BELAJAR FIKIH Untuk Tingkat Pemula

BELAJAR FIKIH Untuk Tingkat Pemula16%

BELAJAR FIKIH Untuk Tingkat Pemula pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Fiqih

BELAJAR FIKIH Untuk Tingkat Pemula
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 50 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 18067 / Download: 4982
Ukuran Ukuran Ukuran
BELAJAR FIKIH Untuk Tingkat Pemula

BELAJAR FIKIH Untuk Tingkat Pemula

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Pelajaran 23 & 24

KERAGUAN-KERAGUAN

DALAM SALAT

Kadang-kadang pelaku salat—ketika mengerjakan suatu bagian dari salatnya—mengalami

keraguan, misalnya; dia tidak tahu apakah sudah membaca tasyahud atau belum, atau tidak tahu

apakah sudah sujud sekali atau sudah dua kali. Dan boleh jadi dia ragu tentang jumlah rakaat

yang dikerjakannya, misalnya; dia tidak tahu apakah sekarang sedang dalam rakaat ketiga atau

keempat.

Sekaitan dengan keraguan dalam salat, terdapat hukum-hukum secara khusus. Hanya saja,

menjelaskan semua masalah-masalahnya dalam buku ini tidak mungkin, namun kami akan

menjelaskan macam-macam keraguan dan hukumnya masing-masing secara ringkas.

Macam-macam Keraguan dalam Salat[326]

1. Keraguan dalam bagian–bagian salat:

a. Jika pelaku salat ragu tentang mengerjakan bagian dari salat, yakni tidak tahu apakah

sudah mengerjakan bagian tersebut ataukah belum, maka jika belum memulai bagian

selanjutnya—artinya, belum keluar dari bagian tersebut—maka dia harus mengerjakan

bagian tersebut. Akan tetapi, jika kera-guannya terjadi setelah memasuki bagian selanjutnya—

yakni sudah keluar dari bagian ter-sebut—maka dia tidak perlu memperdulikan

kera-guan semacam ini dan lanjutkan salat dan salatnya sah.

b. Jika dia ragu tentang sahnya bagian dari salat, yakni tidak tahu apakah bagian tertentu

darinya sudah dikerjakannya secara sah ataukah tidak, maka dalam kondisi ini dia tidak

perlu memperhatikan keraguan tersebut, yakni anggap saja bagian tertentu itu telah

dikerjakannya secara sah lalu lanjutkanlah salat dan salatnya sah.

2. Keraguan dalam rakaat salat:[327]

o Keraguan yang membatalkan salat:[328]

a. Jika terjadi keraguan tentang rakaat dalam salat yang dua rakaat seperti: salat Subuh

atau pada salat Maghrib, maka salatnya batal.

b. Ragu antara satu rakaat atau lebih, yakni apakah sudah mengerjakan satu rakaat atau

lebih, maka salatnya batal.

c. Jika dalam salat tidak tahu; berapa rakaatkah yang sudah dikerjakannya, maka

salatnya batal.

o Keraguan yang tidak perlu diperhatikan:[329]

a. Dalam salat sunah.

b. Dalam salat jamaah.

c. Setelah mengucapkan salam; jika seusai salat terjadi keraguan tentang rakaat atau

tentang bagian lain dari salat, tidak perlu mengulangi salatnya.

d. Setelah habis waktu salat; jika waktu salat sudah habis lalu ragu; apakah sudah

mengerjakan salat atau belum, maka tidak perlu mengerjakan salat.

o Keraguan pada salat empat rakaat (lihat tabel di halaman berikut ini![330] )

Salat Ihtiyath

1. Jika pelaku salat mengalami hal-hal yang mewajibkan salat ihtiyath seperti; ragu antara rakaat

3 atau 4, maka seusai mengucapkan salam—dengan tidak sampai merusak bentuk salat atau

melakukan hal-hal yangmembatalkan salat—hendaknya berdiri kemudian ber-takbirotul ihrom

untukmengerjakan salat ihtiyath tanpa azan dan iqomah.

o Perbedaan salat ihtiyath dengan salat lainnya:

a. Di dalamnya, niat tidak boleh diucapkan dengan kata-kata.

b. Dalamnya, tidak ada qunut dan surah selain Al-Fatihah, sekalipun salat ithtiyath itu

dua rakaat.

c. Berdasarkan ihtiyath wajib, Al-Fatihah harus dibaca pelan.[331]

2. Jika salat ihtiyath itu hanya satu rakaat, maka setelah sujud dua kali harus bertasyahud

kemudian mengu-capkan salam. Jika salat ihtiyath itu dua rakaat, maka pada rakaat pertama

tidak boleh bertasyahud dan membaca salam, akan tetapi lanjutkan dengan me-ngerjakan

rakaat kedua (tanpa takbirotul ihrom) dan di akhirnya bacalah tasyahud dan salam.[332]

* * *

Sujud Sahwi

1. Sekaitan dengan hal-hal yang mewajibkan sujud sahwi, misalnya jika dalam kondisi duduk,

pelaku salat ragu antara rakaat 4 atau 5, maka setelah membaca salam dia harus bersujud dan

membaca:

بسم الله و بالله اللهم صل علی محمد وآل محمد

Dan akan lebih utama bila membaca:

بسم الله و بالله السلام علیک ایها النبی و رحمه الله و برکاته [333]

Setelah itu, duduk lalu bersujud untuk kedua kali dengan membaca bacaan di atas, kemudian

duduk lagi dan membaca tasyahud lalu salam.[334]

2. Dalam sujud sahwi, tidak ada takbirotul ihrom.

Kesimpulan Pelajaran

1. Jika pelaku salat ragu tentang pelaksanaan bagian salat sementara dia belum masuk ke bagian

berikutnya, dia harus mengerjakan bagian yang diragukannya itu.

2. Jika dia ragu tentang bagian salat yang sudah dia lewati, maka tidak perlu memperhatikan

keraguan ini.

3. Jika dia ragu tentang sah atau tidaknya bagian dari salat, maka tidak perlu memperhatikan

keraguan ini.

4. Jika dia ragu tentang jumlah rakaat dalam salat dua rakaat atau tiga rakaat (seperti salat

Subuh dan salat Maghrib), maka salatnya batal.

5. Pada masalah-masalah di bawah ini tidak usah mem-perhatikan keraguan:

· Pada salat sunah.

· Pada salat jamaah.

· Setelah membaca salam.

· Setelah habisnya waktu salat.

6. Sekaitan dengan keraguan tentang jumlah rakaat salat yang tidak sampai membatalkan salat,

jika sisi yang lebih banyaknya tidak lebih dari empat, maka tetapkan saja jumlah rakaat pada

yang lebih banyak. Misalnya, ragu antara 3 atau 4, maka tetapkan saja 4.

7. Kegunaan salat ihtiyath ialah untuk menutupi keku-rangan yang mungkin terjadi pada salat.

Oleh karena itu, pada keraguan antara rakaat 3 atau 4, salat ihtiyath satu rakaat harus

dikerjakan. Juga pada keraguan antara rakaat 2 atau 4, salat ihtiyath dua rakaat harus dikerjakan.

8. Perbedaan antara salat ihtiyath dengan salat yang lain-nya adalah:

· Di dalamnya, niat tidak boleh diucapkan dengan kata-kata.

· Di dalamnya, tidak ada surah (selain Al-Fatihah) ataupun qunut.

· Surah Al-Fatihah harus dibaca secara pelan.

9. Sujud sahwi harus dilakukan segera setelah usai salat. Sujud ini terdiri dari dua sujud tanpa

takbirotul ihrom.

Pertanyaan:

1. Jika dalam keadaan membaca empat tasbih ragu; apakah sudah bertasyahud ataukah belum,

apa yang harus dilakukan?

2. Berikan 4 contoh keraguan pada bagian-bagian salat!

3. Jika terjadi keraguan tentang jumlah rakaat dalam salat Subuh atau salat Maghrib, apa yang

harus dilakukan?

4. Jika terjadi keraguan tentang jumlah rakaat dalam salat empat rakaat (seperti; salat Isya) pada

saat rukuk, yakni ragu dalam keadaan rukuk; apakah sekarang ini rakaat ketiga atau keempat,

maka apa yang harus dilakukan?

5. Orang yang pada jam empat sore ragu; apakah sudah mengerjakan salat Zuhur dan Asar

apakah belum, apa yang harus dia lakukan?

6. Orang yang ragu setelah membaca takbirotul ihrom; apakah sudah benar membacanya ataukah

tidak, apa yang harus dia lakukan?

7. Orang yang dalam keadaan berdiri ragu; apakah ini rakaat 4 atau 5, apa yang harus dia

lakukan?

