• Mulai
  • Sebelumnya
  • 49 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11536 / Download: 7016
Ukuran Ukuran Ukuran
Risalah Huquq Imam Sajjad

Risalah Huquq Imam Sajjad

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Hak Penglihatan (Bagian 1)

Islam sebagai agama komprehensif yang memperhatikan berbagai dimensi sosial kehidupan manusia, menaruh perhatian khusus terhadap faktor-faktor munculnya kesehatan mental manusia. Allah Swt selain mengingatkan kemuliaan manusia, juga mencegah mereka dari hal-hal yang menyebabkan runtuhnya pilar-pilar moral di tengah masyarakat. Para pemimpin agama telah menunjukkan jalan keberuntungan kepada masyarakat sehingga mereka dapat meniti jalan kesempurnaan dalam atmosfir yang sehat.

Terkait masalah ini, Imam Sajjad as mengajak manusia untuk mensucikan diri. Beliau menjelaskan hak-hak anggota badan yang harus ditunaikan oleh manusia dalam buku “Risalatul Huquq.” Salah satu nikmat Allah Swt yang harus ditunaikan hak-haknya oleh manusia adalah mata atau organ penglihatan. Dalam pandangan Imam Sajjad as, alat penglihatan memainkan peran yang sangat sensitif bagi kebahagiaan atau kesengsaraan manusia.

Karena itu, salah satu tugas-tugas mendasar manusia dalam menjalin interaksi dan relasi dengan orang lain adalah menjaga tingkah lakunya bahkan dalam masalah memandang. Imam Sajjad as berkata, “Hak penglihatan atas engkau adalah berpaling dari hal-hal yang dilarang Allah Swt untuk melihatnya. Janganlah memandang ke segala arah tanpa alasan, kecuali mendatangkan pelajaran dan ibrah atau menyebabkan engkau sadar atau penglihatan itu akan menambah pengetahuanmu. Sebab, mata adalah gerbang nasehat dan pelajaran.”

Memandang merupakan cara termudah untuk menjalin komunikasi dan interaksi dengan orang lain. Kashefi, penulis kontemporer Iran mengungkapkan, “Anak panah yang paling tajam bagi setan dalam wujud manusia adalah mata, sebab indera-indera yang lain menempati tempatnya masing-masing dan tidak akan menuntutnya selama belum dekat dengannya, tapi mata mampu menjangkau hal-hal yang buruk dari dekat maupun jauh.”

Para psikolog meyakini bahwa kebahagiaan manusia akan terwujud ketika mereka tidak bersikap ekstrim atau teledor dalam memenuhi berbagai keinginannya dan tidak tunduk di hadapan naluri alamiahnya. Oleh karena itu, setiap perbuatan harus dipertimbangkan dengan akal dan logika sehingga berbagai hawa nafsu dapat dipenuhi lewat jalan yang benar dan logis dan nilai-nilai moral juga dapat berkembang. Kemampuan akal dan logika ibarat bendungan yang kokoh dalam menghadapi berbagai tuntutan hawa nafsu dan akan menghadang amukan badai nafsu yang mencari kenikmatan sesaat. Untuk itu, setiap individu harus mengidentifikasi jalan yang lurus dan yang menyimpang.

Masalah tersebut juga berlaku bagi penglihatan. Ketika manusia dikalahkan oleh hawa nafsunya, maka penglihatan akan keluar dari batas kewajaran dan membuka peluang bagi penyimpangan. Namun perlu diketahui bahwa ada beragam bentuk dan jenis memandang, terkadang manusia mendapatkan kenikmatan dan keceriaan saat memandang wajah seseorang atau sebuah pemandangan indah.

Memandang keindahan alam dan keagungan penciptaan akan memberi kesegaran kepada seseorang jika pandangan itu bertujuan untuk mengambil pelajaran. Pandangan seperti ini juga akan membuka pintu hikmah dan makrifat bagi manusia. Manusia akan memahami keagungan dan kekuasaan mutlak Sang Pencipta dengan memandang fenomena-fenomena mengagumkan ini. Karena itu dalam ajaran agama disebutkan bahwa memandang dan memikirkan keagungan penciptaan serta merenungkan keindahan semesta tergolong ibadah.

Di sisi lain, sebagian bentuk penglihatan laksana peluru beracun yang merusak dan mengancam kesehatan jiwa manusia, seperti menatap lawan jenis selain istri atau suami dengan niat mencari kenikmatan. Secara alamiah dan dalam kehidupan sehari-hari, manusia memandang beragam fenomena di sekelilingnya, namun terkadang ia menyaksikan pemandangan dosa di jalan-jalan, taman, atau juga siaran televisi satelit dan bersikeras menonton pemandangan yang mengundang dosa itu.

Bentuk penglihatan seperti ini bersifat merusak dan mendorong seseorang untuk berbuat dosa khususnya bagi kalangan muda dan sumber berbagai penyimpangan dan kejahatan individual dan sosial. Oleh sebab itu, seluruh agama ilahi menaruh perhatian terhadap prinsip mengontrol penglihatan. Imam Jakfar Shadiq as melarang manusia memandang hal-hal yang tidak layak dan berkata, “Pandangan pertama menguntungkanmu, sementara pandangan kedua merugikanmu bukan menguntungkanmu, dan pandangan ketiga berujung kehancuran.”

Di tengah masyarakat yang sarat dengan berbagai fenomena tidak sehat, kekacauan dan kerusakan akan menggantikan keamanan dan ketenangan. Di tengah masyarakat seperti ini, wanita ibarat barang pajangan yang selalu dilirik oleh pemangsa. Menurut pandangan Imam Sajjad as, melihat sesuatu yang tidak memiliki sisi positif bagi manusia dan menyebabkan mereka lalai dan jauh dari Tuhan, atau memperhatikan pekerjaan orang lain dengan tujuan mencari kekurangannya adalah bentuk penglihatan yang menyesatkan dan merugikan.

Hak Penglihatan (Bagian 2)

Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk yang mulia dan diciptakan untuk mencapai kesempurnaan. Manusia harus terus berupaya mensucikan jiwa dan membersihkan diri untuk mencapai tujuan penciptaan. Menurut para pakar psikologi, panca indera khususnya indera penglihatan berperan dominan dalam memberi asupan pemikiran dan memancing afeksi.    

Mata merupakan sebuah sarana yang menyiapkan bahan-bahan dasar untuk berpikir dan pikiran akan membentuk kepribadian nyata seseorang. Seorang penyair Iran, Maulawi merangkum manusia dalam akal dan pikirannya. Bentuk perbuatan manusia juga sangat tergantung pada pola pikir dan keyakinannya, yaitu tindakan dan perbuatan manusia berhubungan dengan pikiran dan pola pandanganya.

