami takut, aman karena kami
aman. Sungguh kamu akan menyaksikan kehadiran ayahayahku
untukmu, mereka mewasiatkan pada malaikat maut
untukmu, dan apa yang mereka kabarkan baik kepadamu
akan menjadi cendra matamu sebelum mati, malaikat maut
akan lebih lembut dan sayang padamu daripada seorang ibu
yang sayang pada anaknya’”.
Aban bin Taghlib meriwayatkan dari Imam Ja’far Ash-
Shadiq as.: “Nafas orang yang sedih karena ketertindasan
kami adalah tasbih, kegelisahan karena kami adalah ibadah,
dan menjaga rahasia kami adalah jihad fi sabilillah”.
Kita adalah bagian dari keluarga ini; kita beranggota
bersama mereka dalam keyakinan, asas-asas agama, cinta,
kebencian, wilayah dan baro’ah. Tanda kecintaan dan wilayah
itu adalah kesedihan kita atas kesedihan mereka dan
kegembiraan kita atas kegembiraan mereka.
Hanya pertanyaan yang muncul di sini: kenapa kita
menampakkan kesedihan dan kegembiraan kita serta mengeluarkannya
dari kondisi subjektif menjadi slogan dan
syiar yang kita tunjukkan di ruang sosial di hadapan kawan
dan lawan? Dan kenapa hadis-hadis Ahlulbait menekankan
agar kita menampakkan kesedihan dan tangisan itu, khususnya
dalam menangisi kesyahidan Imam Husain as.?
Bakar bin Muhammad Azdi meriwayatkan: “Berkata
Abu Abdillah Imam Ja’far Ash-Shadiq as. kepada Fudlail:
“Apakah kalian duduk (membuat majlis) dan membicarakan?”
Dia menjawab: “Iya, semoga aku menjadi tebusan
untukmu!”
Beliau berkata: “Sungguh aku mencintai majlis-majlis
itu. Maka hidupkanlah urusan kami, dan semoga Allah
merahmati orang yang menghidupkan urusan kami!”
Motif penampakkan dan penyi’aran itu dalam rangka
menyatakan identitas iman kita; yaitu keanggotaan kita
dalam peradaban, politik dan kultur Ahlulbait as. Penampakkan
seperti inilah yang telah mampu menjaga kita
sepanjang abad, dan melindungi kita dari gelombang peradaban
serta politik zalim musuh-musuh sampai detik ini.
Kebersamaan dan Keikutsertaan
Mungkin kata kebersamaan merupakan ungkapan terindah
tentang keanggotaan dalam mazhab Ahlulbait as. Kebersamaan
dalam suka dan duka, kesulitan dan kemudahan,
kedamaian dan peperangan. Kata-kata ini juga dimuat oleh
ziarah Jami’ah dengan alunan syahdu yang menggairahkan
seakan lirik-lirik dari lagu wilayah:
مَعَكُ ن م مَعَكُ ن م لَا مَعَ عَدُ وِكُ ن م
“Bersama kalian, bersama kalian tidak bersama musuh
kalian”.
Di doa ziarah yang lain disebutkan:
لَا مَعَ غَنيرِكُ ن م
“Tidaklah bersama selain kalian”.
Kalimat ini lebih luas daripada kalimat pertama itu, yakni
“Tidak bersama musuh kalian”.
Kesertaan Kultural
Kesertaan dan pengikutan adalah konsep yang luas dalam
berwilayah; mencakup ikut serta dalam perang dan damai,
ikut serta dalam cinta dan benci, ikut serta dalam pemikiran,
budaya, makrifat dan hukum.
Kita bebas mengambil pengetahuan dari mana saja kita
temukan, baik dari timur maupun dari barat. Akan tetapi,
tidak dibenarkan kita mengambil peradaban dan makrifat
kecuali dari sumber wahyu. Nah, Ahlulbait as. menyerap
jernihnya makrifat dan peradaban dari sumber wahyu
tersebut. Mereka adalah rumah kenabian, wadah kerasulan,
tempat kunjung malaikat, alamat turunnya wahyu dan
penyimpan ilmu sebagaimana disebutkan juga dalam ziarah
Jami’ah.
Berbeda antara pengetahuan dan peradaban. Pengetahuan
tidak memiliki hasil yang secara langsung berhubungan
dengan perilaku manusia, kepercayaan atau akidah,
metode berpikir, cara beribadah, relasi, pergaulan, gerakan,
aksi sosial, aktivitas politik dan komunikasi serta hal-hal
lain yang berkaitan. Adapun peradaban dan budaya
memiliki hasil yang secara langsung berhubungan dengan
perilaku manusia, intelektualitas, gaya hidup dan pergaulan,
ibadah, dan gambarannya tentang Allah, jagat raya
serta manusia … dan seterusnya.
Ilmu pengetahuan banyak sekali seperti kedokteran,
bisnis, ekonomi, akuntansi, matematika, teknik arsitektur,
elektronika, ilmu atom, bedah, kedokteran, fisiologi, mekanik,
fisika dan lain sebagainya. Manusia bebas mengambil
pengetahuan dari sumber ilmu manapun yang dia dapatkan.
Bahkan dari orang kafir sekalipun, dia bebas mempelajari
ilmu pengetahuan, karena ilmu adalah senjata dan
kekuatan. Dan seyogyanya orang mukmin menerima senjata
dan kekuatan itu dari musuh mereka juga.
Adapun peradaban adalah seperti etika, irfan, filsafat,
akidah, fikih atau hukum, doa, pendidikan, pembersihan,
tradisi pergaulan, gaya hidup sosial, perjalanan spiritual,
adab dan lain sebagainya.
Peradaban tidak seperti pengatahuan. Seyogyanya kita
tidak mengambil peradaban dan makrifat kecuali dari
sumber wahyu. Hal itu karena peradaban memiliki pengaruh
yang secara langsung berhubungan dengan perilaku
manusia, pemahamannya, jalan hidupnya, pengalaman
spiritualnya, hubungannya dengan Allah swt, hubungannya
dengan masyarakat, hubunganya dengan diri sendiri dan
dengan alam. Peradaban menjaga ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang tidak disertai peradaban dan budaya
yang saleh serta terarah akan berubah fungsi menjadi alat
dekonstruksi dan perusak. Sedangkan peradaban yang dewasa
dan berhidayah akan menjaga ilmu pengetahuan dan
menjadikannya sebagai sarana efektif bagi umat manusia.