8. Apakah kamu tahu, kenapa Al-Fatihah dalam salat ihtiyath harus dibaca pelan?

9. Apakah selama ini kamu pernah mengalami keraguan dalam salat? Jika demikian, jelaskan

apa yang kamu lakukan ketika itu!

10. Terangkan cara-cara sujud sahwi!

Pelajaran 25

SALATMUSAFIR

Bagi orang musafir (orang yang sedang bepergian), salat-salat empat rakaatnya harus dikerjakan

menjadi dua rakaat dengan syarat; jarak perjalanannya tidak kurang dari 8 farsakh, yaitu kira-kira

45 km (pulang-pergi, -peny.).[335]

Beberapa Masalah

1. Jika dari suatu tempat seperti tempat tinggal—yang salat di dalamnya yang harus dikerjakan

secara tamam (sempurna; 4 rakaat)[336] —seorang musafir pergi ke tempat tujuan dengan

menempuh jarak sekurang-kurangnya4 farsakh dan kembali lagi dengan juga menempuh

jarak yang sama (4 farsakh), maka salatnya dalam bepergian ini harus dilakukan secara qoshr,

yakni meringkas salat-salat empat rakaatnya menjadi dua rakaat saja.[337]

2. Seorang musafir sudah bisa meng-qoshr (meringkas) salatnya jika perjalanannya telah sampai

batas dimana dia tidak melihat[338] lagi dinding-dinding kota tempat tinggalnya dan tidak

mendengar[339] lagi suara azannya. Jika ingin mengerjakan salat sebelum batas ini, maka dia

harus mengerjakannya secara tamam (sempurna).[340]

3. Jika dia bepergian dari suatu daerah yang di situ tidak ada lagi rumah dan dindingdindingnya,[341]

maka ketika sampai di sebuah tempat yang—sekiranya ada dinding di daerah

itu, darinya dinding ini sudah tidak tampak, dia harus mengerjakan salatnya secara qoshr.[342]

4. Jika dia pergi ke suatu tempat yangmemiliki dua jalan; jarak jalan pertama kurang dari 45 km,

sedangkan jarak jalan kedua 45 km atau bahkan lebih, maka dia harus meng-qoshr salatnya

jika dia pergi dan menempuh jalan yang kedua, dan harus menyempurnakan salatnya jika

menempuh jalan pertama.[343]

Pada keadaan-keadaan di bawah ini, salat dalam bepergian harus dikerjakan secara tamam

(sempurna):

1. Sebelum mencapai 45 km, musafir melewati kota tempat tinggalnya, atau dia sampai di suatu

tempat dan ingin menetap di sana selama 10 hari.

2. Sejak awal, dia tidak berniat bepergian sejauh jarak 45 km, namun ternyata dia telah

menempuh jarak tersebut, seperti orang yangmencari sesuatu yang hilang.

3. Mengurungkan niat di tengah perjalanan. Yakni, sebe-lum mencapai jarak 4 farsakh (22,5 km),

dia membatalkan kepergiannya.

4. Orang yang pekerjaannya adalah bepergian, seperti ma-sinis, sopir bus antarkota, pilot dan

nakhoda kapal.

5. Orang yang hukum bepergiannya adalah haram, seperti bepergian yang dapat mengganggu

orang tua.[344]

Di tempat-tempat di bawah ini, salat harus dikerjakan secara tamam (sempurna):

1. Di tempat tinggal.

2. Di tempat yang dia tahu atau berniat mau tinggal se-lama 10 hari.

3. Di tempat yang setelah 30 hari dia dalam keadaan ragu untuk tinggal, yakni tidak menentu;

tetap tinggal atau pergi. Bila sampai 30 hari dia tinggal di sana dalam kondisi seperti ini dan

tidak pergi ke tempat lain, maka setelah 30 hari dia harus salat secara sempurna.[345]

Definisi Wathon (Tempat Tinggal)?

1. Wathon atau tempat tinggal adalah tempat yang dipilih oleh seseorang sebagai tempat tinggal,

baik dia lahir di sana di mana tempat itu adalah negeri orang tuanya, atau dia sendiri memilih

tempat tersebut sebagai tempat tinggalnya.[346]

2. Selama seseorang tidak berniat untuk tinggal selamanya di selain negerinya yang asli maka

tempat itu tidak ter-hitung sebagai wathon-nya.[347] .[348]

3. Jika berniat tinggal untuk masa tertentu di satu tempat yang bukan wathon aslinya kemudian

pergi ke tempat lain, maka tempat itu tidak terhitung sebagai negerinya, seperti pelajar yang

tinggal di satu kota untuk sekolah.[349]

4. Jika seseorang tanpa berniat untuk tinggal selamanya di satu tempat, tetapi dia begitu lama

tinggal di tempat tersebut sehingga masyarakat menganggapnya bahwa dia adalah warga

setempat, maka tempat itu dihukumi sebagai wathon-nya.[350]

5. Jika dia pergi ke satu tempat yang sebelumnya adalah wathon-nya, akan tetapi sekarang dia

sudah tidak men-jadikannya tempat itu sebagai wathon-nya, maka dia tidak boleh melakukan

salatnya secara tamam (sempur-na), walaupun dia belum memilih tempat lain sebagai wathon

dan tempat tinggal untuk dirinya.[351]

6. Seorang musafir yang kembali ke wathon-nya; ketika dia melihat[352] dinding-dindingnya dan

mendengar azan di sana, maka salatnya harus dikerjakan secara tamam (sempurna).[353]

Niat Sepuluh Hari

1. Seorang musafir yang berniat tinggal di satu tempat selama 10 hari; jika dia tinggal di sana

lebih dari 10 hari dan selama belum pergi ke tempat lain, maka salatnya harus tamam

(sempurna) dan tidak perlu niat lagi untuk tinggal selama 10 hari.[354]

2. Jika seorangmusafir membatalkan niat tinggal 10 hari:

a. Jika sebelum mengerjakan salat yang empat rakaat membatalkan niatnya, dia harus

mengqoshr salatnya.

b. Setelah mengerjakan satu salat yang empat rakaat dia membatalkan niatnya, maka selama

berada di tempat tersebut dia harus mengerjakan salat secara tamam (sempurna).[355]

Musafir yang Mengerjakan Salat secara Tamam

1. Jika dia tidak tahu bahwa musafir harus meng-qoshr salatnya, salat yang sudah dikerjakannya

adalah sah.[356]

2. Dia tahu hukum salat dalam bepergian, tetapi tidak tahu sebagian darinya (yakni, dari rincian

hu-kumnya) atau tidak tahu kalau dirinya sebagai musafir, maka salat yang sudah

dikerjakannya harus diulangi lagi.[357] .[358]

Masalah: seseorang harus mengerjakan salatnya secara sempurna. Akan tetapi jika dia meng-qoshr

salat, maka da-lam kondisi apapun salatnya batal.[359] .[360]

Kesimpulan Pelajaran

1. Seseorang dalam bepergian harus meng-qoshr salat yang empat rakaat (salatnya yang empat

rakaat harus dikerjakan dalam dua rakaat saja) dengan syarat; jarak bepergiannya tidak

kurang dari 45 km.

2. Dalam bepergian, seorang musafir bisa meng-qoshr salatnya jika sudah jauh sampai dia tidak

melihat lagi dinding-dinding kota tempat tinggalnya dan tidak lagimendengar azan di sana.

3. Jika dia pergi dari suatu tempat yang tidak memiliki dinding, maka dia harus mengandaikan

bahwa sekira-nya tempat tersebut memiliki dinding, maka sampai di daerah tertentu dinding

itu sudah tak terlihat lagi.

4. Pada beberapa hal di bawah ini, salat harus dikerjakan secara sempurna:

a. Bepergian di mana sebelum 45 km musafir sudah sampai di daerah tempat tinggalnya.

b. Musafir tidak berniat bepergian sejarak 45 km.

c. Pekerjaan musafir adalah bepergian.

d. Orang yang bepergiannya adalah haram.

5. Wathon (tempat tinggal) dan tempat yang di situ musafir berniat mukim selama sepuluh hari,

maka salatnya harus dikerjakan secara sempurna.

6. Wathon (tempat tinggal) adalah tempat yang dipilih oleh seseorang untuk tinggal dan

hidupnya.

7. Selama seseorang tidak berniat tinggal untuk selamanya di tempat yang bukan wathon-nya,

maka tempat itu tidak bisa dihitung sebagai wathon-nya.