Indera manusia dipengaruhi oleh lingkungan, rumah, sekolah, masalah-masalah yang ia dengar dan juga fenomena yang ia saksikan. Pengaruh ini menciptakan peluang lahirnya sebagian tindakan dan perbuatan. Karena itu sebagian besar strategi dan keputusan diambil setelah malalui proses pengamatan. Bentuk-bentuk reaksi ini sangat bergantung pada sesuatu yang disaksikan oleh mata.

Jika manusia punya hubungan dengan lingkungan yang rusak dan senantiasa mempertontonkan adegan-adegan yang mengundang nafsu, maka pikirannya juga akan ternodai dan menyimpang. Individu seperti ini akan merasa asing dengan keutamaan dan nilai-nilai moral. Sebaliknya, orang yang menyaksikan sesuatu dengan tujuan mengambil pelajaran dan mengadopsi nilai-nilai baik dan keutamaan, maka ia akan memiliki pikiran yang bersih dan sehat.

Ketika kepribadian seseorang dibangun atas dasar pemikiran dan ideologi tertentu, maka tidak mudah untuk mengubahnya, sebab ia membangun relasi dengan orang lain dan lingkungan sekitar atas dasar naluri internalnya. Pada ujungnya, ia menjadi lebih komitmen dan tangguh dalam meniti jalan yang menjadi pilihannya.       

Sebelumnya, telah dibahas bersama bahwa memandang atau melihat memiliki dampak dan pengaruh yang berbeda-beda. Cara memandang dan mendengar akan menentukan kualitas nilai perbuatan seseorang, apakah perbuatannya dianggap sesuai dengan koridor agama atau keluar dari koridor itu, dan apakah perbuatannya mengandung nilai-nilai positif atau sebaliknya. Karena itu, agama melarang manusia untuk melihat dan menjalin hubungan dengan hal-hal yang berbahaya dan menghalangi gerakannya menuju kesempurnaan. Sebaliknya, agama mendorong manusia untuk menciptakan hubungan dengan hal-hal yang bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuannya.

Agama melarang manusia melihat sebagian objek dan menyarankan mereka menyaksikan sebagian fenomena lain mengingat masalah melihat berpengaruh pada kepribadian seseorang. Dalam al-Quran surat an-Nuur ayat 30 dan 31, Allah Swt berfirman, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya…” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya…” Masyarakat adalah tempat melakukan aktivitas dan para anggotanya harus terhindar dari pandangan-pandangan yang menyimpang dan merusak.

Hak Kaki

Sejak dulu hingga sekarang ada banyak buku dan makalah yang ditulis tentang akhlak dan hak-hak makhluk hidup, namun sangat sedikit ditemukan penulis atau buku yang mengupas secara sempurna masalah tersebut kecuali dari lisan Rasul Saw dan para khalifahnya. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as termasuk salah satu figur agung ini dan meyakini bahwa masyarakat akan lestari dan sejahtera selama menjaga hak-hak hakiki manusia dan memperhatikan kemuliaan-kemuliaan mereka.

Imam Sajjad as dalam bukunya “Risalatul Huquq” memaparkan berbagai hak dan kewajiban yang harus ditunaikan manusia termasuk hak dan kewajiban anggota tubuh yang digunakan untuk berjalan, yaitu kaki. Beliau berkata, “Hak kaki atas dirimu adalah engkau tidak melangkahkan kaki ke tempat yang tidak layak bagimu. Jangan jadikan kaki tunggangan untuk bergerak ke arah yang membuatmu terhina. Kaki adalah organ tubuh yang memikul dirimu maka sudah seharusnya engkau menggunakannya untuk kepentingan agama dan untuk pekerjaan yang baik.”

Para ilmuan dan psikolog mengatakan, ketika sebuah perbuatan tercatat sebagai kebiasan maka ia akan mudah dilakukan. Berjalan adalah sebuah perbuatan yang mengandung nilai seni. Namun karena itu dilakukan oleh manusia sejak kanak-kanak sehingga terbiasa dengannya, maka berjalan tidak lagi dipandang sebagai hal yang penting. Meski mudah dan termasuk kebiasaan, berjalan kaki bisa menunjukkan kondisi kejiwaan seseorang bahkan kepribadiannya. Sebab, kejiwaan seseorang akan terjelma dalam perilaku. Bahkan terkadang satu perbuatan yang kecil menunjukkan tabiat khas seseorang.

Dalam pandangan Imam Zainal Abidin as orang yang menggunakan kaki untuk berjalan menuju ke tempat maksiat berarti ia telah mengabaikan dan menistakan hak kaki. Tak hanya itu perbuatan tersebut juga menodai kepribadiannya sendiri. Allah Swt menganugerahkan kaki sebagai sarana untuk berjalan menuju pekerjaan yang bisa mendatangkan faedah buat kehidupannya. Dengan kaki, orang bisa melangkah bersafari untuk menyaksikan nikmat-nikmat anugerah Allah yang terhampar di bumi yang luas ini. Dengan kaki, orang bisa mengais rezeki halal yang diridhai Allah. Dengan kaki pula orang bisa pergi untuk menimba ilmu pengetahuan, atau berjalan-jalan mencari hiburan yang bisa melepas penat dan mengembalikan kegairahan hidup.

Berjalan dilakukan oleh orang untuk berbagai macam tujuan tergantung niat masing-masing. Ada yang berjalan dengan membusung dada dengan langkah congkak untuk menunjukkan kesombongannya. Orang semacam ini tentu tidak akan mau melihat ada orang lain yang di atasnya. Ia cenderung meremahkan orang lain dan memandang mereka hina. Dalam surah al-Furqan Allah Swt menjelaskan sejumlah kriteria hamba-hamba Allah yang disebut dengan gelar ‘Ibadur Rahman’. Salah satu kriteria kelompok ini terkait cara berjalan mereka. Disebutkan bahwa ‘Ibadur Rahman’ berjalan dengan penuh ketenangan dan tanpa takabur.

Menurut perspektif Islam, kaki sama dengan organ dan anggota tubuh yang lain, yang bakal menjadi saksi kelak di Hari Kiamat. Karena itu, kaki harus digunakan untuk melangkah menuju kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki. Anak muda yang berjalan menuntut ilmu dengan menanggung kesusahan menurut Imam Zainal Abidin as adalah orang yang telah menunaikan hak kaki dengan baik. Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadisnya bersabda, “Barang siapa bergerak dua langkah untuk mencari ilmu dan duduk dua masa di sisi orang yang pandai dan mendengarkan darinya dua patah kata yang mengandung ilmu, maka Allah akan memberinya dua surga.”

Ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa orang yang melangkah secara tulus untuk mengatasi kesulitan orang lain dan memenuhi kebutuhan mereka, maka berarti dia telah menghargai nikmat kaki yang Allah berikan kepadanya. Kaki selain membawa kita dari satu tempat ke tempat yang lain juga menjadi sarana untuk berjuang memerangi kaum zalim dan agresor. Banyak orang yang hidup di sebuah lingkungan dengan kondisi spiritual dan etika yang bobrok sementara nilai-nilai keimanan juga tidak bisa dipertahankan. Allah Swt memerintahkan orang-orang seperti ini untuk berhijrah meninggalkan negerinya dan berpindah ke negeri lain sehingga mereka bisa menjaga agama.

Selain itu agama juga memerintahkan untuk bangkit berjuang. Ketika sekelompok agresor menyerang kedaulatan sebuah bangsa dan negeri maka bangsa terkait dan penduduk negeri itu harus bangkit melawan untuak menyingkirkan kezaliman. Jelas bahwa dalam masalah perjuangan diperlukan kaki-kaki para pejuang yang melangkah dengan mantap untuk memerangi kaum zalim. Karena itu dalam terminologi Islam para pejuang yang disebut mujahidin mendapat kedudukan yang agung di sisi Allah. Nabi Saw, para imam dan ulama Islam menyebut jihad sebagai salah satu pintu surga yang dibuka oleh Allah untuk hamba-hambaNya yang khusus.

Kata-kata Imam Ali Zainal Abidin as tentang hak kaki adalah penjelasan dari apa yang diajarkan oleh Islam secara utuh. Beliau mengingatkan kepada umat bahwa kaki adalah kenikmatan dari Allah yang harus digunakan untuk kebaikan dan kesejahteraan manusia. Jangan sampai nikmat Allah ini digunakan untuk bermaksiat kepada Allah.

Hak Tangan

Setelah membahas bersama tentang hak kaki seperti yang dijelaskan oleh Imam Ali Zainal Abidin dalam ‘Risalatul Huquq’. Tiba saatnya untuk berpikir mengenai hak tangan atas diri manusia.

Tangan adalah organ tubuh yang sering terabaikan dalam perhitungan kita. Padahal dengan tangan, kita bisa menuntun orang tua, membelai anak yatim, atau membuat bibir kaum papa menyungging senyum. Dengan mengulurkan tangan, kita menyampaikan pesan persahabatan kepada orang lain. Dengan tangan pula kita memberikan hadiah dan cidera mata kepada sahabat dan mereka yang kita cintai atau menyampaikan sedekah dan pemberian kepada orang kaum fakir. Tangan merupakan salah satu alat terpenting untuk menciptakan karya indah dan merangkai kata-kata lewat tulisan. Rangkaian kata yang ditulis dengan tangan menjadi ungkapan terindah dan penuh cahaya yang menjadi media untuk menyebarkan ilmu. Sebagian besar traksaksi dilakukan dengan organ tubuh ini.

Imam Ali as, sosok insan termulia setelah Nabi Saw, menggunakan tangannya untuk menggarap ladang dan kebunnya. Hasil dari beliau peroleh dari kebun itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangannya dan menyantuni kaum miskin. Betapa banyak hamba sahaya yang telah dibeli dan dimerdekakan oleh Imam Ali as dari hasil kebun yang dirawat dengan tangan beliau. Saat terbuka kesempatan bermunajat dengan Allah, kita mengangkat tangan ke atas untuk berdoa dan memohon ampunan, rahmat dan kasih sayang-Nya.

Semua yang telah disebutkan tadi adalah satu sisi dari kegunaan tangan. Sebagian orang menggunakan tangan untuk melakukan kejahatan dan kezaliman. Untuk hal itu tangan juga punya peran kunci. Terkadang, orang menggunakan tangan di jalur yang salah karena terdorong oleh faktor pandangan dan pemikiran yang keliru. Mencuri, ghasab atau menggunakan hak orang lain tanpa izin, kesewenang-wenangan terhadap orang, melecehkan kesucian lewat tulisan, dan hal-hal semisal adalah kejahatan dan kesalahan yang dilakukan orang dengan tangannya.

Kesalahan atau kejahatan yang dilakukan oleh tangan bisa berakibat sangat buruk yang dampaknya dapat mengganggu dan merusak kondisi sosial. Kondisi kemasyarakatan bisa dikendalikan dan dibimbing ke arah yang benar. Akan tetapi hal itu menuntut pengenalan akan patologi sosial dan penggunaan metode ilmiah dalam mengatasi masalah sosial. Namun yang menjadi panduan adalah, semakin sempurna nilai-nilai spiritual dan etika di sebuah masyarakat, maka penyimpangan di tengah  masyarakat itu akan semakin menurun.

Masing-masing orang harus mengenal hak dan kewajibannya di tengah masyarakat lalu menghormati dan menjalankannya. Salah satu hal alamiah bagi setiap orang adalah hak untuk hidup bebas. Para filsuf dan cendekiawan dunia meyakini bahwa hak hidup adalah salah satu hak yang paling mendasar bagi semua orang. Hak ini harus dihormati dan dilindungi oleh pemerintah dan masyarakat. Menurut persepsi al-Quran, tidak ada seorang pun yang berhak merampas hak alamiah ini dari siapapun. Jiwa setiap manusia punya kehormatan tersendiri. Tidak ada seorangpun yang berhak mencabut kehidupan orang lain atau mencederainya.

Imam Ali Zainal Abidin dalam ‘Risalah al-Huquq’ menjelaskan hak tangan dan menyatakan, “Hak tanganmu atas dirimu adalah bahwa engkau tidak boleh menggunakan untuk perbuatan haram. Sebab hal itu dapat mendatangkan azab Ilahi di hari akhirat dan kecaman orang lain di dunia. Jangan cegah tanganmu dari melakukan apa yang telah Allah perintahkan kepadanya. Hormatilah tangan dengan menggunakannya di jalan yang benar dan sah. Artinya, hindarkanlah ia dari perbuatan haram dan gunakannya ia untuk meraih yang yang bermanfaat. Jika itu engku lakukan maka engkau akan dihormati orang di dunia dan diganjar dengan pahala Allah di akhirat.”

Kondisi kehidupan kita akan menemukan kesegaran baru jika pesan Imam Zainul Abidin tadi dilaksanakan dengan benar.  Sayangnya, manusia cenderung menyia-nyiakan kesempatan emas dan modal berharga yang dimilikinya. Akibatnya, banyak orang yang merugi dan kehilangan modal dan kekayaannya yang berharga. Imam Ali Zainul Abidin as mengingatkan bahwa manusia harus menghormati anggota tubuhnya dan tidak menggunakannya untuk perbuatan yang salah dan buruk. Kita, harus memanfaatkan potensi sehingga kita bisa menghargai diri sendiri.