Al-Qur’an adalah kitab peradaban bagi kehidupan
manusia. Allah swt. menurunkannya untuk mengarahkan
pikiran manusia dan perilakunya. Al-Qur’an bukan buku
ilmu pengetahuan, kendatipun ulama mendapatkan banyak
ilmu di sana seperti astronomi, ilmu bintang, ilmu tumbuhtumbuhan,
ilmu binatang, kedokteran, fisiologi dan lain
sebagainya. Namun, tetap saja al-Qur’an adalah kitab peradaban
dan hidayah. Salah bila kita menerimanya sebagai
buku ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh Allah swt.
untuk mengajarkan ilmu fisika, kimia dan ilmu tumbuhtumbuhan
pada manusia. Tidak lain, al-Qur’an adalah kitab
peradaban dan budaya yang diturunkan oleh Allah untuk
membina manusia bagaimana hidup, bagaimana mengenal
Tuhan, alam dan manusia, dan bagaimana menilai sesuatu,
tradisi dan pemikiran. Allah swt. berfirman:
﴿ شَهرُ رَمَضَانَ المذِي اُنزِلَ فِيهِ القُرآنَ هُدًی لِلنماسِ وَ بَ ي نَاتٍ مِنَ الهدَُی وَ
الفُرقَانَ ﴾
“Bulan Ramadhan yang padanya al-Qur’an diturunkan
sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan bukti-bukti
dari hidayah dan pemisah antara yang baik dan buruk”.
﴿ وَ اذكُرُوا نِعمَةَ اللهِ عَلَيكُم وَ مَا اُنزِلَ عَلَيكُم مِنَ الكِتَابِ وَ الِْكمَةِ
يَعِظُكُم بِهِ ﴾
“Dan ingatlah kalian pada nikmat Allah terhadap kalian,
dan apa yang telah diturunkan pada kalian berupa kitab
dan hikmah yang menasihati kalian denganya”.
﴿ هذَا بَ يَانٌ لِلنماسِ وَ هُدًی وَ مَوعِظَةً لِلمُتمقِيَْ ﴾
“Ini adalah keterangan bagi umat manusia dan petunjuk
serta nasihat bagi orang-orang yang bertakwa”.
﴿ يََ أيُّ هَا النماسُ قَد جَاءكَُم بُرهَانٌ مِن رَب كُم وَ أنزَلنَا إلَيكُم نُورًا مُبينًا ﴾
“Wahai umat manusia sungguh telah datang pada kalian
bukti dari Tuhan kalian, dan telah kami turunkan pada
kalian cahaya yang menerangi”.
﴿ وَ لَقَد جِئنَاهُم بِكِتَابٍ فَ م صلنَاهُ عَلَی عِلمٍ هُدًی وَ رَحمَةً لِقَومٍ يُؤمِنُ ونَ ﴾
“Dan sungguh telah kami datangkan pada mereka kitab
yang telah kami perinci atas dasar ilmu sebagai hidayah
dan rahmat bagi kaum yang beriman”.
﴿ هذَا بَصَائِرُ مِن رَب كُم وَ هُدًی وَ رَحمَةٌ لِقَومٍ يُؤمِنُونَ ﴾ََ
“Ini adalah saksi-saksi dari Tuhan kalian, dan hidayah
serta rahmat bagi kaum yang beriman”.
Oleh karena itu, al-Qur’an adalah kitab peradaban, cahaya
kehidupan manusia, saksi kebajikan bagi manusia, petunjuk
dan nasihat. Kendatipun dibenarkan bagi kita untuk mengambil
ilmu pengetahuan dari sumber mana saja, dan dari
tangan siapa pun walau dari tangan musuh kita sendiri.
Akan tetapi tidak dibenarkan bagi kita untuk mengambil
peradaban dan budaya kecuali dari media yang suci. Allah
menyampaikannya kepada kita dari sumber wahyu, karena
sesungguhnya kemungkinan salah dan penyimpangan dalam
peradaban adalah malapetaka yang besar, bukan seperti
ilmu pengetahuan.
Rasulullah saw. adalah sumber maksum atau suci yang
kepadanya wahyu diturunkan. Beliau menyampaikannya
kepada kita, dan wahyu itu terputus setelah wafatnya. Akan
tetapi, beliau mengangkat khalifah dari Ahlulbaitnya untuk
kita; mereka adalah padanan-padanan al-Qur’an. Mereka
telah mengambil peradaban dan makrifat dari Rasulullah
saw., mereka telah mewarisi makrifat, budaya, batas-batas
ketentuan Allah, halal dan haram, tradisi dan adab, akhlak,
pokok agama dan cabangnya dari Rasulullah saw. Beliau
melantik mereka sebagai tempat umat merujuk setelah ketiadaannya
dalam segala urusan tersebut di atas. Beliau juga
mengumumkan mereka sebagai padanan al-Qur’an dari
generasi demi generasi sampai akhirnya Allah swt.
mewariskan bumi dan seisinya pada mereka. Kandungan ini
terdapat dalam hadis yang sahih, baik menurut Ahli Sunnah
maupun Syi’ah, yaitu hadis yang dikenal dengan nama
hadis Tsaqalain (dua pusaka). Di sana Rasulullah saw. memerintahkan
umat Islam untuk kembali pada al-Qur’an dan Ahlulbaitnya setelah kepergian beliau sampai Hari Kiamat.
Beliau menetapkan bahwa berpegang teguh pada dua
pusaka itu menjamin manusia keamanan dari kesesatan dan
penyimpangan:
إ نّ تََرِكٌ فِيكُمُ الثمقَلَيِْ كِتَابَ اللهِ وَ عِتََتِِ أهلَ بَيتِِ وَ انم هُمَا لَن يَفتََِقَا حَتمی
يَرِدَا عَلَ م ي الَْوضََ ما إن تَََ م سكتُم بِِِمَا لَن تَضِلُّوا بَعدِي
“Sesungguhnya aku tinggalkan dua pusaka pada kalian,
yaitu kitab Allah dan keluargaku, Ahlulbaitku, dan
sesungguhnya dua pusaka itu tidak akan berpisah sampai
keduanya menjumpaiku di telaga. Selama berpegang
teguh pada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat
setelahku”.