8. Musafir yang kembali ke tempat tinggalnya, ketika sam-pai di daerah yang dari situ dia bisa

melihat dinding-dinding tempat tinggalnya dan mendengar azannya, maka dia harus

mengerjakan salatnya secara sempurna.

9. Seorang musafir tidak tahu hukum qoshr salat musafir sehingga dia mengerjakan salatnya

secara tamam (sem-purna), maka salatnya sah. Akan tetapi, jika dia tahu pokok masalahnya

(bahwa musafir harus meng-qoshr salat yang empat rakaat) hanya saja dia tidak tahu

rinciannya, lalu dia mengerjakan salatnya secara sem-purna, maka dia harus mengulangi salat

tersebut.

10. Seseorang wajib mengerjakan salat secara sempurna. Apabila dia mengerjakannya secara

qoshr, maka dalam kondisi apapun salatnya batal.

Pertanyaan:

1. Salat harian yang berapa rakaatkah yang harus diring-kas selama bepergian?

2. Seseorang dari tempat tinggalnya pergi ke kota bagian timur yang jaraknya 32 km lalu

kembali ke tempat tinggalnya, kemudian dia pergi lagi ke kota bagian barat yang jaraknya

dari desa pertama (bagian timur) adalah 50 km, kemudian kembali lagi ke tempat tinggalnya.

Apakah salatnya harus tamam atau qoshr di dua desa itu dan di tengah perjalanannya?

3. seorang pegawai atau tentara yang karena tugas mereka tinggal di suatu tempat selama

bertahun-tahun; apakah tempat itu termasuk tempat tinggalmereka?

4. Jelaskan tolok ukur suatu tempat itu menjadi tempat tinggal seseorang!

5. Seorang petani pulang dan pergi ke sawahnya setiap hari, dan jarak antara rumah dan sawah

adalah 3 farsakh, bagaimana hukum salatnya?

6. Seseorang dari desa pergi ke kota untuk bekerja. Ketika sedang dalam perjalanan kembali ke

desa, apakah dia harus mengerjakan salat secara tamam atau qasar?

7. apakah sah salat seorangmusafir yang lupa sehingga mengerjakan salatnya secara tamam?

Pelajaran 26

SALAT QODHO

Pada pelajaran 13 telah dijelaskan bahwa salat qodho adalah salat yang dikerjakan setelah habis

waktunya. Jelas bahwa setiap orang harus mengerjakan seluruh salat wajib pada waktunya, dan

jika tanpa uzur salatnya menjadi qodho, maka dia terhitung sebagai pendosa dan harus bertaubat

serta mengerjakan salat qodho.

1. Pada dua hal mengerjakan salat qodho adalah wajib:

a. Jika salat wajibnya tidak dikerjakan pada waktunya.

b. Setelah lewat waktunya dia paham, bahwa salatnya tadi batal.[361]

2. Seseorang yang memiliki salat qodho tidak boleh mere-mehkannya, akan tetapi tidak wajib

untuk bersegera mengerjakannya.[362]

3. Macam-macam kondisi seseorang sekaitan dengan salat qodho:

a. Dia yakin bahwa dirinya tidak punya tanggungan salat qodho, maka tidak ada kewajiban

atas dirinya.

b. Dia ragu; apakah punya tanggungan salat qodho atau tidak, maka tidak ada kewajiban atas

dirinya.

c. Dia menduga ‘mungkin’ dirinya punya tanggungan salat qodho, maka sunah mengerjakan

salat qodho.

d. Dia yakin punya tanggungan salat qodho, akan tetapi tidak tahu berapa jumlahnya,

misalnya tidak tahu apakah 4 atau 5; jika dia mengerjakan 4 (yang lebih sedikit) maka itu

sudah cukup baginya.

e. Dia tahu jumlah salat qodho tetapi lupa, maka jika dia mengerjakan jumlah yang lebih

sedikit, ini sudah cukup baginya.

f. Dia tahu jumlah salat qodho-nya, maka dia harus me-ngerjakan sesuai jumlah tersebut.[363]

4. Meng-qodho salat harian tidak harus[364] dikerjakan secara tertib, misalnya jika seseorang pada

hari ini tidak salat Asar lalu besoknya tidak salat Zuhur, dia tidak harus meng-qodho salat

Asar terlebih dahulu kemudian meng-qodho salat Zuhur.[365]

5. Salat qodho bisa dikerjakan secara berjamaah, baik salat imam jamaah itu salat qodho ataupun

salat ada’an (salat pada waktunya), dan tidak harus makmum dan imam mengerjakan salat

yang sama. Misalnya, jika makmum mengerjakan salat qodho Subuh secara berjamaah dengan

imam yang sedangmengerjakan salat Zuhur atau salat Asar, maka tidak ada masalah.[366]

6. Jika seorang musafir—yang wajib meng-qoshr salat—ternyata salat Zuhur, atau Asar, atau

Isyanya menjadi salat qodho, maka dia harus mengerjakan salat qodho-nya itu secara qoshr

(ringkas; menjadi dua rakaat), walaupun dia ingin mengerjakan salat qodho-nya pada saat

tidak sedang bepergian.[367]

7. Dalam bepergian, seorang musafir tidak boleh berpuasa, sekalipun puasa qodho, akan tetapi

dia bisa mengerjakan salat qodho.[368]

8. Jika dalam bepergian dia ingin mengerjakan salat-salat qodho yang tamam/bukan qoshr, maka

salat qodho Zuhur, Asar dan Isyanya harus dikerjakan juga secara tamam (sempurna), yakni 4

rakaat.[369]

9. Salat qodho bisa dikerjakan sewaktu-waktu. Misalnya, sa-lat qodho Subuh bisa dikerjakan pada

siang atau malam hari.[370]

Salat Qodho Ayah

1. Selama seseorang masih hidup, orang lain tidak boleh mengerjakan salat qodho-nya, sekalipun

dia tidakmam-pu mengerjakan salat.[371]

2. Setelah ayah wafat, anak laki-laki terbesar wajib menger-jakan salat qodho dan puasa qodho

ayahnya. Dan berda-sarkan ihtiyath mustahab[372] , anak laki-laki terbesar itu juga hendaknya

mengerjakan salat qodho dan puasa qodho ibunya yang sudah meninggal.[373]

3. Macam-macam kondisi anak laki-laki terbesar sekaitan dengan salat qodho ayahnya:

· Dia tahu bahwa ayahnya punya salat qodho:

a. Dia tahu berapa jumlahnya: maka dia wajib mengerjakan salat qodhonya sejumlah itu.

b. Dia tidak tahu berapa jumlahnya: jika dia me-ngerjakan jumlah yang lebih sedikit, ini

sudah cukup.

c. Dia ragu apakah ayahnya telah mengerjakan salat qodhonya sendiri atau belum: maka

ber-dasarkan ihtiyath wajib dia harus mengerjakan salat qodho ayahnya.[374]

· Dia ragu apakah ayahnya punya salat qodho atau tidak: maka tidak ada kewajiban mengqodho

salat tersebut atas dirinya.[375]

4. Jika anak laki-laki hendak mengerjakan salat qodho ayah atau ibunya, maka dia harus

mengerjakan sesuai dengan tugasnya. Misalnya, salat qodho Subuh, Maghrib dan Isya harus

dikerjakan dengan suara keras.[376]

5. Jika sebelum anak laki-laki terbesar meninggal sebelum dia sempat mengerjakan salat qodho

dan puasa qodho ayahnya, maka tidak ada kewajiban meng-qodho ke atas adik laki-laki

terbesarnya.[377] .   [378]

Kesimpulan Pelajaran

1. Mengerjakan salat-salat qodho yang belum dikerjakan dan salat-salat yang tidak sah adalah

wajib.

2. Jika tidak tahu; apakah punya salat qodho atau tidak, maka tidak ada kewajiban meng-qodho

atas dirinya.

3. Jika dia tahu bahwa dia punya tanggungan salat qodho, hanya saja dia tidak tahu berapa

jumlahnya; jika dia mengerjakannya menurut jumlah yang dia bisa dia pas-tikan bahwa itu

tidak kurang dari jumlah sebenarnya, maka sudah cukup.

4. Salat qodho bisa dikerjakan secara berjamaah.

5. Salat qodho bisa dikerjakan sewaktu-waktu, baik malam atau siang, dalam bepergian atau

tidak.

6. Setelah wafatnya ayah, wajib atas anak laki-laki terbesar agar mengerjakan salat qodho dan

puasa qodho ayahnya.

7. Jika anak laki-laki terbesar tidak tahu apakah ayahnya punya tanggungan salat qodho atau

tidak, maka tidak ada kewajiban meng-qodho atas dirinya.