Manusia akan merasakan indahnya kesucian kala ia bisa mendekatkan diri dengan prinsip kehidupan murni yang dipandu ajaran spiritual dan etika. Dengan itu, berarti ia telah menjejakkan kaki di jalan membangun kepribadian insani dan dalam menjalin hubungan dengan sesama. Menurut Imam Ali Sajjad as, manusia yang berjalan menggunakan logika akal dan kemuliaan serta menjalankan perintah Allah, ia pasti akan meraih kejayaan di dunia dan akhirat.

Hak Perut (Bagian 1)

Risalatul Huquq menerangkan tugas-tugas terpenting yang telah ditetapkan oleh Allah dan menjadi tugas normatif. Menghormati dan melaksanakan aturan dan prinsip etika berperan besar dalam memperbaiki kondisi masyarakat. Untuk itu Risalatul Huquq Imam Sajjad as sangat bermanfaat bagi kita kita semua.

Imam Sajjad as menerangkan bahwa perut punya serangkaian hak atas diri manusia. Beliau berkata, “Hak perut atas dirimu adalah jangan engkau jadikan ia sebagai wadah penampung makanan haram, banyak maupun sedikit. Bahkan untuk makanan yang halal pun jagalah keseimbangan. Makanlah untuk menguatkan tubuhmu. Jangan pernah berpikir untuk memenuhi perut hingga kerongkongan, jangan melalaikan orang lain dan jangan lupa akan kemurahan hati dan kebaikan.  Sebab, kekenyangan akan mengakibatkan kemalasan dan mencegahmu dari perbuatan baik dan amal saleh. Demikian juga dengan minum berlebihan yang akan mengakibatkan kebodohan dan menghilangkan akal.”

Di sini Imam Ali Sajjad as menyinggung keseimbangan dalam mengkonsumsi makanan dan mengingatkan kita untuk tidak banyak makan. Imbauan tersebut dikukuhkan oleh ilmu kedokteran saat ini. Menurut para dokter, faktor utama yang menyebabkan munculnya berbagai penyakit adalah makan secara berlebihan. Apalagi di zaman ini tubuh manusia kurang beraktivitas dan mesin telah menggantikan posisi manusia dalam banyak hal. Kurang gerak akan menyebabkan penimbunan lemak yang berbahaya bagi kesehatan. Dengan menumpuknya lemak di badan, kerja jantung akan terganggu dan ginjal pun mengalami masalah. Para dokter mengatakan bahwa untuk menjaga kesehatan ada dua hal yang harus dilakukan, menahan diri dalam pola makan dan melakukan akvitas badan.

Dalam al-Quran, Allah Swt berfirman, “Makanlah dan minumlah dan jangan kalian berlebih-lebihan…” (QS. al-A’raf: 31) Firman Allah ini nampak sangat sederhana. Namun hakikatnya, hari ini terbukti bahwa pesan Qurani itu adalah salah satu imbauan terpenting dalam ilmu kedokteran. Para ilmuan mengatakan, pola makan yang berlebihan adalah penyebab munculnya banyak penyakit.

Dikisahkan bahwa Khalifah Harun al-Rasyid punya dokter khusus yang beragama Kristen. Dia dikenal sebagai dokter yang sangat mahir. Suatu hari ia terlibat pembicaraan dengan seorang cendekiawan Muslim.

Sang tabib berkata, “Saya tidak menemukan satupun tema kedokteran di kitab suci kalian. Padahal engkau meyakini bahwa ilmu yang berguna adalah dua jenis ilmu, ilmu agama dan ilmu raga.”

Menjawab pernyataan itu, sang cendekiawan Muslim berkata, “Allah Swt telah menjelaskan aturan kesehatan untuk manusia dalam sepenggal ayatnya. Dia berfirman, “Makanlah dan minumlah dan jangan kalian berlebih-lebihan…” Rasulullah Saw juga menerangkan dalam hadisnya bahwa perut adalah sarang semua penyakit, dan menahan diri adalah obat penawar bagi semua.”

Mendengar jawaban itu sang tabib tercengang. Seraya menundukkan kepala ia berkata, “Sungguh al-Quran dan Nabi kalian tak ubahnya seperti Jalinus, Sang Tabib terkenal yang telah menjelaskan semua hal tentang kedokteran.”

Imam Ali bin Abi Thalib as saat menjelaskan hubungan antara penyakit dan pola makan berlebihan, berkata, “Kurangi makan, maka engkau telah mengurangi penyakit.” Menurut para ahli, pola makan berlebihan mengancam kesehatan dan bisa memendekkan usia seseorang dan mengurangi kebugarannya. Sebab, dengan pola makan berlebihan asid dalam tubuh meningkatkan kolesterol darah. Semakin banyak makan, kolesterol akan semakin meningkat. Akibatnya, jantung bermasalah dan kebugaran tubuh terganggu.

Selain itu, pola makan berlebihan bisa berdampak buruk pada daya pikir seseorang. Ketika lambung seseorang menerima makanan yang berlebihan, dinding lambung akan terkena rembesan yang berfungsi membantu menggiling makanan. Akibatnya darah akan mengalir ke dalam organ itu dalam jumlah yang berlebihan. Dalam kondisi seperti itu, sistem kontrol darah yang mengatur alirannya ke otak akan terganggu. Oksigen dan makanan yang tersalurkan ke otak akan berkurang. Akhirnya, daya pikir orang akan mengalami penurunan.

Diriwayatkan bahwa Luqman al-Hakim pernah berkata kepada anaknya; “Kelebihan makan akan membuat otak tertidur, lisan kebijaksanaan akan tersendat, dan anggota badan akan lesu untuk beribadah.”

Dari penjelasan tadi dapat disimpulkan mengapa Imam Ali Zainal Abidin as mengingatkan agar kita tidak memenuhi perut dengan makanan berlebihan. Seperti tadi dikatakan, pola makan berlebihan akan membuat orang malas bekerja dan mencegah orang dari ibadah.

Hak Perut (Bagian 2)

Pekan lalu kita telah berbicara tentang perut, hak-haknya dan bahaya pola makan yang berlebihan. Terkadang orang berlebihan dalam menyantap makanan karena dirasa nikmat, sehingga ia lupa untuk tujuan apa ia datang ke dunia ini. Imam Sajjad as dalam penjelasannya menegaskan bahwa manusia seharusnya tidak berlebih-lebihan dalam urusan makanan. Karena, hal itu akan membuat orang malas, kesehatannya terganggu dan kegesitannya melemah. Imam Sajjad as menekankan untuk menjaga keseimbangan dalam semua hal.

Keseimbangan dalam segala hal, terutama dalam soal makanan adalah perkara yang terpuji. Sebab, hal itu akan menjamin kesehatan fisik, kegairahan jiwa dan membantu orang untuk memanfaatkan peluang yang ada dengan lebih baik. Orang dengan pola makan yang sedikit dan tidak pasrah kepada tuntutan hawa nafsunya cenderung punya kepedulian kepada orang lain. Menjaga keseimbangan pola makan akan membuat perasaan orang menjadi peka dan kian menghidupkan daya pikir dan nalarnya.

