• Mulai
  • Sebelumnya
  • 49 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11486 / Download: 6947
Ukuran Ukuran Ukuran
Risalah Huquq Imam Sajjad

Risalah Huquq Imam Sajjad

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Risalah Huquq Imam Sajjad as

Pengantar

Manusia adalah mutiara penciptaan dan kebanggaan alam semesta. Keberadaan manusia telah membuat jagad raya menjadi indah dan penuh arti. Setiap sudut bumi menjadi terang dengan pancaran cahaya akal dan logika manusia dan dunia ini menjadi gelap jika pelita akal dipadamkan. Manusia sebagai makhluk yang paling mulia telah menampilkan ciptaan dengan indah. Hal ini karena hubungan manusia dengan alam semesta ibarat batu permata yang diikat di cincin. Keindahan dan keagungan batu permata ini bersumber dari nama dan sifat-sifat Sang Pencipta yang terukir padanya dan juga ruh Ilahi yang ditiupkan ke jasad mereka. Dalam surat al-Baqarah ayat 31, Allah Swt berfirman, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman; “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”

Manusia diciptakan dari tanah liat dan dari ketiadaan melangkah ke alam wujud berkat ruh Tuhan. Karena kemuliaan manusia, para Malaikat diperintahkan untuk bersujud kepadanya. Allah Swt dalam al-Quran membicarakan tentang keagungan manusia dan menampakkan keindahan dan nila-nilai yang mereka miliki. Meski demikian, Allah Swt juga mengingatkan orang-orang yang berbuat maksiat dan tidak bersyukur. Oleh karena itu, Allah Swt memerintahkan Rasul-Nya untuk membantu manusia mengenal Sang Pencipta dan meniti jalan kesempurnaan sehingga mereka tidak tersesat dan tidak terampas hak-haknya.

Manusia harus memahami bahwa mereka mampu menggapai kesempurnaan dan menjadi khalifah Allah di muka bumi dan menghiasi alam ini dengan keindahan dan kesucian. Masalah ini akan terwujud jika manusia mengenal hak dan kebutuhannya dalam menapak jalan kesempurnaan dan kebahagiaan. Untuk meraih kebahagiaan dan ketenangan, manusia harus menyusun program dan langkah-langkah yang diperlukan. Mereka akan sampai pada puncak kemuliaan dengan pengetahuan dan ilmu. Ini adalah logika al-Quran bahwa manusia tidak diciptakan untuk kesia-siaan. Dalam surat al-Mu’minun ayat 115, Allah Swt berfirman, “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”

Salah satu kriteria khusus manusia adalah kemampuannya menciptakan dunianya sendiri. Dunia mereka adalah apa yang terpahat dalam lembaran hati kecilnya. Jika mereka menghiasi batin sucinya dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka mereka akan memiliki dunia yang indah dan elok dipandang. Namun jika mereka mengotori diri dengan berbagai kehinaan, maka mereka akan membangun dunia yang penuh dengan penyimpangan dan kotoran. Oleh karena itu, masyarakat ideal dan teladan tidak mungkin dapat dibangun selama kemanusiaan insan belum mencapai puncaknya.

Langkah-langkah pertama yang harus diambil oleh manusia adalah menghindari dosa dan tidak mengikuti dorongan hawa nafsu sehingga mereka bisa sampai pada posisi yang aman dan meyakinkan. Mutiara kemanusiaan harus dikembangkan dalam diri sehingga dapat menerima pesan-pesan langit dan kandungan wahyu. Hal ini tidak akan terwujud kecuali manusia mengenal dirinya dan Tuhannya dan memiliki tujuan hidup.

Pesan para utusan Allah Swt tentang menjaga kemuliaan dan hak-haknya akan menyadarkan manusia sehingga mereka memiliki kehidupan yang bahagia dan mulia. Para Imam dan Ahlul Bait Nabi as telah menunjukkan manusia tata cara dan ritual untuk menggapai keberuntungan. Setiap Imam memiliki metode khusus dalam membimbing umat manusia. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as, putra Imam Husein as, selain memaparkan makrifat dan metode kehidupan dalam bentuk doa dan munajat, juga mengenalkan manusia dengan hak-haknya lewat sebuah buku panduan yang bernama “Risalah Huquq.”

Risalah itu memuat 15 hak yang berhubungan dengan manusia. Hak-hak tersebut merupakan hak alamiah manusia dan tidak ada pihak atau aturan apapun yang dapat merampas hak-hak itu dari manusia. Manusia dapat menggapai kehidupan yang sehat dan mulia dengan mempelajari dan menjaga hak-hak tersebut. Risalah Huquq Imam Sajjad as membuka pembahasannya dengan sebuah kalimat yang ditujukan kepada manusia, Imam Zainal Abidin as berkata, “Ketahuilah bahwa Allah Swt telah menetapkan sejumlah hak atasmu. Setiap gerakan dan diammu, setiap anggota badan yang engkau pergunakan dan setiap fasilitas yang engkau gunakan pakai dan lain-lain, semuanya memiliki hak atas dirimu...Hak Allah Swt yang paling besar atasmu adalah kewajibanmu menghormati hak-hakNya. Hak-hak inilah adalah dasar dan akar bagi seluruh hak lainnya. Dan apa yang diwajibkan Allah Swt atas kalian adalah hak-hak kalian atas diri kalian sendiri, dan hak-hak itu meliputi diri kalian dari kepala hingga kaki.”

Hak Allah

Kata “Hak” memiliki beberapa arti dan salah satu pengertiannya adalah keistimewaan dan ketentuan yang ditetapkan bagi seseorang yang sekaligus menuntut orang lain untuk menjaga dan menghormatinya. Kriteria paling penting dari hak manusia adalah kepemilikan individu yang dibawa sejak lahir dan bukan pemberian orang lain. Setiap individu dengan sendirinya mengantongi segudang hak dan pihak lain wajib menjaga dan menghormati hak-hak tersebut. Menurut Imam Sajjad as, hak-hak yang diberikan oleh Allah Swt kepada manusia meliputi seluruh kehidupan mereka, sebab semua yang dimiliki manusia berasal dari Allah Swt. Kemampuan kita untuk bergerak, berbicara, melihat, mendengar, atau membangun komunikasi dengan orang-orang sekitar, semua berasal dari pemberian dan anugerah Tuhan. Oleh karena itu, kita memiliki kewajiban untuk menjaga samudera nikmat yang dilimpahkan kepada kita.