8. Jika seorang ayah tidak punya anak laki-laki, atau anak laki-laki terbesarnya wafat sebelum

mengerjakan salat dan puasa qodho ayahnya, maka tidak ada kewajiban meng-qodho ke atas

yang lain.

Pertanyaan:

1. Apa perbedaan antara salat ada’an dan salat qodho?

2. Apa tugas orang yang tahu bahwa dia punya tang-gungan salat qodho, akan tetapi dia tidak

tahu berapa jumlahnya?

3. Jika setelah mengerjakan salat zuhur dan asar, ingin mengerjakan salat qodho subuh apakah

bacaannya harus di baca keras atau pelan?

4. Apa tugas seorang anak lelaki yang tidak tahu; apakah ayahnya punya tanggungan salat qodho

atau tidak, sementara dulu ayahnya tidakmengatakan apa-apa?

Pelajaran 27

SALAT JAMAAH(1)

Dari sekian banyak masalah yang mendapatkan perhatian khusus dalam Islam ialah persatuan umat. Dalam rangka menjaga dan membina persatuan ini, Islam memiliki prog-ram-program

khusus, di antaranya salat Jamaah.

Dalam salat jamaah, salah satu dari para pelaku salat yangmemiliki kriteria dan syarat khusus berdiri di depan dan yang lainnya berbaris secara teratur di belakangnya untuk mengerjakan salat secara bersama-sama. Orang yang berdiri di depan disebut sebagai imam jamaah, sedangkan orang yang berbaris di belakangnya untukmengikuti salat disebut sebagai makmum.

Pentingnya Salat Jamaah

Dalam hadis-hadis, banyak sekali ditekankan pahala salat Jamaah secara detil. Dan pada sebagian dari masalah fikih, kita akan mendapatkan pentingnya ibadah ini, dan pada pelajaran inilah kita

akan mempelajari sebagian darinya. Yaitu:

1. Sunah mengerjakan salat secara berjamaah, khususnya bagi tetangga masjid.[379]

2. Seseorang disunahkan untuk bersabar sehingga menger-jakan salatnya secara berjamaah.

3. Salat Jamaah—sekalipun tidak dikerjakan di awal waktu –lebih baik daripada salat di awal waktu yang diker-jakan sendirian.

4. Salat Jamaah yang dikerjakan secara singkat lebih baik daripada salat sendirian yang dikerjakan secara lama.[380]

5. Tidak seyogianya seseorang meninggalkan salat Jamaah tanpa uzur.

6. Tidak hadir dalam salat Jamaah lantaran acuh tak acuh tidaklah diperbolehkan.[381]

Syarat-syarat Salat Jamaah

1. Makmum tidak boleh berdiri lebih depan dari imam jamaah, dan menurut ihtiyath wajib,

makmum berdiri lebih belakang dari imam.

2. Tempat salat imam jamaah tidak boleh lebih tinggi dari tempat salat makmum.

3. Tidak boleh ada jarak yang besar antara imam dengan makmum dan antara barisan-barisan

(shoff) makmum.

4. Tidak boleh ada pemisah antara imam jamaah dan makmum, begitu juga antara barisanbarisan

(shoff), seperti dinding atau tabir. Akan tetapi, adanya tabir pemisah antara barisan

laki-laki dan barisan perempuan tidak apa-apa.[382]

Imam salat jamaah harus adil, baligh dan bisa

mengerjakan salat dengan benar.[383]

Mengikuti Imam Salat Jamaah

Mengikuti imam untuk salat Jamaah bisa dilakukan dalam setiap rakaat,[384] itu pun hanya pada saat

bacaan (Al-Fatihah dan surah) dan rukuk. Oleh karena itu, jika imam sudah selesai rukuk,

hendaknya makmum menunggu sampai imam memulai rakaat berikutnya kemudian barulah dia

bergabung dan mengikutinya. Dan, jika dia berjamaah pada saat imam dalam keadaan rukuk,

maka ini sudah terhitung satu rakaat.

Beberapa Kondisi Makmum untuk Berjamaah

1. Berjamaah pada Rakaat Pertama

a. Pada saat bacaan: makmum tidak boleh membaca Al-Fatihah dan surah, namun dia harus

mengerjakan amalan-amalan salat lainnya bersama imam jamaah.

b. Pada saat rukuk: makmum mengerjakan rukuk dan amalan lainnya bersama imam

jamaah.[385]

2. Berjamaah pada Rakaat Kedua

a. Pada saat bacaan: makmum tidak membaca Al-Fatihah dan surah, akan tetapi

mengerjakan qunut, rukuk dan sujud bersama imam jamaah. Dan, pada saat imam jamaah

membaca tasyahud, berdasarkan ihtiyath wajib hendaknya makmum duduk dalam kondisi

jongkok[386] , lalu jika salatnya jenis dua rakaat (misalnya salat Subuh) maka rakaatnya yang

kedua dilakukan sendirian dan menyelesaikannya, dan jika salatnya jenis tiga (salat

Maghrib) atau empat rakaat; dimana makmum mengerjakan rakaat kedua semen-tara

imam jamaah mengerjakan rakaat ketiga, maka makmum harus membaca Al-Fatihah dan

surah sekalipun imam sedangmembaca Empat Tasbih.

Dan tatkala imam jamaah telah menyelesaikan rakaat ketiga dan berdiri untuk rakaat

keempat, hen-daknya makmum—setelah melakukan dua sujud—membaca tasyahud

kemudian berdiri untuk menger-jakan rakaat ketiga. Dan manakala imam jamaah sedang

menyelesaikan rakaat terakhir dengan mem-baca tasyahud dan salam, makmum harus

berdiri untuk satu rakaat lagi secara sendirian.[387]

b. Pada saat rukuk: makmum melakukan rukuk ber-sama imam lalu melanjutkan salat

sebagaimana penjelasan di atas ini (2.a.).

3. Berjamaah pada Rakaat Ketiga

a. Pada saat bacaan: jika makmum tahu bahwa dia punya waktu cukup untuk membaca Al-

Fatihah dan surah lain atau Al-Fatihah saja, maka dia bisa mengikuti imam jamaah dan

harus membaca Al-Fatihah dan surah lainnya atau surah Al-Fatihah saja. Jika dia tahu

bahwa waktunya tidak cukup, maka berdasarkan ihtiyath wajib hendaknya bersabar

sampai imam melakukan rukuk kemudian barulah dia berjamaah dan mengikuti imam

jamaah.

b. Pada saat rukuk: jika makmum mengikuti imam pada saat imam dalam keadaan rukuk,

maka mak-mum harus melakukan rukuk bersama imam dan gugurlah pembacaan Al-

Fatihah dan surah lainnya untuk rakaat ini, dan makmum melanjutkan salat-nya

sebagaimana telah dijelaskan (2.b.).[388]

4. Berjamaah pada Rakaat Keempat

a. Pada saat bacaan: hukumnya sama dengan ber-jamaah pada rakaat ketiga (3.a.). Dan

ketika imam jamaah—pada rakaat terakhir—duduk untuk mem-baca tasyahud dan salam,

makmum bisa berdiri dan melanjutkan salatnya sendirian atau tetap duduk dalam kondisi

jongkok sampai imam menyelesaikan bacaan tasyahud dan salam lantas dia (makmum)

berdiri.

b. Pada saat rukuk: makmum melakukan rukuk dan dua sujud bersama imam jamaah—

dimana ketika ini, imam pada rakaat keempat dan makmum pada rakaat pertama—lalu

makmum melanjutkan salat-nya sendirian sebagaimana telah dijelaskan (4.a.).[389]

Kesimpulan Pelajaran

1. Mengerjakan salat wajib secara berjamaah—khususnya salat harian—adalah sunah.

2. Salat Jamaah lebih utama daripada salat sendirian yang dikerjakan di awal waktu.

3. Salat Jamaah lebih utama daripada salat sendirian yang dikerjakan secara lama.

4. Tidak hadir dalam salat Jamaah karena acuh tak acuh tidaklah diperbolehkan.

5. Tidak baikmeninggalkan salat Jamaah tanpa uzur.

6. Imam jamaah harus adil, baligh dan bisa mengerjakan salat dengan benar.

7. Makmum tidak boleh berdiri lebih depan dari imam jamaah, begitu juga imam tidak boleh

berdiri lebih ting-gi tempatnya darimakmum.

8. Jarak antara imam dengan makmum dan jarak antara barisan-barisan tidak boleh jauh (kirakira

satu meter).

9. Mengikuti salat Jamaah pada setiap rakaat hanya boleh pada saat bacaan dan rukuk. Oleh

karena itu, jika mak-mum mulai berjamaah setelah imam jamaah rukuk, maka dia harus

memulai berjamaah pada rakaat beri-kutnya.