Hadis ini diriwayatkan dengan redaksi-redaksi yang mirip
antara satu dengan yang lain dalam referensi-referensi yang
ada. Dan dari perbedaan literal hadis ini, kita pahami bahwa
Rasulullah saw. telah mengulangnya beberapa kali di
berbagai tempat dan kesempatan, salah satunya di Ghadir
Khum (lembah Khum) seperti yang disinyalir oleh Shahih
Muslim menurut riwayat Zaid bin Arqam.
Rasulullah saw. juga bersabda:
م
َثَلُ أهلِ بَيتِِ مَثَلُ سَفِينَةِ نُوحٍ مَن رَكِبَهَا نَََا وَ مَن تَََلمفَ عَنهَا غَرِقَ
“Perumpamaan Ahlulbaitku adalah bahtera Nabi Nuh,
barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barang
siapa tertinggal darinya akan tenggelam”.
Beliau juga bersabda:
أهلُ بَيتِِ أمَانٌ لِاُممتِِ مِنَ الَختِلََفِ
“Keluargaku adalah jaminan bagi umatku dari perselisihan”.
Begitu pula hadis-hadis lain yang secara jelas meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw. senantiasa mewasiatkan umat Islam
setelahnya agar kembali pada Ahlulbaitnya dan mengambil
ajaran-ajaran agama, makrifat, batas-batas ketentuan Allah,
sunnah nabi, halal dan haram dari mereka as. Fairuz Abadi
mengumpulkan hadis-hadis ini dalam kitabnya yang
berharga Fadlail Khamsah min Shihah Sittah (keutamaankeutaman
lima manusia dari enam kitab Shihah). Karena itu,
kita tidak perlu lagi membahasnya panjang lebar.
Dari uraian di atas, jelas sudah bahwa Ahlulbait as.
adalah ‘wadah kerasulan, tempat kunjung malaikat, alamat
turunnya wahyu, khazanah ilmu Illahi, lentera kegelapan, panji ketakwaan, pemimpin hidayah, pewaris para nabi,
bukti-bukti Allah terhadap penghuni dunia”, sebagaimana
pula termuat dalam ziarah Jami’ah.
Disebutkan juga di sana bahwa mereka adalah “tempattempat
makrifat pada Allah, tambang-tambang hikmah
Allah, pemikul kitab Allah, mereka adalah bukti, shirat,
cahaya dan burhan Allah”.
Maka, orang yang berpisah dari mereka pasti masuk
jalur kesesatan, cepat ataupun lambat, karena shirat Allah
tidak lebih dari satu dan tidak beragam. Orang yang menapaki
jalan mereka menuju Allah akan memperoleh hidayah,
dan orang yang beralih dari mereka dalam suluk tidak akan
pernah mencapai apa yang Dia kehendaki. Sungguh Rasulullah
telah berulang kali mengumumkan hal ini di berbagai
tempat dan kesempatan. Yang kita sebutkan di sini hanya
satu contoh dari semua itu, yaitu hadis Tsaqalain ‘dua
pusaka’; “Yang apabila kalian berpegang teguh pada dua
pusaka itu niscaya kalian tidak akan sesat setelahku”.
Tidak seperti yang mereka katakan. Masalah ini tidaklah
termasuk dalam medan ijtihad sehingga sebagian orang
terarah secara benar dan sebagian yang lain tersesat,
kemudian Allah memberi dua pahala pada mereka yang
benar dan memberi satu pahala pada yang salah.
Maka dari itu, tidak dibenarkan bagi seseorang untuk
berijtihad di saat ada teks yang jelas, dan sungguh Rasulullah
saw. telah bersabda secara nash (teks harfiah yang
jelas, tegas, tidak ambigu atau berkemungkinan lebih dari
satu arti)
agar umat manusia merujuk Ahlulbaitnya dalam
segala perkara yang mereka perselisihkan setelah beliau.
Dalam ziarah Jami’ah disebutkan bahwa: “Yang benci
kalian adalah pembangkang, yang bersama kalian adalah
gabung, orang yang lalai akan hak kalian adalah binasa, dan
kebenaran bersama kalian, di dalam kalian, dari kalian, dan
untuk kalian. Kalianlah tambang kebenaran dan keputusan
akhir ada pada kalian, ayat-ayat Allah di sisi kalian, cahaya
dan burhan Allah ber-sama kalian”.
Siapa saja yang hendak menuju Allah dan menginginkan
jalan, hidayah dan sabil-Nya, ia harus mengambil semua
itu dari Ahlulbait as. dan mengikuti jalan mereka, karena
Ahlulbait as. tidak mengajak selain kepada Allah, dan tidak
menunjukkan kecuali kepada-Nya.
Disebutkan dalam ziarah Jami’ah: “Kepada Allah kalian
mengajak, kepada-Nya kalian tunjukkan, untuk-Nya kalian
pasrahkan, sesuai perintah-Nya kalian bertindak, ke jalan-
Nya kalian arahkan, dan atas dasar firman-Nya kalian
menghakimi. Sungguh bahagia orang yang berwilayah pada
kalian, dan celakalah orang yang memusuhi kalian, merugilah
orang yang mengingkari kalian, tersesatlah orang yang
berpisah dari kalian, menanglah orang yang berpegang
teguh pada kalian, amanlah orang yang berlindung pada
kalian, selamatlah orang yang membenarkan kalian dan
terarahlah orang yang memegang erat kalian”.
Ketaatan
Inti sari wilayah adalah ketaatan dan kepasrahan. Ketaatan
akan bernilai positif apabila dilakukan pada tempatnya, dan
sebaliknya akan bernilai negatif apabila bukan pada tempatnya.
Begitu pula maksiat atau pembangkangan dan
penolakan bernilai positif apabila terhadap tiran, dan bernilai
negatif apabila terhadap Allah, Rasulullah dan Ahlulbaitnya
sebagai pemimpin urusan Muslimin.