Dari sisi kedudukan, seluruh hak yang dimiliki manusia tidak berada pada satu tingkatan, tapi masing-masing memiliki posisi tersendiri. Karena itu, Imam Sajjad as menyebut “Hak Allah Swt” sebagai hak yang paling besar. Berdasarkan konsep ini, individu yang telah merampas hak orang lain, selain meminta maaf kepada pemilik hak, juga harus memohon ampunan kepada Allah Swt. Misalnya, orang yang mencela atau menuduh sembarang terhadap orang lain, ia harus meminta maaf kepada orang yang bersangkutan karena telah menjatuhkan harga dirinya. Namun pemberian maaf semata tidak akan menyelesaikan masalah. Karena ia telah melecehkan hak sesama dan melanggar perintah Tuhan, maka ia juga harus memohon maaf kepada Allah Swt.

Lewat kajian mendalam, Imam Sajjad as menilai penyebab munculnya penyimpangan untuk mencegah manusia dari kesalahan mengikuti hawa nafsu, menzalimi dan mencela orang lain. Oleh karena itu, menistakan hak-hak orang lain sama dengan melanggar hak-hak Tuhan. Namun perlu diketahui bahwa manusia baru dapat menunaikan kewajiban Allah Swt ketika ia mengenal kebesaran dan keagungan-Nya.

Mustahil dapat memahami manusia dengan baik dan memilah jalan kesempurnaan dari penyimpangan tanpa terlebih dahulu mengenal Sang Pencipta. Allah Swt berfirman bahwa Ia lebih dekat kepada manusia ketimbang dirinya sendiri. Dalam surat Qaaf ayat 16, Allah Swt berfirman, “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” Dalam surat al-Anfaal ayat 24, Allah Swt juga berfirman, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah ibarat dinding antara manusia dan hatinya.” Sang Pencipta Maha Mengetahui segala kebutuhan hamba-Nya. Dia juga mengetahui jalan yang akan mengantarkan manusia kepada kesempurnaan atau jalan yang akan menjerumuskannya ke dalam kehinaan.

Terkadang manusia menistakan Tuhan dan ajaran agama serta melabuhkan dirinya dalam amukan badai kehidupan. Namun langkah dan usahanya tidak akan disertai ketenangan dan kepuasaan karena tidak memiliki sandaran yang kuat. Manusia modern merupakan contoh nyata dalam masalah ini. Manusia telah mencicipi hidup tanpa agama selama berabad-abad dan memusatkan perhatiannya kepada kapitalisme dan sekularisme. Kini mereka mulai memahami realita ini bahwa jalan keselamatan adalah kembali kepada ajaran agama. Jalan keselamatan adalah mendengar kalam Ilahi tentang kedudukan manusia dan mengikutsertakan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah menyebut “Hak Allah Swt” sebagai hak yang paling penting, Imam Sajjad as mengingatkan bahwa seluruh anggota badan manusia seperti kepala, mata, dan lain-lain memiliki hak atas diri manusia. Jika manusia tidak menjaga hak-haknya, maka ia tidak akan pernah bisa menjaga hak-hak orang lain. Sebelum Imam Sajjad as mengundang umat manusia untuk menyimak semua hak-hak yang berhubungan dengan mereka, terlebih dahulu beliau menyebutkan daftar orang-orang yang memiliki hak atas setiap manusia seperti ibu, ayah, keluarga, tetangga, guru, saudara, dan masyarakat umum. 

Imam Sajjad as berkata, “Sungguh beruntung orang-orang yang mendapat pertolongan dan karunia Allah Swt sehingga dapat menunaikan setiap hak yang diwajibkan atasnya.”

Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 1)

Hak-hak manusia menurut Islam tidak hanya menyoroti masalah hak sosial dan kemanusiaan seorang insan, tapi juga mengangkat masalah kewajiban (taklif) dan tanggung jawab. Isu-isu ini termasuk masalah yang kurang mendapat perhatian dalam kajian hak asasi manusia produk Barat. Kemuliaan manusia menurut definisi Islam tidak hanya terletak pada kepemilikan hak-hak maksimal, tapi kebesaran manusia terletak pada penerimaan tanggung jawab dan pelaksanaan komitmen dan janji-janjinya. Sebab tanggung jawab dan tugas yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas manusia memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan dan kesempurnaan manusia itu sendiri.

Di era kekinian, para sosiolog dan pakar hukum telah banyak mengetengahkan masalah hak-hak manusia dalam berbagai kesempatan, namun kita sama sekali tidak menemukan kajian tentang hak untuk mengembangkan dan meningkatkan spiritual manusia dalam dokumen-dokumen Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal manusia yang memiliki kemampuan dalam bidang sains dan juga telah mencapai kemajuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, dapat dan layak untuk mencapai puncak kesempurnaan dan keutamaan dalam bidang spiritual.

Imam Sajjad as ketika menjelaskan hak pertama yang ada pada pundak manusia, mengatakan, “Setelah hak Allah Swt sebagai hak yang paling besar, engkau adalah semata-mata hamba-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dalam menjalankan ibadah dan penghambaan. Saat engkau telah menjadi hamba yang ikhlas dan taat, maka Allah Swt akan mencukupkan dunia dan akhiratmu dan Dia akan menjaga hal-hal yang engkau cintai dari dunia dan akhirat ini untukmu.”

Jelas bahwa hak-hak Allah Swt atas hamba-Nya lebih besar dari yang kita gambarkan. Dalam perspektif al-Quran, nikmat Tuhan tidak dapat dikalkulasi dan juga manusia tidak akan mampu menunaikan karunia pemberian Allah Swt. Seorang penyair mengatakan, “Aku tidak mampu bertahan tanpa Engkau, Karunia-Mu tidak mampu aku hitung, Jika setiap helai bulu di tubuhku menjadi lisan, Aku tetap tidak mampu mensyukuri satu nikmat dari seribu nikmat yang Engkau anugerahkan.”

Karena itu, Imam Sajjad as menganggap sebagian hak-hak Allah Swt lebih utama dari seluruh hak lain dan kewajiban terbesar manusia terhadap Sang Pencipta adalah beribadah dan tidak menyekutukan-Nya. Syirik dan politeisme ibarat sarang laba-laba yang rapuh dan tidak memiliki pondasi dan orang-orang yang menyembah selain Allah Swt, pada dasarnya telah bersandar pada tumpuan yang rapuh dan keropos. Dalam pandangan al-Quran, barang siapa yang menyekutukan Allah Swt, maka ia telah kehilangan sandaran dan basis yang aman dan tengah melangkah cepat ke arah kehancuran.