Pertanyaan:

1. Jelaskan kalimat ini, “Tidak boleh meninggalkan salat berjamaah karena acuh tak acuh”!

2. Dalam keadaan bagaimanakah bisa membaca tasyahud empat kali pada salat yang empat

rakaat?

3. Kewajiban salat yang manakah makmum tidak boleh melakukannya?

4. Apabila kamu berjamaah pada saat imam sedang mela-kukan rukuk rakaat kedua, bagaimana

kamu mengerja-kan kelanjutan salatmu?

5. Apa yang dimaksudkan dari keadilan? Jelaskan!

Pelajaran 3

BERSUCI

Sebagaimana pada Pelajaran1, semua ajaran-ajaran Islam yang berkaitan dengan amalan disebut

dengan fikih. Dalam fikih Islam, salah satu yang paling penting ialah menjalan-kan kewajibankewajiban.

Salah satu kewajiban yang paling penting dan utama adalah salat.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan salat dapat dibagimenjadi tiga:

· Pendahuluan-pendahuluan salat (muqaddamat).

· Amalan-amalan salat (muqarinat).

· Hal-hal yang membatalkan salat (mubthilat).

Maksud dari pendahuluan-pendahuluan salat yaitu seorang pelaku salat harus menjaganya

sebelum melakukan salat.

Maksud dari amalan-amalan salat adalah hal-hal yang berkaitan dengan bacaan salat; dari

takbirotul ihrom sampai pembacaan salam.

Dan maksud dari hal-hal yang membatalkan salat yaitu apa saja yang berkaitan dengan segala

sesuatu yang bisa membatalkan salat.

Pendahuluan-pendahuluan Salat

Dari sekian masalah yang harus diperhatikan oleh pelaku salat sebelum mengerjakan salat ialah

bersuci dan kesucian. Pelaku salat harus menyucikan badan dan pakaiannya dari najis. Untuk

bersuci dari najis dan cara menyucikan sesuatu yang najis diperlukan pengetahuan tentang najis.

Oleh kare-na itu, kami akan menjelaskan ihwal najis

Sebelum mengenal hal-hal yang najis, perhatikan sebuah kaidah umum dalam fikih Islam:

Apa saja yang di dalam ini adalah suci, kecuali sebelas benda najis dan apa saja yang bersentuhan dengannya

Benda-benda Najis:

1. Kencing.

2. Tinja.

3. Mani.

4. Bangkai.

5. Darah.

6. Anjing.

7. Babi.

8. Arak dan setiap cairan yangmemabukkan.

9. Fuqqa’; yaitu minuman yang dibuat dari bulir (seje-nis gandum).

10. Orang kafir.

11. Keringat unta pemakan tinja manusia.

Keterangan:

Kencing dan tinja manusia dan hewan yang dagingnya haram dan darahnya mengalir adalah najis.

Hewan yang darahnya mengalir adalah hewan yang jika urat nadinya dipotong maka

darahnya memancur seperti: kucing dan tikus.

Manusia dan hewan yang darahnya mengalir seperti: kambing, maka air mani, bangkai dan

darah mereka najis.

Anjing dan babi yang hidup di darat adalah najis, tetapi anjing dan babi yang hidup di laut

tidak najis.

Kesucian (thaharah) berbeda dengan kebersihan. Demi-kian juga najis tidaklah sama dengan

kotor. Boleh jadi sesu-atu itu dianggap bersih, akan tetapi menurut hukum Islam, ia belum tentu

dinyatakan suci. Yang diinginkan oleh Islam adalah kesucian dan kebersihan. Artinya, seseorang

harus memperhatikan kesucian dan kebersihan diri, lingkungan dan kehidupannya. Dan

pelajaran kita ini berkaitan dengan kesucian.

Masalah:

1. Kencing dan tinja manusia dan seluruh hewan yang da-gingnya haram dan darahnya

mengalir adalah najis.[38]

2. Kencing dan tinja seluruh hewan yang halal dagingnya seperti: sapi, kambing dan seluruh

hewan yang darah-nya tidak mengalir seperti: ular dan ikan adalah suci.[39]

3. Kencing dan tinja seluruh hewan yang makruh da-gingnya seperti: kuda dan keledai adalah

suci.[40]

4. Tinja seluruh burung yang haram dagingnya seperti; gagak, adalah najis.[41] &[42]

Hukum Bangkai [43]

Mayat manusia, walaupun baru meninggal dunia dan ba-dannya belum dingin (selain

anggotanya yang tidak bernyawa—yakni mati—seperti: kuku, rambut dan gigi), seluruh

badannya najis, kecuali:[44]

1. Meninggal dunia di medan perang (syahid).

2. Sudah dimandikan (tiga kali mandi secara sempurna).

Bangkai Binatang

1. Bangkai hewan yang darahnya tidakmengalir seperti; ikan, adalah suci.

2. Bangkai hewan yang darahnya mengalir, maka ang-gota-anggota tubuhnya yang tidak

bernyawa (mati) seperti: bulu dan tanduk, adalah suci, sementara ang-gota-anggota

tubuhnya yang bernyawa (hidup) seperti daging dan kulit, adalah najis.[45]

Hukum Bangkai Binatang

1. Anjing dan babi; seluruh anggota badan mereka adalah najis.

2. Binatang-binatang selain anjing dan babi:

a. Yang darahnya memancur/mengalir:

· Anggota badannya yang hidup adalah najis.

· Anggota badannya yang mati adalah suci.

b. Yang darahnya tidak memancur/tidak mengalir; maka seluruh anggota badan mereka adalah suci.

Hukum-hukum Darah

1. Darah manusia dan darah setiap hewan yang darahnya mengalir adalah najis seperti; ayam

dan kambing.

2. Darah hewan yang darahnya tidak mengalir adalah suci seperti; ikan dan nyamuk.

3. Darah yang kadang-kadang ada pada telur tidaklah najis, akan tetapi berdasarkan ihtiyath

wajib, hendaknya tidak dimakan. Jika darah sudah bercampur dengan kuning telur sehingga

tidak tampak lagi, maka tidak ada larangan untukmemakan kuningnya.[46]

4. Darah yang keluar dari sela-sela gigi (gusi), jika sudah bercampur dengan air ludah dan tidak

tampak lagi, maka hukumnya suci, dan dengan demikian tidak ada larangan untuk menelan

air ludah tersebut.[47]

Kesimpulan Pelajaran

1. Untukmengerjakan salat, badan dan pakaian pelaku salat harus suci.

2. Seluruh apa yang ada di alam ini hukumnya suci kecuali 11 benda najis.

3. Jenazah manusia yang meninggal tidak di medan pe-rang dan belum dimandikan, maka

hukumnya najis kecuali anggota tubuhnya yang tak bernyawa (mati).

4. Bangkai anjing, babi dan anggota-anggota yang ber-nyawa (hidup) dari seluruh bangkai

hewan yang da-rahnya mengalir adalah najis.

5. Bangkai seluruh hewan yang darahnya tidak mengalir, begitu juga anggota-anggota yang tak

bernyawa dari seluruh bangkai hewan yang darahnya mengalir adalah suci.

6. Seluruh hewan yang darahnya mengalir, maka darah mereka najis.

7. Darah yang berada pada telur tidaklah najis, akan tetapi berdasarkan ihtiyath wajib, hendaknya

tidak dimakan kecuali jika sedikit sehingga ketika dikocok tidak tam-pak lagi.

8. Darah yang keluar dari sela-sela gigi, jika bercampur dengan air ludah dan tidak tampak lagi,

hukumnya suci dan tidak apa-apa menelannya.

Pertanyaan:

1. Apa hukum bangkai ular, kalajengking dan katak?

2. Apa hukum tinja keledai dan tinja burung gagak?

3. Apa hukumdarah yang tampak di mulut ketika meng-gosok gigi?

4. Manusia yang bagaimana sehingga badannya dihukumi suci tatkala meninggal dunia?

5. Apakah bulu kambing yang sudah mati bisa digunakan?

Pelajaran 4

BAGAIMANASESUATU YANGSUCI

BISAMENJADINAJIS?

Pada pelajaran yang lalu, telah dijelaskan bahwa semua yang ada di alam ini hukumnya suci,

kecuali sebagian kecil saja. Namun demikian, sesuatu yang suci bisa menjadi najis karena

bersentuhan dengan benda najis. Ini terjadi dengan syarat; salah satu dari keduanya (benda yang

suci atau benda yang najis) harus basah. Perlu ditambahkan, bahwa kebasahan salah satu dari

kedua benda itu telah berpindah ke yang lain.[48]

1. Jika benda yang suci bersentuhan dengan benda najis dan salah satu dari keduanya basah dan

mempengaruhi yang lain dengan kebasahannya, maka benda yang suci itu menjadi najis.