Penyair Iran, Syeikh Musliuddin Sa’di Shirazi dalam buku Golestan, menulis, “Salah seorang raja mengutus seorang tabib yang mahir untuk mengabdi kepada Rasulullah Saw. Setahun lamanya ia hidup di negeri Arab dan selama itu jarang ada orang yang datang mengeluhkan penyakit kepadanya. Tabib tersebut akhirnya mendatangi Nabi dan mengeluhkan keadaannya. Dia berkata, “Aku diutus kemari untuk membantu mengobati masyarakat yang sakit. Tapi tidak ada orang yang datang kepadaku untuk berobat.” Nabi Saw bersabda, “Kabilah yang engkau hadapi adalah orang-orang yang tidak makan kecuali bila nafsu makan sudah menguasai mereka. Dan mereka berhenti makan ketika nafsu makan masih ada.” Mendengar jawaban itu, sang tabib berkata, “Memang itulah kunci menjaga kesehatan.””

Jelas yang dimaksud dengan makan sedikit bukan berarti kita menahan lapar hingga jatuh lemah. Namun kita tidak boleh makan secara berlebihan hingga terserang berbagai jenis penyakit. Para ulama juga senantiasa menyarankan kita untuk makan secukupnya sehingga kita mendapatkan kejernihan kalbu dan kesucian jiwa.

Poin lain yang ditekankan Imam Sajjad as adalah tidak memenuhi perut dengan makanan yang diperoleh dengan cara tidak benar dan jalan haram. Imam Sajjad as berkata, “Tidak pantas menggunakan perutmu sebagai wadah untuk barang haram baik sedikit atau banyak.” Anjuran ini akan terlihat lebih penting ketika kita mempelajari ayat-ayat al-Quran. Surat ‘Abasa ayat 24, Allah Swt berfirman, “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.”

Makanan punya pengaruh kuat terhadap kepribadian dan jiwa manusia. Seseorang yang selalu mengkonsumsi makanan haram, maka akan berdampak negatif terhadap tingkah dan perilakunya. Menurut keyakinan sejumlah pakar, penyebab dan akar kebodohan dan menurunnya daya pikir terletak pada pola konsumsi seseorang.

Pada dasarnya, peringatan Imam Sajjad as untuk tidak mengkonsumsi makanan haram, secara tidak langsung juga menyinggung pada bentuk pekerjaan dan cara seseorang mencari nafkah. Perbedaan mendasar antara ekonomi Islam dengan teori-teori ekonomi lain adalah adanya hubungan erat antara kegiatan ekonomi seorang muslim dengan masalah-masalah kemanusiaan dan moral. Sebenarnya bentuk pekerjaan menunjukkan kepribadian seseorang.

Pada masa sekarang, tujuan bekerja adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya. Namun seorang muslim tidak boleh merampas atau menistakan hak-hak orang lain demi kepentingannya. Ia harus menjauhi transaksi yang merugikan orang lain atau mengancam keselamatan masyarakat. Transaksi sesuatu yang berbahaya seperti narkotika, perdagangan manusia dan menjual sesuatu yang dapat memperkuat orang-orang zalim, termasuk jual-beli yang dilarang oleh Islam. Islam juga menetapkan hukuman di dunia dan akhirat terhadap para pelaku kriminal seperti mencuri dan menerima suap.

Orang-orang yang memutar roda kehidupannya dengan transaksi-transaksi haram, maka masyarakat tidak memperoleh sesuatu kecuali kerugian. Rasul Saw bersabda, “Ada empat hal yang jika kalian memilikinya, maka jangan bersedih karena tidak memiliki hal lain yaitu, kejujuran, amanah, akhlak mulia, dan kesucian dalam makanan.” Oleh karena itu, mereka yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh ambisinya dan merampas harta orang lain, maka mereka senantiasa berada di jurang kehancuran dan kebinasaan. Menurut Imam Sajjad as, makanan yang sehat, suci dan halal dapat menyehatkan seseorang, menjernihkan akal dan mensucikan jiwa.

Hak Syahwat

Hasrat dan kecenderungan alamiah adalah anugerah berharga dari Allah yang berbaur dengan tabiat manusia dan membuatnya bergairah dalam mengarungi kehidupan. Namun kecenderungan ini tidak punya nalar yang bisa menuntunnya dalam membedakan antara baik dan buruk. Karena itu, kecenderungan alamiah dan hasrat biologis itu harus dipandu oleh akal dan agama supaya berjalan dengan benar.

Membebaskan dorongan alamiah dan syahwat ini tanpa kendali jelas bertentangan kemuliaan maknawiyah dan kenyamanan kehidupan sosial umat manusia. Cara-cara menyimpang dan keliru dalam memenuhi dorongan syahwat akan merusak tata kehidupan, menciptakan ketidakamanan dan kekacauan serta membawa masyarakat kepada kebobrokan dan amoralitas. Pertanyaan yang selalu mengemuka terkait pembahasan ini adalah, apa yang harus dilakukan untuk mengendalikan syahwat dan tuntutan biologis?

Menurut para ahli, berbagai hal seperti pendidikan di masa kanak-kanak dan penanaman norma-norma suci pada diri seseorang punya pengaruh besar dalam meningkatkan kemampuan mengontrol tuntutan biologis. Meski demikian, hal-hal tadi tetaplah bukan faktor penentu. Ada faktor kuat lainnya yang diperlukan untuk memperkuatkan daya kontrol orang terhadap hawa nafsu, yang dengannya orang akan menjauhi praktik-praktik yang menyimpang dan salah. Salah satunya adalah faktor keimanan dan rasa bertanggung jawab di hadapan Allah. Orang-orang yang hidup di lingkungan agamis akan lebih terpanggil untuk menghormati hak-hak orang lain. Mereka akan mendahulukan kerja daripada menuruti panggilan setan. Mereka akan lebih jarang menyentuh dosa.

Islam memandang kecenderungan alamiah termasuk dorongan seksual sebagai anugerah Ilahi. Karena itu Islam tidak sama dengan agama-agama lain dalam memperlakukan dorongan ini. Islam melarang kita mematikan nafsu seksual dan hanya memerintahkan kita untuk mengontrolnya. Dalam kaitan ini, para nabi menjalankan misi memperbaiki masyarakat dari dalam dengan menanamkan benih keimanan di dalam kalbu mereka serta mengajarkan ilmu dan hikmah kepada mereka. Para nabi mengajarkan cara yang benar untuk menyalurkan tuntutan biologis sehingga fasad dan amoralitas di tengah masyarakat pun tercegah.