Orang seperti ini seakan-akan tengah terjun bebas dari langit dan disambar oleh burung-burung di tengah perjalanan sebagai santapan mereka atau badai menerbangkannya ke tempat terasing. Dalam surat al-Haj ayat 31, Allah Swt berfirman, “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”

Karena itu, orang musyrik akan menanggung kerugian yang besar. Akan tetapi tauhid dan penghambaan adalah pembersih hati dari kelalaian dan kebodohan. Tauhid mengajak kita memuji Sang Pencipta dengan lisan dan hati dan menyingkirkan jauh-jauh rasa cinta kepada selain Allah Swt dari lubuk hati kita. Jangan sampai kita lalai dari mengingat Allah Swt dan juga tidak mencari selain-Nya dalam bertindak dan beramal.

Hamba Allah Swt yang hakiki meyakini bahwa Sang Pencipta tidak ada sekutu dan serupa yang menyamai-Nya. Semua makhluk membutuhkan-Nya dan Dia tidak butuh terhadap segala sesuatu. Ia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ke arah manapun kita menatap, hanya wajah-Nya yang kita saksikan. Dunia adalah ciptaan-Nya dan berdiri kokoh atas kehendak-Nya.

Pada dasarnya Tuhan yang diperkenalkan oleh Islam adalah Sang Pencipta Yang Maha Pengatur dan Maha Bijaksana yang telah menciptakan cinta dan semangat dalam diri manusia. Keyakinan terhadap tauhid akan mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan dan derajat yang tinggi. Untuk itu, sangat layak Dia menjadi tumpuan dan harapan manusia. Oleh sebab itu, seruan pertama para Nabi terhadap umatnya adalah mengesakan Tuhan dan mengucap kalimat syahadat.

Pada masa sekarang, para ilmuan juga menyinggung poin tersebut, yaitu fitrah bertuhan dan kecenderungan kepada hal-hal yang sakral telah tertanam dalam naluri manusia. Jika manusia tidak menemukan Tuhan Yang Maha Esa, maka mereka akan mencari objek lain untuk disembah dan diangungkan. Imam Sajjad as mengingatkan bahwa rasa haus pengembaraan manusia mencari hakikat akan terobati ketika ia menemukan Tuhan dan melakukan penghambaan dengan tulus di hadapan-Nya. Saat itu, Sang Pencipta juga akan menjamin dunia dan akhirat hamba yang tulus tadi dan menjaganya dari kejelekan setan dan godaan hawa nafsu yang merusak.

Namun jika manusia lalai terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, pada dasarnya ia telah menghancurkan hakikat kemanusiaannya dan mendidik selain dirinya. Menyangkut masalah ini, Ustad Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, “Manusia yang mengira hakikat dirinya hanya terbatas pada jasad dan apa yang dikerjakan hanya untuk kepentingan raganya, maka ia telah melupakan dirinya sendiri dan menganggap orang lain sebagai dirinya.”

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Maulawi, “Ia ibarat seorang yang memiliki sepetak tanah dan dengan kerja keras, ia membangun rumah di atas tanah tersebut dan menghiasinya dengan permadani dan kain hias, namun pada saat ia ingin menempati rumah itu, tiba-tiba ia sadar telah membangun rumah di atas lahan milik orang lain, sementara tanah miliknya dibiarkan kosong dan tidak terawat.”

Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 2)

Salah satu syarat kesuksesan manusia adalah pengenalan terhadap diri sendiri (mengenal diri). Seorang ilmuan besar Islam, Imam Muhammad al-Ghazali mengatakan, “Tidak ada yang lebih dekat dengan engkau selain dirimu sendiri, jika engkau tidak mengenal dirimu, bagaimana engkau akan mengenal orang lain?” Pengenalan diri adalah sebuah proses mengenali seluruh dimensi wujud kita dan kapasitas yang kita miliki. Pengenalan diri seperti; “dari mana kita datang, untuk apa kita datang, dan akan kemana kita melangkah”, adalah kunci mengenal Zat Yang Maha Esa dan Maha Bijaksana. Imam Ali as berkata, “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya.”

Manusia dengan kemampuan luar biasanya, memiliki dimensi materi (lahir) yang disebut dengan raga dan juga dimensi non materi (batin) yang dinamakan jiwa dan ruh. Hakikat manusia terletak pada ruh dan jiwanya. Jika ia bersih dan suci, maka akalnya juga akan tercerahkan dan mampu membedakan antara jalan yang benar dengan yang keliru. Dengan kata lain, kebahagiaan dan kesempurnaan luhur manusia bergantung pada program pensucian dan pencerahan jiwa, sebab jasad manusia lebih cenderung mengikuti hawa nafsu. Sebagai contoh, indera penglihatan kita akan menelusuri sebuah pemandangan setelah menerima dorongan hawa nafsu. Karena itu, manusia harus berupaya mengenal jiwanya dan menjaganya dari polusi berupa noda dan dosa sehingga tidak menyimpang dari jalan yang benar.

Menurut para ilmuan, saat ini psikoanalisis dan pengenalan diri merupakan metode penting untuk memahami penyakit-penyakit jiwa dan mental. Imam Ali as juga menganjurkan kita untuk menyingkap berbagai macam penyakit jiwa dan mental lewat metode pengenalan diri. Imam Ali as berkata, “Para pemikir wajib menelusuri dan menyelami jiwanya dan harus mengenal penyakit-penyakit jiwa dan ruhnya dalam konteks iman, akidah, akhlak, dan tatakrama. Selanjutnya, mereka harus merekam dalam benaknya atau menulis dalam catatannya penyakit-penyakit tersebut. Kemudian mereka harus mengambil langkah serius untuk menghilangkan penyakit jiwa dan ruh itu.”

Secara umum, ketika para kekasih dan wali Allah Swt ingin mendorong manusia untuk meraih nilai-nilai luhur, terlebih dahulu mereka menyadarkan manusia pada batinnya sehingga mampu menyingkap hakikat wujudnya. Manusia yang menyelami batinnya dengan teliti dan mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan dimensi internalnya, maka ia akan menemukan kedudukannya di dunia ini. Manusia akan memahami bahwa kehinaan, kebohongan, nifak dan kerusakan tidak selaras dengan esensi wujudnya. Ia adalah sosok yang bebas dan punya ikhtiyar untuk menentukan masa depannya dan menjaga keasrian dunia.

Manusia adalah ciptaan Tuhan dan keistimewaannya tidak diperoleh secara kebetulan sehingga bisa bersikap arogan dan mengeksploitasi segala yang diinginkan. Dari sisi lain, kapasitas dan kedudukan manusia juga tidak mengizinkannya untuk meremehkan atau menganggap rendah dirinya sendiri dan atau membiarkan orang-orang lain menginjak-injak hak dan harga dirinya.