Ayat ketujuh belas dari surah Az-Zumar mengumpulkan
dua masalah di atas dalam satu firman sebagai berikut:
﴿ وَ المذِينَ اجتَنَبُوا الطماغُوتَ أن يَعبُدُوهَا وَ أنَابُوا إلَی اللهِ لهَمُُ البُشرَی﴾
“Orang-orang yang menghindari pengabdian dari penguasa
zalim dan kembali kepada Allah maka bagi mereka
berita gembira”.
Dalam surah an-Nahl disebutkan:
﴿ أنِ اعبُدُوا اللهَ وَ اجتَنِبُوا الطماغُوتَ ﴾
“Dan hendaknya kalian menyembah Allah dan menghindari
penguasa zalim”.
Taat dan ibadah, penolakan dan penghindaran adalah satu
hal, Allah telah memerintahkan kita untuk taat kepada-Nya,
kepada Rasul-Nya, dan kepada wali amr (imam maksum)
setelah Rasul-Nya:
﴿ أطِيعُوا اللهَ وَ أطِيعُوا المرسُولَ وَ اُولِِ الأمرِ مِنكُم ﴾
“Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasulullah serta
ulul amr (pemimpin-pemimpin Islam) dari kalian”.
Dia juga memerintahkan kita agar menolak orang-orang
zalim dan melawan mereka.
﴿ يُرِيدُونَ أن يَ تَحَاكَمُوا إلَی الطماغُوتِ وَ قَد اُمِرُوا أن يكفُرُوا بِه ﴾
“Mereka ingin mempercayakan pemerintahan kepada
pemimpin zalim padahal mereka diperintahkan untuk
mengingkarinya”.
Ahlulbait as. adalah para wali amr tersebut setelah Rasulullah
saw. yang harus dipatuhi dan pasrah terhadap apa
yang mereka tuntut. Mereka adalah “pemimpin-pemimpin
hamba Allah dan pilar negara”, dan mereka adalah “buktibukti
Allah atas penghuni dunia”.
Tauhid dalam Ketaatan
Kita memiliki iman tertentu. Tidak ada iman yang lebih
tinggi dari itu, yaitu bahwa ketaatan hanya untuk Allah
semata, dan sama sekali tidak ada ketaatan untuk selain
Allah kecuali dengan seijin dan perintah Dia, dan sesungguhnya
ketaatan kepada Rasulullah dan keluarganya adalah
termasuk ketaatan kepada Allah swt.
مَن أطَاعَكُم فَ قَد أطَاعَ اللهَ وَ مَن عَصَاكُم فَ قَد عَصَی الله
“Barangsiapa yang taat pada kalian sungguh dia taat
pada Allah dan barang siapa membangkang pada kalian
sungguh dia membangkang pada Allah”.
Pasrah
Salah satu bukti ketaatan adalah pasrah, yaitu kondisi
kepatuhan yang seutuhnya tanpa perlawanan dan penolakan
sedikitpun. Dan salah satu kepasrahan yang paling
menonjol adalah kepasrahan hati: “Dalam hal itu aku pasrah
pada kalian, kuserahkan hatiku sepenuhnya untuk kalian dan kuikutkan
pendapatku pada kalian”.
Damai dengan Siapa yang Damai dengan Kalian dan Perang dengan Siapa yang Memerangi Kalian
Damai dan perang juga merupakan dua wajah wilayah dan
baro’ah. Wilayah bukan hanya damai dengan para wali amr dan pemimpin Islam, melainkan ada dua kelanjutan yang
sulit yaitu damai dengan mereka dan dengan siapa saja
yang damai dengan mereka. Bahkan ini tidak cukup hanya
dengan mereka saja, tetapi juga perang melawan siapa saja
yang memerangi mereka as.
Pengertian yang dalam akan wilayah dan baro’ah ini,
“silmun li man salamakum wa harbun li man harabakum”, akan
mengatur peta politik masyarakat dalam sistem yang baru
menuju kawasan damai dan kawasan perang. Dan bila saja
diteliti lebih cermat, kata harb berarti pemisahan diri dari
sesuatu, bukan pertempuran, tentu beda antara pemisahan
atau penghindaran diri dari sesuatu dengan pertempuran.
Sesungguhnya hubungan sosial kita tidak tersistem
sesuai dengan maslahat material dan politik, melainkan atas
dasar wilayah dan baro’ah. Maka dari itu, ada kalanya kita
memutuskan hubungan dari kerabat atau tetangga sendiri,
sementara kita mempererat hubungan kita dengan orangorang
yang jauh secara ruang dan waktu.
Dalam ziarah Asyura disebutkan bahwa:
إ نّ سِلمٌ لِمَن سَالَمَكُم وَ حَربٌ لِمَن حَارَبَكُم وَ وَلٌِِّ لِمَن وَالَاكُم وَ عَدُوٌّ لِمَن
عَادَاكُم
“Sesungguhnya aku damai dengan siapa saja yang damai
pada kalian, aku putus dari siapa saja yang memutuskan
hubungan dengan kalian (perang), aku mendukung dan
mencintai siapa yang mendukung kalian, dan aku musuh
bagi siapa saja yang memusuhi kalian”.
Ada sebuah hadis musnad
dari Ammar yang meriwayatkan
Rasulullah saw. bersabda tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.: “Sesungguhnya dia dariku dan aku darinya …
melawan dia berarti melawanku, damai dan pasrah padanya berarti
pasrah padaku, dan pasrah padaku berarti pasrah pada Allah”.
Tirmidzi dalam Shahihnya meriwayatkan dari Zaid bin
Arqam bahwa Rasulullah saw. bersabda tentang Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib as., Siti Fatimah, Imam Hasan
dan Imam Husain sebagai berikut: “Aku lawan mereka yang
menentang kalian, dan damai dengan mereka yang damai dengan
kalian”.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunan,
Rasulullah bersabda: “Aku damai dengan siapa saja yang damai
dengan kalian dan lawan bagi siapa saja yang melawan kalian”.
Hadis ini diriwayatkan juga oleh Hakim dalam Mustadrak
Begitu pula Ibnu Atsir Jazri dalam Usud ul-Ghabah,
Muttaqi
dalam Kanzul Ummal,
Suyuthi dalam Durul Mantsur ketika menafsirkan ayat Tathhir dari surah al-Ahzab, juga Haitsami dalam Majma’ Zawa’id..