Pernikahan dan pembentukan rumah tangga dipandang oleh agama Islam sebagai ikatan yang suci. Tujuannya agar setiap orang bisa menyalurkan gejolak jiwa dan biologis dalam kehangatan keluarga yang dibangun dengan cinta. Islam menentang keras kebebasan yang tanpa batas, tapi di saat yang sama agama ini memerintahkan pasangan suami istri untuk saling mencinta dan memberikan kasih sayang. Rasulullah Saw bersabda, “Pernikahan adalah sunnahku, siapa yang menolak sunnahku bukan dari golonganku.”

Dalam Risalatul Huquq Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as menjelaskan anggota badan yang terakhir dan berhubungan dengan kebutuhan biologis. Beliau mengatakan, “Tentang hak syahwat, adalah bahwa engkau harus menjaganya dari keharaman. Untuk menjaganya, engkau harus menutup mata dari pandangan yang haram sebab mata sangat membantu dalam hal ini. Perbanyaklah mengingat kematian dan takutilah dirimu sendiri dari azab Allah. Tengadahkanlah tangan kepada Sang Khaliq yang tak memerlukan apapun dan mintalah bantuan dari-Nya.”

Imam Sajjad as menjelaskan cara yang tepat untuk menghindari munculnya dorongan syahwat. Pertama beliau mengajarkan supaya meminta bantuan mata. Sebab, jika mata tidak digunakan memandang hal-hal yang bisa memancing syahwat, maka ia tidak akan tergoda ke arah sana. Hasilnya, ia akan terjauhkan dari dosa. Langkah kedua adalah dengan banyak-banyak mengingat kematian dan azab Allah. Dengan cara itu orang akan tercegah dari perbuatan dosa. Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah Saw bersabda, “Mengingat kematian adalah nasehat yang cukup bagi manusia.”

Dalam riwayat lain, Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, “Ketika hendak melakukan perbuatan tak terpuji segeralah mengingat kematian yang menghancurkan kenikmatan, menenggelamkan syahwat dan melenyapkan impian.”

Di zaman ini, di masyarakat yang menyebarkan budaya bebas tanpa batas, etika dan norma insani yang tidak lagi diindahkan, dan kesusilaan serta kesucian tidak lagi mendapat tempat. Akibatnya, amoralitas menyebar dan kejahatanpun menjamur. Munculnya krisis sosial yang mencemaskan ini menjadi femomena paling menakutkan bagi negara-negara industri maju saat ini. Tak dipungkiri bahwa krisis sosial terjadi karena banyak faktor. Namun faktor paling dominan adalah krisis keimanan, moral dan tanggung jawab. Orang yang memandang segala sesuatu dengan mata materi tak akan pernah melirik sisi spiritual dan insani. Di akhir perkataannya, Imam Sajjad as mengingatkan supaya kita menjalin hubungan yang akrab dengan Allah Swt. Sebab, hanya Allahlah yang bisa membantu manusia dalam meniti jalan kehidupan yang berliku-liku ini.

Hak Shalat (Bagian 1)

Sebagaimana yang kita tahu, Risalatul Huquq adalah buku kumpulan penjelasan Imam Ali Zainul Abidin as-Sajjad tentang hak-hak yang harus ditunaikan oleh manusia. Termasuk diantaranya hak Allah, hak masing-masing anggota tubuh dan hak-hak orang-orang sekitar. Semua hak itu menunjukkan kemuliaan dan keagungan manusia. Sejak dahulu Risalatul Huquq menjadi bahan telaah para peneliti dan sosiolog Muslim.

Setelah membahas tentang hak-hak anggota tubuh yang harus dihormati dan dilaksanakan, Risalatul Huquq mengulas masalah ibadah. Tentang shalat yang merupakan ibadah paling penting, Imam Sajjad as mengatakan, “Adapun hak shalat, maka ketahuilah bahwa shalat menghadap Allah. Engkau berdiri di hadapan Allah. Jika hal itu telah engkau sadari maka bersikaplah seperti seorang hamba sahaya kerdil yang berharap bisa mendekat kepada tuannya. Seiring dengan rasa takut kepada-Nya, berharaplah akan kemurahan dan kebaikan-Nya. Tunduklah engkau kepada-Nya dengan khusyuk. Yakinilah kehadiranmu di hadapan-Nya sebagai sebuah amalan yang agung...”

Secara fitrah manusia punya kecenderungan untuk menyembah kepada wujud yang dianggap punya kekuatan lebih. Kecenderungan ini ada pada setiap orang. Tak heran jika sejarah menceritakan kepada kita akan kaum-kaum yang melakukan penyembahan kepada tuhan yang beragam bentuk dan rupanya. Ada yang menyembah matahari, bintang, berhala, bahkan binatang. Meski salah dalam menyalurkan kecenderungan itu, namun yang jelas fakta ini membuktikan bahwa manusia sepanjang sejarah selalu merasakan adanya tuntutan dari dalam jiwanya untuk melakukan penyembahan. Hal itu pula yang disinggung oleh al-Quran surat al-Rum ayat 30, “Itulah fitrah Allah yang Allah menciptakan manusia atas dasar itu. Tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah.”

Agama Islam menghendaki agar setiap manusia mengenal sesembahan yang hakiki sebatas kemampuannya. Jangan sampai naluri beribadah dan menyembah ini tersalurkan di jalan yang salah. Tuhan yang dikenalkan Islam kepada umat manusia adalah Tuhan yang Maha Hidup, Maha Tinggi, Maha Bijaksana, Maha Tahu, Maha Mendengar dan Maha Mengatur. Dialah yang mengatur alam semesta dan membantu manusia saat menghadapi kesulitan.

Islam menjelaskan cara yang benar untuk menjalin hubungan dengan Sang Tuhan dalam bentuk ibadah yang salah satunya dan sekaligus ibadah yang terindah adalah shalat. Shalat adalah jalinan hubungan antara manusia dengan Sang Khaliq. Jelas hubungan dengan Zat yang memberi dan menciptakan segalanya adalah hubungan terindah yang bisa dibayangkan.

Shalat adalah tali kokoh yang menghubungkan seluruh eksistensi manusia dengan alam malakut. Shalat adalah perwujudan dari penghambaan murni kepada Sang Ma’bud. Nabi Saw dalam sebuah hadis bersabda, “Segala sesuatu punya wajahnya tersendiri, dan wajah agama adalah shalat. Upayakan agar wajah ini selalu nampak indah, menawan dan sempurna.”

Menurut ungkapan Rasul Saw, sebagaimana dalam sebuah bangunan, pilar-pilarnya berfungsi sebagai penyokong dan penyangga bagunan itu. Shalat juga berperan sebagai pilar bagi bangunan agama. Meski tembok dan jendela sebuah bangunan sangat kokoh, namun ketika pilar-pilarnya runtuh, kekokohan itu tidak mampu menjaga keutuhan bangunan. Bangunan keimanan seseorang juga akan runtuh selama hubungannya dengan Tuhan melalui shalat tidak permanen dan seluruh amal ibadahnya tidak akan memberi pengaruh sama sekali.