Pengenalan diri akan memberikan arti dan makna lain bagi kehidupan manusia dan akan membuka peluang untuk meraih kebaikan dan keutamaan moral. Dalam kitab suci al-Quran, Allah Swt menyinggung masalah tersebut dan menyatakan bahwa jiwa manusia diciptakan dengan baik dan juga telah diilhami dengan kecenderungan untuk berbuat baik dan taqwa, namun keberuntungan hanya milik orang-orang yang mensucikan diri.

Pengenalan diri dan pensucian jiwa (Tazkiyyatun Nafs) memiliki beragam cara. Salah satu metode penting dalam masalah ini adalah perenungan atau kontemplasi (tafakkur) dan menyendiri. Manusia perlu melakukan instrospeksi diri dan mengevaluasi setiap tindakan yang telah dilakukan. Menyangkut masalah ini, para pakar psikologi menyarankan kita untuk berdiam diri di sebuh ruangan yang jauh dari gangguan dan kebisingan guna memusatkan pikiran. Kita dapat mengubah kepribadian kita dengan cara mengeveluasi pekerjaan sehari-hari. Selain itu, dengan mewujudkan energi positif dalam diri sendiri, kita akan mampu memilih nilai-nilai dan tujuan-tujuan baru bagi kehidupan kita.

Ketika Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as ditanya tentang orang yang paling penting dan memiliki karakter sempurna di tengah seluruh masyarakat, Imam menjawab, “Orang yang tidak menilai dunia sama dengan jiwanya.” Artinya ia adalah orang menghargai kemuliaan dan harga diri. Dan jika seluruh isi dunia berada di salah satu timbangan, sementara kemuliaan dan harga diri berada di bagian lain, maka ia tidak akan bersedia melakukan transaksi dalam masalah ini.

Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 3)

Dalam diri manusia tertanam potensi kebahagiaan dan kesengsaraan. Barang siapa yang menjaga jiwanya dari bisikan hawa nafsu dan berbagai macam godaan, maka ia telah mempermudah langkahnya menuju jalan kesempurnaan dan akan menemukan kebenaran dan hakikat.

Saat itu, cahaya kebenaran akan menerangi setiap sisi manusia, menghadirkan kebahagiaan dan mensucikan jiwa dan raga dari debu-debu dosa dan kotoran. Kebenaran akan memusnahkan rasa iri, dengki, dan seluruh penyakit jiwa dan moral dari masyarakat. Manusia yang haus kebenaran tidak akan pernah merasa puas kecuali setelah mengenal dirinya dan melangkah di jalan yang benar.

Manusia yang mengabaikan sifat-sifat batinnya akan terseret ke dalam lembah kesesatan, sebab polusi dan gangguan jiwa dan batin sangat merusak diri manusia. Oleh karena itu, kebahagiaan manusia tidak mungkin terwujud tanpa kesehatan dan kesucian jiwa dan keseimbangan potensi-potensi jiwa. Hawa nafsu berupa ketamakan, amarah, iri dan seluruh kecenderungan-kecenderungan negatif lain harus dibenahi.

Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as dalam kitab “Risalatul Huquq” menilai langkah menyucikan jiwa atau tazkiyatun-nafs sebagai tugas manusia. Setelah menjelaskan hak dan kewajiban terhadap Allah Swt, Imam Sajjad as menyebutkan kewajiban kedua manusia yaitu kewajiban atas jiwanya. Imam Ali Zainal Abidin as berkata, “Kewajibanmu atas dirimu adalah memanfaatkan seluruh potensi dan kemampuan yang diberikan Allah Swt dan melangkah di jalan ketaatan. Karena itu, tunaikanlah hak lisanmu, pendengaranmu, penglihatanmu, kedua tanganmu, kedua kakimu, dan...Mintalah pertolongan Allah Swt dalam menunaikan hak-hak tersebut dan bertawakkallah kepada-Nya.”

Kecenderungan dan daya tarik akan menciptakan sebuah ikatan dan ketertarikan antara manusia dengan lingkungan sekitar. Manusia akan terdorong untuk mendekati obyek luar tadi. Manusia yang tunduk di hadapan tuntutan hawa nafsunya, maka ia telah menyerahkan nasibnya kepada sebuah kekuatan luar. Sebuah kekuatan yang akan menyeret manusia ke segala arah. Namun di sisi lain, menguasai hawa nafsu dan membentuk diri akan membangun kepribadian manusia. Ketika manusia mampu menguasai hawa nafsunya dengan tekad dan semangat, maka ia dapat membebaskan diri dari segala macam bahaya. Menguasai diri dan hawa nafsu merupakan tujuan utama pendidikan agama khususnya Islam.

Imam Sajjad as menilai langkah mensucikan diri atau tazkiyatun-nafs sebagai sebuah hak dan kewajiban manusia sehingga mereka tidak terpesona oleh berbagai hiasan dunia sekaligus dapat menjaga kemuliaan dirinya. Karena itu, manusia harus menemukan kebesaran dan keagungan dirinya dan perlu berpikir tentang esensi wujudnya.

Imam Ali bin Abi Thalib as dalam sebuah untaian kata yang indah berkata, “Wahai manusia, penawar penyakit pada dirimu ada dalam dirimu sendiri. Engkau tidak melihat penawar itu. Rasa sakitmu juga berasal dari dirimu sendiri tapi engkau tidak menyadarinya. Engkau ibarat buku alam semesta dan jika engkau menyelami dirimu dengan teliti, maka sebagian besar hakikat akan nampak. Apakah engkau mengira bahwa dirimu hanya sebuah benda kecil di alam semesta, padahal dalam dirimu terdapat sebuah alam besar.”

Manusia perlu mengenal hakikat eksistensi dirinya dan berjalan pada jalur yang benar hingga bisa sampai pada tujuan penciptaan, yaitu ibadah dan ketaatan kepada Allah Swt. Dalam surat adz-Dzaariyaat ayat 56, Allah Swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

Melihat tujuan penciptaan yang dipaparkan al-Quran, Imam Sajjad as menilai hak jiwa manusia yang paling besar adalah mematuhi dan menghambakan diri kepada Allah Swt dan tujuan luhur ini tidak boleh dilupakan begitu saja, terlebih badai kehidupan sekarang membuat manusia lalai untuk memikirkan tujuan penciptaan.