Inilah arti tauhid dalam perlawanan dan damai. Maka
perlawanan terhadap Ahlulbait as. dan damai dengan mereka
berarti perlawanan terhadap Rasulullah saw. dan damai
dengan beliau. Dan, perlawanan terhadap beliau dan damai
adalah perlawanan terhadap Allah dan pasrah pada-Nya,
begitulah seterusnya unsur-unsur wilayah dan baro’ah yang
merupakan kategori pengesaan Tuhan.
Pembelaan dan Penuntutan
Masalah wilayah adalah masalah yang berat. Ia adalah sikap
damai disertai perlawanan baik dalam kemudahan maupun
dalam kesulitan. Andaikan masalah wilayah terbatas hanya
pada kedamaian dan kemudahan niscaya ia sebagai perkara
yang ringan. Akan tetapi, salah satu tuntutan wilayah yang
berat ini adalah pertolongan dan penuntutan hak. Wilayah
tidak akan berarti tanpa pembelaan sebagaimana Allah swt.
berfirman:
﴿ وَ المذُينَ آوَوا وَ نَصَرُوا اُولئِكَ بَعضُهُم أولِيَاءُ بَعضٍ ﴾
“Orang-orang yang kembali dan membela; sebagian
adalah wali bagi sebagian yang lain”.
Wilayah yang benar juga tidak terlepas dari penuntutan
balas. Wilayah yang tidak menugaskan pemiliknya untuk
bertempur, melawan, memutus hubungan, usaha dan menghadapi
bahaya bukanlah wilayah yang sebenarnya, dan
wilayah seperti itu tidak lebih hanya sebuah gambar saja.
Kita berharap dan meminta pada Allah dalam ziarah
Asyura agar Dia memberi kesempatan kepada kita akan
penuntutan balas darah-darah suci yang tumpah secara
terzalimi di padang Karbala:
فَاسألُ اللهَ ال ذي أكرَمَ مَقَامَكَ وَ أكرَمَنِِ بِكَ أن يَرزُقَنِِ طَلَبَ ثََرِكَ مَعَ إمَامٍ
مَنصُورٍ مِن أهلِ بَيتِ مُحَممدٍ صَلمی اللهُ عَلَيهِ وَ آلِه
“Maka aku memohon pada Allah Yang telah memuliakan
kedudukanmu dan memuliakanku karena dirimu agar
Dia memberiku rejeki menuntut balas darahmu bersama
imam yang tertolong dari Ahlulbait Rasululullah saw.”
Disebutkan juga di sana yang artinya: “Dan aku memohon
Dia agar menyampaikanku pada kedudukan yang termulia (maqom mahmud) bagi kalian di sisi Allah, dan semoga Dia
memberiku rejeki menuntut balas darah kalian bersama
imam pembawa hidayah yang akan menang dan berbicara
secara benar dari Ahlulbait as.”.
Dan di ziarah Jami’ah kita mengikrarkan secara jelas
akan kesiapan kita yang seutuhnya dalam membela: “Dan
pembelaanku terhadap kalian sudah siap”.
Cinta dan Kasih Sayang
Unsur wilayah terhadap Ahlulbait yang berikutnya adalah
cinta dan kasih sayang. Turun satu firman Allah mengenai
masalah ini yang dimuat oleh al-Qur’an dan senantiasa
dibaca oleh orang, yaitu:
﴿ قُل لَا أسألُكُم عَلَيهِ أجرًا إملا الموََمدةَ فِِ القُربَی ﴾
“Katakanlah—wahai Muhammad—aku tidak meminta
kalian upah kecuali cinta kasih terhadap kerabatku”.
Maksud dari kerabat Rasulullah adalah Ahlulbait beliau,
dan tidak ada perselisihan pendapat dalam hal ini.
Inilah cinta kasih yang wajib yang diisyaratkan oleh teks
ziarah Jami’ah: “Dan bagi kalian cinta kasih yang wajib dan
kedudukan-kedudukan yang sangat tinggi”. Taat dan cinta
merupakan ruh wilayah itu sendiri. Pernah suatu saat Imam
Ja’far Ash-Shadiq as. ditanya tentang cinta; apakah cinta
termasuk agama? Beliau menjawab: “Tiada lain agama
adalah cinta, dan andaikan seseorang mencintai batu niscaya
Allah akan mengumpulkannya bersama batu itu di Hari
Kiamat nanti”.
Telah disebutkan berulang kali sebelum ini, cinta juga
masuk dalam kategori tauhid. Barang siapa mencintai Allah
dia harus mencintai Rasulullah dan Ahlulbaitnya. Demikian
juga sebaliknya, orang yang mencintai Rasulullah saw. dan
Ahlulbaitnya, maka dia mencintai Allah swt.
Rasulullah saw. bersabda tentang bagian pertama di
atas: “Cintailah aku karena cinta Allah, dan cintailah Ahlulbaitku
karenca cinta aku”.
Dan mengenai bagian kedua
cinta beliau menyebutkan: “Barang siapa mencintai kalian
sungguh dia telah mencintai Allah, dan barang siapa yang
membenci kalian sungguh dia telah membenci Allah”.
Begitu pula, orang yang mencintai Allah tentu mencintai
orang-orang mukmin karena cinta mereka pada Allah, dan
orang yang mencintai orang-orang beriman pasti mencintai
Allah. Sudah barang tentu, seyogyanya kecintaan kepada
Allah berada pada tingkat yang tertinggi dan terkuat dalam
diri manusia. Dan hendaknya cinta kepada Allah mendominasi
kehidupan manusia sehingga dia tidak lagi mencintai
yang lain; hanya di jalan Allah.
Tentang bagian pertama di atas Allah berfirman sebagai
berikut:
﴿ قُل إن كَانَ آبَاؤُكُم وَ أبنَاؤُكُم... أحَ م ب إلَيكُم مِن اللهِ وَ رَسُولِهِ وَ جِهَادٍ فِِ
سَبِيلِهِ فَ تَََبمصُوا حَتمی يََتَِِ اللهُ بَِمرِهِ وَ اللهُ لَا يَهدِي القَومَ الفَاسِقِيَْ ﴾
“Katakanlah –wahai Muhammad- apabila orang-orang
tua dan anak-anak kalian serta… lebih kalian cintai dari
pada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya
maka nantikanlah sampai Allah mendatangkan perkara-
Nya, dan Allah tidak memberi petunjuk pada kaum yang
fasiq”.