Dengan kata lain, shalat akan memberi nilai dan arti kepada seluruh perbuatan manusia, sebab shalat merupakan sekumpulan ucapan, perbuatan, dan motivasi yang suci dan ikhlas. Shalat yang dilakukan secara rutin dapat menanamkan benih-benih perbuatan baik dalam jiwa manusia sekaligus mensucikan jiwanya. Imam Sajjad as meminta para pendiri shalat untuk merenungkan, “Dengan siapa ia sedang menghadap dan interaksi ini sejauh mana mampu menumbuhkan kebaikan dan memusnahkan keburukan dalam dirinya.”

Imam Sajjad as mengingatkan bahwa selama shalat tidak dilakukan dengan benar dan manusia juga tidak merasa kerdil di hadapan Sang Pencipta, maka shalatnya hanya sebuah ibadah lahiriyah dan tidak punya pengaruh apa-apa. Rasa khusyu dan tawadhu dalam shalat diperlukan untuk memahami kemuliaan dan keangunan Tuhan. Sebab Sang Pencipta sama sekali tidak butuh terhadap amal perbuatan hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, ruhnya shalat adalah rasa khusyu saat bermunajat. Salah satu pengaruh paling penting shalat adalah keterjagaan dari dosa dan maksiat dan kecenderungan ke arah kebaikan. Dalam surat al-Ankabuut ayat 45, Allah Swt berfirman: “…Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).”

Hak Shalat (Bagian 2)

Untuk melengkapi pembahasan sebelumnya, kali ini kita kembali membahas tentang sebuah ibadah yang digolongkan sebagai pilar agama. Shalat merupakan jawaban atas kebutuhan internal manusia terhadap doa dan munajat dengan Sang Pencipta. Saat larut dalam munajat, jiwa seseorang dipenuhi rasa tentram dan damai sampai-sampai cahaya ibadah tampak dalam raut wajahnya. Mengingat dampak-dampak konstruktif shalat, Imam Sajjad as dalam buku Risalatul Huquq memaparkan kedudukan penting ibadah tersebut. Imam as berharap para pendiri shalat menunaikan ibadah ini secara hakiki. Dirikanlah shalat dengan penuh ketenangan, ketentraman, kekhusyukan, dan dengan lisan yang indah. Konsentrasikanlah hati dan jiwa kalian menghadap Allah Swt.

Shalat merupakan sarana untuk menyucikan dosa dan menggapai ampunan Tuhan, sebab shalat menyeru manusia untuk bertaubat dan memperbaiki perbuatan-perbuatan masa lalunya. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasul Saw bertanya kepada para sahabatnya, “Jika di depan pintu rumah salah seorang dari kalian mengalir sungai yang jernih dan kalian mandi di sana lima kali sehari, masih tersisakah kotoran di tubuh kalian?” Para sahabat menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Nabi Saw kemudian bersabda, “Shalat ibarat air sungai yang mengalir tadi. Setiap kali orang melaksanakan shalat semua dosa yang ia lakukan antara shalat itu dengan shalat sebelumnya akan terhapuskan dan setiap luka yang menggores di ruh manusia akibat dosa akan terobati dengan shalat.”

Shalat yang menghasilkan keimanan kokoh adalah benteng kuat yang melindungi seseorang dari perbuatan dosa, selain juga menumbuhkan jiwa penyabar dan kerendahan hati di kalbu. Bahaya terbesar yang mengancam para pengikut kebenaran adalah kelalaian akan tujuan penciptaan dan ketenggalaman dalam kehidupan duniawi dan kenikmatan materi. Shalat yang dilaksanakan lima kali sehari dalam waktu-waktu yang berbeda berperan menjadi pengingat bagi manusia akan spiritualitas dan tujuan hidup yang sebenarnya. Setiap hari, kita diperintah untuk menunaikan shalat sebanyak 17 rakaat. Di setiap rakaatnya kita diajarkan untuk tunduk di hadapan kebesaran Allah dengan meletakkan dahi dan wajah di atas tanah. Dengan demikian kita disadarkan akan kehinaan dan kelemahan yang sebenarnya sehingga tidak lagi terjebak dalam kesombongan. Imam Ali as berkata, “Allah Swt mewajibkan shalat agar manusia terlepas dari syirik, dan shalat adalah ibadah yang mengusir kesombongan.”

Shalat adalah sarana untuk mengembangkan keutamaan akhlak dan kesempurnaan spiritualitas manusia. Sebab, ibadah ini membawa manusia keluar dari batas-batasan materi ke alam yang jauh lebih luas. Pengulangan amalan ini dan fokus kepada sifat-sifat Ilahiyah yang indah seperti rahmat dan kemurahan yang luas, adalah penyeru terbaik kepada kebaikan dan kesucian. Dalam riwayat disebutkan, di Hari Kiamat kelak yang bakal pertama kali ditanyakan kepada manusia adalah shalat. Jika shalatnya diterima maka semua amalannya akan diterima dan jika shalatnya ditolak maka semua amalannya juga akan ditolak. Mungkin rahasianya adalah karena shalat merupakan kunci hubungan antara manusia dengan Allah. Jika sarana hubungan ini dilaksanakan dengan baik dan benar, maka ia akan menghidupkan keikhlasan dan kesucian pada orang yang melaksanakannya.

Selain kandungan shalat yang sarat dengan nilai-nilai yang tinggi, tata krama shalat juga berpengaruh besar pada pembentukan jiwa manusia. Tata krama ibadah ini mengajarkan kesucian dan penghormatan kepada hak-hak orang lain. Salah satu syarat sahnya shalat adalah halalnya pakaian, tempat dan air yang digunakan untuk berwudhu. Halal artinya bukan didapatkan secara tidak sah semisal ghasab atau mencuri. Pesan yang didapat dari aturan ini adalah hak-hak orang lain harus diperhatikan oleh setiap orang yang hendak melaksanakan shalat. Dalam riwayat disebutkan bahwa shalat seorang pemimpin yang menzalimi hak rakyatnya tidak akan diterima oleh Allah.  Shalat juga mengajarkan ketertiban dalam diri manusia karena harus dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu.

Shalat adalah ibadah yang mengandung sejumlah kemuliaan praktis yang harus diperhatikan oleh semua orang. Mungkin karena faktor inilah, Allah Swt dalam al-Quran memerintahkan kita yang dililit kesulitan untuk meminta pertolongan dari shalat dan kesabaran. Dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 153 Allah Swt berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Ketika orang ditimpa masalah ia memerlukan bantuan yang bisa menenangkan hati. Bantuan itu dapat ia perolehi pada kesabaran dan shalat. Dengan demikian, shalat adalah benteng kokoh yang bisa melindungi seseorang dari himpitan masalah.”