Paham-paham berbahaya berupa pemikiran dan budaya telah mengepung umat manusia dan kita selalu menyaksikan peristiwa-peristiwa baru yang lahir dari “Manusia Berperadaban”. Imam Sajjad as yakin bahwa orang-orang yang melangkah meraih tujuan penciptaan dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, ia termasuk golongan yang menunaikan kewajiban atas dirinya. Manusia yang memahami penghambaan dan keagungan Sang Pencipta akan sampai pada kebesaran dan saat itulah ia akan mencapai derajat yang lebih tinggi dibanding makhluk-makhluk yang lain. Sementara orang yang melalaikan tujuan penciptaan, maka ia telah mendahulukan penghambaan kepada selain Tuhan dan melecehkan hakikat kemanusiaannya.

Kebergantungan terhadap pangkat, jabatan, dan harta benda dan bersandar pada kekuatan-kekuatan besar termasuk contoh penyembahan kepada selain Allah Swt. Pada dasarnya, manusia yang menyembah selain Allah Swt tidak mengenal hak dan kewajibannya. Manusia perlu menggunakan berbagai sarana pendukung guna menunaikan kewajiban-kewajibannya termasuk anggota badan yang ia miliki. Allah Swt dengan menciptakan dua tangan, kaki, penglihatan dan lain-lain, bermaksud mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan dan membebaskannya dari berbagai belenggu duniawi.

Hak Jiwa atas Manusia (Bagian 4)

Konsep pembentukan diri dan mensucikan jiwa memainkan peran penting dalam kebahagiaan manusia. Karena itu seluruh utusan Allah Swt menempatkan masalah pensucian jiwa dan pendidikan generasi umat manusia sebagai misi utama mereka. Para nabi as berupaya mendidik manusia untuk mencapai derajat kesempurnaan dan derajat yang tinggi. Keberadaan naluri dan hawa nafsu dalam diri manusia juga sebagai kelaziman hidup mereka dan dipandang perlu demi meniti jalan kesempurnaan. Namun jika naluri ini keluar dari batas-batas kewajaran dan lepas dari kontrol, maka ia akan menguasai dan menentukan langkah-langkah pemiliknya.

Al-Quran menilai fenomena ini sebagai bentuk penghambaan terhadap hawa nafsu dan sumber kelalaian dan kekufuran. Sebab dimana saja hawa nafsu berkuasa, maka agama dan akal akan terpinggirkan.

Menurut perspektif al-Quran, manusia yang dibekali naluri berada di persimpangan jalan dan harus memilih antara jalan yang lurus dengan jalan yang menyimpang. Dari satu sisi, ada daya tarik positif yang mengarahkan manusia kepada kesucian dan kesempurnaan. Daya tarik lain berupa kecenderungan negatif dan godaan syaitan yang akan menyeret manusia ke lembah kehinaan dan materialis. Kedua potensi utama ini ada dalam diri manusia.

Kitab suci al-Quran menilai nafs memiliki beberapa tingkatan dan sifat-sifat tertentu. Ada tiga jenis nafs sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Quran, salah satunya adalah “al-Nafs al-Ammarah”. Nafsu jenis ini akan mendorong manusia pada kejelekan dan kejehatan. Dalam surat Yusuf ayat 53, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”

Al-Nafs al-Ammarah terdapat dalam setiap diri manusia dan terkadang menguasai perilaku mereka, tapi kadang-kadang manusia yang mengalahkan nafsu itu. Jika keinginan dan nafsu manusia tidak disalurkan melalui aturan tertentu dan dibiarkan lepas tanpa kontrol, maka setan dan godaannya akan menancapkan kakinya di lubuk hati dan jiwa manusia dan merampas tali kekang pikiran dan kehendak manusia. 

Jenis lain nafsu manusia yang disinggung al-Quran adalah “al-Nafs al-Lawwamah” atau jiwa yang mencela dirinya. Al-Nafs al-Lawwamah akan mereaksi setiap perbuatan menyimpang dan mencela manusia karena melakukan perbuatan jelek. Nafsu seperti ini juga terdapat dalam diri setiap manusia dan mencegahnya agar tidak melakukan perbuatan kotor. Nafsu jenis ini memiliki pengaruh penting terhadap nasib manusia hingga al-Quran pun dalam salah satu suratnya bersumpah dengan al-Nafs al-Lawwamah.

Al-Nafs al-Lawwamah akan memperkuat keyakinan manusia tentang Sang Pencipta dan Hari Kiamat. Nafsu ini juga memperingatkan manusia terhadap perilaku keliru dan menyimpang. Karenanya, al-Nafs al-Lawwamah berperan memperbaiki diri manusia khususnya bagi orang-orang yang yakin bahwa Allah Swt selalu mengawasi perbuatan mereka.

Jenis lain nafsu manusia versi al-Quran adalah al-Nafs al-Mutmainnah. Pada tahap ini, manusia sudah terlepas dari barbagai keraguan yang bersumber dari al-Nafs al-Ammarah dan membuatnya tenang dan damai karena punya hubungan dengan Allah Swt. Dalam al-Quran ayat 27-30 surat al-Farj, Allah Swt berfirman, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Al-Nafs al-Mutmainnah akan menghadirkan sebuah ketenangan yang didapat dari keimanan yang tulus dan murni. Orang-orang yang berjiwa tenang yakin terhadap jalan yang dipilihnya dan juga meyakini janji-janji Tuhan. Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang yang menaati perintah Sang Pencipta dan selalu bersikap tenang dalam menghadapi badai kehidupan, sebab mereka menyandarkan diri kepada sandaran yang sangat meyakinkan.

Secara umum dapat kita katakan bahwa benih-benih petunjuk dan kesempurnaan begitu juga dengan dekadensi dan kemerosotan terdapat dalam diri manusia. Manusia harus mengambil manfaat dari sumber-sumber petunjuk hingga terbebas dari kesesatan dan keterpurukan.

Imam Sajjad as dalam kitab “Risalatul Huquq” memperingatkan manusia untuk menjaga dan menunaikan kewajiban-kewajibannya. Imam as juga mengingatkan manusia untuk menunaikan hak-hak anggota badan hingga dapat meraih keberuntungan dan kebahagiaan.

Hak Lisan (Bagian 1)

Setelah membahas bersama tentang tiga jenis nafsu yang terdapat dalam diri manusia yaitu, al-Nafs al-Ammarah, al-Nafs al-Lawwamah, dan al-Nafs al-Muthmainnah. Kini kita akan mempelajari lebih jauh hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh manusia terhadap anggota badannya.

Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as berkata, “Hak dan kewajiban lisan atas engkau adalah mencegahnya dari ucapan kotor dan membiasakannya dengan perkataan yang baik dan paksalah ia untuk berbicara dengan baik dan sopan. Hindarkan lisanmu dari banyak ucapan yang tidak berguna dengan membiasakan berdiam kecuali ketika diperlukan dan berguna bagi dunia dan akhirat.”