Adapun cinta sadar yang berkembang dari cinta pada Allah
adalah cinta yang kita perbincangkan tentang cinta kepada
Ahlulbait as.. Cinta ini bukanlah cinta biasa yang dangkal
sebagaimana dirasakan manusia dalam kehidupan mereka
pada umumnya. Cinta sadar kepada Ahlulbait as. adalah
cinta yang berawal dari cinta Allah swt.
Cinta sadar ini memiliki beberapa kriteria yang menonjol
sebagai berikut:
Kriteria pertama: cinta sadar tidak terpisah dari baro’ah
dan perlawanan. Semua cinta bersisipan dengan permusuhan
dan kebencian, rela dengan amarah, wilayah dengan
baro’ah dan penentangan. Adapun cinta tanpa permusuhan
dan kebencian hanyalah cinta sederhana yang dangkal.
Ada seorang lelaki menemui Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib as. dan berkata: “Aku mencintaimu dan mencintai
musuh-musuhmu”. Maka beliau berkata padanya: “Adapun
sekarang kamu juling dan bermata satu (kamu melihat
dengan pandangan yang kurang), kamu antara dua pilihan;
buta atau melihat”.
Disebutkan juga dalam ziarah: “Aku berwilayah pada
kalian dan pada wali-wali kalian, dan aku benci pada musuh
kalian serta melawannya”.
Kriteria kedua: cinta sadar memiliki perpanjangan dan
perluasan di tengah masyarakat sebagaimana dia adalah
kelanjutan dari cinta Allah, karena sesungguhnya cinta pada
Allah meluas pada mereka dan juga pada kekasih mereka;
“berwilayah pada kalian dan pada wali atau kekasih kalian”.
Tidak mungkin manusia mencintai seseorang di jalan
Allah tapi tidak mencintai orang yang dicintai-Nya.
Kriteria ketiga: cinta sadar akan berevolusi menjadi sikap
praktis di medan peperangan dan perdamaian; “aku damai
dengan siapa saja yang damai bersama kalian, dan aku
melawan siapa saja yang melawan kalian”.
Kriteria keempat: cinta pada Allah dan benci di jalan Allah
menggariskan peta politik yang sempurna dalam hubungan
sosial, baik konstruktif atau destruktif, damai atau permusuhan,
penyambungan atau pemutusan hubungan di tengah
masyarakat yang luas secara terperinci.
Pembenaran dan Pembatilan
Wilayah kepada Ahlulbait as. mengharuskan kita untuk
melindungi kehormatan budaya dan khazanah ilmu mereka.
Oleh karena itu, kita harus membenarkan apa yang mereka
benarkan dan menyalahkan apa yang mereka salahkan.
Area peradaban dan pemikiran dalam sejarah Ahlulbait
as. merupakan sasaran utama bagi serangan yang dilancarkan
musuh-musuh mereka. Dan para faqih Ahlulbait as.
dan ulama mazhab ini bertanggung jawab menjaga ajaran,
budaya, sistem hukum dan khazanah mereka demi Islam.
Pembenaran dan pembatilan dalam kerangka ini akan
terealisasi dalam bentuk jihad, perlawanan, damai dan
peperangan, sebagaimana dilukiskan juga oleh ziarah
Jami’ah: “Aku damai dengan siapa saja yang damai dengan
kalian, aku lawan siapa saja yang melawan kalian, aku
pembenar apa yang kalian benarkan dan aku penyalah apa
yang kalian batilkan”.
Pusaka dan Penantian
Wilayah dan berwilayah senantiasa berlangsung sepanjang
sejarah sampai masa depan. Jaman tidak akan pernah
mengalami kekosongan dari wilayah sejak awal sejarah
manusia, yaitu Nabi Adam dan Nabi Nuh as. sampai
penghujung sejarah nanti di saat Imam Mahdi af, putera
Nabi, muncul kembali dan memenuhi muka bumi dengan
keadilan serta mewarisi bumi dengan mengambilnya dari
tangan orang-orang yang zalim. Semua itu adalah realisasi dari janji Allah swt. sebagaimana dimuat dalam Taurat dan
Injil.
﴿وَ لَقَد كَتَب نَا فِِ المزبُورِ مِن بَعدِ ال ذِكرِ أ م ن الأرضَ يَرِثُ هَا عِبَادِيَ ال م صالُِْونَ ﴾
“Telah Kami tetapkan dalam Zabur setelah kami
tetapkan juga dalam Taurat, bahwa bumi akan diwarisi
oleh hamba-hambaku yang saleh”.
Kata dzikr dalam ayat itu ialah Taurat. Ini janji Allah dalam
Taurat, Zabur dan al-Qur’an, bahwa Ahlulbait as. mewarisi
para nabi dan orang-orang saleh sepanjang sejarah. Mereka
mewarisi shalat, puasa, zakat, haji dan dakwah kepada
Allah. Ziarah Warits kepada Imam Husain as. mengutarakan
dengan baik kepewarisan ilmu, peradaban, budaya, jihad
dan risalah untuk beliau dari para nabi as. Ziarah ini
memaparkan konsep peradaban dan khazanah yang dalam:
“Salam bagimu—Imam Husain—wahai pewaris Adam,
pilihan Allah. Salam bagimu wahai pewaris Nuh, nabi
Allah. Salam bagimu wahai pewaris Ibrahim, kekasih Allah.
Salam bagimu wahai pewaris Musa, kalimullah. Salam bagimu
wahai pewaris Isa, ruh Allah…!”
Pewarisan ini terus berdenyut di sepanjang nadi sejarah
semenjak Nabi Adam dan Nuh as. sampai Rasulullah saw.
dan Ali bin Abi Thalib as. Sedangkan Imam Husain as. di
padang Karbala, di Hari Asyura, telah mengejewantahkan
semua warisan dan pusaka tersebut; warisan khazanah,
kultur, peradaban dan jihad yang tegar.
Maka dari itu, seperti yang kita amati di atas, wilayah
memiliki gugusan historis yang tertanam sangat dalam di
lubuk sejarah. Ahlulbait as. adalah orang yang mewarisi
perjalanan panjang dan saleh ini dari para nabi. Sementara
kita mewarisi sejarah ini dari Ahlulbait as.