Secara umum, shalat adalah ibadah yang keseluruhannya berisi penghambaan kepada Allah Swt. Karena itu shalat juga disebut sebagai zikir bahkan zikir paling utama. Tentunya, zikir yang benar adalah zikir yang keluar dari hati dan keikhlasan yang dalam. Shalat yang dilaksanakan dengan khusyuk dan zikir yang mendalam di kalbu laksana eliksir yang dapat mengubah besi menjadi emas dan keburukan menjadi kebaikan. Shalat semacam ini akan memandu pikiran dan perilaku manusia. Karena itulah Imam Sajjad as mengajak kita untuk melaksanakan shalat dengan baik, benar dan penuh rasa penghambaan.

Hak Puasa

Setelah menjelaskan hak shalat, Imam Ali Sajjad as membahas tentang hak puasa. Sebab, puasa adalah ibadah yang punya pengaruh besar jasmani dan rohani. Puasa juga sarat dengan pesan-pesan penting pendidikan, sosial dan kesehatan. Islam mewajibkan puasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan setiap tahunnya. Puasa dilakukan pada waktu yang jelas yakni antara terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Selama menjalankan puasa orang dilarang makan, minum dan melakukan hal-hal yang dapat membatalkan ibadah ini.

Salah satu pelajaran utama yang didapatkan dari puasa adalah kesetaraan umat.  Artinya, dengan menahan lapar dan dahaga orang -sekaya apapun dia- akan merasakan derita kaum fakir. Dengan merasakan lapar dan dahaga, hati akan menjadi luluh dan rasa kemanusiaan akan tergugah. Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Puasa diwajibkan dalam Islam supaya orang mampu dan orang miskin bisa setara.”

Puasa menguatkan tekad dan kemauan serta mengontrol nafsu. Bisa dikatakan bahwa tujuan utama dari diwajibkannya puasa adalah supaya orang bisa mengendalikan diri dan hawa nafsunya. Hawa nafsu adalah dorongan alamiah yang ada dalam diri setiap manusia. Dorongan itu harus dipenuhi namun dalam batas yang logis dan benar. Hawa nafsu harus dikendalikan supaya orang tidak terseret kepada sikap dan tindakan ekstrim dalam menuruti atau meredamnya. Semakin kuat orang dalam mengendalikan dorongan hawa nafsu, maka semakin kuat pula kepribadiannya. Sebaliknya, semakin orang tunduk kepada hawa nafsu, maka semakin lemahlah kepribadiannya.

Orang yang tak pernah punya masalah pengadaan air minum, makanan dan apa saja yang diperlukannya, akan sulit beradaptasi dengan goncangan dan penderitaan seperti rasa lapar dan dahaga. Orang seperti itu mirip dengan pohon yang tumbuh di tempat yang teduh dan sejuk di tepi aliran sungai. Tumbuhan ini tak punya kekuatan dan mudah layu. Sejenak saja tidak mendapat siraman air, tumbuhan ini layu dan tak mustahil akan mati kekeringan. Beda halnya dengan tanaman yang tumbuh di atas batu yang keras, selalu diombang-ambingkan oleh angin kencang yang bertiup di lereng pegunungan dan langsung diterpa panas dan dingin. Tumbuhan jenis ini sangat kokoh dan tidak mudah layu. Puasa adalah ibadah yang membatasi insan muslim dari beberapa perbuatan yang sebenarnya halal baginya. Hal itu akan sangat berpengaruh untuk memperkuat daya tahan manusia serta membuat jiwanya semakin tercerahkan oleh cahaya dan kesucian.

Dari sisi lain, puasa punya banyak manfaat kesehatan. Jarang ada dokter yang tidak menekankan soal faedah menahan diri dari makan dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit. Nabi Saw dalam sebuah ungkapan singkat bersabda, “Berpuasalah niscaya kalian tetap sehat.” Puasa membakar kalori dan kelebihan lemak di badan sekaligus memberikan kesempatan bagi organ pencernaan untuk beristirahat. Organ pencernaan ini perlu diistirahatkan setelah bekerja secara kontinyu sepanjang tahun. Pengistirahatan organ pencernaan dan lambung untuk sementara waktu akan menyehatkan kondisi umum badan.

Puasa yang dilakukan dengan niat ikhlas untuk menjalankan perintah Allah Swt akan membersihkan jiwa dan menjauhkan orang dari riya’ dan kemunafikan. Imam Sajjad as dalam kaitan ini berkata, “Ketahuilah bahwa puasa adalah tabir yang dijulurkan oleh Allah untuk menutupi lisan, telinga, mata, aurat dan perutmu supaya kamu terselamatkan dari sengatan api azab. Dalam sebuah hadis nabawi disebutkan bahwa puasa adalah tameng dari api negara. Karenanya, jika anggota tubuhmu tenang di balik tabir itu maka optimislah bahwa engkau akan mendapat perlindungan. Tapi jika engkau melepaskan kendali dan membiarkan organ-organ tubuhmu terus memberontak mengoyak tabir Ilahi dan melanggar batas-batas yang telah Allah tentukan, maka jangan merasa aman dari balasan terkoyaknya tabir Ilahi.”

Dalam ungkapan tadi, Imam Ali Zainal Abidin as menerangkan hak puasa yang sebenarnya. Imam mengatakan bahwa puasa bukan hanya menghindari makan dan minum. Bentuk lahiriyah puasa memang meninggalkan makan dan minum, tapi yang lebih penting dari itu adalah bentuk batinnya. Menurut Imam Sajjad, orang yang berpuasa hendaknya tidak mencukupkan diri dengan menghindari makan dan minum tapi lebih dari itu, ia juga harus menjaga mata, lisan, telinga, dan hati dari perbuatan dosa. Artinya, orang yang berpuasa jangan sampai menggunakan lidahnya untuk berkata yang tidak benar, menggunjing atau melontarkan tuduhan terhadap orang lain. Telinga juga jangan sampai digunakan untuk mendengar suara-suara yang mengandung dosa. Demikian pula organ-organ tubuh yang lain.

Allah Swt telah menjadikan puasa sebagai tameng pelindung dari api neraka. Tentunya, puasa yang demikian adalah puasa yang dijalankan dengan benar dan ikhlas demi ketaatan kepada Allah. Dusta, ghibah, menuduh, dan mengikuti syahwat dapat menjauhkan orang dari makna puasa yang sebenarnya. Sebaliknya, jiwa dan ruh seseorang akan semakin sempurna jika ia mengekang hawa nafsu. Saat itulah orang akan kian mendekat kepada Allah. Inilah yang dalam terminologi agama disebut dengan istilah takwa. Puasa adalah ibadah yang mendatangkan ketakwaan. Allah Swt berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”