Lidah adalah kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut sebagai sarana untuk mengecap rasa makanan dan berbicara. Lidah dikenal sebagai indera pengecap untuk mencicipi berbagai rasa seperti, manis, pahit, asin, asam, dan lainnya. Meski lidah memiliki multi fungsi, namun Imam Sajjad as lebih menekankan pada kegunaan lidah sebagai alat untuk berbicara dan berucap. Sebab lidah berperan penting dalam mentransfer pemahaman, nilai-nilai pendidikan dan konsep kesempurnaan manusia.

Manusia memperoleh berbagai informasi lewat dialog, percakapan, dan pertanyaan sekaligus memperkuat kepribadiannya dengan cara itu. Dengan kata lain, akal dan pikiran manusia merupakan harta karun dan kunci pembukanya adalah lisan. Kedudukan dan posisi manusia akan tampak ketika lidah bergerak mengeluarkan kata-kata. Oleh karena itu Imam Ali as menganggap organ sensitif ini sebagai tanda-tanda kebesaran Allah Swt dan parameter untuk mengukur kepribadian manusia. Imam Ali as berkata, “Kepribadian manusia tersembunyi di balik lisannya.”

Atas dasar ucapan itu, seorang penyair kenamaan Iran, Saadi Shirazi berkata:

“Apa arti lisan di mulut pemikir?

Kunci peti harta sang seniman

Kala tertutup tak ada yang tahu

Penjual mutiarakah ia atau perajut sutra”

Kitab suci al-Quran setelah memaparkan proses penciptaan manusia, mengetengahkan masalah pentingnya penjelasan dan bayan (kepandaian berbicara). Seakan-akan salah satu bentuk kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada manusia adalah anugerah nikmat bayan kepadanya. Pada ayat 1-4 surat ar-Rahmaan, Allah Swt berfirman, “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarkannya pandai berbicara.”

Lisan dalam al-Quran adalah petunjuk kepribadian manusia. Ketika kita membaca kisah Nabi Yusuf as dengan Zulaikha dan sebelum utusan Allah Swt ini menceritakan kejadian yang menimpa dirinya, kepribadian Nabi Yusuf as tersembunyi di balik tirai-tirai kebungkaman dan tidak ada yang tahu. Namun setelah Yusuf dibebaskan dari penjara dan ketika menceritakan pengkhianatan yang dilakukan istri pembesar Mesir dan kesucian dirinya, Raja Mesir berkata kepada Nabi Yusuf as bahwa mulai saat ini engkau memiliki kedudukan istimewa dan menjadi kepercayaan raja.

Rasul Saw juga mengajak manusia untuk bertutur kata dengan lemah lembut dan sopan dalam menjalin interaksi. Rasul Saw bersabda, “Kalian akan dikenali ketika berbicara.”

Hal yang sangat penting menyangkut lisan adalah bagaimana cara bertutur kata dan memanfaatkannya dengan baik. Organ kecil ini dapat mengantar manusia kepada kebahagiaan dan kesenangan dengan cara mengeluarkan kata-kata yang indah dan pada tempatnya. Sebaliknya, organ ini juga dapat menjerumuskan manusia pada kesesatan dan kesengsaraan jika digunakan secara tidak benar.

Ketika Luqman al-Hakim menjadi pelayan, tuannya meminta kepadanya untuk menghidangkan bagian tubuh kambing yang paling baik. Luqman menyajikan lidah dan hati kambing kepada tuannya. Hari berikutnya, sang tuan meminta Luqman untuk membawakan bagian tubuh kambing yang paling buruk, lagi-lagi Luqman menghadirkan lidah dan hati kambing kepada majikannya itu.

Kemudian sang tuan bertanya, “Mengapa dalam dua hari ini engkau menghidangkan kepadaku dua jenis hidangan yang sama? Bagaimana mungkin lidah dan hati kambing sama-sama organ yang paling baik dan paling buruk?”

Luqman menjawab, “Lidah dan hati yang bersih dan suci lebih baik dari segala hal, dan jika ternodai dan kotor, maka ia lebih buruk dari semuanya.”

Sebagian besar perbuatan baik dan buruk bermuara pada lidah. Perkataan baik dan buruk yang keluar dari lisan seseorang adalah cerminan kedudukannya. Oleh sebab itu, Imam Sajjad as meminta umat manusia untuk mengendalikan lisan dan menunaikan hak-haknya. Di antara hak-hak lisan adalah menghormatinya dan tidak menodainya dengan kata-kata kotor, celaan, dan makian.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada suatu hari seekor babi mendekati Nabi Isa as. Lalu putra Maryam ini berkata, “Pergilah dengan selamat.”

Para sahabat Nabi Isa as memprotes dan berkata, “Wahai Nabi Allah, mengapa engkau bertutur kata seperti itu kepada binatang seperti babi?”

Nabi Isa as menjawab: “Aku tidak suka mengeluarkan kata-kata kotor.”

Ucapan yang baik dan penuh pertimbangan memiliki berkah yang sangat banyak. Berkah ini hanya milik orang-orang yang membiasakan lidahnya dengan kata-kata baik. Imam Sajjad as ketika memaparkan dampak-dampak bertutur kata dengan baik, berkata, “Ucapan yang indah akan memperbanyak harta, menambah rezeki, menunda kematian, menjadikan seseorang dicintai oleh anggota keluarganya dan akan mengantarkannya ke surga.”

Hak Lisan (Bagian 2)

Pada pembahasan sebelumnya kita telah membahas bersama tentang hak dan kewajiban lisan manusia. Pada kesempatan kali ini, kita berusaha mengetahui lebih jauh tentang hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh manusia terhadap anggota badannya.

Seorang ilmuwan, sastrawan sekaligus pemikir dari Mesir, Sayid Qutb menulis, "Sungguh! Kemampuan berbicara adalah kekuatan yang menakjubkan. Kekuatan kalam atau perkataan lebih besar dibanding kekuatan yang lain. Ketika kita bertutur kata dengan indah, seakan pintu-pintu langit terbuka lebar dan seluruh realita tampak dengan jelas. Kekuatan perkataan akan mengoyak tirai yang tersembunyi dan menghalau segala rintangan. Rahasia kekuatan kalam tidak hanya terletak pada keindahan kata atau ungkapan yang berirama, tapi tersimpan dalam kekuatan iman yang mengarahkan dan membentuk kata-kata itu. Kemampuan berbicara bahkan menghidupkan kata-kata dan kalimat. Tulisan merupakan bentuk lain dari kalam yang akan membangunkan orang-orang yang terlelap dan menggerakkan manusia yang tak bernyawa. Oleh karena itu rahasia kalam dan kemampuannya ada pada wawasan dan pemikiran manusia."