2. Kasus-kasus di bawah ini dihukumi suci:

· Tidak tahu pasti; apakah benda yang suci telah bersentuhan atau tidak dengan benda

najis.

· Tidak tahu pasti; benda yang suci dan benda najis itu basah atau tidak.

· Tidak tahu pasti; kebasahan salah satunya berpe-ngaruh dan berpindah kepada yang lain

atau tidak.[49]

Beberapa Masalah

1. Jika seseorang tidak tahu; benda yang tadinya suci telah menjadi najis atau belum, maka

hukumnya suci dan tidak wajib untuk memeriksanya, walaupun bisa dike-tahui kenajisannya

atau kesuciannya.[50]

2. Haram memakan dan meminum sesuatu yang najis.[51]

3. Jika seseorang melihat orang lain memakan sesuatu yang najis atau salat dengan baju yang

najis, dia tidak wajib memberitahukan kepadanya.[52]

Benda-benda yang Bisa Menyucikan

Bagaimana sesuatu yang terkena najis bisa menjadi suci? Semua yang terkena najis bisa kembali

suci dengan benda-benda penyuci. Benda-benda yang dapat menyucikan itu antara lain:

1. Air.

2. Tanah.

3. Sinar matahari.

4. Islam.

5. Hilangnya najis.[53]

Air bisa menyucikan sesuatu yang terkena najis. Air banyak sekali macamnya. Mengetahui

macam-macam air sangat membantu kita untuk lebih mudah mempelajari masalah-masalah yang

berkaitan dengannya.

Macam-macam Air

1. Air mudhaf.

2. Air mutlaq:

· Air sumur

· Air mengalir

· Air hujan

· Air diam:

1. Kur (banyak).

2. Qalil (sedikit).

Air mudhaf adalah air yang diambil dan diperas dari sesuatu seperti; air apel dan air semangka,

atau air yang sudah bercampur sehingga tidak bisa dikatakan lagi bahwa itu air murni seperti:

sirup.

Dan air mutlaq yaitu air yang selain mudhaf.

Hukum-hukum Air Mudhaf

1. Tidak bisa menyucikan sesuatu yang najis (bukan ter-masuk benda yang bisa menyucikan).

2. Akan menjadi najis jika bersentuhan dengan benda najis, walaupun bau atau warna atau

rasanya tidak berubah, ataupun benda najis itu sedikit.

3. Berwudu dan mandi dengannya tidak sah.[54]

Macam-macam Air Mutlaq

Yaitu air yang keluar dari bumi, atau turun dari langit, atau tidak keluar dari bumi juga tidak

turun dari langit. Air yang turun dari langit disebut air hujan, dan air yang keluar dari bumi,

kalau dia bergerak disebut sebagai air mengalir, dan kalau dia tidak bergerak disebut sebagai air

sumur. Air yang tidak keluar dari bumi juga tidak turun dari langit disebut sebagai air diam. Air

diam; kalau ukurannya banyak, maka disebut sebagai kur (banyak), dan kalau sedikit, dia disebut

sebagai qalil (sedikit).

Ukuran Air Kur (Banyak)[55]

1. Yaitu air yang berada dalam bak atau kolam yang ukurannya tiga jengkal setengah (kurang

lebih 70 cm panjang, lebar dan tingginya).[56]

2. Beratnya sekitar 377 hingga 419 kg.

Ukuran Air Qalil (Sedikit)

Air yang kurang dari kur disebut dengan air qalil. Hanya air mutlaq yang bisa menyucikan sesuatu

yang terkena najis. Boleh jadi air mudhaf bisa membersihkan kotoran, akan tetapi ia sama sekali

tidak akan bisa menyucikan najis.

Pada pelajaran yang akan datang, kita akan mengenal hukum-hukum air mutlaq dan cara-cara

bersuci dengannya.

Kesimpulan Pelajaran

1. Sesuatu yang bisa menyucikan bisa menyucikan semua benda yang terkena najis. Artinya,

tidak ada sesuatu yang terkena najis yang tidak bisa disucikan.

2. Sesuatu yang bisa menyucikan antara lain; air, tanah, sinar matahari, Islam dan hilangnya

benda najis.

3. Di antara yang bisa menyucikan adalah air, itu pun air mutlaq; bukan air mudhaf.

4. Air yang keluar dari bumi dan bergerak adalah air mengalir. Air yang keluar dari bumi dan

tidak bergerak adalah air sumur. Air yang tidak keluar dari bumi juga tidak turun dari langit

adalah air diam. Lalu, jika air yang diam itu banyak, dia disebut kur (banyak), dan jika sedikit,

dia disebut qalil (sedikit).

5. Jika berat air mencapai 377 hingga 419 kg, maka dia di-sebut air kur.

Pertanyaan:

1. Apa perbedaan antara air mutlaq dan air mudhaf?

2. Apa perbedaan antara air sumur dan air mengalir?

3. Hitunglah bak air yang panjangnya 25 jengkal, lebarnya 5 jengkal dan dalamnya 1 jengkal;

apakah mencapai kur atau tidak?

4. Seseorang yang kakinya basah dan menginjak karpet yang najis, akan tetapi dia tidak tahu

apakah kebasahan kakinya sampai pada karpet atau tidak, apakah kakinya dihukumi najis?

Pelajaran 5

HUKUM-HUKUMAIR

Air Qalil (Sedikit)

1. Jika air qalil bertemu dengan benda najis, maka ia men-jadi najis (misalnya, disiramkan ke

permukaan benda najis (atau benda yang ternajisi) atau benda yang najis bertemu

dengannya).[57]

2. Jika air qalil yang najis dan bercampur itu bersambung dengan air kur atau air mengalir, maka

ia menjadi suci. Misalnya, air qalil yang sudah najis diletakkan di bawah kran air yang

bersambung dengan sumber air kur, lalu kran air tersebut dibuka sehingga bercampur dengan

air qalil tersebut[58] .[59]

Air Kur, Air Mengalir, Air Sumur

1. Segala macam air mutlak selain air qalil, selama bau atau warna atau rasanya tidak berubah

karena benda najis, maka hukumnya suci. Dan jika bersentuhan dengan benda najis sehingga

bau atau warna atau rasanya ber-ubah, maka dihukumi najis. Air-air yang memiliki hu-kum

di atas tadi adalah air mengalir, air sumur, air kur, begitu juga air hujan.[60]

2. Hukum air ledeng yang bersambung dengan sumber air kur adalah seperti hukum air kur itu

sendiri.[61]

Ciri-ciri Air Hujan

1. Jika air hujan turun hanya sekali pada sesuatu yang najis yang sudah tidak ada benda najis

padanya,[62] maka sesuatu itu menjadi suci.

2. Jika air hujan turun pada karpet dan baju yang najis, karpet dan baju menjadi suci dan tidak

perlu diperas.[63]

3. Jika hujan turun pada tanah yang najis, maka tanah ini menjadi suci.

4. Mencuci sesuatu yang najis di genangan air hujan yang kurang dari satu kur, maka selama

hujan masih ber-langsung dan air genangan itu tidak berubah bau, warna atau rasanya,

hukum air itu adalah suci.[64]

Hukum-hukum Keraguan tentang Air

1. Air yang ukurannya tidak jelas; apakah air kur atau bukan; jika tersentuh najis, maka ia tidak

najis, akan tetapi tidakmemiliki hukum-hukum air kur.

2. Air yang ukuran sebelumnya adalah kur, tetapi sekarang diragukan; apakah sudah menjadi air

qalil atau belum, maka hukumnya adalah air kur.

3. Air yang tidak jelas; apakah suci atau najis, maka dihukumi suci.

4. Air yang sebelumnya suci lalu diragukan; apakah masih suci atau sudah najis, maka hukumnya suci.

5. Air yang sebelumnya najis lalu belum jelas; sudah kembali suci ataukah masih najis, maka dihukumi najis.

6. Air yang sebelumnya adalah air mutlak lalu tidak jelas; apakah sudah menjadi air mudhaf atau

masih air mutlak, maka dihukumi tetap sebagai air mutlak.[65]

Bagaimana Sesuatu yang Ternajisi Dapat

Kembali Suci dengan Air?

Air adalah sumber kehidupan dan penyuci kebanyakan hal-hal yang ternajisi. Air terhitung

sebagai penyuci yang digu-nakan oleh semua manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sekarang,

mari kita belajar bagaimana sesuatu yang ternajisi bisa menjadi suci dengan air.