Kita mewarisi shalat, puasa, haji, zakat, amar makruf
dan nahi munkar, jihad, dakwah pada Allah, zikir, ikhlas,
dan seluruh nilai-nilai tauhid yang lain. Dengan demikian
kita tidak menjadi seperti orang yang difirmankan Allah:
﴿ فَخَلَفَ مِن بَعدِهِم خَلفٌ اَضَاعُوا ال م صلََةَ ﴾
“Maka datang generasi berikutnya setelah mereka yang
menghilangkan shalat”.
Melainkan kita senantiasa menjaga dan mendirikan shalat
dan mengajak orang lain kepadanya, sebagaimana ulamaulama
dulu kita menjaganya sebelum kita, dan semoga kita
tergolong orang yang menerima firman Allah swt. ini:
﴿ وَأمُر أهلَكَ بِال م صلََةِ وَ اصطَبَِ عَلَيهَا ﴾
“Dan perintahkan keluargamu untuk shalat dan sabarlah
untuk itu”.
Maka itu, kita akan senantiasa menjaga warisan Ilahi yang
agung ini dan yang telah kita warisi dari salaf kita yang
saleh, dari generasi ke generasi, baik di dalam diri kita
sendiri maupun di tengah keluarga dan masyarakat. Inilah
perjalanan wilayah sepanjang sejarah dan ini adalah warisan
kita dari sejarah masa lalu.
Di samping itu, wilayah juga memiliki perjalanan ke
masa depan menusuk sampai ke era mendatang, di saat kita
menantikan munculnya Imam Mahdi as. dan menunggu
kelapangan serta kemenangannya yang besar. Yaitu sebuah
revolusi universal sebagaimana diberitakan oleh Allah kepada
kita dalam al-Qur’an juga dalam Taurat serta Zabur:
﴿وَ لَقَد كَتَبنَا فِِ المزبُورِ مِن بَعدِ ال ذِكرِ أ م ن الأرضَ يَرِثُها عِبَادِيَ ال م صالُِْونَ ﴾
“Telah Kami tetapkan dalam Zabur setelah kami tetapkan
juga dalam Taurat, bahwa bumi akan diwarisi oleh
hamba-hambaku yang saleh”.
Penantian tidak berarti pasif seperti orang yang menunggu
gerhana bulan atau matahari, akan tetapi aktif dan positif
sebagaimana yang tampak dari teks-teks yang menjelaskan
konsep penantian tersebut; yaitu penyiapan secara politis,
kultur dan aktif di bumi ini demi mempersiapkan tanah air
dan masyarakat untuk kehadiran Imam Mahdi af. sebagai
pemimpin revolusi universal yang besar.
Berdasarkan arti positif, penantian ialah amar makruf
dan nahi munkar, menyeru kepada Allah, berjihad melawan
orang-orang dzalim, mengangkat kalimat Allah, menegakkan
shalat, nilai-nilai Ilahi di bumi dan hal-hal lain yang
berperan dalam persiapan revolusi universal yang besar.
Ziarah Jami’ah juga mengisyaratkan aspek masa depan
dari wilayah ini: “Aku menanti pemerintahan dan negara
kalian”, “Sampai akhirnya Allah menghidupkan agama-Nya
dengan kalian, mengembalikan kalian di hari-hari-Nya,
memenangkan kalian demi keadilan-Nya, dan memudahkan
kalian di muka bumi-Nya”. Kalimat terakhir ini
mengacu pada bagian pertama surah al-Qashash:
﴿وَ نُرِيدُ أن نََُّ م ن عَلَی المذِينَ استُضعِفُوا فِِ الأرضِ وَ نََعَلَهُم أئِممةً وَ نََعَلَهُمُ
الوَارِثِيَْ ﴾﴿ وَ نََُّ كِنَ لهَمُ فِِ الأرضِ
...﴾
“Dan kami hendak memberi anugerah pada mereka yang
tertindas di bumi dan kami jadikan mereka sebagai
pemimpin serta kami jadikan mereka pewaris, dan kami
mudahkan bagi mereka di muka bumi…”.
Penantian ini mengkristal secara praktis dalam gerakan,
kesungguhan, kesabaran, ketegaran, penghancuran, pembangunan,
upaya ke arah penegakan agama Allah di muka
bumi, dan persiapan untuk berdirinya daulat Ilahi di atas
bumi. Caranya ialah mengajak kepada Allah, memerintahkan
yang makruf dan mencegah yang munkar, memerangi
kebatilan dan kemunkaran serta berjuang melawan
pemerintahan dan pemimpin yang kafir.
Berikut ini nada syahdu dari ratapan kaum mukmin
karena berpisah dari imam dan menanti kedatangannya:
Di manakah baqiyyatullah yang tidak akan pernah
kosong dari keluarga pemberi hidayah
Di manakah dia yang dipersiapkan untuk menumpas
pangkal kedzaliman?
Di manakah dia yang dinanti untuk meluruskan yang
simpang?
Di manakah dia yang diharapkan untuk memusnahkan
kezaliman dan kejahatan?
Di manakah dia yang disimpan untuk menghidupkan
kewajiban dan sunnah?
Di manakah dia yang dipilih untuk mengembalikan
agama dan syariat?
Di manakah dia yang didambakan untuk menghidupkan
kitab dan batas-batasnya?
Di manakah dia sang penghidup ajaran-ajaran agama
dan penganutnya?
Di mana dia penghantam kekuatan manusia-manusia
jahat?
Di manakah dia sang penghancur kesyirikan dan
kemunafikan?
Di manakah dia sang pemusnah kaum fasik, durjana
dan tiran?
Di manakah dia sang pemutus jaring kebohongan dan
fitnah?
Di manakah dia sang pemusnah kaum penerjang, sang
pencabut akar para perusak, sesat dan kafir?
Di manakah dia yang memuliakan para wali dan
menghinakan semua lawan?
Di manakah dia sang penghimpun kata takwa?
Di manakah dia sang gerbang Allah yang harus
dimasuki?
Di manakah dia sang pemilik hari kejayaan dan
pengibar bendera hidayah?
Di manakah dia sang penyusun damai dan rela?