Dapat kita katakan bahwa lisan dan ucapan memiliki pengaruh luas. Lidah berbicara tentang kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kebatilan, dan lain-lain. Namun jika lidah tidak terkendali dan manajemen kehidupan manusia diserahkan secara bulat kepada organ ini, maka masa depan manusia akan terancam.

Imam Ali as berkata, “Lidah bagi pemiliknya ibarat kuda liar. Orang yang bertakwa akan memperoleh manfaat dari ketakwaan ketika mampu menjaga lisannya.” Kitab suci al-Quran dalam surat Qaaf juga berbicara tentang keberadaan para pengawas bagi manusia yang merekam setiap ucapan manusia untuk menjadi saksi di hari kebangkitan.

Cara terbaik mencegah penyakit-penyakit lisan adalah berpikir sebelum berbicara dan mengeluarkan kata-kata. Imam Ali as berkata, “Lisan seorang ilmuan terletak di balik hatinya dan hati seorang dungu ada di balik lisannya.” Dalam ungkapan ini, Imam Ali as mengingatkan kita bahwa manusia berakal tidak akan angkat bicara tanpa berpikir dan bermusyawarah. Namun orang bodoh akan mengeluarkan setiap ucapan tanpa berpikir dan menimbang.

Menyangkut hal ini, para nabi dan utusan Allah memperingatkan umat manusia bahwa lisan adalah sumber dari sebagian besar kesalahan dan dosa. Berbohong, mengupat, mencela, menghina, dan menghitung kekurangan orang lain merupakan bentuk kesalahan yang bersumber dari lisan.

Setiap sifat jelek tersebut dengan sendirinya akan memperluas kebiasaan buruk di tengah masyarakat. Padahal salah satu tanda orang mukmin adalah tidak menyakiti orang lain baik dengan tangan atau lisan. Imam Sajjad as mengingatkan kita untuk bertutur kata dengan baik. Berbicara tentang hak-hak lisan manusia, Imam Sajjad as berkata, “Jangan biarkan sebuah ucapan keluar dari lisanmu yang hanya akan merugikan dan akal menjadi petunjuk atas untung dan ruginya ucapan tadi. Sebab, hiasan orang berakal adalah tutur katanya yang baik.”

Kendati lidah memiliki kemampuan, pengaruh, dan multi fungsi yang luas, namun menurut para pakar, kita dapat mencegah penyakit-penyakit lisan. Orang yang berakal adalah individu yang senantiasa berusaha menjauhkan diri dari penyakit dan dosa yang lahir dari lisan. Berbicaralah dengan penuh pertimbangan, dan jika tidak mampu, maka diam merupakan jalan terbaik untuk lari dari kesalahan dan menjaga kepribadian kita.

Ketika Imam Sajjad as ditanya, “Mana yang lebih utama, berbicara ataukah diam?”

Imam as menjawab, “Tanpa ragu keduanya memiliki nilai negatif masing-masing dan selama keduanya bisa menghindari penyakit lisan, maka berbicara itu lebih baik.”

Lalu Imam Sajjad as ditanya lagi, “Mengapa berbicara lebih baik?”

Beliau menjawab, “Allah Swt tidak mengutus para rasul dan wasinya untuk diam, tapi memerintahkan mereka untuk berbicara. Surga tidak akan pernah diperoleh dengan diam, begitu juga dengan neraka. Semua itu diperoleh dengan ucapan dan perkataan.”

Hak Telinga (Bagian 1)

Bila pada kesempatan sebelumnya kita telah membahas bersama tentang hak dan kewajiban lisan manusia, kita kita coba untuk menyelami potensi lain yang dimiliki manusia.

Menurut pandangan Islam, manusia adalah makhluk yang memiliki segudang potensi dan kapasitas yang jika diaktualisasikan, ia akan mencapai puncak kemuliaan dan mampu menaklukkan dunia. Untuk mewujudkannya, manusia memerlukan pengetahuan dan pendidikan keterampilan-keterampilan penting bagi kehidupan. Keterampilan ini akan meningkatkan kemampuan manusia hingga dapat meminimalkan dampak-dampak negatif berbagai krisis dalam menjalani kehidupan ini dan meningkatkan kepuasan kehidupan individual dan sosial.

Keterampilan yang paling penting dan mendasar dalam kehidupan adalah mengenali hak-hak dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Sepertinya jika manusia mampu mengenali hak dan tanggung jawabnya dan berupaya menunaikannya, maka kita akan menyaksikan hubungan yang lebih akrab di lingkungan keluarga dan sosial.

Salah satu cara mengenal hak dan tanggung jawab adalah dengan memahami secara baik berbagai potensi diri dan karunia Allah Swt yang diberikan kepada kita. Pada pertemuan sebelumnya kita telah membahas tentang sebuah organ kecil yang kita miliki dan kecakapan menggunakannya. Kini kita ingin mengkaji bersama tentang organ lain manusia, yaitu telinga dan hak-haknya menurut Imam Sajjad as.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mendeteksi dan mendengar berbagai macam suara, seperti suara tiupan angin, kicau burung, percakapan orang-orang di sekitar kita dan suara-suara lain yang menghibur telinga atau mengusik ketenangannya, namun apakah kita perlu menyimak setiap suara yang lewat di telinga kita?

Ada perbedaan antara mendengar dengan menyimak yang berarti mendengar secara khusus dan terpusat pada objek tertentu. Sebab, mendengar adalah pekerjaan di luar kehendak kita dan mencakup seluruh suara yang sampai ke telinga kita tanpa perlu mempelajarinya. Sementara menyimak adalah sebuah kegiatan nalar yang dilakukan atas kehendak dan keinginan kita dan membutuhkan konsentrasi.

Mendengar dengan baik merupakan sebuah seni dan keterampilan yang dibarengi dengan upaya menarik kepercayaan dan memahami lawan bicara. Tindakan ini akan membantu kita mengidentifikasi dengan baik liku-liku sisi kepribadian dan kejiwaan lawan bicara. Pada dasarnya ketika manusia menyimak dengan baik pembicaraan lawan bicaranya, saat itu ia telah membangun sebuah komunikasi yang baik dan efektif dengan orang lain.

Metode menyimak seperti ini akan mencegah munculnya sebagian besar kesalahpahaman. Karena, menyimak dengan baik merupakan keterampilan yang akan membantu kita memahami dengan benar dan tepat pembicaraan dan perasaan orang lain. Orang-orang yang mampu mempelajari keterampilan menyimak dengan baik akan mencapai banyak kesuksesan dalam hidupnya.