Penyucian Sesuatu yang Ternajisi [66]

1. Penyucian wadah:

· Dengan air kur: cukup dengan sekali siraman.

· Dengan air qalil: tiga kali siraman.

2. Penyucian selain wadah:

· Najis oleh air kencing:

- Dengan air kur: sekali.[67]

- Dengan air qalil: dua kali.

· Najis oleh selain kencing:

- Dengan air kur: sekali.

- Dengan air qalil: sekali.

Keterangan:

a. Untuk menyucikan sesuatu yang (terkena) najis, per-tama-tama hilangkan benda najisnya

kemudian cucilah sesuai dengan penjelasan di atas. Misalnya, wadah yang najis dan setelah

benda najisnya dihilangkan; jika dicuci di air kur, maka sekali cucian saja sudah cukup.

b. Karpet, pakaian atau apa saja yang semacamnya yang bisa menyerap air dan bisa diperas, jika

menyucikannya dengan air qalil, maka setiap kali disiram hendaknya diperas sehingga air

yang ada di dalamnya keluar, atau dengan cara apa saja sehingga air itu keluar. Bila menyucikannya

dengan air kur atau dengan air mengalir, maka berdasarkan ihtiyath wajib

hendaknya diperas sam-pai airnya keluar.[68]

c. Hukum air mengalir dan air sumur untuk menyucikan sesuatu yang najis adalah seperti

hukum air kur.

Masalah:

Cara menyucikan wadah yang najis adalah sebagai berikut:

· Dengan air kur: masukkan ke dalamnya lalu angkat.

· Dengan air qalil: penuhilah wadah dengan air sebanyak tiga kali lalu kosongkan. Atau

siramkan air ke wadah sebanyak tiga kali, dan setiap siraman digoyangkan sedemikian rupa

sehingga airnya sampai ke letak-letak wadah yang terkena najis kemudian buanglah airnya.

Kesimpulan Pelajaran

Bila air qalil bersentuhan dengan najis, ia menjadi najis.

Tentang air kur, air mengalir, air sumur, dan air hujan; jika bau, warna dan rasa mereka

berubah karena bersen-tuhan dengan najis, maka semua air inimenjadi najis.

3. Tentang seluruh air yang hukumnya sebagaimana hukum air kur; selama bau, warna dan rasa

mereka tidak berubah karena najis, maka hukum mereka adalah suci.

4. Air hujan bisa menyucikan, dan untuk karpet dan baju tidak perlu diperas. Dan selama bau,

warna dan rasanya tidak berubah karena najis, hukumnya adalah suci.

5. Tentang air yang tidak diketahui secara jelas; apakah air itu kur atau bukan; jika bersentuhan

dengan najis, maka ia tidak menjadi najis.

6. Air yang tidak diketahui secara jelas; apakah suci atau tidak, hukumnya adalah suci.

7. Air tidak diketahui, apakah air mutlak atau air mudhaf? Maka dihukumi air mutlak.

8. Seluruh barang yang najis (selain wadah) dengan sekali siraman menjadi suci, kecuali jika

najisnya lantaran ter-kena kencing, maka jika menyucikannya dengan air qalil, hendaknya

dicuci sebanyak dua kali.

9. Untuk menyucikan karpet dan pakaian dan semacam-nya, maka pada setiap siraman

hendaknya diperas atau dengan cara apa saja sehingga airnya keluar.

Pertanyaan:

1. Bagaimana air kur bisa menjadi najis?

2. Apakah hukum air hujan yang bergenang dalam sebuah genangan dan hujan itu sudah

berhenti seperti hukum air hujan yang sedang berlangsung?

3. Jika sumber air kadarnya lebih dari satu kur, lalu kita ragu apakah air yang ada di dalamnya

sebanyak satu kur atau tidak, apakah hukum air itu?

4. Bagaimana cara menyucikan pakaian najis karena ter-kena darah dengan memakai air qalil

atau air parit?

Pelajaran 6

CARAMENYUCIKAN TANAH

YANGNAJIS

Menyucikan Tanah [69]

1. Dengan air kur: pertama-tama, buanglah tanah yang ter-kena najis lalu siramkan air kur atau

alirkan air ke per-mukaannya sampai ke seluruh letak-letak najis.

2. Dengan air qalil:

a. Kalaulah permukaan tanah itu membuat air tidak bisa mengalir di atasnya (yakni tanah

itu menyerap air), maka tanah tidak bisa suci dengan air qalil.[70]

b. Jika air bisa mengalir di atas tanah, maka hanya per-mukaan yang dialiri air saja menjadi

suci.

Beberapa Masalah

1. Dinding yang najis bisa menjadi suci seperti halnya per-mukaan tanah.[71]

2. Dalam menyucikan permukaan tanah, jika air itu meng-alir dan masuk ke dalam sumur, atau

air itu mengalir ke tempat lain, maka seluruh permukaan tanah yang dialiri air tersebut

menjadi suci.

Tanah

1. Jika telapak kaki atau bawah sepatu berjalan dalam keadaan najis, dan karena bersentuhan

dengan tanah sehingga benda najisnya hilang, maka ia menjadi suci. Dengan demikian, tanah

adalah penyuci telapak kaki dan bawah sepatu, akan tetapi harus memenuhi bebe-rapa syarat:

a. Hendaknya tanah itu suci.

b. Hendaknya tanah itu kering (tidak basah).

c. Tanah penyuci dapat berupa tanah, pasir, batu, pa-ving dan sebagainya.[72]

Masalah: bila persentuhan telapak kaki atau bawah sepatu dengan tanah dapat menghilangkan

benda najisnya, maka ia menjadi suci. Akan tetapi, sebaiknya berjalan minimal sam-pai lima belas

langkah.[73]

Sinar Matahari

Sinar matahari—dengan syarat-syaratnya yang akan dise-butkan—dapat menyucikan bendabenda

seperti:

1. Tanah.

2. Bangunan dan bagian-bagiannya, seperti pintu dan jendela.

3. Pohon dan tumbuhan.[74]

Syarat-syarat Sinar Matahari sebagai Penyuci

 

1. Benda yang terkena najis hendaknya masih basah; sede-mikian rupa sehingga benda lain akan

basah seketika bersentuhan dengannya.

2. Benda yang terkena najis menjadi kering karena sinar matahari. Bila benda itu tetap basah

atau lembab, maka ia belumlah suci.

3. Hendaknya tidak ada penghalang yang menghalau sinar matahari seperti awan atau gorden,

kecuali jika sangat tipis dan tidak sampaimenghalau sinarnya.

4. Benda yang terkena najis itu menjadi kering semata-mata akibat sinar matahari. Artinya, tidak

dibantu oleh angin, misalnya.

5. Ketika sinar matahari memancar, hendaknya benda najis sudah tidak ada pada benda yang

ternajisi.[75] Bila benda najis itu masih ada padanya, maka sebelum terkena sinar matahari,

hendaknya benda najis tersebut dihi-langkan terlebih dahulu darinya.

6. Bagian luar dan dalam dinding atau tanah hendaknya kering sekaligus. Jadi, bila pada hari ini

bagian luarnya kering namun pada esok hari, bagian dalamnya baru kering, maka yang suci

pada hari ini adalah bagian luarnya saja.

Masalah:

jika tanah dan sebagainya terkena najis akan tetapi tidak basah, maka siramkanlah

sedikit air atau sesuatu yang bisa membasahinya ke atasnya, dan untuk menyucikannya biarkan

sinar matahari mengena padanya.[76]

Islam

Jika orang kafir membaca dua kalimat syahadat, dia menjadi Muslim, dan dengan demikian,

seluruh badannya menjadi suci. Kalimat syahadat adalah seperti di bawah ini:

اَشْه د اَنْ لاَ اِله اِلَّا اللهُ و اَشْه د اَنَّ م ح م د ا ر س و لُ الله   [77]

( Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muham-madan rasulullah)

Hilangnya Benda Najis

Pada dua perkara di bawah ini, sesuatu yang terkena najis bisa menjadi suci dengan hilangnya

benda najis dan tidakmemerlukan siraman air, yaitu:

1. Anggota badan binatang. Misalnya, tatkala seekor ayam memakan benda najis; patuknya

menjadi suci seketika hilangnya benda najis darinya.

2. Bagian-bagian dalam badan manusia seperti; bagian dalam mulut, hidung dan telinga.

Misalnya, ketika menggosok gigi, darah keluar dari gusi. Bila air ludah tidak berwarna darah,

maka mulut itu suci dan tidak perlu membasuhnya.[78]

Kesimpulan Pelajaran

1. Tanah yang tidak bisa dialiri air tidak dapat disucikan dengan air qalil.

2. Jika menyucikan tanah dengan air qalil, permukaan yang dialiri air saja menjadi suci, adapun

permukaan yang digenangi air adalah najis.