Di manakah dia sang penuntut balas para nabi dan
anak-anak mereka?
Di manakah dia sang penuntut darah Husain yang
terbunuh di Karbala?
Di manakah dia yang dibantu melawan para pembangkang
dan penebar fitnah?
Di manakah orang terdesak yang dikabulkan jika
berdoa?
Di manakah dia sang putera Nabi Mustafa, putera
Ali Murtadha, putera Khadijah yang mulia, putera
Fathimah yang agung?”
Penantian adalah gabungan antara ratapan syahdu dan
praktek yang serius dalam amar makruf dan nahi munkar
serta jihad melawan orang-orang zalim demi mempersiapkan
bumi untuk kemunculan, kelapangan dan kebangkitan
Imam Mahdi af.
Ratapan syahdu dalam hati orang mukmin akan berubah
menjadi tindakan, gerakan, usaha keras, revolusi,
kebangkitan, kesabaran, keteguhan, perlawanan, ketabahan,
perjuangan, dakwah, penghancuran dan pembangunan.
Semua itu untuk mempersiapkan bumi untuk kemunculan
Imam Mahdi af. dan kebangkitannya dalam rangka mendirikan
kedaulatan Ilahi yang universal sebagaimana dijanjikan oleh Allah dalam al-Qur’an: “wa laqod katabna fiz zaburi min
ba’diz dzikri”.
Sudah barang tentu, kebangkitan Imam Mahdi af. akan
berlangsung pasca generasi yang melapangkan bumi untuk
kemunculan dan kebangkitan tersebut. Hal ini dipertegas
oleh teks-teks Islam yang mutawatir. Generasi itulah yang
mempersiapkan bumi sehingga Imam Mahdi af. muncul.
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa penantian
adalah gerak mempercepat persiapan tersebut dengan caracara:
amar makruf, nahi munkar, jihad, gerakan dan amal.
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, wilayah
adalah pusaka sekaligus juga penantian. Pusaka, karena
wilayahlah yang menarik kita ke perjalanan para nabi dan
orang-orang saleh sepanjang sejarah silam. Dan penantian,
karena wilayahlah mengajak kita menuju harapan cerah
yang akan dibuka lebar oleh Allah di hadapan kita di masa
yang akan datang. Namun begitu, harapan itu harus selalu
dibarengi dengan usaha keras, jihad dan amal sehingga
dengan ijin Allah menjadi kenyataan, tidak sekedar menanti
dan menunggu tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi af.
Ziarah
Elemen dan pengaruh lain dari wilayah adalah ziarah. Yang
dimaksud dengan ziarah di sini adalah kondisi yang sudah
jelas saat kita menjalin hubungan dengan Ahlulbait as. Kita
komitmen pada mereka, mengajak orang lain agar mengikuti
mereka. Ziarah dalam ruang lingkup wilayah memuat
budaya, tradisi, dan teks-teks yang selalu kita baca dan kaya
akan pemikiran serta konsep peradaban tentang wilayah
yang mendalam dan luas dalam kehidupan manusia.
Tujuan dari ziarah adalah solidarisasi organik dan kultural
melalui pembinaan yang terarah sepanjang sejarah.
Dan kita adalah bagian dari perjalanan yang sarat dengan nilai-nilai tauhid ini; penuh ikhlas, takwa, shalat, jihad,
zakat, amar makruf, zikir, syukur, sabar, kekuatan dan…
Kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan
penuh berkah ini, yang berawal dari Ahlulbait as. dan
bersambung sampai ke gerakan para nabi; mulai dari Nabi
Adam sampai Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi
yang lain … Ya, inilah bagian dari gugusan panjang, bagian
dari pergulatan sejarah antara Islam dan Jahiliyah, antara
tauhid dan syirik pada setiap fase perjalanan, dan bagian
dari pohon mulia yang akarnya terhujam di lubuk sejarah
yang paling dalam.
Kita adalah dahan-dahan pohon itu, dan sepantasnya
kita menjaga keanggotaan kita dalam pohon tersebut:
﴿ ألََ تَ رَ كَيفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلًَ كَلِمَةً طَي بَةً كَشَجَرَةٍ طَي بَةٍ أصلُهَا ثََبِتٌ وَ
فَرعُهَا فِِ ال م سمَاءِ ﴾
“Tidakkah kamu lihat bagaimana Allah membawakan
perumpamaan kalimat yang indah dengan pohon mulia
yang pokoknya kokoh dan cabangnya di langit”.
Kita harus memperdalam komitmen kita pada keanggotaan
pohon tersebut dalam intuisi, hati dan akal kita. Sejauh
komitmen organik dengan syajarah thayyibah dan Keluarga
penuh berkah ini menguat dan mendalam, sejauh itu pula
kita akan bertambah kesabaran dan kesolidan kita melawan
tantangan yang bertubi-tubi, dan kita akan bertambah teguh
dalam menjalani lintas yang berduri dan melampaui krisis
yang kita hadapi sepanjang jalan.
Dan ziarah merupakan bagian dari faktor utama dalam
upaya penguatan tersebut. Ziarah menciptakan atmosfir
emosional yang kental sehingga keanggotaan kita bersama Keluarga penuh berkah ini dalam peradaban, pergerakan
dan perjalanan yang mulia menjadi lebih kuat.
Teks-teks yang datang dari Ahlulbait untuk berziarah
kepada Rasulullah saw., Imam Ali bin Abi Thalib as.,
Fatimah Az-Zahra, Imam Hasan, Imam Husain dan Imamimam
yang lain serta para nabi, wali Allah dan orang-orang
mukmin yang saleh, penuh dengan kekayaan peradaban
dan budaya yang jelas, memuat konsep-konsep penguatan
jalan yang lurus, keanggotaan dalam Keluarga yang penuh
berkah, dan penegasan atas perlawanan terhadap musuhmusuh
mereka, terhadap siapa saja yang anti mereka serta
yang menyulut api permusuhan terhadap mereka.
Sebelumnya, saya telah menulis kajian seputar ziarah di
pasal akhir dari buku yang berjudul ad-Du’a ‘Inda Ahlilbait
as. (doa menurut Ahlulbait as.), dan saya cukupkan sampai
di sini sekilas tentang ziarah. Adapun perinciannya, pembaca
bisa merujuk buku tersebut.[]