Poin penting lainnya adalah menyangkut hal-hal yang perlu kita dengar. Masalah ini memiliki dampak yang besar pada kepribadian, perilaku dan keyakinan batin seseorang. Imam Sajjad as senantiasa menekankan kepada kita untuk menyimak perkataan yang baik dan berguna. Sejatinya, Imam Sajjad as menilai hak telinga adalah menyimak hal-hal yang baik. Beliau berkata, “Adapun hak telinga atas engkau adalah membersihkan dan mensucikannya serta tidak membuka pintu bagi setiap ucapan untuk merasuk ke hati, kecuali dengan mendengar ucapan yang baik dan berguna. Sebab, perkataan yang  baik akan menciptakan kebaikan bagi hatimu atau mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Telinga adalah gerbang kata-kata menuju hati dan akan menyebabkan masuknya berbagai makna ke dalam hati.”

Berdasarkan ucapan Imam Sajjad as tersebut, telinga merupakan sebuah sarana untuk mendengar dan memahami pendapat dan pandangan orang lain dan dapat menjadi gerbang untuk menerima kebaikan atau keburukan. Lewat telinga, kita akan mengerti baik-buruknya perbuatan orang lain.

Selain itu, lewat telinga kita menimba ilmu dan sopan santun. Perkataan dan ucapan para guru dan pendidik akan memasuki hati jika kita menyimaknya baik-baik. Cara ini juga akan menambah ilmu dan makrifat kita. Dalam surat an-Nahl ayat 78, Allah Swt berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.”

Imam Jakfar Shadiq as juga mengajak manusia menjadikan pendengaran sebagai alat untuk mentransfer kebaikan, ilmu dan makrifat ke hati. Imam Shadiq as berkata, “Mendengar perkataan yang baik dan berguna serta mengamalkan kebaikan itu akan membuka pintu surga bagi manusia.”

Hak Telinga (Bagian 2)

Kita telah membahas bersama tentang hak dan kewajiban telinga yang berfungsi sebagai alat pendengar bagi manusia. Mendengar perkataan baik dan suci akan mendorong ruh dan jiwa kita pada kebaikan dan keindahan. Lantunan ayat suci al-Quran dan azan akan menembus dan merasuki jiwa dan hati kita. Rasul Saw bersabda, “Mendengar suara azan akan membuat manusia berlaku baik dan menjadikan mereka sebagai penduduk langit.”

Menurut Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as, telinga yang mendengar kebenaran akan menyebabkan keselamatan dan keberuntungan, namun ada sebagian manusia yang menutup jalan petunjuk bagi dirinya. Pada masa permulaan Islam, sebagian pembangkang menutup telinganya agar tidak mengengarkan lantunan ayat-ayat suci al-Quran yang membawa cahaya makrifat dan cinta.

Dalam surat al-Mulk ayat 8-10, Allah Swt berfirman, “Penjaga-penjaga (negara itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” “Mereka menjawab: “Benar ada, sesunggunya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakannya dan kami katakan: Allah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar.” “Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengar atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”

Pada dasarnya, penyebab utama kesengsaraan manusia karena tidak mau mendengarkan dan memikirkan nasehat dan berita-berita gembira dari Allah Swt. Betapa banyak orang-orang yang telah sampai petunjuk para nabi ke telinga mereka, namun mereka enggan merenungkannya karena tidak bermaksud mengamalkan ajaran-ajaran luhur para utusan Allah Swt. Mereka tidak mendapatkan petunjuk karena sikap kerasnya. Dalam surat al-A’raaf ayat 179, Allah Swt berfirman, “…Dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).”

     

Penyesalan para penghuni neraka di hari kiamat juga dikarenakan tidak mendengar seruan para nabi. Sebuah realita menyatakan bahwa selama mental mencari kebenaran tidak ada dalam diri manusia, maka ucapan orang lain tidak akan berdampak bagi mereka.

Setelah memaparkan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt, kitab suci al-Quran menggolongkan masalah itu sebagai peringatan bagi orang-orang yang mau mendengar. Allah Swt dalam surat Ar-Ruum ayat 23 berfirman, “…Sesunggunya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.”

Salah satu faktor lain penyebab penyesalan para penghuni neraka karena tidak selama di dunia tidak menggunakan akalnya. Maksud akal di sini adalah kemampuan membedakan antara yang baik dengan yang buruk dan antara yang benar denga yang salah. Allah Swt telah menanamkan modal berharga ini dalam diri setiap manusia sebagai amanah. Lewat bantuan akal, manusia dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah dan mendapatkan petunjuk.

Kitab suci al-Quran meminta umat manusia untuk tidak mendengarkan perkataan orang lain tanpa mengkaji dan menganalisa terlebih dahulu dan setiap ucapan harus ditimbangkan dengan akal. Mengkritik dan mengkaji ucapan orang lain merupakan salah satu metode paling penting untuk mengembangkan akal dan pikiran. Dalam surat az-Zumar ayat 17 dan 18, Allah Swt berfirman, “…Bagi mereka berita gembira, sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang teleh diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”

Sebenarnya salah satu tanda kebodohan seseorang adalah langsung menerima setiap perkataan yang didengarnya. Seorang filosof besar Iran, Ibnu Sina (Avicenna) mengatakan, “Setiap ucapan aneh dan asing yang sampai ke telingamu, tempatkanlah ia sebagai kemungkinan selama belum kamu belum memiliki argumentasi dan dalil untuk menerimanya.”

Pada bagian lain ucapannya, Ibnu Sina berkata, “Barang siapa yang membiasakan diri untuk menerima perkataan orang lain tanpa argumentasi, maka ia telah menanggalkan baju kemanusiaannya.” Perkataan ini merupakan masalah yang selalu ditegaskan oleh Imam Sajjad as. Beliau as senantiasa meminta manusia untuk tidak membuka hatinya terhadap setiap perkataan dan ucapan.

Agama melarang manusia mendengar perkataan dan ucapan yang sia-sia dan merusak karena dampak negatif yang dimilikinya. Adalah sebuah keahlian jika tidak menyimak atau mendengar orang-orang yang tengah mengumpat dan membicarakan kejelekan orang lain. Mempelajari keahlian ini akan menjamin keselamatan jiwa dan mental kita.

Harga diri adalah modal besar manusia dalam kehidupannya. Setiap tindakan yang membahayakan harga dirinya sama dengan merusak kepribadiaannya, sebab mengumpat orang lain atau hanya ikut mendengarkan, sama tergolong dosa besar. Jika manusia mengenal posisi, kedudukan dan kapasitasnya dengan baik, maka ia akan meniti jalan kesuksesan dengan penglihatan dan pendengarannya.