3. Telapak kaki dan bawah sepatu yang najis dapat men-jadi suci hanya dengan berjalan di atas

tanah lalu benda najisnya hilang.

4. Sinar matahari dengan syarat-syaratnya bisa menyuci-kan tanah, bangunan, pohon dan

tumbuhan.

5. Jika orang kafir menjadimuslim, maka dia menjadi suci.

6. Bagian dalam mulut dan hidung menjadi suci dan tidak perlu dibasuh hanya dengan

hilangnya najis dari bagi-an-bagian dalam tersebut

Pertanyaan:

1. Sebagian dari dinding rumah ternajisi. Jelaskan bagai-mana cara menyucikannya!

2. Bawah sepatu terkena lumpur yang najis. Bagaimana ia bisa menjadi suci dengan hanya

berjalan kaki?

3. Apakah sinar matahari bisa menyucikan kayu, gandum dan padi?

4. Bisakah menjadi suci; jika orang kafir membaca dua kali-mat syahadat dengan bahasa

Indonesia atau Inggris?

Pelajaran 7

WUDU

Setelah belajar mukadimah salat yang paling awal, yaitu penyucian badan dan pakaian dari halhal

najis, kita akan menjelaskan mukadimah kedua, yaitu wudu. Sebelum mela-kukan salat,

hendaknya pelaku salat berwudu dan memper-siapkan dirinya untuk menunaikan ibadah yang

agung ini. Bahkan pada keadaan tertentu, diwajibkan mandi terlebih dahulu; artinya membasuh

seluruh badan. Bila tidak bisa wudu atau mandi, dia harus melakukan amalan pengganti, yaitu

tayamum sebagaimana akan diterangkan hukumnya masing-masing pada pelajaran ini dan

pelajaran yang akan datang.

Cara Berwudu

Untuk berwudu, mula-mula membasuh wajah lalu memba-suh tangan kanan kemudian tangan

kiri. Setelah membasuh ketiga anggota ini, segera mengusap kepala dengan air dari basuhan yang

tersisa di telapak tangan. Yakni, usapkan telapak tangan kanan pada kepala dan lanjutkan dengan

mengusap kaki kanan, dan akhirnya usaplah kaki kiri de-ngan air yang tersisa di tangan kiri.

Untuk lebih detail, kini perhatikan penjelasan amalan-amalan wudu di bawah ini:

Amalan-amalan Wudu [79]

1. Membasuh:

a. Wajah: ukuran panjangnya dari tempat tumbuhnya rambut sampai dagu, dan ukuran

lebarnya antara ujung ibu jari sampai ujung jari tengah. Ini bisa dila-kukan dengan

meletakkan telapak tangan di tengah-tengah muka.

b. Tangan kanan: dari siku sampai ujung jari.

c. Tangan kiri: dari siku sampai ujung jari.

2. Mengusap:

a. Kepala: bagian depan di atas dahi.

b. Kaki kanan: atas kaki dari ujung jari sampai tonjolan kaki bagian atas.[80]

c. Kaki kiri: atas kaki dari ujung jari sampai tonjolan kaki bagian atas.

Keterangan Amalan-amalan Wudu

Membasuh

1. Ukuran wajib dalam membasuh wajah dan kedua tangan adalah sebagaimana di atas. Akan

tetapi, untuk lebih yakin, basuhlah yang wajib dan basuhlah sedikit sekitarnya.[81]

2. Berdasarkan ihtiyath wajib,[82] membasuh wajah hendak-nya dari atas ke bawah. Bila membasuh

wajah dilakukan sebaliknya, maka wudu tidaklah sah.[83]

Mengusap

Mengusap Kepala

1. Letak usapan: sebagian dari kepala yang berada di atas dahi (kepala bagian depan).

2. Ukuran wajibnya usapan: sekadarnya sudah cukup (yakni, sekadar orang dapat melihatnya

dan mengata-kan bahwa ia telah mengusap kepalanya).

3. Ukuran sunahnya usapan: selebar tiga jari rapat dan sepanjang satu jari.

4. Boleh mengusap dengan tangan kiri.[84]

5. Mengusap tidak harus sampai kulit kepala, bahkan mengusap rambut di bagian depan kepala

sudah sah, kecuali jika rambutnya begitu panjang sehingga ketika di sisir mengurai ke arah

wajah, maka pada kondisi demikian ini hendaknya mengusap kulit kepala atau pangkal rambut.

6. Mengusap rambut di selain letak yang ditentukan itu tidak sah, sekalipun rambut itu dikumpulkan di atas letak pengusapan kepala.[85]

Mengusap Kaki

1. Letak usapan: punggung kaki.

2. Ukuran wajibnya usapan: punggung kaki dari ujung jari sampai tonjolannya.[86] Lebarnya:

sekedarnya sudah cukup walaupun selebar satu jari.

3. Ukuran sunahnya usapan: seluruh punggung kaki (dari ujung jari kaki sampai pergelangannya).

4. Usaplah kaki kanan terlebih dahulu sebelum mengusap kaki kiri.[87] Akan tetapi, tidak harus mengusap kaki kanan dengan tangan kanan dan kaki kiri dengan tangan kiri.[88]

Hukum-hukum yang Sama dalam Mengusap Kepala dan Kaki

1. Dalam mengusap kepala dan kaki, tanganlah yang harus bergerak. Bila tangan tidak bergerak

namun kepala atau kaki yang bergerak, maka wudunya tidak sah. Namun, ketika tangan

sedangmembasuh dan kepala atau kaki sedikit bergerak, demikian ini tidak apa-apa.[89]

2. Jika untuk mengusap tidak ada sisa air di telapak ta-ngan, maka tidak boleh membasah

tangan dengan air lain, akan tetapi harus mengambil air yang tersisa dari anggota wudu

lainnya.[90]

3. Ukuran air di tangan adalah sekadar berpengaruh untuk mengusap basah kepala dan kaki.[91]

4. Letak usapan (kepala dan punggung kaki) hendaknya kering. Oleh karenanya,  bila letak

usapan itu basah, hen-daknya dikeringkan terlebih dahulu. Akan tetapi, jika basahnya sedikit

sekali sehingga tidak sampai meng-halangi pengaruh basahnya tangan pada letak usapan,

maka tidak apa-apa.[92]

5. Hendaknya antara tangan dan kepala atau kaki tidak ada penghalang seperti jilbab, topi atau

kaos kaki dan sepatu, walaupun tipis sekali, sehingga air usapan bisa sampai pada kulit

usapan (kecuali bila terpaksa).[93]

6. Letak usapan harus suci. Oleh karena itu, jika letak usapan najis dan tidak mungkin untuk

disucikan, maka hendaknya bertayamum.[94]

Kesimpulan Pelajaran

1. Wudu yaitu membasuh wajah dan tangan dan mengu-sap kepala dan kaki dengan syaratsyarat

yang akan datang.

2. Berdasarkan ihtiyath wajib, hendaknya wajah dan kedua tangan dibasuh dari atas ke bawah.

3. Dalam berwudu, setelah membasuh wajah dan kedua tangan, harus mengusap kepala bagian

depan dan pung-gung kedua kaki.

4. Ukuran wajibnya mengusap kepala adalah sekadar da-pat dikatakan bahwa pewudu telah

mengusap kepala.

5. Mengusap kepala harus pada kepala bagian depan di atas dahi.

6. Mengusap punggung kedua kaki sekedarnya saja sudah cukup, walaupun lebarnya hanya

satu jari, tetapi ukuran panjangnya yang harus diusap ialah dari ujung jari sam-pai tonjolan

punggung kaki.

7. Dalam mengusap hendaknya:

a. Tangan yang ditarik bergerak.

b. Letak usapan suci.

c. Tidak ada penghalang di antara tangan dan letak usapan.

Pertanyaan:

1. Sebutkan cara-cara wudu!

2. Seseorang menyisir rambut sampingnya ke bagian de-pan kepala. Apakah kewajiban pelaku

wudu ketika dia harus mengusap kepala?

3. Jelaskan empat darimasalah-masalah yang sama dalam mengusap kepala dan kaki!

4. Apakah boleh mengusap kepala dalam keadaan ber-jalan?

5. Apakah boleh mengusap kaos kaki atau sepatu jika udara dingin sekali?

6. Jelaskan ukuran wajib dan sunahnya mengusap kepala dan punggung kedua kaki!


3

4

5

6

7

8

9

10

11

12